Anda di halaman 1dari 19

Tinjauan Pustaka

Manajemen Pre-Hospital pada Cedera Kepala


Riken Mediana E P, Sofyan Harahap
Bagian / SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran UNDIP / RSUP Dr. Kariadi Semarang

PENDAHULUAN
Traumatic brain injury (TBI) atau cedera kepala adalah penyebab utama kematian dan
kecacatan pada orang dewasa muda di negara maju . Di Inggris sekitar 1,4 juta pasien per
tahun menderita cedera kepala. Cedera kepala mayoritas adalah cedera kepala ringan , sekitar
10,9 % diklasifikasikan sebagai cedera kepala sedang atau berat dan banyak pasien yang
tersisa dengan disability.1 Insiden tersebut meningkat di negara-negara berpenghasilan
rendah, WHO memprediksi bahwa TBI dan kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab
terbesar ketiga penyakit dan cedera di seluruh dunia pada tahun 2020. Diagnostik TBI yang
tegak akan meningkatkan angka kematian trauma tumpul yang berat yaitu 30 %, namun
dengan tidak adanya TBI, angka kematian dari trauma tumpul adalah 1 %. Berdasar pada
data tersebut TBI memiliki dampak yang besar pada populasi yang lebih muda . Ini akan
menghasilkan cacat seumur hidup bagi lebih dari 30.000 anak-anak setiap tahun nya. Dalam
populasi geriatri, jumlah pasien usia lanjut yang mengalami TBI meningkat dan usia
tampaknya menjadi faktor risiko independen untuk hasil yang buruk. Sekarang ini TBI
merupakan masalah utama kesehatan dan sosial ekonomi.2
Penderita yang meninggal karena TBI , setengah dari total kejadian cedera mendapatkan
pertolongan dalam 2 jam pertama dari cedera mereka . Namun sekarang diketahui bahwa
semua kerusakan saraf tidak terjadi pada saat kejadian (cedera primer), melainkan
berkembang berikutnya dalam menit , jam , dan hari (cedera sekunder).Cedera otak sekunder
ini dapat mengakibatkan peningkatan mortalitas dan kelumpuhan. Manajemen awal yang
tepat dari korban TBI sangat penting untuk kelangsungan hidup pasien .3
Emergency Medical Service ( EMS) penyedia layanan kesehatan pertama untuk pasien
dengan TBI. Pengobatan sering dimulai di lapangan oleh penyedia EMS yang memiliki
keterampilan , latar belakang , dan kualifikasi bervariasi. Mereka terus melakukan perawatan
1

sampai transportasi ke rumah sakit . Penilaian pre-hospital dan pengobatan pertama adalah
hal yang utama dalam memberikan perawatan yang tepat untuk pasien dengan TBI. Tulisan
ini akan membahas detail mengenai manajemen pre hospital pada pasien dengan traumatic
brain injury.4

TINJAUAN PUSTAKA
1.

DEFINISI
Traumatic brain injury (TBI) adalah kerusakan otak akut yang disebabkan oleh

adanya energi mekanik ke kepala yang berasal dari kekuatan fisik luar. Kriteria operasional
untuk identifikasi klinis termasuk salah satu atau lebih dari berikut ini: kebingungan atau
disorientasi, kehilangan kesadaran, amnesia post-trauma, abnormalitas neurologik lainnya,
seperti tanda-tanda fokal neurologis, kejang dan/atau lesi intracranial.5
Klasifikasi Keparahan Trauma
Studi mengenai insidensi dan prevalensi TBI seringkali mengklasifikasikan keparahan
trauma saat awal menjadi ringan, sedang, dan berat. Terdapat beberapa kriteria untuk
mengkaji keparahan trauma termasuk skor Glasgow Coma Scale, kehilangan kesadaran atau
koma, amnesia post-trauma atau retrograde.
Kriteria yang paling umum digunakan untuk mengklasifikasi tingkat keparahan
adalah skor Glasgow Coma Scale. Skor ini biasanya digunakan untuk menilai ketika
seseorang dicurigai menderita TBI datang ke instalasi gawat darurat atau ke dokter umum.
Skor ini dikategorikan menjadi TBI ringan 13 sampai 15 (maksimal 15); TBI
sedang 9 sampai 12; dan TBI berat 3 sampai 8 (dengan 3 sebagai nilai minimal). Terdapat
beberapa bukti yang menyatakan bahwa pasien dengan nilai Glasgow Coma Scale awal 13
memiliki keluaran yang lebih buruk dibandingkan pasien dengan Glasgow Coma Scale 14,
15, dan 16, dimana penulis menyatakan adanya TBI ringan risiko tinggi sebagai bagian dari
TBI ringan untuk pasien dengan skor Glasgow Coma Scale awal bernilai 13-14
dengan/tanpa abnormalitas radiologik. Konsensus internasional saat ini, termasuk WHO Task
Force on Mild Traumatic Brain Injury mendukung klasifikasi keparahan menggunakan
Glasgow Coma Scale seperti yang dijelaskan disini (misalnya nilai Glasgow Coma Scale
awal 13-15 = TBI ringan).6
2

Terdapat dua tipe dari cedera otak : 6


1) Cedera otak primer terjadi saat insiden trauma berlangsung dan mencerminkan
kejadian mekanik saat itu juga. Mungkin akan didapatkan gangguan berat dari
jaringan otak yang tidak dapat dicegah. Mekanisme terjadinya termasuk hantaman
langsung, akselerasi/deselerasi cepat, cedera penetrasi dan gelombang ledakan.
2) Cedera otak sekunder dapat terjadi beberapa menit, jam, hari atau minggu kemudian
setelah cedera awal dan kerusakan dapat berkurang dengan penatalaksanaan yang
tepat. Penyebab dari cedera otak sekunder antara lain hematoma, kontusio, edema
otak difus, syok sistemik, dan infeksi intrakranial.
2.

PENANGANAN PRE HOSPITAL


Inti dari penanganan pre hospital pada TBI adalah pada assesment dan terapi. 7
Assessment, meliputi:
1. Oksigenasi dan tekanan darah
2. Skor Glasgow Coma Scale
3. Pemeriksaan pupil
Terapi, meliputi :
1. Jalan nafas/Ventilasi/Oksigenasi
2. Resusitasi cairan
3. Herniasi otak
4. Sistem Penanganan Trauma dan Keputusan Transportasi ke Rumah Sakit.

2.1 ASSESSMENT
2.1.1 Oksigenasi dan Tekanan Darah
Episode hipoksemia saat pasca cedera awal sangat meningkatkan angka mortalitas
dan morbiditas. Hipoksemia didefinisikan sebagai apnea atau sianosis atau apabila saturasi
oksigen (SaO2) <90%. Intubasi terhadap pasien TBI yang tidak sadar dan tidak responsif
dapat meningkatkan outcome.8

Beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan untuk mencegah dan mengatasi
hipoksemia adalah dengan mengawasi saturasi oksigen secara kontinyu, memberikan
tambahan O2, menjaga saturasi oksigen >90%, dan melakukan intubasi pada pasien dengan:
hipoksemia persisten (SaO2 <90%) dengan oksigen, apnea, jalan nafas tidak kompeten, tidak
sadar (koma) atau tidak respon dengan nilai GCS <9.
Nilai tekanan sistolik 90 mmHg untuk membatasi hipotensi dianggap merupakan
parameter secara statistik bukan hanya fisiologik. Berdasarkan bukti sebelumnya mengenai
pengaruh tekanan perfusi serebral (CPP) terhadap keluaran, ada kemungkinan bahwa tekanan
sistolik > 90 mmHg lebih diinginkan untuk dicapai selama masa pre hospital dan fase
resusitasi, namun belum ada penelitian yang dilakukan untuk mengevaluasi hal ini.
Pentingnya tekanan arteri rerata (MAP), seperti tekanan sistolik, juga perlu ditekankan bukan
hanya karena perannya dalam penghitungan CPP = [MAP-tekanan intrakranisl(ICP)], namun
karena kurangnya konsistensi hubungan antara tekanan sistolik dan tekanan rerata
menyebabkan perhitungan berdasarkan tekanan sistolik menjadi tidak dapat diandalkan. Hal
ini mungkin berguna untuk menjaga tekanan arteri rerata diatas nilai yang diwakilkan tekanan
sistolik 90 mmHg selama perjalanan penyakit pasien.
Pengaruh buruk dari hipotensi dan hipoksemia terhadap keluaran pasien dengan TBI
berat dianalisa dari data besar (717 pasien) yang dikumpulkan dari Traumatic Coma Data
Bank (TDCB). Studi TCDB menunjukkan bahwa hipotensi prehospital (didefinisikan sebagai
observasi tekanan sistolik tunggal < 90 mmHg) dan hipoksemia (didefinisikan sebagai apnea,
sianosis, atau saturasi oksigen hemoglobin < 90% atau PaO2 < 60 mmHg pada analisis gas
darah) berada diantara lima prediktor utama terhadap hasil akhir. Penemuan klinis ini secara
statistik bersifat independen dengan prediktor utama lainnya seperti usia, skor Glasgow
Coma Scale saat masuk, diagnosis intrakranial, skor GCS motorik awal, dan keadaan pupil.
Episode tunggal dari hipotensi berhubungan dengan meningkatnya angka mortalitas dan
morbiditas menjadi dua kali lipat ketika dibandingkan dengan kelompok pasien tanpa
hipotensi. Perlu diingat, studi TCDB mendefinisikan hipotensi dan hipoksemia sebagai
insiden tunggal yang sesuai yang sesuai dengan definisi masing-masing dan tidak
membutuhkan durasi yang lebih lama untuk munculnya gangguan sekunder.
Hipoksemia (saturasi oksigen hemoglobin arterial < 90%) atau hipotensi (< 90 mmHg
tekanan darah sistolik) saat prehospital adalah parameter signifikan yang berhubungan
dengan hasil yang buruk pada pasien dewasa dengan cedera kepala berat. 8
4

Pada populasi pediatrik, tidak ada bukti prehospital yang secara langsung
berhubungan dengan oksigenasi dan tekanan darah terhadap keluaran pasien. Data di rumah
sakit mengindikasikan hipotensi berhubungan dengan keluaran buruk pada pasien anak-anak.
Hipotensi pada pediatrik didefinisikan sebagai berikut:11
Usia

SBP

0-28 hari

<60 mmHg

1-12 bulan

<70 mmHg

1-10 tahun

< 70 mmHg + 2 x usia dalam tahun

>10 tahun

< 90 mmHg

2.1.2

Skor Glasgow Coma Scale


Teasdale and Jeannett merumuskan Glasgow Coma Scale (GCS) pada tahun 1974

sebagai pengukuran objektif terhadap tingkat kesadaran untuk TBI. Skor ini kemudian
menjadi tolak ukur yang digunakan di seluruh dunia untuk menilai keparahan TBI. GCS
merupakan metode yang dapat digunakan secara repetitif dan dapat diandalkan untuk
mengevaluasi keadaan neurologis yang sedang terjadi, walaupun dilakukan oleh berbagai
penyedia jasa kesehatan. GCS menilai tiga respon independen, yaitu : 9
1. Pembukaan mata
2. Respon motorik
3. Respon verbal.
Skor GCS dapat dipengaruhi oleh faktor pre dan post trauma yang dapat mengganggu
respon neurologis. Kondisi reversibel seperti hipoglikemia atau overdosis narkotika harus
ditentukan dan diterapi dengan glukosa intravena atau naloxone. Hipoksemia dan hipotensi,
yang merupakan komplikasi setelah trauma, memiliki efek negatif terhadap skor GCS. Maka
dari itu, komplikasi ini harus diperbaiki dan pasien diresusitasi sebaik mungkin sebelum
dinilai GCS nya. 10
Pengukuran prehospital dari GCS sangat berguna dan dapat diandalkan sebagai
indikator terhadap TBI berat, khususnya berhubungan dengan skoring berulang dan perbaikan
atau perburukan skor seiring waktu.
5

Tidak ada data yang mengulas tentang hubungan antara pengkajian GCS prehospital
dan keluaran pada pasien pediatrik. Data rumah sakit dari instalasi gawat darurat, layanan
rawat kritis pediatrik, dan pelayanan bedah saraf menunjukkan bahwa GCS dan GCS
pediatrik (Tabel 1) adalah indikator yang dapat diandalkan untuk menilai TBI pada anakanak.11

2.1.3 Pemeriksaan Pupil


Pupil asimetris kurang dari 1 mm adalah normal dan tidak bermakna patologis. Pada
satu studi dari 310 orang sehat dengan 2.432 dibarengi dengan pemeriksaan teknologi
canggih, ukuran pupil asimetris lebih besar dari 0,5 mm ditemukan pada kurang dari 1% dan
jarang terlihat pada pasien TBI kecuali Intra Cranial Pressure (ICP) lebih dari 20 mmHg.12
Pemeriksaan pupil adalah komponen penting dari pemeriksaan neurologis post
trauma. Terdiri atas penilaian ukuran, simetris, dan reaksi terhadap cahaya ke kedua pupil.
Refleks cahaya tergantung dari fungsi normal lensa, retina, saraf optikus, batang otak, dan
saraf okulomotor (saraf kranial III). Respon pupil direk menilai fungsi unilateral dari saraf
kranial III, sedangkan respon konsensual menilai fungsi dari saraf kontralateralnya. Tidak
adanya atau tidak ditemukannya keadaan asimetri dari reflek-reflek ini menunjukkan
terjadinya sindrom herniasi atau iskemia batang otak. 12
Protokol untuk Mengukur Pupil :
a. Bukti adanya trauma orbital
b. Pupil harus dinilai segera setelah pasien diresusitasi atau distabilisasi
6

c.

Catat penemuan pupil di kiri dan kanan.

Dilatasi pupil unilateral atau bilateral

Pupil yang terfiksasi dan dilatasi

Definisi:

Asimetri didefinisikan sebagai > 1 mm perbedaan dalam diameter

Pupil terfiksir didefinisikan sebagai < 1 mm repon tehadap cahaya.


Tidak ada data spesifik terhadap penilaian pupil di prehospital untuk mendukung

diagnosis dan nilai prognosis untuk pasien dengan TBI. Data dalam rumah sakit
menunjukkan pemeriksaan pupil sangat penting untuk diagnosis, terapi, dan prognosis. Maka
dari itu, karena tidak adanya data prehospital maka direkomendasikan untuk melakukan
penilaian pupil.12
2.2 TERAPI
2.2.1 Jalan nafas, ventilasi, dan oksigenasi
Manajemen jalan nafas dan oksigenasi normal pada pasien dengan TBI adalah dua
manajemen utama pada masa prehospital dan telah menjadi sumber utama untuk fokus
terhadap pelayanan prehospital. Kunci utamanya adalah pemasangan alat/media untuk
oksigenasi dan ventilasi, termasuk identifikasi pasien yang dapat mendapatkan keuntungan
dari intubasi endotrakeal.
Hipoksemia adalah prediktor kuat terhadap pasien TBI. Tujuan utamanya adalah
untuk menilai jalan nafas dan memastikan oksigenasi nya adekuat. Terdapat bukti bahwa
pasien yang koma dengan kadar saturasi oksigen yang rendah tidak dapat dikoreksi dengan
oksigen suplemental sehingga harus dilakukan intubasi.11
Manajemen jalan nafas prehospital juga berhubungan dengan penilaian, teknik, dan
kemampuan performa tenaga medis yang melakukannya. Hal ini termasuk apakah intubasi
endotrakeal dapat diajarkan dan dijaga oleh tim medis rumah sakit dengan komplikasi
minimal. Sehubungan dengan hal tersebut termasuk pengenalan

intubasi esofageal di

lapangan serta derajat dimana provider prehospital juga dapat mengatasi jalan nafas yang
sulit. Intubasi yang disertai medikasi telah dipelajari sebagai tambahan intubasi prehospital.

Intinya adalah menentukan apakah sub kelompok pasien tepat dilakukan intubasi jalan
nafas di lapangan. Pertanyaan kunci lainnya adalah dalam keadaan yang sebenarnya, apakah
intubasi endotrakeal di lapangan digunakan dengan atau tanpa obat. Hal ini menurunkan
angka mortalitas dan morbiditas serta meningkatkan outcome neurologik.11
Efek buruk hipoksemia terhadap outcome pasien dengan TBI telah diteliti pada
beberapa studi. Studi terbesar oleh Chesnut tahun 1993, yang mencakup 717 pasien dari 4
center. Penelitian ini menunjukkan bahwa hipoksemia memiliki efek buruk terhadap outcome
pasien, khususnya ketika berhubungan dengan hipotensi. Mortalitas mencapai 26,9% apabila
hipoksemia atau hipotensi terjadi, 28% untuk hipoksemia tunggal, dan 57,2 % apabila
ditemukan keduanya (p=0,013). Hipoksemia dapat dikoreksi dengan menggunakan oksigen
tambahan dan kombinasi dari ventilasi, intubasi endotrakeal, alat tambahan jalan nafas
lainnya termasuk Combitube dan masker laringeal. Selain itu, penelitian ini telah menilai
kemampuan provider prehospital untuk melakukan intubasi endotrakeal dan intubasi ini akan
mempengaruhi outcome.
Rekomendasi dari penelitian Chesnut ini adalah hindari hipoksemia (arterial
hemoglobin oxygen saturation [SaO2] < 90%) dan koreksi segera ketika dideteksi. 7
Pada studi untuk pasien trauma umum, pemasangan jalur nafas artifisial
direkomendasikan pada pasien yang tidak dapat bernafas dengan normal, tidak dapat
mempertahankankan jalan nafas, atau pada pasien yang dianggap dengan mengamankan jalan
nafasnya lebih baik dibandingkan risikonya. Kegagalan oksigenasi, ventilasi, dan proteksi
jalan nafas dapat dinilai dengan pemeriksaan fisik dan monitoring fisiologik. Perjalanan
penyakit dapat menjadi sulit diperkirakan sehingga ambang batas rendah untuk
mengamankan jalan nafas. Akan tetapi, mengamankan jalan nafas mungkin tidak dapat
memberikan keuntungan ketika waktu transport sangat pendek.11
Nilai GCS yang rendah saat assesmen prehospital sangat berhubungan dengan
peningkatan insidensi lesi intrakranial akut di CT kepala dan trauma center. Satu studi
retrospektif oleh Winchell tahun 1997, terhadap 1.092 pasien dengan TBI berat (GCS < 9
dan Abbreviated Injury Score kepala atau leher lebih dari atau sama dengan 4)
membandingkan dengan pasien yang mendapatkan intubasi endotrakeal prehospital dan yang
tidak. Provider EMS melakukan intubasi pada pasien yang apnea, tidak sadar dengan
ventilasi yang tidak efektif, dan tanpa refleks muntah. Protokol studi menyatakan bahwa
intubasi dilakukan tanpa medikasi dan maksimal 3 kali percobaan intubasi yang dibolehkan.
8

Intubasi endotrakeal prehospital berhubungan dengan peningkatan harapan hidup secara


signifikan dengan angka harapan hidup 74% untuk pasien yang diintubasi dan 50% untuk
pasien yag tidak diintubasi. Pasien dengan TBI terisolasi memiliki harapan hidup 50% pada
kelompok yang tidak diintubasi dibandingkan 77% pada kelompok yang diintubasi.13
Penelitian Winchell ini merekomendasikan untuk mematenkan jalan nafas pasien
apabila pasien menderita TBI berat [Glasgow Coma Scale (GCS) <9], ketidakmampuan
untuk mempertahan airway yang adekuat, atau hipoksemia yang tidak dikoreksi dengan
oksigen suplemental.
Studi baru-baru ini menyatakan bahwa intubasi prehospital pasien TBI mungkin tidak
berpengaruh pada pasien dengan saturasi > 90% dengan oksigen suplemen saja. Studi yang
melaporkan hasil buruk pada pasien yang diintubasi di lapangan perlu dikaji ulang dengan
hati-hati sebab pasien yang terintubasi umumnya memiliki cedera lebih berat. Rapid
Sequence Intubation (RSI) sudah banyak digunakan untuk prehospital. Penggunaan medikasi
khusus pada protokol RSI menunjukkan hasil yang beragam. Misalnya, penggunaan lidokain
sebagai premedikasi, yang menurunkan respon refleks simpatetik hingga manipulasi jalan
nafas, belum menunjukkan penurunan mortalitas dan morbiditas. Fentanyl dan Esmolol juga
dapat digunakan. Masih belum terdapat bukti yang jelas untuk mendukung atau menentang
penggunaan premedikasi di lapangan. Selain itu, terdapat penelitian kecil yang terfokus pada
agen induksi terbaik untuk RSI prehospital.
Sebagai kesimpulan, penelitian ini menyarankan butuhnya manajemen airway (jalan napas)
yang agresif pada pasien dengan hipoventilasi atau TBI hiposekmia, baik dengan intubasi
endotrakeal atau dengan ventilasi masker pompa (bag mask). Bagaimanapun pada semua
pasien dengan SaO2 > 90% dengan tambahan oksigen, penggunaan RSI tidak tampak
memberikan kebaikan dan mungkin saja bisa membahayakan.
Hal yang direkomendasikan pada pasien di lingkungan urban, rutinitas penggunakan
paralitik untuk membantu intubasi endotrakeal pada pasien yang bernafas spontan dan
menjaga saturasi oksigen > 90% tidak dianjurkan.11
Diskusi dari intubasi endotrakeal mencakup aspek kesiapan dan kemampuan
ketrampilan pada pemberi layanan kesehatan sebelum masuk ke rumah sakit. Dari beberapa
penelitian yang dilakukan pada pasien dengan trauma umum, angka kesuksesan intubasi
dengan prehospital providers berkisar antara 50% - 100%. Komplikasi besar berkisar antara
9

2% - 17% pada kelompok pediatrik dan sebesar 25% pada orang dewasa. Oleh sebab itu,
konfirmasi dari pemasangan intubasi endotrakeal yang benar sangatlah penting.
Hal yang perlu diperhatikan saat intubasi endotrakeal, yaitu konfirmasi peletakan pipa
dalam trakea dengan konfirmasi pemeriksaan auskultasi dan pengukuran end-tidal CO2.
Karena kondisi hipoksia dan hipotensi dikaitkan dengan keluaran buruk pada pasien
TBI, sebaiknya dilakukan pemantauan secara hati-hati pada tekanan darah, saturasi oksigen,
dan koreksi kelainan saat diidentifikasi,. Terdapat keterbatasan pemantauan SaO2. Dalam
studi non-TBI, cat kuku, hipotensi, anemia berat, dan vasokonstriksi telah dilaporkan untuk
memberikan bacaan saturasi oksigen rendah palsu. Meskipun keterbatasan ini, monitor
saturasi oksigen telah dilaporkan untuk menyediakan pengukuran yang dapat diandalkan
saturasi oksigen hemoglobin di klinis, pada kedua pasien TBI dan non-TBI. Emergency
Medical Service (EMS) sebagai implementasi protokol pemasangan intubasi endotrakeal
termasuk penggunaan protokol RSI seharusnya juga mengawasi tekanan darah, oksigenasi,
dan ETCO2.
Ada semakin banyak bukti hiperventilasi yang berhubungan dengan hipokapnea
(PCO2 <35) dikaitkan dengan outcome yang lebih buruk pada pasien TBI. Akibatnya adanya
peningkatan keyakinan yang memastikan bahwa ventilasi mendorong eucapnea selama
transport, yaitu, ETCO2 dari 35 - 40. Kecukupan ventilasi bergantung tidak hanya pada
tingkat ventilasi, tetapi juga pada volume tidal oksigen yang dihantarkan, dan tekanan di
mana volume tidal dihantarkan. Pemantauan kapnometri terus menerus adalah cara terbaik
untuk memantau ventilasi. Dengan tidak adanya kapnometri, kecukupan ventilasi disarankan
dengan memantau keadaan saluran napas dan pengembangan dada. Pedoman CRR / ECC
2005 merekomendasikan 10-12 napas per menit (6 - 7 mL / kg) diberikan lebih 1 detik untuk
meminimalkan inflasi lambung. Hal yang perlu diperhatikan adalah hiperventilasi harus
dihindari kecuali pada pasien yang menunjukan tanda-tanda herniasi, dan segera dikoreksi
bila dijumpai.11

2.2.2 Resusitasi Cairan


Perdarahan setelah trauma menurunkan preload jantung. Ketika mekanisme
kompensasi tidak berjalan dengan baik, terjadi penurunan perfusi perifer dan pengiriman
oksigen. Terapi cairan digunakan untuk memperbaiki preload dan juga untuk mendukung
10

fungsi kardiovaskular dan pengiriman oksigen perifer. Hal ini sangat penting pada pasien
setelah TBI, karena penurunan perfusi serebral dapat meningkatkan tingkat cedera neurologis
primer atau dapat memperburuk cedera neurologis. Secara khusus, hipotensi telah terbukti
untuk menghasilkan cedera otak sekunder yang signifikan dan substansial memperburuk
outcome. Pada orang dewasa, hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik (SBP)
<90 mmHg. Pada anak-anak, hipotensi didefinisikan sebagai SBP kurang dari persentil ke-5
untuk usia atau dengan tanda-tanda klinis syok. nilai-nilai yang biasa digunakan, yaitu:11
< 60 mmHg pada neonatus (0 sampai 28 hari)
< 70 mmHg pada bayi (1bulan sampai 12 bulan)
< 70 mmHg + 2 X usia pada anak usia 1 sampai 10 tahun
< 90 mmHg pada anak > 10 tahun
Untuk saat ini, cairan kristaloid merupakan cairan yang paling sering digunakan untuk
meningkatkan preload jantung, menjaga curah jantung, dan mendukung pengiriman oksigen
perifer pada pasien trauma. Rekomendasi untuk orang dewasa adalah 2 liter ringer laktat atau
normal saline bolus yang diberikan dengan cepat. Pada anak-anak, resusitasi cairan
diindikasikan untuk tanda-tanda klinis penurunan perfusi. Tujuan dari resusitasi cairan pre
hospital adalah untuk mendukung pengiriman oksigen dan mengoptimalkan hemodinamik
otak. Cairan kristaloid yang paling sering digunakan, meskipun pilihan lain seperti cairan
hiperonkotik dan hipertonik serta pengganti hemoglobin juga telah digunakan. Jika hipotensi
tidak terjadi, tekanan darah dan pengiriman oksigen harus segera dikembalikan untuk
menghindari cedera otak sekunder. Idealnya, hal ini harus dilakukan dengan cara tanpa
menyebabkan kehilangan darah sekunder atau hemodilusi.14
Hal-hal yang penting pada resusitasi cairan adalah : 11
1) Pemberian cairan pra-rumah sakit direkomendasikan untuk menghindari hipotensi
dan/atau membatasi hipotensi dalam durasi waktu yang sesingkat mungkin.
2) Resusitasi hipertonik pada keadaan pra-rumah sakit, secara umum menggunakan
saline hipertonik dengan atau tanpa dekstran direkomendasikan.
3) Pada pasien pediatrik dengan TBI, hipotensi harus dihindari atau dibatasi dalam
jangka waktu sesingkat mungkin.
11

2.2.3 Herniasi Serebral


Manajemen pasien dengan TBI diarahkan untuk mempertahankan perfusi serebral.
Tanda-tanda herniasi otak termasuk pupil yang melebar atau tidak aktif, pupil asimetris, sikap
ekstensor, atau kerusakan neurologis progresif (penurunan GCS skor lebih dari 2 poin dari
sebelumnya skor terbaik pasien pada pasien dengan awal GCS kurang dari 9). Hiperventilasi
bermanfaat dalam pengelolaan langsung dari pasien yang menunjukkan tanda-tanda herniasi
otak, tapi tidak dianjurkan sebagai tindakan pencegahan. Manitol efektif dalam mengurangi
tekanan intrakranial (TIK) dan direkomendasikan untuk mengendalikan peningkatan TIK.
Sejumlah agen farmakologis telah diselidiki dalam upaya untuk mencegah cedera sekunder
yang terkait dengan TBI, tetapi tidak terbukti bermanfaat.
2.2.3.1 Hiperventilasi
Hiperventilasi dalam keadaan akut mengurangi TIK dengan cara menyebabkan
vasokonstriksi serebral dengan penurunan dalam aliran darah otak. Hiperventilasi telah
terbukti mengurangi TIK pada banyak pasien dengan edema serebral. Ada bukti bahwa
hiperventilasi juga mengurangi aliran darah otak, dan efek merusak. Dalam rumah sakit,
tekanan intrakranial (TIK) digunakan sebagai panduan untuk penggunaan hiperventilasi.
Karena ini tidak tersedia dalam fase pre hospital, kriteria klinis harus mengganti untuk
mengidentifikasi pasien yang berisiko. Akibatnya, hiperventilasi dicadangkan sebagai ukuran
untuk pasien-pasien dengan TBI berat yang menunjukkan tanda-tanda herniasi otak.
Kesimpulannya adalah status neurologis membutuhkan re-evaluasi yang rutin, dan pada
keadaan dimana tidak ada tanda-tanda herniasi, hiperventilasi sebaiknya tidak dilanjutkan.
2.2.3.2 Mannitol
Manitol telah lama digunakan sebagai salah satu alat yang efektif untuk mengurangi
tekanan intrakranial. Sejumlah penelitian laboratorium mekanistik mendukung kesimpulan
ini. Namun, dampaknya terhadap hasil belum ditunjukkan dalam percobaan yang menguji
manitol terhadap plasebo. Schwartz et al melakukan studi membandingkan Manitol dengan
pentobarbital dalam pemeliharaan CPP dan hasilnya adalah pada kelompok Mannitol lebih
baik.
2.2.3.3 Salin Hipertonik

12

Saline hipertonik menawarkan alternatif yang menarik untuk manitol sebagai terapi
target hyperosmotic otak. Kemampuannya untuk mengurangi peningkatan TIK telah
dibuktikan dengan studi di ICU dan ruang operasi. 15
2.2.4

Pembuatan Keputusan dengan Sistem Emergency Medical Service (EMS) :

Pengiriman, Transportasi, dan Tujuan


Keputusan yang dibuat dalam perawatan pre hospital oleh petugas operator EMS dan
lapangan terjadi secara bertahap, termasuk diantaranya : 11
1. Informasi yang didapatkan oleh para penerima panggilan EMS dan para petugas untuk
menentukan apabila seorang pasien memiliki kemungkinan cedera otak yang
signifikan.
2. Penentuan dari TBI dapat membantu mengarahkan keputusan tentang jenis petugas
yang harus dikirimkan, sumber daya yang harus digunakan, dan tugas prioritas untuk
respon cepat.
3. Evaluasi pre hospital dari mekanisme cedera (misalnya deformasi vehikular, dan
benturan keras pada kaca mobil, penggunaan sabuk pengaman atau alat pengaman
lainnya), keadaan lokasi, dan pemeriksaan pasien merupakan komponen penting
dalam menilai keadaan neurologis secara umum.
4. Berdasarkan pada pemeriksaan pasien, intervensi pre hospital digunakan untuk
mengevaluasi hipotensi atau hipoksemia untuk menunjukan kemungkinan ancaman
pada kehidupan atau pada ekstremitas. Pada langkah ini, keputusan dalam level
penerima respon sampai ke lokasi berefek pada penanganan pasien.
5. Pemberi pelayanan EMS memilih metode transportasi (ambulans vs helikopter, lampu
merah dan penggunaan sirene).
6. Pemberi pelayanan EMS harus memilih fasilitas tujuan secara tepat.

Hal-hal yang direkomendasikan : 11


1) Semua daerah seharusnya mempunyai sistem penanganan trauma yang sudah tersusun
baik.
13

2) Protokol sebaiknya direkomendasikan kepada para petugas EMS (Pelayanan Medis


Emergensi) dalam menentukan tujuan untuk pasien dengan cedera otak berat (TBI)
3) Pasien dengan cedera otak berat (TBI) seharusnya segera di transpor secara langsung
ke fasilitas dengan kemampuan melakukan CT-scan, penanganan bedah saraf segera,
dan juga kemampuan untuk memonitor tekanan intra kranial (TIK) dan menangani
hipertensi intrakranial.
4) Jenis transportasi yang seharusnya digunakan adalah transportasi yang dapat
meminimalisir waktu perjalan pada pasien dengan cedera otak berat.
5) Pada daerah metropolitan, pasien pediatrik dengan cedera otak berat seharusnya
segera di transport langsung ke pusat trauma pediatrik yang tersedia.
6) Pasien pediatrik dengan cedera otak berat seharusnya ditangani di pusat trauma
pediatrik atau di pusat trauma orang dewasa dengan kualifikasi tambahan untuk
menangani anak-anak dengan kemampuan level I atau II, pusat trauma orang dewasa
dengan kualifikasi penanganan pediatrik.
2.2.4.1 Pengiriman
Meskipun tidak ada bukti definitif bahwa interogasi formal penelepon meminta
bantuan darurat (yaitu, panggilan ke 9-1-1 atau nomor akses darurat lokal) dapat membantu
petugas operator dalam mengidentifikasi secara akurat pasien dengan TBI, bukti untuk proses
penyakit lainnya mendukung potensi TBI pasien. Hal ini penting untuk sistem EMS juga
berfungsi untuk secara konsisten mendapatkan penyedia layanan yang tepat untuk pasien
yang tepat. Interogasi diformalkan dari penelepon oleh dispatcher yang khusus terlatih yang
mampu memilah pasien berdasarkan kebutuhan. 11
2.2.4.2 Penanganan di tempat kejadian
Menentukan sumber daya yang diperlukan untuk dikirim ke tempat kejadian
sehingga akan meberikan hasil yang baik pada pasien. Pilihan utama adalah level perawatan
yang diperlukan. Hal ini secara umum telah dinyatakan sebagai bantuan dasar kehidupan
(BLS) atau bantuan hidup lanjutan (ALS).
2.2.4.3 Identifikasi dari Cedera Otak Traumatik

14

Pasien potensial TBI melibatkan pertimbangan fisiologis (misalnya, skor GCS) dan
anatomi (misalnya depresi tengkorak) tanda-tanda dan gejala serta mekanisme cedera
(misalnya, jatuh lebih dari 20 kaki) yang menghasilkan kekuatan yang cukup untuk
meningkatkan potensi cedera. Secara umum, American College of Surgeons Committee on
Trauma Field Triage Decision Scheme digunakan oleh sebagian besar negara bagian untuk
mengidentifikasi pasien yang memerlukan transportasi ke pusat trauma.
2.2.4.4 Jenis Transportasi
Menentukan jenis transportasi yang paling tepat membutuhkan penyedia untuk
menentukan apakah untuk mengangkut pasien dengan ambulans atau helikopter dan jika
pasien diangkut dengan ambulan apakah menggunakan lampu dan sirene atau tidak. Seluruh
interval waktu pre hospital harus dipertimbangkan dan bukan hanya selang waktu dari
keberangkatan dari tempat kejadian untuk tiba di rumah sakit. Penyedia layanan pre hospital
biasanya dilatih bahwa semua pasien harus diangkut sehingga mereka dapat dioperasi dalam
satu jam pertama setelah cedera. Konsep ini, disebut sebagai golden time period, adalah poin
yang sangat baik untuk penyedia layanan pre hospital tetapi efek yang tepat waktu pada hasil
pasien tidak diketahui. 11

2.2.4.5 Tujuan Transport

15

Bukti menunjukkan bahwa kematian pasien TBI menurun ketika pasien ditransfer
langsung ke pusat trauma Tingkat I. Di sebagian besar wilayah keputusan tujuan pengobatan
dibuat dalam konteks sistem trauma formal. Dalam perbandingan antara terorganisir dan
tidak terorganisir EMS dan trauma sistem, keluaran pasien lebih buruk tanpa organisasi.
literatur terbaru tentang pasien trauma umum menunjukkan bahwa hasil bagi pasien trauma
meningkatkan ketika perawatan pre hospital, triase, dan masuk ke pusat trauma ditunjuk
dikoordinasikan dalam sistem trauma regional.11

RINGKASAN
Traumatic brain injury (TBI) atau cedera kepala adalah penyebab utama kematian dan
kecacatan pada orang dewasa muda di negara maju. Manajemen awal yang tepat pada pasien
TBI sangat penting untuk kelangsungan hidup pasien, terutama manajemen pre hospital.
Inti dari penanganan pre hospital pada TBI adalah pada 2 hal yang penting yaitu assesment
dan terapi. Assesment meliputi oksigenasi dan tekanan darah, skor GCS dan pemeriksaan
pupil. Terapi meliputi jalan nafas/ventilasi/oksigenasi, resusitasi cairan, herniasi otak, sistem
penanganan trauma dan keputusan transportasi ke Rumah Sakit.
Assesment :
(1)

Oksigenasi dan tekanan darah Hipoksemia (saturasi oksigen hemoglobin arterial <
90%) atau hipotensi (< 90 mmHg tekanan darah sistolik) saat prehospital adalah
parameter signifikan yang berhubungan dengan hasil yang buruk pada pasien dewasa
dengan cedera kepala berat

(2)

Skor GCS Pengukuran prehospital dari GCS sangat berguna dan dapat diandalkan
sebagai indikator terhadap TBI berat, khususnya berhubungan dengan skoring berulang
dan perbaikan atau perburukan skor seiring waktu

(3)

Pemeriksaan pupil Tidak ada data spesifik terhadap penilaian pupil di prehospital
untuk mendukung diagnosis dan nilai prognosis untuk pasien dengan TBI. Data dalam
rumah sakit menunjukkan pemeriksaan pupil sangat penting untuk diagnosis, terapi,
dan prognosis. Maka dari itu, karena tidak adanya data prehospital maka
direkomendasikan untuk melakukan penilaian pupil.

Terapi :
16

1)

Jalan nafas/ventilasi/oksigenasi Hindari hipoksemia (arterial hemoglobin oxygen


saturation [SaO2] < 90%) dan koreksi segera ketika dideteksi

2)

Resusitasi cairan Pemberian cairan pre hospital direkomendasikan untuk


menghindari hipotensi dan/atau membatasi hipotensi dalam durasi waktu yang
sesingkat mungkin, cairan yang direkomendasikan adalah saline hipertonik dengan atau
tanpa dekstran

3)

Herniasi otak Dilakukan dengan 3 cara yaitu hiperventilasi, manitol, saline


hipertonik

4)

Pembuatan Keputusan dengan Sistem Emergency Medical Service (EMS) : Pengiriman,


Transportasi, dan Tujuan transport.

DAFTAR PUSTAKA

17

1. Yates PJ, Williams WH, Harris A, Round A, Jenkins R. An epidemiological study of


head injuries in a UK population attending an emergency department. J Neurol
Neurosurg Psychiatry 2006; 77: 699701
2. Maas AIR, Stocchetti N, Bullock R. Moderate and severe traumatic brain
3. Moppett IK. Traumatic brain injury: assessment, resuscitation and early management.
Br J Anaesth 2007; 99: 1831.
4. Baxt WG, Moody P: The impact of advanced prehospital care on the
mortality of severely brain-injured patients. J Trauma 27:365-369,
2007.
5. Carroll LJ, Cassidy JD, Holm L, et al. Methodological issues and research
recommendations for mild traumatic brain injury: the WHO Collaborating Centre
Task Force on Mild Traumatic Brain Injury. J Rehabil Med 2004(43 Suppl):11325.
6. Neurosurgical Society of Australasia. The management of Acute Neurotrauma in rural
and remote locations. Version 2. 2009. [cited 2014 Mar 17]. Available from:
https://www.nsa.org.au/information/neurosurgical-information
7. Chesnut RM, Marshall LF, Klauber MR, et al: The role of secondary
brain injury in determining outcome from severe head injury. J
Trauma 34:216-222, 1993.
8. Marmarou A, Anderson RL, Ward JD, et al: Impact of ICP instability
and hypotension on outcome in patients with severe head trauma. J
Neurosurg 75:S159-S166,2001.
9. Kazim S, Shamim M, Tahir M, Enam S, Waheed S. Management of
penetrating brain injury. J Emerg Trauma Shock. 2011 Jul-Sep; 4(3):
395402
10.
Braakman R, Avezaat CJ, Maas AI, et al: Interobserver
agreement in the assessment of the motor response of the Glasgow
coma scale. Clin Neurol Neurosurg 80:100-106, 2007.
11.
Brain Trauma Foundation. Guidelines for

prehospital

management of traumatic brain injury. 2nd edition. Prehospital


Emerg Care 2007; 12:S153
12.
Taylor W, Chen J, Meltzer H, et al. Quantitative pupillometry, a
new technology: Normative data and preliminary observations in
patients with acute head injury. J Neurosurg 98: 205-21, 2003.
13.
Judith Dinsmore MBBS FRCA. Traumatic brain injury: an
evidence-based review of management. 2013

18

14.

Bhalla T, Dewhirst E, Sawardekar A, Dairo O, Tobias JD.

Perioperative management of the pediatric patient with traumatic


brain injury. Paediatr Anaesth 2012.
15.
Servadei F, Nasi MT, Cremonini AM, et al. Importance of a
reliable admission Glasgow Coma Scale score for determining the
need for evacuation of posttraumatic subdural hematomas: a
prospective study of 65 patients. J Trauma 44(5):868-873, 1998.

19

Anda mungkin juga menyukai