Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN.R USIA 18 BULAN DENGAN


KEJANG DEMAM
Di Ruang Seruni RSU KARSA HUSADA BATU

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi


Departemen Anak di Rumah Sakit Karsa Husada Batu

Oleh:
Siti Latifah
NIM. 180070300111026
Kelompok 2A

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN
“KEJANG DEMAM”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners


Departemen Anak
di Rumah Sakit Karsa Husada Batu

Oleh :
Siti Latifah 180070300111026
Kelompok 2A

Menyetujui,

Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik,

(……………....……………..) (……………………..………..)
1. DEFINISI

Kejang merupakan suatu perubahan fungsi pada otak secara mendadak


dan sangat singkat atau sementara yang dapat disebabkan oleh aktivitas yang
abnormal serta adanya pelepasam listrik serebral yang sangat berlebihan.
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal >38°C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium
(Bararan & Jaumar, 2013).
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak usia 3 bulan sampai
5 tahun dan berhubungan dengan demam serta tidak didapatkan adanya
infeksi ataupun kelainan lain yang jelas di intrakranial. Menurut Wulandari &
Ernawati (2016), kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling
sering ditemukan pada anak, terutama pada golongan anak umur 6 bulan
sampai 4 tahun.

2. KLASIFIKASI
Klasifikasi kejang demam dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Kejang demam sederhana
Kejang demam yang berlangsung singkat kurang dari 15 menit, dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk tonik dan klonik,
tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.
b. Kejang demam kompleks
Kejang lama lebih dari 15 menit, kejang fokal atau persial, kejang
berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam (Wulandari & Erawati, 2016).
Tabel 1.1 Perbedaan kejang demam sederhana dan kompleks
No Klinis KD sederhana KD kompleks
1. Durasi <15 menit ≥15 menit
2. Tipe kejang Umum Umum/fokall
3. Berulang dalam satu episode 1 kali > 1 kali
4. Defisit neurologis - ±
5. Riwayat keluarga kejang demam ± ±
6. Riwayat keluarga kejang tanpa demam ± ±
7. Abnormalitas neurologis sebelumnya ± ±

Sebagian besar (63%) kejang demam berupa kejang demam sederhana


dan 35% berupa kejang demam kompleks.
3. EPIDEMIOLOGI
Pendapat para ahli tentang usia penderita saat terjadi bangkitan kejang
demam tidak sama. Pendapat para ahli kejang demam terbanyak terjadi
pada anak usia antara 3 bulan sampai dengan 5 tahun. Menurut The
American Academy of Pediatrics (AAP) usia termuda bangkitan kejang
demam adalah usia 6 bulan. Kejang demam merupakan salah satu kelainan
saraf tersering pada anak. Berkisar 2-5% anaka dibawah 5 tahun pernah
mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang
demam terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan
kejang demam terjadi pada anak berusia antara 6 bulan sampai 22 bulan.
Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.
Di berbagai negara, insiden dan prevalensi kejang demam berbeda. Di
Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2-5%. Di Asia
prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan di
Eropa dan di Amerika. Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3-9,9%.
Bahkan di Kepulauan Mariana (Guam), telah dilaporkan insidensi kejang
demam yang lebih besar mencapai 14%. Angka kematian mencapai 0,64%-
0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna,
sebagian kecil berkembang menjadi epilepsi sebanyak 2-7%. 4% penderita
kejang demam secara bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan
penurunan tingkat intelegensi.

4. ETIOLOGI
Penyebab kejang demam menurut Rishda (2014), yaitu:
Faktor-faktor perinatal, malformasi otak kongenital
a. Faktor genetika
Faktor keturunan jadi salah satu penyebab terjadinya kejang demam,
25-5-% anak yang mengalami kejang demam memiliki anggota
keluarga yang pernah mengalami kejang demam.
b. Penyakit infeksi
1) Bakteri: penyakit pada traktus respiratorius, pharingitis, tonsilitis,
otitis media
2) Virus: varicella (cacar), morbili (campak), dengue (virus penyebab
demam berdarah)
c. Demam
Kejang demam cenderung timbul dalam 24 jam pertama pada waktu
sakit dengan demam tinggi.
d. Gangguan metabolisme
Gangguan metabolisme seperti uremia, hipoglikemia, kadar gula
darah kurah dari 30mg% pada neonatus cukup bulan dan kurang dari
20mg% pada bayi dengan berat badan lahir rendah atau
hiperglikemia.
e. Trauma
Kejang berkembang pada minggu pertama setelah kejadian cedera
kepala
f. Neoplasma toksin
Neoplasma dapat menyebabkan kejang pada usia berapa pun,
namun mereka merupakan penyebab yang sangat penting dari kejang
pada usia pertengahan dan kemudian ketika insiden penyakit
neoplastik meningkat.
g. Gangguan sirkulasi
h. Penyakit degeneratif susunan saraf

5. FAKTOR RESIKO
Terdapat enam faktor yang berperan dalam faktor resiko kejang demam,
yaitu demam, usia, riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil,
riwayat pre-eklamsi pada ibu, hamil primi/multipara, pemakaian bahan toksik),
faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan, partus lama,
cara lahir) dan faktor postnatal (kejang akibat toksik, trauma kepala)
a. Faktor demam
Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas
37,8°C aksila atau >38,3°C rektal. Demam dapat disebabkan oleh
berbagai sebab, tetapi pada anak tersering disebabkan oleh infeksi.
Demam merupakan faktor utama timbul bangkitan kejang demam.
Demam disebabkan oleh infeksi virus yang merupakan penyebab
terbanyak timbul bangkitan kejang demam (80%).
Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai
ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh
berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi
ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celcius akan
meningkatkan metabolisme karbohidrat 10-15%, sehingga dengan
adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan
kebutuhanglukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan dapat
mengakibatkan hipoksi jaringan otak. Pada eadaan metabolisme di
siklus Kreb normal, satu molekul glukosa akan mengahsilkan 38 ATP,
sedangkan pada keadaan hipoksi jaringan metabolisme berjalan
anaerob, satu molekul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP,
sehingga pada keadaan hipoksi akan kekurangan energi.
b. Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu neurulasi,
perkembangan prosensefali, proliferasi neuron, migrasi neural,
organisasi dan mielinisasi. Arnold (2000) dalam penelitiannya
mengidentifikasi bahwa sebanyak 4% anak akan mengalami kejang,
terjadi dalam satu kelompok usia anatara 3 bulan sampai dangan 5
tahun dengan demam atau tanpa infeksi intrakranial, sebagian besar
(90%) kasus terjadi pada anak antara usia 6 bulan sampai dengan 5
tahun dengan kejadian paling sering pada anak usia 18 bulan sampai
24 bulam. Faktor riwayat keluarga yang positif kejang demam
sebanyak 25% dari anak yang mengalami kejang demam. Faktor
resiko yang paling penting adalah usia, sebanyak 50% anak
mengalami kejang demam yang berulang pada usia kurang dari 1
tahun dibandingkan dengan hanya 20% anak pada usia lebih dari 3
tahun.
c. Faktor riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat geetik terkait dengan
kejang demam. Tetapi nampaknya pewarisan gen secara autosomal
dominan paling banyak ditemukan. Penetrasi autosomal dominan
diperkirakan sekitar 60%-80%. Apabila salah satu orangtua penderita
dengan riwayat pernah menderita kejang demam mempunyai risiko
untuk terjadi bangkitan demam sebesar 20-22%. Dan apabila kedua
orangtua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita
kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan demam meningkat
menjadi 59-64%, tetapi sebaliknya apabila kedua orangtuanya tidak
mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko
terjadi kejang demam hanya 9%. Pewarisan kejang demam lebih
banyak banyak oleh ibu dibandingkan ayah, yaitu 27% berbanding
7%.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bethune et al di Halifax, Nova
Scosia, Canada mengemukakan bahwa 17% kejadian kejang demam
dipengaruhi oleh faktor ketuunan. Hal ini juga didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Telebian et al yang memperoleh hasil bahwa
sebesar 42,1% kejadian kejang demam pada bayi disebabkan oleh
riwayat keluarga yang positif kejang demam.
d. Faktor prenatal
1) Usia saat ibu hamil
Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan
bayi yang akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih
dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi
kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan
dapat menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit
persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan janin dengan asfiksia yang akan mengakibatkan
terjadinya hipoksia dan iskemia.
Penelitian yang dilakukan oleh Richardson et al (2000) di Brigham
and Women Hospital Amerika terhadap 152 kejadian kontrol dan
38 kejadian kasus kejang demam pada bayi yang orangtuanya
sebagai pekerja mendapatkan hasil bahwa usia ibu hamil kurang
dari 20 tahun sebanyak 3 (7,9%) kejadian kasus dan 11 (7,2%)
pada kejadian kontrol, pada usia ibu hamil antara 20 sampai
dengan 29 tahun terdapat 11 (29%) pada kejadian kasus dan 54
(35,5%) pada kejadian kontrol. Pada usia ibu hamil antara 30
sampai dengan 34 tahun terdapat 13 (34,2%) pada kejadian kasus
dan 59 (38,8%) pada kejadian kontrol, sedangkan pada usia ibu
hamil >35 tahun terdapat 11 (29%) pada kejadian kasus dan
sebanyak 28 (18,4%) pada kejadian kontrol.
2) Kehamilan dengan eklamsi
Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa
dan eklamsi dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsi
dapat terjadi pada kehamilan primipara atau usia pada saat hamil
diatas 30 tahun. Penelitian terhadap penderita kejang pada anak,
mendapatkan angka penyebab karena eklamsi sebesar (9%).
Penelitian yang dilakukan oleh Vestergard et al (2003)
mengidentifikasi sebanyak 8 (0,97%) mengalami eklamsi dari
1.012 anak yang mengalami kejang demam di Denmark pada
tahun 1998.
3) Kehamilan primipara atau multipara
Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Insiden
kejang ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini
kemungkinan besar disebabkan pada primipara lebih sering terjadi
penyulit persalinan. Penyulit persalinan (partus lama, persalinan
dengan alat, kelainan letak) dapat terjadi juga pada kehamilan
multipara (kehamilan dan melahirkan bayi hidup lebih dari 4 kali).
Penyulit persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi
kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga
terjadu perdarahan atau oedema otak. Keadaan ini dapat
menimbulkan kerusakan otak dengan kejang sebagai manifestasi
klinisnya.
4) Pemakaian bahan toksik
Kelaianan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu
seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak
janin, mengalami infeksi, minum alkohol, atau mengalami cedera
atau mendapat penyinaran bisa menyebabkan kejang. Merokok
dapat mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin, bukti
ilmiah menunjukkan bahwa merokok selama kehamilan
meningkatkan resiko kerusakan janin.
e. Faktor perinatal
1) Asfiksia
2) BBLR
3) Kelahiran prematur atau postmatur
4) Partus lama
5) Persalinan dengan alat (forcep, vakum, seksio sesaria)
6) Perdarahan intrakranial
f. Faktor paskanatal
1) Infeksi susunan saraf pusat
2) Trauma kepala/cedera kepala
3) Kejang akibat toksik
4) Gangguan metabolik

6. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Wulandari & Erawat (2016) menaifestasi kejang demam yaitu:
a. Kejang demam mempunyai kejadian yag tinggi pada anak yaitu 3-4%
b. Kejang biasanya singkat, berhenti sendiri, banyak dialami oleh anak
laki-laki
c. Kejang timbul dalam 24 jam setelah suhu badan naik diakibatkan
infeksi di susunan saraf pusat seperti otitis media dan bronkitis.
d. Bangkitan kejang berbentuk tonik-klonik
e. Takikardi: pada bayi, frekuensi sering di atas 150-200 kali permenit

7. PATOFISIOLOGI
Terlampir

8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kejang demam menurut Wulandari & Erawati (2016),
yaitu:
a. Penatalaksnaan keperawatan
1) Saat terjadi serangan mendadak yang harus diperhatikan pertama
kali adalah ABC (Aiway, Breathing, Circulation)
2) Setelah ABC aman, baringkan pasien di tempat yang rata untuk
mencegah terjadinya perpindahan posisi tubuh ke arah danger.
3) Kepala dimiringkan dan pasang sundip lidah yang sudah
dibungkus kassa
4) Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasien yang bisa
menyebabkan bahaya.
5) Lepaskan pakaian yang mengganggu pernapasan
6) Bila suhu tinggi berikan kompres hangat
7) Setelah pasien sadar dan terbangun berikan minum air hangat
8) Jangan diberikan selimut tebal karena uap panas akan sulit
dilepaskan
b. Penatalaksanaan medis
1) Bila pasien datang dalam keadaan kejang obat utama adalah
diazepam untuk membrantas kejang secepat mungkin yang diberi
secara IV (intravena), IM (Intramuskular), dan rektal. Dosis sesuai
BB <10kg 0,5, 0,75 mg/kg BB dengan minimal dalam spuit 7,5 mg,
>20 kg: 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata dipakai 0,3mg/kg BB/kali
dengan maksimal 5 mg pada anak berumur kurang dari 5 tahun
dan 10 mg pada anak yang lebih besar
2) Untuk mencegah edema otak, berikan kortikosteroid dengan dosis
20-30 mg/kg BB/hari dan dibagi dalam 3 dosis atau sebaiknya
glukortikoid misalnya deksametason 0,5-1 ampul setiap 6 jam
3) Setelah kejang teratasi dengan diazepam selama 45-60 menit
disuntikkan antipileptik dengan daya kerja lama misalnya
fenoberbital, defenilhidation diberikan secara intramuskuler. Dosis
awal neonatus 30 mg, umur 1 bulan – 1 tahun 50 mg, umur > 1
tahun 75 mg.

9. KOMPLIKASI

Komplikasi kejang demam menurut Waskitho (2013) adalah:


a. Kerusakan neurotransmiter
Lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas
ke seluruh sel ataupun membrane sel yang menyebabkan kerusakan
pada neuron
b. Epilepsi
Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat
serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di
kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan
c. Kelainan anatomi di otak
Serangan kejang yang berlangsung lama yang dapat menyebabkan
kelainan di otak yang lebih banyak terjadi pada anak berumur 4 bulan
sampai 5 tahun.
d. Kecacatan atau kkarena disertai demam
10. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK KEJANG DEMAM
A. Pengkajian
a. Anamnesis
1) Identitas pasien
Meliputi nama lengkap, tempat tinggal, jenis kelamin, tanggal lahir,
umur, tempat lahir, asal suku bangsa, agama, nama orang tua,
pekerjaan orang tua, penghasilan orang tua. Wong (2009),
mengatakan kebanyakan serangan kejang demam terjadi setelah
usia 6 bulan dan biasanya sebelum 3 tahun dengan peningkatan
frekuensi serangan pada anak-anak yang berusia kurang dari 18
bulan.
2) Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
Biasanya anak mengalami peningkatan suhu tubuh >38,0⁰C,
pasien mengalami kejang dan bahkan pada pasien dengan
kejang demam kompleks biasanya mengalami penurunan
kesadaran.
b) Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya orang tua klien mengatakan badan anaknya terasa
panas, nafsu makan anaknya berkurang, lama terjadinya
kejang biasanya tergantung pada jenis kejang demam yang
dialami anak.
c) Riwayat Kesehatan
- Riwayat perkembangan anak : biasanya pada pasien dengan
kejang demam kompleks mengalami gangguan keterlambatan
perkembangan dan intelegensi pada anak serta mengalami
kelemahan pada anggota gerak (hemifarise).
- Riwayat imunisasi : Biasanya anak dengan riwayat imunisasi
tidak lengkap rentan tertular penyakit infeksi atau virus seperti
virus influenza.
- Riwayat nutrisi : Saat sakit, biasanya anak mengalami
penurunan nafsu makan karena mual dan muntahnya.
b. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum biasnaya anak rewel dan kesadaran compos
mentis
2) TTV
Suhu : biasanya >38,0⁰C
Respirasi: pada usia 2- < 12 bulan : biasanya > 49 kali/menit
Pada usia 12 bulan - <5 tahun : biasanya >40 kali/menit
Nadi : biasanya >100 x/i
3) BB
Biasanya pada anak dengan kejang demam tidak terjadi
penurunan
Berat badan yang berarti
4) Kepala
Biasanya tampak simetris dan tidak ada kelainan yang tampak
5) Mata
Biasanya simetris kiri-kanan, skelera tidak ikhterik, konjungtiva
anemis.
6) Mulut dan lidah
Biasanya mukosa bibir tampak kering, tonsil hiperemis, lidah
tampak kotor
7) Telinga
Biasanya bentuk simetris kiri-kanan, normalnya pili sejajar dengan
katus mata, keluar cairan, terjadi gangguan pendengaran yang
bersifat sementara, nyeri tekan mastoid.
8) Hidung
Biasanya penciuman baik, tidak ada pernafasan cuping hidung,
bentuk simetris, mukosa hidung berwarna merah muda.
9) Leher
Biasanya terjadi pembesaran KGB
10) Dada
a) thoraks
- Inspeksi, biasanya gerakan dada simetris, tidak ada penggunaan otot
bantu pernapasan
- Palpasi, biasanya vremitus kiri kanan sama
- Auskultasi, biasanya ditemukan bunyi napas tambahan seperti ronchi.
b) Jantung
Biasanya terjadi penurunan atau peningkatan denyut jantung
I: Ictus cordis tidak terlihat
P: Ictus cordis di SIC V teraba
P: batas kiri jantung : SIC II kiri di linea parastrenalis kiri
(pinggang jantung), SIC V kiri agak ke mideal linea
midclavicularis kiri.
Batas bawah kanan jantung disekitar ruang intercostals III-IV
kanan, dilinea parasternalis kanan, batas atasnya di ruang
intercosta II kanan linea parasternalis kanan.
A: BJ II lebih lemah dari BJ I
11) Abdomen
biasanya lemas dan datar, kembung
12) Anus :
biasanya tidak terjadi kelainan pada genetalia anak
13) Ekstermitas
a) Atas : biasanya tonus otot mengalami kelemahan, CRT > 2
detik, akral dingin.
b) Bawah : biasanya tonus otot mengalami kelemahan, CRT > 2
detik, akral dingin.
c. Penilaian tingkat kesadaran
1) Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang
keadaan sekelilingnya, nilai GCS: 15-14.
2) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh, nilai GCS: 13 - 12.
3) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal,
nilai GCS: 11 - 10.
4) Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat
pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur
lagi, mampu memberi jawaban verbal, nilai GCS: 9 – 7.
5) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi
ada respon terhadap nyeri, nilai GCS: 6 – 4.
6) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun
reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap
cahaya), nilai
GCS: ≤ 3.
d. Penilaian kekuatan otot

Respon Skala

Kekuatan otot tidak ada 0

Tidak dapat digerakkan, tonus otot ada 1

Dapat digerakkan, mampu terangkat sedikit 2

Terangkat sedikit < 450, tidak mampu melawan 3


gravitasi

Bisa terangkat, bisa melawan gravitasi, namun tidak 4


mampu mmelawan tahanan pemeriksa, gerakan
tidak terkoordinasi
Kekuatan otot normal 5

(Sumber: Wijaya dan Yessi. 2013)


e. Pemeriksaan penunjang
Menurut Dewi (2011) :
a) EEG(Electroencephalogram)
Pemeriksaan EEG dibuat 10-14 hari setelah bebas panas tidak
menunjukan kelainan likuor. Gelombang EEG lambat didaerah
belakang dan unilateral menunjukan kejang demam kompleks.
b) Lumbal Pungsi
Fungsi lumbar merupakan pemeriksaan cairan yang ada di otak
dan kanal tulang belakang (cairan serebrospinal) untuk meneliti
kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang
demam pertama pada bayi (usia<12 bulan) karena gejala dan
tanda meningitis pada bayi mungkin sangat minimal atau tidak
tampak. Pada anak dengan usia > 18 bulan, fungsi lumbal
dilakukan jika tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada
riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat.
c) Neuroimaging
Yang termasuk pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah
CTScan, dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada
kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.
Pemeriksaan tersebut dianjurkan bila anak menujukkan kelainan
saraf yang jelas, misalnya ada kelumpuhan, gangguan
keseimbangan, sakit kepala yang berlebihan, ukuran lingkar
kepala yang tidak normal.
d) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ini harus ditujukan untuk mencari
sumber demam, bukan sekedar pemeriksaan rutin.
Pemeriksaannya meliputi pemeriksaaan darah rutin, kadar
elektrolit, kalsium, fosfor, magnesium, atau gula darah.

B. Diagnosa Keperawatan yang Muncul


1. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
peningkatan sirkulasi otak
3. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensasi
4. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi perfusi
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
hipoksemia
6. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan kesadaran
7. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan gangguan
neurologis atau kejang
8. Resiko keterlambatan perkembangan berhubungan dengan gangguan
kejang

C. Intervensi Keperawatan
No. NANDA NOC NIC
1. Hipertermia a. Termoregulasi Perawatan demam
Batasan Kriteria hasil : 1. Pantau suhu dan tanda-
karakteristik 1) Merasa merinding tanda vital lainya
a. Apnea saat dingin 2. Monitor warna kulit dan suhu
b. Bayi tidak dapat 2) Berkeringat saat 3. Monitor asupan dankeluaran,
mempertahankan panas sadari perubahan kehilangan
menyusu 3) Tingkat pernapasan cairan yang tak di rasakan
c. Gelisah 4) Melaporkan 4. Beri obat atau cairan IV
d. Hipotensi kenyamanan suhu 5. Tutup pasien dengan selimut
e. Kulit 5) Perubahan warna atau pakaian ringan
kemerahan kulit 6. Dorong konsumsi cairan
f. Kulit terasa 6) Sakit kepala 7. Fasilitasi istirahat, terapkan
hangat pembatasan aktivitas jika di
g. Latergi perlukan
8. Berikan oksigen yang sesuai
h. Kejang
9. Tingkatkan sirkulasi udara
i. Koma 10. Mandikan pasien dengan
j. Stupor spon hangat dengan hati-hati.
k. Takikardia
l. Takipnea Pengaturan suhu
m. Vasodilatasi 1. monitor suhu paling tidak
setiap 2 jam sesuai kebutuhan
Faktor yang 2. monitor dan laporkan adanya
berhubungan tanda gejala hipotermia dan
a. Peningkatan hipertermia
laju 3. tingkatka intake cairan dan
metabolisme nutrisi adekuat
b. Penyakit 4. berikan pengobatan
c. Sepsis antipiretik sesuai kebutuhan.

Manajemen pengobatan
1. Tentukan obat apa yang di
perlukan, dan kelola menurut
resep dan/atau protokol
2. Monitor efektivitas cara
pemberian obat yang sesuai.

Manajemen kejang
1. Pertahankan jalan nafas
2. Balikkan badan pasien ke
satu sisi
3. Longgarkan pakaian
4. Tetap disisi pasien selama
kejang
5. Catat lama kejang
6. Monitor tingkat obat-obatan
anti epilepsi dengan benar.

2. Ketidakefektifan a. Status sirkulasi Terapi oksigen


perfusi jaringan 1) Tekanan darah sistol 1. Periksa mulut, hidung, dan
serebral 2) Tekanan darah diastol sekret trakea
Faktor resiko 3) Tekanan nadi 2. Pertahankan jalan napas
a. Gangguan 4) PaO2 (tekanan parsial yang paten
serebrovaskuler oksigen dalam darah arteri) 3. Atur peralatan oksigenasi
b. penyakit 5) PaCO2 (tekanan parsial 4. Monitor aliran oksigen
neurologis Karbondioksida dalam 5. Pertahankan posisi pasien
darah arteri 6. Observasi tanda-tanda
6) Saturasi oksigen hipoventilasi
7) Urine output 7. Monitor adanya kecemasan
8) Capillary refill. pasien terhadap oksigenasi.

b. Status neurologi Manajemen edema


1) Kesadaran serebral
2) Fungsi sensorik dan 1. Monitor adanya
motorik kranial kebingungan, perubahan
3) Tekanan pikiran, keluhan pusing,
intrakranial pingsan
4) Ukuran pupil 2. Monitor tanda-tanda vital
5) Pola istirahat-tidur 3. Monitor karakteristik cairan
6) Orientasi kognitif serebrospinal : warna,
7) Aktivitas kejang kejernihan,konsistensi
8) Sakit kepala. 4. Monitor status pernapasan:
frekuensi, irama, kedalaman
pernapasan, PaO2,PaCO2, pH,
Bicarbonat
5. Catat perubahan pasien
dalam berespon terhadap
stimulus
6. Berikan anti kejang sesuai
kebutuhan
7. Batasi cairan
8. Dorong keluarga/orang yang
penting untuk bicara pada
pasien
9. Posisikan tinggi kepala 30°
atau lebih.

Monitoring peningkatan
intrakranial
1. Monitor tekanan perfusi
serebral
2. Monitor jumlah, nilai dan
karakteristik pengeluaran cairan
serebrispinal (CSF)
3. Monitor intake dan output
4. Monitor suhu dan jumlah
leukosit
5. Periksa pasien terkait ada
tidaknya gejala kaku kuduk
6. Berikan antibiotik
7. Letakkan kepala dan leher
pasien dalam posisi netral,
hindari fleksi pinggang yang
berlebihan
8. Sesuaikan kepala tempat
tidur untuk mengoptimalkan
perfusi serebral
9. Berikan agen farmakologis
untuk mempertahankan TIK
dalam jangkauan tertentu.

Monitor tanda-tanda
vital
1. Monitor tekanan darah, nadi,
suhu dan status pernapasan
dengan cepat
2. Monitor kualitas dari nadi
3. Monitor frekuensi dan irama
pernapasan
4. Monitor pola pernapasan
abnormal (misalnya,
cheynestokes, kussmaul,
biot,apneustic,ataksia dan
bernapas berlebihan)
5. Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
6. Monitor adanya cushling triad
(tekanan nadi yang melebar,
bradikardi, peningkatan sistolik)
7. Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign.

3. Resiko cidera a. Kontrol resiko Manajemen lingkungan


Faktor resiko Kriteria hasil : 1. Sediakan lingkungan
1) Eksternal 1) Klien terbebas dari yang aman untuk pasien
a) Gangguan cidera 2. Identifikasi kebutuhan
fungsi 2) Klien mampu keamanan pasien sesuai
kognitif menjelaskan cara atau dengan kondisi fisik
b) Agens metode untuk 3. Dan fungsi kognitif pasien
nosokomial mencegah cidera dan riwayat penyakir dahulu
2) Internal 3) Klien mampu pasien
a) Hipoksia menjelaskan faktor 4. Memasang side rail tempat
jaringan resiko dari tidur
b) Gangguan lingkungan 5. Menyediakan tempat tidur
sensasi (akibat dari 4) Menggunakan yang aman dan bersih
cedera medula fasilitas kesehatan 6. Membatasi pengunjunng
spinalis, dll) yang ada 7. Memberikan penerangan
c) Malnutrisi. 5) Mampu mengenali yang cukup
perubahan status 8. Berikan penjelasan pada
kesehatan. pasien dan keluarga atau
b. Kejadian jatuh pengunjung adanya perubahan
1) Jatuh dari tempat status kesehatan dan penyebab
tidur penyakit.
2) Jatuh saat di
pindahkan. Manajemen kejang
1. Pertahankan jalan nafas
2. Balikkan badan pasien ke
satu sisi
3. Longgarkan pakaian
4. Tetap disisi pasien selama
kejang
5. Catat lama kejang
6. Monitor tingkat obatobatan
anti epilepsi dengan benar.

Pencegahan jatuh
1. Identifikasi perilaku dan
faktor yang mempengaruhi
resiko jatuh
2. Sediakan pengawasan
ketat dan /atau alat pengikatan

Sumber : Nanda Internasional (2015-2017) & NIC-NOC (2016)


PATHWAY
DAFTAR PUSTAKA

Allen, K. Ellen & Lynn. R. Marrotz.2010.Profil Perkembangan Anak: prakelahiran


hingga usia 12 tahun.ed 5.alih bahasa valentin.Jakarta:Indeks.
Carpenito- Moyet, Lynda Juall.2006.Buku Saku Diagnosis Keperawatan/ Lynda
Juall Carpenito- Moyet,ed 10. alih bahasa, Yasmin Asih.Jakarta: EGC.
Hasan, Rusepno.2007.Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta:Info Medika.
Kliegman, Robert M.2007.Nelson textbook of Pediatrics. Ed 18. Philadelphia:
Saunders Esevier.
Kozier, Barbara.2011.Buku Ajar Fundamental Keperawatan: konsep, proses,
dan praktik, ed 7.alih bahasa, Pamilih Eko Karyuni.Jakarta: EGC.
Markam, Sumarmo.2009.Penuntun Neurologi.Tangerang:Binarupa Aksara.
Marmi & Kukuh Raharjo.2012.Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak
Prasekolah.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Meadow, Sir. R & Simon J. Newell.2006.Lectur Notes on Pediatrics.ed. 7.alih
bahasa, dr. Kripti Hartini & dr. Asri Dwi Rahmawati.Jakarta:Penerbit
Erlangga.
Prince, Sylvia.A & Lorraine M. Wilsom.2006.Patofisiologi: Konsep klinis, proses-
proses penyakit.ed 6.alih bahasa, Brahm U. Pendit.Jakarta:EGC.
Pudiastuti, Ratna. D.2011.Waspadai Penyakit Pada Anak.Jakarta:Indeks.
Potter, P.A & Perry, A.G.2005.Buku Ajar Fundamental Keperawatan:konsep,
proses, dan praktik/patricia A.Potter, Anne Griffin Perry.ed 4.alih bahasa
Yasmin Asih.Jakarta:EGC.
Sodikin.2012.Prinsip Perawatan Demam Pada Anak.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
White, Judy E & Marry ann Hogan.2004.Child Health Nursing.New York: Prentice
Hall.

Anda mungkin juga menyukai