PENDAHULUAN
2.1.4. Patofisiologi
Penyumbatan pembuluh darah merupakan 80% kasus dari kasus stroke.
Penyumbatan sistem arteri umumnya disebabkan oleh terbentuknya trombus pada
ateromatus plaque pada bifurkasi dari arteri karotis.Erat hubungannya dengan
aterosklerosis (terbentuknya ateroma) dan arteriolosclerosis.
Aterosklerosis merupakan pengerasan pembuluh darah atau terbentuknya
plak pada pembuluh darah, dimana dinding arteri menjadi lebih tebal dan kurang
lentur. Aterosklerosis yang dapat disebabkan oleh obesitas ataupun kolesterol,
sehingga kadar LDL nya meningkat, LDL sangat mudah teroksidasi oleh radikal
bebas yang akan mengoksidasi membran sel endotel, akhirnya sel endotel rusak
yang akan menghasilkan sel V-CAM. Sel V-CAM tersebut dapat menarik monosit
dari pembuluh darah pindah ke dinding pembuluh darah (subendotel) kemudian
berubah menjadi sel magrofak yang akan memfagositasi LDL yang teroksidasi
sehingga terbentuk sel busa. Sel busa semakin banyak akhirnya dinding pembuluh
darah menebal dan lumen pembuluh darah menyempit. Jika penyempitan ini
terjadi di pembuluh darah otak maka akan menyebabkan terjadinya stroke
(Ropper, 2005).
Ketika terjadi aterosklerosis di pembuluh darah otak, maka pembuluh
darah otak menjdi lebih kecil dan aliran darah ke otakpun juga sedikit. Sedangkan
jantung tetap memompakan darah keseluruh tubuh termasuk otak sehingga darah
terus terdesak sementara pembuluh darah kecil sehingga menyebabkan suplai
darah ke otak menjadi terganggu (stroke), lama kelamaan akan menyebabkan
terjadinya penumpukan darah di otak (stroke iskemik) dan Jika hal ini terus
dibiarkan maka akan dapat menyebabkan terjadinya pecah pembuluh darah di
otak (stroke hemoragik) (Ropper, 2005).
2.1.5. Klasifikasi
Pada umumnya stroke digolongkan menjadi dua (Iskandar, 2002), yaitu:
1) Stroke Perdarahan
Stroke perdarahan disebabkan oleh perdarahan suatu arteri serebralis yang
disebut hemoragi. Darah yang keluar dari pembuluh darah dapat masuk ke dalam
jaringan otak, sehingga terjadi hematom. Hematom ini menyebabkan timbulnya
tekanan tinggi intrakranial (TTIK). Perdarahan dapat disebabkan aneurisma arteri
besar (berry), malformasi arteri vena, lesi aterosklerotik, infeksi (mikosis),
hipertensi (aneurisma arteri kecil/arteriol), angioma/tumor otak, dan trauma
kepala.Stroke perdarahan dibagi atas: perdarahan intraserebral dan perdarahan
subarakhnoid.
a) Perdarahan Intraserebral (PIS)
Perdarahan intraserebral diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah
intraserebral sehingga darah keluar dari pembuluh darah dan kemudian masuk ke
dalam jaringan otak. Bila perdarahannya luas dan secara mendadak sehingga
daerah otak yang rusak cukup luas, maka keadaan ini biasa disebut ensepaloragi.
Penyebab PIS biasanya karena hipertensi yang berlangsung lama lalu terjadi
kerusakan dinding penbuluh darah, dan sala h satunya adalah terjadinya
mikroaneurisma. Faktor pencetus lain adalah stres fisik, emosi, peningkatan
tekanan darah mendadak yang mengakibatkan pecahnya penbuluh darah. Enam
puluh persen hingga tujuh puluh lima persen PIS disebabkan oleh hipertensi,
penyebab lainnya adalah deformitas pembuluh darah bawaan, tumor otak yang
kaya akan pembuluh darah, kelainan koagulasi. 70% kasus berakibat fatal,
terutama apabila perdarahannya luas (masif).
b) Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Perdarahan subarakhnoid adalah masuknya darah ke ruang subarakhnoid
baik dari tempat lain (perdarahan subarakhnoid sekunder, atau sumber perdarahan
berasal dari rongga subarakhnoid itu sendiri (perdarahan subarakhnoid primer).
Penyebab yang paling sering dari PSA primer adalah robeknya aneurisma (51-
75%), dan sekitar 90% aneurisma penyebab PSA berupa aneurisma kongenital,
angioma (6-20%), gangguan koagulasi (obat antikoagulan), kelainan hematologik
(misalnya trombositopenia, leukemia, anemia aplastik), tumor, infeksi (missal
vaskulitis, siphilis, ensefalitis, herpes simpleks, mikosis, TBC), idiopatik atau
tidak diketahui (25%), serta trauma kepala (Iskandar, 2002).
2) Stroke non perdarahan (infark iskemik), stroke jenis ini dibagi atas:
Stroke iskemik mempunyai berbagai etiologi, tetapi pada prinsipnya
disebabkan oleh aterotrombosis atau emboli, yang masing- masing akan
mengganggu atau memutuskan aliran darah otak atau cerebral blood flow (CBF).
Berdasarkan perjalanannya klinisnya stroke iskemik (non hemorologik)
dikelompokkan menjadi empat (Iskandar, 2002), yaitu:
Transient ischemic attack (TIA), adalah serangan stroke sementara yang
berlangsung kurang dari 24 jam.
Reversible Ischemic Neurologic (RIND), adalah gejala neurologis akan
menghilang antara lebih dari dari 24 jam- 21 hari.
Progressing Stroke atau Stroke In Evolution, adalah kelainan deficit
neurologic berlangsung secara bertahap dari yang ringan sampai menjadi
berat.
Completed Stroke, adalah kelainan neureologis sudah menetap dan tidak
berkembang lagi.
Berdasar penyebabnya stroke iskemik dibedakan atas: aterotrombolik (erat
hubungannya dengan platelet, trombosis), kardioemboli, lekunar dan penyebab
lain yang menyebabkan hipotensi. Menurut berbagai literatur insiden stroke
perdarahan antara 15%-30% dan stroke iskemik antara 70%-85%, tetapi untuk
negara-negara berkembang atau Asia kejadian stroke perdarahan sekitar 30% dan
iskemik 70%, terdiri dari trombosis serebri 60%, emboli serebri 5%, dan lain- lain
35% (Feigin, 2004)
b. Prinsip pengobatan
Pada prinsipnya pengobatan pada penderita stroke bertujuan untuk:
memperbaiki daerah yang rusak/infark, mengatasi penyakit dasarnya,
meningkatkan aliran darah ke otak, mencegah adanya edema otak, dengan
memberikan zat hiperosmolar dan memperbaiki aliran darah di daerah iskemik
(Anonim, 1996). Pada kerusakan sel otak akut dapat terjadi perbaikan secara
lengkap ataupun tidak, yang berlangsung beberapa hari, minggu sampai beberapa
bulan. Perbaikan pada fungsi neuron dapat berlangsung paling sedikit dalam
waktu setahun. Prediksi perbaikan sangat tergantung pada luasnya deficit
neurologi awal, perkembangan lesi, ukuran dan lokasi kelainan otak serta keadaan
sebelumnya. Disamping hal tersebut usia, nutrisi, pengalaman sebelumnya dan
latihan pasca lesi merupakan faktor yang ikut menentukan dalam proses perbaikan
(Anonim, 1996).
c. Terapi dengan obat
Terapi stroke didasarkan pada jenis stroke, yaitu stroke iskemik dan non
iskemik.
Terapi stroke non iskemik adalah:
1) Terapi edema otak
Edema serebri genaralisata, terjadi terutama pada stadium 3-5, dengan:
(a) Manitol bolus 1 gram/kbBB dalam 20 menit, dilanjutkan dengan dosis
0,25-0,5 gram/kgBB setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam. Target
osmolaritas antara 300-320 mosmol/L.
(b) Gliserol 50% oral 0,25-1 gram per kgBB setiap 4-6 jam atau gliserol
10% i.v 10ml/ kg dalam 3-4 jam, bila edema ringan sampai sedang.
(c) Furosemid: 1 mg / kgBB i.v
(d) Intubasi dan hiperventilasi terkontrol dengan oksigen hiperbarik
sampai P karbon do oksida 22-39mmHg. Pernafasan buatan termasuk
mengatasi hiperventilasi jika pasien tidak sadar, zat hiperosmolar
(mengembalikan cairan dari jaringan otak ke aliran darah) dan
kortikosteroid berfungsi menstabilkan dinding sel, sehingga dapat
mencegah edema otak (Iskandar, 2002).
2) Terapi antihipertensi
Hipertensi meningkatkan resiko perdarahan ulang (rekurens) bisa
diberikan alfa-beta bloker, antagonis kalsium, ACE inhibitor,
Nanitroprusit. Edema otak meningkatkan tekanan intrakranial, sehingga
menyebabkan hipertensi. Tensi diturunkan bila: tekanan sistolik >220
diastolik >120 mmHg pada dua kali pengukuran selang 30 menit. Bila
diastolik >140mmHg pada dua kali pengukuran selang 5 menit, dapat
diturunkan dengan cepat, sambil dipantau secara kontinu (Iskandar, 2002).
3) Terapi heperglikemia
Dikoreksi hingga gula darah sewaktu sekitar 100 mg% dengan insulin
drips kontinu 2-3 hari pertama (Anonim, 2004).
4) Terapi hipoglikemia
Hipoglikemi harus diatasi segera dengan dekstrose 40% i.v sampai normal
dan penyebabnya diobati (Iskandar, 2002).
5) Terapi defisit neurologik iskemik/ vasos pame
Progresi PSA: fasospasmik lokal/umum defisit neurologik akibat iskemia
antagonis kalsium serebral limoditif. Efek terhadap vasos pame pembuluh
darah besar otak lebih ringan dari pada pembuluh darah otak kecil efek
protektif terhadap sel-sel syaraf (Iskandar, 2002).
6) Antifibrinolisis
Misalnya diberikan asam traneksamid penghancuran thrombus dihambat.
Kontroversial karena koagulasi meluasnya infark otak, trombosis vena
tungkai dan emboli paru (Iskandar, 2002).
2.2 Hipertensi
2.2.1. Defenisi
Hipertensi merupakan suatu keadaan tingginya tekanan darah seseorang
(tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan atau diastolik 90 mmHg) yang
diukur secara berulang-ulang. Tekanan darah normal 120/80 mmHg. Naiknya
tekanan darah pada seseorang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
faktor genetik, hormone, kekurangan asupan kalium dan kalsium, obesitas.
Hipertensi dapat juga disebabkan oleh penyakit lain seperti diabetes, konsumsi
obat-obat tertentu, seperti pil KB, perubahan dalam sistem kerja organ tubuh,
seperti: perubahan pada tahanan pembuluh darah, gangguan pada tekanan darah,
perubahan transport ion dalam sel asupan garam yang berlebih (Depkes RI, 2006 ;
WHO, 1999).
Hipertensi dapat menyebabkan stroke iskemik maupun perdarahan, tetapi
kejadian strok perdarahan akibat hipertensi lebih banyak sekitar 80%. Pada
perdarahan, hipertensi kronis diduga menyebabkan lipohialinosis parenkim
pembuluh darah kecil; hipertensi pada kasus iskemik terjadi karena adanya cedera
(injuri) pada sel endotel pembuluh darah yang kemudian berkembang menjadi
plak aterosklerotik yang mempersempit lumen pembuluh darah. Risiko stroke
bertambah sebanding dengan beratnya hipertensi, dari hasil studi Framingham,
bila tekanan darah > 160/95 mmHg risiko stroke meningkat antara 3.1 kali pada
laki-laki dan 2.9 kali pada wanita (Junaidi, 2011).
Terdapat perbedaan dari beberapa sumber mengenai definisi peningkatan
darah akut. Definisi yang paing sering dipakai adalah (MEDICINUS, 2014) :
1. Hipertensi emergensi (darurat)
Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastoik > 120
mmHg secara mendadak di-sertai kerusakan organ target. Hipertensi emergensi
harus ditanggulangi sesegera mungkin dalam satu jam dengan memberikan obat-
obatan anti hipertensi intravena.
2. Hipertensi urgensi (mendesak)
Peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi namun tanpa
disertai kerusakan organ target. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera
diturunkan dalam 24 jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi oral.
Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan hipertensi krisis
antara lain:
Hipertensi refrakter
Respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan darah > 200/110
mmHg, walaupun telah di- erikan pengobatan yang efektif (triple drug)
pada penderita dan kepatuhan pasien.
Hipertensi akselerasi
Peningkatan tekanan darah diastolic > 120 mmHg disertai dengan kelainan
funduskopi. Bila tidak diobati da-pat berlanjut ke fase maligna.
Hipertensi maligna
Penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah diastolik > 120-130
mmHg dan kelainan funduskopi disertai papil edema, peninggian tekanan
intrakranial, kerusakan yang epat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun
kematian bila penderita tidak mendapatkan pengobatan. Hipertensi
maligna biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi esensial
ataupun sekunder dan jarang pada penderita yang sebelumnya mempunyai
tekanan darah normal.
Hipertensi ensefalopati
Kenaikan tekanan darah dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit
kepala yang hebat, penurunan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi
reversibel bila tekanan darah tersebut diturunkan.
2.2.1 Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang
beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui
(essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan
tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah
mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak
penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab
hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat
disembuhkan secara potensial. Adapun obat-obatan yang dapat menyebabkan
hipertensi adalah:
Kortikosteroid, ACTH
Estrogen (biasanya pil KB dg kadar estrogen
tinggi)
NSAID, cox-2 inhibitor
Fenilpropanolamine dan analog
Cyclosporin dan tacrolimus
Eritropoetin
Sibutramin
Antidepresan (terutama venlafaxine
Keterangan
NSAID: non-steroid-anti-inflammatory-drug,
ACTH: adrenokortikotropik hormon
Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vascular, berupa
disfungsi endotel, remodeling, dan arterial striffness. Namun faktor penyebab
hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi masih belum dipahami. Diduga
karena terjadinya peningkatan tekanan darah secara cepat disertai peningkatan
resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan
menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat
kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi.
2.2.2 Klasifikasi Tekanan Darah Hipertensi
Klasifikasi tekanan darah oleh JNC 7 untuk pasien dewasa (umur ≥ 18
tahun) ini dibuat berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih
pada dua atau lebih kunjungan klinis.
Klasifikasi tekanan Tekanan darh sistolik Tekanan darah
darah (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 < 80
Pre hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage I 140-149 90-99
Hipertensi stage II ≥ 160 ≥100
2.2.3 Patofisiologi
Mekanisme patogenesis hipertensi yaitu peningkatan tekanan darah yang
dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer (Dipiro, 2005). Mekanisme
hipertensi tidak dapat dijelaskan dengan satu penyebab khusus, melainkan sebagai
akibat interaksi dinamis antara faktor genetik,lingkungan dan faktor lainnya.
Tekanan darah dirumuskan sebagai perkalian antara curah jantung dan atau
tekanan perifer yang akan meningkatkan tekanan darah. Retensi sodium, turunnya
filtrasi ginjal, meningkatnya rangsangan saraf simpatis, meningkatnya aktifitas
renin angiotensin alosteron, perubahan membransel, hiperinsulinemia, disfungsi
endotel merupakan beberapa faktor yang terlibatdalam mekanisme hipertensi.
Mekanisme patofisiologi hipertensi salah satunya dipengaruhi oleh
sistemrenin angiotensin aldosteron, dimana hampir semua golongan obat anti
hipertensibekerja dengan mempengaruhi sistem tersebut. Renin angiotensin
aldosteron adalah sistem endogen komplek yang berkaitan dengan pengaturan
tekanan darah arteri. Aktivasi dan regulasi sistem renin angiotensin aldosteron
diatur terutama oleh ginjal. Sistem renin angiotensi aldosteron mengatur
keseimbangan cairan,natrium dan kalium. Sistem ini secara signifikan
berpengaruh pada aliran pembuluh darah dan aktivasi sistem saraf simpatik serta
homeostatik regulasitekanan darah (Dipiro, 2005).
(MEDICINUS, 2014)
2.2.5. Penatalaksanaan
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan
rutin tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluarga
neurologis. Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan
sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke. Berbagai
Gudeline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan penurunan
tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan secara hati-hati dengan
memperhatikan beberapa kondisi di bawah ini.
a) Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15%
(sistolik maupun diastolic) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila
tekanan darah sistolik (TDS) >220 mmHg atau tekanan darah diastolic
(TDD) >120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diberi
terapi trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga TDS <185
mmHg dan TDD <110 mmHg (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
Selanjutnya, tekanan darah harus dipantau hingga TDS <180 mmHg dan
TDD <105 mmHg selama 24 jam setelah pemberian rtPA. Obat
antihipertensi yang digunakan adalah labetalol, nitropaste, nitroprusid,
nikardipin, atau diltiazem intravena.
b) Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (AHA/ASA, Class IIb,
Level of evidence C), apabila TDS >200 mmHg atau Mean Arterial
Preassure (MAP) >150 mmHg, tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontiniu dengan
pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
c) Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala
dan tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan tekanan
intracranial. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat
antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten dengan pemantauan
tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg.
d) Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala
dan tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan
secara hati-hati dengan menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu
atau intermitten dengan pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga
MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg. Pada studi
INTERACT 2010, penurunan TDS hingga 140 mmHg masih
diperbolehkan. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence.
e) Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220 mmHg,
penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup
aman (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B). Setelah kraniotomi,
target MAP adalah 100mmHg.
f) Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah
pada penderita stroke perdarahan intraserebral.
g) Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta (labetalol
dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem) intravena,
digunakan dalam upaya diatas.
h) Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena
mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial, meskipun bukan
kontraindikasi mutlak.
i) Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus
dipantau dan dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral
untuk mencegah resiko terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta
perdarahan ulang (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Untuk
mencegah terjadinya perdarahan subaraknoid berulang, pada pasien stroke
perdarahan subaraknoid akut, tekanan darah diturunkan hingga TDS 140-
160 mmHg. Sedangkan TDS 160-180 mmHg sering digunakan sebagai
target TDS dalam mencegah resiko terjadinya vasospasme, namun hal ini
bersifat individual, tergantung pada usia pasien, berat ringannya
kemungkinan vasospasme dan komorbiditas kardiovaskular.
j) Calcium Channel Blocker (nimodipin) telah diakui dalam berbagai
panduan penatalaksanaan PSA karena dapat memperbaiki keluaran
fungsional pasien apabila vasospasme serebral telah terjadi. Pandangan
akhir-akhir ini menyatakan bahwa hal ini terkait dengan efek
neuroprotektif dari nimodipin.
k) Terapi hiperdinamik dengan ekspansi volume, dan induksi hipertensi dapat
dilakukan dalam penatalksanaan vasospasme serebral pada PSA
aneurismal (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B), tetapi target
rentang tekanan darah belum jelas.
l) Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga
lebih rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam
target organ lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema
paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan
tersebut adalah 15-25% pada jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam
6 jam pertama.
Tabel 1. Obat antihipertensi pada stroke akut
2.3 Hipokalemia
2.3.1.Definisi
Hipokalemia (kadar kalium yang rendah dalam darah) adalah suatu keadaan
dimana konsentrasi kalium dalam darah kurang dari 3.8 mEq/L darah.
2.3.1.Penyebab
Ginjal yang normal dapat menahan kalium dengan baik. Jika konsentrasi
kalium darah terlalu rendah, biasanya disebabkan oleh ginjal yang tidak
berfungsi secara normal atau terlalu banyak kalium yang hilang melalui
saluran pencernaan (karena diare, muntah, penggunaan obat pencahar dalam
waktu yang lama atau polip usus besar). Hipokalemia jarang disebabkan
oleh asupan yang kurang karena kalium banyak ditemukan dalam makanan
sehari-hari.
Kalium bisa hilang lewat air kemih karena beberapa alasan. Yang paling
sering adalah akibat penggunaan obat diuretik tertentu yang menyebabkan
ginjal membuang natrium, air dan kalium dalam jumlah yang berlebihan.
Pada sindroma Cushing, kelenjar adrenal menghasilkan sejumlah besar
hormon kostikosteroid termasuk aldosteron.
Aldosteron adalah hormon yang menyebabkan ginjal mengeluarkan
kalium dalam jumlah besar. Ginjal juga mengeluarkan kalium dalam jumlah
yang banyak pada orang-orang yang mengkonsumsi sejumlah besar kayu
manis atau mengunyah tembakau tertentu. Penderita sindroma Liddle,
sindroma Bartter dan sindroma Fanconi terlahir dengan penyakit ginjal
bawaan dimana mekanisme ginjal untuk menahan kalium terganggu.
Obat-obatan tertentu seperti insulin dan obat-obatan asma (albuterol,
terbutalin dan teofilin), meningkatkan perpindahan kalium ke dalam sel dan
mengakibatkan hipokalemia. Tetapi pemakaian obat-obatan ini jarang
menjadi penyebab tunggal terjadinya hipokalemia.
2.3.3.Gejala
Hipokalemia ringan biasanya tidak menyebabkan gejala sama sekali.
Hipokalemia yang lebih berat (kurang dari 3 mEq/L darah) bisa
menyebabkan kelemahan otot, kejang otot dan bahkan kelumpuhan. Irama
jantung menjadi tidak normal, terutama pada penderita penyakit jantung.
2.3.4.Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan darah dan gejala-
gejalanya.
2.3.5.Pengobatan
Kalium biasanya dapat dengan mudah digantikan dengan mengkonsumsi
makanan yang banyak mengandung kalium atau dengan mengkonsumsi
garam kalium (kalium klorida) per-oral. Kalium dapat mengiritasi saluran
pencernaan, sehingga diberikan dalam dosis kecil, beberapa kali sehari.
Sebagian besar orang yang mengkonsumsi diuretik tidak memerlukan
tambahan kalium. Tetapi secara periodik dapat dilakukan pemeriksaan ulang
dari konsentrasi kalium darah sehingga sediaan obat dapat diubah bilamana
perlu. Pada hipokalemia berat, kalium bisa diberikan secara intravena. Hal
ini dilakukan dengan sangat hati-hati dan biasanya hanya dilakukan di
rumah sakit, untuk menghindari kenaikan kadar kalium yang terlalu tinggi.
BAB III
ILUSTRASI KASUS
BAB IV
FOLLOW UP
4.1 Follow Up
4.1.1 Follow up
a. Hari Pertama Rawatan ( 16 Februari 2017)
S : lemah anggota gerak sebelah kanan kurang lebih 24 jam, sakit
kepala (+),bicara pelo (+) , Menelan susah (+), mengerti perintah
(+), pandangan mata kiri kabur kurang lebih 3 tahun, BAB dan
BAK terkontrol
O : GCS : E4M6Vx, nadi : 110 x/menit, nafas : 22 x/menit, suhu : 36°C,
kadar kalium turun (2,8), tekanan darah : 210/110 mmHg, motorik
0 5
0 5
A : ketidak efektifan porposi jaringan serebral
P : porposi jaringan serebral optimal dalam 3 x 24 jam
IVFD NaCl 0,9 % / 12jam
O2 3L/menit
Injeksi ranitidine 50 mg/2 mL 2 x sehari 1 ampul
Piracetam 1200 mg 2 x sehari 1 tablet
Neurodex ® 1 x sehari 1 tablet
Cap cam I 2 x sehari 1 kapsul
KSR 2 x sehari 1 tablet
Diltiazem 60mg 2 x sehari 1 tablet
Asam folat 1 x sehari 1 tablet
2mL
BAB V
DISKUSI
2 diastole+1 sistole
MABP=
3
Maka dapat dihitung MABP pasien dengan rumus diatas:
( 2 x 210 ) +(1 x 110)
MABP
3
¿ 176,66 mmHg
Pada kasus ini terdapat masalah pada tabel DRP dimana terdapat interaksi
obat :
DRP 1 (terapi obat yang tidak diperlukan) terdapat DRP yaitu Pada hari
pertama datang pasien menerima terapi cap camp 1 (Parasetamol 500 mg,
Tramadol 50 mg, Amitriptilin 10 mg) untuk mengatasi sakit kepala yang
dikeluhkan pasien. Tramadol dapat meningkatkan tekanan intrakranial
pada pasien stroke sehingga dapat memperburuk kondisi pasien (AHFS,
2011).
Pada DRP 2 (kesalahan obat) tidak ada masalah terhadap bentuk sediaan,
tidak adanya kontraindikasi, pasien dapat disembuhkan dengan obat, obat
yang diberikan diindikasikan untuk kondisi pasien, tidak terdapat obat lain
yang lebih efektif (medscape).
Pada DRP 3 (dosis tidak tepat) tidak ditemukan masalah pada dosis yang
diterima pasien.
Pada DRP 4 (reaksi yang tidak diinginkan) terdapat masalah antara
diltiazem dengan amlodipim karena konsenterasi plasma dari amlodipin
dapat meningkat, sehingga dapat meningkatkan efek farmakologi dan juga
dapat meningkatkan efek yang merugikan dari amlodipin tersebut.
Pada DRP 5 (ketidaksesuaian kepatuhan pasien) tidak ada masalah dimana
semua obat yang dibutuhkan pasien telah tersedia di apotek rawat inap.
Pada DRP 6 (pasien membutuhkan terapi tambahan) tidak terdapat kondisi
pasien yang tidak diterapi.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Dari hasil diagnosa pasien menderita Stroke iskemik + hipertensi
emergency + hipokalemia.
2. Pada kasus ini pasien mendapatkan anti hipertensi kombinasi dari 2
golongan obat anti hipertensi yaitu : lisinopril adalah obat antihipertensi
golongan Angiotensin Converting Enzim (ACE) inhibitor, sedangkan
diltiazem dan amlodipin adalah obat anti hipertensi golongan calcium
channel blocker. Tetapi tidak mendapatkan terapi diuretik. Hal ini tidak
sesuai dengan standar pada JNC 7. Pasien diberikan 2 kombinasi anti
hipertensi karena data tekanan darah tidak memberikan respon terhadap
anti hipertensi tunggal maupun kombinasi 2 antihipertensi (data tekanan
darah pasien terlampir). Pengobatan dengan anti hipertensi tergantung
dari respon dan toleransi pasien terhadap obat, pasien juga mendapat
terapi KSR yang berisi kalium klorida karena pasien mengalami
hipokalemia yaitu rendahnya kadar kalium dalam darah.
3. Terapi yang diberikan terdapat 2 masalah pada DRP tabel 1 dan tabel 4
dimana:
DRP 1 (terapi obat yang tidak diperlukan) terdapat DRP yaitu
Pada hari pertama datang pasien menerima terapi cap camp 1
(Parasetamol 500 mg, Tramadol 50 mg, Amitriptilin 10 mg)
untuk mengatasi sakit kepala yang dikeluhkan pasien. Tramadol
dapat meningkatkan tekanan intrakranial pada pasien stroke
sehingga dapat memperburuk kondisi pasien (AHFS, 2011).
Pada DRP 4 (reaksi yang tidak diinginkan) terdapat masalah
antara diltiazem dengan amlodipim karena konsenterasi plasma
dari amlodipin dapat meningkat, sehingga dapat meningkatkan
efek farmakologi dan juga dapat meningkatkan efek yang
merugikan dari amlodipin tersebut.
6.2 Saran
Pasien hanya perlu terapi lebih lanjut untuk memulihkan anggota gerak
secara perlahan, disiang hari sebaiknya tetap melakukan beberapa aktivitas dan
jangan banyak berdiam diri karena stroke bisa saja kembali jika pasien hanya
bermalas-malasan ketika siang hari. Istirahat yang cukup pada malam hari dan
pasien tetap harus menjaga pola makan dan hidup yang sehat.
BAB VII
Edukasi
1. Ranitidin
jangan menggunakan tablet ranitidin bersamaan dengan antasid lainnya.
Berikan dengan rentang minimal 1 jam.
Pasien dengan tukak lambung hindari alkohol dan merokok
Manajemen stres dengan baik dan tepat
Obat ini dapat menyebabkan pusing dan jangan mengendarai kendaraan
atau kegiatan lainnya yang membutuhkan perhatian setelah meminum obat
ini.
2. Capcam I
Sebaiknya digunakan malam hari sebelum tidur karena efek sedatifnya
dan dapat mengurangi efek sampingnya
Gunakan obat segera sebelum nyeri menjadi bertambah parah
Simpan obat pada suhu kamar pada wadah tertutup rapat
Gunakan obat sesuai dengan interval yang telah diresepkan
Jangan menggunakan produk yang mengandung alkohol atau depresan
SSP lainnya
2. Neurodex
Komposisi Vit B1 100 mg, vit B6 200 mg, vit B12 250 mcg
Indikasi Gejala neurotropik karena defisiensi vit, gangguan
neurologik, mual dan muntah pada kehamilan, anemia;
roboransia untuk kejang, lesu, dan usia lanjut.
Dosis Dewasa 1 drag 2-3 x/hari
Penggunaan Obat Dapat diberikan bersama makanan untuk mengurangi
rasa tidak nyaman pada GI
Kontra Indikasi Hipersensitif terhadap vitamin B.
Perhatian sebaiknya tidak digunakan untuk pasien yang sedang
menerimaterapi levodopa
Efek Samping pemakaian vitamin B6 dosis besar dalam jangka waktu
yang lama,dapat menyebabkan sindroma neuropati
3. Diltiazem
4. Cap Cam 1
5. Amlodipine
Indikasi Terapi utama hipertensi dan dapat digunakan sebagai
obat tunggal untuk mengontrol tekanan darah, terapi
utama dari iskemia miokardial, baik yang disebabkan
oleh obstruksi tetap dan atau vasospasme atau
vasokontriksi dari pembuluh darah koroner.
Mekanisme Kerja Amlodipine mengurangi angina tidak sepenuhnya pasti
tapi amlodipine menurunkan beban total iskemik
melalui 2 aksi:
- Amlodipine menyebabkan dilatasi arteri perifer
sehingga dapat menurunkan resistensi perifer total
yang harus diatasi dengan kerja jantung. Karena
Amlodipine frekuensi denyut jantung tetap stabil,
pengurangan beban jantung akan menyebabkan
penurunan konsumsi energi miokardium dan
kebutuhan oksigen miokardial.
- Mekanisme kerja Amlodipine melibatkan dilatasi
arteri dan arteole koroner, pada area dengan keadaan
oksigenasi normal maupun keadaan iskemik. Dilatasi
ini meningkatkan pengiriman oksigen miokardial
pada pasien dengan spasme arteri koroner.
Dosis 5-10 mg per hari
Efek Samping Sakit kepala, udem, kelelahan, mengantuk, mual, nyeri
abdomen danpusing.
Kontra Indikasi Amlodipine dikontraindikasikan pada pasien yang
diketahui sensitif terhadap dihydropyridine.
Perhatian - Pada pasien gangguan fungsi hati: waktu paruh
amlodipine memanjang.
- Pada pasien gangguan fungsi ginjal : Amlodipine
dimetabolisme dengan ekstensif menjadi metabolit
tidak aktif dengan 10% diekskresi dalam bentuk utuh
dalam urin.
- Pasien usia lanjut : waktu yang diperlukan untuk
mencapai kadar puncak dalam plasma serupa pada
pasien muda maupun usia lanjut.
Interaksi Obat Amlodipine dapat diberikan dengan aman bersamaan
dengan diuretik, digoxin.
6. NaCl 0,9%
7. Ranitidin
8. KSR
9. Asam folat
Komposisi Asam folat 1 mg, 400 mcg
Indikasi Anemia megaloblastik dan makrositik akibat defisiensi
asam folat
Dosis Defisiensi asam folat, dosis awal 0,25-1 mg sehari sampat
dapat respon klinis, dosis penunjang 0,25 sehari,
suplemen diet 0,1-1 mg pada wanita hamil, pada keadaan
kebutuhan asam folat meningkat 0,5-1 mg sehari
Kontra Indikasi Hipersensitif, pemberian jangka panjang untuk
beberapadefisiensi kobalamin yang tidak diobati
10. Lisinopril