Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN

Kasus stroke di Indonesia menunjukkan kecendrungan peningkatan baik


dalam hal kematian, kejadian, maupun kecacatan. Menurut Riskesdas Depkes,
angka kematian berdasarkan umur adalah sebesar 15.9% (umur 45 – 55 tahun),
26,8% (umur 55-64 tahun) dan 23,5% (umur > 65tahun). Insiden stroke menurut
Soertidewi adalah 51,6/100.000 penduduk dan kecacatan 1,6 % (Perdossi, 2011).
Stroke adalah penurunan sistem syaraf utama secara tiba-tiba yang
berlangsung selama 24 jam dan diperkirakan berasal dari pembuluh darah. Stroke
ada 2 yaitu : stroke ishkemik (stroke yang disebabkan karena penyumbatan) dan
stroke hemoragik (stroke yang disebabkan karena pendarahan) (WHO, 2006).
Sejumlah 88% pembentukan iskhemia disebabkan pembentukan thrombus
atau emboli yang menghambat arteri serebral. Emboli dapat muncul dari arteri
intra dan ekstra cranial. 20% stroke emboli muncul dari jantung,terbentuk didalam
suatu organ seperti jantung dan kemudian dibawa melalui sistem arteri ke otak
sebagai suatu embolus, agregasi platelet dan pembentukan thrombus bekuan dapat
menyebabkan hambatan disekitar atau terjadi pelepasan dan bergerak kearah distal
dan pada akhirnya akan menghambat pembuluh serebral, aliran darah yang
berhenti dalam atrium atau ventrikel mengarah ke pembentukan bekuan local
yang dapat pelepasan dan bergerak melalui aorta menuju serebral, penurunan
aliran darah serebral menyebabkan iskemia (Sukandar, 2009).
Hipertensi hingga saat ini disebut sebagai faktor resiko utama untuk semua
jenis stroke baik infark maupun perdarahan serebral. Dari data penelitian yang ada
menunjukkan kontrol terhadap tekanan darah akan mengurangi resiko stroke.
Hipertensi akan mengganggu aliran darah serebral dan akan berperan pada
kejadian penyakit serebrovaskuler.
Faktor resiko stroke adalah hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung,
hiperkolesterol, Transient Ischemik Attack, alkohol, merokok, obat-obatan dan
penggunaan kontrasepsi oral (Price dan Wilson, 2003).
Hipertensi merupakan faktor resiko utama pada stroke yang dapat di
modifikasi. Tingginya peningkatan tekanan darah erat hubungannya dengan
resiko terjadinya stroke. Hipertensi memegang peranan penting pada patogenesis
artherosklerosis pembuluh darah besar yang selanjutnya akan menyebabkan stroke
iskemik oleh karena oklusi trombotik arteri, emboli arteri ke arteri atau kombinasi
keduanya. Hubungan yang jelas juga ditunjukkan antara hipertensi dan infark
lakuner. Stroke kardioembolik juga lebih sering pada individu dengan hipertensi
dan penyakit jantung. Sebagai tambahan hipertensi juga merupakan faktor resiko
utama terjadinya perdarahan intraserebral dan subaraknoid yang merupakan kedua
jenis perdarahan utama pada stroke.
Hipertensi sering di jumpai pada pasien stroke fase akut. Banyak studi
menunjukkan adanya hubungan berbentuk kurva U – V (U – shaped relationship)
antara hipertensi pada stroke (iskemik maupun hemoragik) saat fase akut dengan
kematian dan kecacatan. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa tingginya
tekanan darah pada level tertentu berkaitan dengan tingginya angka kecacatan dan
kematian.
Sebagian besar pasien stroke akut mengalami peningkatan tekanan darah
sistolik diatas 140 mmHg. Dari data penelitian BASC (Blood Pressure in Acute
Stroke Collaboration, 2001) dan IST (International Stroke Trial, 2002), 70 – 94%
pasien stroke akut mengalami peningkatan tekanan darah pada jam pertama
setelah terjadinya serangan stroke, dan 22,5 – 27,6% diantaranya mengalami
kondisi darurat hipertensif (Hypertensive emergency) dengan peningkatan tekanan
darah sistolik diatas 180 mmHg. Kira-kira 50% diantaranya memiliki riwayat
hipertensi sebelum mengalami serangan stroke.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stroke Iskemik


2.1.1. Defenisi
Definisi stroke menurut WHO (Iskandar, 2002) adalah penyakit gangguan
fungsional otak vokal maupun global akut dengan gejala dan tanda sesuai bagian
otak yang terkena, yang sebelumnya tanpa peringatan; yang dapat sembuh
sempurna, sembuh dengan cacat atau kematian; akibat gangguan aliran darah ke
otak karena perdarahan maupun non perdarahan. Dengan kata lain stroke dapat
didefinisikan sebagai gangguan suplai darah ke otak (Soeharto, 2004).
Stroke iskemik muncul akibat terbentuknya trombus lokal atau emboli
yang menyumbat arteri serebral. Pada aterosklerosis carotid, plak mungkin pecah,
sehingga melepaskan kolagen, agregasi platelet dan terbentuknya trombus.
Bekuan ini mungkin akan mengakibatkan penyumbatan lokal atau terdistribusi
hingga menyumbat pembuluh darah serebral. Hasil dari pembentukan trombus
ataupun embolisme adalah penyumbatan arteri sehingga laju darah serebral
menurun mengakibatkan iskemia dan akhirnya menyebabkan infark sepanjang
akibat penyumbatan ini (Dipiro, 2008).

2.1.2. Etiologi dan Gejala


Penyebab umum stroke adalah semua keadaan yang menyebabkan
tersumbat atau terobeknya pembuluh darah arteri otak bisa menyebabkan
terputusnya aliran darah dan menyebabkan stroke (Utomo, 2005).
Gejala-gejala yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah ke otak
dapat muncul untuk sementara, kemudian menghilang atau memberat/menetap.
Gejala ini dapat muncul karena akibat dari daerah otak tertentu tak berfungsi yang
disebabkan oleh adanya gangguan aliran darah ke tempat tertentu. Gejala yang
muncul sangat bervariasi tergantung bagian otak yang terganggu (Anonim, 2005).
Gejala sementara, yaitu hanya selama beberapa menit sampai beberapa jam
namun hilang begitu saja meski tanpa pengobatan. Hal demikian disebut TIA
(transient ischaemic attack). Sedangkan gejala yang timbul lebih dari 24 jam
disebut RIND (reversible ischaemic neurologic defisit).
1) Gangguan pada pembuluh darah karotis
a) Cabang pada karotis yang menuju otak bagian tengah, hal ini dapat
menimbulkan gejala sebagai berikut;
 Gangguan rasa di daerah muka/wajah sesisi atau disertai gangguan rasa di
lengan dan tungkai sesisi.
 Dapat terjadi gangguan gerak/kelumpuhan dari tingkat ringan sampai
kelumpuhan total pada lengan dan tungkai sesisi.
 Gangguan untuk berbicara baik berupa sulit untuk mengeluarkan kata-kata
maupun sulit mengerti pembicaraan orang lain.
 Gangguan penglihatan dapat berupa kebutaan satu sisi, atau separuh
lapangan pandangan.
 Mata selalu melirik ke arah satu sisi.
 Kesadaran menurun, tidak mengenal orang-orang yang sebelumnya
dikenalnya, mulut perot, pelo (disartri), merasa anggota badan sesisi tak
ada, tak dapat membedakan antara kiri dan kanan, sudah tampak tanda-
tanda kelainan namun dirinya tak merasa mengalami kelainan.
b) Cabang pada karotis yang menuju otak bagian depan, hal ini menunjukkan
gejala: kelumpuhan salah satu tungkai dan gangguan syaraf perasa,
ngompol, tidak sadar, gangguan mengungkapkan maksud dan menirukan
omongan orang lain.
c) Cabang pada karotis yang menuju otak bagian belakang, gejalanya adalah:
kebutaan pada seluruh lapangan pandangan satu sisi atauseparuh lapang
pandang pada kedua mata, rasa nyeri spontan atau hilangnya rasa nyeri
dan rasa getar pada separuh sisi tubuh, kesulitan memahami barang yang
dilihat, namun dapat mengerti jika meraba atau mendengar suaranya dan
kehilangan kemampuan mengenal warna.
2) Gangguan pembuluh darah vertebrobasilaris
Pada gangguan ini dapat menyebabkan gejala-gejala, antara lain:
gangguan gerak bola mata, hingga terjadi diplopia, jalan menjadi sempoyongan,
kehilangan keseimbangan, kedua kaki lemah, tak dapat berdiri, vertigo, muntah,
gangguan menelan, disartri, tuli mendadak (Iskandar, 2002).

2.1.3. Faktor Risiko Stroke


Secara garis besar faktor risiko stroke dibagi atas faktor risiko yang dapat
dimodifikasi (modifiable) dan yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable).
Faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi. Faktor resiko digolongkan menjadi
dua (Iskandar, 2002), yaitu:
1. yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable).
 Umur, semakin tua kejadian stroke juga semakin tinggi (Iskandar, 2002).
Resiko terkena stroke meningkat sejak usia 45 tahun. Setelah mencapai
usia 50 tahun, setiap penambahan usia 3 tahun meningkatkan resiko stroke
sebesar 11-20%, dengan peningkatan bertambah seiring usia. Orang
berusia lebih dari 65 tahun memiliki resiko paling tinggi, tetapi hampir
dari 25 % dari semua stroke terjadi orang usia kurang dari ini, dan hampir
4 % terjadi pada orang berusiaantara 15 dan 40 tahun. Stroke jarang terjadi
pada anak berusia kurang dari 15 tahun, tetapi jika terjadi, stroke ini
biasanya disebabkan oleh penyakit jantung bawaan, kelainan pembuluh
darah, trauma kepala atau leher, migrain, atau penyakit darah (Feigin,
2004).
 Ras/bangsa, Afrika/Negro, Jepang dan Cina lebih sering terkena stroke
(Iskandar, 2000). Diketahui bahwa stroke (terutama stroke hemoragik)
lebih sering terjadi pada orang keturunan Afrika, Asia, Afro-Karebia,
Maori, dan Kepulauan Pasifik dibandingkan denga n orang keturunan
Eropa. Sebagai contoh, stroke mengenai penduduk Maori dan Kepulauan
Pasifik 10-15 tahun lebih awal dibandingkan dengan orang Eropa (Feigin,
2004).
 Jenis kelamin, laki- laki lebih beresiko dibanding perempuan. Pria berusia
kurang dari 65 tahun memiliki resiko terkena stroke iskemik atau
perdarahan intraserebrum lebih tinggi sekitar 20% dari wanita. Namun,
wanita berusia berapapun memiliki resiko perdarahan subarakhnoid sekitar
50% lebih besar. Dibandingkan pria, wanita juga 3 kali lipat lebih
mungkin mengalami aneurisma intrakranium yang tidak pecah. Perbedaan
gender ini tidak terlalu mencolok pada kelompok usia dewasa muda,
dimana stroke mengenai pria dan wanita hampir sama banyaknya (Feigin,
2004).
 Riwayat keluarga, (orang tua/saudara) yang pernah mengalami stroke pada
usia muda, maka yamg bersangkutan beresiko tinggi terkena stroke. Gen
memang berperan besar dalam beberapa faktor resiko stroke, terutama jika
2 atau lebih anggota keluarga pernah mengalami pada usia kurang dari 65
tahun (Feigin, 2004)
2. Yang dapat dimodifikasi (modifiable)
 Hipertensi.
Meningkatnya resiko stroke dan penyakit kardiovaskular lain berawal pada
tekanan 115/75mmHg dan meningkat dua kali lipat setiap peningkatan
20/10 mmHg. Orang yang jelas menderita hipertensi (tekanan darah
sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg atau tekanan darah diastolik
sama atau lebih besar dari 90 mmHg) memiliki resiko stroke 7 kali lebih
besar dibandingkan mereka yang tekanan darahnya normal atau rendah.
Untuk orang berusia di atas 50 tahun, tekanan darah sistolik yang tinggi
(140 mmHg atau lebih) dianggap sebagai faktor resiko untuk stroke atau
penyakit kardiovaskuler lain yang lebih besar dibandingkan dengan
tekanan darah diastolik yang tinggi. Penelitian memperlihatkan bahwa
sekitar sepertiga hingga hampir separuh orang beru6aia 45 tahun
menderita hipertensi. Salah satu masalah utama pada hipertensi adalah
bahwa pada tahap awal gangguan ini tidak menimbulkan gejala. Pada
sebagian orang, hipertensi dapat menyebabkan sakit kepala tetapi hampir
30% penderita hipertensi tidak menyadari keadaan mereka apalagi
mengendalikannya (Feigin, 2004).
 Diabetes mellitus
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit umum yang mengenai sekitar 1
dari 30 orang dewasa. Namun, mengidap penyakit ini akan menggandakan
kemungkinan terkena stroke, karena diabetes menimbulkan perubahan
pada sistem vaskular (pembuluh darah dan jantung) serta mendorong
terjadinya ateroskerosis (Feigin, 2004) .
 TIA (Transient Ischemic Attack)
TIA atau serangan stroke sementara merupakan prediktor yang kuat.
Resiko ancaman terkena stroke ulangan setelah serangan TIA pada bulan
pertama sebesar 4-8%, dalam tahun pertama 12-13%, resiko dalam 5 tahun
sebesar 24-29% (Iskandar, 2002).
 Merokok
Merokok meningkatkan resiko stroke 4 kali lipat. Hal ini berlaku bagi
semua jenis rokok (sigaret, pipa, atau cerutu) dan untuk semua tipe stroke,
terutam perdarahan subarakhnoid dan stroke iskemik. Merokok
menyebabkan penyempitan dan pengerasan arteri di seluruh tubuh
(termasuk yang ada di otak, jantung dan tungkai), sehingga merokok
mendorong terjadinya aterosklerosis, mengurangi aliran darah, dan
menyebabkan darah cepatmenggumpal. Merokok juga meningkatkan
pembentukan dan pertumbuhan aneurisma intracranial (Feigin, 2004).
Merokok menyebabkan koagubilisitas, viskositas darah, level vibrinogen,
mendorong agregasi platelet, meningkatkan tekanan darah, menaikkan
hematokrit dan menurunkan HDL (Anonim, 2004).
 Pengonsumsi alkohol
Minum 75 g alkohol atau lebih dalam periode 24 jam dan alkoholisme
(kecanduan alkohol) meningkatkan tekanan darah sehingga meningkatkan
resiko stroke (terutama stroke hemoragi) beberapa kali lipat (Feigin,
2004).
 Obat kontrasepsi oral
Obat kontrasepsi oral dapat menimbulkan kejadian stroke telah diterima
dengan luas, hanya berapa besar dosisnya belum ada kesesuaian pendapat.
Sebagian besar kontrasepsi mengandung estrogen dan progesteron yang
dapat meningkatkan tekanan darah dan menyebabkan darah lebih kental
dan lebih mudah membentuk bekuan/ gumpalan (Feigin,2004).
 Obesitas
Obesitas memicu proses aterosklerosis yang dihubungkan dengan
hipertensi, hiperlipidemia dan DM. Analisa multi varian pada studi
Famingham (Iskandar, 2002) membuktikan bahwa berat badan 30% atau
lebih di atas normal merupakan faktor resiko independen bermakna bagi
laki-laki yang berusia antara 35-64 tahun dan wanita berusia 65-94 tahun.
Obesitas dapat menyebabkan terjadinya stroke lewat efek snoring atau
mendengkur dan sleep apnea, karena terhentinya suplai oksigen secara
mendadak di otak (Iskandar, 2002).
 Kurang aktifitas fisik
Orang yang kurang aktif secara fisik (mereka yang berolah raga kurang
dari 3 kali atau kurang per minggu, masing- masing selama 30 menit)
memiliki hampir 50% peningkatan resiko terkena stroke dibandingkan
dengan mereka yang aktif (Feigin, 2004).
 Hiperkolesterolemia
Kolesterol merupakan salah satu zat di dalam aliran darah, semakin tinggi
kadarnya maka akan semakin tinggi pula kemungkinan terjadinya
penimbunan pada dinding pembuluh darah. Hal ini menyebabkan
pembuluh darah menjadi lebih sempit sehingga mengganggu suplai darah
ke otak yang disebut dengan stroke (Thomas,1995). Peranan
hiperkolesterolemia pada proses pembentukan plak aterosklerosis sangat
menonjol, kadar kolesterol LDL yang rendah serta kadar trigliserida
plasma yang tinggi harus di waspadai. Kadar kolesterol juga tidak boleh
terlalu rendah, sebab akan menimbulkan lemahnya dinding endotelium
arteri otak, sehingga mudah terjadi pendarahan intrakranial (Iskandar,
2002). Kolesterol total mencakup kolesterol HDL dan LDL serta lemak
lain di dalam, kadarnya tidak boleh lebih dari 200mg/dl. LDL yang kadang
juga disebut kolesterol jahat kadarnya sebaiknya 130mg/dl dan kadar HDL
harus lebih dari 40mg/dl untuk membantu tubuh membuang kolesterol
(Thomas, 1995).
 Stress fisik dan mental
Stres dapat mengakibatkan hati memproduksi radikal bebas lebih banyak,
selain itu stres dapat mempengaruhi dan menurunkan fungsi imunitas
tubuh serta juga menyebabkan gangguan fungsi hormonal (Iskandar,
2002).
 Penyakit jantung
Orang yang mengidap masalah jantung, misalnya angia, fibrilasi atrium,
gagal jantug, kelainan katub, katub buatan, dan cacat jantung bawaan,
berisiko besar mengalami stroke. Bekuan darah, yang dikenal sebagai
embolus, kadang-kadang terbentuk di jantung akibat adanya kelainan di
katub jantung, irama yang tidak teratur, atau setelah serangan jantung.
Embulus ini kemudian terlepas dan mngalir ke otak atau ke bagian tubuh
lain. Setelah berada di otak, bekuan darah tersebut menyumbat arteri dan
menyebabkan stroke iskemik (Soeharto, 2004). Salah faktor resiko paling
penting bagi stroke adalah fibrilasi atrium (FA). FA diklasifikasikan
sebagai suatu jenis denyut jantung yang tidak teratur dimana atrium kiri
jantung berdenyut dengan cepat dan tidak dapat diperkirakan (Feigin,
2004).

2.1.4. Patofisiologi
Penyumbatan pembuluh darah merupakan 80% kasus dari kasus stroke.
Penyumbatan sistem arteri umumnya disebabkan oleh terbentuknya trombus pada
ateromatus plaque pada bifurkasi dari arteri karotis.Erat hubungannya dengan
aterosklerosis (terbentuknya ateroma) dan arteriolosclerosis.
Aterosklerosis merupakan pengerasan pembuluh darah atau terbentuknya
plak pada pembuluh darah, dimana dinding arteri menjadi lebih tebal dan kurang
lentur. Aterosklerosis yang dapat disebabkan oleh obesitas ataupun kolesterol,
sehingga kadar LDL nya meningkat, LDL sangat mudah teroksidasi oleh radikal
bebas yang akan mengoksidasi membran sel endotel, akhirnya sel endotel rusak
yang akan menghasilkan sel V-CAM. Sel V-CAM tersebut dapat menarik monosit
dari pembuluh darah pindah ke dinding pembuluh darah (subendotel) kemudian
berubah menjadi sel magrofak yang akan memfagositasi LDL yang teroksidasi
sehingga terbentuk sel busa. Sel busa semakin banyak akhirnya dinding pembuluh
darah menebal dan lumen pembuluh darah menyempit. Jika penyempitan ini
terjadi di pembuluh darah otak maka akan menyebabkan terjadinya stroke
(Ropper, 2005).
Ketika terjadi aterosklerosis di pembuluh darah otak, maka pembuluh
darah otak menjdi lebih kecil dan aliran darah ke otakpun juga sedikit. Sedangkan
jantung tetap memompakan darah keseluruh tubuh termasuk otak sehingga darah
terus terdesak sementara pembuluh darah kecil sehingga menyebabkan suplai
darah ke otak menjadi terganggu (stroke), lama kelamaan akan menyebabkan
terjadinya penumpukan darah di otak (stroke iskemik) dan Jika hal ini terus
dibiarkan maka akan dapat menyebabkan terjadinya pecah pembuluh darah di
otak (stroke hemoragik) (Ropper, 2005).

2.1.5. Klasifikasi
Pada umumnya stroke digolongkan menjadi dua (Iskandar, 2002), yaitu:
1) Stroke Perdarahan
Stroke perdarahan disebabkan oleh perdarahan suatu arteri serebralis yang
disebut hemoragi. Darah yang keluar dari pembuluh darah dapat masuk ke dalam
jaringan otak, sehingga terjadi hematom. Hematom ini menyebabkan timbulnya
tekanan tinggi intrakranial (TTIK). Perdarahan dapat disebabkan aneurisma arteri
besar (berry), malformasi arteri vena, lesi aterosklerotik, infeksi (mikosis),
hipertensi (aneurisma arteri kecil/arteriol), angioma/tumor otak, dan trauma
kepala.Stroke perdarahan dibagi atas: perdarahan intraserebral dan perdarahan
subarakhnoid.
a) Perdarahan Intraserebral (PIS)
Perdarahan intraserebral diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah
intraserebral sehingga darah keluar dari pembuluh darah dan kemudian masuk ke
dalam jaringan otak. Bila perdarahannya luas dan secara mendadak sehingga
daerah otak yang rusak cukup luas, maka keadaan ini biasa disebut ensepaloragi.
Penyebab PIS biasanya karena hipertensi yang berlangsung lama lalu terjadi
kerusakan dinding penbuluh darah, dan sala h satunya adalah terjadinya
mikroaneurisma. Faktor pencetus lain adalah stres fisik, emosi, peningkatan
tekanan darah mendadak yang mengakibatkan pecahnya penbuluh darah. Enam
puluh persen hingga tujuh puluh lima persen PIS disebabkan oleh hipertensi,
penyebab lainnya adalah deformitas pembuluh darah bawaan, tumor otak yang
kaya akan pembuluh darah, kelainan koagulasi. 70% kasus berakibat fatal,
terutama apabila perdarahannya luas (masif).
b) Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Perdarahan subarakhnoid adalah masuknya darah ke ruang subarakhnoid
baik dari tempat lain (perdarahan subarakhnoid sekunder, atau sumber perdarahan
berasal dari rongga subarakhnoid itu sendiri (perdarahan subarakhnoid primer).
Penyebab yang paling sering dari PSA primer adalah robeknya aneurisma (51-
75%), dan sekitar 90% aneurisma penyebab PSA berupa aneurisma kongenital,
angioma (6-20%), gangguan koagulasi (obat antikoagulan), kelainan hematologik
(misalnya trombositopenia, leukemia, anemia aplastik), tumor, infeksi (missal
vaskulitis, siphilis, ensefalitis, herpes simpleks, mikosis, TBC), idiopatik atau
tidak diketahui (25%), serta trauma kepala (Iskandar, 2002).
2) Stroke non perdarahan (infark iskemik), stroke jenis ini dibagi atas:
Stroke iskemik mempunyai berbagai etiologi, tetapi pada prinsipnya
disebabkan oleh aterotrombosis atau emboli, yang masing- masing akan
mengganggu atau memutuskan aliran darah otak atau cerebral blood flow (CBF).
Berdasarkan perjalanannya klinisnya stroke iskemik (non hemorologik)
dikelompokkan menjadi empat (Iskandar, 2002), yaitu:
 Transient ischemic attack (TIA), adalah serangan stroke sementara yang
berlangsung kurang dari 24 jam.
 Reversible Ischemic Neurologic (RIND), adalah gejala neurologis akan
menghilang antara lebih dari dari 24 jam- 21 hari.
 Progressing Stroke atau Stroke In Evolution, adalah kelainan deficit
neurologic berlangsung secara bertahap dari yang ringan sampai menjadi
berat.
 Completed Stroke, adalah kelainan neureologis sudah menetap dan tidak
berkembang lagi.
Berdasar penyebabnya stroke iskemik dibedakan atas: aterotrombolik (erat
hubungannya dengan platelet, trombosis), kardioemboli, lekunar dan penyebab
lain yang menyebabkan hipotensi. Menurut berbagai literatur insiden stroke
perdarahan antara 15%-30% dan stroke iskemik antara 70%-85%, tetapi untuk
negara-negara berkembang atau Asia kejadian stroke perdarahan sekitar 30% dan
iskemik 70%, terdiri dari trombosis serebri 60%, emboli serebri 5%, dan lain- lain
35% (Feigin, 2004)

2.1.6. Penatalaksanaan Stroke (Pengobatan Stroke)


a. Tujuan penatalaksanaan
Tujuan intervensi terapi pada stroke (iskemik) akut adalah untuk
memperbaiki hasil fungsional setelah terjadinya stroke. Pengembangan terapi
eksperimental dinilai efektifitasnya berdasarkan pada pengecilan area infark
setelah dilakukan terapi. Secara implisit dianggap bahwa bila area infark
diperkecil maka hasil terapi akan lebih baik (Iskandar, 2002).
Sedangkan penatalaksanaan stroke menurut recurence adalah untuk
mencegah kematian / luka neurologis, mengurangi kematian dan ketidakmampuan
jangka panjang, mencegah komplikasi akibat immobilitas dan disfungsi
neurologis, dan mencegah stroke muncul kembali (Ropper, 2005).

b. Prinsip pengobatan
Pada prinsipnya pengobatan pada penderita stroke bertujuan untuk:
memperbaiki daerah yang rusak/infark, mengatasi penyakit dasarnya,
meningkatkan aliran darah ke otak, mencegah adanya edema otak, dengan
memberikan zat hiperosmolar dan memperbaiki aliran darah di daerah iskemik
(Anonim, 1996). Pada kerusakan sel otak akut dapat terjadi perbaikan secara
lengkap ataupun tidak, yang berlangsung beberapa hari, minggu sampai beberapa
bulan. Perbaikan pada fungsi neuron dapat berlangsung paling sedikit dalam
waktu setahun. Prediksi perbaikan sangat tergantung pada luasnya deficit
neurologi awal, perkembangan lesi, ukuran dan lokasi kelainan otak serta keadaan
sebelumnya. Disamping hal tersebut usia, nutrisi, pengalaman sebelumnya dan
latihan pasca lesi merupakan faktor yang ikut menentukan dalam proses perbaikan
(Anonim, 1996).
c. Terapi dengan obat
Terapi stroke didasarkan pada jenis stroke, yaitu stroke iskemik dan non
iskemik.
Terapi stroke non iskemik adalah:
1) Terapi edema otak
Edema serebri genaralisata, terjadi terutama pada stadium 3-5, dengan:
(a) Manitol bolus 1 gram/kbBB dalam 20 menit, dilanjutkan dengan dosis
0,25-0,5 gram/kgBB setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam. Target
osmolaritas antara 300-320 mosmol/L.
(b) Gliserol 50% oral 0,25-1 gram per kgBB setiap 4-6 jam atau gliserol
10% i.v 10ml/ kg dalam 3-4 jam, bila edema ringan sampai sedang.
(c) Furosemid: 1 mg / kgBB i.v
(d) Intubasi dan hiperventilasi terkontrol dengan oksigen hiperbarik
sampai P karbon do oksida 22-39mmHg. Pernafasan buatan termasuk
mengatasi hiperventilasi jika pasien tidak sadar, zat hiperosmolar
(mengembalikan cairan dari jaringan otak ke aliran darah) dan
kortikosteroid berfungsi menstabilkan dinding sel, sehingga dapat
mencegah edema otak (Iskandar, 2002).
2) Terapi antihipertensi
Hipertensi meningkatkan resiko perdarahan ulang (rekurens) bisa
diberikan alfa-beta bloker, antagonis kalsium, ACE inhibitor,
Nanitroprusit. Edema otak meningkatkan tekanan intrakranial, sehingga
menyebabkan hipertensi. Tensi diturunkan bila: tekanan sistolik >220
diastolik >120 mmHg pada dua kali pengukuran selang 30 menit. Bila
diastolik >140mmHg pada dua kali pengukuran selang 5 menit, dapat
diturunkan dengan cepat, sambil dipantau secara kontinu (Iskandar, 2002).
3) Terapi heperglikemia
Dikoreksi hingga gula darah sewaktu sekitar 100 mg% dengan insulin
drips kontinu 2-3 hari pertama (Anonim, 2004).
4) Terapi hipoglikemia
Hipoglikemi harus diatasi segera dengan dekstrose 40% i.v sampai normal
dan penyebabnya diobati (Iskandar, 2002).
5) Terapi defisit neurologik iskemik/ vasos pame
Progresi PSA: fasospasmik lokal/umum defisit neurologik akibat iskemia
antagonis kalsium serebral limoditif. Efek terhadap vasos pame pembuluh
darah besar otak lebih ringan dari pada pembuluh darah otak kecil efek
protektif terhadap sel-sel syaraf (Iskandar, 2002).
6) Antifibrinolisis
Misalnya diberikan asam traneksamid penghancuran thrombus dihambat.
Kontroversial karena koagulasi meluasnya infark otak, trombosis vena
tungkai dan emboli paru (Iskandar, 2002).

Berdasarkan Dewan Asosiasi Stroke AS (Dipiro, 2005), umumnya hanya


ada dua agen farmakologi yang direkomendasikan, yaitu jaringan aktivator
plasminogen (tPA) intravena dengan onset 3 jam dan aspirin dengan onset 48 jam.
Kecepatan reperfusi (<3 jam onset) dengan tPA intravena memperlihatkan
penurunan kecacatan pada stroke iskemik. Dalam terapi yang harus diperhatikan
adalah ketepatan pemberian obat untuk mencapai efek yang diinginkan (Dipiro,
2005). Selain itu yang harus diperhatikan antara lain;
1) Penanganan stroke
2) Onset symtom dalam 3 jam.
3) Hasil CT Scan.
4) Pemberian tPA 0,9mg/kg lebih dari 1 jam dengan 10% pemberian awal.
5) Kesesuaian penderita dengan kriteria antara lain: berusia 18 tahun atau
lebih, diagnosa stroke iskemik disebabkan karena berkurangnya kadar
neurologik dan onset gejala baik bila ditegakkan kurang dari 180 menit
sebelum pengobatan dimulai.
6) Pencegahan dengan terapi antitrombolitik (antikoagulan/antiplatelet)
selama 24 jam.
7) Memonitor respon pasien dan perdarahan yang terjadi padanya. Apabila
aspirin diberikan secepatnya dapat menurunkan tingkat kematian dan
kecatatan akan tetapi untuk terapai pencegahan tidak pernah diberikan
selama 24 jam, na hal tersebut akan dapat menambah resiko perdarahan
pada beberapa pasien.
Berdasarkan gudelines ACCP (American Colege of Chest Physician)
(Dipiro, 2005), terapi anti trombolitik sebagai dasar pencegahan pendukung untuk
stroke iskemik dan stroke non kardiologi adalah antiplatelet. Dewasa ini
antiplatelet yang digunakan adalah aspirin, clopidogrel, dan yang lebih luas
digunakan adalah extended release dipyridamole plus aspirin (ERDP+ASA).
Pasien dengan atrial fibrilasi dan emboli kardiak pilihan utamanya adalah
warfarin. Mengenai kasus akut dan pencegahan pendukung diberikan obat seperti
tertera pada tabel di bawah ini :

Sedangkan penatalaksanaan stroke iskemik akut menurut PERDOSSI


(PerhimpunanDokter Spesialis Saraf Indonesia) 2011 :
1. Pengobatan terhadap hipertensi pada stroke akut
Berbagai guideline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan
penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan secara hati-
hati. Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15%
(sistolik maupun diastolik) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila TDS >
220 mmHg atau TDD >120 mmHg. Selanjutnya tekanan darah harus dipantau
hingga TDS < 180 mmHg dan TDD < 105 mmHg selama 24 jam setelah
pemberian rtPA.Obat antihipertensi yang digunakan adalah labetalol, nitropaste,
nitroprusid, nikardipin atau diltiazem secara intravena.
2. Pemberian obat yang dapat menyebabkan hipertensi tidak
direkomendasikan diberikan pada kebanyakan pasien stroke iskemik.
3. Pengobatan terhadap hipoglikemia atau hiperglikemia
 Hindari kadar gula darah melebihi 180 mg/dl, disarankan dengan
infus salin dan menghindari larutan glukosa dalam 24 jam pertama
setelah serangan stroke akan berperan dalam mengendalikan kadar
gula darah. Hipoglikemia (< 50 mg/dl) mungkin akan
memperlihatkan gejala mirip stroke infark, dan dapat diatasi
dengan pemberian bolus dekstrose atau infus glukosa 10-20%
sampai kadar gula darah 80-110 mg/dl.
 Indikasi dan syarat-syarat pemberian insulin:
- Stroke hemoragik dan non hemoragik dengan IDDM atau
NIDDM
- Bukan stroke lakunar dengan diabetes mellitus
 Kontrol gula darah selama fase akut stroke
 Insulin reguler subkutan menurut skala luncur
Sangat bervariasi dan harus disesuaikan dengan kebutuhan tiap
penderita.Pada hiperglikemia refrakter dibutuhkan IV insulin.

Gula darah (mg/dl) Dosis insulin subkutan (unit)


150 – 200 2
201 – 250 4
251 – 300 6
301 – 350 8
≥ 351 10

 Protokol pemberian insulin intravena


Guideline umum:
- Sasaran kadar glukosa darah= 80 – 180 mg/dl , 90 – 110 mg/dl
untuk intensive care unit (ICU)
- Standar drip insulin 100 U/ 100 ml 0,9% NaCl via infus (1 U/
1 ml). Infus insulin harus dihentikan bila penderita makan dan
menerima dosis pertama dari insulin subkutan.
 Pengobatan bila timbul hipoglikemia (glukosa darah < 60 mg/dl)
- Hentikan insulin drip
- Berikan dekstrose 50% dalam air (D5OW) intravena bila
gula darah < 60 mg/dl. Mulai lagi dengan insulin drip
bila gula 2 kali > 70 mg/dl (periksa 2 kali). Mulai insulin
drip dengan algoritma lebih rendah.
4. Strategi untuk memperbaiki aliran darah dengan mengubah reologik darah
secara karakteristik dengan meningkatkan tekanan perfusi tidak
direkomendasikan.
5. Pemberian terapi trombolisis rTPA pada stroke akut.
6. Pemberian antikoagulan
a. Antikoagulasi yang urgent dengan tujuan mencegah timbulnya stroke
ulang awal, menghentikan perburukan defisit neurologi, atau
memperbaiki keluaran setelah stroke iskemik akut tidak
direkomendasikan sebagai pengobatan untuk pasien dengan stroke
iskemik akut.
b. Antikoagulasi urgent tidak direkomendasikan pada penderita dengan
stroke akut sedang sampai berat karena meningkatnya risiko komplikasi
perdarahan intracranial.
c. Inisiasi pemberian terapi antikoagulan dalam jangka waktu 24 jam
bersamaan dengan pemberian rTPA tidak direkomendasikan.
d. Secara umum, pemberian heparin, LMWH atau heparinoid setelah stroke
iskemik akut tidak bermanfaat. Namun, beberapa ahli masih
merekomendasikan heparin dosis penuh pada penderita stroke iskemik
akut dengan risiko tinggi terjadi reembolisasi, diseksi arteri atau stenosis
berat arteri karotis sebelum pembedahan.
7. Pemberian antiplatelet
a. Pemberian aspirin dalam 24 sampai 48 jam setelah awitan stroke
dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut.
b. Aspirin tidak boleh digunakan sebagai tindakan intervensi akut pada
stroke, seperti pemberian rTPA intravena.
c. Jika direncanakan pemberian trombolitik, aspirin jangan diberikan.
d. Penggunaan aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam setelah
pemberian trombolitik tidak direkomendasikan.
e. Pemberian klopidogrel saja, atau kombinasi dengan aspirin, pada stroke
iskemik akut tidak dianjurkan, kecuali pada pasien dengan indikasi
spesifik, pengobatan harus diberikan sampai 9 bulan setelah kejadian.
f. Pemberian antiplatelet intravena yang menghambat reseptor glikoprotein
IIb/IIIa tidak dianjurkan.
8. Pemakaian vasodilator seperti pentoksifilin tidak dianjurkan dalam terapi
stroke iskemik akut.
9. Dalam keadaan tertentu, vasopressor terkadang digunakan untuk
memperbaiki aliran darah ke otak.
10. Pemakaian obat-obatan neuroprotektor belum menunjukkan hasil yang
efektif, sehingga sampai saat ini belum dianjurkan. Namun, citicolin
sampai saat ini masih memberikan manfaat pada stroke akut. Penggunaan
citicolin pada stroke iskemik akut dengan dosis 2 x 1000 mg intravena
selama 3 hari dilanjutkan dengan oral 2 x 1000 mg selama 3 minggu
dilakukan dalam penelitian ICTUS (International Trial in Acute Stroke).
Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh PERDOSSI secara
multisenter, pemberian plasmin oral 3 x 500 mg pada 66 pasien di 6 rumah
sakit pendidikan di Indonesia menunjukkan efek positif pada penderita
stroke akut berupa perbaikan motorik, score MRS dan Bhartel index.
Penatalaksanaan Stroke iskemik (Dipiro, 2008).

2.2 Hipertensi
2.2.1. Defenisi
Hipertensi merupakan suatu keadaan tingginya tekanan darah seseorang
(tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan atau diastolik 90 mmHg) yang
diukur secara berulang-ulang. Tekanan darah normal 120/80 mmHg. Naiknya
tekanan darah pada seseorang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
faktor genetik, hormone, kekurangan asupan kalium dan kalsium, obesitas.
Hipertensi dapat juga disebabkan oleh penyakit lain seperti diabetes, konsumsi
obat-obat tertentu, seperti pil KB, perubahan dalam sistem kerja organ tubuh,
seperti: perubahan pada tahanan pembuluh darah, gangguan pada tekanan darah,
perubahan transport ion dalam sel asupan garam yang berlebih (Depkes RI, 2006 ;
WHO, 1999).
Hipertensi dapat menyebabkan stroke iskemik maupun perdarahan, tetapi
kejadian strok perdarahan akibat hipertensi lebih banyak sekitar 80%. Pada
perdarahan, hipertensi kronis diduga menyebabkan lipohialinosis parenkim
pembuluh darah kecil; hipertensi pada kasus iskemik terjadi karena adanya cedera
(injuri) pada sel endotel pembuluh darah yang kemudian berkembang menjadi
plak aterosklerotik yang mempersempit lumen pembuluh darah. Risiko stroke
bertambah sebanding dengan beratnya hipertensi, dari hasil studi Framingham,
bila tekanan darah > 160/95 mmHg risiko stroke meningkat antara 3.1 kali pada
laki-laki dan 2.9 kali pada wanita (Junaidi, 2011).
Terdapat perbedaan dari beberapa sumber mengenai definisi peningkatan
darah akut. Definisi yang paing sering dipakai adalah (MEDICINUS, 2014) :
1. Hipertensi emergensi (darurat)
Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastoik > 120
mmHg secara mendadak di-sertai kerusakan organ target. Hipertensi emergensi
harus ditanggulangi sesegera mungkin dalam satu jam dengan memberikan obat-
obatan anti hipertensi intravena.
2. Hipertensi urgensi (mendesak)
Peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi namun tanpa
disertai kerusakan organ target. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera
diturunkan dalam 24 jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi oral.
Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan hipertensi krisis
antara lain:
 Hipertensi refrakter
Respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan darah > 200/110
mmHg, walaupun telah di- erikan pengobatan yang efektif (triple drug)
pada penderita dan kepatuhan pasien.
 Hipertensi akselerasi
Peningkatan tekanan darah diastolic > 120 mmHg disertai dengan kelainan
funduskopi. Bila tidak diobati da-pat berlanjut ke fase maligna.
 Hipertensi maligna
Penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah diastolik > 120-130
mmHg dan kelainan funduskopi disertai papil edema, peninggian tekanan
intrakranial, kerusakan yang epat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun
kematian bila penderita tidak mendapatkan pengobatan. Hipertensi
maligna biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi esensial
ataupun sekunder dan jarang pada penderita yang sebelumnya mempunyai
tekanan darah normal.
 Hipertensi ensefalopati
Kenaikan tekanan darah dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit
kepala yang hebat, penurunan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi
reversibel bila tekanan darah tersebut diturunkan.

2.2.1 Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang
beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui
(essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan
tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah
mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak
penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab
hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat
disembuhkan secara potensial. Adapun obat-obatan yang dapat menyebabkan
hipertensi adalah:
 Kortikosteroid, ACTH
 Estrogen (biasanya pil KB dg kadar estrogen
tinggi)
 NSAID, cox-2 inhibitor
 Fenilpropanolamine dan analog
 Cyclosporin dan tacrolimus
 Eritropoetin
 Sibutramin
 Antidepresan (terutama venlafaxine
Keterangan
NSAID: non-steroid-anti-inflammatory-drug,
ACTH: adrenokortikotropik hormon
Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vascular, berupa
disfungsi endotel, remodeling, dan arterial striffness. Namun faktor penyebab
hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi masih belum dipahami. Diduga
karena terjadinya peningkatan tekanan darah secara cepat disertai peningkatan
resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan
menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat
kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi.
2.2.2 Klasifikasi Tekanan Darah Hipertensi
Klasifikasi tekanan darah oleh JNC 7 untuk pasien dewasa (umur ≥ 18
tahun) ini dibuat berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih
pada dua atau lebih kunjungan klinis.
Klasifikasi tekanan Tekanan darh sistolik Tekanan darah
darah (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 < 80
Pre hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage I 140-149 90-99
Hipertensi stage II ≥ 160 ≥100

2.2.3 Patofisiologi
Mekanisme patogenesis hipertensi yaitu peningkatan tekanan darah yang
dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer (Dipiro, 2005). Mekanisme
hipertensi tidak dapat dijelaskan dengan satu penyebab khusus, melainkan sebagai
akibat interaksi dinamis antara faktor genetik,lingkungan dan faktor lainnya.
Tekanan darah dirumuskan sebagai perkalian antara curah jantung dan atau
tekanan perifer yang akan meningkatkan tekanan darah. Retensi sodium, turunnya
filtrasi ginjal, meningkatnya rangsangan saraf simpatis, meningkatnya aktifitas
renin angiotensin alosteron, perubahan membransel, hiperinsulinemia, disfungsi
endotel merupakan beberapa faktor yang terlibatdalam mekanisme hipertensi.
Mekanisme patofisiologi hipertensi salah satunya dipengaruhi oleh
sistemrenin angiotensin aldosteron, dimana hampir semua golongan obat anti
hipertensibekerja dengan mempengaruhi sistem tersebut. Renin angiotensin
aldosteron adalah sistem endogen komplek yang berkaitan dengan pengaturan
tekanan darah arteri. Aktivasi dan regulasi sistem renin angiotensin aldosteron
diatur terutama oleh ginjal. Sistem renin angiotensi aldosteron mengatur
keseimbangan cairan,natrium dan kalium. Sistem ini secara signifikan
berpengaruh pada aliran pembuluh darah dan aktivasi sistem saraf simpatik serta
homeostatik regulasitekanan darah (Dipiro, 2005).
(MEDICINUS, 2014)

2.2.4. Pendekatan diagnosis


Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi dan urgensi harus
dapat dilakukan dengancepat dan tepat sehingga dapat mengurangi angka
morbiditas dan mortalitas pasien. Anamnesistentang riwayat penyakit
hipertensinya, obat-obatan anti hipertensi yang rutin diminum, kepatuhanminum
obat, riwayat konsumsi kokain, amphetamine dan phencyclidine. Riwayat
penyakit yang menyertai dan penyakit kardiovaskular atau ginjal penting
dievaluasi. Tanda-tanda defisit neurologicharus diperiksa seperti sakit
kepala,penurunan kesadaran, hemiparesis dan kejang.
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan seperti hitung jenis, elektrolit,
kreatinin dan urinalisa, Foto thorax, EKG dan CT- scan kepala sangat penting
diperiksa untuk pasien-pasien dengan sesaknafas, nyeri dada atau perubahan
status neurologis. Pada keadaan gagal jantung kiri dan hipertrofiventrikel kiri
pemeriksaan ekokardiografi perlu dilakukan. Berikut adalah bagan alur
pendekatandiagnostik pada pasien hipertensi:

2.2.5. Penatalaksanaan
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan
rutin tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluarga
neurologis. Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan
sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke. Berbagai
Gudeline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan penurunan
tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan secara hati-hati dengan
memperhatikan beberapa kondisi di bawah ini.
a) Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15%
(sistolik maupun diastolic) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila
tekanan darah sistolik (TDS) >220 mmHg atau tekanan darah diastolic
(TDD) >120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diberi
terapi trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga TDS <185
mmHg dan TDD <110 mmHg (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
Selanjutnya, tekanan darah harus dipantau hingga TDS <180 mmHg dan
TDD <105 mmHg selama 24 jam setelah pemberian rtPA. Obat
antihipertensi yang digunakan adalah labetalol, nitropaste, nitroprusid,
nikardipin, atau diltiazem intravena.
b) Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (AHA/ASA, Class IIb,
Level of evidence C), apabila TDS >200 mmHg atau Mean Arterial
Preassure (MAP) >150 mmHg, tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontiniu dengan
pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
c) Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala
dan tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan tekanan
intracranial. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat
antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten dengan pemantauan
tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg.
d) Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala
dan tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan
secara hati-hati dengan menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu
atau intermitten dengan pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga
MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg. Pada studi
INTERACT 2010, penurunan TDS hingga 140 mmHg masih
diperbolehkan. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence.
e) Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220 mmHg,
penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup
aman (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B). Setelah kraniotomi,
target MAP adalah 100mmHg.
f) Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah
pada penderita stroke perdarahan intraserebral.
g) Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta (labetalol
dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem) intravena,
digunakan dalam upaya diatas.
h) Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena
mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial, meskipun bukan
kontraindikasi mutlak.
i) Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus
dipantau dan dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral
untuk mencegah resiko terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta
perdarahan ulang (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Untuk
mencegah terjadinya perdarahan subaraknoid berulang, pada pasien stroke
perdarahan subaraknoid akut, tekanan darah diturunkan hingga TDS 140-
160 mmHg. Sedangkan TDS 160-180 mmHg sering digunakan sebagai
target TDS dalam mencegah resiko terjadinya vasospasme, namun hal ini
bersifat individual, tergantung pada usia pasien, berat ringannya
kemungkinan vasospasme dan komorbiditas kardiovaskular.
j) Calcium Channel Blocker (nimodipin) telah diakui dalam berbagai
panduan penatalaksanaan PSA karena dapat memperbaiki keluaran
fungsional pasien apabila vasospasme serebral telah terjadi. Pandangan
akhir-akhir ini menyatakan bahwa hal ini terkait dengan efek
neuroprotektif dari nimodipin.
k) Terapi hiperdinamik dengan ekspansi volume, dan induksi hipertensi dapat
dilakukan dalam penatalksanaan vasospasme serebral pada PSA
aneurismal (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B), tetapi target
rentang tekanan darah belum jelas.
l) Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga
lebih rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam
target organ lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema
paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan
tersebut adalah 15-25% pada jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam
6 jam pertama.
Tabel 1. Obat antihipertensi pada stroke akut

(GUIDELINE STROKE, 2011)


(GUIDELINE STROKE, 2011)
Tabel 2. Obat-obatan parenteral yang digunakan untuk terapi hipertensi emergensi

(GUIDELINE STROKE, 2011)

2.3 Hipokalemia
2.3.1.Definisi
Hipokalemia (kadar kalium yang rendah dalam darah) adalah suatu keadaan
dimana konsentrasi kalium dalam darah kurang dari 3.8 mEq/L darah.
2.3.1.Penyebab
Ginjal yang normal dapat menahan kalium dengan baik. Jika konsentrasi
kalium darah terlalu rendah, biasanya disebabkan oleh ginjal yang tidak
berfungsi secara normal atau terlalu banyak kalium yang hilang melalui
saluran pencernaan (karena diare, muntah, penggunaan obat pencahar dalam
waktu yang lama atau polip usus besar). Hipokalemia jarang disebabkan
oleh asupan yang kurang karena kalium banyak ditemukan dalam makanan
sehari-hari.
Kalium bisa hilang lewat air kemih karena beberapa alasan. Yang paling
sering adalah akibat penggunaan obat diuretik tertentu yang menyebabkan
ginjal membuang natrium, air dan kalium dalam jumlah yang berlebihan.
Pada sindroma Cushing, kelenjar adrenal menghasilkan sejumlah besar
hormon kostikosteroid termasuk aldosteron.
Aldosteron adalah hormon yang menyebabkan ginjal mengeluarkan
kalium dalam jumlah besar. Ginjal juga mengeluarkan kalium dalam jumlah
yang banyak pada orang-orang yang mengkonsumsi sejumlah besar kayu
manis atau mengunyah tembakau tertentu. Penderita sindroma Liddle,
sindroma Bartter dan sindroma Fanconi terlahir dengan penyakit ginjal
bawaan dimana mekanisme ginjal untuk menahan kalium terganggu.
Obat-obatan tertentu seperti insulin dan obat-obatan asma (albuterol,
terbutalin dan teofilin), meningkatkan perpindahan kalium ke dalam sel dan
mengakibatkan hipokalemia. Tetapi pemakaian obat-obatan ini jarang
menjadi penyebab tunggal terjadinya hipokalemia.

2.3.3.Gejala
Hipokalemia ringan biasanya tidak menyebabkan gejala sama sekali.
Hipokalemia yang lebih berat (kurang dari 3 mEq/L darah) bisa
menyebabkan kelemahan otot, kejang otot dan bahkan kelumpuhan. Irama
jantung menjadi tidak normal, terutama pada penderita penyakit jantung.

2.3.4.Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan darah dan gejala-
gejalanya.
2.3.5.Pengobatan
Kalium biasanya dapat dengan mudah digantikan dengan mengkonsumsi
makanan yang banyak mengandung kalium atau dengan mengkonsumsi
garam kalium (kalium klorida) per-oral. Kalium dapat mengiritasi saluran
pencernaan, sehingga diberikan dalam dosis kecil, beberapa kali sehari.
Sebagian besar orang yang mengkonsumsi diuretik tidak memerlukan
tambahan kalium. Tetapi secara periodik dapat dilakukan pemeriksaan ulang
dari konsentrasi kalium darah sehingga sediaan obat dapat diubah bilamana
perlu. Pada hipokalemia berat, kalium bisa diberikan secara intravena. Hal
ini dilakukan dengan sangat hati-hati dan biasanya hanya dilakukan di
rumah sakit, untuk menghindari kenaikan kadar kalium yang terlalu tinggi.
BAB III
ILUSTRASI KASUS

3.1 Identitas Pasien


Tanggal kunjungan : 16 Februari 2017
No.Rekam Medik : 0979xx
Nama Pasien : Ny. S
Umur : 52 Tahun
Alamat : Mandailing Natal, Sumatera Utara
Status : BPJS

3.1.1 Ilustrasi Kasus


Seorang pasien wanita dengan inisial nama S berusia 52 tahun dibawa ke
RSSN bukittimggi dikirim dari IGD kebagian neuro pada tanggal 16
Februari 2017

3.1.2 Keluhan Utama


lemah anggota gerak sebelah kanan sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit.

3.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang


lemah anggota gerak sebelah kanan sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit, bicara pelo (+), mulut mencong (+) , Menelan susah (+), sakit kepala
(+), hipertensi (+), BAB dan BAK terkontrol.

3.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu


Hipertensi

3.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga


Setelah dilakukan wawancara dengan keluarga pasien maka diketahui
bahwa tidak ada riwayat penyakit dari keluarga pasien.
3.2 PemeriksaanFisik
Hasil pemeriksaan fisik di IGD RSSN pada tanggal 16 Februari 2017 :
a. Pemeriksaan Umum
 Keadaan Umum : Sedang
 Tekanan Darah : 210/130 mmHg
 Frekuensi Nadi :110 x/menit
 Frekuensi Nafas : 20 x/menit
 Suhu : 36,5 oC
b. Pemeriksaan Khusus
 Tingkat kesadaran : Compos Mentis (CM)
 GCS : E4 M6 V5
 EKG : (-)
 Extremitas :
0 5
0 5

3.3 Pemeriksaan Penunjang


Table 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pada Saat Pertama Masuk
No Parameter Nilai Nilai normal
1 WBC 11,34 4,8-10,8 10^3/uL
2 RBC 4,52 4,7-6,1 10^3/uL
3 HGB 13.3 14-18 g/dL
4 HCT 37.6 42-52 (%)
5 PLT 258 150 - 450 10^3/uL
6 Gula darah random 132 <200mg/dL
7 Ureum 54 10-50 mg/dL
8 Kreatinin 0,5 0,6-1,1 mg/dL
9 Natrium 142 136-145mmol/L
10 Kalium 2,8 3,5-5,1mmol/L
11 Klorida 103 97-111mmol/L

3.4 Diagnosa Kerja : (-)


3.4.1 Terapi / Tindakan
 Terapi umum
 IVFD NaCl 0,9 % / 12jam
 O2 2 - 4L/menit
 Terapi Khusus
 Injeksi ranitidine 50 mg/2 mL 2 x sehari 1 ampul
 Piracetam 1200 mg 2 x sehari 1 tablet
 Neurodex ® 1 x sehari 1 tablet
 Cap cam I 2 x sehari 1 kapsul
 KSR 2 x sehari 1 tablet
 Diltiazem 60mg 2 x sehari 1 tablet
 Asam folat 1 x sehari 1 tablet

BAB IV
FOLLOW UP

4.1 Follow Up
4.1.1 Follow up
a. Hari Pertama Rawatan ( 16 Februari 2017)
S : lemah anggota gerak sebelah kanan kurang lebih 24 jam, sakit
kepala (+),bicara pelo (+) , Menelan susah (+), mengerti perintah
(+), pandangan mata kiri kabur kurang lebih 3 tahun, BAB dan
BAK terkontrol
O : GCS : E4M6Vx, nadi : 110 x/menit, nafas : 22 x/menit, suhu : 36°C,
kadar kalium turun (2,8), tekanan darah : 210/110 mmHg, motorik

0 5
0 5
A : ketidak efektifan porposi jaringan serebral
P : porposi jaringan serebral optimal dalam 3 x 24 jam
 IVFD NaCl 0,9 % / 12jam
 O2 3L/menit
 Injeksi ranitidine 50 mg/2 mL 2 x sehari 1 ampul
 Piracetam 1200 mg 2 x sehari 1 tablet
 Neurodex ® 1 x sehari 1 tablet
 Cap cam I 2 x sehari 1 kapsul
 KSR 2 x sehari 1 tablet
 Diltiazem 60mg 2 x sehari 1 tablet
 Asam folat 1 x sehari 1 tablet

b. Hari Kedua Rawatan ( 17 Februari 2017)


S : Anggota gerak kanan lemah onset 2 hari, sakit kepala (+)
O : TD 170/110 mmHg, GCS : E4 M6 V2 ,motorik
0 5
0 5

Suhu : 36,8 oC, nafas : 21 x/I, nadi 82 x/I.


A : ketidakefektifan perkusi jaringan serebral
P : perfusi jaringan serebral optimal 3 x 24 jam, terapi di lanjutkan.

c. Hari Ketiga Rawatan ( 18 Februari 2017)


S : Anggota gerak kanan lemah onset 3 hari, sakit kepala (+),
BAB (-) 16 hari
O : TD 150/100 mmHg, GCS : E4 M6 V5,
Suhu : 36 oC, nafas : 23 x/I, nadi 74 x/I, klisma 0 5
(+), BAB (+), kalium 2,8 mmol / L, motorik 0 5
A : ketidakefektifan perkusi jaringan serebral
P : perfusi jaringan serebral optimal, terapi di lanjutkan.

d. Hari Keempat Rawatan ( 19 januari 2017)


S: : Anggota gerak kanan lemah onset 4 hari, sakit kepala (+),
BAB (-) 16 hari
O : TD 140/90 mmHg, GCS : E4 M6 V5,
Suhu : 36 oC, nafas : 23 x/I, nadi 74 x/I, klisma (+), BAB (+), kalium
2,8 mmol / L, motorik
0 5
0 5

A : ketidakefektifan perkusi jaringan serebral


P : perfusi jaringan serebral optimal, terapi di lanjutkan.

e. Hari Kelima Rawatan ( 20 Februari 2017)


S: : Anggota gerak kanan lemah onset 5 hari, sakit kepala (+),
BAB (-) 2 hari
0 5
O : TD 140/80 mmHg, GCS : E4 M6 V4,
0 5
Suhu : 36,3 oC, nafas : 20 x/I, nadi 73 x/I, motorik
A : ketidakefektifan perkusi jaringan serebral
P : perfusi jaringan serebral optimal, O2 dan IVFD distop, diltiazem
stop, tambah lisinopril 1 x 5
f. Hari Keenam Rawatan ( 21 Februari 2017)
S : Anggota gerak kanan berat onset 6 hari, sakit kepala
O : TD 110/70 mmHg, GCS E4V5M6 , motorik
0 5
A : ketidakefektifan perkusi jaringan serebral
3 5
P : acc pulang

Tabel 1. Tingkat kesadaran, GCS (Glassglow come scale)


Nilai Mata (E) Motorik (M) Verbal (V)
1 Selalu menutup mata Tidak ada respon Tidak dapat berbicara
2 Membuka mata dengan Ekstensi abnormal terhadap Bersuara tapi tidak ada
rangsangan nyeri nyeri arti (bergumam)
3 Membuka mata bila Fleksi abnormal terhadap Berbicara sendiri
dipanggil nyeri
4 Membuka mata secara Bereaksi fleksi pada Bisa diajak berbicara
spontan rangsangan nyeri tapi jawaban kacau
5 Berekasi menyingkirkan Orientasi baik
rangsangan sederhana
6 Dapat bergerak mengikuti
perintah

Tabel 2. Derajat kekuatan otot


Angka Keterangan
0 Tidak ada kontraksi otot
1 Ada kontraksi otot tapi tidak ada gerakan
2 Ada kontraksi dari otot, ada gerakan tetapi belum full beregrak
3 Ada kontraksi dari otot, ada gerakan, dan sudah full bergerak.
4 Ada kontraksi dari otot, ada gerakan, dan sudah full bergerak, serta
dapat menganggkat beban minimal
5 Kontraksi otot normal

4.1.2 Diagnosa kerja : Stroke iskemik dan hipertensi Emergency

4.2. Data Penunjang


4.2.1. Pemeriksaan Laboratorium
No Parameter 16 17 Nilai normal
Februari Februari
2017 2017
1. WBC 11,34 - 4,8-10,8 uL
2. RBC 4,52 - 4,7-6,1 uL
3. HGB 13,3 -
4. PLT 258 -
Gula Darah 132 - <200 mg/dL
Random (GDR)
Gula Darah Puasa - 95 70-110 mg/dL
(nukhter)
2 jam PP - 90 <200 mg/dL
4. Asam Urat - 3,3 3-7 mg/dL
5. Ureum 54 - 10-50 mg/dL
Creatinin 0,5 - 0.6-1.1 mg/dL
Natrium 142 - 136-145mmol/L
5. Kalium 2,8 - 3,5-5,1mmol/L
6. Klorida 103 - 97-111mmol/L
4 Trigliserida - 85 <200mg/dL
5 Total kolesterol - 182 <220mg/dL
6 HDL - 47 >35mg/dL
7 LDL - 118 <130mg/dL

4.2.2. Pemeriksaan Fisik dan Vital Sign

Pemeriksaan Laboratorium Awal Masuk


Pemeriksaan Fisik dan Hasil Pemeriksaan
Vital Sign
Kondisi Umum Sedang
Kesadaran Compos Mentis
Motorik 15 (E4M6V5)
Nadi 110x/menit
Nafas 20x/menit
Suhu 36°C
Tekanan Darah 210/130 mmHg

4.2.3 Data Tekanan Darah Pasien


Tanggal Pagi Siang Malam
16 Februari 2017 - - 210/110 mmHg
17 Februari 2017 190/110mmHg 180/110mmHg 170/110 mmHg
18 Februari 2017 150/100 mmHg 140/100mmHg 140/100mmHg
19 Februari 2017 140/90 mmHg 140/90 mmHg 140/90mmHg
20 Februari 2017 140/80 mmHg 130/80 mmHg 120/80 mmHg
21 Februari 2017 110/70mmHg 110/80 mmHg 120/80 mmHg

4.2.4. Daftar Pemberian Obat


Nama Dosis Freku Rute Tanggal
Obat (mg) Ensi 16/2 17/2 18/2 19/2 20/1 21/1
Piracetam 1200 2x1 Per oral 8 18 8 18 8 18 8 18 8 18 8 18

Neurodex 1x1 Per oral 8 8 8 8 8 8


KSR 2x1 Per oral 8 18 8 18 8 18 8 18 8 18 8 18

Diltiazem 60 2x1 Per oral 8 18 8 18 8 18 8 18 8 18 8 18

Cap Cam I 2x1 Per oral 8 18 8 18 8 18 8 18 8 18 8 18

Asam folat 6 2x1 Per oral 8 18 8 18 18 8 18 8 18 8 18

Lisinopril 5 1x1 Per oral 18 18

Amlodipin 10 1x1 Per oral 8 8 8 8 8

NaCl 0,9 % /12 jam IV 8 20 8 20 8 20 8 20 8 20 8 20

Ranitidin 50mg/ 2x1 IV 8 18 8 18 8 18 8 18 8 18 8 18

2mL

BAB V
DISKUSI

Seorang pasien perempuan (52 Tahun) dengan inisial S masuk Rumah


Sakit Stroke Nasional Bukittinggi (RSSN) pertama kali ke Instalasi Gawat
Darurat (IGD) pada tanggal 16 Februari 2017. Pasien dirawat di bangsal neurologi
dengan keluhan lemah anggota gerak sebelah kanan 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Bicaranya pelo (+), susah menelan (+), sakit kepala (+), BAB dan BAK
terkontrol. Selain itu, riwayat penyakit sebelumnya hipertensi. Berdasarkan
pemeriksaan fisik kesadaran : Compos mentis, GCS : E4M6V5, nadi : 110
x/menit, nafas : 20 x/menit, suhu : 36°C, motorik tekanan darah : 210/110 mmHg.
Berdasarkan pemeriksaan labor pada tanggal 16 februari 2017 diperoleh Gula
darah random : 132 mg/dL, Ureum : 54 mg/dL, Creatinin 0,5 mg/dL, Natrium :
142 mmol/L, Kalium : 2,8 mmol/L, Klorida : 103 mmol/L.
Berdasarkan hasil pemeriksaan diatas diagnosa pada pasien adalah stroke
iskemik, hipertensi emergensi, dan hipokalemia. Hipokalemia merupakan suatu
kondisi dimana pasien mangalami kekurangan kadar kalium dalam darah sehingga
memerlukan asupan kalium dari luar tubuh, sedangkan hipertensi merupakan
suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi yang
kemungkinan dapat menimbulkan atau telah terjadinya kerusakan organ target.
Biasanya ditandai oleh tekanan darah >180/120 mmHg dikategorikan sebagai
hipertensi emergensi (diikuti kerusakan organ) atau hipertensi urgensi (tanpa
diikuti kerusakan organ) (Dipiro, 2007). Tekanan darah pasien S 210/110 dapat
dikategorikan sebagai hipertensi emergensi karena tekanan darah meningkat
ekstrim diserta dengan kerusakan organ.
Berdasarkan klasifikasi tekanan darah orang dewasa (diatas 18 tahun) pada
JNC 7, tekanan darah pasien saat onset masuk ke dalam kategori hipertensi stage
2

Berbagai guideline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan


penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan secara hati-
hati. Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15%
(sistolik maupun diastolik) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila TDS >
220 mmHg atau TDD >120 mmHg. Dalam kasus ini tekanan darah sistolik dan
diastolik pasien lebih besar dari 180 / 120 mmHg sehingga tekanan darah perlu
diturunkan secara bertahap karena pasien menderita stroke iskemik. Penurunan
tekanan darah secara cepat pada pasien stroke iskemik akan memperparah stroke
iskemiknya (Dipiro 2007). Pada kasus hipertensi emergensi yang disertai dengan
stroke iskemik pilihan obat yang digunakan adalah labetalol, nitropaste,
nitroprusid, nikardipin, atau diltiazem intravena ( Dipiro 2007).
Penurunan dan pemeliharaan tekanan darah pada kondisi normal sangat
mendukung terapi stroke. Namun pada kasus stroke iskemik obat antihipertensi
diberikan bila MABP (Mean Arteriola Blood Pressure) > 140 mmHg. Nilai
MABP dihitung dengan rumus (Uchino 2007)

2 diastole+1 sistole
MABP=
3
Maka dapat dihitung MABP pasien dengan rumus diatas:
( 2 x 210 ) +(1 x 110)
MABP
3
¿ 176,66 mmHg

Berdasarkan hal diatas, pasien perlu mendapatkan terapi antihipertensi,


tujuan terapi penurunan tekanan darah pada pasien adalah
1) Mencegah terjadinya pendarahan diotak
2) Mencegah gangguan vaskuler lain dan mencegah terjadinya stroke
berulang
Pada pasien ini obat antihipertensi yang digunakan adalah diltiazem 60 mg
secara peroral. Pemilihan diltiazem dihari pertama sudah sesuai dengan standar,
hanya saja rute pemberiannya yang tidak sesuai. Menurut literatur rute pemberian
diberikan secara intravena , tapi karena kondisi pasien mengalami stroke iskemik
maka penurunan tekanan darah tidak bisa dilakukan dengan cepat dan singkat. Hal
ini akan memperburuk kondisi stroke pasien, sehingga penurunan tekanan darah
dilakukan secara bertahap. Pemberian diltiazem adalah 2 x 1 tablet. Diltiazem
memiliki onset 30 menit dengan durasi 6-8 hari. Diltizem merupakan golongan
obat CCB (calcium chanel bloker) yang berfungsi untuk menangani hipertensi.
Mekanisme nya dengan cara melebarkan dinding pembuluh darah sehingga aliran
darah dan oksigen ke jantung dapat meningkat. Proses ini akan menurunkan
tekanan darah dan detak jantung, sekaligus mengurangi beban kerja jantung.
Pada tanggal 17 Februari 2017 pasien mendapatkan tambahan terapi obat
hipertensi yaitu amlodipin 10 mg 1 x sehari 1 tablet pada pagi hari . amlodipine
menurunkan beban total iskemik melalui 2 aksi:Amlodipine menyebabkan dilatasi
arteri perifer sehingga dapat menurunkan resistensi perifer total yang harus diatasi
dengan kerja jantung. Karena Amlodipine frekuensi denyut jantung tetap stabil,
pengurangan beban jantung akan menyebabkan penurunan konsumsi energi
miokardium dan kebutuhan oksigen miokardial.Mekanisme kerja Amlodipine
melibatkan dilatasi arteri dan arteole koroner, pada area dengan keadaan
oksigenasi normal maupun keadaan iskemik. Dilatasi ini meningkatkan
pengiriman oksigen miokardial pada pasien dengan spasme arteri koroner.
Pada tanggal 20 Februari 2017 terapi obat hipertensi yaitu diltiazem,
oksigen, IVFD distop oleh DPJP dan diganti dengan lisinopril 1 kali sehari 1
tablet 5 mg. lisinopril merupakan obat hipertensi golongan ACE inhibitor yang
bekerja menghambat perubahan angiostensin I ke angiostensin II dan juga
menghambat metabolism bradikinin.
Algoritme tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai
guidelines memiliki persamaan prinsip, dan dibawah ini adalah algoritme
tatalaksana hipertensi secara umum, yang disadur dari A Statement by the
American Society of Hypertension and the International Society of Hypertension
2013:
.
Pada kasus ini pasien mendapatkan anti hipertensi kombinasi dari 2
golongan obat anti hipertensi yaitu : lisinopril adalah obat antihipertensi golongan
Angiotensin Converting Enzim (ACE) inhibitor, dan diltiazem, amlodipin anti
hipertensi golongan calcium channel blocker. Tetapi tidak mendapatkan terapi
thiazide (diuretic). Hal ini tidak sesuai dengan standar pada JNC 7. Pasien
diberikan 2 golongan kombinasi anti hipertensi karena data tekanan darah tidak
memberikan respon terhadap anti hipertensi tunggal maupun kombinasi 2
antihipertensi (data tekanan darah pasien terlampir). Pengobatan dengan anti
hipertensi tergantung dari respon dan toleransi pasien terhadap obat (AHFS, 2011)
Pada pasien S ini terjadi kerusakan pada sisi sebelah kanan otak
(hemiparesis dextra) yang menyebabkan kelumpuhan pada sebagian tubuh.
Hemiparesis dextra ini disebabkan oleh stroke iskemik dengan faktor resiko
hipertensi emergensi.
Stroke iskemik merupakan tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan
otak yang disebabkan berkurangnya aliran darah ke otak sehingga mengganggu
kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak. Faktor resiko stroke iskemik adalah
sebuah karateristik pada seorang individu yang mengindikasi bahwa individu
tersebut memiliki peningkatan resiko untuk kejadian stroke iskemik dibandingkan
dengan individu yang tidak memiliki karakteristik tersebut (WHO, 2006).
Pemberian oksigen pada penanganan awal bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan oksigen ke otak sehingga dapat mencegah terjadinya kerusakan atau
kematian sel otak lebih lanjut. Sedangkan pemberian IVFD NaCl 0,9%/ 8 jam
karena pasien stroke iskemik cenderung mengalami ketidak seimbangan cairan
elektrolit. Jika pasien mengalami dehidrasi maka akan memperburuk stroke
iskemik. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan viskositas darah dan
penurunan tekanan darah sehingga aliran darah dan O 2 ke otak berkurang,
sehingga dapat menyebabkan kerusakan sel otak bertambah parah.
Penggunaan obat saluran cerna hampir ditemukan pada semua pasien di
Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi. Obat yang paling banyak digunakan
adalah ranitidin. Ranitidin merupakan suatu antagonis H2 yang berkompetisi
secara reversibel dengan histamin pada reseptor H2. Mekanisme kerja obat ini
dapat menghambat sekresi asam lambung yang dirangsang oleh histamin, gastrin
dan obat-obat kolinomimetik. Penggunaan obat ini bertujuan untuk mencegah dan
mengatasi stress ulcer yang dapat terjadi pada pasien yang mengalami penyakit
yang parah dimana keadaan tersebut dapat memicu keluarnya asam lambung
Piracetam bekerja pada SSP sebagai nootropik yang melindungi serebral
cortex terhadap hipoksia. Pirecetam juga dilaporkan menghambat agregasi
platelet dan mengurangi viskositas darah pada dosis tinggi. Piracetam tidak
mempengaruhi hasil terapi jika diberikan dalam 12 jam dari onset stroke iskemik
akut dalam suatu penelitian multisenter random, dobleblind. Analisa lebih lanjut
dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa piracetam tidak menghasilkan efek
samping yang signifikan ketika diberikan dalam dosis besar pada pasien dengan
stoke akut, dan secara signifikan lebih banyak pasien yang sembuh dari afasia
dengan pemberian piracetam dari pada plasebo. Hasil dari 2 percobaan lebih
lanjut mendukung peran piracetam sebagai terapi untuk memperbaiki afasia.
Berlawanan dengan penelitian tersebut, suatu penelitian menghasilkan trend
peningkatan resiko kematian pada pasien yang diberikan piracetam, dan
menyimpulkan tidak mendukung penggunaan rutin piracetam pada stroke iskemik
akut, (martindale, ed 35). Jadi penggunaan piracetam pada pasien ini untuk
mengatasi gangguan berbicara (disartria). Piracetam mempengaruhi metabolisme
otak dengan cara meningkatkan metabolisme glukosa atau aktivasi nukleotida,
metabolisme fosfolipid dan/atau protein (PIO, 2009). Dosis piracetam 2,4 gr/
hari, Efek samping dari piracetam adalah cemas, pusing, depresi dan diare. Pada
pasien tidak terjadi e fek samping yang telah dijelaskan. Piracetam diberikan
secara peroral untuk stroke iskemik akut.
Neurodex diberikan sebagai vitamin neurotropik untuk membantu
memperbaiki kerusakan sel saraf. Neurodex diberikan secara peroral dengan dosis
1 tablet sehari, efek samping neurodex dapat menyebabkan sindrom neuropati.
Untuk menghilangkan sakit kepala pada pasien akibat peningkatan
tekanan intrakanial, pasien mendapat terapi kapsul campur 1 (paracetamol,
amitriptilin dan tramadol).

Pada kasus ini terdapat masalah pada tabel DRP dimana terdapat interaksi
obat :
 DRP 1 (terapi obat yang tidak diperlukan) terdapat DRP yaitu Pada hari
pertama datang pasien menerima terapi cap camp 1 (Parasetamol 500 mg,
Tramadol 50 mg, Amitriptilin 10 mg) untuk mengatasi sakit kepala yang
dikeluhkan pasien. Tramadol dapat meningkatkan tekanan intrakranial
pada pasien stroke sehingga dapat memperburuk kondisi pasien (AHFS,
2011).
 Pada DRP 2 (kesalahan obat) tidak ada masalah terhadap bentuk sediaan,
tidak adanya kontraindikasi, pasien dapat disembuhkan dengan obat, obat
yang diberikan diindikasikan untuk kondisi pasien, tidak terdapat obat lain
yang lebih efektif (medscape).
 Pada DRP 3 (dosis tidak tepat) tidak ditemukan masalah pada dosis yang
diterima pasien.
 Pada DRP 4 (reaksi yang tidak diinginkan) terdapat masalah antara
diltiazem dengan amlodipim karena konsenterasi plasma dari amlodipin
dapat meningkat, sehingga dapat meningkatkan efek farmakologi dan juga
dapat meningkatkan efek yang merugikan dari amlodipin tersebut.
 Pada DRP 5 (ketidaksesuaian kepatuhan pasien) tidak ada masalah dimana
semua obat yang dibutuhkan pasien telah tersedia di apotek rawat inap.
 Pada DRP 6 (pasien membutuhkan terapi tambahan) tidak terdapat kondisi
pasien yang tidak diterapi.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
1. Dari hasil diagnosa pasien menderita Stroke iskemik + hipertensi
emergency + hipokalemia.
2. Pada kasus ini pasien mendapatkan anti hipertensi kombinasi dari 2
golongan obat anti hipertensi yaitu : lisinopril adalah obat antihipertensi
golongan Angiotensin Converting Enzim (ACE) inhibitor, sedangkan
diltiazem dan amlodipin adalah obat anti hipertensi golongan calcium
channel blocker. Tetapi tidak mendapatkan terapi diuretik. Hal ini tidak
sesuai dengan standar pada JNC 7. Pasien diberikan 2 kombinasi anti
hipertensi karena data tekanan darah tidak memberikan respon terhadap
anti hipertensi tunggal maupun kombinasi 2 antihipertensi (data tekanan
darah pasien terlampir). Pengobatan dengan anti hipertensi tergantung
dari respon dan toleransi pasien terhadap obat, pasien juga mendapat
terapi KSR yang berisi kalium klorida karena pasien mengalami
hipokalemia yaitu rendahnya kadar kalium dalam darah.
3. Terapi yang diberikan terdapat 2 masalah pada DRP tabel 1 dan tabel 4
dimana:
 DRP 1 (terapi obat yang tidak diperlukan) terdapat DRP yaitu
Pada hari pertama datang pasien menerima terapi cap camp 1
(Parasetamol 500 mg, Tramadol 50 mg, Amitriptilin 10 mg)
untuk mengatasi sakit kepala yang dikeluhkan pasien. Tramadol
dapat meningkatkan tekanan intrakranial pada pasien stroke
sehingga dapat memperburuk kondisi pasien (AHFS, 2011).
 Pada DRP 4 (reaksi yang tidak diinginkan) terdapat masalah
antara diltiazem dengan amlodipim karena konsenterasi plasma
dari amlodipin dapat meningkat, sehingga dapat meningkatkan
efek farmakologi dan juga dapat meningkatkan efek yang
merugikan dari amlodipin tersebut.
6.2 Saran
Pasien hanya perlu terapi lebih lanjut untuk memulihkan anggota gerak
secara perlahan, disiang hari sebaiknya tetap melakukan beberapa aktivitas dan
jangan banyak berdiam diri karena stroke bisa saja kembali jika pasien hanya
bermalas-malasan ketika siang hari. Istirahat yang cukup pada malam hari dan
pasien tetap harus menjaga pola makan dan hidup yang sehat.
BAB VII
Edukasi
1. Ranitidin
 jangan menggunakan tablet ranitidin bersamaan dengan antasid lainnya.
Berikan dengan rentang minimal 1 jam.
 Pasien dengan tukak lambung hindari alkohol dan merokok
 Manajemen stres dengan baik dan tepat
 Obat ini dapat menyebabkan pusing dan jangan mengendarai kendaraan
atau kegiatan lainnya yang membutuhkan perhatian setelah meminum obat
ini.
2. Capcam I
 Sebaiknya digunakan malam hari sebelum tidur karena efek sedatifnya
dan dapat mengurangi efek sampingnya
 Gunakan obat segera sebelum nyeri menjadi bertambah parah
 Simpan obat pada suhu kamar pada wadah tertutup rapat
 Gunakan obat sesuai dengan interval yang telah diresepkan
 Jangan menggunakan produk yang mengandung alkohol atau depresan
SSP lainnya

3. Menjelaskan pada keluarga pasien untuk mengatur pola makan,


menyeimbangkan gizi, menghindari makanan berlemak dan kolesterol
tinggi, manis dan asin.
4. Disarankan untuk pasien hindari stress dan mengontrol emosi.
Kontrol tekanan darah, kadar gula darah dan kolesterol secara berkala.
5. Menjelaskan pada keluarga pasien bahwa menyimpan obat pada tempat
yang sejuk dan kering serta jauhi dari jangkauan anak-anak.
6. Di anjurkan pada keluarga pasien untuk melakukan / membawa pasien
fisioterapi secara berkelanjutan untuk meningkatkan kepekaan sensorik
pada tubuh pasien yang lumpuh.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim ., 2009., Pedoman Informasi Obat.,Jakarta : Depkes RI.

AHFS. (2008). AHFS Drug Information. Bethesda: American Society of Health


System Pharmacists.
Departemen Kesehatan RI. 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit
Hipertensi. Jakarta : Depkes RI.
Departemen Kesehatan RI. (2005). Pharmaceutical Care untuk penyakit Diabetes
Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Dipiro, J, T., Wells, B, G., Schwinghammer, T. L., & DiPiro, C. V. (2008).
Pharmacotherapy Handbook (7th ed.). United States of America: McGraw
Hill
Kaplan, N.M., Rose, B.D. 1999.Treatment of hypertension following a CVA.
Pokdi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2011.
Guidline Stroke 2011. Jakarta: PERDOSSI
Price, S. A. and Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses.
(Edisi VI). Jakarta: Kedokteran EGC.
Sukandar, E, Y., 2009, ISO Farmakoterapi, ISFI: PT. ISFI Penerbitan
Sweetman, S.C (Ed.). 2009. Martindale: The Complete Drug Reference (36th ed).
London: Pharmaceutical Press.
World Health Organitation (WHO). 2006. The Who Step Wise Approach to
Stroke Surveilance. Geneva: WHO.
http://www.who.int/.www.Medscape.com
Lampiran 1. Tinjauan Farmakologi Obat
1. Piracetam

Indikasi -Mengendalikan kelainan kontraksi otot yang terjadi tanpa


disadari.
-Mengatasi involusi yang terkait dengan usia lanjut seperti
asthenia, gannguan adaptasi, gangguan reaksi
psikomotor, kemunduran perilaku sosial, kemunduran
daya pikir.
-Membantu mengatasi gejala pasca trauma seperti sakit
kepala, vertigo, asteni, dan kegelisahan.
-Bagian dari terap infark serebral.
Mekanisme Kerja Piracetam adalh suatu nootropic-Agent
Dosis 7,2-24 gram per hari.
Penggunaan Obat Sebelum atau sesudah makan
Efek Samping Merasa gugup atau cemas, berat badan bertambah, mudah
mengantuk dan mersa lelah.
Kontra Indikasi Gangguan ginjal berat (bersihan kreatinin <20 mL/menit.
Perhatian -Hati-hati pada penderita gangguan fungsi ginjal karena
piracetam diekskresikan terutama melalui ginjal
sehingga perlu dilakukan pengamatan fungsi ginmjal.
-Hati-hati penggunaan pada wanita hamil dan menyusui.

2. Neurodex
Komposisi Vit B1 100 mg, vit B6 200 mg, vit B12 250 mcg
Indikasi Gejala neurotropik karena defisiensi vit, gangguan
neurologik, mual dan muntah pada kehamilan, anemia;
roboransia untuk kejang, lesu, dan usia lanjut.
Dosis Dewasa 1 drag 2-3 x/hari
Penggunaan Obat Dapat diberikan bersama makanan untuk mengurangi
rasa tidak nyaman pada GI
Kontra Indikasi Hipersensitif terhadap vitamin B.
Perhatian sebaiknya tidak digunakan untuk pasien yang sedang
menerimaterapi levodopa
Efek Samping pemakaian vitamin B6 dosis besar dalam jangka waktu
yang lama,dapat menyebabkan sindroma neuropati

3. Diltiazem

Indikasi Menangani hipertensi, mencegah angina.


Dosis - Hipertensi : 120 mg 2x sehari, untuk gangguan hati
dan ginjal : 60-120 mg 2x sehari.
- Angina : 90-180 mg 2x sehari, untuk gangguan hati
dan ginjal : 60 mg 2x sehari.
Penggunaan Obat Sebelum atau sesudah makan.
Kontra Indikasi Diltiazem tidak boleh diberikan pada penderita jantung
kongestif karena bisa menyebabkan perburukan,
penderita yang mengalami syok kardiogenis, penderita
sindrom sinus, penderita tekanan darah rendah (<90/60
mmHG).
Perhatian - Hati-hati pada wanita yang merencanakan kehamilan,
sedang hamil dan menyusui sebaiknya menghindari
penggunaan diltiazem.
- Hati-hati pada penderita gangguan ginjal, gangguan
hati, gagal jantung, detak jantung abnormal, porfiria,
hipotensi, gangguan paru-paru.
Efek Samping Sakit kepala, kelelahan, pusing, mengantuk, mual, nyeri
perut, rasa panas dan kemerahan pada wajah,

4. Cap Cam 1

komposisi Parasetamol 300 mg, Tramadol 30 mg, Amitriptilin 2,5


mg
Indikasi Parasetamol
Mekanisme Kerja : menghambat prostaglandin di SSP
tapi tidak ada efek antiinflamasi di periferal, menurunkan
demam melalui kerja langsung di pusat pengatur panas
hipotalamus.
Tramadol
Mekanisme kerja : mengikat beberapa reseptor opiat dan
menghambat reuptake norepinefrin dan serotonin;
mekanisme pasti belum diketahui
Amitriptilin
Mekanisme kerja :menghambat reuptake presinaptik
norepinefrin dan serotonin pada SSP

Dosis Paracetamol dewasa : po 325 hingga 650 mg bila perlu


setiap 4 sampai 6 jam atau 1 gram 3 sampai 4 kali perhari.
Jangan melebihi 4 g/hari.
tramadol dewasa dan anak > 16 tahun : 50-100 mg setiap
4-6 jam, maksimum dosis harian 400 mg.

5. Amlodipine
Indikasi Terapi utama hipertensi dan dapat digunakan sebagai
obat tunggal untuk mengontrol tekanan darah, terapi
utama dari iskemia miokardial, baik yang disebabkan
oleh obstruksi tetap dan atau vasospasme atau
vasokontriksi dari pembuluh darah koroner.
Mekanisme Kerja Amlodipine mengurangi angina tidak sepenuhnya pasti
tapi amlodipine menurunkan beban total iskemik
melalui 2 aksi:
- Amlodipine menyebabkan dilatasi arteri perifer
sehingga dapat menurunkan resistensi perifer total
yang harus diatasi dengan kerja jantung. Karena
Amlodipine frekuensi denyut jantung tetap stabil,
pengurangan beban jantung akan menyebabkan
penurunan konsumsi energi miokardium dan
kebutuhan oksigen miokardial.
- Mekanisme kerja Amlodipine melibatkan dilatasi
arteri dan arteole koroner, pada area dengan keadaan
oksigenasi normal maupun keadaan iskemik. Dilatasi
ini meningkatkan pengiriman oksigen miokardial
pada pasien dengan spasme arteri koroner.
Dosis 5-10 mg per hari
Efek Samping Sakit kepala, udem, kelelahan, mengantuk, mual, nyeri
abdomen danpusing.
Kontra Indikasi Amlodipine dikontraindikasikan pada pasien yang
diketahui sensitif terhadap dihydropyridine.
Perhatian - Pada pasien gangguan fungsi hati: waktu paruh
amlodipine memanjang.
- Pada pasien gangguan fungsi ginjal : Amlodipine
dimetabolisme dengan ekstensif menjadi metabolit
tidak aktif dengan 10% diekskresi dalam bentuk utuh
dalam urin.
- Pasien usia lanjut : waktu yang diperlukan untuk
mencapai kadar puncak dalam plasma serupa pada
pasien muda maupun usia lanjut.
Interaksi Obat Amlodipine dapat diberikan dengan aman bersamaan
dengan diuretik, digoxin.

6. NaCl 0,9%

Indikasi Mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi.


Dosis Infus IV 2,5 mL/kg atau 60 tetesan/70 kg BB/menit atau
180 mL/ 70 kg BB/Jam atau disesuaikan dengan kondisi
penderita.
Efek Samping Panas, infeksi pada tempat penyuntikan trombolisis vena
atau flebilitis yang meluas dari tempat penyuntikan,
ekstravasasi
Kontra Indikasi Hipernatremia, asidosis, hipokalemia
Perhatian Gangguan jantung kongesif, gangguan fungsi ginjal,
hipoproteinemia, udem perifer, udem paru, anak, usia
lanjut, hipertensi dan toksemia pada kehamilan.

7. Ranitidin

Indikasi Ulkus duodenum, kondisi hipersekretori patologis, ulkus


lambung, GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)
Dosis (iv) Hipersekretori patologis: 50 mg, tiap 6-8 jam.
Ulkus duodenum, tukak lambung, GERD: 150 mg, 2 kali
sehari
Dosis maksimal : 400 mg perhari
Efek Samping Sakit kepala, gastrointestinal (konstipasi, diare, mual,
muntah, nyeri perut), gangguan hematologi (leukopenia,
trombositopenia, anemia aplastis).
Kontraindikasi -Penderita yang hipersensitivitas terhadap ranitidin.
-Hepatitis: hentikan segera pada pasien dengan hepatitis
-Porfiria intermitten akut
Perhatian Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, dosis
ranitidin harus disesuaikan.
Interaksi Obat - Warfarin: Pemberian bersama warfarin dapat
meningkatkan atau menurunkan waktu protrombin.
- Metoprolol: meningkatkan AUC metoprolol
- Nifedipin : meningkatkan AUC nifedipin sebesar 30%
- Vitamin B12: malabsorbsi dan defisiensi vitamin B12
dapat terjadi pada penggunaan ranitidin jangka panjang
- Rokok: menurunkan efikasi ranitidin
Farmakokinetika - Durasi kerja (im atau iv) : 6-8 jam
- Distribusi (D): terdistribusi secara luas ke seluruh
tubuh, termasuk ASI (25-100%), ikatan protein plasma:
10-19%
- Metabolisme (M): hati
- Ekskresi (E): ginjal, t1/2 eliminasi: 1,7-3,2 jam

8. KSR

Komposisi Kalium klorida 600 mg


Indikasi Pencegahan hipokalemia spesifik
Dosis Sehari 3 x 1-2 tablet dengan sedikit air, sehari 1-2 tablet
jika digunakan secara rutin dengan dosis pemeliharaan
diuretik oral
Kontra Indikasi Gagal ginjal, penyakit addison tidak diobati, dehidrasi
akut, hiperkalemia, gangguan saluran cerna
Perhatian Pasien dengan gagal ginjal harus mendapat perhatian
khusus, oleh karena resiko hiperkalemia
Efek Samping Mual, muntah, sakit pinggang dan diare

9. Asam folat
Komposisi Asam folat 1 mg, 400 mcg
Indikasi Anemia megaloblastik dan makrositik akibat defisiensi
asam folat
Dosis Defisiensi asam folat, dosis awal 0,25-1 mg sehari sampat
dapat respon klinis, dosis penunjang 0,25 sehari,
suplemen diet 0,1-1 mg pada wanita hamil, pada keadaan
kebutuhan asam folat meningkat 0,5-1 mg sehari
Kontra Indikasi Hipersensitif, pemberian jangka panjang untuk
beberapadefisiensi kobalamin yang tidak diobati

10. Lisinopril

Komposisi Lisinopril 5 mg, 10 mg


Indikasi Hipertensi, terapi tambahan pada CHF
Dosis Hipertensi : dosis awal sehari 2,5 mg, dosis pemeliharaan
sehari 10-20 mg, maksimum 40 mg sehari. CHF : dosis
awal sehari 2,5 mg, pemeliharaan sehari 10-20 mg
Kontra Indikasi Hipersensitifitas
Perhatian Sebelum terapi dengan lisinopril, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan fungsi ginjal
Efek Samping Hipotensi, edema angioneurotik, urtikaria, pusing, sakit
kepala, lelah, diare, ruam kulit, palpitasi, nyeri dada

Anda mungkin juga menyukai