Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KEGIATAN USAHA KESEHATAN MASYARAKAT (UKM)

F6. UPAYA PENGOBATAN DASAR


Kejang Demam Sederhana

Pembimbing:
dr. Herry Boediyono

Oleh:
dr. Pramasanti Hera Kumala Sari

PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT SOOKO


MOJOKERTO
2016

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui Presentasi Kasus dengan judul :

KEJANG DEMAM SEDERHANA

Pada Tanggal :

April 2016

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat


Kegiatan Program Dokter Internsip
Puskesmas Sooko, Kab. Mojokerto

Disusun Oleh :
dr. Pramasanti Hera KS

Pembimbing :

dr. Herry Boediyono

BAB I
LATAR BELAKANG
Kejang demam (KD) adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal > 38 derajat celcius), tanpa adanya infeksi sistem saraf
pusat (SSP) pada bayi dan balita usia 6-60 bulan (AAP, 2011).
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak anak, dan merupakan penyebab
episode kejang tersering pada anak usia kurang dari 60 bulan (AAP, 2011).
Biasanya kejang demam merupakan kejadian tunggal dan tidak berbahaya.
Berdasarkan studi populasi, angka kejadian kejang demam di Amerika Serikat
dan Eropa 27%, sedangkan di Jepang 910%. Dua puluh satu persen kejang
demam durasinya kurang dari 1 jam, 57% terjadi antara 1-24 jam berlangsungnya
demam, dan 22% lebih dari 24 jam (Arief, 2015) Sekitar 30% pasien akan
mengalami kejang demam berulang dan kemudian meningkat menjadi 50% jika
kejang pertama terjadi usia kurang dari 1 tahun.
Sekitar 65-90% kejang demam adalah kejang demam sederhana (Waruiru and
Appleton, 2004). Sekitar 935% kejang demam pertama kali adalah kompleks,
25% kejang demam kompleks tersebut berkembang ke arah epilepsi (de Siqueira,
2010)
Anak laki-laki lebih sering daripada perempuan dengan perbandingan 1,2-1,6
: 1. Saing B (1999), menemukan 62,2% kemungkinan kejang demam berulang
pada 90 anak yang mengalami kejang demam sebelum usia 12 bulan dan 45%
pada 100 anak yang mengalami kejang setelah usia 12 bulan (Deliana, 2002).
Angka kematian akibat kejang demam hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian
besar

penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian berkembang

menjadi epilepsi sebanyak 2-7%. Kejang demam juga dapat mengakibatkan


gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian tingkat
akademik.
Oleh karena itu diperlukan peran aktif dari orangtua dan petugas kesehatan
layanan primer untuk penanganan kegawatan kejang serta pencegahan
berulangnya kejang.
BAB II

PERMASALAHAN
Selama menjalani program internsip di PKM Sooko, penulis sering kali
menjumpai kasus kejang demam baik di IGD ataupun di balai pengobatan dasar.
Berikut penulis lampirkan salah satu kasus kejang demam yang datang ke IGD
Puskesmas Sooko pada tanggal 27 Maret 2016
IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : An. MM
Usia

: 5 th

Jenis Kelamin : Perempuan


Alamat

: Jambuwok

ANAMNESIS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD PKM diantar orangtua, dg keluhan pos kejang 20
menit yll. Kejang didahului demam tinggi, batuk, pilek dan nyeri tenggorok 1 hari
sebelumnya. Kejang berupa kaku di seluruh tubuh, selama 30detik. Saat kejang
tidak sadar, sebelum dan sesudah kejang sadar lalu muntah. Riw kejang didahului
demam sebelumnya diakui 6 bulan yll. Keluarga khawatir bila kejang
mempengaruhi tumbuh kembang pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pertama kali mengalami kejang didahului demam saat usia 4,5
tahun, 1 x, 6 bulan yll. Tidak pernah mendapat obat antikejang secara rutin.
Riwayat Pengobatan
Pasien diberi obat turun panas bila demam. Tidak pernah konsumsi
obat antikejang
Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat kejang saat demam diakui pada ayah pasien saat masih kanakkanak. Kemudian setelah dewasa tidak pernah kejang. Pasien adalah anak
perempuan pertama, dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Ayah
bekerja sebagai buruh, Ibu adalah Ibu rumah tangga.
Riwayat Sosial
Pasien adalah murid TK, aktif bermain bersama teman teman. Beberapa
teman sepermainan sakit batuk dan pilek.

PEMERIKSAAN FISIK
KU/Kes: agak lemah/ CM.
o
TTV: Nd 96 x/m, reguler, isi dan tegangan cukup, RR 20 x/menit, S 39 C,
BB: 18 kg
Kepala
: mesocephal
Mata
:CA -/-, SI -/-, Mata cekung -/-, MC -/Hidung / telinga
: NC -/-,
Mulut
: mukosa bibir lembab, faring hiperemis +, Tonsil T2/T2
hiperemis, detritus +/+ kripte melebar -/Leher

: Tidak terdapat pembesaran glandula parotis, tidak terdapat


pembesaran KGB, tidak ada penggunaan otot bantu napas

Paru

: hemitoraks kiri dan kanan simteris saat insipirasi dan


ekspirasi, bunyi napas vesikular +/+, suara tambahan -/-

Jantung

: bunyi jantung I dan II tunggal, tidak terdapat murmur, tidak


terdapat gallop

Abdomen

: tidak distended, bising usus normal, supel, tidak ada nyeri tekan,
hepar tidak teraba membesar, lien tidak teraba, turgor

cukup

Ekstremitas : hangat, CRT < 2 detik, tidak terdapat edema


Status neurologis :
KM: eks atas 555/555, eks bawah 555/555
Sensibilitas: dbn

RF: eks atas N/N, eks bawah N/N


RP: eks atas -/-, eks bawah -/Kaku kuduk (-), Kernique sign (-)
Brudzinski sign I (-),Brudzinski sign II (-),
Brudzinski sign III (-),Brudzinski sign IV (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
DIAGNOSIS
Kejang Demam Sederhana
Rhinotonsilofaringitis
TERAPI
IVFD RL 12 tpm (maintanance)
Inj antrain amp (ekstra)
Inj ondansentron 2 x amp
Inj cefotaxim 2x 400 mg (skintest)
Po Paracetamol V
CTM V
Dexametason
GG V

mfla pulv No X, S3ddpulv I

BAB III
PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI
Sebelum memberikan intervensi yang sesuai, kita harus mengetahui terlebih
dahulu mengenai kejang demam pada anak.
A. Definisi
Kejang demam (KD) adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal > 38 derajat celcius), tanpa adanya infeksi sistem
saraf pusat (SSP) pada bayi dan balita usia 6-60 bulan (AAP, 2011).
B. Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak anak, dan merupakan penyebab
episode kejang tersering pada anak usia kurang dari 60 bulan (AAP, 2011).
Biasanya kejang demam merupakan kejadian tunggal dan tidak berbahaya.
Berdasarkan studi populasi, angka kejadian kejang demam di Amerika
Serikat dan Eropa 27%, sedangkan di Jepang 910%. Dua puluh satu persen
kejang demam durasinya kurang dari 1 jam, 57% terjadi antara 1-24 jam
berlangsungnya demam, dan 22% lebih dari 24 jam (Arief, 2015) Sekitar
30% pasien akan mengalami kejang demam berulang dan kemudian
meningkat menjadi 50% jika kejang pertama terjadi usia kurang dari 1 tahun.
Sekitar 65-90% kejang demam adalah kejang demam sederhana (Waruiru
and Appleton, 2004). Sekitar 935% kejang demam pertama kali adalah
kompleks, 25% kejang demam kompleks tersebut berkembang ke arah
epilepsi (de Siqueira, 2010)
Anak laki-laki lebih sering daripada perempuan dengan perbandingan
1,2-1,6 : 1. Saing B (1999), menemukan 62,2% kemungkinan kejang demam
berulang pada 90 anak yang mengalami kejang demam sebelum usia 12 bulan
dan 45% pada 100 anak yang mengalami kejang setelah usia 12 bulan
(Deliana, 2002).
Angka kematian akibat kejang demam hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian
besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian berkembang
menjadi

epilepsi

sebanyak

2-7%. Kejang demam juga dapat

mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan


pencapaian tingkat akademik.
C. Faktor Risiko (Permenkes, 2014)
Penyebab utama dari kejang demam belum diketahui dengan pasti. Namun
demikian terdapat beberapa kondisi yang merupakan faktor risiko terjadinya
kejang demam. Faktor risiko tersebut diantaranya adalah sebagai berikut,
1. Demam
a. Demam yang berperan pada KD, akibat:
1) Infeksi saluran pernafasan
2) Infeksi saluran pencernaan
3) Infeksi saluran kemih
4) Roseola infantum
5) Pasca imunisasi
b. Derajat demam
1) 75% dari anak dengan demam 39C
2) 25% dari anak dengan demam 40C
2. Usia
a. Umumnya terjadi pada usia 6 bulan- 6 tahun
b. Puncak tertinggi pada usia 17-23 bulan
c. Kejang demam sebelum 5-6 bulan mungkin disebabkan oleh infeksi
SSP
d. Kejang demam di atas umur 6 tahun, perlu dipertimbangkan sebagai
febrile seizure plus (FS +)
3. Gen
a. Risiko meningkat 2-3 x bila saudara kandung menderita KD
b. Risiko meningkat 5% bila orangtua menderita kejang demam
Selain faktor risiko tersebut di atas, terdapat faktor risiko lain terjadinya
kejang demam. Diantaranya adalah riwayat gangguan perkembangan, riwayat
perawatan NICU > 28 hari, infeksi virus serta defisiensi besi dan zink
(Graves, Oehler, dan Tingle, 2012).
D. Klasifikasi (IDAI, 2006)
1. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau
klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.

Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang


demam
2. Kejang Demam Kompleks (Complex Febrile Seizure)
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:
a. Kejang lama > 15 menit
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
E. Patofisiologi
Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap perubahan
letupan aktivitas neuronal. Perubahan temperatur tersebut menghasilkan
sitokin yang merupakan pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat
seiring kejadian demam dan respons inflamasi akut. Respons terhadap demam
biasanya dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan pirogen
endogen atau lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif sebagai
pirogen eksogen. LPS menstimulus makrofag yang akan memproduksi prodan anti-inflamasi sitokin tumor necrosis factoralpha ( TNF-a), IL-6,
interleukin1 receptor antagonist (IL1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2) (Arief,
2015).
Reaksi sitokin ini mungkin melalui sel endotelial circumventricular
akan menstimulus enzim cyclooxygenase2 (COX-2) yang akan mengkatalis
konversi asam arakidonat menjadi PGE2 yang kemudian menstimulus pusat
termoregulasi di hipotalamus, sehingga terjadi kenaikan suhu tubuh. Demam
juga akan meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus. Pirogen endogen,
yakni interleukin 1, akan meningkatkan eksitabilitas neuronal
(glutamatergic) dan menghambat GABAergic , peningkatan eksitabilitas
neuronal ini yang menimbulkan kejang (Arief, 2015).
F. Diagnosis
Diagnosis kejang demam dibuat berdasarkan episode klinis pasien dan
diklasifikasikan menjadi Kejang Demam Simplek (KDS) atau Kejang
Demam Kompleks (KDK). Pada anak dengan KDK, perlu dipertimbangkan

diagnosis banding seperti epilepsi fokal atau new-onset acute symptomatic


seizure (De Siqueira, 2010).

Gambar 1. Klasifikasi Kejang Demam (De Siqueira, 2010).


Sebagian besar pasien datang ke pelayanan kesehatan setelah kejang
berhenti dan kesadaran pulih. Evaluasi awal diperoleh dari data alloanamnesis
keluarga. Orangtua perlu ditanya mengenai riwayat penyakit pasien dan
riwayat penyakit keluarga, sebagai berikut: durasi kejang, kondisi post ictal,
riwayat imunisasi, penggunaan antibiotik, gejala fokal / general, riwayat
kejang sebelumnya, riwayat kejang pada keluarga dan faktor risiko lain yang
terkait (Graves, Oehler, dan Tingle, 2012).
Pemeriksaan fisik mencari adanya tanda meningeal pada anak dengan
penurunan kesadaran untuk menyingkirkan diagnosis banding penyebab
intrakranial (Graves, Oehler, dan Tingle, 2012).
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui penyebab KDS tidak
direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin. Pemeriksaan yang dimaksud
adalah pemeriksaan darah lengkap, serum elektrolit, kalsium, fosfat,
magnesium atau gula darah. Hal ini dikarenakan insidensi bakteremia pada
anak demam dengan kejang sama dengan tanpa kejang (AAP, 2011).
Pemeriksaan EEG
Hasil pemeriksaan EEG pada pasien kejang demam dapat memperlihatkan
gelombang lambat di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris, kadang-

kadang unilateral. Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks


atau anak yang mempunyai risiko terjadinya epilepsi (Deliana, 2002). Namun
demikian, hasil pemeriksaan EEG dapat bervariasi pada berbagai kasus kejang
demam. Oleh karena itu pemeriksaan EEG tidak berperan penting dalam
mendiagnosis kejang demam (De Siqueira, 2010).
Pemeriksaan EEG tidak rutin dilaksanakan pada kasus KDS karena mahal
dan dapat meningkatkan kecemasan orangtua. Belum ada bukti ilmiah bahwa
EEG yang dilaksanakan segera setelah KDS atau beberapa bulan setelah KDS
dapat memprediksi kekambuhan atau prognosis terjadinya Epilepsi 2 tahun
setelahnya (AAP, 2011).
Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Pemeriksaan pungsi lumbal cairan serebrospinal dilakukan untuk
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko meningitis
bakterialis adalah 0,66,7%. Pada bayi, sering sulit menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas
(Arief, 2015).
Pemeriksaan pungsi lumbal tidak rutin dilaksanakan. Pemeriksaan pungsi
lumbal sekarang hanya direkomendasikan pada anak dengan tanda kejang,
demam disertai tanda meningeal (kaku kuduk/ tanda Kernig/ tanda
Brudzinki). Pada anak usia 6-12 bulan yang mengalami kejang demam,
pemeriksaan lumbal pungsi merupakan pilihan dari dokter yang menangani.
Tidak terkecuali pada anak dengan status imunisasi Haemophilus influenzae
type b (Hib) atau Streptococcus pneumoniae, yang tidak diketahui. Hal ini
dikarenakan pemeriksaan pungsi lumbal termasuk pemeriksaan invasif,
menyakitkan dan mahal. Pemeriksaan pungsi lumbal juga merupakan pilihan
dokter, apabila pasien telah diobati dengan antibiotik, karena penggunaan
antibiotik dapat menyamarkan hasil pemeriksaan (AAP, 2011).
Pemeriksaan NeuroImaging

MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi


dibandingkan CT scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat
darurat. CT scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi
baik yang bersifat sementara maupun kejang fokal sekunder. Foto Xray
kepala dan pencitraan seperti Computed Tomography scan (CTscan) atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI) tidak rutin dan hanya atas indikasi
seperti (Arief, 2015) :
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema

BAB IV
PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk mencegah kejang
demam berulang, mencegah status epilepsi, mencegah epilepsi/ mental retardasi
dan normalisasi kehidupan anak dan keluarga (Deliana, 2002).
A. Penatalaksanaan Saat Kejang
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien
datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat
yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang
diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg
perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit
dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh
orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3,
rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg
untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg
untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3
tahun (lihat bagan penatalaksanaan kejang demam) (IDAI, 2006).
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan
ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan
dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin
secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1
mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis
selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila
dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang
rawat intensif (IDAI, 2006).

Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari


jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan
faktor risikonya (IDAI, 2006).

Gambar 2. Algoritma Tatalaksana Kejang (Arief, 2015)


Keterangan: 1. Kejang yang tidak teratasi dengan diazepam dapat diberi phenitoin
2. Status konvulsi dirawat di ICU
3. Diazepam drip jika perlu diberikan tiap 8 jam
4. Dosis maksimum phenobarbital 200 mg/hari

B. Pemberian Obat Pada Saat Demam (IDAI, 2006).


1. Pemberian antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi D). Namun para ahli di
Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan (level III,

rekomendasi B). Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15


mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis
ibuprofen 5-10 mg/kg/ kali, 3-4 kali sehari (IDAI, 2006).
Meskipun jarang, asam asetil salisilat dapat menyebabkan sindrom Reye
terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam
asetilsalisilat tidak dianjurkan (level III, rekomendasi E).
2. Pemberian antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30 %- 6-% kasus, begitu
pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/ kg setiap 8 jam pada suhu 38,5
C (level I, rekomendasi A). Dosis tersebut cukup tinggi dan
menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39%
kasus.
Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin pada saat demam tidak berguna
untuk mencegah kejang demam (level II rekomendasi E)
3. Pemberian obat rumatan
Obat rumatan diberikan hanya jika kejang demam menunjukkan salah
satu ciri sebagai berikut:
a. Kejang lama dengan durasi > 15 menit
b. Ada kelainan neurologis nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental dan
hidrosefalus
c. Kejang fokal
Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
a. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam kurun waktu 24 jam
b. Kejang demam terjadi pada bayi usia kurang dari 12 bulan
c. Kejang demam dengan frekuensi > 4 kali per tahun.
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam >15 menit
merupakan indikasi pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak nyata,
misalnya keterlambatan perkembangan ringan, bukan merupakan indikasi
pengobatan rumat. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan
bahwa anak mempunyai fokus organik.

Pengobatan rumatan
Phenobarbital atau valproic acid efektif menurunkan risiko
berulangnya kejang. Obat pilihan saat ini adalah valproic acid.
Berdasarkan bukti ilmiah, kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan
obat dapat menyebabkan efek samping, oleh karena itu pengobatan rumat
hanya diberikan pada kasus selektif dan dalam jangka pendek.
Phenobarbital dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar
pada 4050% kasus. Pada sebagian kecil kasus, terutama pada usia kurang
dari 2 tahun, valproic acid dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
Dosis valproic acid 15-40 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis, dan
phenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis.
C. Prognosis
Prognosis kejang demam secara keseluruhan baik. Kejadian kematian
karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Kejadian kecacatan sebagai
komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental
dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.
Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada
sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan
kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal. (IDAI, 2006).
Risiko berkembangnya KDS menjadi epilepsi hanya sekitar 2-7% total
kasus. Faktor risiko menjadi epilepsi adalah:
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung
Masing masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian
epilepsi 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan
kemungkinan epilepsi menjadi 10-49% (Level II-2). Kemungkinan menjadi
epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang
demam (IDAI, 2006).

Hasil penelitian juga mengungkapkan tidak ada perbedaan bermakna


anak dengan riwayat KDS dan non KDS dalam tingkat kecerdasan,
pertumbuhan lingkar kepala dan perilaku (De Siqueira, 2011).
Orangtua perlu diingatkan risiko berulangnya kejang demam. Sekitar
32% pasien dengan KDS mengalami kejang berulang. Sekitar 75% kasus
berulang dalam waktu 1 tahun.

Gambar 3. Faktor risiko KDS dan KDK (Graves, Oehler dan Tingle, 2015).
Tabel 1. Faktor Risiko Kejang demam berulang dan Epilepsi (Farrel dan Goldman, 2011)

Faktor Risiko

Kejang Demam

Kejang tanpa Demam

Berulang

Berikutnya (epilepsi)

Keturunan keluarga garis

Ya

Tidak dapat ditentukan

pertama kejang demam


Keturunan keluarga garis

Tidak

Tidak dapat ditentukan

pertama kejang tanpa demam


Gangguan perkembagan
Abnormalitas neurologis
Usia < 15 bulan pada saat kejang

Tidak
Tidak
Ya

Ya
Ya
Tidak dapat ditentukan

demam
Durasi yang semakin singkat dari

Ya

Tidak dapat ditentukan

demam ke kejang
Suhu tubuh saat demam
Kejang demam fokal atau

Berbanding terbalik
Tidak

Tidak dapat ditentukan


Ya

prolong
Kejang multipel dalam waktu 24

Mungkin

Tidak

jam

D. Edukasi pada Orangtua (IDAI, 2006)


Kejang demam merupakan hal yang sangat menakutkan orang tua dan
tak jarang orang tua menganggap anaknya akan meninggal. Pertama, orang
tua perlu diyakinkan dan diberi penjelasan tentang risiko rekurensi serta
petunjuk dalam keadaan akut. Lembaran tertulis dapat membantu komunikasi
antara orang tua dan keluarga; penjelasan terutama pada:
1.
2.
3.
4.

Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik


Memberitahukan cara penanganan kejang
Memberi informasi mengenai risiko berulang
Pemberian obat untuk mencegah rekurensi efektif, tetapi harus diingat
risiko efek samping obat.

Beberapa hal yang harus dikerjakan saat kejang,


1. Tetap tenang dan tidak panik.
2. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
3. Bila tidak sadar, posisikan anak telentang dengan kepala miring. Bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun lidah mungkin
4.
5.
6.
7.

tergigit, jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut.


Ukur suhu, observasi, catat lama dan bentuk kejang.
Tetap bersama pasien selama kejang
Berikan diazepam rektal, jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
lebih

BAB V
MONITORING DAN EVALUASI
Pasien dirawat di Puskesmas Sooko selama 3 hari. Berikut tindak lanjut
kondisi pasien selama perawatan,
Hari I, 27 Maret 2016
S: demam , kejang (-), batuk (+), pilek (+), nyeri tenggorok (+), Ma (+) N,
Mi(+)N , muntah (-) , lemas (-)
O:
KU/Kes: baik/ CM,
Tanda vital

:Suhu 37 C, Nd 96 x/menit, RR 20 x/m

Status lokalis
Faring

: hiperemis +,

Tonsil

: T2/T2 hiperemis, detritus +/+, kripte melebar -/-

Status neurologis: dbn


A: KDS
Rhinotonsilofaringitis
P:
IVFD RL 12 tpm
Inj cefotaxim 2 x 400 mg
Inj antrain ampul (k/p)
Inj diphenhidramin 2 x amp
Po Paracetamol V
CTM V
Dexametason
GG V
Diet TKTP
Awasi KU, Kes, TTV

mfla pulv No X, S3ddpulv I

Hari II, 28 Maret 2016


S: demam , kejang (-), batuk (+), pilek (+), nyeri tenggorok (+), Ma (+) N,
Mi(+)N , muntah (-) , lemas (-)
O:
KU/Kes: baik/ CM,
Tanda vital

:Suhu 36,5 C, Nd 92 x/menit, RR 20 x/m

Status lokalis
Faring

: hiperemis +,

Tonsil

: T2/T2 hiperemis, detritus +/+, kripte melebar -/-

Status neurologis: dbn


A: KDS
Rhinotonsilofaringitis
P:
IVFD RL 12 tpm
Inj cefotaxim 2 x 400 mg
Inj antrain ampul (k/p)
Inj diphenhidramin 2 x amp
Po Paracetamol V
CTM V

mfla pulv No X, S3ddpulv I

Dexametason
GG V
Diet TKTP
Awasi KU, Kes, TTV
Hari III, 29 Maret 2016
S: demam (-), kejang (-), batuk (+), pilek (-), nyeri tenggorok (-), Ma (+) N,
Mi(+)N , muntah (-) , lemas (-)

O:
KU/Kes: baik/ CM,
Tanda vital

:Suhu 36,5 C, Nd 96 x/menit, RR 20 x/m

Status lokalis
Faring

: hiperemis +,

Tonsil

: T2/T2 hiperemis (-), detritus -/-, kripte melebar -/-

Status neurologis: dbn


A: KDS
Rhinotonsilofaringitis
P:
BLPL
Aff infus
Stop injeksi
Obat pulang: Parasetamol syr 3x 2 cth (bila demam)
Edukasi orangtua pasien mengenai
1. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberi informasi mengenai risiko berulang. Pasien berisiko 30%
mengalami kejang demam berulang.
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi efektif, tetapi harus diingat risiko
efek samping obat.

KOMENTAR / UMPAN BALIK

Peserta
( dr. Pramasanti Hera K.S)

Pendamping
(dr. Herry Boediyono)

DAFTAR PUSTAKA
American Acamedy of Pediatric. 2011. Clinical Practice Guideline Febrile
Seizures: Guideline for the Neurodiagnostic Evaluation of the Child with a
Simple Febrile Seizure. Pediatrics 2011;127:389394
Arief, Rifqi Fadli. 2015. Penatalaksanaan Kejang Demam. CDK-232/ vol. 42 no.
9, th. 2015
De Siqueira LFM. 2010. Febrile seizures: Update on diagnosis and management.
Rev Assoc Med Bras. 2010; 56(4): 489-92.
Deliana, Melda. 2002. Tata Laksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri, Vol
4, No 2, September 2002: 59-62
Farrel, Kevin dan Goldman, Ran. 2011. BC Medical Journal. Vol 53 No 6
Graves, R C; Oheler, Karen dan Tingle, L E. 2012. Febrile Seizures : Risks,
Evaluation, and Prognosis. Am Fam Physician. 2012;85(2):149-153.
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam. Jakarta: Badan Penerbit IDAI
Permenkes, 2014. Panduan Praktik Klinik Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. Permenkes No 5 Tahun 2014
Waruiru C and Appleton R. 2004. Febrile seizures: an update. Arch Dis Child.
2004;89(8):751-756.

Anda mungkin juga menyukai