Oleh:
Siti Latifah
NIM. 180070300111026
Kelompok 2A
LAPORAN PENDAHULUAN
“KEJANG DEMAM”
Oleh :
Siti Latifah 180070300111026
Kelompok 2A
Menyetujui,
(……………....……………..) (……………………..………..)
1. DEFINISI
2. KLASIFIKASI
Klasifikasi kejang demam dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Kejang demam sederhana
Kejang demam yang berlangsung singkat kurang dari 15 menit, dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk tonik dan klonik,
tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.
b. Kejang demam kompleks
Kejang lama lebih dari 15 menit, kejang fokal atau persial, kejang
berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam (Wulandari & Erawati, 2016).
Tabel 1.1 Perbedaan kejang demam sederhana dan kompleks
No Klinis KD sederhana KD kompleks
1. Durasi <15 menit ≥15 menit
2. Tipe kejang Umum Umum/fokall
3. Berulang dalam satu episode 1 kali > 1 kali
4. Defisit neurologis - ±
5. Riwayat keluarga kejang demam ± ±
6. Riwayat keluarga kejang tanpa demam ± ±
7. Abnormalitas neurologis sebelumnya ± ±
4. ETIOLOGI
Penyebab kejang demam menurut Rishda (2014), yaitu:
Faktor-faktor perinatal, malformasi otak kongenital
a. Faktor genetika
Faktor keturunan jadi salah satu penyebab terjadinya kejang demam,
25-5-% anak yang mengalami kejang demam memiliki anggota
keluarga yang pernah mengalami kejang demam.
b. Penyakit infeksi
1) Bakteri: penyakit pada traktus respiratorius, pharingitis, tonsilitis,
otitis media
2) Virus: varicella (cacar), morbili (campak), dengue (virus penyebab
demam berdarah)
c. Demam
Kejang demam cenderung timbul dalam 24 jam pertama pada waktu
sakit dengan demam tinggi.
d. Gangguan metabolisme
Gangguan metabolisme seperti uremia, hipoglikemia, kadar gula
darah kurah dari 30mg% pada neonatus cukup bulan dan kurang dari
20mg% pada bayi dengan berat badan lahir rendah atau
hiperglikemia.
e. Trauma
Kejang berkembang pada minggu pertama setelah kejadian cedera
kepala
f. Neoplasma toksin
Neoplasma dapat menyebabkan kejang pada usia berapa pun,
namun mereka merupakan penyebab yang sangat penting dari kejang
pada usia pertengahan dan kemudian ketika insiden penyakit
neoplastik meningkat.
g. Gangguan sirkulasi
h. Penyakit degeneratif susunan saraf
5. FAKTOR RESIKO
Terdapat enam faktor yang berperan dalam faktor resiko kejang demam,
yaitu demam, usia, riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil,
riwayat pre-eklamsi pada ibu, hamil primi/multipara, pemakaian bahan toksik),
faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan, partus lama,
cara lahir) dan faktor postnatal (kejang akibat toksik, trauma kepala)
a. Faktor demam
Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas
37,8°C aksila atau >38,3°C rektal. Demam dapat disebabkan oleh
berbagai sebab, tetapi pada anak tersering disebabkan oleh infeksi.
Demam merupakan faktor utama timbul bangkitan kejang demam.
Demam disebabkan oleh infeksi virus yang merupakan penyebab
terbanyak timbul bangkitan kejang demam (80%).
Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai
ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh
berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi
ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celcius akan
meningkatkan metabolisme karbohidrat 10-15%, sehingga dengan
adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan
kebutuhanglukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan dapat
mengakibatkan hipoksi jaringan otak. Pada eadaan metabolisme di
siklus Kreb normal, satu molekul glukosa akan mengahsilkan 38 ATP,
sedangkan pada keadaan hipoksi jaringan metabolisme berjalan
anaerob, satu molekul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP,
sehingga pada keadaan hipoksi akan kekurangan energi.
b. Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu neurulasi,
perkembangan prosensefali, proliferasi neuron, migrasi neural,
organisasi dan mielinisasi. Arnold (2000) dalam penelitiannya
mengidentifikasi bahwa sebanyak 4% anak akan mengalami kejang,
terjadi dalam satu kelompok usia anatara 3 bulan sampai dangan 5
tahun dengan demam atau tanpa infeksi intrakranial, sebagian besar
(90%) kasus terjadi pada anak antara usia 6 bulan sampai dengan 5
tahun dengan kejadian paling sering pada anak usia 18 bulan sampai
24 bulam. Faktor riwayat keluarga yang positif kejang demam
sebanyak 25% dari anak yang mengalami kejang demam. Faktor
resiko yang paling penting adalah usia, sebanyak 50% anak
mengalami kejang demam yang berulang pada usia kurang dari 1
tahun dibandingkan dengan hanya 20% anak pada usia lebih dari 3
tahun.
c. Faktor riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat geetik terkait dengan
kejang demam. Tetapi nampaknya pewarisan gen secara autosomal
dominan paling banyak ditemukan. Penetrasi autosomal dominan
diperkirakan sekitar 60%-80%. Apabila salah satu orangtua penderita
dengan riwayat pernah menderita kejang demam mempunyai risiko
untuk terjadi bangkitan demam sebesar 20-22%. Dan apabila kedua
orangtua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita
kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan demam meningkat
menjadi 59-64%, tetapi sebaliknya apabila kedua orangtuanya tidak
mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko
terjadi kejang demam hanya 9%. Pewarisan kejang demam lebih
banyak banyak oleh ibu dibandingkan ayah, yaitu 27% berbanding
7%.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bethune et al di Halifax, Nova
Scosia, Canada mengemukakan bahwa 17% kejadian kejang demam
dipengaruhi oleh faktor ketuunan. Hal ini juga didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Telebian et al yang memperoleh hasil bahwa
sebesar 42,1% kejadian kejang demam pada bayi disebabkan oleh
riwayat keluarga yang positif kejang demam.
d. Faktor prenatal
1) Usia saat ibu hamil
Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan
bayi yang akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih
dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi
kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan
dapat menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit
persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan janin dengan asfiksia yang akan mengakibatkan
terjadinya hipoksia dan iskemia.
Penelitian yang dilakukan oleh Richardson et al (2000) di Brigham
and Women Hospital Amerika terhadap 152 kejadian kontrol dan
38 kejadian kasus kejang demam pada bayi yang orangtuanya
sebagai pekerja mendapatkan hasil bahwa usia ibu hamil kurang
dari 20 tahun sebanyak 3 (7,9%) kejadian kasus dan 11 (7,2%)
pada kejadian kontrol, pada usia ibu hamil antara 20 sampai
dengan 29 tahun terdapat 11 (29%) pada kejadian kasus dan 54
(35,5%) pada kejadian kontrol. Pada usia ibu hamil antara 30
sampai dengan 34 tahun terdapat 13 (34,2%) pada kejadian kasus
dan 59 (38,8%) pada kejadian kontrol, sedangkan pada usia ibu
hamil >35 tahun terdapat 11 (29%) pada kejadian kasus dan
sebanyak 28 (18,4%) pada kejadian kontrol.
2) Kehamilan dengan eklamsi
Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa
dan eklamsi dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsi
dapat terjadi pada kehamilan primipara atau usia pada saat hamil
diatas 30 tahun. Penelitian terhadap penderita kejang pada anak,
mendapatkan angka penyebab karena eklamsi sebesar (9%).
Penelitian yang dilakukan oleh Vestergard et al (2003)
mengidentifikasi sebanyak 8 (0,97%) mengalami eklamsi dari
1.012 anak yang mengalami kejang demam di Denmark pada
tahun 1998.
3) Kehamilan primipara atau multipara
Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Insiden
kejang ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini
kemungkinan besar disebabkan pada primipara lebih sering terjadi
penyulit persalinan. Penyulit persalinan (partus lama, persalinan
dengan alat, kelainan letak) dapat terjadi juga pada kehamilan
multipara (kehamilan dan melahirkan bayi hidup lebih dari 4 kali).
Penyulit persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi
kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga
terjadu perdarahan atau oedema otak. Keadaan ini dapat
menimbulkan kerusakan otak dengan kejang sebagai manifestasi
klinisnya.
4) Pemakaian bahan toksik
Kelaianan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu
seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak
janin, mengalami infeksi, minum alkohol, atau mengalami cedera
atau mendapat penyinaran bisa menyebabkan kejang. Merokok
dapat mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin, bukti
ilmiah menunjukkan bahwa merokok selama kehamilan
meningkatkan resiko kerusakan janin.
e. Faktor perinatal
1) Asfiksia
2) BBLR
3) Kelahiran prematur atau postmatur
4) Partus lama
5) Persalinan dengan alat (forcep, vakum, seksio sesaria)
6) Perdarahan intrakranial
f. Faktor paskanatal
1) Infeksi susunan saraf pusat
2) Trauma kepala/cedera kepala
3) Kejang akibat toksik
4) Gangguan metabolik
6. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Wulandari & Erawat (2016) menaifestasi kejang demam yaitu:
a. Kejang demam mempunyai kejadian yag tinggi pada anak yaitu 3-4%
b. Kejang biasanya singkat, berhenti sendiri, banyak dialami oleh anak
laki-laki
c. Kejang timbul dalam 24 jam setelah suhu badan naik diakibatkan
infeksi di susunan saraf pusat seperti otitis media dan bronkitis.
d. Bangkitan kejang berbentuk tonik-klonik
e. Takikardi: pada bayi, frekuensi sering di atas 150-200 kali permenit
7. PATOFISIOLOGI
Terlampir
8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kejang demam menurut Wulandari & Erawati (2016),
yaitu:
a. Penatalaksnaan keperawatan
1) Saat terjadi serangan mendadak yang harus diperhatikan pertama
kali adalah ABC (Aiway, Breathing, Circulation)
2) Setelah ABC aman, baringkan pasien di tempat yang rata untuk
mencegah terjadinya perpindahan posisi tubuh ke arah danger.
3) Kepala dimiringkan dan pasang sundip lidah yang sudah
dibungkus kassa
4) Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasien yang bisa
menyebabkan bahaya.
5) Lepaskan pakaian yang mengganggu pernapasan
6) Bila suhu tinggi berikan kompres hangat
7) Setelah pasien sadar dan terbangun berikan minum air hangat
8) Jangan diberikan selimut tebal karena uap panas akan sulit
dilepaskan
b. Penatalaksanaan medis
1) Bila pasien datang dalam keadaan kejang obat utama adalah
diazepam untuk membrantas kejang secepat mungkin yang diberi
secara IV (intravena), IM (Intramuskular), dan rektal. Dosis sesuai
BB <10kg 0,5, 0,75 mg/kg BB dengan minimal dalam spuit 7,5 mg,
>20 kg: 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata dipakai 0,3mg/kg BB/kali
dengan maksimal 5 mg pada anak berumur kurang dari 5 tahun
dan 10 mg pada anak yang lebih besar
2) Untuk mencegah edema otak, berikan kortikosteroid dengan dosis
20-30 mg/kg BB/hari dan dibagi dalam 3 dosis atau sebaiknya
glukortikoid misalnya deksametason 0,5-1 ampul setiap 6 jam
3) Setelah kejang teratasi dengan diazepam selama 45-60 menit
disuntikkan antipileptik dengan daya kerja lama misalnya
fenoberbital, defenilhidation diberikan secara intramuskuler. Dosis
awal neonatus 30 mg, umur 1 bulan – 1 tahun 50 mg, umur > 1
tahun 75 mg.
9. KOMPLIKASI
Respon Skala
C. Intervensi Keperawatan
No. NANDA NOC NIC
1. Hipertermia a. Termoregulasi Perawatan demam
Batasan Kriteria hasil : 1. Pantau suhu dan tanda-
karakteristik 1) Merasa merinding tanda vital lainya
a. Apnea saat dingin 2. Monitor warna kulit dan suhu
b. Bayi tidak dapat 2) Berkeringat saat 3. Monitor asupan dankeluaran,
mempertahankan panas sadari perubahan kehilangan
menyusu 3) Tingkat pernapasan cairan yang tak di rasakan
c. Gelisah 4) Melaporkan 4. Beri obat atau cairan IV
d. Hipotensi kenyamanan suhu 5. Tutup pasien dengan selimut
e. Kulit 5) Perubahan warna atau pakaian ringan
kemerahan kulit 6. Dorong konsumsi cairan
f. Kulit terasa 6) Sakit kepala 7. Fasilitasi istirahat, terapkan
hangat pembatasan aktivitas jika di
g. Latergi perlukan
8. Berikan oksigen yang sesuai
h. Kejang
9. Tingkatkan sirkulasi udara
i. Koma 10. Mandikan pasien dengan
j. Stupor spon hangat dengan hati-hati.
k. Takikardia
l. Takipnea Pengaturan suhu
m. Vasodilatasi 1. monitor suhu paling tidak
setiap 2 jam sesuai kebutuhan
Faktor yang 2. monitor dan laporkan adanya
berhubungan tanda gejala hipotermia dan
a. Peningkatan hipertermia
laju 3. tingkatka intake cairan dan
metabolisme nutrisi adekuat
b. Penyakit 4. berikan pengobatan
c. Sepsis antipiretik sesuai kebutuhan.
Manajemen pengobatan
1. Tentukan obat apa yang di
perlukan, dan kelola menurut
resep dan/atau protokol
2. Monitor efektivitas cara
pemberian obat yang sesuai.
Manajemen kejang
1. Pertahankan jalan nafas
2. Balikkan badan pasien ke
satu sisi
3. Longgarkan pakaian
4. Tetap disisi pasien selama
kejang
5. Catat lama kejang
6. Monitor tingkat obat-obatan
anti epilepsi dengan benar.
Monitoring peningkatan
intrakranial
1. Monitor tekanan perfusi
serebral
2. Monitor jumlah, nilai dan
karakteristik pengeluaran cairan
serebrispinal (CSF)
3. Monitor intake dan output
4. Monitor suhu dan jumlah
leukosit
5. Periksa pasien terkait ada
tidaknya gejala kaku kuduk
6. Berikan antibiotik
7. Letakkan kepala dan leher
pasien dalam posisi netral,
hindari fleksi pinggang yang
berlebihan
8. Sesuaikan kepala tempat
tidur untuk mengoptimalkan
perfusi serebral
9. Berikan agen farmakologis
untuk mempertahankan TIK
dalam jangkauan tertentu.
Monitor tanda-tanda
vital
1. Monitor tekanan darah, nadi,
suhu dan status pernapasan
dengan cepat
2. Monitor kualitas dari nadi
3. Monitor frekuensi dan irama
pernapasan
4. Monitor pola pernapasan
abnormal (misalnya,
cheynestokes, kussmaul,
biot,apneustic,ataksia dan
bernapas berlebihan)
5. Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
6. Monitor adanya cushling triad
(tekanan nadi yang melebar,
bradikardi, peningkatan sistolik)
7. Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign.
Pencegahan jatuh
1. Identifikasi perilaku dan
faktor yang mempengaruhi
resiko jatuh
2. Sediakan pengawasan
ketat dan /atau alat pengikatan