Anda di halaman 1dari 13

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN SARAF TUTORIAL KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN 15 Juni 2022


UNIVERSITAS AL-KHAIRAAT PALU

TUTORIAL KLINIK
KEJANG

Disusun Oleh:

Rahman Kapitanhitu (21 21 777 14 450)

Pembimbing:
dr. Alfrida M. Wara, M.Kes, Sp.S

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN KEDOKTERAN SARAF
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Rahman Kapitanhitu, S.Ked (21 21 777 14 450)

Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Al-Khairaat Palu
Judul Tutorial : Kejang
Bagian : Ilmu Penyakit Saraf

Bagian Ilmu Penyakit Saraf


RSU ANUTAPURA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

Palu, 15 Juni 2022

Pembimbing

dr. Alfrida M.Wara, M.Kes., Sp.S


Pertanyaan :

1. Bagaimana defenisi kejang dan etiologi kejang

2. Bagaimana epidemiologi bangkitan/kejang?

3. Bagaimana klasifikasi kejang?

4. Bagaimana patogenesis kejang?

5. Bagaimana penatalaksanaan awal kejang?

6. Bagaimana pemeriksaan penunjang?

7. Bagaimana Differensial Diagnosis pada skenario?


Jawaban

Definisi kejang dan etiologi

Kejang merupakan sebuah perubahan perilaku yang bersifat sementara dan ktiba
– tiba yang merupakan hasil dari aktivitas listrik yang abnormal didalam otak. Jika
gangguan aktivitas listrik ini terbatas pada area otak tertentu , maka dapat menimbulkan
kejang yang bersifat parsial, namun jika gangguan aktivitas listrik terjadi di seluruh area
otak maka dapat menimbulkan kejang yang bersifat umum.

Perubahan ini terjadi karena adanya pergeseran nilai normal yang


menyeimbangkan eksitasi dan inhibisi didalam susunan saraf pusat, karena terlalu banyak
faktor yang dapat mempengaruhi nilai normal eksibilitas susunan saraf pusat maka ada
banyak penyebab yang dapat menimbulkan kejang.

Kejang dapat disertai dengan gangguan metabolisme seperti uremia, hipoglikemia,


hiperglikemia, dan gagal hati, toksik seperti overdosis dan sindrom withdrawal, dan
infeksi seperti meningitis dan ensepalitis, kejang yang terjadi pada pasien dengan kondisi
ini tidak selalu mengarah pada diagnosis epilepsi, meskipun obat yang digunakan untuk
menatalaksana kejangnya adalah obat antiepilepsi dalam jangka pendek , obat umumnya
tidak perlu di lanjutkan setelah pasiennya sembuh dari kejang.

Penyebab lain yang mendasari timbulnya kejang adalah


 Idiopatik atau timbul dari penyebab yang tidak diketahui

 Cryptogenic atau timbul dari penyebab yang diduga


yang tidak diketahui atau tidak jelas
 Gejala atau yang timbul dari otak yang dikenal
kelainan
 Trauma serebral dengan hilangnya kesadaran . Secara umum, tidak ada risiko jika
hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit.

 Space Occupaying lesions


a. Tumor otak

b. Malformasi arteri vena (AVM)

c. Hematoma subdural

d. Neurofibromatosis

 Infeksi Cerebral

a. Bakteri atau virus meningitis.

b. Radang otak

c. Abses otak

 Kejang demam atipikal

 Faktor genetic, seperti kromosom yg abnormal

 Gangguan pembuluh darah serebral, seperti : hemoragis dan trombosis

 Asidosis hipoksia

 Riwayat keluarga

Epidemiologi
Risiko seumur hidup terhadap terjadinya kejang umum adalah 3-4% dengan
puncak kejadian pada awal kejang (kejang neonates atau tumor dan stroke)
kehidupan.Kita ketahui epilepsy adalah salah satu penyakit tertua di dunia dan
menempati urutan kedua dari penyakit saraf setelah gangguan peredaran otak.
Penyakit ini diderita oleh kurang lebih 50 juta orang di seluruh dunia. Epilepsi
bertanggung jawab terhadap 1% dari beban penyakit global, dimana 80% beban
tersebut berada di negara berkembang. Pada negara berkembang di beberapa area 80-
90% kasus tidak menerima pengobatan sama sekali.
Secara keseluruhan insiden epilepsi pada negara maju berkisar antara 40-70
kasus per 100.000 orang per tahun. Di negara berkembang, insiden berkisar antara
100-190 kasus per 100.000 orang per tahun. Prevalensi dari epilepsi bervariasi antara
5-10 kasus per 1.000 orang.
Di Indonesia belum ada data yang pasti mengenai penderita epilepsi, tetapi
diperkirakan ada 1-2 juta penderita epilepsi. Prevalensi epilepsi di Indonesia adalah 5-
10 kasus per 1.000 orang dan insiden 50 kasus per 100.000 orang per tahun.4
Menurut Center for Disease and Prevention (CDC) pada tahun 2010 di AS,
epilepsy mempengaruhi 2,5 juta orang . Survie dari dokter, pelaporan diri, dan
penelitian dari campuran beberapa sumber ini, di simpulkan bahwa kejadian dan
prevalensi kejang dan epilepsi, kejang epilepsy pertama terjadi apada 300.000 orang
setiap tahunnya, 120.000 orang berusia > 18 tahun, dan antara 75.000 dan 100.00
diantaranya adalah anak- anak muda yang berusia 5 tahun yang mengalami kejang
demam. Laki – laki memiliki sedikit lebih beresiko daripada perempuan.

Klasifikasi Kejang

Pembagian kejang menurut ILAE 2017, secara garis besar dibagi menjadi 3
kelompok utama: kejag fokal,

kejang umum dan

kejang tidak terklasifikasikan.


Pada kejang fokal dapat disertai gangguan kesadaran atau tanpa gangguan
kesadaran. Beberapa hal yang disorot adalah baik pada kejang fokal dan umum dibagi
berdasarkan gejala non-motor onset dan motor onset, manifestasi antara kejang non-
motor onset pada fokal dan umum dapat berbeda. Selain itu, terdapat jenis bangkitan
yang bisa masuk ke dalam fokal dan umum (kejang tonik). Istilah secondary generalized
seizure sudah digantikan dengan terminologi focal to bilateral tonic-clonic.

Patogenesis
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi
pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang
memudahkan depolarisasi muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif
terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di
antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat,
norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisiyang terkenal ialah
gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis
melepaskan muatan listrik dan terjadi transmisi impuls .Dalam keadaan istirahat,
membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh
sel akan melepaskan muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat mengubah fungsi
membran neuron sehingga membran mudah dilalui oleh ion Ca dan Na dari ruangan
ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan
melepaskan muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepasnya muatan
listrik dengan jumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan
kejang. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti
akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron
sekitar tempat epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik
yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus- menerus melepaskan muatan. Keadaan
lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-
neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.
Penatalaksanaan awal pada kejang

Penghentian kejang:

0 - 5 menit:
- Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik
- Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan, berikan
oksigen
- Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan
neurologi secara cepat
- Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda infeksi

5 – 10 menit:
- Pemasangan akses intarvena
- Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah rutin, glukosa, elektrolit
- Pemberian diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau diazepam rektal 0,5
mg/kgbb (berat badan < 10 kg = 5 mg; berat badan > 10 kg = 10 mg).
Dosis diazepam intravena atau rektal dapat diulang satu – dua kali setelah 5 – 10
menit..
- Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb.

10 – 15 menit
- Cenderung menjadi status konvulsivus
- Berikan fenitoin 15 – 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl 0,9%
- Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 – 10 mg/kgbb sampai maksimum dosis
30 mg/kgbb.

30 menit
- Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kg
dengan interval 10 – 15 menit.
- Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gas darah, elektrolit,
gula darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada. Awasi tanda
-tanda depresi pernafasan.
- Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke unit perawatan
intensif.

Pemeriksaan Penunjang pada kejang

Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien yang berusia
lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi adanya
penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali
serangan kejang itu muncul oleh karena banyak kejadianmyang mirip dengan serangan
kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan
kulit juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti “ café au lait
spots “ dan “ iris hamartoma” pada neurofibromatosis, “ Ash leaf spots” , “shahgreen
patches” , “ subungual fibromas” , “ adenoma sebaceum” pada tuberosclerosis, “ port -
wine stain “ ( capillary hemangioma) pada sturge-weber syndrome. Juga perlu dilihat
apakah ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang
berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat
serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh
karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada “dupytrens contractures” yang dapat
terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka lama.

Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, sarafkranialis,


fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti
hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papilledema mungkin dapat
menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya
nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi
seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu
serangan kejang terjadi.” Dysmorphism “ dan gangguan belajar mungkin ada kelainan
kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat
dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa
menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya
distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis.

1. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati


dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama
dengan glukose, kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” , kreatinin dan test fungsi
hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan
toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya “ drug abuse”

2. PEMERIKSAAN ELEKTROENSEFALOGRAFI

Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan


elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman
pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan
hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting
untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut.

Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien


dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan EEG akan
membantu dalam membuat diagnosis, mengklarifikasikan jenis serangan kejang yang
benar dan mengenali sindrom epilepsi.

3. PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance


Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan structural diotak
. CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian
pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi
dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena
dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan
hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi
pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi:T1 dan T2 weighted“
dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan saggital.

4. PEMERIKSAAN NEUROPSIKOLOGI

Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan


pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya
memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan
pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan
epilepsi.

Diagnosis banding

- Biasanya Ada Defisit Neurologis


a. Kejang Demam : Salah satu bentuk kejang yang sering dijumpai pada anak adalah
kejang demam. Kejang demam adalah kejang disertai demam ( suhu ≥ 100.4 ° F atau
38°C), tanpa infeksi sistem saraf, yang terjadi pada bayi dan anak-anak 6 sampai 60
bulan. Kejang demam terjadi pada 2% sampai 5% dari semua anak-anak, dengan
demikian menjadi bentuk yang paling umum terjadi. Pada tahun 1976, Nelson dan
Ellenberg, menggunakan data dari National Collaborative Perinatal Project dan
ditetapkan bahwa kejang demam diklasifikasikan sebagai simpleks atau kompleks.
Kejang demam simpleks didefinisikan sebagai kejang yang terjadi setelah demam, yang
berlangsung selama kurang dari 15 menit dan tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Kejang demam kompleks didefinisikan sebagai kejang fokal, berlangsung lebih dari 15
menit, dan atau berulang dalam waktu 24 jam.
b. Status epileptikus ( konvulsif) : Status epileptikus didefinisikan sebagai kondisi epilepsi
yang berlangsung lama. Ada banyak jenis status epileptikus ada jenis kejang. Status
epileptikus kejang umum adalah keadaan darurat medis. Definisi saat ini
mendefinisikan status epilepsi sebagai kejang umum tunggal yang berlangsung lebih
dari lima menit atau serangkaian kejang umum tanpa kembalinya kesadaran penuh.
c. Encephalitis : Inflamasi jaringan otak yang disebabkan oleh mikroorganisme. Penyebab
encephalitis virus tersering adalah herpes, varicella zoster, cytomegalovirus. Gejala
klinis encephalitis yaitu flu-like syndrome dengan demam tinggi, sakit kepala berat,
nausea-vomiting, kejang, penurunan kesadaran dan defisit neurologis fokal.
d. Meningitis : Meningitis didefinisikan sebagai peradangan pada meningen. Meninges
adalah tiga membran (dura mater, arachnoid mater, dan pia mater) yang melapisi kanal
vertebral dan tengkorak yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang. Ensefalitis, di sisi lain, adalah peradangan otak itu sendiri. Meningitis dapat
disebabkan oleh proses infeksi dan non infeksi (gangguan autoimun, kanker/sindrom
paraneoplastik, reaksi obat). Agen penyebab infeksi meningitis termasuk bakteri, virus,
jamur, dan parasit yang lebih jarang. Gejala sisa yang paling umum adalah gangguan
pendengaran (6%), diikuti oleh perilaku (2,6%) dan kesulitan kognitif (2,2%), defisit
motorik (2,3%), gangguan kejang (1,6%) dan gangguan penglihatan (0,9%).
e. Tumor cerebri : Tumor otak adalah massa jaringan yang tumbuh tidak terkendali dan
menekan jaringan sehat lainnya. Tumor otak dapat diklasifikasikan menjadi tumor otak
jinak (lunak) dan tumor otak ganas (berat). Secara klinis sulit untuk membedakan antara
tumor otak jinak atau ganas karena gejala yang muncul juga ditentukan oleh lokasi
tumor, kecepatan pertumbuhan, dan pengaruh massa tumor pada jaringan otak.
Daftar pustaka

1. French, J.a. Pedley, T. A. Initial Management of Epilepsy. The new England


Journal of Medicine. 2008.
2. Care of the patient with seizures 2th. USA : AANN Clinical Practice Guidelines
Series.2009
3. Fisher RS, J.Helen Cross, Carol D'Souza, dkk. Manual klasifikasi kejang definisi
yang diusulkan oleh Liga Internasional melawan Epilepsi (ILAE) Epilepsi 2017
58(4):531–542, 2017
4. Care of the patient with seizures 2th. USA : AANN Clinical Practice Guidelines
Series.2009
5. Haurer Stephen L. Harrison”s Neurology In clinical Medicine. Usa : Mc Graw
Hill Education, 2013.

6. Goldenberg, M.M. Overview of Drugs Used for epilepsy and Seizures. P & T.
2010, 36:7. 2

7. Winifred Karema, Gunawan Dimas P, dkk .'Gambaran Tingkat Pengetahuan


Masyarakat Tentang Epilepsi Di Kelurahan Mahena Kecamatan Tahuna
Kabupaten Sangihe'. Manado: Universitas Sam Ratulangi, 2008. 4 epid
8. Huff JS, Murr N. Seizure. [Updated 2021 Jan 17]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430765/

Anda mungkin juga menyukai