Pasien An.X, laki-laki, usia 3 tahun datang ke RS YARSI diantar oleh orangtuanya dengan
keluhan panas tinggi. Sampai di UGD RS YARSI, pasien sempat kejang 1 kali, lamanya ± 2
menit, kejang terjadi seluruh tubuh, mata mendelik ke atas. Dua hari sebelum masuk rumah
sakit pasien mengalami diare. Buang air besar cair sebanyak 3 kali tanpa disertai lendir dan
darah, kemudian pasien dibawa orang tuanya berobat ke Puskesmas dan diberi oralit dan obat
sirup. Satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien panas, panas mendadak tinggi, terus-
menerus disertai menggigil namun tidak disertai muntah dan sesak napas. Tiba-tiba pasien
kejang, kejang terjadi seluruh tubuh, mata mendelik ke atas, berlangsung 1 kali, lamanya ± 5
menit. Setelah kejang berhenti pasien terbangun dan menangis. Keluarga langsung membawa
pasien ke Puskesmas. Di Puskesmas, pasien tidak kejang tetapi masih panas. dan pasien
mendadak panas tinggi,. lalu pasien dibawa ke RS YARSI. Pasien merupakan anak pertama,
belum memiliki adik. Menurut ibu pasien selama mengandung pasien, ia rutin memeriksakan
kehamilannya ke bidan setiap 1 bulan sekali dan tidak ada keluhan atau penyulit selama
kehamilannya. Pasien lahir cukup bulan, spontan, langsung menangis. Berat badan lahir 3500
gram dan panjang badan 50 cm. Pasien diberi ASI hingga pasien berusia 2 tahun, namun 6
bulan pertama pasien tidak diberi ASI secara eksklusif. Imunisasi dasar belum lengkap
(Campak belum). Riwayat pertumbuhan dan status gizi baik, riwayat perkembangan sesuai
umur. Tidak ada riwayat terjatuh dengan kepala terbentur sebelum demam, tidak pingsan,
tidak muntah, tidak nyeri kepala. Riwayat kejang sebelumnya karena panas dan kejang tanpa
adanya demam disangkal ibu pasien. Terdapat riwayat kejang di dalam keluarga yaitu paman
pasien (adik dari ayah pasien).
Status gizi : baik berdasarkan BB/U, dengan berat badan saat ini 12 kg, panjang badan 85 cm.
Mata, telinga dan hidung dalam batas normal. Tenggorokan pharing tidak hiperemis, tonsil
T1-T1, leher KGB tidak didapatkan pembesaran. Regio Thorax: cor dalam batas normal.
Pada auskultasi pulmo didapatkan suara nafas vesikuler dikedua apex paru, suara rhonki (-/-).
Ekstremitas superior dan inferior dalam batas normal. Status neurologis : Refleks fisiologis
normal, rekfleks patologis (-), rangsang meningeal (-).
Pemeriksaan Lab
Hb : 11.5
LED : 10 mm/jam
Leukosit 8200
Trombosit 276000
Tata Laksana:
a) Parasetamol sirup 4x1 cth
b) Diazepam 10 mg per-rectal (bila kejang)
c) Cairan Dextrose 5%
Ibu diedukasi untuk pemerian diazepam melalui rectal saat terjadi kejang lagi.
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal di atas 380 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium [ CITATION Del16 \l
1033 ]. Demam merupakan penyebab kejang tersering pada anak usia 6 bulan hingga 6 tahun.
Kejang demam dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu kejang demam sederhana
(simple febrile seizure) dan Kejang demam kompleks (complex febrile seizure). Kejang
demam sederhana dilihat dari berapa lamanya kejang berlangsung, kejang demam sederhana
berlangsung kurang dari 15 menit, dan hanya terjadi sekali dalam periode 24 jam pada anak
yang normal secara neurologis dan perkembangan. Jika ada kejang fokal, dan kejang
berlangsung lebih dari 15 menit atau kambuh dalam 24 jam, atau jika anak memiliki Riwayat
penyakit neurologis sebelumnya, kejang disebut sebagai kejang demam yang kompleks atau
atipikal [ CITATION She21 \l 1033 ].
Prevalensi kejang demam sekitar 2– 5% pada anak balita. Umumnya terjadi pada anak
umur 6 bulan sampai 5 tahun. Ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi, diantaranya;
usia, jenis kelamin, riwayat kejang dan epilepsi dalam keluarga, dan normal tidaknya
perkembangan neurologi. Risiko tertinggi pada umur di bawah 2 tahun, yaitu sebanyak 50%
ketika kejang demam pertama. Sedang bila kejang pertama terjadi pada umur lebih dari 2
tahun maka risiko berulangnya kejang sekitar 28%. Selain itu, dari jenis kelamin juga turut
mempengaruhi. Meskipun beberapa penelitian melaporkan bahwa anak laki-laki lebih sering
mengalami kejang demam dibanding anak perempuan, namun risiko berulangnya kejang
demam tidak berbeda menurut jenis kelamin. Riwayat kejang dalam keluarga merupakan
risiko tertinggi yang mempengaruhi berulangnya kejang demam, yaitu sekitar 50-100%, dan
anak-anak yang mengalami keterlambatan perkembangan neurologi meningkatkan risiko
terjadinya kejang demam berulang [ CITATION Ari16 \l 1033 ]. Prognosis anak-anak dengan
kejang demam sederhana sangat baik. Perkembangan intelektualnya normal [ CITATION
She21 \l 1033 ].
Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal di atas 380 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium [ CITATION Del16 \l
1033 ]. Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf yang paling sering dijumpai pada
bayi dan anak. Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf yang paling sering
dijumpai pada bayi dan anak. Sekitar 2,2% hingga 5% anak pernah mengalami kejang
demam sebelum mereka mencapai usia 5 tahun. Kejang demam adalah kejang yang terjadi
pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 5 tahun dan berhubungan dengan demam serta
tidak didapatkan adanya infeksi ataupun kelainan lain yang jelas di intracranial [ CITATION
Ari16 \l 1033 ].
Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi dua jenis diantaranya merupakan simple febrile seizure atau kejang
demam sederhana dan complex febrile seizure atau kejang demam kompleks. Kejang demam
sederhana adalah kejang general yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), bentuk kejang
umum (tonik dan atau klonik) serta tidak berulang dalam waktu 24 jam dan hanya terjadi satu kali
dalam periode 24 jam dari demam pada anak yang secara neorologis normal.
Epidemiologi
Prevalensi kejang demam sekitar 2– 5% pada anak balita. Umumnya terjadi pada anak
umur 6 bulan sampai 5 tahun. Ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi, diantaranya;
usia, jenis kelamin, riwayat kejang dan epilepsi dalam keluarga, dan normal tidaknya
perkembangan neurologi. Risiko tertinggi pada umur di bawah 2 tahun, yaitu sebanyak 50%
ketika kejang demam pertama. Sedang bila kejang pertama terjadi pada umur lebih dari 2
tahun maka risiko berulangnya kejang sekitar 28%. Selain itu, dari jenis kelamin juga turut
mempengaruhi. Meskipun beberapa penelitian melaporkan bahwa anak laki-laki lebih sering
mengalami kejang demam dibanding anak perempuan, namun risiko berulangnya kejang
demam tidak berbeda menurut jenis kelamin. Riwayat kejang dalam keluarga merupakan
risiko tertinggi yang mempengaruhi berulangnya kejang demam, yaitu sekitar 50-100%, dan
anak-anak yang mengalami keterlambatan perkembangan neurologi meningkatkan risiko
terjadinya kejang demam berulang. Kejadian kejang demam di Indonesia disebutkan terjadi
pada 2-5% anak berumur 6 bulan sampai dengan 3 tahun dan 30% diantaranya akan
mengalami kejang demam berulang. [ CITATION Ari16 \l 1033 ].
Etiologi
Penelitian Damayanti et all menyebutkan, etiologi kejang demam yang paling umum
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, Shigella dysenteriae, Escherichia coli, Salmonella
enteritidis, virus yang menyebabkan kejang demam yaitu Influenza virus A and B,
Parainfluenza 1, 2, and 3, Respiratory syncytial virus, Adenovirus, Entero viruses,
Enterovirus 71, Herpesviruses, Herpes simplex virus-1.Penelitian sebelumnya menyebubkan
penyebab kejang demam multifaktorial. Secara umum diyakini bahwa kejang demam
merupakan akibat dari kerentanan sistem saraf pusat yang sedang berkembang (SSP)
terhadap efek demam, dalam kombinasi dengan kecenderungan genetik yang mendasari dan
faktor lingkungan [ CITATION Biz \l 1033 ].
Patofisiologi
Perubahan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan eksitabilitas
neural. Kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta
produksi adenosine triphosphate (ATP). Setiap kenaikan suhu tubuh 100 C akan
meningkatkan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen 20%. Akibat keadaan
tersebut, reaksi oksidasi berlangsung lebih cepat sehingga oksigen lebih cepat habis. Oksigen
dalam jaringan yang kurang dapat menyebabkan terjadi keadaan hipoksia. Anemia yang
ditunjukkan dengan kadar hemoglobin yang rendah menyebabkan kemampuan sel darah
merah pengikat oksigen menurun. Oksigen dibutuhkan dalam proses transport aktif ion Na-K
yang berguna untuk menstabilkan membran sel saraf. Kestabilan membran sel saraf yang
terganggu dapat mengakibatkan konsentrasi ion Na intrasel meningkat sehingga terjadi
depolarisasi. Kejang terjadi apabila terdapat depolarisasi berlebihan pada neuron dalam
sistem saraf pusat dan jika kondisi ini berada pada level yang tetap dan mendapat rangsangan
yang kuat seperti demam tinggi (>380 C) dan kondisi anemia [ CITATION Biz \l 1033 ].
Cara diagnosis
- Kejang berlangsung hanya satu kali selama 24 jam dan kurang dari 5 menit
- Kejang umum dan tonik klonik
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin, tetapi dikerjakan untuk mengevaluasi
sumber infeksi penyebab demam atau keadaan lain, misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai
demam . Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula
darah [ CITATION Miz15 \l 1033 ].
Tatalaksana
1. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang
demam, Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik
tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan
tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
2. Antikonvulsan
A. Pemberian obat antikonvulsan intermiten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang
diberikan hanya pada saat demam.
Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor risiko di bawah
ini:
• Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
• Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
• Usia <6 bulan
• Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
• Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan cepat
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali
(5 mg untuk berat badan < 12 kg dan 10 mg untuk berat badan > atau sama dengan 12 Kg),
sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten
diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada orangtua bahwa dosis
tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi [ CITATION
IDA16 \l 1033 ].
Prognosis
Prognosis anak-anak dengan kejang demam sederhana sangat baik dengan perkembangan
intelektualnya normal [ CITATION She21 \l 1033 ] Sebuah studi kohort di Inggris tidak menemukan
perbedaan dalam kemajuan akademik, kecerdasan, dan perilaku pada usia 10 tahun pada anak-anak
yang mengalami kejang demam sederhana atau kompleks yang dibandingkan dengan pasien kontrol
[ CITATION Smi19 \l 1033 ].
DAFTAR PUSTAKA
Arifuddin, A. (2016). Analisis Faktor Risiko Kejadian Kejang Demam di Ruang Perawatan Anak RSU
Anutapura Palu. Jurnal Kesehatan Tadulako, 1.
Bizly, A. A. (2020). Evaluasi Etiologi Kejang Demam di Rumah Sakit Umum Haji Medan. 8-9.
Deliana, M. (2016 ). Tatalaksana Kejang Demam pada Anak. Sari Perdiatri, 59.
Smith, D. K., Sasler, K. P., & Benedum, M. (2019). Febrile Seizures: Risks, Evaluation, and Prognosis.
American Family Physician.