Anda di halaman 1dari 10

BRAIN TUMOR : EXPLAINING A COMPLEX CASE IN MULTIDISCIPLINARY APPROACH

Clinico Patologico Molecular Conference

Oleh :
dr. Dessy Kusumadewi 238xxxxxxxxxxxxxx
dr. Jamilah Aulia Haikhah
dr. Gindy Aulia Mustikasari 238070900111001
dr. Dina Aqmarina Dalilati
dr. Melody Audria Kurniadi
dr. Syeda Tazkia Noor
dr. Yudha Kusuma Dwiatmaja
dr. Erka Wahyu Kinanda
dr. Darmadaru Nugroho

Pembimbing I :
Dr. dr. H. Edi Handoko, Sp.THT-KL (K)
Pembimbing II :
Dr Eko Arisetijono, Sp.S (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


MATA KULIAH DOKTER UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR.SAIFUL ANWAR
MALANG
2023
ABSTRAK

Kejang simtomatik akut merupakan bangkitan yang terjadi akibat adanya gangguan akut pada sistem
saraf pusat, baik akibat infeksi, inflamasi, metabolic maupun gangguan struktural salah satunya tumor
otak.Pada pasien yang mengidap tumor otak (BT), sekitar 20-40% dari mereka akan mengalami kejang
sebagai gejala awal, sementara sekitar 20-45% pasien lainnya dapat mengalami kejang selama
perkembangan penyakit. Kejang simtomatik akut salah satunya adalah epilepsi. Epilepsi merupakan
kejang berulang pada sebagian atau seluruh tubuh akibat gangguan pada aktivitas listrik di otak. WHO
mengestimasikan 50 juta orang diseluruh dunia mengidap epilepsi yang salah satunya berhubungan
dengan brain tumor (Brain Tumor Related Epilepsy). BTRE memiliki risiko morbiditas dan mortilitas yang
lebih tinggi serta kualitas hidup yang lebih rendah. Risiko kematian pada epilepsi dengan tumor otak tiga
kali lebih tinggi dibandingkan dengan epilepsi tanpa tumor otak.

Pasien ini mengalami atropi papil pada kedua mata karena proses desak ruang (SOL) sebagai akibat dari
peningkatkan tekanan intraockular ataupun edema vasogenik sehingga diperlukan tindakan segera
untuk menurunkan tekanan intracranial. Pasien juga mempunyai riwayat hipertensi serta hiperglikemia
yang tidak terkontrol sehingga timbul komplikasi berupa gangguan fungsi ginjal dan gangguan
keseimbangan elektrolit. Pasien dalam kasus ini menunjukkan karakteristik pengobatan yang rumit dan
memerlukan pendekatan yang khusus dan terintegrasi melalui kerjasama berbagai disiplin ilmu.

Kasus epilepsi yang berhubungan tumor otak sangat penting namun patofisiologi yang mendasarinya
dan penangananya masih kurang dipahami sehingga kami membuat CMPC ini untuk merangkum
pengetahuan terkini tentang epilepsi terkait tumor otak dan mendiskusikan pilihan pengobatan serta
meninjau terjadinya kejang pada tumor otak dan berbagai komplikasinya berdasarkan proses
biomolekulernya. Dengan pembahasan ini diharapkan memberi pengetahuan yang lebih baik mengenai
kejang berhubungan dengan tumor otak , komplikasi dan tatalaksana yang akan diambil dari berbagai
multidisiplin ilmu.

Kata kunci : kejang simptomatik akut,epilepsi, tumor otak, BTRE, atropi papil, biomolekuler

ABSTRACT

Acute symptomatic seizures, often presenting as epilepsy, are a common neurological


manifestation associated with brain tumors. Approximately 20-40% of brain tumor patients
experience seizures as an initial symptom, while 20-45% may develop seizures during the
course of the disease. This condition, known as Brain Tumor-Related Epilepsy (BTRE), is
estimated to affect millions of individuals worldwide. BTRE is associated with higher morbidity,
mortality, and reduced quality of life compared to epilepsy without brain tumors. This
comprehensive medical case report aims to provide a current overview of epilepsy related to
brain tumors, including its pathophysiology and multidisciplinary management. The case
presented involves a patient with acute symptomatic seizures due to a brain tumor, leading to
papillary atrophy in both eyes. The patient also suffers from uncontrolled hypertension and
hyperglycemia, contributing to additional complications.
The report highlights the importance of understanding the underlying biomolecular processes
that contribute to seizures in brain tumor patients. These processes play a crucial role in the
development and progression of epilepsy associated with brain tumors. Moreover, the
complexity of the patient's condition requires a well-coordinated and integrated approach
involving various medical disciplines. By shedding light on the pathophysiology and
management of epilepsy in the context of brain tumors, this report aims to enhance knowledge
and contribute to better patient care.

Keywords: acute symptomatic seizures, epilepsy, brain tumor, BTRE, papillary atrophy,
biomolecular processes.
1. Bagaimana patofisiologi dari epilepsy terkait dengan tumor otak?

Patofisiologi Epilepsi yang Terkait dengan Tumor Otak (BTRE) melibatkan beberapa mekanisme yang
berperan dalam proses terjadinya epilepsi pada pasien dengan tumor otak. Mekanisme tersebut antara
lain:

1. Kompresi Mekanis: Kompresi mekanis dapat menyebabkan iskemia dan perubahan


metabolisme dengan gangguan pada barier darah otak yang menyebabkan risiko kejang yang
lebih tinggi.
2. Ketidakseimbangan Vaskularisasi dan Kebutuhan Oksigen: Tumor otak dapat merangsang
peningkatan pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis) untuk memasok tumor dengan
nutrisi dan oksigen. Proses ini dapat menciptakan ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen
tumor dan pasokan darah yang terbatas, menyebabkan daerah-daerah di dalam tumor dan
jaringan otak di sekitarnya mengalami kekurangan oksigen (iskemia). Iskemia ini dapat bersifat
epileptogenik, memicu terjadinya kejang.
3. Proses Inflamasi: Proses inflamasi memainkan peran penting dalam onkogenesis dan
perkembangan ganas dari tumor otak melalui berbagai mekanisme. Di sisi lain, telah dilaporkan
adanya interaksi antara inflamasi dan kejang. Sementara inflamasi otak dapat menyebabkan
kejang, aktivitas kejang yang berulang atau berlanjut dapat mempertahankan inflamasi kronis.
Dalam konteks ini, perlu diperhatikan bahwa inhibitor checkpoint imun, yang memperkuat
aktivitas antitumor dari sistem kekebalan tubuh, juga dapat menyebabkan risiko lebih tinggi
terjadinya status epileptikus. Komponen selular yang menyusun sawar darah otak meliputi sel
endothelial, astrosit, perisit, neuron, dan komplek jungtional dan juga dilapisi oleh protein
seperti okludin, klaudin, dan molekul adhesi. Aktivitas proliferasi sel-sel tumor akan
menghasilkan zat-zat yang akan merusak sawar darah otak, sehingga menurunkan fungsi protein
transmembran, sehingga dihasilkan VascularEndothelial Growth Factor (EGF). Difusi zat VEGF di
peritumor akan menginisiasi edema disekitar lesi yang berakibat pada meningkatkan TGF beta,
akumulasi potasium, dan N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang memediasi hipereksitabilitas dari
susunan saraf dan berujung pada timbulnya kejang
4. Ketidakseimbangan Neurotransmitter: Pengaruh ketidakseimbangan neurotransmiter pada
epileptogenesis dalam BTRE, khususnya penurunan transmisi neurotransmiter GABA inhibisi dan
peningkatan input sinaptik glutamat eksitatori, telah ditunjukkan dalam beberapa studi praklinis
dan klinis. Peningkatan kadar glutamate disebabkan oleh peningkatan ekspresi sistem
transporter sistein atau glutamat di jaringan peritumoral. Sistem transporter ini bertukar
glutamat intraseluler untuk sistein ekstraseluler yang menghasilkan peningkatan kadar glutamat
ekstraseluler. Selain itu Mutasi IDH1, yang dikaitkan dengan peningkatan epilepsitogenisitas
pada pasien dengan glioma tingkat rendah [23], hasilnya dalam peningkatan produksi d-2-
hidroksiglutarat, yang bertindak sebagai agonis reseptor glutamate.

Reseptor GABA adalah saluran ion Cl yang berespons terhadap ligan GABA terutama dibentuk
oleh aktivitas K + Cl- co-transporter (KCC2) dan Na +, K +2Cl - pengangkut bersama (NKCC).
Berbeda dengan glutamat, GABA umumnya bersifat penghambatan sifat penghambatan GABA
tergantung pada KCC2 transporter, yang mengeluarkan Cl - dari sel untuk mempertahankan
potensi GABA reserve.

5. Epileptogenesis di Area Peritumoral: Zona epileptogenik, yaitu area di otak yang bertanggung
jawab dalam memicu terjadinya kejang, mencakup tidak hanya tumor itu sendiri tetapi juga
jaringan di sekitarnya (jaringan peritumoral). Bahkan jika tumor otak diangkat sepenuhnya
melalui operasi, jaringan peritumoral dapat tetap berkontribusi pada aktivitas kejang. Inilah
mengapa beberapa pasien tetap mengalami kejang setelah operasi pengangkatan tumor. Hal ini
terjadi karena perubahan morfologis pada korteks neokorteks peritumoral mencakup koneksi
neuron dan konektivitas serta lokalitas vesikel sinaptik, menyebabkan peningkatan konsentrasi
saluran Na+ yang bergantung pada tegangan, Ca++, dan reseptor glutamat dengan hilangnya
sinaps inhibitori dan peningkatan sinaps eksitatori
Faktor – faktor yang mempengaruhi epilepsy pada tumor otak :

1. Laju pertumbuhan tumor


Laju pertumbuhan tumor berbanding terbalik dengan prevalensi kejang. Pertumbuhan tumor
yang lambat dapat meningkatkan kejadian kejang. Karena apabila tumor cepat berkembang sel
tumor tidak memiliki waktu untuk mengembangkan mekanisme epileptogenesis.
2. Lokasi tumor
Lokasi tumor merupakan salah satu aspek terpenting yang perlu dipertimbangkan dalam
epileptogenesis tumor. Jenis kejang juga berhubungan dengan lokasi anatomi tumor. Sebagai
contoh, kejang fokal sadar dikaitkan dengan lesi yang melibatkan girus frontal inferior kiri dan
tengah, sedangkan kejang fokal tidak sadar dikaitkan dengan daerah insular temporal kanan

3. Ukuran dan jumlah tumor


Ukuran dan jumlah lesi tumor sering kali secara berkorelasi positif dengan risiko terkena
epilepsi. Sebagai contoh, pada tuberous sclerosis (TS), pasien dengan jumlah
Neurotransmitter lain yang telah dipelajari pada tumor epileptogenesis terkait tumor adalah
asam γ-aminobutirat (GABA).

2. Bagaimana tatalaksana tindak lanjut pada BTRE (brain tumor related epilepsy)?
1. Pemberian Anti Kejang
OAE diindikasikan untuk pasien tumor otak yang mengalami setidaknya satu kali kejang.
American Association of Neurology (AAN), Congress of Neurological Surgeons (CNS), dan
American Society of Therapeutic Radiology and Oncology (ASTRO) merekomendasikan untuk
menahan pemberian OAE pada pasien tumor otak yang belum pernah mengalami kejang.
Namun pada pasien BTRE memerlukan OAE untuk mencegah kejang lebih lanjut dan ketika OAE
telah dimulai, disarankan untuk dihentikan satu minggu setelah operasi.
Secara umum, OAE dapat dibagi menjadi dua kelompok utama: obat generasi pertama (misalnya
fenitoin, karbamazepin bamazepin, asam valproat, etosuksimid, benzodiazepin, dan barbiturat)
dan obat generasi kedua (misalnya levetiracetam, felbamate, gabapentin, lamotrigin,
pregabalin, tiagabin, zonisamide, oxcarbazepine, vigabatrin, lacosamide dan topiramate).

OAE bekerja melawan bangkitan melalui berbagai target seluler, sehingga mampu
menghentikan aktivitas hipersinkroni pada sirkuit otak. Mekanisme kerja OAE dapat
dikategorikan dalam empat kelompok utama :
1. Modulasi voltage-gated ion channels, termasuk natrium,kalsium, dan kalium
2. Peningkatan inhibisi GABA melalui efek pada reseptor GABA-A, transporter GAT-1
GABA, atau GABA transaminase;
3. Modulasi langsung terhadap pelepasan sinaptik seperti SV2A dan α2δ; dan
4. Inhibisi sinap eksitasi melalui reseptor glutamat ionotropik termasuk reseptor AMPA.
Efek utama adalah modifikasi mekanisme burst neuron dan mengurangi sinkronisasi
pada neuron.
Kebanyakan target OAE adalah pada kanal natrium, kalium, dan reseptor GABA.

Epilepsi terkait tumor dianggap sebagai akibat dari tumor lesi otak fokal, dimana manajemen
gejala tumor manajemen gejala BTRE mirip dengan epilepsi onset fokal. Menurut international
League against Epilepsy (ILAE) varian histologi, grading, lokasi, dan penanda molekuler tumor
saat ini tidak memainkan peran dalam pemilihan pengobatan anti-kejang. Sejumlah obat efektif
untuk epilepsi serangan fokal pada orang dewasa. Dalam sebuah studi retrospektif yang
membandingkan tingkat pengendalian kejang dan efek samping levetiracetam dengan asam
valproate, kedua OAE tersebut menunjukkan tingkat pengendalian kejang yang serupa. Studi
lain menunjukkan bahwa VPA atau kombinasi VPA dan levetiracetam lebih berhasil
mengendalikan kejang daripada agen lainnya.

Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat, antara lainkemungkinan
interaksi obat dengan kemoterapi dan deksamethason, terutama pada OAE generasi lama
seperti fenitoin, karbamazepin, dan fenobarbital. Obat-obat tersebut dapat dipengaruhi dan
dapat mengurangi tingkat sirkulasi obat-obat kemoterapi serta deksametason, sehingga menjadi
kurang efektif. Demikian pula pada pemberian radioterapi. Dosis fenitoin adalah maksimal
300mg/hari karena bersifat toksik pada pasien dengan kondisi-kondisi tersebut.

Kondisi yang harus diwaspadai adalah status epileptikus tonik klonik, yaitu bangkitan epileptik
yang berlangsung secara terus menerus selama minimal 30 menit, atau berulang tanpa pulihnya
kesadaran di antara bangkitan. Namun tata laksana sudah dapat diberikan jika kejang
berlangsung lebih dari 5 menit dengan pemberian diazepam IV 0,15-0,2mg/kgBB/kali, maksimal
10mg/kali, dapat diulang 1 kali. Selanjutnya jika masih terdapat kejang dapat diberikan terapi
lini kedua, antara lain fenitoin, asam valproat, atau levetiracetam. Dosis fenitoin adalah IV 15-
20mg/kgBB perlahan-lahan (kecepatan 50mg/menit) dosis tunggal, dapat diulang
5-10mg/kgBB/kali intravena. Adapun dosis asam valproat adalah 20-40mg/kgBB per oral,
maksimal 3000mg/kali, sedangkan dosis levetiracetam adalah 20-60mg/kgBB per oral, maksimal
4500mg/kali, dosis tunggal. (Asam valproat merupakan salah satu OAE generasi lama yang lebih
sedikitinteraksinya dan aman untuk digunakan dengan dosis 20-40mg/kgBB/hari, titrasi mulai
dari 10mg/kgBB/hari. Terapi kejang yang disarankan juga menggunakan OAE generasi terbaru,
yaitu levetiracetam (kecuali pada gangguan ginjal) dengan dosis 20-40mg/kgBB/hari dimulai dari
250mg/hari, lamotrigin (kecuali pada gangguan hepar) 25mg per hari dinaikkan tiap 2 minggu
hingga maksimal 400mg/hari, atau topiramat yang memberikan tingkat keamanan lebih baik
daripada obat-obatan sebelumnya. Dosis loading topiramat adalah 6-9mg/kgBB/hari, titrasi
mulai dari 3mg/kgBB/h.

Monoterapi lebih dianjurkan dalam BTRE karena lebih aman bagi pasien dan kepatuhan lebih
terjaga. Namun, pasien yang mengalami kejang yang tidak responsif terhadap monoterapi OAE
akan memerlukan agen tambahan. Hal ini lebih umum terjadi pada pasien BTRE. Dalam sebuah
studi terhadap 99 pasien dengan BTRE, lebih dari separuhnya tidak merespons satu OAE. Kejang
yang tidak responsif terhadap dua OAE kemungkinan tidak akan terkontrol dengan obat-obatan
tambahan.

Pada pasien ini mendapatkan pengobatan untuk kejangnya yaitu monoterapi asam valproate
Asam valproat adalah salah satu obat antikonvulsan yang memiliki profil antiepilepsi luas, baik
secara aksi maupun indikasi klinis. Efikasinya pada kejang fokal dan umum serta sindrom
epilepsy telah divalidasi secara luas dan akurat baik dengan berbagai uji coba acak terkontrol
dan studi observasional. Mekanisme kerja valproate dapat dilihat pada gambar berikut.

2. Pembedahan pada Tumor Otak

Pembedahan adalah modalitas primer untuk menentukan diagnosis definitive pada tumor otak.
Pembedahaan dalam pasien BTRE mempunyai dua tujuan utama yaitu mencapai diagnosis
jaringan definitif dengan atau tanpa sitoreduksi, dan pengelolaan kejang. Sitoreduksi dilakukan
mengangkat area tumor yang menunjukkan beban tumor signifikan berdasarkan temuan MRI.
Pengendalian kejang akan bergantung pada sejauh mana reseksi dilakukan. 65-85% pasien
bebas kejang setelah reseksi. Pada pasien dengan BTRE yang gagal diobati dengan dua AED
(antiepileptic drug) lini pertama, pembedahan dapat bermanfaat untuk pengendalian kejang.
Reseksi total dapat memberikan tingkat bebas kejang hingga 87% dibandingkan dengan tingkat
dengan reseksi subtotal yaitu 55%.

Perencanaan bedah untuk epilepsi yang refrakter terhadap pengobatan dimulai dengan
pemeriksaan EEG kepala rutin untuk menentukan focus kejang secara akurat pada pasien
dengan BTRE. Elektrokortikografi (ECoG) dan stereoencephalography (SEEG) adalah teknik yang
digunakan untuk membantu lebih lanjut dalam mengidentifikasi fokus kejang ketika EEG kepala
tidak menunjukkan hasil yang jelas.Berbagai pilihan pengobatan bedah serta modalitas
pencitraan lanjutan tersedia untuk pasien dengan BTRE. Pemetaan kortikal intraoperatif dengan
elektrokortikografi, radiosurgery, dan terapi termal laser interstitial adalah teknik bedah
tambahan yang dapat efektif digunakan pada BTRE.

Anda mungkin juga menyukai