LAPORAN PENDAHULUAN
HIRSCHPRUNG
DISUSUN OLEH :
Mutiarani Mahendra
G1B220015
A. Pengertian
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa
aganglionosisusus, mulai dari sfingter anal internal ke arah proksimal dengan
panjang segmen tertentu, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya
sebagian rektum.
B. Epidemiologi
Penyakit Hirschsprung terjadi pada 1:5.000 kelahiran hidup dan merupakan
penyebab tersering obstruksi saluran cerna bagian bawah pada neonatus. Penyakit
yang lebih sering ditemukan memperlihatkan predominasi pada laki-laki
dibandingkan perempuan dengan perbandingan 4:1. Insidens penyakit
Hirschsprung bertambah pada kasus-kasus familial yang rata-rata mencapai
sekitar 6% (berkisar antara 2-18%). Di Jakarta perbandingan ini adalah 3:1. Untuk
penyakit hirschprung segmen panjang rasio lelaki perempuan adalah 1:1. Tidak
terdapat distribusi rasial untuk penyakit ini. Penyakit ini jarang mengenai bayi
dengan riwayat prematuritas. (Lee, 2009).
Berdasarkan batas inferior secara anatomi (internal anal sphincter),
penderita dapat diklasifikasikan menjadi short- dan long-segment disease.
Shortsegment disease merupakan lokasi terbanyak dan mempengaruhi bagian
rectosigmoid pada colon (80% dari seluruh kasus). Sedangkan long-segment
disease kasusnya lebih jarang (kurang lebih 20% kasus) dan mempengaruhi
hampir seluruh bagian colon, tetapi sangat jarang mengenai usus halus.
(Kessmann, 2006; Moore, 2010).
C. Klasifikasi
Penyakit Hirschsprung diklasifikasikan menurut panjang dari segmen
aganglionik:
1. Ultrashort-segment
Ultrashort-segment jarang terjadi. Ultrashort-segment adalah segmen
aganglionik yang terbatas pada spingter internal dan sampai 4 cm dari
rektum bagian distal yang mungkin terlihat normal pada pemeriksaan enema
kontras.
2. Short-segment / classical segment / rectosigmoid
Kira-kira 75% - 80% dari seluruh kasus penyakit Hirschsprung digambarkan
oleh istilah short-segment disease. Bentuk dari penyakit ini dideskripsikan
secara khusus sebagai segmen aganglionik yang mempengaruhi usus bagian
distal hingga ke kolon mid-sigmoid; akan tetapi, ada juga beberapa yang
mendefinisikan short-segment sebagai segmen aganglionik yang
memanjang sampai persimpangan antara kolon sigmoid dan kolon
descending.
3. Long-segment
Pada long-segment, segmen aganglionik meluas hingga melewati batasan
short-segment tetapi tidak mencakup seluruh kolon. Long segment ini
melebihi kolon sigmoid dan melibatkan kolon transverse dan kolon
descending. Long segment disease cenderung dihubungkan dengan riwayat
keluarga yang positif menderita penyakit hirschsprung dan cenderung
didiagnosa sebelum lahir (prenatal).
4. Total Colonic Aganglionosis
Total colonic aganglionosis adalah kondisi yang sangat serius dimana
segmen aganglionik meluas hingga seluruh kolon dan sedikit segmen dari
terminal ileum.
5. Universal Colonic Aganglionosis
Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus.
D. Etiologi
Etiologi Hirschsprung disease merupakan suatu hal yang kompleks karena
merupakan kombinasi dari kegagalan migrasi sel krista saraf dengan peranan
genetik.
1. Gangguan Migrasi Sel Krista Saraf
Sistem saraf pada saluran pencernaan manusia berasal dari sel primordium
sistem saraf pusat yang mulai membelah dan berkembang sejak berada di dalam
kandungan. Semua bagian aksis primordial akan membentuk saraf seluruh tubuh,
namun hanya beberapa bagian dari aksis yang akan membentuk persarafan pada
saluran gastrointestinal. Sel prekursor akan bermigrasi dari sistem saraf pusat
menuju ke usus untuk mengkolonisasi semua bagian usus. Proses migrasi ini
nantinya juga akan diikuti dengan proses diferensiasi menjadi berbagai tipe sel
neuron dan glia yang membentuk sistem persarafan saluran cerna. [1,2,5]
Adanya gangguan atau penghentian pada perpindahan sel krista saraf (neural
crest) menuju ke usus menyebabkan Hirschsprung disease. Kondisi ini biasanya
terjadi pada usia gestasi 5-12 minggu. Semakin awal terhentinya proses migrasi
dari sel, bagian usus yang mengalami kondisi aganglionik juga akan semakin
panjang.[5]
2. Faktor Genetik
Faktor genetik memiliki peran yang penting dalam Hirschsprung disease,
tetapi 70% kasus terjadi secara sporadik. Hirschsprung memiliki keterkaitan yang
sangat erat dengan kelainan kongenital dan sindrom lain, serta gangguan pada
kromosom. Selain itu, risiko Hirschsprung disease meningkat dalam keluarga dan
beberapa studi menunjukkan adanya pola pewarisan secara mendel.6
Beberapa gen yang memiliki keterlibatan dalam penyakit hirschsprung, antara
lain RET, GDNF, GFRa1, NRTN, EDNRB, ET3, ZFHX1B, PHOX2b, SOX10,
dan SHH. Semua gen tersebut merupakan gen yang berperanan dalam
pembentukan krista saraf sehingga adanya mutasi pada gen tersebut akan
menyebabkan gangguan perkembangan saraf yang dapat
menyebabkan Hirschsprung disease.7
3. Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya Hirschsprung disease, antara lain6,8:
a. Riwayat keluarga dengan Hirschsprung disease
b. Kelainan kongenital, seperti trisomy 21, trisomi 18 mosaik, delesi distal
13q, dan delesi parsial 2p. Penderita sindrom down memiliki risiko 40
kali lebih besar menderita penyakit ini dibandingkan dengan populasi
normal.
c. Sindroma kongenital, seperti neuroblastoma, sindrom Waardenburg, dan
sindrom Bardet-Biedl
d. Obesitas maternal saat kehamilan
e. Kondisi hipotiroid ibu saat hamil
f. Paritas ≥ 3
E. Patofisiologi
Dalam keadaan normal, bahan makanan yang dicerna dapat berjalan di
sepanjang usus karena adanya kontraksi rtmis dari otot-otot yang melapisi usus
(kontraksi Ritmis ini disebutkan gerakan peristaltik). Kontraksi otot-otot tersebut
dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut gangglion, yang terletak dibawah
lapisan otot. Pada penyakit Hirschcprung, ganglion/pleksus yang memerintahkan
gerakan peristaltik tidak ada, biasanya hanya sepanjang beberapa sentimeter.
Segmen usus yang tidak memiliki gerakan peristaltik tidak dapat mendorong
bahan-bahan yang dicerna sehingga terjadi penyumbatan. Dengan kondisi tidak
adanya ganglion, maka akan memberikan manifestasi gangguan atau tidak adanya
peristaltis sehingga akan terjadinya tidak adanya evakuasi usus spontan. Selain
itu, sfingter rektum tidak dapat berelaksasi secara optimal, kondisi ini dapat
mencegah keluarnya fases secara normal. Isi usus kemudian terdorong ke segmen
aganglionik dan terjadi akumulasi di daerah tersebut sehingga memberikan
manifestasi dilatasi usus pada bagian proksimal.
F. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia
gejala klinis mulai terlihat :
Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium
yang terlambat, muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen. Terdapat 90% lebih
kasus bayi dengan penyakit Hirchsprung tidak dapat mengeluarkan mekonium
pada 24 jam pertama, kebanyakan bayi akan mengeluarkan mekonium setelah 24
jam pertama (24-48 jam). Muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen biasanya
dapat berkurang apabila mekonium dapat dikeluarkan segera. Bayi yang
mengonsumsi ASI lebih jarang mengalami konstipasi, atau masih dalam derajat
yang ringan karena tingginya kadar laktosa pada payudara, yang akan
mengakibatkan feses jadi berair dan dapat dikeluarkan dengan mudah. (Kessman,
2008)
Anak
Walaupun kebanyakan gejala akan muncul pada bayi, namun ada beberapa
kasus dimana gejala-gejala tersebut tidak muncul hingga usia kanak-kanak
(Lakhsmi, 2008). Gejala yang biasanya timbul pada anak-anak yakni, konstipasi
kronis, gagal tumbuh, dan malnutrisi. Pergerakan peristaltik usus dapat terlihat
pada dinding abdomen disebabkan oleh obstruksi fungsional kolon yang
berkepanjangan. Selain obstruksi usus yang komplit, perforasi sekum, fecal
impaction atau enterocolitis akut yang dapat mengancam jiwa dan sepsis juga
dapat terjadi (Kessman, 2008).
Pada masa pertumbuhan (usia 1 -3 tahun) :
1. Tidak dapat meningkatkan berat badan
2. Konstipasi (sembelit)
3. Pembesaran perut (perut menjadi buncit)
4. Diare cair yang keluar seperti disemprot
5. Demam dan kelelahan adalah tanda-tanda dari radang usus halus dan
dianggap sebagai keadaan yang serius dan dapat mengancam jiwa.
Pada anak >3 tahun, gejala bersifat kronis :
1. Konstipasi (sembelit)
2. Kotoran berbentuk pita
3. Berbau busuk
4. Pembesaran perut
5. Pergerakan usus yang dapat terlihat oleh mata (seperti gelombang)
6. Menunjukkan gejala kekurangan gizi dan anemia
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Anamnesis
Pada heteroanamnesis, sering didapatkan adanya keterlambatan pengeluaran
mekonium yang pertama, mekonium keluar >24 jam, adanya muntah bilious
(berwarna hijau), perut kembung, gangguan defekasi/ konstipasi kronis,
konsistensi feses yg encer, gagal tumbuh (pada anak-anak), berat badan tidak
berubah bahkan cenderung menurun, nafsu makan menurun, ibu mengalami
polyhidramnion, dan adanya riwayat keluarga. (Hidayat M,2009; Lorijn,2006).
2. Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi, perut kembung atau membuncit di seluruh lapang pandang.
Apabila keadaan sudah parah, akan terlihat pergerakan usus pada dinding
abdomen. Saat dilakukan pemeriksaan auskultasi, terdengar bising usus melemah
atau jarang. Untuk menentukan diagnosis penyakit Hirschsprung dapat pula
dilakukan pemeriksaan rectal touche dapat dirasakan sfingter anal yang kaku dan
sempit, saat jari ditarik terdapat explosive stool (Izadi,2007).
3. Pemeriksan Biopsi
Memastikan keberadaan sel ganglion pada segmen yang terinfeksi,
merupakan langkah penting dalam mendiagnosis penyakit Hirschsprung. Ada
beberapa teknik, yang dapat digunakan untuk mengambil sampel jaringan
rektum. Hasil yang didapatkan akan lebih akurat, apabila spesimen/sampel
adekuat dan diambil oleh ahli patologi yang berpengalaman. Apabila pada
jaringan ditemukan sel ganglion, maka diagnosis penyakit Hirschsprung
dieksklusi. Namun pelaksanaan biopsi cenderung berisiko, untuk itu dapat di
pilih teknik lain yang kurang invasive, seperti Barium enema dan anorektal
manometri, untuk menunjang diagnosis(Lorijn,2006;Schulten,2011).
4. Pemeriksaan Radiologi
Pada foto polos, dapat dijumpai gambaran distensi gas pada usus, tanda
obstruksi usus (Lakhsmi, 2008) Pemeriksaan yang digunakan sebagai standar
untuk menentukan diagnosis Hirschsprung adalah contrast enema atau barium
enema. Pada bayi dengan penyakit Hirschsprung, zona transisi dari kolon bagian
distal yang tidak dilatasi mudah terdeteksi (Ramanath,2008). Pada total
aganglionsis colon, penampakan kolon normal. Barium enema kurang membantu
penegakan diagnosis apabila dilakukan pada bayi, karena zona transisi sering
tidak tampak. Gambaran penyakit Hirschsprung yang sering tampak, antara lain;
terdapat penyempitan di bagian rectum proksimal dengan panjang yang
bervariasi; terdapat zona transisi dari daerah yang menyempit (narrow zone)
sampai ke daerah dilatasi; terlihat pelebaran lumen di bagian proksimal zona
transisi (Schulten,2011).
H. Komplikasi
Komplikasi dapat meliputi:
1. Perforasi usus.
2. Ketidakseimbangan elektrolit.
3. Defisiensi gizi.
4. Enterokolitis.
5. Syok hipovolemik.
6. Sepsis (Kowalak, Welsh, & Mayer, 2014)
I. Penatalaksanaan
1. Pembedahan
2. Konservatif
Kolostomi dikerjakan pada pasien neonatus, pasien anak dan dewasa yang
terlambat didiagnosis dan pasien dengan enterokolitis berat dan keadaan umum
memburuk. Kolostomi dibuat di kolon berganglion normal yang paling distal.
4. Perawatan
Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila
ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara
lain :
1. Pengkajian
a. Informasi identitas/data dasar meliputi, nama, umur, jenis kelamin, agama,
alamat, tanggal pengkajian, pemberi informasi.
b. Keluhan utama
Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada saat dilakukan
pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB, distensi abdomen,
kembung, muntah.
Tanyakan sudah berapa lama gejala dirasakan pasien dan tanyakan bagaimana
upaya klien mengatasi masalah tersebut.
e. Riwayat Nutrisi meliputi : masukan diet anak dan pola makan anak.
f. Riwayat psikologis
h. Riwayat social
Intervensi :
1) Berikan nutrisi parenteral sesuai kebutuhan.
Rasional : Memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan
2) Pantau pemasukan makanan selama perawatan.
Rasional : Mengetahui keseimbangan nutrisi sesuai kebutuhan 1300-3400 kalori
3) Pantau atau timbang berat badan.
Rasional : Untuk mengetahui perubahan berat badan
c. Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
Tujuan : Kebutuhan cairan tubuh terpenuhi dengan kriteria tidak mengalami
dehidrasi, turgor kulit normal.
Intervensi :
1) Monitor tanda-tanda dehidrasi.
Rasional : Mengetahui kondisi dan menentukan langkah selanjutnya
2) Monitor cairan yang masuk dan keluar.
Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan tubuh
3) Berikan caiaran sesuai kebutuhan dan yang diprograrmkan.
Rasional : Mencegah terjadinya dehidrasi
d. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.
Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak
menangis, tidak mengalami gangguan pola tidur.
Intervensi :
1) Kaji terhadap tanda nyeri.
Rasional : Mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah selanjutnya
2) Berikan tindakan kenyamanan : menggendong, suara halus, ketenangan.
Rasional : Upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri
3) Kolaborsi dengan dokter pemberian obat analgesik sesuai program.
Rasional : Mengurangi persepsi terhadap nyeri yamg kerjanya pada sistem saraf
pusat
Post operasi
a. Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan pembedahan
Tujuan :memberikan perawatan perbaikan kulit setelah dilakukan operasi
1) kaji insisi pembedahan, bengkak dan drainage.
2) Berikan perawatan kulit untuk mencegah kerusakan kulit.
3) Oleskan krim jika perlu.
b. Nyeri b/d insisi pembedahan
Tujuan :Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak menangis,
tidak mengalami gangguan pola tidur.
1) Observasi dan monitoring tanda skala nyeri.
Rasional : Mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah selanjutnya
2) Lakukan teknik pengurangan nyeri seperti teknik pijat punggung dansentuhan.
Rasional : Upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri
3) Kolaborasi dalam pemberian analgetik apabila dimungkinkan.
Rasional : Mengurangi persepsi terhadap nyeri yamg kerjanya pada sistem saraf
pusat
c. Kurangnya pengetahuan b/d kebutuhan irigasi, pembedahan dan perawatan
kolostomi.
Tujuan : pengetahuan keluarga pasien tentang cara menangani kebutuhan irigasi,
pembedahan dan perawatan kolostomi tambah adekuat.
Intervensi :
1) Kaji tingkat pengetahuan tentang kondisi yang dialami perawatan di rumah dan
pengobatan.
2) Ajarkan pada orang tua untuk mengekspresikan perasaan, kecemasan dan
perhatian tentang irigasi rectal dan perawatan ostomi.
3) Jelaskan perbaikan pembedahan dan proses kesembuhan.
4) Ajarkan pada anak dengan membuat gambar-gambar sebagai ilustrasi misalnya
bagaimana dilakukan irigasi dan kolostomi.
5) Ajarkan perawatan ostomi segera setelah pembedahan dan lakukan supervisi saat
orang tua melakukan perawatan ostomi.
4. Evaluasi