Anda di halaman 1dari 6

DEFINISI

Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak


yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak sering ini
adalah kulminasi penyakit serebrovaskuler selama beberapa tahun.
(Smeltzer C., 2002)
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang
berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan
gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang
menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskuler. (Susilo, 2000)

KLASIFIKASI

(PERTAMA)Stroke diklasifikasikan menjadi dua :


1. Stroke Non Hemoragik
Suatu gangguan peredaran darah otak tanpa terjadi suatu
perdarahan yang ditandai dengan kelemahan pada satu atau keempat
anggota gerak atau hemiparese, nyeri kepala, mual, muntah,
pandangan kabur dan dysfhagia (kesulitan menelan). Stroke non
haemoragik dibagi lagi menjadi dua yaitu stroke embolik dan stroke
trombotik (Wanhari, 2008).
2. Stroke Hemoragik
Suatu gangguan peredaran darah otak yang ditandai dengan
adanya perdarahan intra serebral atau perdarahan subarakhnoid. Tanda
yang terjadi adalah penurunan kesadaran, pernapasan cepat, nadi
cepat, gejala fokal berupa hemiplegi, pupil mengecil, kaku kuduk
(Wanhari, 2008).

(KEDUA)
Stroke Iskemik
Sekitar 80% sampai 85% stroke adalah stroke iskemik, yang
terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada
sirkulasi serebrum.
Klasifikasi stroke iskemik berdasarkan waktunya terdiri atas: 1.
Transient Ischaemic Attack (TIA): defisit neurologis membaik dalam
waktu kurang dari 30 menit, 2. Reversible Ischaemic Neurological
Deficit (RIND): defisit neurologis membaik kurang dari 1 minggu, 3.
Stroke In Evolution (SIE)/Progressing Stroke, 4. Completed Stroke.
Beberapa penyebab stroke iskemik meliputi:
- Trombosis
Aterosklerosis (tersering); Vaskulitis: arteritis temporalis,
poliarteritis nodosa; Robeknya arteri: karotis, vertebralis
(spontan atau traumatik); Gangguan darah: polisitemia,
hemoglobinopati (penyakit sel sabit).
- Embolisme
Sumber di jantung: fibrilasi atrium (tersering), infark
miokardium, penyakit jantung rematik, penyakit katup
jantung, katup prostetik, kardiomiopati iskemik; Sumber
tromboemboli aterosklerotik di arteri: bifurkasio karotis
komunis, arteri vertebralis distal; Keadaan hiperkoagulasi:
kontrasepsi oral, karsinoma.
- Vasokonstriksi
- Vasospasme serebrum setelah PSA (Perdarahan
Subarakhnoid).
Terdapat empat subtipe dasar pada stroke iskemik berdasarkan
penyebab: lakunar, thrombosis pembuluh besar dengan aliran pelan,
embolik dan kriptogenik (Dewanto dkk, 2009).
2) Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20%
dari semua stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum
mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang
subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan otak.
Beberapa penyebab perdarahan intraserebrum: perdarahan
intraserebrum hipertensif; perdarahan subarakhnoid (PSA) pada
ruptura aneurisma sakular (Berry), ruptura malformasi arteriovena
11
(MAV), trauma; penyalahgunaan kokain, amfetamin; perdarahan
akibat tumor otak; infark hemoragik; penyakit perdarahan sistemik
termasuk terapi antikoagulan (Price, 2005).

PATOFISIOLOGI

Sistem saraf pusat memiliki kebutuhan energi yang sangat tinggi dan
hanya dapat dipenuhi oleh suplai substrat metabolik yang terus menerus dan
tidak terputus. Pada keadaan normal, energi tersebut hanya berasal dari
metabolisme aerob glukosa. Otak tidak memiliki persediaan energi untuk
digunakan saat terjadi gangguan penghantaran substrat. Sehingga tanpa suplai
glukosa dan oksigen yang adekuat, fungsi neuron akan menurun dalam
beberapa detik.

Untuk mempertahankan jaringan otak intak secara struktural dan


untuk membuatnya tetap berfungsi membutuhkan sejumlah energi yang
berbeda. Kebutuhan aliran darah minimal untuk memelihara struktur otak
adalah sekitar 5-8 ml/100 g/menit (pada jam pertama iskemik). Sementara,
kebutuhan aliran darah minimal untuk berlanjutnya fungsi adalah 20 ml/100
g/menit. Karena itu, dapat terlihat adanya defisit fungsional tanpa terjadinya
kematian jaringan (infark).

Terdapat dua mekanisme patofisiologi pada iskemik otak yaitu hilang


atau berkurangnya suplai oksigen dan glukosa yang terjadi sekunder akibat
oklusi vaskuler, serta perubahan metabolisme seluler akibat gangguan proses
produksi energi. Oklusi menyebabkan gangguan hemodinamik aliran darah
otak yang secara bertahap dikenal beberapa critical level berdasarkan
beratnya oklusi, yaitu:
1) Tingkat kritikal pertama
Apabila aliran derah otak/CBF (cerebral blood flow) menurun hingga
70-80% (kurang dari 50-55 ml/100 gr/menit), respon pertama otak adalah
terjadinya gangguan sintesa protein karena adanya disagregasi ribosom
2) Tingkat kritikal kedua
Apabila CBF berkurang hingga 50% (hingga 35 ml/100 gr/menit),
akan terjadi aktivasi glikolisis anaerob dan peningkatan konsentrasi laktat
yang selanjutnya berkembang menjadi asidosis laktat dan edema sitotoksik
3) Tingkat kritikal ketiga
Terjadi bila CBF berkurang hingga 30% (hingga 20 ml/100
gr/menit). Pada keadaan ini akan terjadi berkurangnya produksi adenosine
triphosphate (ATP), defisit energi, gangguan transport aktif ion, instabilitas
membran sel, serta dilepaskannya neurotransmiter eksitatorik yang
berlebihan
Pada saat CBF hanya mencapai 20% dari nilai normal (10-15 ml/100
gr/menit), neuron-neuron otak kehilangan gradien ion dan selanjutnya terjadi
depolarisasi anoksik dari membran. Jika jaringan otak mendapat aliran darah kurang
dari 10 ml/100 gr/menit akan terjadi kerusakan neuron yang
ireversibel secara cepat dalam waktu 6-8 menit. Daerah ini disebut inti infark
(ischemic core)

FAKTOR RESIKO
Faktor Risiko terjadinya Stroke Tidak dapat dimodifikasi, meliputi: usia, jenis
kelamin, herediter, ras/etnik. Dapat dimodifikasi, meliputi: riwayat stroke, hipertensi,
penyakit jantung, diabetes mellitus, Transient Ischemic Attack (TIA), hiperkolesterol,
obesitas, merokok, alkoholik, hiperurisemia, peninggian hematokrit (Mansjoer, 2000).

a. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi merupakan faktor yang


berupa karakteristik atau sifat pada seseorang yang dapat meningkatkan
kemungkinan berkembangnya suatu penyakit tertentu. Faktor risiko
stroke yang tidak dapat dimodifikasi yaitu faktor yang berupa
karakteristik atau sifat pasien yang tidak dapat diubah. Contoh dari faktor
ini yaitu usia, jenis kelamin, berat badan lahir rendah, ras, suku, dan
faktor genetik (Williams, et al., 2010).
b. Faktor yang dapat dimodifikasi

Faktor yang dapat dimodifikasi terdiri dari tingkatan pertama dan


kedua. Tingkat pertama faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi,
diurutkan dari tingkat banyaknya kejadian yaitu hipertensi, diabetes
mellitus, merokok, fibrilasi atrium dan disfungsi ventrikel kiri. Tingkatan
kedua yaitu terdiri dari kolesterol, hiperlipidemia, asimtomatik karotid
stenosis, sickle cell disease, terapi hormon esterogen, diet, obesitas,
alkohol, migrain, dan hiperkoagulasi. Kebanyakan dari faktor risiko yang
tingkatan kedua ini, memiliki hubungan dengan pengembangan faktor
risiko tingkat pertama, misalnya obesitas merupakan faktor risiko untuk
terjadinya hipertensi dan diabetes (Williams, et al., 2010).
Faktor risiko yang umumnya menyebabkan stroke yaitu tekanan
darah tinggi (hipertensi). Tekanan darah tidak boleh melebihi 140/90
mmHg. Tekanan darah yang tinggi akan menyebabkan tingginya tekanan
di dinding arteri sehingga bisa menyebabkan bocornya arteri otak,
bahkan ruptur pada arteri otak yang akan mengakibatkan terjadinya
stroke hemoragik. Tekanan darah tinggi juga bisa menyebabkan strokeiskemik yang
dikarenakan oleh adanya atherosclerosis (Silva, et al.,
PENATALAKSANAAN STROKE
a. Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan umum yaitu berupa tindakan darurat sambil
berusaha mencari penyebab dan penatalaksanaan yang sesuai dengan
penyebab.
Penatalaksanaan umum ini meliputi memperbaiki jalan napas
dan mempertahankan ventilasi, menenangkan pasien, menaikkan atau
elevasi kepala pasien 30º yang bermanfaat untuk memperbaiki drainase
vena, perfusi serebral dan menurunkan tekanan intrakranial, atasi syok,
mengontrol tekanan rerata arterial, pengaturan cairan dan elektroklit,
monitor tanda-tanda vital, monitor tekanan tinggi intrakranial, dan
melakukan pemeriksaan pencitraan menggunakan Computerized
Tomography untuk mendapatkan gambaran lesi dan pilihan pengobatan

Berdasarkan Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia


(PERDOSSI) (2011) penatalaksanaan umum lainnya yang dilakukan
pada pasien stroke yaitu meliputi pemeriksaan fisik umum, pengendalian
kejang, pengendalian suhu tubuh, dan melakukan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu berupa pemeriksaan tekanan
darah, pemeriksaan jantung, dan neurologi. Pengendalian kejang pada
pasien stroke dilakukan dengan memberikan diazepam dan antikonvulsan
profilaksi pada stroke perdarahan intraserebral, dan untuk pengendalian
suhu dilakukan pada pasien stroke yang disertai dengan demam.
Pemeriksaan penunjang untuk pasien stroke yaitu terdiri dari
elektrokardiogram, laboratorium (kimia darah, kadar gula darah, analisis
urin, gas darah, dan lain-lain), dan pemeriksaan radiologi seperti foto
rontgen dada dan CT Scan.
b. Terapi farmakologi
Penatalaksanaan farmakologi yang bisa dilakukan untuk pasien
stroke yaitu pemberian cairan hipertonis jika terjadi peninggian tekanan
intra kranial akut tanpa kerusakan sawar darah otak (Blood-brain
Barrier), diuretika (asetazolamid atau furosemid) yang akan menekan
produksi cairan serebrospinal, dan steroid (deksametason, prednison, dan
metilprednisolon) yang dikatakan dapat mengurangi produksi cairan
serebrospinal dan mempunyai efek langsung pada sel endotel

Pilihan pengobatan stroke dengan menggunakan obat


yang biasa direkomendasi untuk penderita stroke iskemik yaitu tissue
plasminogen activator (tPA) yang diberikan melalui intravena. Fungsi
tPA ini yaitu melarutkan bekuan darah dan meningkatkan aliran darah ke
bagian otak yang kekurangan aliran darah (National Stroke Association,
2016).
Penatalaksanaan farmakologi lainnnya yang dapat digunakan untuk
pasien stroke yaitu aspirin. Pemberian aspirin telah menunjukkan dapat
menurunkan risiko terjadinya early recurrent ischemic stroke (stroke
iskemik berulang), tidak adanya risiko utama dari komplikasi hemoragik
awal, dan meningkatkan hasil terapi jangka panjang (sampai dengan 6
bulan tindakan lanjutan). Pemberian aspirin harus diberikan paling cepat
24 jam setelah terapi trombolitik. Pasien yang tidak menerima
trombolisis, penggunaan aspirin harus dimulai dengan segera dalam 48
jam dari onset gejala (National Medicines Information Centre, 2011).

c. Tindakan bedah
Penatalaksanaan stroke yang bisa dilakukan yaitu dengan
pengobatan pembedahan yang tujuan utamanya yaitu memperbaiki aliran
darah serebri contohnya endosterektomi karotis (membentuk kembali
arteri karotis), revaskularisasi, dan ligasi arteri karotis komunis di leher
khususnya pada aneurisma (Muttaqin, 2008). Prosedur carotid
endarterectomy/ endosterektomi karotis pada semua pasien harus
dilakukan segera ketika kondisi pasien stabil dan sesuai untuk
dilakukannya proses pembedahan. Waktu ideal dilakukan tindakan
pembedahan ini yaitu dalam waktu dua minggu dari kejadian (Scottich
Intercollegiate Guidelines Network, 2008).
Tindakan bedah lainnya yaitu decompressive surgery. Tindakan ini
dilakukan untuk menghilangkan haematoma dan meringankan atau
menurunkan tekanan intra kranial. Tindakan ini menunjukkan
peningkatan hasil pada beberapa kasus, terutama untuk stroke pada
lokasi tertentu (contohnya cerebellum) dan atau pada pasien stroke yang
lebih muda (< 60 tahun) (National Medicines Information Centre, 2011).

d. Penatalaksanaan medis lain


Penatalaksanaan medis lainnya menurut PERDOSSI (2011) terdiri
dari rehabilitasi, terapi psikologi jika pasien gelisah, pemantauan kadar
glukosa darah, pemberian anti muntah dan analgesik sesuai indikasi,
pemberian H2 antagonis jika ada indikasi perdarahan lambung, mobilisasi
bertahap ketika kondisi hemodinamik dan pernapasan stabil,
pengosongan kandung kemih yang penuh dengan katerisasi intermitten,
dan discharge planning. Tindakan lainnya untuk mengontrol peninggian
tekanan intra kranial dalam 24 jam pertama yaitu bisa dilakukan tindakan
hiperventilasi. Pasien stroke juga bisa dilakukan terapi hiportermi yaitu
melakukan penurunan suhu 30-34ºC. Terapi hipotermi akan menurunkan
tekanan darah dan metabolisme otak, mencegah dan mengurangi edema
otak, serta menurunkan tekanan intra kranial sampai hampir 50%, tetapi
hipotermi berisiko terjadinya aritmia dan fibrilasi ventrikel bila suhu di
bawah 30ºC, hiperviskositas, stress ulcer, dan daya tahan tubuh terhadap
infeksi menurun (Affandi & Reggy, 2016).

KOMPLIKASI

Komplikasi stroke menurut Smeltzer & Bare (2002) meliputi:


1. Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah
adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang
dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan
mempertahankan hemoglobin serta hemotokrit pada tingkat dapat
diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.
2. Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan
integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena)
harus menjamin penurunan vesikositas darah dan memperbaiki aliran
darah serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem perlu perlu dihindari
untuk mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi
meluasnya area cedera.
3. Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi
atrium atau dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan
aliran darah keotak dan selanjutnya menurunkan aliran darah serebral.

PROGNOSIS

Prognosis stroke dapat dilihat dari 6 aspek yakni: death, disease,


disability, discomfort, dissatisfaction, dan destitution. Keenam aspek
prognosis tersebut terjadi pada stroke fase awal atau pasca stroke. Untuk
mencegah agar aspek tersebut tidak menjadi lebih buruk maka semua
penderita stroke akut harus dimonitor dengan hati-hati terhadap keadaan
umum, fungsi otak, EKG, saturasi oksigen, tekanan darah dan suhu tubuh
secara terus-menerus selama 24 jam setelah serangan stroke (Asmedi &
Lamsudin, 1998).

Asmedi & Lamsudin (1998) mengatakan prognosis fungsional


stroke pada infark lakuner cukup baik karena tingkat ketergantungan
dalam activity daily living (ADL) hanya 19 % pada bulan pertama dan
meningkat sedikit (20 %) sampai tahun pertama. Bermawi, et al., (2000)
mengatakan bahwa sekitar 30-60 % penderita stroke yang bertahan hidup
menjadi tergantung dalam beberapa aspek aktivitas hidup sehari-hari. Dari
berbagai penelitian, perbaikan fungsi neurologik dan fungsi aktivitas hidup
sehari-hari pasca stroke menurut waktu cukup bervariasi. Suatu penelitian
mendapatkan perbaikan fungsi paling cepat pada minggu pertama dan
menurun pada minggu ketiga sampai 6 bulan pasca stroke.
Prognosis stroke juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan
keadaan yang terjadi pada penderita stroke. Hasil akhir yang dipakai
sebagai tolok ukur diantaranya outcome fungsional, seperti kelemahan
motorik, disabilitas, quality of life, serta mortalitas. Menurut Hornig et al.,
prognosis jangka panjang setelah TIA dan stroke batang otak/serebelum
ringan secara signifikan dipengaruhi oleh usia, diabetes, hipertensi, stroke
sebelumnya, dan penyakit arteri karotis yang menyertai. Pasien dengan
TIA memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien dengan TIA
memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien dengan stroke
minor. Tingkat mortalitas kumulatif pasien dalam penelitian ini sebesar
4,8 % dalam 1 tahun dan meningkat menjadi 18,6 % dalam 5 tahun.

Anda mungkin juga menyukai