Anda di halaman 1dari 12

KEJANG DINI PASCA CEDERA KEPALA:

SEBUAH LAPORAN KASUS

Oleh:
Johann Andrasili
2071061006

Pembimbing:
dr. I Komang Arimbawa, Sp.S(K)

DEPARTEMEN/ KSM NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RUMAH SAKIT UMUM PENDIDIKAN SANGLAH
DENPASAR
2022
KEJANG DINI PASCA CEDERA KEPALA:
SEBUAH LAPORAN KASUS
Johann Andrasili*, I Komang Arimbawa**
*Peserta Didik Program Studi Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah
**Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah

ABSTRAK
Pendahuluan: Cedera kepala atau Traumatic Brain Injury (TBI) dikenal sebagai silent epidemic yang
berkontribusi sebagai penyebab disabilitas dan mortalitas terkait kecelakaan lalu lintas di dunia. Secara
klinis, derajat keparahan TBI dikelompokkan menurut skor Skala Koma Glasgow. Salah satu
manifestasi neurologis yang timbul akibat cedera kepala adalah kejang. Dikatakan sebagai kejang dini,
apabila manifestasi kejang berlangsung dalam kurun waktu <7hari dari berlangsungnya cedera kepala.
Kondisi ini terjadi pada sekitar 4.5% dari 100 orang yang mengalami cedera kepala dalam suatu studi
kohort.
Ilustrasi Kasus: Perempuan usia 19 tahun, datang dengan riwayat kejang, pola kelojotan keempat
anggota gerak, mata mendelik keatas, dan mulut berbuih yang berlangsung selama 2 menit. Sebelum
kejang, pasien terjatuh dari sepeda motor. Setelah kejang, pasien sempat tidak sadar sekitar 10-20 menit,
sulit untuk dibangunkan. Saat sadar, pasien mengaku lupa dengan kejadian sebelumnya dan tidak ingat
proses jatuh. Ini merupakan kejang pertama kali. Sebelum terjatuh, pasien sempat bertengkar dengan
pacarnya. Dikatakan pasien juga sempat memiliki keinginan bunuh diri. Pada pemeriksaan fisik, pasien
apatis, didapatkan cephal hematom pada regio temporoparietal dekstra. Pemeriksaan CT Scan kepala
tanpa kontras menunjukkan edema serebri dan herniasi subfalcine sejauh +/- 0.2 cm ke arah kiri.
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) dalam batas normal. Pasien kemudian mendapatkan terapi
manitol loading 250 cc, dilanjutkan 100 cc 6 jam berikutnya, dan 62,5 cc setelah 24 jam. Parasetamol
1000 mg tiap 8 jam oral. Diazepam 10 mg bolus pelan intravena apabila kejang. Selama perawatan
berlangsung tidak ditemukan manifestasi kejang. Pasien juga dirujuk ke departemen psikiatri untuk
evaluasi gejala depresi.
Diskusi: Kejadian kejang pertama pada usia dewasa umumnya disebabkan oleh penyakit
serebrovaskular (44.17%), sindrom epilepsi idiopatik (18.33%), gangguan metabolik (11%), tumor
kepala (9.17%), pasca trauma (6.67%), ensefalitis (5.83%) dan kriptogenik (5%). Kejang dini pasca
cedera kepala dapat mengalami rekurensi dalam beberapa bulan atau tahun bergantung pada penyebab
yang mendasari sehingga sangat perlu mengidentifikasi penyebab secepatnya. Semakin tinggi derajat
cedera kepala, kemungkinan kejadian kejang akan semakin meningkat. Pada kasus ini gambaran edema
dan inflamasi yang ditunjukkan pemeriksaan imaging mungkin mendasari manifestasi kejang yang
terjadi. Secara umum, kejang disebabkan oleh depolarisasi neuron yang mendadak dan tidak terkendali
yang mengakibatkan aktivitas motorik atau sensorik abnormal dengan atau tanpa kehilangan kesadaran.
Namun evaluasi psikologis juga harus dinilai dalam kasus ini dimana pada kasus pasien dengan depresi.
Kejang disosiatif atau psikogenik dapat dipertimbangkan karena adanya komorbiditas psikologis, akan
tetapi penyebab organik masih perlu menjadi prioritas.
Kata Kunci: Kejang Dini, Cedera Kepala, Edema Serebri
PENDAHULUAN
Cedera kepala atau Traumatic Brain Injury (TBI) dikenal sebagai silent epidemic yang
berkontribusi sebagai penyebab disabilitas dan mortalitas terkait kecelakaan lalu lintas di dunia
(Dewan et al., 2019; Fordington & Manford, 2020; Ng & Lee, 2019). Suatu studi epidemiologi
memperkirakan setidaknya 69 juta penderita mengalami cedera kepala di Asia Tenggara dan
Pasifik Barat (Dewan et al., 2019). Cedera kepala merupakan kelompok heterogen dari lesi
injuri kepala seperti lesi massa, memar, cedera aksonal difus, hingga cedera klasik lain. Kondisi
iskemia, apoptosis, disfungsi mitokondria, depresi penyebaran kortikal, dan trombosis
mikrovaskular dinilai sebagai bagian dari patofisiologi cedera kepala. Secara klinis, derajat
keparahan TBI dikelompokkan menurut skor Skala Koma Glasgow menjadi ringan (GCS 14-
15), sedang (9-13), dan berat (3-8). TBI berat memiliki tingkat kematian 30-40% dan dapat
menyebabkan defisit fisik, psikososial, dan sosial hingga 60% dari keseluruhan kasus (Khellaf
et al., 2019).

Salah satu manifestasi neurologis yang timbul akibat cedera kepala adalah kejang. Kejang
didefinisikan sebagai perubahan paroksisimal dari fungsi neurologis akibat pelepasan neuron
yang berlebih di otak (Stafstrom & Carmant, 2015). Dikatakan sebagai kejang dini, apabila
manifestasi kejang berlangsung dalam kurun waktu <7hari dari berlangsungnya cedera kepala.
Kondisi ini terjadi pada sekitar 4.5% dari 100 orang yang mengalami cedera kepala dalam suatu
studi kohort. Sekitar 80% mengalami kejang tonik klonik dibandingkan kejang fokal
(Fordington & Manford, 2020). Manifestasi kejang pertama disertai dengan kondisi trauma
sangat penting untuk dilakukan investigasi yang mendalam sehingga memudahkan klinisi
menentukan langkah diagnostik dan terapeutik yang tepat bagi penderita (Beghi et al., 2010;
Galgano et al., 2017). Artikel ini melaporkan suatu kasus cedera kepala dengan manifestasi
kejang dini.

LAPORAN KASUS
Seorang perempuan, 19 tahun, suku Jawa, kinan, datang dengan riwayat kejang 1 kali sejak 2
jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien ditemukan dalam kondisi tidak sadar dengan kelojotan
keempat anggota gerak, mata mendelik keatas, dan mulut berbuih yang berlangsung selama 2
menit. Sebelum kejang, pasien terjatuh dari sepeda motor tanpa menggunakan helm saat
dibonceng dan ditemukan sekitar 3 meter dari tempat berhentinya sepeda motor. Menurut
pengendara, sepeda motor melaju dengan kecepatan sedang. Sebelum terjatuh, pengendara
sempat bertengkar dengan pasien sehingga tidak memperhatikan jalan kemudian terjatuh ke
sisi kanan. Setelah kejang, pasien sempat tidak sadar sekitar 10-20 menit, cenderung sulit untuk
dibangunkan, kemudian bangun sendiri. Saat sadar, pasien mengaku lupa dengan kejadian
sebelumnya dan tidak ingat proses jatuh hanya ingat bertengkar dengan pengendara. Pasien
juga mengeluh nyeri kepala terus-menerus, terasa berdenyut diseluruh kepala, dengan
intensitas sedang-berat setelah terjatuh. Keluhan muntah, kesemutan pada wajah dan badan,
pandangan kabur atau dobel disangkal. Sebelum pasien terjatuh, pasien sadar baik. Ini
merupakan kejang pertama kali yang dialami pasien. Riwayat kejang maupun keganasan dalam
keluarga disangkal. Pasien tidak pernah mengkonsumsi obat rutin apapun.

Menurut pengendara (teman dekat pasien), pasien cenderung memiliki keinginan untuk bunuh
diri sejak 1 bulan lalu dan selalu berkata bahwa dirinya sedih, menilai dirinya lebih buruk dari
orang lain, serta cenderung lebih pendiam dan tampak murung. Pasien merupakan seorang
pelajar dan tinggal sendiri di Bali.

Pada pemeriksaan fisik, pasien apatis dengan tanda vital dan pemeriksaan fisik umum tampak
adanya cephal hematom pada regio temporoparietal dekstra. Pada pemeriksaan neurologis
didapatkan riwayat bangkitan general onset motor tonik klonik. Pemeriksaan CT Scan kepala
tanpa kontras menunjukkan adanya edema serebri derajat sedang dengan kornu anterior
ventrikel lateralis kanan menyempit yang menyebabkan herniasi subfalcine sejauh +/- 0.2 cm
ke arah kiri, scalp hematom regio frontoparietal kanan (Gambar 1). Pemeriksaan darah
lengkap ditemukan gambaran normoglikemia, anemia normositik normokrom ringan
(Hemoglobin 11.80g/dL; Hematokrit 35.20%; MCV 83.80fL; MCH 28.10pg; MCHC 33.50
g/dL), normoleukosit dengan dominasi neutrofil sejumlah 81.40%, disertai peningkatan NLR
(Neutrophil to Lymphocyte Ratio) sebesar 6.07. Selanjutnya pemeriksaan klorida sedikit
meningkat sebesar 113.8 mmol/L dengan komponen elektrolit lain dan kadar Kalsium dalam
batas normal. Pencitraan rontgen toraks ditemukan normal. Pemeriksaan elektroensefalografi
(EEG) tidak menunjukkan adanya kelainan (Gambar 2). Pasien kemudian mendapatkan terapi
manitol loading 250 cc, dilanjutkan 100 cc 6 jam berikutnya, dan 62,5 cc setelah 24 jam.
Parasetamol 1000 mg tiap 8 jam oral. Diazepam 10 mg bolus pelan intravena apabila kejang.
Selama perawatan berlangsung tidak ditemukan manifestasi kejang. Pasien juga dirujuk ke
departemen psikiatri dan didiagnosis depresi.
DISKUSI
Kejadian kejang pertama pada usia dewasa umumnya disebabkan oleh penyakit
serebrovaskular (44.17%), sindrom epilepsi idiopatik (18.33%), gangguan metabolik (11%),
tumor kepala (9.17%), epilepsi atau kejang pasca trauma (6.67%), ensefalitis (5.83%) dan
kriptogenik (5%) (Mahmoud et al., 2021). Kejang dini pasca cedera kepala dapat mengalami
rekurensi dalam beberapa bulan atau tahun bergantung pada penyebab yang mendasari
sehingga sangat perlu mengidentifikasi penyebab secepatnya (Englander et al., 2014).
Berdasarkan suatu studi epidemiologi, setidaknya 1 dari 10 orang akan mengalami kejang
semasa hidupnya. Namun kondisi ini umumnya diprovokasi oleh kejadian akut, seperti cedera
kepala, yang tidak berhubungan dengan kejadian epilepsi (Englander et al., 2014; Fordington
& Manford, 2020; Mahmoud et al., 2021). Semakin tinggi derajat cedera kepala, kemungkinan
kejadian kejang akan semakin meningkat. Dalam kasus ini, cedera kepala berdasarkan SKG
termasuk derajat ringan karena pasien dalam kesadaran penuh. Namun kondisi kejang perlu
diinvestigasi lebih lanjut baik dari anamnesis (mekanisme trauma), pemeriksaan fisik, serta
penunjang lainnya.

Anamnesis rinci yang diperoleh dari pasien dan keluarga mencakup mekanisme trauma,
deskripsi kejang, manifestasi, penyebab dan durasi, perawatan sebelumnya dan saat ini.
Informasi tentang penyalahgunaan obat/alkohol dan pengobatan, cedera otak sebelumnya atau
infeksi berguna untuk membantu diagnosis dan menyingkirkan penyebab lainnya. Selain
anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium seperti elektrolit dan
ureum dapat mengidentifikasi kondisi sistemik yang diketahui dapat meningkatkan kondisi
neurologis yang berhubungan dengan kejang (Galgano et al., 2017; Lawal et al., 2018). Dalam
kasus ini, semiologi kejang yang diperoleh melalui alloanamnesis dari pengantar pasien,
didapatkan gambaran bangkitan umum tonik klonik pertama kali dengan frekuensi 1x sejak 2
jam pasca kecelakaan. Selain itu, terdapat manifestasi nyeri kepala yang terjadi setelah trauma
kapitis, yang dapat merupakan gambaran aura ataupun gambaran peningkatan tekanan
intracranial. Sedangkan pemeriksaan fisik ditemukan dalam batas normal sehingga penunjang
diperlukan untuk menegakkan diagnosis.

Beberapa investigasi diagnostik lain yang dapat digunakan berupa pemeriksaan laboratorium
(darah lengkap, glukosa, ureum, elektrolit, kalsium), rontgen toraks, EEG
(Electroencephalography), pemindai kepala seperti MRI (Magnetic Resonance Imaging) atau
CAT (Computed Axial Tomography) atau CT (Computed Tomography), maupun PET
(Positron Emission Tomography) dan SPECT (Single Photon Emission Computed
Tomography). Penggunaan EEG ditujukan untuk memastikan lokasi dan jenis kejang,
sedangkan MRI/CT/CAT dimanfaatkan untuk mendeteksi perubahan struktural otak. Selain
itu, untuk mendeteksi perubahan metabolisme glukosa dan aliran darah pada fokus kejang
dilakukan pemeriksaan PET/SPECT. Dalam kasus ini, laboratorium menunjukkan gambaran
anemia normositik normokrom ringan, normoleukosit dengan dominasi neutrofilia,
peningkatan NLR dan klorida. Hasil ini menunjukkan adanya inflamasi yang dapat ditemukan
pada kasus trauma. Selain itu pemeriksaan EEG menunjukkan tidak ditemukan fokus epilepsi
maupun gangguan lainnya. Sedangkan pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras
menunjukkan edema serebri derajat sedang dengan herniasi subfalcine sejauh +/- 0.2 cm ke
arah kiri.

Gambaran edema dan inflamasi yang ditunjukkan mungkin mendasari manifestasi kejang yang
terjadi (Galgano et al., 2017). Secara umum, kejang disebabkan oleh depolarisasi neuron yang
mendadak dan tidak terkendali yang mengakibatkan aktivitas motorik atau sensorik abnormal
dengan atau tanpa kehilangan kesadaran. Patofisiologi yang mendasari kejang secara seluler
masih belum jelas, tetapi terdapat beberapa teori mekanisme spesifik untuk aktivitas kejang
termasuk perubahan permeabilitas membran saraf, pengurangan kontrol saraf penghambatan
dan ketidakseimbangan neurotransmitter (Lawal et al., 2018). Studi lain menuliskan bahwa
kejang terjadi akibat ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi neuron, yang muncul dari
hipereksitasi dan hipersinkronisasi jaringan saraf (Spray, 2015). Perubahan ion dan
neurotransmiter menghasilkan hipereksitasi, dan hilangnya neuron penghambat memberikan
meningkat menjadi hipersinkronisitas, yang dapat menyebabkan kejang parsial atau umum,
tergantung pada penyebaran aktivitasnya (Lawal et al., 2018). Dalam kasus ini, gambaran
edema yang ditampilkan cenderung fokal pada area kornu anterior ventrikel lateralis. Kondisi
ini dapat terjadi karena trauma kontusio tipe coup.

Dalam kasus cedera kepala, jenis edema yang paling banyak ditemukan adalah edema
sitotoksik (Galgano et al., 2017; R. M. Jha et al., 2019). Edema sitotoksik mengacu pada
pembengkakan seluler yang umum terlihat pada kondisi cedera kepala maupun kondisi
hipoksia dan berhubungan erat dengan peningkatan volume neuronal dan glial. Meskipun
mekanismenya kompleks, efek dari edema yang terjadi cukup jelas berupa peningkatan volume
sitoplasma yang timbul dari masuknya Na+ ekstraseluler bersama-sama dengan Cl− dan air (R.
M. Jha et al., 2019; S. K. Jha, 2003; Kaida et al., 2009) (Gambar 3). Setelah cedera, penurunan
CBF (Cerebral Blood Flow) terjadi dari kerusakan mekanik dan menyebabkan kematian sel
yang dimediasi oleh eksitotoksisitas. Kematian sel menghasilkan keadaan inflamasi yang
disebabkan oleh mikroglia muda dan sel imun yang direkrut dari perifer, yang menyebabkan
peningkatan ICP (Intracranial Pressure) dan penurunan CPP (Cerebral Perfusion Pressure).
Peradangan pada akhirnya berfungsi untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh TBI
dan memungkinkan terjadinya reorganisasi sinaptik. Reorganisasi dan kerusakan yang
berlangsung lama meningkatkan kerentanan terhadap kejang dan kemungkinan epilepsi. Oleh
karena kondisi kejang berlangsung baru 1x dan dalam observasi tidak ditemukan kejang
selanjutnya, pasien belum dapat digolongkan dalam kondisi epilepsi. Diagnosis klinis yang
ditegakkan berupa acute symptomatic seizure dengan edema serebri traumatika. Acute
symptomatic seizure didefinisikan sebagai kejang klinis yang terjadi akibat gangguan sistemik
atau gangguan temporal yang teridentifikasi sebelumnya (Beghi et al., 2010). Selain itu,
evaluasi psikologis juga dinilai dalam kasus ini dan ditemukan kondisi depresi. Kejang
disosiatif atau psikogenik dapat dipertimbangkan karena adanya komorbiditas psikologis, akan
tetapi penyebab organik masih perlu menjadi prioritas.

Bebeapa tatalaksana yang dipertimbangkan dalam kasus cedera kepala berupa hipotermia dan
HBOT. Hipotermia dan HBOT (Hyperbaric Oxygen Therapy) menargetkan metabolisme
serebral yang dideregulasi dan kadar oksigen segera setelah cedera. Agen hiperosmolar,
progesteron, dan kraniektomi dekompresi berusaha mengurangi peradangan yang disebabkan
oleh TBI dan kerusakan berikutnya (Algattas & Huang, 2014; Itoh et al., 2015). Obat anti
epilepsi, seperti LEV (Levetiracetam) dan PHT (Phenytoin), dan stimulasi saraf vagal (Vagal
Nerve Stimulation, VNS) juga diyakini dapat mengurangi kemungkinan kejang pasca-trauma
terutama 28 hari pertama (Gambar 4) (Algattas & Huang, 2014; Itoh et al., 2015). Dalam kasus
ini, penggunaan terapi yang diberikan berupa agen hiperosmolar mannitol untuk mengatasi
edema dan parasetamol dosis tinggi sebagai analgesia. Dalam observasi selama perawatan,
kejang tidak ditemukan dan nyeri kepala membaik dengan intensitas ringan hingga tidak ada.

KESIMPULAN
Kejang merupakan salah satu manifestasi yang dapat muncul pada kasus cedera kepala.
Mekanisme trauma yang terjadi sangat penting untuk mendiferensiasi penyebab murni dari
kejang yang berlangsung. Observasi dan langkah diagnostik yang tepat diperlukan untuk
menuntun pemberian terapi dan menentukan prognosis penderita.
DAFTAR PUSTAKA
Algattas, H., & Huang, J. H. (2014). Traumatic Brain Injury pathophysiology and treatments:
Early, intermediate, and late phases post-injury. In International Journal of Molecular
Sciences (Vol. 15, Issue 1, pp. 309–341). MDPI. https://doi.org/10.3390/ijms15010309
Beghi, E., Carpio, A., Forsgren, L., Hesdorffer, D. C., Malmgren, K., Sander, J. W., Tomson,
T., & Hauser, W. A. (2010). Recommendation for a definition of acute symptomatic
seizure. Epilepsia, 51(4), 671–675. https://doi.org/10.1111/j.1528-1167.2009.02285.x
Dewan, M. C., Rattani, A., Gupta, S., Baticulon, R. E., Hung, Y. C., Punchak, M., Agrawal,
A., Adeleye, A. O., Shrime, M. G., Rubiano, A. M., Rosenfeld, J. v., & Park, K. B.
(2019). Estimating the global incidence of traumatic brain injury. Journal of
Neurosurgery, 130(4), 1080–1097. https://doi.org/10.3171/2017.10.JNS17352
Englander, J., Cifu, D. X., & Diaz-Arrastia, R. (2014). Seizures and Traumatic Brain Injury.
Archives of Physical Medicine and Rehabilitation, 95(6), 1–2.
https://doi.org/10.1016/j.apmr.2013.06.002
Fordington, S., & Manford, M. (2020). A review of seizures and epilepsy following traumatic
brain injury. In Journal of Neurology (Vol. 267, Issue 10, pp. 3105–3111). Springer
Science and Business Media Deutschland GmbH. https://doi.org/10.1007/s00415-020-
09926-w
Galgano, M., Toshkezi, G., Qiu, X., Russel, T., Chin, L., & Zhao, L.-R. (2017). Traumatic
Brain Injury: Current Treatment Strategis and Future Endeavors. Cell Transplantation,
26(7), 1118–1130. https://doi.org/10.1177/0963689717714102
Itoh, K., Inamine, M., Oshima, W., Kotani, M., Chiba, Y., Ueno, M., & Ishihara, Y. (2015).
Prevention of status epilepticus-induced brain edema and neuronal cell loss by repeated
treatment with high-dose levetiracetam. Brain Research, 1608, 225–234.
https://doi.org/10.1016/j.brainres.2015.03.005
Jha, R. M., Kochanek, P. M., & Simard, J. M. (2019). Pathophysiology and treatment of
cerebral edema in traumatic brain injury. In Neuropharmacology (Vol. 145, pp. 230–
246). Elsevier Ltd. https://doi.org/10.1016/j.neuropharm.2018.08.004
Jha, S. K. (2003). Cerebral edema and its management. In Medical Journal Armed Forces
India (Vol. 59, Issue 4, pp. 326–331). Medical Journal Armed Forces India.
https://doi.org/10.1016/S0377-1237(03)80147-8
Kaida, K., Ariga, T., & Yu, R. K. (2009). Antiganglioside antibodies and their
pathophysiological effects on Guillain-Barré syndrome and related disorders - A review.
In Glycobiology (Vol. 19, Issue 7, pp. 676–692). https://doi.org/10.1093/glycob/cwp027
Khellaf, A., Khan, D. Z., & Helmy, A. (2019). Recent advances in traumatic brain injury.
Journal of Neurology, 266(11), 2878–2889. https://doi.org/10.1007/s00415-019-09541-
4
Lawal, M., Omobayo, H., & Lawal, K. (2018). Epilepsy: pathophysiology, clinical
manifestations and treatment options. British Journal of Neuroscience Nursing, 14(2),
58–72.
Mahmoud, M. H., Awad, E. M., Mohamed, A. K., & Shafik, M. A. (2021). Etiological profile
of new-onset seizures among adult Egyptians. Egyptian Journal of Neurology,
Psychiatry and Neurosurgery, 57(1). https://doi.org/10.1186/s41983-021-00349-6
Ng, S. Y., & Lee, A. Y. W. (2019). Traumatic Brain Injuries: Pathophysiology and Potential
Therapeutic Targets. In Frontiers in Cellular Neuroscience (Vol. 13). Frontiers Media
S.A. https://doi.org/10.3389/fncel.2019.00528
Spray, J. (2015). Seizures: awareness and observation in the ward environment. British
Journal of Nursing, 24(19), 948–955.
Stafstrom, C. E., & Carmant, L. (2015). Seizures and epilepsy: An overview for
neuroscientists. Cold Spring Harbor Perspectives in Biology, 7(5), 1–19.
https://doi.org/10.1101/cshperspect.a022426
LAMPIRAN

Gambar 1. CT Scan Kepala tanpa kontras dengan edema serebri derajat sedang

Gambar 2. EEG menunjukkan tidak adanya kelainan


Gambar 3. Patofisiologi cedera kepala mengakibatkan edema serebri (R. M. Jha et al., 2019)
Panel 1: segera setelah cedera primer, mungkin terjadi pembengkakan osmolar/kontusi. inti
nekrotik dari memar memiliki osmolaritas tinggi yang mendorong pergerakan air di sepanjang
gradien ini (arah pergerakan air ditunjukkan oleh panah biru muda). Hal ini menyebabkan
pembengkakan akut pada memar. Cedera primer secara bersamaan memicu banyak kaskade
cedera sekunder termasuk edema seluler/sitotoksik (CytE, Panel 2) dan edema vasogenik
(VasE, Panel 3). Beberapa contoh penting dari CytE (Panel 2) termasuk aktivasi/upregulasi
berbagai saluran ion (beberapa saluran yang dikenal termasuk AQP4, ASIC, NHE, NBC, AVP,
NKCC1, NMDA R, Sur1 Trpm4). Saluran ini memungkinkan masuknya air ke jenis sel yang
berbeda tergantung pada ekspresi sel dari saluran masing-masing. Masuknya air terkait saluran
ion yang berlebihan (panah biru muda) ke dalam sel (lonjong kuning) dapat mengakibatkan
kematian sel onkotik. Ini terjadi di neuron/astrosit/glia dan dapat terjadi dalam 1 jam 7 hari.
Ketika proses ini terjadi pada sel yang berkontribusi pada integritas penghalang darah-otak
(BBB) seperti sel endotel / beberapa astrosit, ia berkontribusi pada VasE (panah hijau lurus
yang menunjukkan hubungan antara CytE di Panel 2 dan VasE di Panel 3). Kaskade cedera
sekunder juga mencakup proses tambahan yang mengganggu BBB, mengakibatkan pergerakan
air melintasi kapiler BBB yang terganggu (panah biru muda) dan menyebabkan VasE (Panel
3). Kaskade ini termasuk gangguan mekanis, pelepasan sitokin proinflammator dan kemokin
yang merekrut migrasi/aktivasi sel inflamasi, peningkatan ekspresi dan pelepasan faktor
(seperti MMP, SP, VEGF) yang mengganggu tight junction dan protein membran basal. VasE,
dengan masuknya cairan berprotein, selanjutnya dapat meningkatkan tekanan onkotik di
interstitium, menyumbat pembuluh darah kecil yang menyebabkan hipoperfusi, yang
selanjutnya dapat memperburuk perkembangan CytE dan upregulasi saluran ion seperti Sur1-
Trpm4. Hubungan ini ditunjukkan oleh kurva panah hijau antara Panel 2 & 3).
AQP-4 = aquaporin 4, ASIC = Saluran ion penginderaan asam, NHE = Penukar Na+/H+, NBC
=Na+/HCO3 saluran keluarga transporter, AVP = arginin vasopresin, NKCC1 = Na+K+-2Cl
cotransporter, Sur1 = reseptor sulfonilurea 1, Trpm4 = kation potensial reseptor transien
subfamili saluran anggota M4, MMP = matriks metaloproteinase, SP = substansi P, VEGF =
faktor pertumbuhan endotel vaskular

Gambar 4. Patofisiologi cedera kepala dan tatalaksana yang digunakan secara umum
(Algattas & Huang, 2014)

Anda mungkin juga menyukai