Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

TINEA CORPORIS

Oleh
dr. Nidya Tiaz PA.

Pembimbing
dr. Melly Kemerdasari KN

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS GANJAR AGUNG
METRO - LAMPUNG
2019-2020
KATA PENGANTAR

Assalammualaikum Wr. Wb.


Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat
menyusun Laporan Kasus yang berjudul Tinea Corporis. Laporan Kasus ini
disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam Program Internsip Dokter
Indonesia. Kepada dr. Melly Kemerdasari KN, sebagai dokter pembimbing kami
dalam kegiatan PIDI ini, kami ucapkan terima kasih atas segala pengarahan dan
bimbingan yang diberikan, sehingga laporan ini dapat kami susun dengan cukup
baik.
Saran dan masukan dari pembaca sangat membantu untuk kemajuan dan kebaikan
kurikulum pembelajaran kami, dan itu sangat kami butuhkan.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat serta dapat dijadikan referensi dikemudian
hari, untuk pembelajaran serta keinginan tahu pembaca mengenai lingkungan
yang sehat dan dapat memberikan wawasan berupa ilmu pengetahuan untuk kita
semua.
Wassalammualaikum Wr. Wb.
Metro, Juli 2020

Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta
merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastik
dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras dan juga
sangat bergantung pada lokasi tubuh. Penyakit kulit dapat disebabkan oleh jamur,
virus, kuman, parasit hewani dan lain-lain.

Penyakit infeksi jamur, masih memiliki prevalensi yang cukup tinggi di Indonesia,
mengingat negara kita beriklim tropis yang mempunyai kelembapan tinggi. Jamur
bisa hidup dan tumbuh di mana saja, baik di udara, tanah, air, pakaian, bahkan di
tubuh manusia. Jamur bisa menyebabkan penyakit yang cukup parah bagi
manusia. Penyakit tersebut antara lain mikosis yang meyerang langsung pada
kulit, mikotoksitosis akibat mengonsumsi toksin jamur yang ada dalam produk
makanan, dan misetismus yang disebabkan oleh konsumsi jamur beracun.

Pada zaman sekarang ini, dengan berkembangnya kebudayaan dan perubahan


tatanan hidup dari waktu ke waktu, sedikit banyak mempengaruhi pola penyakit.
Data epidemiologis menunjukkan bahwa penyakit kulit karena jamur superfisial
(dermatomikosis superfisialis) merupakan penyakit kulit yang banyak dijumpai
pada semua lapisan masyarakat, baik di pedesaan maupun perkotaan, tidak hanya
di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Insidensi dermatomikosis di
berbagai rumah sakit pendidikan dokter di Indonesia menunjukkan angka
persentase yang bervariasi mulai dari yang terendah yaitu di Kota Semarang
(2,93%), Kota Surabaya (4,8%), Kota Padang (27,6), Kota Surakarta (82,6 %).
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien


Nama Lengkap : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 43 tahun
Suku : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Ganjar Asri
Tanggal masuk : 19 Juni 2020

2.2 Anamnesa
 Keluhan Utama : gatal-gatal pada kulit
 Keluhan Tambahan : ruam-ruam pada kulit
 Riwayat Penyakit Sekarang
3 hari sebelum berobat ke puskesmas, pada kulit pasien mulai
muncul ruam-ruam berwarna kemerahan yang semakin luas seiring
bertambah hari dan terasa sangat gatal dan mengganggu aktivitas
sehari-hari. Gatal dirasakan hampir setiap waktu, terus menerus, tidak
memberat pada malam hari, kadang hilang namun kadang muncul
kembali. Keluhan munculnya ruam dan gatal tersebut tidak disertai
demam. Keluhan tersebut merupakan kedua kalinya dialami oleh
pasien, sebelumnya ±3bulan yang lalu, pasien mengalami keluhan
serupa namun dilokasi tubuh yang berbeda. Sebelum ke RS mardi
waluyo pasien sudah berobat ke klinik dan diberikan obat paracetamol
dan amoksisilin serta antasid.
4
 Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit seperti ini ±3bulan yang lalu, pasien mengalami
keluhan serupa namun dilokasi tubuh yang berbeda
 Riwayat Keluarga

Tidak ada riwayat penyakit tertentu dalam keluarga, dan tidak ada
anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.

 Riwayat Pengobatan

CTM 1x4mg

 Riwayat Psikososial:

Pasien mandi 2 kali sehari menggunakan air sumur. Pasien sehari-hari


bekerja sebagai petani dan selalu berkeringat, mengganti pakaian 2x
sehari.

2.3 Pemeriksaan Fisik


a. Status Present
Keadaan Umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,7 oC

b. Status Generalis
- Kepala
Muka : simetris, normocephal
Rambut : dalam batas normal, allopecia (-)
Mata : sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/-
Telinga : simetris, sekret (-)
Hidung : simetris, tidak ada napas cuping hidung,
Mulut : sianosis (-), bibir kering (-)
Kesan : pemeriksaan kepala dalam batas normal
- Leher
Bentuk : Simetris
Trakea : deviasi (-)
KGB : Tidak terdapat pembesaran
Kesan : pemeriksaan leher dalam batas normal
- Thorax
 Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba normal
Perkusi : Redup, batas jantung normal
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
 Pulmo
Inspeksi : simetris, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : fremitus dextra et sinistra sama, NT tekan (-)
Perkusi : sonor pada kedua hemithorax
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Kesan : pemeriksaan thorax dalam batas normal

- Abdomen
Inspeksi : Datar. Lesi (+)
Palpasi : Supel, organomegali (-), NT (-)
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Bising Usus (+) Normal

- Ekstremitas
Tangan : Lengkap, tanpa cacat, tidak sianosis, tidak oedem
Kaki : Lengkap, tanpa cacat, tidak sianosis, tidak oedem

- Status Dermatologis
Terdapat efloresensi berupa Plak eritematosa, berskuama, batas tegas,
ukuran diameter lebih dari 10 cm, tepian polisiklik dengan central
healing. Distribusi terlokalisir pada 1 tempat di regio abdomen (lipatan
perut) dan paha.
2.4. Diagnosis
Tinea Corporis

2.5. Penatalaksanaan
 Cetirizine 1x 10mg po
 Ketokonazol Salep Kulit 2xue

2.6. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
BAB III
ANALISA KASUS

A. Apakah diagnosis pada pasien sudah tepat?


Berdasarkan data yang didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa pasien terdiagnosa abdominal pain ec sistitis.
Dari anamnesis didapatkan pasien telah mengalami nyeri perut
bagian bawah didahului kebiasaan menahan BAK. Dari pemeriksaan
fisikjuga ditemukan nyeri tekan suprapubic didukung pula dari
pemeriksaan penunjang USG dimana ditemukan gambaran sistitis kronis.
Sehingga, pasien ini dapat didiagnosis dengan abdominal pain ec sistitis.
Proses berkemih adalah proses pengosongan kandung kemih yang
berisi urin. Proses berkemih diatur oleh dua mekanisme, yaitu refleks
berkemih dan kontrol volunter. Refleks berkemih akan muncul ketika
reseptor regang dalam kandung kemih terangsang. Selain refleks
berkemih, pada saat pengisian kandung kemih dapat memberikan persepsi
unfuk berkemih. Persepsi ini dapat muncul sebelum sfingter eksternum
melemas sehingga dapat memberikan peringatan bahwa proses berkemih
akan dimulai. Akibat kontrol volunter ini proses berkemih dapat ditahan.
Proses berkemih juga merupakan proses pembilasan mikroorganisme
yang ada di dalam kandung kemih. Jika urin sering ditahan dan tidak
dikeluarkan maka mikroorganisme yang ada di dalam kandung kemih
dapat tumbuh dan memperbanyak diri serta dapat menginvasi jaringan
sekitar. Kebiasaan menahan kemih atau berkemih tidak sempurna dapnt
meningkatkan kejadian ISK. Kebersihan genitalia yang buruk terutama
pada wanita merupakan penyebab umum terjadinya ISK. Faktor
predisposisi diantaranya praktik cuci tangan yang kurang baik dan
kebiasaan mengelap genitalia yang salah yaitu dari arah belakang ke depan
setelah Buang Air Kecil (BAK) dan Buang Air Besar (BAB).
Sistitis kronis atau yang sering kambuh sering kali menjadi penyebab
inkontinensia pada siang hari dan manifestasi ketidakstabilan vesica
urinaria lainnya yang mungkin menetapwalaupun urin sudah steril pada
pemeriksaan kultur urin. Kadang juga tampak hematuria sebagai tanda
sistitis hemoragica yang disebabkan oleh E.coli. Biasanya pada infeksi ini
akan terjadi demam, mengigil dan sakit di suprapubik. Bila terdapat sakit
pada daerah pinggang dan terdapat nyeri ketuk sudut costo vertebra ini
akan menjadi indikasi adanya pyelonefritis. Sepsis juga dapat terjadi akibat
komplikasi dari infeksi saluran kemih ini.

B. Apakah penatalaksanaan pada pasien sudah tepat ?


Secara keseluruhan sudah cukup tepat, namun pada pasien ini tidak
diberikan antibiotik dikarenakan adanya riwayat konsumsi antibiotik
SMRS, dan hasil lab menunjukkan nilai leukosit yang tidak signifikan
meningkat. Lebih dianjurkan pemberian terapi antibiotik sesudah
dilakukan pemeriksaan lab, namun pasien mengkonsumsi antibiotik
sebelum dilakukan pemeriksaan darah lengkap. Tatalaksana terapi dapat
diawali dengan pertimbangan faktor pasien, faktor mikrobiologis dan data
klinis).
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan
kekebalan bakteri, munculnya bakteri-bakteri yang resisten. Tatalaksana
terapi dapat diawali dengan pertimbangan faktor pasien, faktor
mikrobiologis dan data hasil klinis.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Berdasarkan ada tidaknya komplikasi, ISK dibagi menjadi ISK simpleks


dan kompleks. ISK simpleks/ sederhana/ uncomplicated UTI adalah terdapat
infeksi pada saluran kemih tetapi tanpa penyulit (lesi) anatomis maupun
fungsional saluran kemih. ISK kompleks/ dengan komplikasi/ complicated UTI
adalah terdapat infeksi pada saluran kemih disertai penyulit (lesi) anatomis
maupun fungsional saluran kemih misalnya sumbatan muara uretra, refluks
vesikoureter, urolithiasis, parut ginjal, buli-buli neurogenik, dan sebagainya.5
Berdasarkan letaknya, ISK dibagi menjadi ISK atas dan bawah. ISK atas
adalah infeksi pada parenkim ginjal atau ureter, lazimnya disebut sebagai
pielonefritis. ISK bawah adalah infeksi pada vesika urinaria (sistitis) atau uretra.
Batas antara atas dan bawah adalah vesicoureteric junction.1

B. EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi ISK pada anak bervariasi sangat luas dan dipengaruhi beberapa
faktor diantaranya adalah usia, jenis kelamin, sampel populasi, metode
pengumpulan urin, kriteria diagnosis dan kultur. Umur dan jenis kelamin
merupakan faktor yang paling penting. Insidens tertinggi adalah pada satu tahun
pertama kehidupan yaitu sekitar 1%, kemudian menurun terutama pada anak laki-
laki. Pada masa neonatus, bakteriuri ditemukan sebanyak 1% dan lebih banyak
pada bayi laki-laki (2-4 kali). Prevalens ISK pada bayi baru lahir kurang bulan
sekitar 2,9% sedangkan pada bayi cukup bulan sekitar 0,7%. ISK lebih sering
terjadi pada anak usia prasekolah yaitu sekitar 1-3% dibandingkan dengan usia
sekolah sekitar 0,7-2,3%. Selama masa remaja, baik perempuan maupun laki-laki
sama-sama berisiko tinggi mengalami ISK.2
Dalam suatu penelitian, insidens ISK pada 6 tahun pertama kehidupan
adalah sekitar 6,6% anak perempuan dan 1,8% anak laki-laki. Sedangkan pada 3
bulan pertama postnatal, ISK paling sering terjadi pada anak laki-laki terutama
yang belum disirkumsisi. Prevalens ISK pada anak perempuan usia 1-5 tahun
adalah 3% dan usia sekolah 1%, sedangkan pada anak laki-laki usia sekolah
0,03%.2

C. ETIOLOGI

Sekitar 50% ISK disebabkan Escherichia coli, penyebab lain adalah


Klebsiella, Staphylococcus aureus, coagulase-negative staphylococci, Proteus dan
Pseudomonas sp. dan bakteri gram negatif lainnya. Escherichia coli adalah
penyebab paling umum pada anak-anak, hingga 80%. Pada bayi baru lahir (0-28
hari), infeksi diperantarai oleh aliran darah. Sedangkan setelah usia itu, ISK
umumnya terjadi dengan naiknya bakteri ke saluran kemih. Staphylococcus
saprophyticus, Proteus mirabilis, Selain menyebabkan infeksi, bakteri ini
mengeluarkan zat yang dapat memfasilitasi pembentukan batu di saluran kemih.
 Mikroorganisme lain yang dapat menyebabkan ISK adalah beberapa bakteri
yang umumnya menginfeksi saluran cerna dan Candida albicans, jamur yang
umumnya menginfeksi pasien dengan kateter (kateter : semacam selang) pada
saluran kemihnya, kekebalan tubuh yang rendah, diabetes mellitus, atau pasien
dalam terapi antibiotik.

D. PATOFISIOLOGI
Sejauh ini diketahui bahwa saluran kemih atau urine bebas dari
mikroorganisme atau steril. Infeksi saluran kemih terjadi pada saat
mikroorganisme masuk kedalam saluran kemih dab berbiak didalam media urine.
Mikroorganisme memasuki saluran kemih melalui cara: (1) Ascending, (2)
Hematogen seperti pada penularan M Tuberculosis atau S aureus, (3) limfogen,
dan (4) langsung dari organ sekitarnya yang sebelumnya telah terinfeksi.8
Hampir seluruh ISK terjadi secara asenden. Bakteri berasal dari flora feses,
berkolonisasi didaerah perineum dan memasuki kandung kemih melalui uretra.
Pada bayi, septikemia karena bakteri gram negatif relatif lebih sering, hal ini
mungkin disebabkan imaturitas dinding saluran pencernaan pada saat kolonisasi
oleh Escherichia coli atau karena imaturitas sistem pertahanan. Penyebaran secara
hematogen lebih sering terjadi pada neonatus. Infeksi nosokomial juga dapat
terjadi, biasanya disebabkan operasi atau intrumentasi pada saluran kemih. Bakteri
penyebab ISK yang paling sering ditemukan di praktek umum adalah E. coli
(lebih dari 90%), sedangkan yang disebabkan infeksi nosokomial (hospital
acquired) sekitar 47%.4

Gambar 1.Masuknya kuman secara ascending kedalam saluran kemih, (1)


Kolonisasi kuman disekitar uretra, (2) masuknya kuman melalui uretra ke buli-buli,
(3) Penempelan kuman pada buli-buli, (4) masuknya kuman melalui ureter ke ginjal
Awal terjadinya ISK adalah bakteri berkolonisasi di perineum pada anak
perempuan atau di preputium pada anak laki-laki. Kemudian bakteri masuk
kedalam saluran kemih mulai dari uretra secara asending. Setelah sampai di
kandung kemih, bakteri bermultiplikasi dalam urin dan melewati mekanisme
pertahanan antibakteri dari kandung kemih dan urin. Pada keadaan normal papila
ginjal memiliki sebuah mekanisme anti refluks yang dapat mencegah urin
mengalir secara retrograd menuju collecting tubulus. Akhirnya bakteri bereaksi
dengan urotelium atau ginjal sehingga menimbulkan respons inflamasi dan timbul
gejala ISK.3,4
Terjadinya infeksi saluran kemih karena adanya gangguan keseimbangan
antara mikroorganisme penyebab infeksi (uropatogen) sebagai agent dan epitel
saluran kemih sebagai host. Gangguan keseimbangan ini disebabkan oleh karena
pertahanan tubuh dari host yang menurun atau karena virulensi agent meningkat.8
Mekanisme tubuh terhadap invasi bakteri terdiri dari mekanisme
fungsional, anatomis dan imunologis. Pada keadaan anatomi normal, pengosongan
kendung kemih terjadi reguler, drainase urin baik dan pada saat setiap miksi, urin
dan bakteri dieliminasi secara efektif. Pada tingkat seluler, bakteri dihancurkan
oleh lekosit polimorfo nuklear dan komplemen. Maka setiap keadaan yang
mengganggu mekanisme pertahanan normal tersebut dapat menyebabkan risiko
terjadinya infeksi.4
Pada anak perempuan, ISK sering terjadi pada usia toilet training karena
gangguan pengosongan kandung kemih terjadi pada usia ini. Anak mencoba untuk
menahan kencing agar tidak ngompol, dimana kontraksi otot kandung kemih
ditahan sehingga urin tidak keluar. Hal ini menyebabkan tekanan tinggi,
turbulensi aliran urin dan atau pengosongan kandung kemih yang tidak tuntas,
kemudian semuanya akan menyebabkan bakteriuria. Gangguan pengosongan
kandung kemih dapat terjadi pula pada anak yang tidak BAK secara teratur.3

E. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

1. Faktor Pertahanan Host

Saluran kemih yang normal umumnya resisten terhadap invasi oleh bakteri
dan efisien dengan cepat menghilangkan mikroorganisme yang mencapai kandung
kemih. Urin dalam keadaan normal mampu menghambat dan membunuh
mikroorganisme. Faktor-faktor yang dianggap bertanggung jawab termasuk pH
rendah, ekstrem di osmolalitas, konsentrasi urea tinggi, dan tingginya konsentrasi
asam organik. Pertumbuhan bakteri pada laki-laki terhambat oleh sekresi pada
prostat. Adanya bakteri di dalam kandung kemih merangsang berkemih, dengan
diuresis meningkat dan efisien pengosongan kandung kemih. Faktor-faktor ini
sangat penting dalam mencegah inisiasi dan penjegahan infeksi kandung kemih.
Pasien yang tidak mampu untuk membuang urin sepenuhnya berada pada risiko
lebih besar untuk mengalami infeksi. Selain itu, pasien dengan jumlah urin sisa
lebih sedikit dalam kandung kemih mereka menanggapi dengan kurang
menyenangkan dibandingkan dengan pasien yang dapat mengosongkan kandung
kemih mereka sepenuhnya .Salah satu faktor virulensi penting dari bakteri adalah
kemampuan mereka untuk masuk ke sel epitel kemih, sehingga Kolonisasi kemih
saluran, infeksi kandung kemih, dan faktor pyelonephritis.9

2. Faktor Virulensi Bakteri


Organisme patogen memiliki perbedaan derajat patogenisitas (virulensi),
yang berperan dalam pengembangan dan beratnya infeksi. Bakteri yang masuk
epitel saluran kemih terkait dengan kolonisasi dan infeksi. Mekanisme adhesi
bakteri gram negatif, terutama E. coli, berkaitan dengan bakteri fimbriae ini
fimbriae adalah komponen glikolipid pada sel epitel spesifik. Jenis yang paling
umum dari fimbriae adalah tipe 1, yang mengikat residu mannose dalam
glikoprotein. Glikosaminoglikan dan Tamm- protein Horsfall kaya residu mannose
yang berisi tipe 1 fimbriae. Selain itu sekretori IgA antibodi, mengandung
reseptor untuk tipe 1 fimbriae, yang memudahkan fagositosis, tetapi mereka
bukan reseptor untuk fimbriae P. faktor virulensi lainnya adalah produksi
hemolisin dan aerobactin. hemolisin adalah protein yang diproduksi oleh bakteri
sitotoksik menyebabkan lisis berbagai sel, termasuk eritrosit, dan monosit. E. coli
dan bakteri gram negatif lainnya membutuhkan besi untuk metabolisme aerobik.
Aerobactin memfasilitasi mengikat dan menyerap zat besi oleh E. coli, namun,
makna dari patogenesis UTI masih belum diketahui.9

F. MANIFESTASI KLINIS
Secara umum, gejala ISK kompleks hampir sama dengan gejala ISK simpleks.
Tetapi pada ISK kompleks biasanya gejala sistemik lebih menonjol yaitu demam
dan loin tenderness disertai hitung bakteri yang tinggi (> 100.000 CFU/ml) dan
adanya pus dalam urin. Derajat beratnya gejala dapat bervariasi dari ringan sedang
sampai berat. Pada bayi baru lahir gejala yang timbulbiasanya berupa gejala
nonspesifik yaitu penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, gelisah,
muntah dan diare. Gejala yang lebih berat dapat berupa letargis, kejang atau tanda
sepsis seperti hipo- atau hipertermi. Pada anak yang lebih besar gejala yang timbul
dapat berupa gejala yang mengarah pada saluran kemih seperti disuri, poliuri,
urgensi nyeri perut dan flank pain. Sedangkan gejala nonspesifik atau sistemik
lebih jarang dan tidak terlalu berat. Apabila infeksi disebabkan adanya obstruksi
maka gejala yang timbul adalah hipertensi, ginjal dan kandung kemih dapat teraba
dan nyeri, tanda-tanda syok, septikemia dan distensi abdomen.4
Anak yang tidak mendapat antibiotik pada gejala akut umumnya
berkembang menjadi kronis. Pada beberapa kasus anak yang terinfeksi tidak
menunjukkan gejala tetapi beberapa yang lainnya menunjukan demam berulang,
malaise dan gejala terlokalisir yang menetap yang tidak terdiagnosis. Anak yang
mengalami infeksi dan tidak dieradikasi dengan antibiotik dapat mengalami ISK
berulang dengan proporsi yang tinggi umumnya akan mengalami rekurensi
daripada relaps.4
Pada anak laki-laki rekurensi jarang terjadi lebih dari 1 tahun setelah
infeksi pertama. Penelitian yang dilakukan Winberg dkk, 23 % anak laki-laki yang
mengalami ISK pada tahun pertama kehidupan dapat terjadi rekurensi dalam
waktu 12 bulan dan hanya 3% terjadi setelah periode tersebut. Berbeda dengan
anak perempuan, rekurensi yang terjadi sebanyak 29% dan dapat dialami pada
usia periode follow up.4
Tabel Intepretasi Hasil Biakan Urin

Cara Penampungan Jumlah Koloni Kemungkinan Infeksi


Pungsi suprapubik Bakteri gram negatif; asal > 99%
ada kuman
Bakteri gram positif;
beberapa ribu
Kateterisasi kandung > 105 95%
kemih 104 – 105 Diperkirakan ISK
103 – 104 Diragukan, ulangi
Urin pancar tengah
Laki-laki, >104 Diperkirakan ISK
Perempuan 3 x biakan> 105 95%
2 x biakan> 105 90%
1 x biakan> 105 80%
5 x 104 – 105 Diragukan, ulangi
104 – 5 x 104 (klinis Diperkirakan ISK, ulangi
simptomatik)
104 – 5 x 104 (klinis Tidak ada ISK
asimptomatik)
< 104 Tidak ada ISK

Pemeriksaan penunjang lain dilakukan untuk mencari factor risiko


seperti disebutkan di atas sebelumnya dengan melakukan pemeriksaan
ultrasonografi, foto polos perut dan bila perlu dilanjutkan dengan miksio-sisto-
uretrogram dan pielografi intravena. Pemeriksaan ureum dan kreatinin serum
dilakukan untukmenilai fungsi ginjal.

Algoritme Penanggulangan dan Pencitraan pada Bayi <6 bulan dengan ISK
Algoritme Penanggulangan dan Pencitraan pada Bayi 6 bulan – 3 tahun
dengan ISK

Algoritma Penctiraan Pada Anak > 3 Tahun dengan ISK


G. KOMPLIKASI

1. Pielonefritis akut
Pielonefritis akut adalah reaksi inflamasi akibat infeksi yang terjadi pada
pielum dan parenkim ginjal. Pada umumnya kuman yang menyebabkan infeksi ini
berasal dari saluran kemih bagian bawah yang naik ke ginjal melalui ureter.
Gambaran klasik dari pielonefritis akut adalah demam tinggi dengan disertai
menggigil, nyeri didaerah perut dan pinggang, disertai mual dan muntah. Kadang-
kadang terdapat gejala iritasi pada buli-buli yaitu berupa disuria, frekuensi, atau
urgensi.8

2. Abses ginjal, abses perirenal, dan abses pararenal


Abses ginjal adalah abses yang terdapat pada parenkim ginjal. Abses ini
dibedakan dalam 2 macam yaitu abses korteks ginjal dan abses kortiko-meduler.
Abses korteks ginjal atau disebut karbunkel ginjal pada umumnya disebabkan
oleh penyebaran infeksi kuman Stafilokokus aureus yang menjalar secara
hematogen dari fokus infeksi diluar sistem saluran kemih.
Abses perineral adalah abses yang terdapat didalam rongga perineral yaitu
rongga yang terletak diluar ginjal tetapi masih dibatasi oleh kapsula Gerota,
sedangkan abses pareneral adalah abses yang terletak diantara kapsula Gerota dan
peritoneum posterior. Abses perineral dapat terjadi karena pecahnya abses renal
kedalam rongga perineral; sedangkan abses pararenal dapat terjadi karena: (1)
pecahnya abses perineral yang mengalir ke rongga pararenal atau (2) karena
penjalaran infeksi dari usus, pankreas, atau dari kavum pleura ke rongga
pararenal.8

3. Sistitis Akut
Sistitis Akut adalah inflamasi akut pada mukosa buli-buli yang sering
disebabkan oleh infeksi bakteri. Mikroorganisme penyebab infeksi ini terutama
adalah E. Coli, Enterococci, Proteus, dan Stafilokokus aureus yang masuk ke
buli-buli terutama melalui ureta.
Wanita lebih sering mengalami serangan sistitis dari pada pria karena ureta
wanita lebih pendek dari pada pria. Disamping itu getah cairan prostat pada pria
mempunyai sifat bakterisidal sehingga relatif tahan terhadap infeksi saluran
kemih.
Reaksi inflamasi menyebabkan mukosa buli-buli menjadi kemerahan
(eritema), edema, dan hipersensitif sehingga jika buli-buli terisi urine, akan mudah
terangsang untuk segera mengeluarkan isinya, hal ini menimbulkan gejala
frekuensi. Kontraksi buli-buli akan menyebabkan rasa sakit/nyeri didaerah
suprapubik dan eritema mukosa buli-buli mudah berdarah dan menyebabkan
hematuria.8

4. Prostatitis.
Prostatitis adalah reaksi inflamasi pada kelenjar prostat yang dapat disebabkan
oleh bakteri maupun non bakteria. Untuk menentukan penyebab suatu prostatitis,
diambil sample (contoh) urine dan getah kelenjar prostat melalui uji 4 tabung
sesuai yang dilakukan oleh Meares.8

5. Epididimitis
Epididimitis adalah reaksi inflamasi yang terjadi pada epididimis. Diduga
reaksi inflamasi ini berasal dari bakteri yang berada didalam buli-buli, prostat,
atau uretra yang secara ascending. Menjalar ke epididimis. Dapat pula terjadi
refluks urine melalui duktus ejakulatorius atau penyebaran bakteri secara
hematogen atau langsung ke epididimitis seperti pada penyebaran kuman
tuberkulosis.8
H. DIAGNOSIS

1. Anamnesis
Adanya riwayat sering ngompol, muntah, diare, gagal tumbuh, demam dengan
penyebab yang tidak jelas dapat terjadi pada anak dengan ISK. Informasi
mengenai bladder control, pola BAK dan pancaran air kencing juga penting
dalam diagnosis. Gejala poliuri, polidipsi dan penurunan nafsu makan
menunjukkan kemungkinan adanya gagal ginjal kronik, begitu pula dengan
adanya gejala pancaran air kencing lemah, teraba massa/benjolan atau nyeri pada
abdomen, menunjukkan kemungkinan suatu striktur atau katup uretra. Pada anak
sekolah gejala ISK umumnya terlokalisir pada saluran kemih yaitu disuri,
polakisuri dan urgensi.10 AAP merekomendasikan untuk mempertimbangkan ISK
pada anak usia 2 bulan hingga 2 tahun yang mengalami demam tanpa sebab yang
jelas.6

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan dengan teliti dengan tujuan untuk
memeriksa adanya kondisi-kondisi yang dapat menjadi predisposisi terjadinya
ISK. Meliputi pemeriksaan fisik secara umum yang berhubungan dengan gejala
ISK misalnya demam, nyeri ketok sudut kosto-vertebral atau nyeri tekan supra
simfisis, teraba massa pada abdomen atau ginjal teraba membesar. dan
pemeriksaan neurologis terutama ekstremitas bawah. Pemeriksaan genitalia
eksterna yaitu inspeksi pada orifisium uretra (fimosis, sinekia vulva, hipospsdia,
epispadia), anomali pada penis yang mungkin berhubungan dengan kelainan pada
saluran kemih dan adanya testis yang tidak turun pada prune-belly syndrome harus
dilakukan. Stigmata kelainan kongenital saluran kemih lain seperti: arteri
umbilikalis tunggal, telinga letak rendah, dan supernumerary nipples harus
diperhatikan.2,3,4

3. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
Urinalisis sampel urin segar dan tidak disentrifugasi (lekosituria > 5/LPB atau
dipstick positif untuk lekosit) dan biakan urin adalah pemeriksaan yang penting
dalam penegakkan diagnosis ISK. Diagnosis ISK ditegakkan dengan biakan urin
yang sampelnya diambil dengan urin porsi tengah dan ditemukan pertumbuhan
bakteri >100.000 koloni/ml urin dari satu jenis bakteri, atau bila ditemukan >
10.000 koloni tetapi disertai gejala yang jelas dianggap ISK.4,6 Cara pengambilan
sampel lain yaitu melalui kateterisasi kandung kemih, pungsi suprapubik dan
menampung urin melalui steril collection bag yang biasa dilakukan pada bayi.
Akurasi cara pengambilan urin tersebut memberikan nilai intepretasi yang
berbeda.6
b. Pencitraan
ISK kompleks beruhubungan dengan adanya kelainan anatomi dan fungsi
saluran kemih. Pencitraan dilakukan dengan tujuan untuk:
-Mendeteksi adanya kelainan struktural dan fungsional seperti obstruksi, RVU
atau gangguan pengosongan kandung kemih
-Mendeteksi akibat dini dan lanjut ISK
-Mendeteksi dan memonitor anak yang mempunyai risiko ISK
Terdapat beberapa kontroversi mengenai konsensus pemeriksaan pencitraan
dalam evaluasi ISK pada anak. Teknik pencitraan yang umum digunakan adalah
sebagai berikut.3,4

Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) sering digunakan untuk menggantikan
urografi
intravena sebagai skrining inisial, karena lebih cepat, non-invasif, aman, tidak
mahal, sedikit menimbulkan stres pada anak, dapat diulang untuk kepentingan
monitoring dan mengurangi paparan radiasi. Dengan pemeriksaan USG dapat
terlihat formasi parut ginjal, tetapi beberapa parut juga dapat luput dari
pemeriksaan karena pemeriksaan USG sangat tergantung dengan keterampilan
orang yang melakukan USG tersebut. Dan pemeriksaan dengan USG saja tidak
cukup, kombinasi dengan pemeriksaan foto polos abdomen dapat membantu
memberikan informasi mengenai ukuran ginjal, konstipasi, spina bifida occulta,
kalsifikasi ginjal dan adanya batu radioopak. Secara teori, obstruksi dan RVU
dapat mudah dideteksi, tetapi kadang-kadang lesi yang ditemukan dikatakan
sebagai kista jinak atau penyakit polikistik apabila pemeriksaan USG tersebut
tidak diikuti dengan pemeriksaan radiologi.4

Urogafi Intravena
Urografi intravena adalah pemeriksaan saluran kemih yang paling sering
dilakukan apabila dicurigai adanya refluks atau parut. Dengan urografi intravena
dapat diketahui adanya duplikasi ginjal dan ureter, dimana sangat sulit dideteksi
dengan USG. Kelainan lain yang dapat pula dideteksi dengan urografi adalah
horseshoe kidney dan ginjal/ureter ektopik. Kekurangan urografi intravena adalah
kurang sensitif dibandingkan Renal Scintigraphy dalam mendeteksi Pyelonephritis
dan parut ginjal. Tingkat radiasi yang tinggi dan risiko dari reaksi kontras juga
menjadi hal yang harus dipertimbangkan.4

I. PENATALAKSANAAN
Terapi ISK pada anak harus segera diberikan untuk mencegah kemungkinan
berkembang menjadi pielonefritis. Apabila gejala yang timbul berat, maka terapi
harus segera diberikan sementara menunggu pemeriksaan hasil biakan urin.
Apabila gejala ringan dan diagnosis meragukan, maka terapi dapat ditunda sampai
hasil biakan urin diketahui, dan pemeriksaan biakan dapat diulang apabila hasil
biakan pertama meragukan. Terapi inisial dengan trimethoprim-sulfamethoxazole
selama 3-5 hari efektif terhadap strain E. coli. Nitrofurantoin 5-7 mg/kgBB/hari
dibagi 3-4 dosis efektif untuk bakteri Klebsiella-Enterobacter. Amoksisilin 50
mg/kgBB/hari juga efektif sebagai terapi inisial.3,4
Pada anak dengan infeksi akut, immunocompromised atau usia kurang 2 bulan
dianggap menderita ISK kompleks sehingga untuk tatalaksana yang baik adalah
perawatan di rumah sakit untuk pemberian antibiotik intravena. Antibiotik yang
diberikan dapat seftriakson 50-75 mg/kgBB/hari maksimal 2 gram atau ampisilin
100 mg/kgBB/hari dikombinasikan dengan gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari.
Pemberian antibiotik intravena diberikan sampai keadaan anak secara klinis stabil
dan afebris selam 48-72 jam, kemudian antibiotik dapat dilanjutkan dengan
antibiotik oral sesuai dengan uji sensitivitas biakan urin. Lamanya pemberian
terapi masih kontroversi, untuk ISK kompleks atau anak usia kurang dari 2 tahun
diberikan selama 7-14 hari. Antibiotik oral golongan sefalosporin generasi ke-3
seperti sefiksim sama efektifnya dengan seftriakson intravena terhadap beberapa
bakteri gram negatif kecuali Pseudomonas. Pemberian fluoroquinolone oral dapat
diberikan sebagai terapi alternatif untuk bakteri yang resisten terutama
Pseudomonas pada pasien usia lebih dari 17 tahun. Keamanan dan efikasi
pemberian siprofloksasin oral pada anak masih dalam penelitian. Pada beberapa
anak ISK dengan demam, pemberian injeksi seftriakson intramuskular loading
dose diikuti terapi oral sefalosporin generasi ke-3 dinilai efektif.2,3,4
Setelah pemberian terapi inisial 7-14 hari, dilanjutkan dengan pemberian
antibiotik profilaksis jangka panjang sampai didapatkan hasil pemeriksaan
radiologis ginjal dan saluran kemih. Apabila dari pemeriksaan radiologis
didapatkan hasil yang normal maka antibiotik profilaksis dapat diberikan selama 6
bulan, tetapi apabila didapatkan kelainan maka dapat diberikan selama 1-2 tahun
atau lebih.4 Antibiotik profilaksis yang sering digunakan antara lain adalah
trimethoprim-sulfamethoxazole, trimethoprim atau nitrofurantoin dengan dosis 1/3
dosis terapetik satu kali/hari.4
Untuk tatalaksana pada anak dengan abses renal atau perirenal atau dengan
obstruksi saluran kemih dapat dilakukan tindakan bedah (misalnya drainase
perkutaneus) disamping pemberian antibiotik.

Tabel Dosis Antibiotika Parenteral (A), Oral (B) dan Profilaksis (C) yang Sering Digunakan untuk
Pengobatan ISK

Obat Dosis mg/kg/hari Frekuensi/ (umurbayi)


(A) Parenteral
Ampisilin 100 Tiap 12 jam (bayi<1 minggu)
Tiap 6-8 jam (bayi>1 minggu)
Sefotaksim 150 Dibagi tiap 6-8 jam
Gentamisin 5 Tiap 12 jam (bayi<1 minggu)
Tiap 24 jam (bayi>1 minggu)
Seftriakson 75 Sekalisehari
Seftazidim 150 Dibagi setiap 6-8 jam
Sefazolin 50 Dibagi sertiap 8 jam
Tobramisin 5 Dibagi setiap 8 jam
Ticarsilin 100 Dibagi setiap 6 jam
(B) Oral --- Rawat Jalan, anti biotik oral (pengobatan standar)
Amoksisilin 20-40 mg//kghari q8h
Ampisilin 50-100 mg/kg/hari q6h
Augmentin 50mg/kg/hari q6h
Sefaleksin 50 mg/kg/hari q6-8h (C) maintenance Chemotherapy/
Sefiksim 4 mg/kg/hari q12h prophylaxix :
Nitrofurantoin 6-7 mg/kg/hari q6h
Sulfisoksazol 120-150 mg/kg/hari q6-8h
Trimetoprim 6-12 mg/kg/hari q6h
sulfometoksazol 30-60 q6-8h

J. Indikasi Rawat
ISK yang memerlukan tindakan rawat inap antara lain, ISK pada
neonatus, pielonefritis akut, ISK dengan komplikasi seperti gagal ginjal,
hipertensi, ISK disertai sepsis atau syok, ISK dengan gejala klinik yang berat
seperti rasa sakit yang hebat, toksik, kesulitan asupan oral, muntah dan
dehidrasi. ISK dengan kelainan urologi yang kompleks, ISK dengan
organisme resisten terhadap antibiotik oral, atau terdapat masalah psikologis
seperti orangtua yang tidak mampu merawat anak.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusdijas, Ramayati R. Infeksi Saluran Kemih. Dalam : Alatas H.

Tambunan T,Trihono PP, penyunting. Buku ajar Nefrologi anak. Jakarta:

IDAI, 2002; 142-163

2. Raszka WV, Khan O. Pyelonefritis. Pediatrics in Review. 2003; 26: 364-9.

3. 3. Elder JS. Urinary Tract Infections. Dalam: Behrman RM, Kliegman

RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics, edisi ke-17.

Philadelphia:WB Saunders, 2004;1785-94.

4. Jones VK, Asscher. Urinary Tract Infection and Vesicoureteral reflux.

Dalam: Edelman, Jr CM. Pediatric Kidney Disease. Edisi ke-2. Boston:

Little brown Co.1992; 1943-91.


5. Azzarone G, Liewehr S, O’Connor K. Cystitis. Pediatrics in Review.

2007;

6. 28(12): 474-76.

7. American Academy of Pediatrics. Practice parameter. The Diagnosis

Treatment

8. and Evaluation of the Initial Urinary Tract Infection in febrile infants and

Young

9. Children. Pediatrics 1999; 103: 1-12

Anda mungkin juga menyukai