Anda di halaman 1dari 334

KONSEP PENYAKIT EPILEPSI

OLEH :

A. Ahriani Febrianti Asra

A.18.10.001

Keperawatan A

Prodi S1 Keperawatan

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

Tahun Akademik 2020


A. Definisi

Epilepsy adalah kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi

secara terus menerus untuk terjadinya suatu bangkitan epileptic dan juga ditandai

oleh adnaya faktor neurolobiologis, kognitif, psikologis, dan konsekuensi social

akibat kondisi tertentu.

Epilepsy adalah gejala kompleks dari banyak ganggguan fungsi otak berat yang

dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Keadaan ini dapat dihubungkan dengan

kehilangan kesadaran, gerakan berlebihan atau hilangnya tonus otot atau gerakan

dan gangguan perilaku, alam perasaan, sensasi, dan persepsi, sehingga epilepsy

bukan penyakit tetapi suatu gejala.

Bangkitan epilepsy adalah tanda atau gejala yang timbul sepintas akibat aktivitas

neuron d tak yang berlebihan dan abnormal serta sinkron.

B. Etiologi

Epilepsy tidak menular. Meskipun banyak mekanisme penyakit yang

mendasari dapat menyebabkan epilepsy, penyebab penyakit ini masih belum

diketahui pada sekitar 50% kasus secara global. Penyebab epilepsy dibagi menjadi

beberapa kategori yakni structural, genetic, infeksius, metabolic, imun, dan tidak

diketahui. Contohnya termasuk

1. Keruskaan otak akibat prenatal atau perinatal (misalnya kehilangan

oksigen atau trauma saat lahir, berat badan lahir rendah)

2. Kelainan bawaan atau kondisi genetic dengan malformasi otak terkait

3. Cedera kepala yang parah


4. Stroke yang membatasi jumlah oksigen ke otak

5. Infeksi otak seperti meningitis, ensefalitis atau neurocysticercosis

6. Sindrom genetic tertentu

7. Tumor otak

C. Patofisiologi

Adanya predisposisi yang memungkinkan gangguan pada sistem listrik dari

sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak akan menjadikan sel-sel tersebut

memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara berulang, dan tidak

terkontrol. Aktivitas serangan epilepsy dapat terjadi sesudah suatu gangguan pad

aotak dan sebagian ditentukan oleh deraja dan lokasi dari lesi. Lesi pada

mesensafalon, talamus, dan korteks serebri kemungkinan besar bersifat

epileptogenic, sedangkan lesi pada serebelum dan batang otak biasanya tidak

menimulkan serangan epilepsy.

Pada tingkat membrane sel, neuron epileptic ditandai oelh fenomena biokimia

tertentu. Beberapa diantaranya adalah ketidakstabilan membrane sel saraf sehingga

sel lebih mudah diaktifkan. Neuron hipersensitif dengan amabng yang menurun,

sehingga mudah terangsang, dan terangsang secara berlebihan.

Siuasi ini akan menyebabkan kondisi yang tidak terkontrol, pelepasan

abnormal terjadi dengan cepat, dan seseorang dikatakan menuju kea rah epilepsy,

gerakan – gerakan fisik yang teratur disebut kejang.


Akibat adanya distrmia muatan listrik pada bagian otak tertentu ini

mmberikan manifestasi pada serangan awal kejang sederhana sampai gerakan

konvulsif memanjang dengan penurunan kesadaran.

Status epilepticus menimbulkan kebutuhan metabolic besar dan dapat

mempengaruhi pernapasan. Terdapat beberapa kejadian henti napas pada puncak

setiap kejang yang menimbulkan kongesti vena dan hipoksia otak. Episode berulang

anoksia dan pembengkakakn serebral dapat menimbulkan kerusakan otak janin yang

reversible dan fatal.

D. Manifestasi klinik

Karakteristik kejang bervariasi dan tergantung pada dimana di otak gangguan

pertama kali dimulai dan seberapa jauh ia menyebar. Gejala sementara terjadi

seperti kehilangan kesadaran atau kesadaran, dan gangguan gerakan, sensaasi

(termasuk penglihatan, pendengaran, dan rasa), suasana hati, atau fungsi kognitif

lainnya.

Orang dengan epilepsy cenderung memiliki lebih banyak maslah fisik (seperti

paah tulang dan memar akibat cedera yang berkaitan denga kejang), serta tingkat

kondisi psikologis yang lebih tingg,termasuk kecemasan dan depresi. Demikian

pula, resiko kematian dini pada orang dengan epilepsy hingga tiga kali lebih tinggi

daripada populasi umum, dengan tingkat teringgi kematian dini ditemukan di negara

berpenghasilan rendah dan menegah dan di daerah pedesaan.

E. Pemeriksaan diagnostic

1. Elektroensafalogram EEG
Pemeriksaan ini membantu dalam menemukan pusat lokasi pelepasan

kelistrikan yang abnormal, jika ada: tegakkan diagnosis epilepsy:

mengidentifikasi tipe kejang.EEG merekam aktivitas listrik dari korteks serebral

pada saat EEG dilakukan.

2. Computed tomography (CT)

Digunakan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal,

serebrovaskular abnormal, dan perubahan degenaratif serebral

3. Positron emission tomography (PET) dan single photon emission computed

tomography (SPECT)

Dapat membantu mengukur aliiran darah pada klien yang akan menjalani

pembedahan untuk epilepsi

F. Tatalaksana

Tujuan utama terapi epilepsy adalah mengupayakan penyandang epilepsy

dapat hidup normal dan tercapainya kualitas hidup optimal sesuai dengan perjalanan

penyakit dan disabilitas fisik maupun mental yang dmilikinya. Harapannya adalah

bebas bangkitan tanpa efek samping. Untuk tercapainya tujuan tersebut diperlukan

beberapa upaya, anatara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi

bangkitan tanpa efek, samping/ dengan efek samping yang minimal menurunkan

angka kesakitan dan kematian. Terapi pada epilepsy dapat berupa terapi farmakologi

dan nonfarmakologi

1. Farmakologi
Pada bangkitan epileptic pertama, tetapi obat anti epileptic (OAE)

dapat lagsung diberikan bila terdapat risiko yang tinggi untuk terjadinya

bangkitan berulang. OAE diberikan berdasarkan tipe bangkitan, OAE

pilihan pada kejang tipe parsial berdasarkan pedoman ILAE 2013 antara

lain adalah karbamazemazepin, levetirasetam, zonisamid dan feniton.

Pilihan OAE pada anak –a ank adalh okskarbamazepin dan pada lanjut

usia adalah lamotigin dan gabapentin. Sementara pada bangkitan pertama

umum tonik klonik pada dewasa, dan anak adalah karbamazepin,

okskarbamazepin, fenitoin, dan lamotrigine.

Dosis obat dimulai dari dossi kecil dan dinaikkan secara bertahap

samapi tercapai dosis terapi. Prinsip pengobatan epilepsy adalah

monoterapi dengan target pengobatan 3 tahun bebas kejang bangkitan.

Nila pemberian monoterapi tidak dapat mencegah bankitan berulang,

politerapi dapt diberikan dengan pertimbangan profil obat ang akan

dikombinasikan. Apabila masih tidak dapat diatasi, maka perlu

dipertimbangkan tindakan pemebdahan untuk menghilangkan fokus

epileptic.

2. Nonfarmakologi

a. Pembedahan

b. Stimulasi nervus vagus

c. Diet ketogenik
Daftar pustaka

Black, Joyce M, And Jane Hokanson. 2014 Keperawatan Medikal Bedah.

Singapura : Elseiver

https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/epilepsy

http://yankes.kemkes.go.id/ready-epilepsi-4812.html

Muttaqin, Arif. 2008. Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan

sistem persarafan. Jakarta : Salemba Medika.

Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar asuhan keperawatan klien dengan gangguan

sistem persarafan. Jakarta : Salemba Medika.


KONSEP MEDIS PENYAKIT SPINA BIFIDA

OLEH

NAMA: A.AYU LESTARI

NIM : A 18.10.002

PRODI S1 KEPERAWATAN

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

T.A 2019/2020
1.DEFENISI

Spina bifida adalah defek pada penutupan kolumna vertebralis dengan atau

tanpa tingkatan protusi jaringan melalui celah tulang (Donna L,Wong,2003) spina

bifida(sumbing tulang belakang)adalah suatu celah pada tulang belakang(vertebrata)

yang terjadi karena bagian dari satu atau beberapa vertebra gagal menutup atau gagal

terbentuk secara utuh.Spina bifida adalah kegagalan arkus vertebralis untuk berfusi

di posterior (Rosa M Sacharin, 1998 ).Spina bifida merupakan suatu kelainan bawaan

berupa defek pada arkus posterior tulang belakang akibat kegagalan penutupan

elemen saraf dari kalanis pada perkembangan awal dari embrio(Chaeruddin

Rasyad,1998)

2.ETIOLOGI

Penyebab spesifik dari spina bifida tidak di ketahui,tetapi di duga akibat:

 Genetik

 Kekurangan asam folat pada masa kehamilan

 Lingkungan

 Kekurangan kadar vitamin maternal

3.MANIFESTASI KLINIS

Gejala bervariasi tergantung pada beratnya kerusakan pada korda spinalis dan akar

saraf yang terkena.beberapa anak memiliki gejala,sedangkan yang lainnya mengalami


kelumpuhan pada daerah yang dipersarafi oleh korda spinalis maupun akar saraf yang

terkena .Gejala dapat berupa:

 Penonjolan seperti kantung di punggung tengah sampai bawah pada bayi baru

lahir.

 Jika di sinari kantung tersebut tidak tembus cahaya.

 Kelumpuhan/kelemahan pada panggul,tungkai atau kaki.

 Sebarkas rambut pada daerah sacral

 Lekukan pada daerah sekrum.

4.PATOFISIOLOGI

Spina bifida di sebabkan oleh kegagalan dari tabung saraf untuk menutup selama bulan

pertama embrio pembangunan (sering sebelum ibu tahu dia hamil).biasanya penutupan

tabung saraf terjadi pada sekitar 28 hari setelah pembuahan. namun,jika sesuatu yang

mengganggu dan tabung gagal untuk menutup dengan baik,cacat tabung saraf akan

terjadi.obat seperti beberapa antikonvulsan,diabetes setelah seorang kerabat dengan

spina bifida,obesitas dan peningkatan suhu tubuh dari demam atau sumber-sumber

eksternal seperti bak air panas dan selimut listrik dapat meningkatkan kemungkinan

seorang wanita akan mengandung bayi dengan spina bifida.namun sebagian besar

wanita yang melahirkan bayi spina bifida tidak punya faktor resiko,sehingga meskipun

banyak penelitian masih belum diketahui apa yang menyebabkan mayoritas kasus.

5.KOMPLIKASI
 Paralisis cerebri

 Retardasi mental

 Atrofi otot

 Osteoporosis

 Fraktur (akibat penurunan massa otot)

6.PENATALAKSANAAN

 Penatalaksanaan Medis

Pembedahan mielomeningokel dilakukan pada periode neonatal untuk

mencegah ruptur.perbaikan dengan pembedahan pada lesi spinal dan pirau

CSS pada bayi hidrocefalus dilakukan pada saat kelahiran.pengcangkokan

pada kulit di perlukan bila lesinya besar.Antibiotic profilaktik diberikan untuk

mencrgah meningitis.

Berikut ini adalah obat obat yang dapat di berikan:

 Antibiotic digunakan sebagai profilaktik untuk mencegah infeksi

saluaran kemih

 Antikolinergik digunakan untuk meningkatkan tonus kandung kemih

 Pelunak feces dan laksatif digunakan untuk melatih usus dan

pengeluaran feces

( Cecily L Betz dan Linda A Sowden,2002,halaman 469 )

 Penatalaksanaan keperawatan

 Pre-operasi
Segera setelah lahir daerah yang terpapar harus dikenakan kasa steril

yang direndam salin yang ditutupi plastic,lesi yang terpapar harus di

tutupi.

- Perawatan prabedah neonatus rutin dengan penekanan khusus pada

mempertahankan suhu tubuhyang dapat menurun dengan dengan

cepat.

- Suhu catatan aktivitas otot pada anggota gerak bawah dan spingter

anal akan dilakukan oleh fisioterapis.

- Lingkaran oksipito –frontalis kepala di ukur dan di buat grafiknya.

 Pasca operasi

- Perawatan pasca bedah neonatus umum

- Pemberian makanan peroral dapat diberikan 4 jam setelah

pembedahan.

- Jika ada drain penyedotan luka maka harus di periksa setiap jam

untuk menjamin tidak adanya belitan atau tekukan pada saluran

dan terjaganya tekanan negatif pada wadah.di mana pada saat drain

dapat di angkat pembalut luka kemungkinan akan dibiarkan

utuh,dengan inspeksi yang teratur,hingga jahitan di angkat 10-12

hari setelah pembedahan.

- Akibat kelumpuhan anggota gerak bawah maka rentang gerakan

pasif yang penuh di lakukan setiap hari.harus di jaga agar kulit di

atas perenium dan bokong tetap utuh dan pergantian popok yang
teratur dengan pembersihan dan pengeringan yang seksama

merupakan hal yang penting.

- Prolaps rekti dapat di merupkan masalah dini akibat kelumpuhan

otot dasar panggul dan harus diusahakan pemakaian sabuk pada

bokong.

- Lingkaran kepala di ukur dan di buat grafik sekali atau dua kali

seminggu.seringkali terdapat peningkatan awal dalam pengukuran

setelah penutupan cacat spinal bifida dan jika peningkatan ini

berlanjut dan terjadi perkembangan hidrosefalus maka harus

diberikan terapi yang sesuai.

(Rosa M.Sacharin ,1996)


DAFTAR PUSTAKA

1.Wong,Donna L, 2004.Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi IV.

Jakarta:EGC

2.Betz,Cecily L,dkk.2002.Buku Suku Keperawatan Pediatri . Jakarta : EGC

3.Sacharin,Rosa M.1998.Prinsip Keperawatan Pediatrik.Jakarta:EGC


ASPEK KLINIS DAN PENATALAKSANAAN

MIASTENIA GRAVIS

Oleh :

A. SARI YUDHA WIDYA ASTUTI

Nim:A. 18.10.005

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

TAHUN 2018/2019
BAB 1

PENDAHULUAN

Miastenia Gravis (MG) yang berarti kelemahan otot yang serius merupakan

penyakit neuromuskular menggambarkan kelelahan cepat otot. Penyakit ini timbul

karena adanya gangguan dari sinaps transmission atau pada neuromuscular junction,bila

penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.1

Miastenia gravis mempunyai prevalensi 85-125 per satu juta jiwa dan insiden per tahun

2-4 per satu juta jiwa.

Puncak insiden penyakit ini dijumpai pada usia 20 hingga 40 tahun yang didominasi

oleh wanita; dan pada usia 60 hingga 80 tahun sama antara wanita dan pria.3 Miastenia

gravis merupakan penyakit yang jarang, namun prevelansinya meningkat baru-baru ini

dengan estimasi terbaru mencapai 20 per 100000 orang di Amerika.2,3,4 Angka

kejadian miastenia gravis dipengaruhi oleh jenis kelamin dan umur. Angka kejadian

miastenia gravis pada wanita 3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan pada pria pada usia

dewasa muda.3,7,8 Insiden pada pubertas hampir sama dengan populasi di atas 40

tahun.3,6,7,9 Miastenia gravis pada anak-anak di Eropa dan Amerika Utara cukup

jarang, kira-kira 10-15% dari keseluruhan kasus,7,8,10 namun lebih sering di negara-

negara Asia, dimana 50% pasien mempunyai awitan di bawah umur 15 tahun,

kebanyakan dengan manifestasi okular.Berdasarkan laporan RISKESDAS (Riset

Kesehatan Dasar) 2010, insiden miastenia gravis di Indonesia diperkirakan 1 kasus dari
100.000.11 Data yang didapatkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta

terdapat 94 kasus dengan diagnosis miastenia gravis pada periode tahun 2010-2011.12

Gejala klinis khas pada miastenia gravis adalah kelemahan yang sering terkait dengan

otot yang rentan dan spesifik.1,2,4,7 Pasien sering mengeluhkan kelemahan otot yang

berfluktuasi dari hari ke hari atau dari jam ke jam, memburuk dengan aktivitas, dan

membaik dengan istirahat.1,2,7 Pasien dapat mempunyai gejala seperti ptosis, diplopia,

disartria, disfagia, dispnea, kelemahan otot wajah, atau tungkai atau kelemahan aksial

yang berbeda tingkat keparahannya bergantung terhadap kuantitas neuromuskular yang

terlibat.

Kelemahan otot okular menyebabkan ptosis dan merupakan gejala palingbsering

dan paling awal terjadi pada pasien miastenia gravis. Kelemahan otot okular ini

berfluktuasi dan penyakit biasanya berkembang menjadi kelemahan seluruh tubuh

dalam waktu 2 tahun setelah awitan penyakit.15 Penyebabnya diduga karena serangan

autoimun terhadap reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Antibodi terhadap

reseptor asetilkolin atau reseptor decamethonium complex (anti-AchR) ditemukan

dalam serum dari tigaperempat penderita miastenia gravis.

Abnormalitas timus juga ditemukan pada sebagian besar penderita miastenia

gravis, sekitar 75% dengan hiperplasia folikel kelenjar, dan 10-15% dengan tumor

thymic jenis lymphoblastic.Tindakan thymectomy menyebabkan remisi dan perbaikan

pada masing-masing 35% dan 50% penderita sehingga diduga miastenia gravis

berhubungan dengan serangan autoimun terhadap antigen pada timus danmotor end
plate atau abnormal clone dari sel-sel imun di thymus.Diagnosis ditegakkan berdasarkan

gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan prosedur konfirmasi diagnostik.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu

kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara

terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena

adanya gangguan dari sinaps transmission atau pada neuromuscular junction. Bila

penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.

2.2 Epidemiologi

Prevelansi Miastenia gravis adalah 14 per 100000 populasi (kira-kira 17,000 kasus)

di Amerika.3,4 Sebelum umur 40 tahun, penyakit ini terjadi 3 kali lipat lebih banyak

pada wanita dibandingkan pria, namun pada usia yang lebih tua persentasenya sama.

Miastenia Gravis dapat terjadi di seluruh etnis, usia dan dapat menyerang pria ataupun

wanita. Namun kasus Miastenia Gravis jarang ditemui. Diperkirakan Miastenia Gravis

terjadi pada 1 dari 20.000 orang. Biasanya penyakit ini menyerang orang berusia 20-50

tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini. Rasio perbandingan pria dan wanita

adalah 6:4. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda yaitu sekitar 28

tahun. Sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun Insiden
miastenia gravis pada anak-anak 0,9 – 2,0 kasus per 1 juta anak tiap tahun pada populasi

pediatrik usia 0 – 17 tahun di Kanad dari tahun 2010 hingga 2011, Angka yang lebih

tinggi didapatkan di Amerika Utara, yaitu 9,1 per 1 juta penduduk. Sebanyak 4,2%

terjadi pada usia 0 – 9 tahun dan 9,5% pada usia 9 – 19 tahun. Sri-udomkajorn (2011)

mendapatkan bahwa miastenia gravis pada anak lebih banyak mengenai perempuan,

usia awitan rata-rata biasanya 4 tahun dan tipe okuler lebih sering daripada tipe

generalisata. Hasil yang berbeda pernah dilaporkan bahwa usia awitan terjadi pada anak

yang lebih tua, yaitu usia 13 tahun dan lebih banyak tipe generalisata.2 Miastenia gravis

tipe okuler lebih banyak pada ras Asia, sedangkan tipe generalisata lebih banyak pada

ras Eropa dan Amerika .

2.3 Pathogenesis

Miastenia gravis adalah salah satu penyakit gangguan autoimun yang

mengganggu sistem sinaps Pada penderita miastenia gravis, sel antibodi tubuh atau

kekebalan tubuh akan menyerang sinaps yang mengandung asetilkolin (ACh), yaitu

neurotransmiter yang mengantarkan rangsangan dari saraf satu ke saraf lainnya. Jika

reseptor mengalami gangguan maka akan menyebabkan defisiensi, sehingga

komunikasi antara sel saraf dan otot terganggu dan menyebabkan kelemahan otot. Pada

bagian terminal dari saraf motorik terdapat sebuah pembesaran yang biasa disebut

bouton terminale atau terminal bulb. Terminal Bulb ini memiliki membran yang disebut

juga membran presinaps, struktur ini bersama dengan membran post sinaps (pada sel

otot) dan celah sinaps (celah antara 2 membran) membentuk neurobmuscular junction.

Membran presinaps mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan dalam bentuk


vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage Gated Channel akan

teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan terjadinya influx Calcium.

Influx ini akan mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut untuk bergerak ke tepi membran.

Vesikel ini akan mengalami docking pada tepi membran. Karena proses docking ini,

maka asetilkolin yang terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam

celah sinaps. ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin

(AChR) yang terdapat pada membran post sinaps. AChR ini terdapat pada lekukan-

lekukan pada membran post sinaps. AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha,

dan masing-masing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun

membentuk lingkaran yang siap untuk mengikat ACh.

Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya gerbang Natrium

pada sel otot, yang segera setelahnya akan mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini

akan mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran post sinaps. Jika

depolarisasi ini mencapai nilai ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi

potensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial aksi ini akandipropagasikan

n(dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya

akan mengakibatkan kontraksi. ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian akan

dihidrolisis oleh enzim Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang

cukup banyak pada celah sinaps. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat.

Kolin kemudian akan kembali masuk ke dalam membran pre-sinaps untuk membentuk

ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya potensial

aksi terus menerus yang akan mengakibatkan kontraksi terus-menerus.


Dalam kasus Miastenia Gravis terjadi penurunan jumlah asetilkolinreceptor

r(AChR). Kondisi ini mengakibakan asetilkolin (ACh) yang tetap dilepaskan dalam

jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran post-sinaps.

Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan

mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu.

inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien. Pengurangan jumlah AChR

ini dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di dalam tubuh yang memproduksi

anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak membran post-sinaps.

Menurut Shah pada tahun 2006, anti-AChR bodies ditemukan pada 80%-90% pasien

Miastenia Gravis. Percobaan lainnya, yaitu penyuntikan mencit dengan

Immunoglobulin G (IgG) dari pasien penderita Miastenia Gravis dapat mengakibatkan

gejala-gejala Miastenia pada mencit tersebut, ini menujukkan bahwa faktor

immunologis memainkan peranan penting dalam etiology penyakit ini. Alasan mengapa

pada penderita Miastenia Gravis, tubuh menjadi kehilangan toleransi terhadap AChR

sampai saat ini masih belum diketahui.Sampai saat ini, Miastenia Gravis dianggap

sebagai penyakit yang disebabkan oleh sel B, karena sel B lah yang memproduksi anti-

AChR bodies.Namun, penemuan baru menunjukkan bahwa sel T yang diproduksi oleh

Thymus, memiliki peranan penting pada patofisiologis penyakit Miastenia Gravis. Hal

ini ditunjukkan dengan banyaknya penderita Miastenia mengalami hiperplasia thymic

dan thymoma.
2.4 Manifestasi Klinis

Miastenia Gravis adalah penyakit kelemahan pada otot, maka gejala-gejala yang

timbul juga dapat dilihat dari terjadinya kelemahan pada beberapa otot. Gejala gejala

yang timbul bervariasi pada tipe dan berat kasus, termasuk didalamnya adalah lemahnya

salah satu atau kedua kelopak mata yang biasa disebut ptosis, kabur atau penglihatan

ganda (diplopia) oleh karena kelemahan dari otot yang mengontrol pergerakan mata,

ketidakseimbangan atau gaya berjalan yang terhuyung-huyung, perubahan pada ekspresi

wajah, kesulitan dalam menelan yang dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung

jika mencoba menelan (otot-otot palatum) dan bila pasien meminum air, mungkin air itu

dapat keluar dari hidungnya, menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal

(sengau) serta gangguan bicara (disartria), dan pasien tidak mampu menutup mulut,

yang dinamakan sebagai tanda rahang menggantung, nafas pendek, dan kelemahan pada

lengan, tangan, jari, tungkai bawah dan leher.9,10 Bila penyakit hanya terbatas pada

otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangatringan dan tidak akan

menyebabkan kematian. Satu awitan dari kelainan ini dapat terjadi secara mendadak dan

gejala sering tidak langsung dikenali sebagai miastenia gravis.

Pada kebanyakan kasus, gejala pertama yang dikenali adalah kelemahan pada otot

mata.Selain itu, kesulitan dalam menelan dapat menjadi tanda pertama. Derajat

kelemahan otot dalam miastenia gravis bervariasi tergantung pada individu

masingmasing, bentuk lokal yang terbatas pada otot mata (ocular miastenia), untuk

bentuk yang berat atau umum yang melibatkan banyak otot, terkadang melibatkan otot-

otot yang mengatur pernafasan.3 Aspek yang paling berbahaya dari Miastenia Gravis
disebut Miastenia Crisis, yang memungkinkan diperlukannya ventilator pada beberapa

kasus.

Kelemahan otot pada Miastenia Gravis meningkat pada saat aktivitas yang terus

menerus dan membaik setelah periode istirahat. Pasien akan mengalami penurunan

tenaga sepanjang hari, dengan kecenderungan kelelahan dalam satu hari, atau menjelang

berakhirnya aktivitas. Jika dibiarkan, keluhan umum yang dialami oleh pasien biasanya

berkembang menjadi kesulitan pengunyahan selama makan. Gejala dari berbagai

kelemahan tersebut cenderung menjadi lebih buruk dengan adanya berbagai macam

stress, kepanasan, infeksi serta pada penderita dengan akhir masa kehamilan.

2.5 Klasifikasi

Klasifikasi menurut The Medical Scientific Advisory Board (MSAB) of the

Miastenia Gravis Foundation of America (MGFA) membagi miastenia gravis menjadi 5

kelas utama dan beberapa subclass, sebagai berikut :

Kelas I : adanya keluhan otot-otot ocular, kelemahan pada saat menutup mata dan

kekuatan otot-otot lain normal.

Kelas II : terdapat kelemahan otot ocular yang semakin parah, serta adanya kelemahan

ringan pada otot-otot lain selain otot ocular.

Kelas II a : mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat

kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan


Kelas II b : mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.

Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan

kelas II a.

Kelas III : terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot ocular, sedangkan otot-otot lain

selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang

Kelas III a : mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial atau keduanya

secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan

Kelas III b : mempengaruhi otot faringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara

predominan. Terdapatnya kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial. Otot

orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan

Kelas IV : otot-otot selain otot-otot ocular mengalami kelemahan dalam derajat yang

berat, sedangkan otot-otot ocular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat

Kelas IV a : secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-

otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan

Kelas IV b : mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya

secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,

otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan.Penderita menggunakan feeding

tube tanpa dilakukan intubasi.

Kelas V : penderita ter-intubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanik Terdapat

klasifikasi menurut Osserman dimana miastenia gravis dibagi menjadi:


1. Ocular miastenia : terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat

ringan dan tidak ada kematia.

2. Generalized miastenia

a) Mild generalized miastenia Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan

meluas ke otot-otot skelet dan bulber.System pernafasan tidak terkena.Respon terhadap

otot baik.

b) Moderate generalized miastenia Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar,

respon terhadap obat tidak memuaskan

3. Severe generalized miastenia

Acute fulmating miastenia : permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot

pernapasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat

kurang memuaskan, aktivitas penderita terbatas dan mortalitas tinggi. Late severe

miastenia : timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari

miastenia gravis dapat pelanpelan atau mendadak, presentase thymoma kedua paling

tinggi. Respon terhadap obat dan prognosis jelek.

2.6 Diagnosis
Ada banyak jenis penyakit yang memiliki gejala yang mirip dengan Miastenia

gravis sehingga anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap merupakan langkah

awal yang penting dalam mendiagnosis Miastenia gravis.

anamnesis meliputi riwayat keluarga, riwayat penyakit terdahulu, dan riwayat

pengobatan. Belum ada satu tes tunggal yang dapat diandalkan sepenuhnya dalam

mendiagnosis Miastenia Gravis, namun kombinasi anamnesis, pemeriksaan fisik, tes

fungsi saraf, dan pemeriksaan darah sering kali dapat menegakan diagnosis yang valid

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang detil serta digabungkan dengan investigasi

mendalam sering kali diperlukan untuk menyediakan petunjuk diagnostik. Peninjauan

yang sistematik terhadap kemampuan tes untuk mendiagnosis Miastenia Gravis

menyimpulkan bahwa hanya tes antibodi AChR dan single-fibre electromyography

(SFEMG) sudah tervalidasi.

2.6.1 Tes Ice Pacck

Metode singkat untuk membedakan ptosis akibat Miastenia Gravis dengan penyebab

lainnya yaitu test ice pack. Pendinginan dapat memperbaiki transmisi neuromuskuler,

sehingga pada pasien ptosis, penempatan es di kelopak mata akan memperbaiki ptosis.

Es dapat ditempatkan di dalam sarung tangan atau dibungkus handuk dan diletakkan

secara lembut di atas kelopak mata selama 2 menit atau 5 – 10 menit. Tes dikatakan

positif bila terdapat resolusi ptosis. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 82% dan

spesifisitas 96%.

2.6.2 Tes Endrofonium


Tes endrofonium atau tensilon merupakan tes yang memasukan endrofonium

klorida yang merupakan asetilkolinesterase kerja singkat (shortacting) yang bertujuan

untuk menunjukan reversibelitas kelemahan otot dan hanya dapat dilakukan apabila

terdapat kelemahan yang jelas yang dapat diukur secara objektif. Pemeriksaan ini

membutuhkan monitoring kardiorespirasi dan hati-hati apabila terdapat kecurigaan

besar terhadap miastenia gravis kongenital, karena pasien sering menunjukkan

perburukan klinis akibat pemberian penghambat asetilkolinesterase. Tes ini berguna

membantu diagnosis miastenia gravis atau membedakan antara krisis miastenik dan

krisis kolinergik. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu singkat dan durasi aksi obat

yang cepat. Sebelumnya harus di pastikan bahwa jalan napas pasien paten dan ventilasi

adekuat. Dosis inisial diberi kan dalam dosis kecil, yaitu 2 mg intravena. Bila tidak

timbul efek samping maka dosis selanjutnya diberikan 3 mg dan dinilai adanya

perbaikan kekuatan otot, ekspresi wajah, postur, dan fungsi respirasi dalam 1 menit. Jika

belum menunjukkan perbaikan, dosis tambahan 5 mg dapat diberikan hingga dosis

maksimal 10 mg total pemberian. Perbaikan ini dapat bertahan selama 5 menit. Selama

prosedur pemeriksaan ini pasien harus dipantau, karena dapat timbul efek samping

kolinergik, yaitu salivasi, lakrimasi, berkeringat, flushing, fasikulasi perioral,

bradikardi, blok konduksi jantung, fibrilasi ventrikel, dan asistol. Atropin harus selalu

disediakan sebagai antidotum. Kekuatan otot dapat membaik setelah tindakan ini atau

kelemahan masih dapat tampak. Pemeriksa harus berhati-hati terhadap efek kolinergik

yang tidak diinginkan, seperti hipersalivasi yang dapat menyebabkan eksaserbasi distres

napas dan berisiko aspirasi. Waktu paruh edrofonium adalah 10 menit. Apabila pasien
tidak menunjukkan perbaikan klinis setelah pemberian dosis maksimal edrofonium,

berarti pasien mengalami krisis kolinergik atau ada penyebab kelemahan lain selain

miastenia gravis. Karena efeknya yang cepat, pengulangan dosis sering diperlukan

sebelum pasien mendapat antikolinesterase oral. Sensitivitas tes ini sebesar 88% untuk

Miastenia Gravis generalisata dan 92% untuk Miastenia Gravis ocular, dengan

spesifisitas sebesar 96% untuk kedua jenis Miastenia Gravis. Tes ini sebaiknya dihindari

untuk dilakukan pada orang tua.

2.6.3 Neurofisiologi

Repetitive nerve stimulation (RNS) dan SFEMG merupakan tes neurofisiologi yang

paling sering digunakan. Hasil dari tes ini dapat disalahartikan pada pasien yang

mengonsumsi inhibitor asetilkolin dosis tinggi secara kronis. Apabila terdapat keraguan,

maka apabila memungkinkan hentikan pemakaian obat tersebut selama setidaknya 1

minggu sebelum dilakukan tes tersebut. 15 Stimulasi RNS pada frekuensi 3 10 Hz

menghasilkan penurunan amplitudo dari potensi susunan otot aksi. Sekitar 80% dari tes

mengahsilkan nilai positif pada 80% kasus Miastenia Gravis generalisata, namun dapat

negatif pada 50% kasus Miastenia Gravis ocular, sehingga secara keseluruhan,

sensitivitas dari tes ini mencapai 75%. Spesivisitas dari RNS bervariasi dan tergantung

secara parsial terhadap saraf mana yang dites. Single-fibre electromyography (SFEMG)

merupakan tes diagnostik yang paling sensitif pada Miastenia Gravis dan sebaiknya

dilakukan apabila RNS normal dan dicurigai terdapat penyait pada neuro muscular

junction.
2.6.4 Pencitraan (Imaging)

Semua penderita Miastenia Gravis harus dilakukan CT-Scan dan MRI thoraks

untuk screening thymoma atau hyperplasia timus. Pencitraan mediastinum sebaiknya

diulang pada MG berulang setelah periode penyakit ini. stabil untuk mengeksklusi

thymoma, yang dapat terjadi pada episode penyakit berikutnya.

2.6.5 Tes Antibodi

Semua pasien yang dicurigai menderita Miastenia Gravis harus dilakukan tes

antibodi anti-AChR. Sensitivitas dari tes ini mencapai 70 – 95% untuk MG generalisata

dan 50 – 75% untuk MG ocular. Konsentrasi antibodi anti-AChR tidak dapat

memprediksi keparahan pada individu penderita MG. Apabila antibodi anti-AChR

negatif, antibodi anti-MuSK harus dikerjakan. Pada pasien yang seronegatif, terdapat

angka serokonversi sebesar 15% setelah 1 tahun. Supresi terhadap sistem imun dapat

mengarahkan pada hilangnya antibodi yang diperlukan untuk menegakan diagnosis MG.

Deteksi terhadap antibodi anti-striational dapat memberikan indikasi fenotip dan

prognosis dari penyakit ini.

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksaan dari penyakit miastenia gravis dapat dibagi dibagi menjadi 3 pendekatan

yaitu:

- Penatalaksaan Simptomatik

- Terapi Immunodulatory
- Terapi Immunosupresant

2.8.1 Penatalaksanaan Simptomatik

- Anticholinesterase

Anticholinesterase atau cholisnesterase inhibitor bekerja menghambat enzim

hydrolisis dari ACh pada cholinergic synapse sehingga Ach akan bekerja lebih lama

pada neuromuscular junction.Pyrodostigmine bromide dan neostigmine bromide

merupakan obat anticholinesterase yang paling sering digunakan. Menurut penelitian

dari Pyrodostigmine lebih dianjurkan karena memiliki efek samping yang lebih minimal

pada gastointestinal dan durasi kerja obat lebih lama. Efek samping lain yang muncul

yaitu akumulasi ACh pada muscarinic receptor pada otot polos sehingga muncul

stimulasi otot polos pada abdomen dan menyebabkan abdominal cramping, peningkatan

flatus, diare dan menurunnya frekuensi buang air kecil. Jika efek samping muncul dapat

diberikan propantheline 15 mg tiap dosis pyrodostigmine atau dengan dosis satu kali

perhari. 1,2 Dosis awal pyrodostigmine pada orang dewasa berkisar antara 30-60 mg

tiap 4-8 jam. Sedangkan pada bayi dan anak-anak diberikan 1mg/kg dan neostagmine

0,3 mg/kg. Dosis maksimum per hari dari pyrodostigmine adalah 360 mg atau 6 tablet.

Krisis cholinergic kemungkinan akan terjadi jika kelebihan dosis pyrodostigmine.

2.8.2 Terapi Immunomodulatory


- Thymectomy Keuntungan dari thymectomy adalah pasien akan memiliki potensi untuk

drug free remission. Thymectomy direkomendasikan pada pasien dengan symptom

Miastenia gravis yang muncul pada usia dibawah 60 tahun. Respon dari thymectomy

tidak dapat diprediksi dan gejala kemungkinan akan menetap hingga beberapa bulan

sampai tahun setelah operasi. Respon terbaik dari thymectomy terjadi pada pasien

perempuan usia muda. Pasien dengan thymoma direkomendasikan untuk menghilang

tumor tersebut dahulu sebelum menjalani thymectomy.Thymectomy berulang

dilaporkan meningkatkan keberhasilan terapi pada beberapa pasien. Jaringan thymic

dianjurkan untuk tidak diangkat pada operasi pertama dan kedua dengan syarat pasien

berespon baik pada operasi pertama.

- Plasma Exchange (PLEX)

PLEX bekerja dalam memperbaiki myastenic weakness secara sementara. PLEX

digunakan sebagai intervensi jangka pendek pada pasien dengan perburukan symptom

miastenia secara mendadak, untuk memperkuat saat operasi, mencegah exacerbasi yang

diinduksi kortikosteroid dan sebagai terapi chronic intermittent untuk pasien yang telah

gagal menjalani semua terapi jenis lainnya .

Menurut typical PLEX protocol, 2 hingga 3 liter dari plasma dikeluarkan sebanyak 3

kali dalam seminggu hingga kondisi membaik yaitu sekitar 5 hingga 6 kali penukaran.

Perbaikan klinis biasanya dijumpai pada minggu pertama. Perbaikan klinis biasanya

akan bertahan hingga 3 bulan dan efek akan menghilang kecuali diikuti dengan

thymectomy atau terapi immunosuppresive. Pengulangan PLEX terbukti tidak


memberikan manfaat kumulatif dan tidak dianjurkan digunakan sebagai terapi kronis

kecuali terapi lain mengalami kegagalan atau kontraindikasi.Efek samping dari PLEX

antara lain transitory cardiac arrythmia, nausea, kepala terasa ringan, menggigil,

obscured vision, dan pedal edema. Thrombus, thrombophebitis, subacute bacterial

endocarditis, pneumothorax, brachial plexus injury merupakan komplikasi yang

mungkin terjadi akibat dari pemasangan rute akses peripheral venipuncture.

- Intravenous Immunoglobulin (IGiv)

Indikasi dari IGiv memiliki kesamaan dengan PLEX. Intravenous

immunoglobulin merupakan alternatif dari PLEX khususnya pada pasien anak-anak

maupun pasien dengan vena akses yang sulit ditemukan dan jika PLEX tidak tersedia.

IGiv juga tidak direkomendasikan sebagai terapi kronis kecuali karena

mengalamikegagalan atau kontraindikasi. Perbaikan klinis dilaporkan terjadi pada 50

hingga 100 persen pasien setelah diberikan dosis 3 mg/kg selama 2 hingga 4 hari.

Perbaikan klinis akan bertahan hingga beberapa minggu atau bulan. Dosis minimum

masih belum ditentukan karena masih belum ada penelitian yang mendukung mengenai

hal tersebut. Menurut Gajdos P (2006) dosis 1 mg/kg sama efektifnya dengan dosis 2

mg/kg dalam mengobati miastenia crisis.Efek samping yang sering terjadi antara lain

demam, sakit kepala maupun menggigil. Reaksi tersebut dapat diringankan dengan

pemberian acetaminophen atau aspirin dengan dipenhidramine sebelum pemberian

IGiv. Pasien dengan selective IgA deficiency kemungkinan akan mengalami reaksi

anafilaksi terhadap IGiv. Oleh karena hal tersebut maka dianjurkan untuk melakukan tes

kadar IgA sebelum melakukan terapi ini.


2.8.3 Terapi Immunosuppresant

- Kortikosteroid

Prednisone dilaporkan dapat menghilangkan gejala pada lebih dari 75% pasien dengan

Miastenia Gravis. Perbaikan kondisi klinis biasanya akan muncul 6 hingga 8 minggu

setelah pemberian prednisone pertama. Respon terbaik terjadi pada pasien dengan onset

muda. Pasien dengan thymoma biasanya akan membaik dengan prednisone setelah

dilakukan pengangkatan tumor. Dosis awal prednison yang dianjurkan yaitu 1,5 hingga

2 mg/kg perhari. Dosis akan dipertahankan hingga perbaikan klinis muncul yang

biasanya terjadi pada minggu kedua. Kemudian dosis akan diturunkan setiap bulannya

hingga mencapai dosis terendah untuk terapi maintance, dimana idealnya 20 mg setiap

harinya. Penurunan dosis untuk tiap orang akan bervariasi. Pasien dengan initial

response yang buruk dianjurkan untuk menggunakan dosis alternatif yaitu 100- 120 mg

dan turunkan dosis 20 hingga 60 mg tiap bulan.Efek samping dari pemberian prednison

jangka lama antara lain hypercortism. Tingkat keparahan dari hypercortism meningkat

seiring dengan pemberian dosis tinggi lebih dari 1 bulan. Efek samping akan membaik

jika dosis diturunkan dan menjadi minimal pada dosis dibawah 20 mg per hari. Efek

samping dapat diminimalkan dengan diet rendah lemak, rendah sodium dan pemberian

supplemental kalsium. Wanita dengan postmenopause harus diberikan supplement.

2.9 Prognosis
Gejala awal yang dialami sebagian besar pasien adalah kelemahan otot-otot

ekstraokuler, yang biasanya terjadi pada tahun pertama. Hampir 85% dari pasien

tersebut akan mengalami kelemahan pada otot-otot ekstremitas tiga tahun berikutnya.

Kelemahan orofaring dan eksteremitas pada fase awal jarang ditemukan. Tingkat

keparahan yang berat ditemukan saat tahun pertama pada hampir dua pertiga pasien,

dengan krisis myastenik terjadi pada 20% pasien. Gejala bisa diperberat dengan adanya

kondisi sistemik yang menyertai, contohnya ISPA akibat virus, gangguan tiroid, dan

kehamilan. Pada fase awal penyakit, gejala bisa berfluktuasi dan membaik, walaupun

perbaikan jarang yang bersifat permanen. Relapses and remissions berlangsung sekitar

tujuh tahun, diikuti fase inaktif selama sekitar sepuluh tahun. Sebelum penggunaan

imunomodulator, mortality rate pada miastenia gravis masih besar, yaitu sebesar 30%.

Dengan adanya imunoterapi dan perkembangan alat-alat terapi intensif, resiko kematian

ini dapat diturunkan menjadi kurang dari 5%.

BAB III
RINGKASAN

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu

kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara

terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena

adanya gangguan dari sinaps transmission atau pada neuromuscular junction.Dimana

bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.

Prevalansi Miastenia gravis adalah 14 per 100000 populasi (kira-kira 17,000 kasus)

di Amerika.3,4 Sebelum umur 40 tahun, penyakit ini terjadi 3 kali lipat lebih banyak

pada wanita dibandingkan pria, namun pada usia yang lebih tua persentasenya sama.

Gejala – gejala yang timbul bervariasi pada tipe dan berat kasus, termasuk di

dalamnya adalah lemahnya salah satu atau kedua kelopak mata (ptosis), kabur atau

penglihatan ganda (diplopia) oleh karena kelemahan dari otot yang mengontrol

pergerakan mata, ketidakseimbangan atau gaya berjalan yang terhuyung-huyung,

perubahan pada ekspresi wajah, kesulitan dalam menelan yang dapat menyebabkan

regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan (otot-otot palatum),

menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal (sengau) serta gangguan bicara

(disartria), dan pasien tidak mampu menutup mulut, yang dinamakan sebagai tanda

rahang menggantung, nafas pendek oleh karena terkadang melibatkan otot-otot yang

mengatur pernafasan, dan kelemahan pada lengan, tangan, jari, tungkai bawah dan

leher.
Klasifikasi menurut The Medical Scientific Advisory Board (MSAB) of the

Miastenia Gravis Foundation of America (MGFA) membagi miastenia gravis menjadi 5

kelas utama dan beberapa subclass sedangkan klasifikasi menurutOsserman dibagi

menjadi 4 tipe.

Diagnosis dari miastenia gravis dapat ditegakan dengan wawancara, pemeriksaan

fisim neurologi dan beberapa tes penunjang seperti tes antibodi, neurofisiologi, tes

endrofonium, tes es kotak dan pencitraan (imaging). Walaupun belum ada penelitian

tentang strategi pengobatan yang pasti, miastenia gravis termasuk mudah untuk diobati

dibandingkan kelainan neurologis lainnya. Anti-kolinesterase dan imunomodulator

merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Penatalaksanaan dapat

digolongkan menjadi terapi jangka pendek yang dapat memulihkan kelemahan secara

cepat dan terapi jangka panjang yang dapat mencegah terjadinya kekambuhan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Engel A. Miastenia gravis and miastenia syndromes. Annals of Neurology. 2004.

Volume 16: Page: 519-534.

2. Khadilkar SV, Sahni AO, Patil SG. Miastenia gravis. JAPI. 2004 November; 52:897-

903. 3. Romi F, Gilhus NE, Aarli JA. Miastenia gravis: clinical, immunological, and

therapeutic advances. Acta Neurol Scand. 2005; 111: 134-141.

4. Beekman R, Kuks JBM., Oostherhius HJGH. Miastenia gravis: diagnosis and follow-

up of 100 consecutive patients. J Neurol. 2007; 244: 112-8.

5. Christensen PB, Jensen TS, Tsirropoulus I. Mortality and survival in miastenia

gravis: a Danish population based study. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2003; 64: 78-

63.

6. Sanders DB. Generalized miastenia gravis: clinical presentation and diagnosis. 56th

Annual Meeting. San Francisco, CA: American Academy of Neurology, 2004.

7. Brainin M., Barnes M., Baron J.C., et al. Guidance for the preparation of neurological

management guidelines by EFNS scientific task forces-revised recommendations 2004.

Eur J Neurol. 2004; 11:577-581.

8. Vincent A. Unravelling the pathogenesis of miastenia gravis. Nat Rev Immunol.

2002; 2: 797-804.

9. Goldenberg W. Miastenia Gravis. 20 Januari 2012. Diunduh dari

http:emedicine.medscape.com/article/1171206-overview, 07 Juni 2012


10. Miastenia Gravis and Related Disorders of the Neuromuscular Junction. In: Ropper

A, Brown R, eds. Adam and Victor’s : Princiles of Neurology 8 th ed.nMcGraw Hill.

2005; 53: 1264 – 1250.

11. Hoch W, McConville J., Helms S., Newsom-Davis J., Melms A., Vincent A., Auto-

antibodies to the reseptor tyrosine kinase MuSK in patients with miastenia gravis

without acethylcholine receptor antibodies. Nat Med 2001; 7: 365-368.

12. Vernino S., Lennon V.A., Autoantibody profiles and neurological correlations

of thymoma. Clin Cancer Res 2004 May; 18: 678-80.

13. Berrih S., Morel E., Gaud C., Raimond F., LeBrigand H., Bach J.F., AntiAChR

antibodies,thymic histology, and T cell subsets in miastenia gravis. Neurology 2001

March;34:66-71.

14. Grob D, Brunner N., Namba T., Pagala M., Lifetime course of miastenia gravis.

Muscle Nerve 2008 June;37:141-49.

15. Sanders D.B., Juel V.C., MuSK-antibody positive miastenia gravis:questions

from clinic. J Neuroimmunol 2008 November; 201-202:85-89.

16. Chan J.W., Orrison W.W., Ocular miastenia: a rare presentation with MuSK

antibody and bilateral extraocular muscle atropy. Br J Ophthalmol 2007;91:842-43.

KONSEP MEDIS PENYAKIT CREUTZFELDT-JAKOB


OLEH :

NAMA : A.KURNIATI ABBAS

PRODI : SI KEPERAWATAN

NIM : A.18.10.006

TAHUN AKADEMIK 2020/2021

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

a. DEFINISI
Penyakit creutzfeldt-jakob (CJD) adalah penyakit otak fatal dan jarang terjadi,

yang menimbulkan demensia progresif, mioklonus, dan perubahan

elektroensefalografi (EEG) yang khas. CJD adalah penyakit unik yang ternyata

dapat muncul dari dua mekanisme yang berbeda, yaitu genetik dan infeksi.

Individu dengan bentuk genetik memiliki gen yang bermutasi. Bentuk infeksius

tidak berkembang dari virus yang dikenal atau patogen lainnya; oleh karena itu

kata-kata seperti virion, virus lambat, dan prion terkadang digunakan untuk

menggambarkan agen penyebabnya. Beberapa laporan menyatakan adanya

penyebaran CJD. Periode inkubasi berkisar dari 4 sampai 21 tahun, yang

mengindikasikan adanya kesulitan besar untuk melacak infeksi. Pada tahun 1996

CJD dikaitkan dengan konsumsi daging sapi yang terinfeksi. Hal ini

menyebabkan munculnya istilah penyakit sapi gila yang populer.

b. ETIOLOGI

Penyakit creutzfeldt-jakob dan variannya disebabkan oleh penyakit yang dapat

menular dari manusia dan hewan yang dikenal sebagai transmissible spongiform

escephalopahies (TSEs). Istilah spons berasal dari bentuk berlubang-lubang

yang terlihat dengan mikroskop dan terjadi pada jaringan otak yang terinfeksi.

Penyebab creutzfeldt-jakob dan TSEs lain adalah perubahan protein yang

disebut prion. Normalnya protein ini tidak berbahaya, tetapi ketika sesuatu
terjadi pada protein ini, mereka dapat menyebabkan infeksi dan dapat

menimbulkan kerusakan pada proses biologi normal.

c. MANIFESTASI KLINIS

Penyakit creutzfeldt-jakob ditandai dengan gejala kemerosotan mental yang

cepat, biasanya dalam beberapa bulan. Tanda dan gejala utama CJD biasanya

antara lain:

1. Perubahan keperibadian (perilaku yang tidak biasa atau aneh adalah

perilaku yang tidak ssesuai dengan keadaan).

2. Gelisah (perasaan tidak tenang dan selalu merasa khawatir

( berhubungan dengan suasana hati).

3. Depresi (sekelompok kondisi yang terkait dengan peningkatan atau

penurunan suasana hati seseorang, seperti depresi atau gangguan

bipolar).

4. Hilang ingatan

5. Penurunan daya pikir (kondisi ini berdampak pada gaya hidup,

kemampuan bersosialisasi, hingga aktivitas sehari-hari penderitaanya).

6. Pandangan kabur ( adalah hilangnya ketajaman penglihatan dan

ketidakmampuan untuk melihat suatu benda secara mendetail).

7. Insomnia

8. Sulit berbicara

9. Sulit menelan
10. Pergerakan tubuh yang tiba-tiba dan tidak terkendali

11. Penurunan berat badan

12. Anoreksia ( pucat)

13. Malaise (kelelahan)

d. PATOFISIOLOGI

Penyakit ini bisa bermutasi ke individu lain yang diamana bakteri infeksius yang

terdapa pada bakteri ini yakni adanya gen infeksius yang dapat berkembang

sehingga dapat terjadi penyebaran dari manusia ke manusia melalui transflantasi

jaringan dari seorang penderita CJD. Yang jika menyebar akan Disebabkan oleh

infeksi prion sebuah protein yang tidak normal yang bisa merusak jaringan

sistem saraf pada manusia.

e. KOMPLIKASI

Depresi

Kerusakan pada integumen

Penyediaan devisit nutrisi

f. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Melakukan pemeriksaan fisik, meliputi refleks dan koordinasi anggota

tubuh pasien
2. Pemeriksaan jaringan otak setelah pasien meninggal dunia. Namun,

beberapa pemeriksaan penunjang di bawah ini

1) MRI diare otak, untuk mendapatkan gambar detail kondisi otak

pasien.

2) Elektroensefalografi (EEG), untuk mendeteksi aktivitas listrik

otak pasien.

3) Pemeriksaan cairan spinal. Dengan psosedur yang disebut

sebagai fungsi lumba, cairan spinal untuk dievaluasi lebih lanjut.

g. PENATALAKSANAAN

Penyakit ini tidak dapat disembuhkan, dan progresifitasnya tidak dapat

diperlambat. Bisa diberikan obat-obatan untuk mengendalikan perilaku yang

afresif ( misalnya obat penenang, anti-psikosa) namun tidak menunjukkan

manfaat yang berarti.

Oleh sebab itu, para pakar menaruh fokus penanganan untuk menghilangkan

rasa nyeri serta gejala lainnya. Tujuannya adalah untuk menjaga kenyamanan

dari individu yang mengalami penyakit ini.


DAFTAR PUSTAKA

Black, Joyce M, dan Jane Hokanson Hawks. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi

8. Penerjemah : Joko Mulyanto, Nurhuda Hendra Setiyawan, Kusrini S.Kadar, Sari

Kurnianingsih. Penerbit : Elseiver (Singapura)

https://id.m.wikipedia.org/wiki/penyakit_creutzfeldt-Jacob. Diakses 14 Mei 2020

https://doktersehat.co/penyakit- creutzfeldt-Jacob-sapi-gila/amp. Diakses 14 Mei 2020

https://www.klikdokter.com/penyakit/penyakit-sapi-gila. Diakses 14 Mei 2020


Aenul Muayyana

PARANEOPLASTIC NEOROLOGIC SYNDROMES (PNS)

OLEH

Nama : Aenul Muayyana

Nim : A. 18.10.007

Kelas :A

STIKES PANRIA HUSADA BULUKUMBA

PRODI SI KEPERAWTAN

2020
Konsep Medis Penyakit

(AUTISME)

OLEH:

NAMA : AHYAR KHALID

NIM : A18 10 08

KELAS : A KEPERAWATAN

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


DEFINISI

Autisme adalah gangguan perkembangan otak yang memengaruhi kemampuan

penderita dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Di samping itu,

autisme juga menyebabkan gangguan perilaku dan membatasi minat penderitanya.

Autisme sekarang disebut sebagai gangguan spektrum autisme atau autism spectrum

disorder (ASD). Hal ini karena gejala dan tingkat keparahannya bervariasi pada tiap

penderita. Gangguan yang termasuk dalam ASD adalah sindrom Asperger, gangguan

perkembangan pervasif (PPD-NOS), gangguan autistik, dan childhood disintegrative

disorder.

PATOFISIOLOGI

Pengaruh Faktor Genetik

Mekanisme pengaruh faktor genetik terhadap kejadian autism spectrum disorder masih

belum diketahui dengan pasti walaupun kedua hal tersebut telah lama dipelajari dan

diketahui saling berkaitan. Anak-anak dengan saudara kandung yang mengalami

autisme memiliki risiko autisme yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum.

Kendati ASD memiliki spektrum fenotip penyakit yang luas, pasien ASD dengan

karakteristik genetik yang homogen biasanya memiliki fenotip yang lebih mirip. Selain

itu, terdapat sejumlah mutasi genetik baru yang menyebabkan kelainan alel pada

individu dengan ASD atau orang tuanya yang mempengaruhi neuroanatomi dan

karakteristik perilaku.
Mutasi gen tersebut diduga mempengaruhi fungsi sinaps melalui berbagai cara. Hal ini

mencakup gangguan pada penggabungan asam amino menjadi protein dan perubahan

struktur protein transmembran yang penting bagi sinaptogenesis serta kelainan genetik

pada transduksi sinyal yang terlibat dalam pembentukan sinaps.

Faktor genetik turut diduga berperan pada kecenderungan ASD untuk lebih sering

terjadi pada anak laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini mungkin berkaitan dengan

sejumlah mekanisme epigenetik seperti pengaruh gen Y, inaktivasi gen X, serta

keberadaan gen alel dari orang tua asal. Interaksi antara perbedaan jenis kelamin

terhadap faktor hormonal dan faktor lingkungan seperti pola makan, stres, dan infeksi

berpotensi menginisiasi perjalanan penyakit ASD sejak usia dini.

Gangguan Neurogenesis dan Migrasi Neuron pada Gangguan Spektrum Autisme

Telah banyak bukti yang mendukung adanya peran gangguan neurogenesis dan migrasi

neuron pada autism spectrum disorder. Pada pasien ASD, ukuran serebrum mungkin

saja normal saat lahir namun seiring perjalanan waktu terjadi pertumbuhan abnormal

neuron yang dilanjutkan dengan periode penurunan pertumbuhan dibandingkan individu

normal. Peningkatan jumlah neuron terutama di korteks prefrontal mengisyaratkan

bahwa neurogenesis berlebihan mungkin berperan terhadap peningkatan ukuran

serebrum dan makrosefali pada ASD. Kurangnya suplai oksigen ke fetus semasa

kehamilan dapat mengakibatkan gangguan pada perkembangan neuron.


Korteks prefrontal bukan satu-satunya regio di otak yang terpengaruh akibat gangguan

neurogenesis pada ASD. Displasia serebrum dapat menjangkiti berbagai area di otak

yang mengisyaratkan adanya disregulasi neurogenesis dan maturasi atau migrasi

neuronal. Secara khusus, disregulasi neurogenesis ini biasanya melibatkan peningkatan

populasi neuron proyeksi kortikal tanpa disertai gangguan bermakna pada sel glia. Hal

ini juga dibuktikan oleh penelitian lain yang menemukan bahwa pada substansia alba di

serebrum individu dengan ASD tidak terdapat peningkatan bermakna walaupun telah

terjadi makrosefali.

Kaitan klinis antara makrosefali pada ASD dengan fenotip penyakit ASD masih belum

diketahui dengan pasti. Beberapa penelitian menemukan bahwa makrosefali dapat

berkaitan dengan peningkatan fungsi kognitif pada individu dengan ASD dibandingkan

kelompok kontrol. Namun, pengaruh peningkatan lingkar kepala pada pasien dengan

ASD terhadap kemampuan khusus pada populasi ini masih belum dapat dipastikan

dengan tegas.

Beragam penelitian juga menemukan bahwa defek migrasi neuron juga terjadi pada

pasien dengan ASD. Defek tersebut meliputi perubahan densitas neuron, ukuran soma,

kolom sel yang ireguler, serta gangguan lokalisasi neuron. [19,20] Pada level molekuler,

gangguan migrasi neuron ini diketahui berkaitan dengan sejumlah gen yang mengatur

produksi reelin (glikoprotein regulator pada migrasi neuron), mutasi pada gen Auts2,

dan CNTNAP2.
Perubahan Pola Pertumbuhan Neurit dan Taju Dendritik pada Gangguan

Spektrum Autisme

Perubahan pola pertumbuhan neurit dan taju dendritik dalam perjalanan penyakit autism

spectrum disorder telah banyak dipelajari. Peran neuron sebagai suatu sel yang

menjalankan fungsi spesifik tak dapat dilepaskan dari integritas fungsi soma yang

mengandung nukleus, prosesus aksonal yang menyalurkan informasi, dan kompleks

punjung dendritik yang menerima informasi dari akson dari neuron di sekitarnya.

Gangguan konektivitas neuronsatu defek utama yang ditemukan pada pasien dengan

ASD dan dapat dipengaruhi oleh perubahan pada perkembangan dendritik, morfologi

taju dendritik, dan fungsi sinaps.

Gangguan perkembangan dendritik, khususnya arborisasi dendrit yang berlebihan dan

berkurangnya pemendekan dendrit, diduga berperan pada kejadian makrosefali. Pada

perjalanan penyakit ASD tahap neurogenesis, peningkatan neuron intrauterin mungkin

berkaitan dengan peningkatan potensi makrosefali. Namun, pada mayoritas pasien

dengan ASD, volume otak saat usia bayi umumnya masih normal yang menandakan

bahwa terdapat mekanisme lain yang berperan terhadap kejadian makrosefali.

Pertumbuhan volume otak pasca kelahiran, sebagaimana terjadi pada ASD, diduga lebih

disebabkan oleh pertumbuhan dendritik aberans seiring dengan peningkatan arborisasi

dendritik dan penambahan hubungan sinaptik yang baru di otak. Hal ini dapat

berlangsung hingga seseorang berusia 5 tahun.


Di sisi lain, perubahan pada taju dendritik juga diketahui berpengaruh terhadap kejadian

ASD. Pada individu dengan ASD, analisis postmortem menunjukkan adanya

peningkatan densitas taju dendritik dibandingkan individu normal [24]. Berbagai gen

seperti MECP2, FMR1, PTEN, dan CYFIP1 sangat penting perannya dalam

pertumbuhan dendritik dan formasi taju dendritik serta maturasi sinaps sehingga

dianggap sebagai gen-gen yang berisiko tinggi terhadap autisme apabila mengalami

mutasi.

ETIOLOGI

Hingga kini belum ditemukan suatu etiologi spesifik terhadap autism spectrum disorder

(ASD), disebut juga sebagai gangguan spektrum autisme. Namun, studi menemukan

adanya hubungan faktor genetik dan neurobiologis berupa 15 gen yang berkaitan

dengan ASD.

Peran faktor genetik sebagai penyebab ASD didukung oleh adanya bukti bahwa ASD

bersifat herediter pada 80% kasus meskipun tidak dapat dipastikan secara tegas apakah

pola turunannya bersifat autosomal dominan atau resesif. [28,29] Pada sekitar 10-15%

kasus, ASD berkaitan dengan sejumlah sindrom yang melibatkan satu gen seperti

sindrom Phelan-McDermid, sindrom Rett, sindrom X rapuh, dan sklerosis tuberosa.

Pada mayoritas kasus ASD, perubahan genetik biasanya bersifat poligenik dan

melibatkan polimorfisme nukleotida tunggal (single nucleotide polymorphism/SNP).

Selain itu, pola perubahan genetik yang mungkin didapati pada kasus ASD meliputi
mutasi fungsional monogenik, varian jumlah salinan (misalnya, mikrodelesi atau

mikroduplikasi) yang melibatkan lebih dari satu gen. [30] Titik-titik pada kromosom

yang terlibat dalam kejadian ASD antara lain delesi SHANK3, 1q21, 3q29, 7q11.23,

15q12, 15q13, 16p11, 17q12, dan Xq.

Faktor Risiko

Sejumlah faktor risiko prenatal, perinatal, dan neonatal dianggap berkaitan dengan

autism spectrum disorder dan perlu dikaji saat mengevaluasi pasien yang dicurigai

dengan ASD. Faktor risiko tersebut antara lain :

 Riwayat prematuritas

 Kejadian hipoksia perinatal

 Infeksi maternal prenatal maupun perinatal (toxoplasma, rubella,

cytomegalovirus, dan infeksi lainnya / TORCH)

 Hipertensi dalam kehamilan

 Defisiensi vitamin D maternal

 Paparan logam berat (misalnya merkuri dan timbal)

 Paparan valproat pada masa kehamilan

 Obesitas maternal

 Memiliki riwayat berat lahir sangat rendah (<1500 gram) [5,32-35]


Riwayat penggunaan antidepresan golongan SSRI (selective serotonin reuptake

inhibitor) seperti fluoxetine sebelum maupun selama kehamilan telah diteliti pada

beberapa studi namun hubungan kausalitas dengan ASD masih belum dapat dipastikan.

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada penderita autisme

a. mengalami kesulitan untuk menjalin pergaulan yang rapat

b. sangat kurang menggunakan bahasa

c. Sangat lemah kemampuan berkomunikasi

d. tidak peduli dengan lingkungan sosialnya

e. tidak bisa bereaksi normal dalam pergaulan sosialnya

f. perkembangan bicara dan bahasa tidak normal (penyakit kelainan pada anak 7

autistim hildren)

g. reaksi pengamatan terhadap lingkungan terbatas atau berulang-ulang dan tidak padan.

gejala ini bervariasi beratnya pada setiap kasus tergantung pada

umur,intelegensia,pengaruh pengobatan,dan beberapa kebiasaan pribadinya. ada

pemeriksaan status mental, ditemukan kurangnya orientasi lingkungan,rendahnya

tingkatan meskipun terhadap kejadian yang baru, demikian juga kepedulian terhadap

lingkungan sekitar sangat kurang. Anak autisme kalau berbicara tepat tetapi tanpa

arti,kadang diselingi suara yang tidak jelas maksudnya seperti suara gemeretak gigi.

DIAGNOSIS
Penentuan diagnosis autisme adalah dengan merujuk pada sejumlah kriteria berikut:

1. Kurangnya komunikasi dan interaksi sosial dalam berbagai konteks, yang ditandai

dengan beberapa ciri berikut:

 Kurangnya respons sosial dan emosional.

 Kurangnya bahasa tubuh dalam interaksi sosial.

 Kurangnya kemampuan membangun dan mempertahankan hubungan sosial.

2. Pola perilaku, aktivitas, atau ketertarikan yang berulang dan terbatas, ditandai oleh

sebagai berikut:

 Melakukan aktivitas secara berulang, mencakup gerakan atau ucapan.

 Perilaku atau ucapan yang memperlihatkan rutinitas yang sama.

 Fokus dan ketertarikan yang abnormal pada sesuatu.

 Reaksi yang berlebihan atau sebaliknya, kurangnya reaksi pada aspek sensorik

terhadap lingkungan.

3. Gejala muncul pada periode perkembangan awal, dan makin terlihat jelas seiring

waktu.

4. Gejala menyebabkan penderita autisme mengalami gangguan pada lingkungan kerja,

sosial, dan lingkup kehidupan lainnya.


5. Gejala yang dialami tidak dapat dijelaskan dengan gangguan perkembangan atau

kecacatan.

Pemeriksaan penunjang

a. Skrining perkembangan

b. penilaian perilaku

c. penilaian fisik

d. tes laboratorium

PENGOBATAN

Beberapa metode terapi bagi penderita autisme adalah:

Terapi perilaku dan komunikasi.

Terapi ini memberikan sejumlah pengajaran pada penderita, mencakup kemampuan

dasar sehari-hari, baik verbal maupun nonverbal, meliputi:

 Applied behaviour analysis (ABA). Terapi Analisis Perilaku Terapan membantu

penderita berperilaku positif pada segala situasi. Terapi ini juga membantu

penderita mengembangkan kemampuannya dalam berkomunikasi dan

meninggalkan perilaku negatif.


 Developmental, individual differences, relationship-based approach (DIR).

DIR atau biasa disebut Floortime, berfokus pada pengembangan hubungan

emosional antara anak autis dan keluarga.

 Occupational therapy. Terapi okupasi mendorong penderita untuk hidup

mandiri, dengan mengajarkan beberapa kemampuan dasar, seperti berpakaian,

makan, mandi, dan berinteraksi dengan orang lain.

 Speech therapy. Terapi wicara membantu penderita autis untuk belajar

mengembangkan kemampuan berkomunikasi.

 Treatment and education of autistic and related communication-handicapped

children (TEACCH). Terapi ini menggunakan petunjuk visual seperti gambar

yang menunjukkan tahapan melakukan sesuatu. TEACCH akan membantu

penderita memahami bagaimana melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya untuk

berganti pakaian.

 The picture exchange communication system (PECS). Terapi ini juga

menggunakan petunjuk visual seperti TEACCH. Namun PECS menggunakan

simbol, untuk membantu penderita berkomunikasi dan belajar mengajukan

pertanyaan.

Terapi keluarga

Terapi keluarga berfokus membantu orang tua dan keluarga penderita autism Melalui

terapi ini, keluarga akan belajar cara berinteraksi dengan penderita, dan mengajarkan

penderita berbicara dan berperilaku normal.


Obat-obatan.

Walau tidak bisa menyembuhkan autisme, obat-obatan dapat diberikan guna

mengendalikan gejala. Contohnya, obat antipsikotik untuk mengatasi masalah perilaku,

obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang, antidepresan untuk meredakan depresi, dan

melatonin untuk mengatasi gangguan tidur.


DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/doc/314568351/ASUHAN-KEPERAWATAN-PADA-ANAK-

AUTIS-doc
SISTEM SARAF

“Spinal Cord Injury”

OLEH :

Albar Amal

A.18.10.009

Keperawatan A

Prodi S1 Keperawatan

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

Tahun Akademik 2020


SPINAL CORD INJURY

1. Definisi Spinal Cord Injury

Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla spinalis akibat

trauma atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan pada sistem motorik,

sistem sensorik dan vegetatif. Kelainan motorik yang timbul berupa kelumpuhan

atau gangguan gerak dan fungsi otot-otot, gangguan sensorik berupa hilangnya

sensasi pada area tertentu sesuai dengan area yang dipersyarafi oleh level vertebra

yang terkena, serta gangguan sistem vegetatif berupa gangguan pada fungsi bladder,

bowel dan juga adanya gangguan fungsi seksual.

2. Etiologi Spinal Cord Injury

Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:

a. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti

yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan,

merusak medula spinalis. Sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan

beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American

Board of Physical Medicine and Rehabilitation Examination Outline for Spinal

Cord Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur,

dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra.

b. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti

penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis,


atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh

gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup

penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan

inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik

dan gangguan kongenital dan perkembangan.

3. Patofisiologi Spinal Cord Injury

Patofisiologi yang mendasari cedera medula spinalis penting untuk dipahami,

sehingga dapat segera dilakukan intervensi farmakologi yang tepat dengan tujuan

untuk mengurangi atau mencegah efek dari cedera sekunder.

Pada skema (Gambar), menggambarkan kombinasi dari berbagai macam tipe

cedera medula spinalis. Banyak sel di medula spinalis mati seketika secara progresif

setelah terjadinya cedera. Kista biasanya terbentuk setelah cedera memar. Setelah

mengalami luka tusuk, sel dari sistem saraf perifer seringkali menyebabkan daerah

yang terkena tusuk membentuk jaringan parut yang bergabung bersama astrosit, sel

progenitor, dan mikroglia.

Akson asending dan desending banyak yang terganggu dan gagal memperbaiki

diri. Beberapa akson membentuk sirkuit baru, akson dapat menembus kedalam

trabekula dan dibentuk oleh sel ependim. Segmen akson bermielin yang terputus

difagosit oleh makrofag. Sebagian remielinasi muncul spontan, yang terbanyak dari

sel schwan.

Pada umumnya, cedera medula spinalis disertai kompresi dan angulasi vertebra

yang parah, misalnya terjadinya hipotensi yang parah akibat infark dari medula atau
distraksi aksial dari unsur kolumna vertebralis akan mengakibatkan tarikan (stretch)

pada medula. Biasanya cedera medula spinalis disertai subluksasi dengan atau

tanpa rotasi dari vertebra yang menekan medula diantara tulang yang dislokasi.

Kompresi aksial tulang belakang jarang menyebabkan kerusakan atau pendesakan

pada vertebra, dan tulang lain atau fragmen diskus intervertebralis dapat menekan

ke dalam kanalis spinalis dan menjepit medula dan arteri spinalis. Cedera seringkali

terjadi pada orang tua dengan artritis degeneratif dan stenosis vertebra servikalis,

termasuk hiperekstensi leher disertai ligantum flavum yang terletak di kanalis

vertebra posterior dari medula. Medula spinalis terjepit diantara spurs (osteofit)

anterior dari tulang yang mengalami artritis dan posterior dari ligamentum flavum,

sehingga menyebabkan cedera yang dikenal dengan sebutan sindroma medula

sentral.

Patofisiologi terjadinya cedera medula spinalis meliputi mekanisme cedera

primer dan sekunder. Terdapat empat mekanisme cedera primer pada medula

spinalis, pertama adalah dampak cedera disertai kompresi persisten, pada umumnya

terjadi akibat fragmen tulang yang menyebabkan kompresi pada spinal, fraktur

dislokasi, dan ruptur diskus akut. Kedua, Dampak cedera disertai kompresi

sementara, dapat terjadi misalnya pada seseorang dengan penyakit degeneratif

tulang cervikal yang mengalami cedera hiperekstensi. Ketiga adalah distraksi,

terjadi jika kolumna spinalis teregang berlebihan pada bidang aksial akibat distraksi

yang dihasilkan dari gerakan fleksi, ekstensi, rotasi atau adanya dislokasi yang

menyebabkan pergeseran atau peregangan dari medula spinalis dan atau asupan
darahnya. Biasanya mekanisme seperti ini tanpa disertai kelainan radiologis dan

pada umumnya terjadi pada anak-anak dimana vertebranya masih terdiri dari tulang

rawan, ototnya masih belum berkembang sempurna, dan ligamennya masih lemah.

Pada orang dewasa, cedera medula spinalis tanpa disertai kelainan radiologis

umumnya terjadi pada seseorang dengan penyakit degeneratif tulang belakang.

Keempat yaitu laserasi atau transeksi, dapat terjadi akibat luka tembak, dislokasi

fragmen tulang tajam, atau distraksi yang parah. Laserasi dapat terjadi mulai dari

cedera yang ringan sampai transeksi lengkap.

Cedera primer yang terjadi cenderung merusak pusat substansia grisea dan

sebagian mengenai substansia alba. Hal tersebut terjadi karena, konsistensi

substansia grisea lebih lunak dan banyak vaskularisasi. Pada cedera primer, tahap

awal akan terjadi perdarahan pada medula spinalis dilanjutkan dengan

terganggunya aliran darah medula spinalis menyebabkan hipoksi dan iskemia

sehingga terjadi infark lokal. Hal ini menyebabkan substansia grisea rusak.

Kerusakan terutama pada gray matter (substansia grisea) karena kebutuhan

metaboliknya yang tinggi. Saraf yang mengalami trauma secara fisik terganggu dan

ketebalan myelinnya berkurang. Perdarahan mikro (mikrohemorrages) atau edema

di sekitar saraf yang mengalami cedera, dapat menyebabkan saraf tersebut semakin

terganggu. Hal tersebut yang mendasari pemikiran bahwa substansia grisea

mengalami kerusakan yang ireversibel selama satu jam pertama, sedangkan

substansia alba mengalami kerusakan selama 72 jam setelah cedera.


Segera setelah terjadi cedera medula spinalis, fungsi disertai perubahan patologis

akan hilang secara sementara. Pada permulaan terjadinya cedera memicu timbulnya

kaskade yang terdiri dari akumulasi produksi asam amino, neurotransmiter,

eikosanoid vasoaktif, radikal bebas oksigen, dan produk dari peroksidasi lipid.

Program jalur kematian sel juga teraktivasi. Terjadi kehilangan darah dari barier

medula akibat edema dan peningkatan tekanan jaringan. Selama berlangsungnya

perdarahan pada medula, maka suplai darah menjadi terbatas, sehingga

menyebabkan iskemia yang mengakibatkan kerusakan medula lebih lanjut sehingga

timbul cedera sekunder. Cedera sekunder meliputi syok neurogenik, gangguan

vaskular seperti perdarahan dan reperfusi-iskemia, eksitotoksisitas, cedera primer

yang dimediasi kalsium dan gangguan cairan elektrolit, trauma imunologik,

apoptosis, gangguan fungsi mitokondria, dan proses lainnya.

4. Gejala Cedera Spinal Cord Injury

Terdapat 2 jenis gejala yang dapat muncul pada penderita cedera saraf tulang

belakang berdasarkan tingkat keparahannya, yakni gejala menyeluruh (complete)

dan gejala tidak menyeluruh atau lokal (incomplete). Ketika cedera saraf tulang

belakang menyebabkan hilangnya semua kemampuan sensorik dan pengendalian

gerakan, kondisi ini disebut gejala yang menyeluruh. Namun, ketika cedera saraf
yang terjadi hanya mengganggu beberapa kemampuan sensorik dan pengendalian

gerakan, kondisi itu disebut gejala tidak menyeluruh.

Kemudian, gejala hilangnya kemampuan sensorik dan pengendalian gerak akibat

cedera pada saraf tulang belakang dibagi lagi ke dalam 3 kategori:

a. Tetraplegia atau quadriplegia, yaitu kelumpuhan terjadi pada kedua lengan dan

kedua tungkai. Kelumpuhan ini juga dapat mengenai otot dada sehingga

mengakibatkan pasien kesulitan bernapas dan membutuhan alat bantu napas.

b. Paraplegia, yaitu kelumpuhan yang dapat terjadi pada setengah tubuh bagian

bawah (kedua tungkai).

c. Triplegia, yaitu kelumpuhan yang dapat terjadi pada kedua tungkai dan salah

satu lengan.

Pada dasarnya gejala yang muncul akibat cedera saraf tulang belakang dapat

berbeda-beda pada tiap orang, tergantung letak cedera dan keparahan kondisi yang

diderita. Beberapa gejala yang umum muncul pada penderita cedera saraf tulang

belakang adalah:

a. Kehilangan kemampuan mengendalikan gerak.

b. Mengalami impotensi

c. Sakit kepala.

d. Kehilangan kendali pada proses buang air kecil atau besar.

e. Mengalami gangguan pernapasan.

f. Batuk.
g. Pingsan.

h. Posisi kepala yang tidak normal.

i. Terdapat bagian tubuh yang terasa sakit atau nyeri.

j. Kehilangan indera peraba atau sensorik, seperti tidak bisa merasakan panas,

dingin, atau sentuhan.

5. Komplikasi Spinal Cord Injury

Komplikasi yang dapat terjadi akibat cedera saraf tulang belakang meliputi:

a. Gangguan buang air besar

b. Gangguan buang air kecil dan infeksi saluran kemih

c. Pneumonia atau infeksi paru

d. Penggumpalan darah

e. Otot yang tegang

f. Nyeri yang tak kunjung hilang

6. Pencegahan Spinal Cord Injury

Umumnya, cedera saraf tulang belakang terjadi karena kecelakaan. Maka dari

itu, pencegahan yang dapat dilakukan adalah:

a. Berkendara dengan aman dan patuhi rambu lalu lintas yang ada.

b. Gunakan perlengkapan keselamatan selama berkendara atau berolahraga.


c. Saat melakukan aktivitas luar ruangan, seperti menyelam (diving) atau panjat

tebing, konsultasikan risiko dan cara meminimalkannya dengan instruktur yang

berpengalaman.

d. Berhati-hati dalam beraktivitas dengan memperhatikan keadaan sekeliling,

terutama saat di kamar mandi.

Jika melihat seseorang mengalami kecelakaan dan berpotensi menderita cedera

saraf tulang belakang, berikut adalah hal-hal yang perlu Anda lakukan:

a. Hindari menggerakan tubuhnya, karena dapat memperburuk kondisi.

b. Segera hubungi rumah sakit.

c. Letakkan handuk atau kain tebal di kedua sisi leher, agar lehernya tidak

bergerak. Apabila masih sadar, beri tahu korban untuk tidak bergerak.

d. Lakukan pertolongan pertama, misalnya menghentikan perdarahan yang terjadi

dengan membalut dan menekan luka menggunakan kain bersih.

7. Tata Laksana Spinal Cord Injury

Cedera pada tulang dan saraf spinalis sering terjadi bersamaan sehingga terapi

keduanya juga harus bersamaan untuk memperoleh hasil yang terbaik. Transeksi

anatomikal dari medula spinalis hampir tidak pernah terjadi pada cedera medula

spinalis pada manusia. Oleh karena itu, penting sekali untuk melindungi jaringan

spinal yang masih bertahan. Pertama, didapatkan riwayat cedera. Kedua, dilakukan
perawatan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut (cedera sekunder) dan mendeteksi

fungsi neurologik yang memburuk sehingga dapat dilakukan tindakan koreksi.

Ketiga, pasien dirawat hingga kondisi optimal supaya memungkinkan dilakukan

perbaikan dan penyembuhan sistem saraf. Keempat, evaluasi dan rehabilitasi pasien

harus dilakukan secara aktif untuk memaksimalkan fungsi yang masih bertahan

meskipun jaringan saraf tidak berfungsi. Prinsip tersebut harus disertai dengan

meminimalisir biaya secara ekonomi, sosial dan dan emosional dari cedera medula

spinalis.

a. Steroid Dosis Spinal

Menurut National Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS-2) dan

NASCIS-3, pasien dewasa dengan akut, nonpenetrating cedera medula spinalis

dapat diterapi dengan metilprednisolon segera saat diketahui mengalami cedera

medula spinalis. Pasien diberikan metilprednisolon 30 mg/kgBB secara IV

dalam 8 jam, dan terutama dalam 3 jam setelah cedera, dilanjutkan dengan infus

metilprednisolon 5,4 mg/kgBB tiap 45 menit setelah pemberian pertama. Jika

pasien mendapatkan bolus metilprednisolon antara 3-8 jam setelah cedera, maka

seharusnya pasien tersebut menerima infus metilprednisolon selama 48 jam

sedangkan jika pemberian metilprednisolon dalam 3 jam setelah cedera, maka

pemberian infus prednisolon diberikan selama 24 jam. Penelitian menunjukkan

akan terjadi pemulihan motorik dan sensorik dalam 6 minggu, 6 bulan dan 1

tahun pada pasien yang menerima metilprednisolon. Akan tetapi, penggunaan


kortikosteroid belum jelas kesepakatannya. Steroid dosis spinal juga kontra

indikasi untuk pasien dengan luka tembak atau cedera radiks dorsalis (kauda

ekuina), atau hamil, kurang dari 14 tahun, atau dalam pengobatan steroid jangka

panjang, serta hipotermi (salah satu gejala yang timbul pada cedera medula

spinalis).

Bila terjadi spastisitas otot, berikan: Diazepam 3x5/ 10 Mg/Hari, Baklopen

3x5 Mg hingga 3x 20 Mg sehari. Spasmolitik otot atau relaksan secara

tradisional digunakan untuk mengobati gangguan muskuloskeletal yang

menyakitkan. Efek samping sedasi dan pusing yang umum terjadi.

Bila ada rasa nyeri bisa diberikan: Analgetika golongan NSAIDs (anti

inflamasi). Uji klinis menunjukan analgetik ini berguna sebagai pengobatan

untuk nyeri, namun penggunaan jangka panjang harus dihindari karena sering

terjadi efek samping yang merugikan pada fungsi ginjal dan gastrointestinal.

Antidepresan trisiklik: digunakan dalam pengobatan nyeri kronik untuk

mengurangi insomnia, dan juga mengurangi sakit kepala.

b. Alat Ortotik

Alat ortotik eksternal yang rigid (kaku), dapat menstabilisasi spinal dengan

cara mengurangi range of motion (ROM) dan meminimalkan beban pada spinal.

Pada umumnya penggunaan cervical collars (colar brace) tidak adekuat untuk

C1, C2 atau servikotorak yang instabil. Cervicothoracic orthoses brace diatas


torak dan leher, meningkatkan stabilisasi daerah servikotorak. Minerva braces

meningkatkan stabilisasi servikal pada daerah diatas torak hingga dagu dan

oksiput. Pemasangan alat yang disebut halo-vest paling banyak memberikan

stabilisasi servikal eksternal. Empat buah pin di pasangkan pada skul (tengkorak

kepala) untuk mengunci halo ring. Stabilisasi lumbal juga dapat digunakan

sebagai torakolumbal ortose.

Fiksasi skeletal dengan Gardner-Wells tongs atau halo traction dapat

dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau halter traction dapat digunakan

sementara. Thoraciter tractions anhald lumbar fractures dilakukan dengan

mempertahankan pasien pada posisi netral, log rol diperlukan untuk

penatalaksanaan dalam merawat kulit dan pulmonary.

c. Operasi

Intervensi operasi dalam hal ini memiliki dua tujuan, yang pertama adalah

untuk dekompresi medula spinalis atau radiks dorsalis pada pasien dengan

defisit neurologis inkomplit. Kedua, untuk stabilisasi cedera yang terlalu tidak

stabil untuk yang hanya dilakukan eksternal mobilisasi. Fiksasi terbuka (open

fixation) dibutuhkan untuk pasien trauma spinal dengan defisit neurologis

komplit tanpa sedikitpun tanda pemulihan, atau pada pasien yang mengalami

cedera tulang atau ligament spinal tanpa defisit neurologis. Operasi stabilisasi

dapat disertai mobilisasi dini, perawatan, dan terapi fisik. Indikasi lain operasi

yaitu adanya benda asing atau tulang di kanalis spinalis disertai dengan defisit
neurologis yang progresif sehingga menyebabkan terjadinya epidural spinal atau

subdural hematoma. Penatalaksanaan vertebra yang tidak stabil meliputi, spinal

fusion menggunakan metal plates, rods, dan screws dikombinasi dengan bone

fusion.

d. Perawatan Berkelanjutan

Sangat penting untuk melakukan pencegahan dan perawatan dari thrombosis

vena dalam, hiperfleksi autonomik dan pembentukan ulkus dekubitus.14 Banyak

pasien dengan cedera medula servikal atau torak tinggi membutuhkan bantuan

ventilasi sampai dinding dada cukup kuat untuk bernafas. Pasien dengan cedera

medula spinalis biasanya bernafas dengan menggunakan diafragma. Jika terjadi

ileus paralitik disertai distensi abdomen atau pasien tampak lemah maka

ventilasi akan memburuk. Pasien akan mengalami hipoksik, sehingga perlu

diberikan intubasi atau ventilasi mekanik.10 Pasien dengan cedera medula

servikal tinggi (diatas C4) seringkali membutuhkan bantuan ventilasi permanen.

Akibat hilangnya jalur simpatik medula spinalis, tekanan darah menjadi

rendah dan menyebabkan cedera sekunder. Tekanan darah arteri rata-rata 85-90

mmHg harus dipertahankan selama 7 hari pertama setelah terjadinya cedera

medula spinalis untuk meningkatkan perfusi pada medula yang cedera. Jika

produksi urin tidak adekuat setelah pemasangan kateter, pasien dengan hipotensi

sedang akan merespon terhadap pemberian konstriktor seperti efedrin, akan

tetapi hal tersebut hanya boleh diberikan setelah dipastikan tidak ada perdarahan

pada rongga dada atau abdomen.


DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/37162512/PAPER_SPINAL_CORD_INJURY_Disusun_ole

https://www.alodokter.com/cedera-saraf-tulang-belakang
Ana Jihad Islamiyah

KONSEP MEDIS

”PENYAKIT NEURITIS OPTIK”

OLEH:

ANA JIHAD ISLAMIYAH

NIM:A.18.10.010

KELAS A S1 KEPERAWATAN

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

TAHUN AJARAN 2019/2020


A.Pengertian Neuritis Optik

Neuritis optik merupakan gangguan penglihatan yang disebabkan oleh inflamasi

dan demyelinisasi pada nervus optik akibat reaksi autoimun. Pada neuritis optikus,

serabut saraf menjadi bengkak dan tak berfungsi sebagaimana mestinya. Penglihatan

dapat saja normal atau berkurang, tergantung pada jumlah saraf yang mengalami

peradangan.Neuritis optik juga merupakan kondisi mata ketika lapisan mielin pada saraf

optic meradang,jika terjadi gangguan atau mielin tidak ada sinyal visual tidak dapat

terkirim dengan baik menuju otak.Akibatnya pengidap akan mengalami gangguan pada

penglihatnaya,seperti pandangan kabur atau buram.

Neuritis optik bisa terjadi pada siapa saja,baik pada anak-anak maupun orang

dewasa ,namun kelainan ini paling sering ditemukan pada wanita usia antara 20 tahun

40 tahun.

Neuritis optik terdiri atas tiga jenis, yaitu:

1. Retrobulbar neuritis : menunjukan kepada lesi saraf akut dan tidak ditemukan

adanya gambaran fundus yang abnormal.

2. Papilitis : mengarah kepada lesi anterior dimana diskus menjadi membengkak

dan hiperemis.

3. Neurorenitinitis : memiliki konotasi yang sama dengan papilitis tetapi ditujukan

kepada suatu proses yang lebih lanjut menuju daerah dekat retina dan uvea.

B. Etiologi

1. Makanan yang tidak sehat.


2. Virus yang menyerang saraf.

3. Kecelakaan sehingga mengakibatkan benturan atau luka yang cukup dalam

sehingga menyebabkan adanya gangguan pada syaraf

C. Patofisiologi

Demylination dan gliokis (bekas luka). Keadaan neuropatologis yang

utama adalah reaksi inflamatori, mediasi imune, demyelinating proses. Yang

beberapa percaya bahwa inilah yang mungkin mendorong virus secara genetik

mudah diterima individu. Diaktifkannya sel T merespon pada lingkungan, (ex:

infeksi).Tsel ini dalan hubunganya dengan astrosit,merusak barier darah otak,

karena itu memudahkan masuknya mediator imun.

Hingga saat ini reaksi autoimun merupakan teori yang masih dipegang

dalam patofisiologi neuritis optik. Dalam reaksi ini myelin nervus optikus mengalami

destruksi sehingga akson hanya dapat memberikan impuls listrik dalam jumlah yang

sangat kecil. Bila keadaan ini terus menerus terjadi, maka sel ganglion retina akan

mengalami kerusakan ireversibel. Setelah destruksi myelin berlangsung, axon dari

sel ganglion retina akan mulai berdegenerasi. Monosit melokalisir daerah tersebut

diikuti oleh makrofag untuk memfagosit myelin. Antrosit kemudian berpoliferasi

dengan diikuti oleh makrofag untuk memfagosit myelin. Antrosit kemudian

berfoliferasi dengan diikuti deposisi jaringan sel glia. Daerah gliotik (sklerotik) dapat

bertambah jumlahnya dan meluas ke otak dan medulla spinalis (multiple sklerosis).
Inflamasi pada endotel pembuluh darah retina dapat

mendahuluidemielinisasi dan terkadang terlihat sebagai retinal vein sheathing.

Kehilangan mielin dapat melebihi hilangnya akson.

Dipercaya bahwa demielinisasi yang terjadi pada Neuritis optikus

diperantarai oleh imun, tetapi mekanisme spesifik dan antigen targetnya belum

diketahui. Aktivasi sistemik sel T diidentifikasi pada awal gejala dan mendahului

perubahan yang terjadi di dalam cairan serebrospinal. Perubahan sistemik kembali

menjadi normal mendahului perubahan sentral (dalam 2-4 minggu). Aktivasi sel T

menyebabkan pelepasan sitokinin dan agen-agen inflamasi yang lain. Aktivasi sel B

melawan protein dasar mielin tidak terlihat di darah perifer namun dapat terlihat di

cairan serebrospinal pasien dengan Neuritis optikus. Neuritis optikus juga berkaitan

dengan kerentanan genetik, sama seperti MS. Terdapat ekspresi tipe HLA tertentu

diantara pasienNeuritis optikus.

D.Gejala neuritis

1. Tubuh sering mengalami kesemutan dan kram,

2. Sering mengalami sakit kepala,

3. Daya tahan tubuh menurun drastis,

1. Sering merasa cemas dan gelisah

2. Jika kondisinya sudah sangat parah dapat menyebabkan kemampuan

penglihatan menjadi berkurang

3. Pada beberaa kasus menyabakan mati rasa, lumpuh, dan kesulitan berjalan.
E.Komplikasi

Kehilangan penglihatan pada neuritis optik dapat terjadi permanen.

Neuritis retrobulbar mungkin terjadi walaupun merupakan suatu neuritis opyik

yang terjadi cukup jauh di belakang diskus optikus.

Neuritis optik yang disebabkan oleh MS memiliki ciri khas kekambuhan

dan remisi. Disabilit `asi yang menetap cenderung meningkat pada setiap

kekambuhan. Peningkatan suhu tubuh dapat memperparah disabilitas (Fenomena

Uhthoff) khususnya gangguan penglihatan.

F.Manifestasi Kinis

Gambaran akut:

1. Hilang penglihatan

2. Nyeri pada mata yang semakin memberat bila bola mata digerakkan

3. Defek pupil aferen

4. Defek lapang pandang

5. Palpilitis dengan hiperemia dan edema diskus optik

6. Fotopsia

7. Buta warna

8. Perdarahan peripapil

Gambaran kronik:

1. Kehilangan penglihatan secara persisten

2. Defek pupil aferen relatif


3. Desaturasi warna, terutama warna merah.

4. Fenomena uhthoff

5. Diskus optik terlihat mengecil dan pucat, terutama di daerah temporal. Pucatnya

diskus meluas sampai batas diskus ke serat retina peripapil.

H.Penatalaksanaan

Pada pasien riwayat MS atau Neuritis optikus:

1) Dari hasil MRI bila terdapat minuman 1 lesi demieliminasi tipikal:

Regimen selama 2 minggu:

a. 3 hari pertama diberikan Metilprednisolon 1kg/hari iv.

b. 11 hari setelahnya dilanjutkan dengan Prednisolon 1mg/kg/hari oral,

c. Tappering off dengan cara 20 mg prednisone oral untuk hari pertama (hari

ke-15 sejak pemberian obat) dan 10 mg prednisone oral pada hari ke-2

sampai ke-4.

d. Dapat diberikan Ranitidin 150 mg prednisone oral untuk profilaksis gastritis.

Menurut Neuritis Optikus Treatment Trial (ONTT) pengobatan dengan steroid

dapat menurunkan progresivitas MS selama 3 tahun. Terapi steroid hanya

mempercepat pemulihan visual tapi tidak meningkatkan hasil pemulihan pandangan

visual.

2.Dengan tidak ada lesi demielinisasi dari hasil MRI:

a. Risiko terjadi MS rendah, kemungkinan terjadi sekitar 22% setelah 10

tahun kemudian,
b. Steroid IV dapat digunakan untuk mempercepat pemulihan visual,

c. Biasanya tidak dianjurkan untuk terapi kecuali muncul gangguan visual

pada mata kontralateral,

d. MRI lagi dalam 1 tahun kemudian.

Mitoxantrone, suatu agen kemoterapi dan terapi antibiotik di monoklonal lebih

memberikan hasil yang menjanjikan bagi penyakit kambuhan-remisi (relapsing-

remining disease) yang progresif dan sulit diatasi

I.Pemeriksaan Diagnostik

Langkah – langkah pemeriksaan:

1. Pemeriksaan visus

Didapatkan penurunan visus yang bervariasi mulai dari ringan sampai

kehilangan total penglihatan.

2. Pemeriksaan segmen anterior

Pada pemeriksaan segmen anterior, palpebra, konjungtiva, maupun kornea

dalam keadaan wajar. Refleks pupil menurun pada mata yang terkena defek

pupil aferen relatif atau Marcus Gunn pupil umumnya ditemukan. Pada kasus

yang bilateral, defek ini bisa tidak ditemukan.

3. Pemeriksaan segmen posterior

Pada neuritis optik akut sebanyak dua pertiga dari kasus merupakan bentuk

retrobulbar, maka papil tampak normal, dengan berjalannya waktu, nervus

optikus dapat menjadi pucat akibat atrofi. Pada kasus neuritis optik bentuk
palpilitis akan tampak edema diskus yang hiperemis dan difus, dengan

perubahan pada pembuluh darah retina, arteri menciut dan vena melebar. Jika

ditemukan gambaran eksudat star figure, mengarahkan diagnosa kepada

neuroretinitis.

Pemeriksaan tambahan:

1. Tes konfrontasi

2. Tes isihara untuk melihat adanya penglihatan warna yang terganggu, umumnya

mata merah yang terganggu.

Pemeriksaan anjuran:

1. Untuk membantu mencari penyebab neuritis optik biasanya di pemeriksaan foto

sinar X kanal optik, sela tursika, atau dilakukan pemeriksaan CT orbita dan

kepala.

2. Dengan MRI diperlukan untuk melihat nervus optikus dan korteks serebri. Hal

ini dilakukan terutama pada kasus yang diduga terdapat MS.

3. Funduskopi

Pada funduskopi terlihat hiperemia dan pelebaran vena-vena besar sebagai tanda

dini papilitis. Batas lempeng optik tidak jelas, terdapat edema papil serta eksudat

retina.

4. Pungsi lumbal dan pemeriksaan darah. Dilakukan untuk melihat adanya proses

infeksi atau inflamasi.

5. Slit lamp

Adanya sel radang pada vittreous.


6. Visually Evoked Response (VER) terganggu dan menunjukkan penurunan

amplitude dan perlambatan waktu transisi.


DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan & Asbury. Oftalmologi umum, Edisi 14, Jakarta: Widya Medika,

2000.Hall 274-287

2. Ilyas sidharta, ilmu penyakit mata, fakultas kedokteran indonesia edisi ke tiga

balai penerbit fkui, jakarta, 2006. Hall 179-188

3. American academy of ophtalmologi staff. Neuro-optalmologi : american

academy of ophtalmologi staff, editor. Neuro-optalmologi. Basic and clinical

sciencie course sec. 5. San fransisco the foundation of america academy of

ophtalmologi, 2011-2012. P 65, 128-146

4. Misbach jusuf. Neuro optalmologi. Pemeriksaan klinis dan interpretasi. Balai

penerbit fkui, jakarta, 1999. Hall 1-14, 18-23

5. Wijana nana s,d. Ilmu penyakit mata, cetakan ke 6, abdi tegal.jakarta 1993. Hall

332-342
Andi Mayang Sari

KONSEP MEDIS PENYAKIT AMYOTROPHIC LATERAL SCLEROSIS ( ALS)

OLEH:

Nama: Andi Mayang sari

Nim: A 18 10 01

Kelas: A S1 keperawatan
TAHUN AKADEMIK 2020/2021

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

1.DEFINISI

Amytrophic lateral sclerosis merupakan penyakit Neuro negeneratif yang merupakan

suatu generasi dari penyakit saraf motorik atau jaringan motorik yang berperan penting

pada gerakan pada umumnya.

2.ETIOLOGI

ALS sampai sekarang belum diketahui penyebabnya sebanyak 90% sementara 5 sampai

10% karena disebabkan oleh familia atau genetik yang merupakan penyakit keturunan.

ALS pertama kali muncul di Amerika dan sebagian besar merupakan penyakit yang

diderita oleh laki-laki dan peran ras sangat berpengaruh terutama pada kaum asoid atau

bule.

3.GEJALA

Pada penderita ALS gejala yang dirasakan tidak tiba-tiba dan sangat progresif yang

ditandai dengan gejala seperti kaku,keram dan mengalami kelumpuhan total terutama

pada gangguan mengunyah

4.MANIFESTASI KLINIS

ALS berpengaruh pada gangguan mengunyah,menelan Sampai pada kelumpuhan otot

pada pernapasan dan tentunya mengakibatkan kematian


5.CARA PENYEMBUHAN DAN PENANGANAN

Sampai saat ini penyakit amytrophic lateral sclerosis (ALS) membutuhkan penanganan

yang multi disiplin yang bermacam baik dari dokter, maupun perawat dan penanganan

nutrisi yang teratur,baik,dan benar karena jika tidak teratur akan menimbulkan

gangguan pada mengunyah dan menelan.dan untuk OBAT belum ditemukan obat yang

menyembuhkan tetapi ada jenis obat yang hanya berfungsi untuk mengurangi

progresivitas dan masih dalam tahap penelitian dan perkembangan

ALS atau regenerasi sistem sel saraf lebih banyak menyerang pada usia diatas 50 tahun

dan mempunyai sifat gradual atau bertahap. Yang ditandai jika ibu jari dan telunjuk jari

mengecil maka penyakit juga semakin parah

6.PENATALAKSANAAN

Penyakit ini belum dapat disembuhkan dan sangat progresivitas karena belum

ditemukan obat dan hanya pada tahap penenang

Oleh sebab itu para pakar menaruh fokus pada penanganan dan pengembangan para

ahli.
Andi Resky Ika Fitri

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

(Alzheimer)

OLEH:

Nama : ANDI RESKY IKA FITRI

Nim : A.18.10.012

Kelas : A

Dosen : Nadia Alfira, S.Kep, Ns, M.Kep

S1 KEPERAWATAN

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


A. PENGERTIAN

Penyakit Alzheimer (gangguan mental organik bukan akibat

zat),dimensia tipe Alzheimer (DAT) adalah proses degenerative yang terjadi

pertama-tama pada sel yang terletak pada dasar dari otak depan yang mengirim

informasi ke korteks serebral dan hipokampus.Penyakit alzheimer atau biasa

disebut AD adalah penyakit yang bersifat degeneratif dan progresif pada otak

yang menyebabkan cacat spesifik pada neuron,serta mengakibatkan gangguan

memori,berfikir,dan tingkah laku.Alzheimer merupakan penyakit dengan

gangguan degeneratif yang mengenai sel-sel otak dan menyebabkan gangguan

fungsi intelektual,penyakit ini timbul pada pria dan wanita dan menurut

dokumen terjadi pada orang tertentu pada usia 40 tahun (Keperawatan Medikal

Bedah:jilid 1 hal 1003).

B. ETIOLOGI

Sampai dengan saat ini, para ilmuwan belum mengetahui secara pasti

penyebab terjadinya Alzheimers.Ada tiga teori yang dikemukakan untuk

menjelaskan penyebab terjadinya Alzheimers.Ketiga teori tersebut adalah:virus

lambat,proses autoimun dan keracunan aluminium.

C. MANIFESTASI KLINIK

Gejala Alzheimer Berdasarkan National Alzheimer ‘s Association

(2003),dibagi menjadi 3 tahap yaitu :

1. Gejala Ringan (lama penyakit 1-3 tahun)

a) Lebih sering binggung dan melupakan informasi yang baru dipelajari.


b) Diorintasi : tersesat di daerah sekitar yang dikenalnya dengan baik.

c) Bermasalah dalam melaksanakan tugas rutin.

d) Mengalami perubahan dalam kepribadian dan penilaian misalnya mudah

tersinggung,mudah menuduh ada yang mengambil barangnya bahkan

menuduh pasangannya tidak setia lagi/selingkuh.

2. Gejala sedang (lama penyakit 3-10 tahun)

a) Kesulitan dalam mengerjakan aktifitas hidup sehari–hari seperti makan

dan mandi.

b) Perubahan tingkah laku misalnya : sedih dan emosi.

c) Mengalami gangguan tidur.

d) Keluyuran.

e) Kesulitan mengenali keluarga dan teman (pertama-tama yang akan sulit

untuk dikenali adalah orang-orang yang paling jarang ditemuinya,mulai

dari nama,hingga tidak mengenali wajah sama sekali.Kemudian bertahap

kepada orang-orang yang cukup jarang ditemui.)

3. Gejala berat (lama penyakit 8-12 tahun)

a) Sulit / kehilangan kemampuan berbicara.

b) Kehilangan napsu makan,menurunya berat badan.

c) Sangat tergantung pada caregiver/pengasuh.

d) Perubahan perilaku misalnya : Mudah curiga,depresi,apatis atau mudah

mengamuk.

D. PATOFISIOLOGI
Terdapat beberapa perubahan khas biokimia dan neuropatologi yang

dijumpai pada penyakit Alzheimer,antara lain : serabut neuron yang kusut (masa

kusut neuron yang tidak berfungsi) dan plak seni atau neuritis (deposit protein

beta-amiloid,bagian dari suatu protein besar,protein prukesor amiloid

(APP).Kerusakan neuron tersebut terjadi secara primer pada korteks serebri dan

mengakibatkan rusaknya ukuran otak.

Secara maskroskopik,perubahan otak pada Alzheimer melibatkan

kerusakan berat neuron korteks dan hippocampus,serta penimbunan amiloid

dalam pembuluh darah intracranial.Secara mikroskopik,terdapat perubahan

morfologik (structural) dan biokimia pada neuron–neuron.Perubahan morfologis

terdiri dari 2 ciri khas lesi yang pada akhirnya berkembang menjadi degenarasi

soma dan atau akson dan atau dendrit.Satu tanda lesi pada AD adalah kekusutan

neurofibrilaris yaitu struktur intraselular yang berisi serat kusut dan sebagian

besar terdiri dari protein “tau”. Dalam SSP,protein tau sebagian besar sebagai

penghambat pembentuk structural yang terikat dan menstabilkan mikrotubulus

dan merupakan komponen penting dari sitokleton sel neuron.Pada neuron AD

terjadi fosforilasi abnormal dari protein tau,secara kimia menyebabkan

perubahan pada tau sehingga tidak dapat terikat pada mikrotubulus secara

bersama–sama.Tau yang abnormal terpuntir masuk ke filament heliks ganda

yang sekelilingnya masing–masing terluka.Dengan kolapsnya sistem transport

internal,hubungan interseluler adalah yang pertama kali tidak berfungsi dan

akhirnya diikuti kematian sel.Pembentukan neuron yang kusut dan


berkembangnya neuron yang rusak menyebabkan Alzheimer.Lesi khas lain

adalah plak senilis,terutama terdiri dari beta amiloid (A-beta) yang terbentuk

dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel neuronal.A-beta

adalah fragmen protein prekusor amiloid (APP) yang pada keadaan normal

melekat pada membrane neuronal yang berperan dalam pertumbuhan dan

pertahanan neuron.APP terbagi menjadi fragmen–fragmen oleh protease,salah

satunya A-beta,fragmen lengket yang berkembang menjadi gumpalan yang bisa

larut.Gumpalan tersebut akhirnya bercampur dengan sel–sel glia yang akhirnya

membentuk fibril–fibril plak yang membeku,padat,matang,tidak dapat larut,dan

diyakini beracun bagi neuron yang utuh.Kemungkinan lain adalah A-beta

menghasilkan radikal bebas sehingga menggagu hubungan intraseluler dan

menurunkan respon pembuluh darah sehingga mengakibatkan makin rentannya

neuron terhadap stressor.

Selain karena lesi,perubahan biokimia dalam SSP juga berpengaruh pada

AD.Secara neurokimia kelainan pada otak

E. KOMPLIKASI

1. Pneumonia.

2. Inkontinensia bowel.

3. Inkontinensia bladder.

4. Kontraktur.

5. Luka tekan.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Karena tidak adanya pemeriksaan diagnostik yang khusus pada DAT

ini,pemeriksaan ini bisanya berperan untuk menentukan masalah yang

membingungkan dengan dimensia ini.

1. Antibody : Kadarnya cukup tinggi (abnormal).

2. JDL,RPR,elektrolit,pemeriksaan tiroid : Dapat menentukan dan/atau

menghilangkan disfungsi yang dapat diobati/kambuh kembali,seperti

proses penyakit metabolic,ketidakseimbangan cairan dan

elektrolit,neurosifilis.

3. B12 : Dapat menentukan secara nyata adanya kekurangan nutrisi.

4. Test deksametason ekspresan (DST) : Untuk menangani depresi.

5. EKG : Mungkin tampak normal,perlu untuk menentukan adanya

insufisiensi jantung.

6. EEG : Mungkin normal atau memperlihatkan beberapa perlambatan

gelombang (membantu dalam memciptakan kelainan otak yang

masih dapat diatasi).

7. Sinar x tengkorak : Biasanya normal.

8. Tes penglihatan/pendengaran : Untuk menentukan adanya penurunan

(kehilangan) yang mungkin disebababkan oleh kontribusi pada

disorientasi alam perasaan yang melayang,perubahan persepsi sensori

(salah satu dari gangguan kognitif).


9. Scan otak,seperti PET,BEAM,MRI : Dapat memperlihatkan daerah

otak yang mengalami penurunan metabolisme yang merupakan

karakteristik dari DAT.

10. CT scan : Dapat memperlihatkan adanya ventrikel otak yang

melebar,adanya atrofi kortikal.

11. CSS : Munculnya protein abnormal dari sel otak sekitar 90%

merupakan indikasi adanya DAT.

12. Penyakit Alzheimer yang dihubungkan dengan protein (ADAP) :

Pemeriksaan postmortem terlihat positif lebih dari 80% dari pasien

DAT.

G. PENATALAKSANAAN

Pengobatan penyakit Alzheimer masih sangat terbatas oleh karena

penyebab dan patofisiologis masih belum jelas.Pengobatan simptomatik dan

suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada penderita dan

keluarga.Pemberian obat stimulan,vitamin B,C, dan E belum mempunyai efek

yang menguntungkan.

1. Inhibitor kolinesterase

Beberapa tahun terakhir ini,banyak peneliti menggunakan

inhibitor untuk pengobatan simptomatik penyakit Alzheimer,dimana

penderita Alzheimer didapatkan penurunan kadar asetilkolin.Untuk

mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti

kolinesterase yang bekerja secara sentral seperti fisostigmin,THA


(tetrahydroaminoacridine).Pemberian obat ini dikatakan dapat

memperbaiki memori dan apraksia selama pemberian

berlangsung.Beberapa peneliti mengatakan bahwa obat-obatan anti

kolinergik akan memperburuk penampilan intelektual pada organ

normal dan penderita Alzheimer.

2. Thiamin

Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita Alzheimer

didapatkan penurunan thiamin pyrophosphatase dependent enzyme

yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase (45%),hal ini

disebabkan kerusakan neuronal pada nucleus basalis.Pemberian

thiamin hidrochloryda dengan dosis 3gr/hari selama tiga bulan

peroral,menunjukan perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi

dibandingkan placebo selama periode yang sama.

3. Nootropik

Nootropik merupakan obat psikotropik,telah dibuktikan dapat

memperbaiki fungsi kognisi dan proses belajar pada percobaan

binatang.Tetapi pemberian 4000 mg pada penderita Alzheimer tidak

menunjukan perbaikan klinis yang bermakna.

4. Klonidin

Gangguan fungsi intelektual pada penderita Alzheimer dapat

disebabkan kerusakan noradrenergik kortikal.Pemberian klonidin

(catapres) yang merupakan noradrenergik alpha 2 reseptor agonis


dengan dosis maksimal 1,2 mg peroral selama 4 minggu,didapatkan

hasil yang kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif.

5. Haloperiodol

Pada penderita Alzheimer,sering kali terjadi gangguan psikosis

(delusi,halusinasi) dan tingkah laku.Pemberian oral haloperiodol 1-5

mg/hari selama 4 minggu akan memperbaiki gejala tersebut.Bila

penderita Alzheimer menderita depresi sebaiknya diberikan tricyclic

anti depressant (aminitryptiline 25-100 mg/hari).

6. Acetyl L-Carnitine (ALC)

Merupakan suatu substrate endogen yang disintesa didalam

mitokondria dengan bantuan enzim ALC transferace.Penelitian ini

menunjukan bahwa ALC dapat meningkatkan aktivitas asetil

kolinesterase,kolin asetiltransferase.Pada pemberiaan dosis 1-2 gr

/hari/oral selama 1 tahun dalam pengobatan,disimpulakan bahwa

dapat memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi

kognitif.
Daftar Pustaka

Brunner & Suddarth.1997.Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah.Jakarta:Kedokteran

EGC.

Muttaqin,Arif.2008.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem

Persarafan.Salemba Medika:Jakarta

https://www.academia.edu/12262673/Askep_Alzheimer

https://id/scribd.com/doc/169307299/Askep-Alzheimer

https://www/academia.edu/28509213/Askep_Alzheimer
Armand

TUGAS

KEPERAWATAN PALIATIF

“Konsep Medis Hidrosefalus”

OLEH :

NAMA : ARMAND

NIM : A.18.10.013

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


KONSEP MEDIS HIDROCEPALUS

A. Defenisi

Hidrocephalus adalah: suatu keadaan patologis otak yang mengakibatkan

bertambahnya cairan cerebrospinal (CSS) dengan atau pernah dengan tekanan intra

kranial yang meninggi sehingga terdapat pelebaran ruangan tempat mengalirnya CSS.

Hidrosefalus (Kepala Air, istilah yang berasal dari bahasa Yunani: "hydro" yang

berarti air dan "cephalus" yang berarti kepala; sehingga kondisi ini sering dikenal

dengan "Kepala Air") adalah penyakit yang terjadi akibat gangguan aliran cairan di

dalam otak (Cairan Serebro Spinal atau CSS). Gangguan itu menyebabkan cairan

tersebut bertambah banyak yang selanjutnya akan menekan jaringan otak di sekitarnya,

khususnya pusat - pusat saraf yang vital.


1. Hidrosefalus adalah suatu keadaan patologis otak yang mengakibatkan

bertambahnya cairan serebrospinalis, disebabkan baik oleh produksi yang

berlebihan maupun gangguan absorpsi, dengan atau pernah disertai tekanan

intrakanial yang meninggi sehingga terjadi pelebaran ruangan-ruangan tempat

aliran cairan serebrospinalis (Darto Suharso,2009).

2. Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya

cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang

meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel (Darsono, 2005:209). Pelebaran

ventrikuler ini akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan

serebrospinal. Hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai akibat penyakit atau

kerusakan otak. Adanya kelainan - kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi

besar serta terjadi pelebaran sutura - sutura dan ubun - ubun (DeVito EE et al,

2007:328).

3. Hidrocephalus adalah: suatu keadaan patologis otak yang mengakibatkan

bertambahnya cairan cerebrospinal (CSS) dengan atau pernah dengan tekanan intra

kranial yang meninggi sehingga terdapat pelebaran ruangan tempat mengalirnya

CSS (Ngastiyah,2005).

4. Hidrocepalus adalah akumulasi cairan serebrospinal dalam ventrikel cerebral, ruang

subarachnoid, atau ruang subdural (Suriadi,2006).

5. Hidrocephalus adalah sebuah kondisi yang disebabkan oleh produksi yang tidak

seimbang dan penyerapan dari cairan cerebrospinal (CSS) di dalam sistem


Ventricular. Ketika produksi CSS lebih besar dari penyerapan, cairan cerebrospinal

mengakumulasi di dalam sistem Ventricular (nining,2008).  

B. Tanda dan Gejala

1. Pembesaran kepala.

2. Tekanan intra kranial meningkat dengan gejala: muntah, nyeri kepala, oedema

papil.

3. Bola mata terdorong ke bawah oleh tekana dan penipisan tulang supraorbital.

4. Gangguan keasadaran, kejang.

5. Gangguan sensorik.

6. Penurunan dan hilangnya kemampuan akTivitas.

7. Perubahan pupil dilatasi.

8. Gangguan penglihatan (diplobia, kabur, visus menurun).

9. Perubahan tanda-tanda vital (nafas dalam, nadi lambat, hipertermi,/ hipotermi).

10. Penurunan kemampuan berpikir.

C. Epidemiologi Hidrosefalus.

Insidensi hidrosefalus antara 0,2-4 setiap 1000 kelahiran. Insidensi hidrosefalus

kongenital adalah 0,5 - 1,8 pada tiap 1000 kelahiran dan 11% - 43% disebabkan oleh

stenosis aqueductus serebri. Tidak ada perbedaan bermakna insidensi untuk kedua jenis

kelamin, juga dalam hal perbedaan ras. Hidrosefalus dapat terjadi pada semua umur.

Pada remaja dan dewasa lebih sering disebabkan oleh toksoplasmosis. Hidrosefalus
infantil; 46% adalah akibat abnormalitas perkembangan otak, 50% karena perdarahan

subaraknoid dan meningitis, dan kurang dari 4% akibat tumor fossa posterior (Darsono,

2005:211).

D. Patofisiologi

Produksi CSS normal adalah 125 cc/hari, produksi CSS terutama tergantung

pada transporalselsan, terutama natrium melintasi membran epitel khusus dari pleksus

koroideus ke dalam rongga ventrikel. Air secara pasif mengikuti untuk memudahkan

keseimbangan osmotik. Hasilnya adalah masuknya cairan ke dalam ventrikel otak.

Cairan berselulasi lewat akuaduktus silvi dan ventrikel keempat, masuk ke dalam ruang

subarakhnoid melalui foramena lusheka dan megendie. Kemudian diabsorbsi ke dalam

sirkulasi vena dari ruang subarakhnoid yang meliputi otak, sejumlah tertentu medula

spinalis dan lapisan ependim yang melapisi ventrikel.

Penyebab hidrosefalus kongenital umumnya adalah infeksi pada masa

kehamilan, seperti cytomegalovirus (CMV), rubella, mumps, sifilis, atau toksoplasma.

Sementara itu, pada hidrosefalus yang terjadi setelah lahir (acquired hydrocephalus)

umumnya disebabkan oleh penyakit di otak yang menimbulkan gangguan sirkulasi

cairan otak, seperti stroke perdarahan, tumor otak, cedera otak yang parah, radang otak,

atau radang selaput otak.

E. Etiologi

Proses terjadinya hidrosefalus dapat dikelompokkan sebagai berikut:


1. Kelainan kongenital.

a. Stenosis akuaduktus sylvii.

b. Anomali pembuluh darah.

c. Spino bifida dan kranium bifidi.

d. Sindrom Dandy-walker.

2. Infeksi.

Infeksi mengakibatkan perlekatan meningen (selaput otak) sehingga terjadi

obliterasi ruang subarakhnoid, misalnya meningitis.

Infeksi lain yang menyebabkan hidrosefalus yaitu:

a. TORCH.

b. Kista-kista parasit.

c. Lues kongenital.

3. Trauma.

Seperti pada pembedahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak dapat

menyebabkan fibrosis epto meningen pada daerah basal otak, disamping organisasi

darah itu sendiri yang mengakibatkan terjadinya sumbatan yang mengganggu aliran

CSS.

4. Neoplasma.

Terjadinya hidrosefalus disini oleh karena obstruksi mekanis yang dapat terjadi

di setiap aliran CSS. Neoplasma tersebut antara lain:

a. Tumor ventrikel III.

b. Tumor fossa posterior.


c. Pailloma pleksus khoroideus.

d. Leukemia, limfoma.

5. Degeneratif.

Histositosis X, inkontinentia pigmenti dan penyakit krabbe.

6. Gangguan vaskuler.

a. Dilatasi sinus dural.

b. Trombosis sinus venosus.

c. Malformasi V. Galeni.

d. Ekstaksi A. Basilaris.

e. Arterio venosus malformasi.

F. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Nelhaus (1987) hidrosefalus sering mempunyai gejala-gejala dan

tanda-tanda. Namun ada kasus-kasus samar yang tidak terdiagnosis sampai dewasa,

dengan demikian perlu adanya ketelitian dlam menangani penderita yang diduga

menderita hidrosefalus, mulai dari pengambilan amnanesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan laboratorium dan radiologis.

1. Aloamnanesis/ amnanesis.

Amnanesis perlu dilakukan untuk menentukan hidrosefalus kongenital atau

akuisita. Bayi yang lahir prematur atau posterm dan merupakan kelahiran anak

yang keberapa adalah penting sebagai faktor resiko. Adanya riwayat cedera kepala

sehingga menimbulkan hematom, subdural atau perdarahan subarakhnoid yang


dapat mengakibatkan terjadinya hidrosefalus.

Demikian juga riwayat peradangan otak sebelumnya. Riwayat keluarga perlu

dilacak, riwayat gangguan perkembangan, aktivitas, perkembangan mental,

kecerdasan serta riwayat nyeri kepala, muntah-muntah, gangguan visus dan adanya

bangkitan kejang.

2. Pemeriksaan fisik.

Kesan umum penderita terutama bayi dan anak, proporsi kepala terhadap badan,

anggota gerak secara keseluruhan tidak seimbang. Anak biasanya dalam keadaan

tidak tenang, gelisah, iritable, gangguan kesadaran, rewel, sukar makan atau

muntah-muntah.

Pada hidrosefalus kongenital kepala sangat besar, fontanela tidak menutup,

sutura melebar, kepala tampak transluse, dengan tulang kepala yang tipis, adanya

tanda mac ewens cracked pot, tanda berupa sunset sign dengan dahi yang lebar.

Pada pemeriksan auskultasi kemungkinan akan terdengarnya bising daerah

posterior oleh karena malformasi V. Galeni. Pertumbuhan kepala yang cepat

mengakibatkan muka terlihat lebih kecil dan tampak kurus.

Pemeriksaan fisik pada hydrocephalus tidak lepas dari manifestasi klinis yang

terjadi karena adanya peningkatan tekanan intrakranial dan dilatasi ventrikel.

Manifestasi klinis bervariasi berdasarkan usia.

a. Neonatus

Pada neonatus, manifestasi klasiknya adalah apnea dan bradikardi serta

ukuran lingkar kepala (occipito-frontal) yang lebih besar daripada normal, hal
ini dinilai dengan kurva lingkar kepala untuk usia 0-2 tahun, serta sutura

kranialis yang terlihat melebar. Manifestasi apnea dan bradikardi ini

berdasarkan trias Cushing yang terjadi pada keadaan terjadinya peningkatan

tekanan intrakranial, yaitu hipertensi, bradikardi dan pernapasan yang ireguler.

b. Bayi

Manifestasi klinis yang khas pada bayi adalah ukuran kepala

(makrosefali). Pada kelompok usia ini manifestasi apnea dan bradikardi sudah

tidak terlalu terlihat. Perubahan perilaku dan penurunan kesadaran (letargi dan

iritabilitas) dapat diamati dengan jelas pada kelompok usia ini. Muntah-muntah

dan penurunan berat badan juga dapat terjadi. Manifestasi klinis yang khas

pada neonatus dan bayi antara lain, kepala yang mengalami pembesaran yang

lebih dari normal, baik ukuran maupun kecepatan

pembesarannya, bulging pada fontanel anterior, sering mengantuk, irritable,

kejang, sunsetting of the eyes, serta gangguan perkembangan.

Sunsetting of the eye disebabkan karena adanya tekanan

pada midbrain sehingga menyebabkan gangguan pergerakan bola mata saat

melirik ke atas. Sunsetting of the eye yang dimaksud adalah terlihatnya sklera

di atas iris. Adanya peningkatan tekanan intrakranial juga dapat memberikan

manifestasi papil edema pada pemeriksaan funduskopi.

c. Anak-anak

Pada anak-anak, fontanel dan sutura sudah menutup dan kemampuan

kompensasi kranium menurun, sehingga gejala akut lebih mudah terlihat pada
kelompok usia ini. Anak dapat terlihat letargi dan irritable, dengan gangguan

neurologis fokal seperti kelemahan saraf keenam bilateral, yaitu tidak mampu

mengabduksi kedua mata dan diplopia. Diplopia juga disebabkan oleh

penekanan pada otot ekstraokular. Perkusi area kepala pada bagian ventrikel

yang dilatasi terdapat suara panci pecah atau crackpot sound (Macewen's sign).

Manifestasi klinis yang menunjukkan adanya late-stage hydrocephalus

dan mengindikasikan perlunya intervensi secepatnya adalah kejang onset baru

dan sindrom Parinaud (dorsal midbrain syndrome). Sindrom Parinaud terdiri

dari gejala khas kelumpuhan upgaze, yaitu pupil mampu berakomodasi tapi

tidak mampu bereaksi terhadap cahaya (pupil pseudo-Argyll Robertson),

nistagmus konvergen, dan Collier sign (retraksi abnormal palpebra).

d. Dewasa

Pemeriksaan fisik hydrocephalus pada orang dewasa, seperti pada pasien anak-

anak, dapat ditemukan :

1) Papilledema, karena pembengkakan saraf optik

2) Keterbatasan pandangan ke atas, karena tekanan pada lempeng tektal

melalui reses suprapineal

3) Cara berjalan yang limbung / unstead

4) Ukuran kepala relatif besar

5) Kelumpuhan saraf keenam unilateral atau bilateral

Pada normal pressure hydrocephalus (NPH) ditemukan trias gejala klasik, yaitu

gangguan kognitif (demensia), gangguan gaya berjalan (apraxia), dan inkontinensia


urine. Demensia dapat dinilai dengan melakukan pemeriksaan mini mental state

examination (MMSE). Apraxia, selain dinilai dari cara berjalan pasien, juga dapat

dilihat dari gejala upper motor neuron, diantaranya hiperrefleks, spastisitas, klonus

pada ekstremitas inferior, serta refleks Babinski positif yang disebabkan karena

adanya stretching dan gangguan pada serat kortikospinal untuk regio extremitas

bawah pada korteks motorik. Gejala ini biasanya bilateral dan simetris, sehingga

apabila terdapat lateralisasi maka kemungkinan diagnosis ke arah NPH dapat

disingkirkan. 

3. Pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan terhadap komposisi cairan serebrospinal dapat sebagai petunjuk

penyebab hidrosefalus, seperti peningkatan kadar protein yang amat sangat terdapat

pada papiloma pleksus khoroideuis, setelah infeksi susunan saraf pusat, atau

perdarahan susunan saraf pusat atau perdarahan saraf sentral. Penurunan kadar

glukosa dalam cairan serebrospinal terdapat pada invasi meninggal oleh tumor,

seperti leukemia, medula blastama dan dengan pemeriksaan sitologis cairan

serebrospinal dapat diketahui adanya sel-sel tumor. Meningkatnya kadar hidroksi

doleaseti kasid pada cairan serebrospinal didapat pada obstruksi hidrosefalus.

Pemeriksaan serologis darah dalam upaya menemukan adanya infeksi yang

disebabkan oleh TORCH. Penelitian sitologi kualitatif pada cairan serebrospinal

neonatus dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui tingkat gangguan

psikomotor.

4. Pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan foto polos kepala, pelebaran fontanela, serta pelebaran sutura.

Kemungkinan ditemukannya pula keadaan-keadaan lain seperti adanya kalsifikasi

periventrikuler sebagai tanda adanya infeksi cytomegalo inclusion dioase,

kalsifikasi bilateral menunjukkan adanya infeksi tokso plasmosis. Pemeriksaan

ultrasonografi, dapat memberikan gambaran adanya pelebaran sistem ventrikel

yang lebih jelas lagi pada bayi, dan untuk diagnosis kelainan selama masih dalam

kandungan.

Pemeriksaan CT-Scanning menunjukkan adanya pelebaran ventrikel. Disamping

itu juga dapat untuk mempelajari sirkulasi cairan serebrospinal yaitu dengan

menyuntikkan kontras radio opak ke dalam sisterna magna kemudian perjalan

kontras diikuti dengan CT-Scan sehingga akan jelas adanya obstruksi terhdap

cairan serebrospinal.

Pemeriksaan pneumoensefalografi, berguna untuk memantau dilatasi ventrikel

dan ruang subarakhnoid. Apabila sudut korpus kolosum kurang dari 120

menunjukkan hidrosefalus komunikan, bila lebih dari 120 mungkin hidrosefalus

obstruksi.

G. Pathway
H. Faktor Risiko Hidrosefalus
Terdapat beberapa beberapa kondisi yang memperbesar peluang seorang anak

mengalami hidrosefalus pada bayi baru lahir, antara lain:

1. Adanya perkembangan yang tidak normal pada sistem saraf pusat, sehingga

menghalangi aliran cairan serebrospinal.

2. Adanya perdarahan di ventrikel otak, sehingga memicu kemungkinan bayi lahir

prematur.

3. Saat hamil, ibu mengalami infeksi pada rahim, sehingga timbul peradangan di

jaringan otak janin. Misalnya akibat infeksi rubella, toksoplasma, gondok atau

bahkan cacar air.

Sementara itu, jika hidrosefalusterjadi setelah anak tumbuh besar, faktor

risikonya antara lain:

a. Tumbuhnya tumor di otak atau sumsum tulang belakang anak.

b. Terjadinya infeksi yang menyerang otak atau sumsum tulang belakang.

c. Mengalami perdarahan di pembuluh darah otak.

d. Operasi di area kepala.

I. Anatomi dan Fisiologi

Ruangan cairan serebrospinal (CSS) terdiri dari sistem ventrikel, sisterna magna

pada dasar otak dan ruangan subaraknoid. Ruangan ini mulai terbentuk pada minggu

kelima masa embrio. Sistem ventrikel dan ruang subarachnoid dihubungkan melalui

foramen Magendi di median dan foramen Luschka di sebelah lateral ventrikel IV.
Cairan serebrospinalis dihasilkan oleh pleksus koroidalis di ventrikel otak.

Cairan ini mengalir ke foramen Monro ke ventrikel III, kemudian melalui akuaduktus

Sylvius ke ventrikel IV. Cairan tersebut kemudian mengalir melalui foramen Magendi

dan Luschka ke sisterna magna dan rongga subarachnoid di bagian cranial maupun

spinal. 6 Sekitar 70% cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus koroidideus, dan

sisanya di hasilkan oleh pergerakan dari cairan transepidermal dari otak

J. Manajemen Terapi

Ada beberapa prinsip pengobatan dalam menangani hidrosefalus adalah dengan

melakukan tindakan operasi, yang bertujuan untuk membuang kelebihan cairan

serebrospinal di dalam otak.

1. Mengurangi produksi cairan serebrospinal dengan merusak sebagian pleksus

khoroideus dengan tindakan reseksi (pembedahan) atau koagulasi.


Akan tetapi hasilnya kurang memuaskan. Obat-obatan yang berpengaruh disini

antara lain:

a. Diamox Cazetasolamoid.

b. Isosorbid.

c. Cairan osmotik (manitol, urea).

d. Kartikosteroid dan diuretik.

e. Fenobarbital.

2. Memperbaiki hubungan antara tempat produksi cairan serebrospinal dengan tempat

absorbsi yakni menghubungkan ventrikel dengan subarakhnoid.

3. Pengeluaran CSS ke dalam rongga ekstra kranial dengan operasi pemasangan

shunt. Operasi pemasangan shunt dilakukan sedini mungkin, tetapi biasanya

dipasang pada usia 3-4 bulan, sedangkan revisi pada usia 18-24 bulan, 1-6 tahun,

10-12 tahun.

Prognosis hidrosefalus infatil mengalami perbaikan bermakna namun tidak

dramatis dengan temuan operasi pisau. Jika tidak dioperasi 50-60% bayi akan

meniggal karena hidrosefalus sendiri ataupun penyakit penyerta. Skitar 40% bayi

yang bertahan memiliki kecerdasan hampir normal.

Dengan bedah saraf dan penatalaksanaan medis yang baik, sekitar 70% diharap

dapat melampaui masa bayi, sekitar 40% dengan intelek normal, dan sektar 60%

dengan cacat intelek dan motorik bermakna. Prognosis bayi hidrosefalus dengan

meningomilokel lebih buruk.


4. Operasi endoscopic third ventriculostomy (ETV). Pada prosedur ini, cairan

serebrospinal dibuang dengan cara menciptakan lubang penyerapan baru di

permukaan otak. Prosedur ini sering diterapkan pada kasus hidrosefalus yang dipicu

oleh penyumbatan ventrikel otak. ETV bertujuan agar cairan otak dapat tersebar

merata di seluruh bagian otak dan tidak menumpuk di satu lokasi tertentu.

K. Konsep Keperawatan

1. Pengkajian

Pengkajian preoperasi: Kesan umum penderita terutama bayi dan anak, proporsi

kepala terhadap badan, anggota gerak secara keseluruhan tidak seimbang. Anak

biasanya dalam keadaan tidak tenang, gelisah, iritable, gangguan kesadaran, rewel,

sukar makan atau muntah-muntah.

Pada hidrosefalus kongenital kepala sangat besar, fontanela tidak menutup, sutura

melebar, kepala tampak transluse, dengan tulang kepala yang tipis, adanya tanda mac

ewens cracked pot, tanda berupa sunset sign dengan dahi yang lebar.

Pada pemeriksan auskultasi kemungkinan akan terdengarnya bising daerah

posterior oleh karena malformasi V. Galeni. Pertumbuhan kepala yang cepat

mengakibatkan muka terlihat lebih kecil dan tampak kurus.

Adanya riwayat meningitis, infeksi intrakranial/ hemoragie, anoxia prenatal atau

infeksi intrauterine. Pada bayi dan anak pembesaran lingkar kepala yang progresif,

ubun-ubun yang menonjol dan tegang serta tidak berdenyut, vena-vena kulit kepala
melebar, sunset sign, gelisah dan cengeng, sering mual, muntah dan nafsu makan

menurun, bila diperkusi didapat bunyi seperti pot kembang pecah.

Pada anak yang lebih besar gejala utama yang menonjol adalah peningkatan

TIK, muntah dan mengeluh sakit kepala, iritabel, pupil edema kejang baik vokal

maupun umum, perubahan pupil, perubahan pola makan, perubahan tanda vital

(tekanan darah, sistol naik, nadi turun, nafas tidak teratur).

L. Diagnosa yang Mungkin Muncul

1. Perfusi jaringan tidak efektif: Serebral b.d. Kerusakan transport oksigen, penurunan

konsentarsi Hb dalam darah.


2. Risiko infeksi b.d. Faktor risiko: Prosedur invasif, penyakit kronik, tidak

adekuatnya pertahanan tubuh sekunder (Hb turun, leukopenia, penekanan respon

inflamasi).

3. Risiko cidera b.d Faktor risiko: Penurunan Hb, gangguan sistem saraf pusat.

4. Kurang pengetahuan: penyakit, prosedur perawatan b.d. Kurangnya informasi


DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Rupseno, 1985, Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak II, Jakarta, Bagian Ilmu

Kesehatan Anak FK UI.

Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classification

(NIC), Mosby Year-Book, St. Louis

Lismidar, 1990, Proses Keperawatan, Jakarta, UI.

Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC), Mosby Year-

Book, St. Louis

Marjory Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2001-

2002, NANDA

Nelhaus, G. Stumpf, D.A. Moe, P.G.,1987, Neurological and Neuromusculer Disorder,

Current Pediatric Diagnosis, Hinth ed.

Price, S.A., 1988, Patofisiologi Konsep Klimik Prose-proses Penyakit, Bag. II

Terjemahan Adji Dharma, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Smith, C., 1988, Nursing Care Planning Guides for Children, California, Assisten

Professor Child California State University Long Beach.

Tucker, S.M., 1988, Patient Care Standars, The Mosby Company, Washinton, USA.

https://b11nk.wordpress.com/2009/08/22/asuhan-keperawatan-hidrocepalus/

https://www.halodoc.com/kesehatan/hidrosefalus

https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/09/Bahan-Ajar-_-

Hidrosepalus.pdf
KONSEP PENYAKIT AMNESIA

OLEH :

DEVI ALPIANA

A. 18.10.014

Keperawatan A

Prodi S1 Keperawatan

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

Tahun Akademik 2020


AMNESIA

A. DEFINISI

Amnesia, atau yang dikenal juga dengan istilah sindrom amnestik, adalah sebuah

kondisi yang menyebabkan penderitanya kehilangan memori atau ingatan.

Ingatan tersebut umumnya meliputi informasi, fakta-fakta, dan pengalaman

personal. Beberapa orang yang menderita kondisi ini tidak dapat mengingat

fakta atau pengalaman yang terjadi di masa lalu. Lebih parahnya lagi, banyak

pula yang mengalami kesulitan membentuk atau menerima informasi dan

memori baru.

Umumnya, beberapa penderita masih memiliki pengetahuan atau sedikit ingatan

tentang identitas dirinya. Banyak juga yang masih memiliki kemampuan

motorik seperti biasa. Kondisi ini terjadi akibat adanya kerusakan pada bagian

otak yang berfungsi memproses ingatan. Terdapat beberapa masalah kesehatan

yang dapat memicu terjadinya kondisi ini, seperti demensia, stroke, stres,

depresi, atau cedera kepala. Kondisi ini umumnya hanya terjadi untuk sementara

waktu. Namun, dalam beberapa kasus, penderitanya berisiko mengalami

kehilangan ingatan permanen.

Beberapa jenis penanganan medis dapat diberikan untuk meningkatkan

kemampuan ingatan penderita amnesia. Selain itu, dukungan psikologis dari

orang-orang sekitar pun juga penting untuk mengatasi kondisi ini. Amnesia
atau hilang ingatan merupakan suatu kondisi yang sangat umum terjadi.

Umumnya, kondisi ini merupakan akibat dari masalah kesehatan yang lebih

serius, seperti cedera kepala, stroke, atau demensia. Kondisi hilang ingatan

memang dapat menimpa siapa saja, namun kasus kejadiannya lebih banyak

ditemukan pada pasien berjenis kelamin wanita dibanding dengan pria.

Selain itu, terdapat pula beberapa faktor yang bisa membuat seseorang rawan

mengalami hilang ingatan, seperti operasi otak dan konsumsi alkohol yang

berlebihan.

Hilang ingatan adalah kondisi yang dapat diatasi dengan cara mengenali faktor-

faktor risiko yang ada. Untuk mengetahui informasi lebih lanjut mengenai

masalah kesehatan ini, Anda dapat berkonsultasi dengan dokter Anda.

B. Jenis- jenis amnesia

Amnesia dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu retrograde, anterograde,

dan transient global amnesia atau TGA. Berikut adalah penjelasan mengenai

masing-masing jenis:

1) Retrograde amnesia

Jenis retrograde terjadi ketika Anda kehilangan memori atau ingatan yang telah

terbentuk sebelumnya selama Anda hidup. Jenis hilang ingatan ini umumnya

berefek pada ingatan-ingatan yang masih baru terbentuk. Sementara itu, ingatan
atau memori yang lebih lama, seperti kenangan masa kecil, membutuhkan waktu

lebih lama untuk terdampak. Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan hilang

ingatan jenis retrograde adalah demensia

2) Anterograde amnesia

Jika Anda memiliki kondisi hilang ingatan jenis anterograde, ini artinya Anda

kehilangan kemampuan untuk membentuk memori baru. Contohnya, Anda dapat

mengalami kondisi ini ketika mengonsumsi alkohol secara berlebihan dan

mengalami blackout atau pingsan. Kemungkinan lain yang menyebabkan

kondisi ini terjadi adalah kerusakan pada hippocampus, yaitu salah satu bagian

otak yang berperan dalam membuat memori atau ingatan.

3) Transient global amnesia  (TGA)

TGA merupakan kondisi yang masih sulit dipahami. Apabila Anda memiliki

hilang ingatan jenis ini, Anda akan merasakan kebingungan dan kecemasan

sebelum sebuah peristiwa traumatik terjadi. Anda mungkin akan kehilangan

ingatan beberapa jam sebelum kondisi ini menyerang, dan Anda tidak akan

memiliki ingatan apapun tentang pengalaman tersebut. Para ahli meyakini

bahwa TGA terjadi akibat adanya kejang atau penyumbatan pembuluh darah

sementara. Kondisi ini juga lebih sering terjadi pada orang dewasa dan lansia.

4) Infantile amnesia
Kebanyakan orang tidak dapat mengingat 3 hingga 5 tahun pertama

kehidupannya. Kondisi ini sangat umum terjadi dan sering disebut dengan

istilah infantile atau childhood amnesia.

C. Tanda-tanda & gejala

Tanda-tanda dan gejala utama amnesia terdiri dari dua aspek, yaitu:

 Tidak mampu mengingat kejadian atau kenangan di masa lalu, serta

informasi-informasi yang familiar sebelumnya (retrograde)

 Kesulitan mempelajari informasi baru dan mengingat peristiwa-peristiwa

baru (anterograde)

Orang-orang yang menderita kondisi ini juga biasanya mengalami

masalah dengan ingatan jangka pendeknya, sehingga mereka kesulitan

menangkap informasi baru. Pengalaman dan informasi baru akan lebih

mudah hilang, sedangkan ingatan-ingatan yang usianya lebih lama akan

tetap membekas. Misalnya, beberapa orang mungkin bisa mengingat

pengalaman masa kecil dan mengetahui nama presiden-presiden

sebelumnya, tetapi mereka tidak dapat mengingat siapa nama presiden

yang baru, sekarang bulan apa, atau makan apa saat sarapan tadi pagi.

Meskipun demikian, kondisi ini tidak memengaruhi kepandaian,

pengetahuan umum, kesadaran, penilaian, sifat, dan identitas

penderitanya. Orang-orang yang mengalami kondisi ini biasanya masih


dapat memahami kalimat tertulis maupun lisan. Selain itu, penderita

masih dapat mengingat cara berjalan yang benar, cara berbicara, bahasa

yang dikuasai, serta mempelajari keterampilan baru seperti naik sepeda

atau bermain piano. Penderita biasanya dapat mengerti bahwa ia

mengalami kelainan pada ingatannya. Penting untuk diketahui bahwa

amnesia tidak sama dengan demensia. Amnesia memengaruhi ingatan,

namun tidak akan mengganggu bagian kognitif penderitanya. Hal ini

berarti Anda masih dapat mengenal siapa diri Anda dan mengingat

konsep waktu. Lain halnya dengan demensia. Penderita demensia juga

mengalami masalah pada fungsi kognitifnya. Kondisi ini dapat

mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari. Gejala lainnya

meliputi memori yang salah, kebingungan, atau disorientasi. Tergantung

pada penyebabnya, kondisi ini juga mungkin akan menunjukkan gejala-

gejala tambahan, seperti:

 Ingatan atau memori palsu (confabulation), baik memori yang dibuat-

buat maupun diceritakan dengan latar belakang waktu yang berbeda

 Kebingungan atau disorientasi

D. Penyebab

Ingatan manusia umumnya melibatkan beberapa bagian pada otak. Apabila

terdapat penyakit atau cedera yang memengaruhi otak, hal tersebut berpotensi

berdampak pada ingatan pula. Kehilangan ingatan dapat terjadi akibat adanya
kerusakan struktur otak yang membentuk sistem limbik. Sistem ini berfungsi

mengontrol emosi dan ingatan Anda. Struktur-struktur yang membentuk sistem

limbik meliputi thalamus dan formasi hippocampus. Thalamus terletak di bagian

tengah dan terdalam otak Anda, sementara hippocampus berlokasi di lobus

temporal pada otak. Berikut adalah beberapa kondisi kesehatan yang dapat

memicu terjadinya kerusakan pada fungsi ingatan otak:

1) Demensia

Lokasi memori atau ingatan pada otak Anda tergantung pada usia Anda. Jadi,

apabila otak semakin mengalami penurunan fungsi secara menyeluruh, ingatan-

ingatan lama Anda pun akan terpengaruh. Hal ini dapat disebabkan oleh

penyakit demensia, seperti Alzheimer. Penderita demensia biasanya akan

kehilangan ingatannya secara bertahap, mulai dari ingatan-ingatan yang baru dan

dilanjutkan dengan memori yang lama.

2) Anoksia

Anoksia adalah kondisi di mana tubuh Anda kekurangan kadar oksigen.

Penurunan oksigen dapat memengaruhi keseluruhan otak Anda dan memicu

terjadinya hilang ingatan. Apabila anoksia yang dialami tidak terlalu parah dan

tidak berpotensi merusak otak, hilang ingatan pun mungkin akan bersifat

sementara.

3) Kerusakan pada hippocampus


Hippocampus adalah bagian otak dan sistem limbik yang bertugas mengatur

memori dan ingatan manusia. Beberapa fungsinya adalah membentuk ingatan,

mengatur ingatan, dan mengambilnya ketika diperlukan. Sel-sel otak yang

berperan mengatur ingatan ini bersifat lebih rapuh dan memakan banyak energi.

Sel-sel ini mudah rusak oleh anoksia dan ancaman lainnya, seperti zat-zat

beracun. Ketika hippocampus Anda mengalami kerusakan, Anda akan kesulitan

membentuk ingatan baru. Jika hippocampus pada kedua sisi otak Anda

terganggu, ada kemungkinan Anda mengalami anterograde amnesia total.

4) Cedera kepala

Cedera kepala yang traumatik, termasuk stroke, tumor, dan infeksi, dapat

mengakibatkan terjadinya kerusakan pada otak. Kerusakan juga meliputi kondisi

hilang ingatan permanen. Selain itu, kondisi gegar otak juga dapat mengganggu

ingatan Anda selama beberapa jam, hari, atau minggu sebelum dan sesudah

Anda mengalami kecelakaan.

5) Konsumsi alkohol

Minum alkohol berlebihan dalam jangka waktu singkat dapat

menyebabkan pingsan atau blackout. Kondisi ini biasanya termasuk dalam

hilang ingatan jenis anterograde. Sementara itu, konsumsi alkohol berlebihan

dalam jangka waktu panjang dapat menimbulkan munculnya sindrom Wernicke-


Korsakoff. Apabila Anda menderita kondisi ini, Anda secara tidak sadar akan

sulit membentuk ingatan atau memori baru.

6) Trauma atau stres

Trauma atau stres yang parah dapat menyebabkan juga hilang ingatan bersifat

disosiatif. Pada kondisi ini, otak Anda akan membuang jauh-jauh pikiran,

perasaan, dan informasi yang terlalu sulit untuk Anda cerna. Salah satu jenis

hilang ingatan disosiatif, yaitu kelainan identitas (fugue) disosiatif, dapat

menyebabkan penderitanya sering melamun dan cenderung melupakan identitas

dirinya.

7) Terapi elektrokonvulsif

Jika Anda menjalani terapi elektrokonvulsif untuk depresi atau masalah

kesehatan lainnya, Anda mungkin akan mengalami hilang ingatan

jenis retrograde, di mana Anda akan kehilangan memori beberapa minggu atau

bulan sebelum terapi. Selain itu, beberapa penyebab lainnya adalah:

 Ensefalitis, yaitu peradangan otak yang dapat

disebabkan oleh infeksi seperti herpes simplex virus

 Paraneoplastic limbic encephalitis, peradangan pada

otak yang disebabkan reaksi autoimun terhadap kanker

 Kejang-kejang
 Obat-obatan tertentu, seperti benzodiazepines untuk

menangani kegelisahan dan gangguan tidur.

E. Komplikasi Amnesia

Amnesia dapat menganggu kehidupan sehari-hari penderita. Jika terjadi terus menerus, hal

ini dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup. Penderita dapat mengalami kesulitan saat

bekerja, sekolah, atau bersosialisasi akibat kondisi ini. Jika kondisi sudah cukup parah,

beberapa penderita bahkan harus mendapat pengawasan atau tinggal di lembaga

rehabilitasi.

F. Faktor-faktor risiko

Amnesia adalah kondisi yang dapat menimpa siapa saja dari berbagai golongan usia dan ras.

Namun, terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang terkena kondisi

ini. Memiliki satu atau semua faktor risiko bukan berarti Anda dapat dipastikan mengalami

kondisi ini. Ada kemungkinan pula Anda dapat mengalaminya, meskipun Anda tidak

memiliki faktor risiko satu pun. Berikut adalah faktor-faktor risiko yang memicu terjadinya

kondisi ini:

a) Operasi otak

b) Cedera kepala atau trauma

c) Stroke

d) Penyalahgunaan alkohol

e) Kejadian traumatis atau stres


f)Kejang-kejang

Jika Anda merasa berada dalam risiko terkena amnesia, hubungi dokter untuk mengatasi

risiko

G. Diagnosis & pengobatan

Untuk mendiagnosis kondisi hilang ingatan secara akurat, dokter akan

melakukan rangkaian tes komprehensif untuk mengetahui kemungkinan

penyebab hilang ingatan. Selain itu, hasil diagnosis juga dapat membantu

dokter mengetahui adanya masalah kesehatan lain sepert Alzheimer, depresi,

dan tumor otak. Berikut adalah beberapa tes yang dilakukan:

1) Menanyakan riwayat medis

Dokter mungkin akan mengajukan beberapa pertanyaan untuk mengetes

seberapa parah Anda kehilangan ingatan Anda, serta kemungkinan pemicunya.

2) Pemeriksaan fisik

Dokter juga akan memeriksa refleks, fungsi sensorik, keseimbangan, serta

respon fisiologis untuk memastikan fungsi otak dan sistem saraf Anda.

3) Tes kognitif

Tes ini mengukur pemikiran, penilaian, serta memori jangka pendek dan jangka

panjang. Tes ini juga dapat menilai tingkat keparahan kehilangan ingatan Anda.
4) Tes diagnostik

Tes diagnostik. Tes ini meliputi magnetic resonance imaging (MRI)

dan computerized tomography (CT) untuk mendeteksi adanya kerusakan atau

kelainan pada otak. Anggota keluarga atau teman perlu menemani pasien saat

mengunjungi dokter. Hal ini dapat membantu dokter melakukan penilaian yang

lebih tepat apabila pasien tidak dapat menjawab pertanyaan yang diperlukan.

Bagaimana cara mengobati amnesia?

Dalam beberapa kasus, amnesia dapat terselesaikan tanpa perlu penanganan atau

pengobatan khusus. Namun, jika ada masalah kesehatan atau mental yang menjadi

penyebab, pengobatan tertentu akan direkomendasikan. Psikoterapi dapat membantu

pasien dengan kondisi ini. Terapi hipnosis juga efektif membantu pasien mengingat

memori atau ingatan yang telah terlupakan. Selain itu, peran dan dukungan anggota

keluarga sangatlah penting. Menunjukkan foto, aroma tertentu, atau lagu-lagu tertentu

diyakini juga dapat membantu ingatan kembali pulih. Penanganan amnesia umumnya

melibatkan teknik dan strategi yang meliputi:

 Bekerja sama dengan terapis okupasional untuk mendapatkan ingatan baru dan

menggantikan ingatan lama, atau menggunakan ingatan yang masih ada sebagai dasar

untuk menggali informasi baru.

 Mempelajari strategi menyusun informasi yang didapat, agar pasien dapat

menyimpannya dengan baik.


 Menggunakan alat bantu gadget, seperti smartphone, untuk membuat catatan

harian, pengingat, dan sebagainya. Menyimpan daftar kontak beserta foto pemilik

kontak juga mungkin dapat membantu. Hingga saat ini, tidak ada obat yang dapat

mengembalikan memori yang hilang akibat amnesia. Khusus untuk penderita malnutrisi

atau sindrom Wernicke-Korsakoff, kehilangan ingatan berpotensi terjadi akibat

kurangnya thiamin (vitamin B). Maka, pengobatan biasanya meliputi pemberian vitamin

dan nutrisi yang cukup.

Berikut adalah gaya hidup dan pengobatan rumahan yang dapat membantu Anda

mengatasi amnesia:

 Tuliskan gejala tidak biasa yang Anda alami.

 Tuliskan informasi personal penting, termasuk stress atau perubahan gaya hidup

yang Anda ingat. Minta anggota keluarga atau teman-teman untuk membantu Anda

memastikan daftar telah lengkap.

 Catat semua pengobatan yang sedang Anda konsumsi, termasuk vitamin dan

suplemen.

 Minta anggota keluarga atau teman untuk menemani Anda ke dokter.

 Bawa catatan serta pulpen atau pensil untuk mencatat hal-hal yang ingin Anda

ingat.

 Catat pertanyaan yang ingin Anda tanyakan ke dokter.


Daftar pustaka

https://id.m.wikepedia.org/wiki/Amnesia

https://www.alodokter.com/amnesia
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

KONSEP MEDIS

(ENSEFALITIS)

DISUSUN OLEH:

NAMA: DIAN ALFIONITA

KELAS: A S1 KEPERAWATAN

NIM: A.18.10.015

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

TAHUN AKADEMIK 2020/2021


ENSEFALITIS

1. Defenisi

Ensefalitis adalah inflamasi pada jaringan otak yang melibatkan meningen

yang disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme.Adapun pngertian dari

ensefalitis menurut para ahli yakni:

a. Ensefalitis merupakan proses radang akut yang melibatkanmeningen dan

sampai tingkat yang bervariasi, infeksi ini relativelazim dan dapat

disebabkan oleh sejumlah agen yang berbeda (Donna.L.Wong,2000).

b. Encephalitis adalah peradangan pada jaringan otak dan meningen,yang

dapat disebabkan karena virus, bakteri, jamur dan parasit.Encephalitis

karena bakteri dapat masuk melalui fraktur tengkorak. Sedangkan pada

virus disebabkan karena gigitan serangga, nyamuk (arbo virus) yang

kemudian masuk ke susunan saraf pusat melalui peredaran darah.

Pemberian imunisasi juga berpotensi mengakibatkanencephalitis seperti

pada imunisasi polio. Encephalitis karena amuba diantaranya amuba

naegleria fowleri, acantamuba culbertsoni yang masuk melalui kulit yang

terluka.(Dewanto,2007).

c. Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri,

cacing, protozoa, jamur, ricketsia atau virus (Arif Mnasur:2000).

d. Ensefalitis adalah peradangan akut otak yang disebabkan oleh infeksi virus.

Terkadang ensefalitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri,seperti

meningitis, atau komplikasi dari penyakit lain seperti rabies (disebabkan


oleh virus) atau sifilis (disebabkan oleh bakteri). Penyakit parasit dan

protozoa seperti toksoplasmosis, malaria, atau primaryamoebic.(Tarwoto &

Wartonah, 2007).

2. Etiologi

a. Untuk mengetahui penyebab encephalitis perlu pemeriksaan bakteriologik

dan virulogik pada spesimen feses, sputum, serum darah ataupun cairan

serebrosspinalis yang harus diambil pada hari-hari pertama. Berbagai macam

mikroorganisme dapat menimbulkan ensefalitis, misalnya bakteria, protozoa,

cacing, jamur, spirochaeta, dan virus. Bakteri penyebab ensefalitis adalah

Staphylococcus aureus, streptokok, E. Coli, M. Tuberculosa dan T.

Pallidum. Encephalitis bakterial akut sering disebut encephalitis supuratif

akut. (Mansjoer,2000).

b. Penyebab lain dari ensefalitis adalah keracunan arsenik dan reaksi toksin dari

thypoid fever, campak dan chicken pox/cacar air.Penyebab encephalitis yang

terpenting dan tersering ialah virus.Infeksi dapat terjadi karena virus

langsung menyerang otak, ataureaksi radang akut infeksi sistemik atau

vaksinasi terdahulu.

Encephalitis dapat disebabkan karena:

 Arbovirus dapat masuk ke tubuh manusia melalui gigitan

nyamuk dan serangga. Masa inkubasinya antara 5 sampai 15

hari.

 Enterovirus
Termasuk dalam enterovirus adalah poliovirus, herpes

zoster.Enterovirus disamping dapat menimbulkan encephalitis

dapat pula mengakibatkan penyakit mumps (gondongan).

 Herpes simpleks

Herpes simpleks merupakan penyakit meningitis yang sangat

mematikan di Amerika utara (Hickey dalam Donna, 1995).

 Amuba

Amuba penyebab encephalitis adalah amuba Naeglaria dan

Acanthamoeba, keduanya ditemukan di air dan dapat masuk

melalui mukosa mulut saat berenang.

 Rabies

Penyakit rabies akibat gigitan binatang yang terkena rabies

setelah masa inkubasi yang berlangsung berminggu-minggu atau

berbulan-bulan.

 Jamur

Jamur yang dapat menimbulkan encephalitis adalah fungus

Blastomyces dermatitidis, biasanya menyerang pria yang bekerja

diluar rumah. Tempat masuknya melalui paru-paru atau lesi pada

kulit.

3. Patofisiologi

Virus atau agen penyebab lainnya masuk ke susunan saraf pusat melalui

peredaran darah, saraf perifer atau saraf kranial, menetap dan berkembang biak
menimbulkan proses peradangan. Kerusakan pada myelin pada akson dan White

matter dapat pula terjadi . Reaksi peradangan juga mengakibatkan perdarahan ,

edema, nekrosis yang selanjutnya dapat terjadi peningkatan tekanan intracranial.

Kematian dapat terjadi karena adanya herniasi dan peningkatan tekanan

intracranial. (Tarwoto Wrtonah 2007).

Virus masuk tubuh klien melalui kulit, saluran napas, dan saluran cerna.Setelah

masuk ke dalam tubuh, virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan beberapa

cara:

 Lokal: virus alirannya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan atau

organ tertentu.

 Penyebaran hematogen primer: virus masuk ke dalam darah,kemudian

menyebar ke organ dan berkembang biak di organ tersebut.

 Penyebaran melalui saraf-saraf: virus berkembang biak di permukaan

selaput lender dan menyebar melalui system persarafan.

Setelah terjadi penyebaran ke otak terjadi manifestasi klinis ensefalitis.Masa

prodromal berlangsung 1-4 hari ditandai dengan demam, sakitkepala, pusing,

muntah nyeri tenggorokan, malais, nyeri ekstremitas, dan pucat. &uhu badan

meningkat, fotofobia, sakit kepala, muntah'muntah,letargi, kadang disertai

kakukuduk apabila infeksi mengenai meningen.Pada anak, tampak gelisah

kadang disertai perubahan tingkah laku. $apatdisertai gangguan penglihatan,

pendengaran, bicara, serta kejang. 3ejalalain berupa gelisah, re7el, perubahan


perilaku, gangguan kesaadaran,kejang. 4adang'kadang disertai tanda neurologis

fokal berupa afassia,hemiparesis, hemiplagia, ataksia, dan paralisis saraf otak.

4. Manifestasi klinis

Meskipun penyebabnya berbeda-beda, gejala klinis ensefalitis lebih kurang

sama dan khas, sehingga dapat digunakan sebagai kriteria diagnosis. Secara

umum,gejala berupa trias ensepalitis yang terdiri dari demam, kejang dan

kesadaran menurun, sakit kepala, kadang disertai kaku kuduk apabila infeksi

mengenai meningen,dapat terjadi gangguan pendengaran dan penglihatan.

( Mansjoer 2000).

Menurut (Hassan,1997), adapun tanda dan gejala ensefalitis sebagai berikut

 Suhu yang mendadak naik,seringkali ditemukan hiperpireksia

 Kesadaran dengan cepat menurun

 Muntah

 Kejang-kejang yang dapat bersifat umum, fokal atau twiching saja

(kejang-kejang di muka).

 Gejala-gejala serebrum lain, yang dapat timbul sendiri-sendiri atau

bersama-sama, misal paresis atau paralisis, afasia, dan sebagainya.

Inti dari sindrom ensefalitis adalah adanya demam akut, demam kombinasi

tanda dan gejala: kejang, delirium, bingung, stupor atau koma aphasia hemiparesis

dengan asimetri refleks tendon dan tanda babinski,gerakan infolunter, ataxia,

nystagmus, kelemahan otot-otot wajah.


5. Pemeriksaan diagnostic

Pemeriksaan Diagnostik menurut (Victor,2001) yaitu:

h. Biakan:

 Dari darah : viremia berlangsung hanya sebentar saja sehingga sukar

untuk mendapatkan hasil yang positif.

 Dari likuor serebrospinalis atau jaringan otak (hasil nekropsi),akan

didapat gambaran jenis kuman dan sensitivitas terhadap antibiotika.

 Dari feses, untuk jenis enterovirus sering didapat hasil yang positif.

 Dari swap hidung dan tenggorokan, akan didapat hasil kultur positif.

i. Pemeriksaan serologis: uji fiksasi komplemen , uji inhibisi hemaglutinasi

dan uji neutrilisasi. Pada pemeriksaan serologis dapat diketahui reaksi

antibody tubuh, IgM dapat dijumpai pada awal gejala penyakit timbul.

j. Pemeriksaan darah: terjadi peningkatan angka leukosit.

k. Punksi lumbal Likuor serebospinalis sering dalam batas normal, kadang-

kadang ditemukan sedikit peningkatan jumlah sel, kadar protein atau

glukosa.

l. EEG/ Electroencephalography EEG sering menunjukkan aktivitas listrik

yang merendah sesuai dengan kesadaran yang menurun. Adanya kejang,

koma, tumor, infeksi system saraf, bekuan darah, abses, jaringan parut

otak, dapat menyebabkan aktivitas listrik berbeda dari pola normal irama

dan kecepatan (Smeltzer, 2002).


m. CT scan pemeriksaan CT scan otak seringkali didapat hasil normal,tetapi

bisa pula didapat hasil edema diffuse, dan pada kasus khusus seperti

Ensefalitis herpes simplex, ada kerusakan selektif pada lobus

inferomedial temporal dan lubus frontal.

6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dilakukan pada ensefalitis menurut (Victor, 2001) antara

lain:

a. Isolasi:bertujuan mengurangi stimuli?rangsangan dari luar dan sebagai

tindakan pencegahan.

b. Terapi antimikroba, sesuai hasil kultur. Obat yang mungkin dianjurkan oleh

dokter:

 Ampicillin: 200 mg/kg BB/24 jam, dibagi 4 dosis.

 Kemicetin: 100 mg/kg BB/24 jam, dibagi 4 dosis.

c. Bila encephalitis disebabkan oleh virus (HSV), agen antiviral acyclovir

secara signifikan dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas HSV

encephalitis. Acyclovir diberikan secara intravena dengan dosis 30 mg/kg

per hari dan dilanjutkan selama 10-14 hari untuk mencegah kekambuhan.

d. Untuk kemungkinan infeksi sekunder diberikan antibiotika secara

polifragmasi.
e. Mengurangi meningkatnya tekanan intracranial: manajemen edema otak.

f. Mempertahankan hidrasi, monitor balans cairan: jenis dan jumlah cairan

yang diberikan tergantung keadaan anak.

g. Glukosa 20%, 10 ml intravena beberapa kali sehari disuntikkan dalam pipa

giving set untuk menghilangkan edema otak.

h. Kartkosteroid intramuscular atau intravena dapat juga digunakan untuk

menghilangkan edema otak.

i. Mengontrol kejang: Obat antikonvulsif diberikan segera untuk

memberantas kejang. Obat yang diberikan ialah valium dan atau luminal.

j. Valium dapat diberikan dengan dosis 0,3,-0,5 mg/kg BB/kali.

k. Bila 15 menit belum teratasi/kejang lagi bisa diulang dengan dosis yang

sama.

l. Jika sudah diberikan 2 kali dan 15 menit lagi masih kejang, berikan valium

drip dengan dosis 5 mg/kgBB/24 jam.

m. Mempertahankan ventilasi: Bebaskan jalan nafas, berikan O2 sesuai

kebutuhan (2-31/menit).

n. .Penatalaksanaan shock septik.

o. Mengontrol perubahan suhu lingkungan.


p. Untuk mengatasi hiperpireksia, diberikan kompres pada permukaantubuh

yang mempunyai pembuluh besar, misalnya pada kiri dan kanan leher,

ketiak, selangkangan, daerah proksimal betis dan di atas kepala. sebagai

hibernasi dapat diberikan largaktil 2 mg/kgBB/hari hari dan phenergan 4

mg/kgBB/hari secara intravena atau intramuscular dibagi dalam 3 kali

pemberian.dapat juga diberikan antipiretikum sepertiasetosal atau

parasetamol bila keadaan telah memungkinkan pemberian obat peroral.

7. Komplikasi

Komplikasi pada ensefalitis berupa

 6etardasi mental

 Iritabel

 Gangguan motorik

 Epilepsie.

 Emosi tidak stabilf.&

 Sulit tidur

 Halusinasi

 Enuresisi

 Anak menjadi perusak dan melakukan tindakan asosial lain.


DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/10981650/asuhan_keperawatan_ensefalitis
Keperawatan Medikal Bedah II

Kelumpuhan (Paralisis)

Oleh:

Nama : Eka Hasriani R

Nim : A 18.10.016

Kelas : A S1 Keperawatan

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

TAHUN AKADEMIK 2020/2021


A. Defenisi

Paralisis adalah kondisi lumpuh karena gangguan saraf yang berperan

dalam mengatur gerakan otot tubuh. Paralisis membuat anggota tubuh tidak bisa

digerakkan. Kondisi ini paling sering dialami oleh penderita stroke atau orang

yang mengalami cedera saraf tulang belakang. Ada banyak penyebab yang

berbeda dan beberapa di antaranya dapat menjadi serius. Tergantung dari

penyebabnya, kondisi ini bisa terjadi sementara atau permanen.

B. Etiologi

Sebagian besar penyebab kelumpuhan adalah stroke atau kecelakaan,

seperti cedera tulang belakang atau leher yang patah, penyebab lain dari

kelumpuhan adalah :

1. Cerebral palsy

Paralisis sejak lahir. Kondisi ini terjadi karena cacat bawaan lahir.

2. Sindrom pasca polio

Kelumpuhan yang terjadi bertahun-tahun setelah terserang polio

3. Bell's palsy

Lumpuh tiba-tiba di salah satu sisi wajah. Gejala penyakit Bell’s

palsy pada masing-masing orang bisa berbeda, terkadang kondisi ini disertai

nyeri pada telinga dan wajah.

4. Neurofibromatosis

Neurofibromatosis adalah kelainan genetic yang mengakibatkan

terganggunya pertumbuhan sel sehingga tumor dapat berkembang dengan


mudah di sel saraf otak, sumsung tulang belakang, dan juga saraf tepi.

Kondisi ini juga lantas menjadi penyebab paralisis yang umum terjadi.

C. Patofisiologi

Meski otot tubuh yang terkena imbasnya, paralisis bukan disebabkan

oleh masalah pada otot. Kelumpuhan justru terjadi karena kelainan saraf motorik

atau saraf tulang belakang yang membawa pesan gerakan dari otak.

Setiap serabut otot yang mengatur gerakan disadari melalui dua

kombinasi sel saraf , salah satunya terdapat pada korteks motorik, serabut –

serabutnya berada tepat pada traktus piramida yaitu penyilangan traktus

piramida, dan serat lainnya berada pada ujung anterior medula spinalis, serat –

seratnya berjalan menuju otot. Yang pertama disebut sebagai neuron motorik

atas ( upper motor neuron ) dan yang terakhir disebut neuron motorik batah

( lower motor neuron ). Setiap saraf motoric yang menggerakkan setiap otot

merupakan komposisi gabungan ribuan saraf – saraf motorik bawah.

Jarak motorik dari otot ke medula spinalis dan juga dari serebrum ke

batang otak dibentuk oleh UMN. UMN mulai di dalam korteks pada sisi yang

berlawanan di otak, menurun melalui kapsul internal, menyilang ke sisi

berlawanan di dalam batang otak, menurun melalui traktus kortikospinal dan

ujungnya berakhir pada sinaps LMN. LMN menerima impuls di bagian ujung

saraf posterior dan berjalan menuju sambungan mioneural. Berbeda dengan

UMN, LMN berakhir di dalam otot. Ciri – ciri klinik pada lesi di UMN dan

LMN adalah :
- UMN : kehilangan kontrol volunter, peningkatan tonus otot,

spastisitas otot, tidak ada atropi otot, reflek hiperaktif dan abnormal

- LMN : kehilangan kontrol volunter, penurunan tonus otot, paralysis

flaksid otot, atropi otot, tidak ada atau penurunan reflek.

Rangkaian sel saraf berjalan dari otak melalui batang otak keluar menuju

otot yang disebut motor pathway. Fungsi otot yang normal membutuhkan

hubungan yang lengkap disepanjang semua motor pathway. Adanya kerusakan

pada ujungnya menurunkan kemampuan otak untuk mengontrol pergerakan –

pergerakan otot.

Hal ini menurunkan efesiensi disebabkan kelemahan, juga disebut

paresis. Kehilangan hubungan yang komplit menghalangi adanya keinginan

untuk bergerak lebih banyak. Ketiadaan kontrol ini disebut paralisis.

Batas antara kelemahan dan paralisis tidak absolut. Keadaan yang

menyebabkan kelemahan mungkin berkembang menjadi kelumpuhan. Pada

tangan yang lain, kekuatan mungkin memperbaiki lumpuhnya anggota badan.

Regenerasi saraf untuk tumbuh kembali melalui satu jalan yang mana kekuatan

dapat kembali untuk otot yang lumpuh. Paralisis lebih banyak disebabkan

perubahan sifat otot. Lumpuh otot mungkin mebuat ototo lemah, lembek dan

tanpa kesehatan yang cukup, atau mungkin kejang, mengetat, dan tanpa sifat

yang normal ketika otot digerakkan.

D. Menifestasi klinis
Gejala umum dari paralisis adalah hilangnya kemampuan untuk

menggerakkan anggota tubuh. Kondisi ini bisa muncul bertahap atau secara tiba-

tiba. Paralisis bisa terjadi pada satu atau beberapa area tubuh, tergantung pada

penyebabnya. Bagian tubuh yang umumnya terkena paralisis di antaranya:

- Tangan

- Wajah

- Salah satu sisi tubuh (hemiplegia)

- Satu tangan atau satu tungkai

- Kedua tangan dan tungkai (tetraplegia atau quadriplegia)

- Kedua tungkai (paraplegia)

Selain sulit digerakkan, gejala lainnya dari paralisis adalah kaku disertai

kedutan, mati rasa, nyeri, kesemutan, serta lemas dan lunglai pada otot.

Kesulitan bicara, kesulitan menelan, dan kesulitan bernapas juga bisa menjadi

indikasi paralisis yang butuh penanganan sesegera mungkin.

E. Pemeriksaan diagnostik

Diagnosis terhadap kelumpuhan seringkali mudah, terutama ketika

kehilangan fungsi otot yang sangat terlihat. Kelumpuhan pada organ dalam

tubuh, lebih sulit diidentifikasi. Untuk kondisi ini, dokter akan menggunakan x-

ray (foto rontgen), CT scan, MRI atau pemeriksaan pencitraan lainnya.

Jika pasien mengalami cedera tulang belakang, dokter akan

menggunakan mielografi untuk menilai kondisi kesehatan pasien. Pada prosedur


ini, dokter akan memasukkan alat khusus ke saraf di tulang belakang.Alat ini

akan membantu dokter melihat saraf dengan jelas pada x-ray. Dokter juga akan

melakukan elektromiografi. Dalam prosedur ini, pasien akan menggunakan

sensor untuk mengukur aktivitas listrik pada otot.

Diagnosis dilakukan berdasarkan penelusuran riwayat gejala yang

dirasakan penderita. Selain itu, dokter juga akan melakukan pemeriksaan fisik

dan penunjang seperti MRI, CT scan, tes darah, dan pemeriksaan hantaran listrik

saraf. Setelah penyebab paralisis diketahui, penanganan paralisis akan

disesuaikan dengan tingkat kelumpuhan dan diagnosis penyakitnya.

F. Penatalaksanaan

Rencana pengobatan akan tergantung pada penyebab dari kelumpuhan, serta

gejala yang dialami. Dokter bisa merekomendasikan:

 Operasi atau kemungkinan amputasi

 Terapi fisik (fisioterapi)

 Terapi okupasi

 Penggunaan kursi roda, penopang, skuter atau alat penopang lainnya

 Pemberian Obat, seperti botox atau pelemas otot pada kasus paralisis spastik

Dalam banyak kasus, kelumpuhan tidak dapat diobati. Namun, tim dokter

akan merekomendasikan sejumlah pengobatan, alat dan strategi untuk

membantu mengelola gejala.


Daftar Pustaka

https://www.academia.edu/10223927/paralysis-therapy

https://www.sehatq.com/penyakit/kelumpuhan

https://www.alodokter.com/memahami-paralisis-dan-penyebab-yang-mendasarinya
Eli Ariyanti Putri

POLIOMYELITIS

OLEH :

Nama : Eli Arianti Putri

Nim : A.18.10.017

Kelas : A.keperawatan

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

PRODI S1 KEPERAWATAN

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


KONSEP MEDIS PENYAKIT STROKE

DI SUSUN

OLEH

NAMA : ELIS

NIM : A 18.10.018

KELAS : A KEPERAWATAN

PRODI S1 KEPERAWATAN

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

TAHUN AKADEMIK 2020/2021

Stroke
A. Pengertian stroke

Stroke ( gangguan peredaran darah) merupakan penyakit enerologi yang

sering dijumpai dan harus ditangani secara cepat dan tepat. Srtoke merupakan

kelainan fungsi otak yang timbul mendadak yang disebabkan terjadinya gangguan

peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Stroke

merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan cacat berupa gangguan

bicara,kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berfikir, daya ingat dan

bentuk-bentuk kecacatan yang lain seperti akibat gangguan fungsi otak. Menurut

WHO stroke adalah adanya tanda-tanda vital klinik yang berkembang secara cepat

akibat gangguan fungsi otak vocal atau global dengan gejala-gejala yang

berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya

penyebab lain yang jelas selain vaskula.

B. Beberapa penyebab stroke yaituh:

1. Trombosit selebri

Trombosit selebri pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga

menyebabkan dispnia jaringan otak yang dapat menimbulkan edema dan kogesti

disekitarnya . trombosit biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur dan

bangun tidur, hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas spatif dan

penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemia selebri. Tanda dan

gejala neurologis sering kali menburuk dalam 48 jam setelah terjadinya

trombosit. Beberapa keadaan yang enyebabkan trombosit otak yaituh :


- Aterokreosis adalah pengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya

kelenturan atau elestitas dinding pembuluh darah. Manifestasi klinis

atreokresois bermavcam-macam kerusakan dapat terjadi melalui mekanisme

berikut : lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran

darah , auklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi trombosis

merupakan tempat terbentuknya thrombus kemudian melepaskan kepingan

thrombus atau embolus dan dinding arteri menjadi lemah dan terjadi

ainorisma kemudian robet dan terjadi pendarahan.

- Hiperguolasi pada polisitemia

Darah bertambah kental peningkatan konsitas atau hemafrit meningkat dapat

melambat aliran darah selebri.

- Arteritis radang pada arteri

2. Emboli

Emboli selebri merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuang

darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus di

jantung yang terlepas dan tersumbat oleh system arteri selebri. Emboli tersebut

tertuntung cepat dan gejala timbul kurang dari 10 sampai 30 detik. Beberapa

keadaan dibawah inidapat menimbulkan emboli yaituh katup-katup jantung yang

rusak akibat penyakit jantung, reumatik, infarmiokardium firflilasi keadaan

aritmia menyebabkan berbagai bentuk pengosongan kontrikel dan menbentuk

gumpalan kecil dan sewaktu-waktu kosong sama sekali mengeluarkan embolus-


embolus kecil, endokeritis oleh bakteri dan non bakteri menyebabkan

terbentuknya gumpalan-gumpalan pada endrokardium.

3. Hemokaragit

Perdarahan intrakarnial atau intraselebri meliputi perdarahan didalam ruang

subarakonit atau didalam jaringan otak itu sendiri. Pendarahan ini dapat terjadi

karena aterokerosisdan hipertensi.

4. Hipoksia umum

Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia umum adalah hipertensi

yang parah, henti jantung paruh, curah jantung turun akibat aritmia.

5. Hipoksia local

Beberapa penyebab hubungan dengan berhubungan dengan hipoksia local

setempat adalah stasme arteri selebri yang disertai perdarahan subarakronik,

paskotriksi otak disertai sakit kepala migran.

C. Faktor-faktor resiko stroke :

1. Hipertensi

2. Penyebab kardiovaskular-selebri berasala dari jantung (penyakit arteri

koronaria, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri ,arnormalitasirama

khsusunya hiperbilasis natrium, penyakit jantung kontriksi )


3. Kalestrol tinggi

4. Obesitas

5. Peningkatan hematoprit resiko infart selebri

6. Diabetes

7. Kontasebsi oral disertai hipertensi dan merokok denga hydrogen tinggi

8. Merokok

9. Penyalahgunaan obat

10. Mengkomsumsi alcohol

D. Klasifikasi stroke dibedakan menurut patologi serangan srtoke meliputi

- Stroke hemoragit merupakan pendarahan selebri dan mungkin pendarahan

sipatenoittdisebebkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak

tertentu. Stroke hemarogit adalah difungsi pendarahan hematologi yang akut

yang disebebkan oleh pendarahan otak terjadi secara spontan dan bkan

karena trauma kapitis disebabkan karena pecahnya pembuluh darah arteri

pena dan kapiler.

- Stroke non hemaragit dapat berupah iskemia atau imboli dan trombosit

selebri biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat baru bangun atau dipagi

hari. Jika terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan

hipoksia dan selanjutnya ditimbulkan edema sekunder.

E. Patofisiologi stroke

Impart selebri adalah berkurangnya udara kealiran udara tertentu diotak luasnya

impart bergantung pada fakto-faktor seperti lokasi dan besarnya pebuluh darah dan
adekuatnya sirkulasi perseral terhadap aritmia yang disuplai oleh pembuluh darah

yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berupah makin lambat atau cepat pada

gangguan lokal thrombosis emboli perdarahan spasme faskula atau karena gangguan

umum hipoksia karena gangguan paruh dan jantung. Thrombus dapat pecah dari

dinding pembuluh darah dan diperluas sebagai emboli dalam aliran darahterombus

mengakibatkan yang pertama yaituh ekomiat jaringan otak pada area yang disuplai

oleh pembuluh darah yang bersangkutan ,kedua edema dan kongesti disekitar area.
Daftar pustaka :

Hhtps://Buku ajar asuhan keperawatan dengan gangguan system persarafan google

books.com.id
AKALASIA

FADLIAH ISNAINI

KELAS : A

NIM : A1810019

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

PRODI SI KEPERAWATAN
DEFENISI

Akalasia adalah suatu gangguan modilitas primer esofargus yang ditandai oleh

kegagalan sfigteresofargus bafian bawah yang hipertonik untuk berelaksasi pada waktu

menelan makanan dan hilangnya peristaltis esofargus. Kelainan ini menyebabkan

obstruksi fungsional dari batas dan lambung .

ETIOLOGI

Penyebab penyakit ini sampai sekarang belu diketehui. Namun, secara histologik pada

penyakit akalasia ditemukan penyebab berupa degenerasi sel ganglion plexus auerbach

di gelombang peristalik primer tidak mencapai stifngter esophargus bawah. Menurut

etiologinya, akalasia dapat terbagi dalam 2 bagian, yaitu:

1. Akalasia primer idiopatik

2. Akalasia skunder

Berdasarkan teori etiologinya :

1. Teori genetic

2. Teori infeksi

3. Teori autoimun

4. Teori degenerative

FATOFISIOLOGI
Menurut castel ada dua efek penting pada pasien akalasia:

1. Obstruksi pada sambungan esofargus dan lambung akibat peningkatan sfingter

esophargus bawah istirahat jauh di atas normal dan gagalnya sfingter

esophargus bawah untuk relaksasi sempurna.

2. Peristaltic esofhargus yang tidak normal disebabkan karena paristaltik dan

dilatasi 2/3 bagian bawah korpus esofhargus. Akibat lemah dan tidak

terkoordinasinya peristaltic sehigga tidak efektif dalam mendorong bolus

makanan melewati sfigter esofargus bawah.

MANIFESTASI KLINIS

1) DISFAGIA

Sukar menelan baik untuk makanan padat maupun cair

2) REGURGITASI

Aliran kembali

3) PENURUNAN BERAT BADAN

Rasa takut untuk makan karena timbulnya asa nyeri pada saat menelan

4) GEJALA YANG MENYERTAI GEJALA UTAMA, SEPERTI NYERI DADA

KOMPLIKASI

 Obstruksi saluran pernafas


 Bronchitis

 Pneumonia aspirasi

 Abses paru

 Divertikulun meckel

 Perforasi esofargus

 Small cell carcinoma

 Sudden death

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

n. Pemeriksaan diagnostic

o. Pemeriksaan esofagoskopi

p. Pemeriksaan monometrik

q. Menelan barium atau esogogastroduodenoskopi (EGD) + moneter

r. Pemeriksaan motilitas

PENATALAKSANAAN

 Medikamentosa pemeberian obat peroral

 Injeksi botulinum tiksin

 Dilatasi SEB

 Miotomy heller
Daftar Pusataka

https://id.scribd.com/presentation/358063427/KONSEP-MEDIS-AKALASIA
KONSEP DASAR MEDIS

“ Penyakit Tumor Otak”

DI SUSUN OLEH :

Nama : Fatmawati

Nim : A.18.10.020

Kelas : A “S1 Keperawatan”

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

TAHUN AJAR 2020/2021


Konsep Dasar medis

3. DEFINISI

Tumor otak adalah lesi intra kranial yang menempati ruang dalam tulang

tengkorak. Tumor otak suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak (benigna) dan ganas

(maligna) membentuk massa dalam ruang tengkorak kepala (intra cranial) atau di

sumsum tulang belakang (medulla spinalis).

4. ETIOLOGI

Menurut Ngoerah (2005) faktor-faktor yang berperan dalam timbulnya suatu

tumor otak adalah

s. Genetik

Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali

pada Meningioma, Astrochytoma dan Neurofibroma dapat dijumpai pada

anggota-anggota sekeluarga. Skelerosis tuberose atau penyakit Struge-Waber

yang dapat dianggap sebagai manifestasi klinis pertumbuhan baru

memperlihatkan faktor familial yg jelas. Selain jenis neoplasma trsebut tidak

ada bukti-bukti yg kuat untuk memikirkan adanya faktor faktor hereditas yg

kuat pada neoplasma.

t. Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)

Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan

yang mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Ada

kalanya sebagian dari bangunan embrional tertinggal dalam tubuh menjadi


ganas dan merusak bangunan di sekitarnya. Perkembangan abnormal itu

dapat terjadi pada Kraniofaringioma, terotoma intracranial dan kordoma.

u. Radiasi

Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat

mengalami perubahan degenerasi namun belum ada bukti radiasi dapat

memicu terjadinya suatu glioma. Meningioma pernah dilaporkan terjadi

setelah timbulnya suatu radiasi Virus Banyak penelitian tentang inokulasi

virus pada binatang kecil dan besar yang dilakukan dengan maksud untuk

mengetahui peran infeksi virus dalam proses terjadinya neoplasma tetapi

hingga saat ini belum ditemukan hubungan antara infeksi virus dengan

perkembangan tumor pada sistem saraf pusat.

v. Substansi-substansi karsinogenik

Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas dilakukan.

Kini telah diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti

methylcholanthrone, nitros-ethyl-urea. ini berdasarkan percobaan yg

dilakukan pada hewan.

5. PATOFISIOLOGI

Menurut Price (2006) tumor otak menyebabkan gangguan neurologic yang

disebabkan oleh gangguan neurologis. Gejala-gejala terjadi berurutan. Hal ini

menekankan pentingnya anamnesis dalam pemeriksaan klien. Gejala-gejalanya

sebaiknya dibicarakan dalam suatu perspektif waktu. Gejala neurologik pada

tumor otak biasanya disebabkan oleh 2 faktor gangguan fokal, disebabkan oleh
tumor dan tekanan intrakranial. Gangguan fokal terjadi apabila penekanan pada

jaringan otak dan infiltrasi/invasi langsung pada parenkim otak dengan

kerusakan jaringan neuron. Tentu saja disfungsi yang paling besar terjadi pada

tumor yang tumbuh paling cepat. Perubahan suplai darah akibat tekanan yang

ditimbulkan tumor yang tumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan

suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai kehilangan fungsi

secara akut dan mungkin dapat dikacaukan dengan gangguan cerebrovaskuler

primer.Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuro

dihubungkan dengan kompresi invasi dan perubahan suplai darah ke jaringan

otak. Beberapa tumor membentuk kista yang juga menekan parenkim otak

sekitarnya sehingga memperberat gangguan neurologis fokal. Peningkatan

tekanan intra kranial dapat diakibatkan oleh beberapa faktor : bertambahnya

massa dalam tengkorak, terbentuknya oedema sekitar tumor dan perubahan

sirkulasi cerebrospinal. Pertumbuhan tumor menyebabkan bertambahnya massa,

karena tumor akan mengambil ruang yang relatif dari ruang tengkorak yang

kaku.

Tumor ganas menimbulkan oedema dalam jaringan otak. Mekanisme belum

seluruhnya dipahami, namun diduga disebabkan selisih osmotik yang

menyebabkan perdarahan. Obstruksi vena dan oedema yang disebabkan

kerusakan sawar darah otak, semuanya menimbulkan kenaikan volume

intrakranial. Observasi sirkulasi cairan serebrospinal dari ventrikel laseral ke

ruang sub arakhnoid menimbulkan hidrocepalus. Peningkatan tekanan


intrakranial akan membahayakan jiwa, bila terjadi secara cepat akibat salah satu

penyebab yang telah dibicarakan sebelumnya. Mekanisme kompensasi

memerlukan waktu berhari-hari/berbulan-bulan untuk menjadi efektif dan oleh

karena itu tidak berguna apabila tekanan intrakranial timbul cepat. Mekanisme

kompensasi ini antara lain bekerja menurunkan volume darah intra kranial,

volume cairan serebrospinal, kandungan cairan intrasel dan mengurangi sel-sel

parenkim. Kenaikan tekanan yang tidak diobati mengakibatkan herniasi ulkus

atau serebulum. Herniasi timbul bila girus medialis lobus temporals bergeser ke

inferior melalui insisura tentorial oleh massa dalam hemisfer otak. Herniasi

menekan menensefalon menyebabkan hilangnya kesadaran dan menekan saraf

ketiga. Pada herniasi serebulum, tonsil sebelum bergeser ke bawah melalui

foramen magnum oleh suatu massa posterior. Kompresi medula oblongata dan

henti nafas terjadi dengan cepat. Intrakranial yang cepat adalah bradicardi

progresif, hipertensi sistemik (pelebaran tekanan nadi dan gangguan pernafasan).

6. TANDA DAN GEJALA

Gejala tumor otak bervariasi dari satu penderita ke penderita lain tergantung pada

ukuran dan bgian otak yang terjangkit. Tumor bisa membuat area otak yg

terjangkit tidak berfungsi dengan baik dan meekan jarinagan otak sehingga

menyebabkan sakit kepala serta kejang-kejang. Berikut ini tanda dan gejala umum

tumor otak berupa :

1) Muncul sakit kepala atau perubahan pola sakit kepala


2) Sakit kepala secara bertahap menjadi makin sering dan makin parah

3) Mual atau muntah tanpa sebab

4) Masalah penglihatan, seperti penglihatan kabur, dan lain-lain

5) Secara bertahap hilang sensasi atau gerakan tangan atau kaki

6) Sulit menjaga keseimbangan

7) Sulit berbicara

8) Kebingungan terhadap persoalan sehari-hari

9) Perubahan kepribadian atau kebiasaan

10) Kejang khususnya pada seseorang yang tidak pernah mengalami kejang

11) Masalah pendengaran

7. Komplikasi

Adapun komplikasi yang dapat kita temukan pada pasien yang menderita tumor

otak ialah :

a) Gangguan fisik neurologist

b) Gangguan kognitif

c) Gangguan tidur dan mood

d) Disfungsi seksual.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Menurut Satyanegara (2005) pemeriksaan diagnostik yaitu :

1) Arterigrafi atau Ventricolugram : untuk mendeteksi kondisi patologi pada sistem

ventrikel dan cisterna.

2) CT – SCAN : Dasar dalam menentukan diagnosa.


3) Radiogram : Memberikan informasi yang sangat berharga mengenai struktur,

penebalan dan klasifikasi, posisi kelenjar pinelal yang mengapur; dan posisi

selatursika.

4) Elektroensefalogram (EEG) : Memberi informasi mengenai perubahan kepekaan

neuron.

5) Ekoensefalogram : Memberi informasi mengenai pergeseran kandungan intra

serebral.

F. PENATALAKSANAAN MEDIS

Pemeriksaan neuroradiologis yang dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi ada

tidaknya kelainan intra kranial, adalah dengan:

3. Rontgen foto (X-ray) kepala lebih banyak sebagai Screening test, jika ada tanda-

tanda peninggian tekanan intra kranial, akan memperkuat indikasiperlunya

dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

4. Angiografi suatu pemeriksaan dengan menyuntikkan bahan kontras ke dalam

pembuluh darah leher agar dapat melihat gambaran peredaran darah

(vaskularisasi) otak.

5. Computerized Tomography(CT-Scan kepala) dapat memberikan informasi

tentang lokasi tumor tetapi MRI telah menjadi pilihanuntuk kebanyakan karena

gambaran jaringan lunak yang lebih jelas.

6. Magnetic Resonance Imaging(MRI), bisa membuat diagosa yang lebih dini dan

akurat serta lebih defititif. Gambar otak tersebut dihasilkan ketika medan magnet

berinteraksi dengan jaringan pasien itu


7. Radiotherapi Biasanya merupakan kombinasi dari terapi lainnya tapi tidak arang

pula merupakan therapi tunggal. Adapun efek samping : kerusakan kulit di

sekitarnya, kelelahan, nyeri karena inflamasi pada nervus atau otot pectoralis,

radang tenggorokan.

8. Chemotherapy Pemberian obat-obatan anti tumor yang sudah menyebar dalam

aliran darah. Efek samping : lelah, mual, muntah,hilang nafsu makan, kerontokan

membuat, mudah terserang penyakit.

9. Manipulasi hormonal Biasanya dengan obat golongan tamoxifen untuk tumor

yang sudah bermetastase.


DAFTAR PUSTAKA

Baughman,Diace C dan Joann C. Hackley.2000. Buku Saku Keperawatan Medikal

Bedah. Jakarta : EGC

Judha,Mohamad.2011. Sistem persarafan dalam asuhan keperawatan. Yogyakarta :

Gosyen Publishing.

https://id.scribd.com/doc/307298245/Makalah-Tumor-Otak
TUGAS KONSEP MEDIS

“MIGRAIN”

DI SUSUN

OLEH :

NAMA : FIDYAWATI

KELAS : A

NIM : A.18.10.021

PRODI : S1.KEPERAWATAN

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

TAHUN AJAR 2020/2021


MIGRAIN

Definisi

Migren/Migrain Adalah suatu gangguan neurovascular yang dsebabkan oleh inflamasi

neurogenik. Karakteristik pada waktu tertentu dan serangan sakit kepala berat yang

berulang-ulang . penyebab migren sampai saat ini belum diketahui dengan jelas.

Patofisiologi

Tanda dan gejala migren pada serebral merupakan hasil dari derajat iskemia kortikal

yang bervariasi. Serangan yang khas dimulai dengan vasokonstriksi arteri kulit kepala

dan pembuluh-pembuluh darah retina dan serebral. Pembuluh – pembuluh darah

ekstrakranial dan intracranial mengalami dilatasi, yang menyebabkan nyeri

ketidaknyamanan. Penelitian menyatakan bahwa dilatasi arteri menyebabkan

hiperpermeabel dan yang mensterilkan radang lokal, yang menyebkan nyeri di

sekitarnya dan dilatasi arteri. Keadaan ini bertujuan mengaktivkan zat-zat yang ada pada

pembuluh darah (Histamin, Serotonin, Plasmokinin) yang berpartisipasi dalam

membersihkan reaksi inflamasi.

Manifestasi Klinis

14. Fase prodromal : dimana kondisi terasa lelah, nyeri otot leher, gangguan

kognitif, ansietas, serta iritabilitas (48 jam sebelum migraine)

15. Fase aura : gejala neurologis fokal dapat berupa visual, bicara tidak jelas, pusing

berputar dan sebagainya.


16. Fase nyeri kepala : dapat dirasakan unilateral di frontal sampai temporal.

17. Fase resolusi : setelah 6-24 jam

Komplikasi

 Stroke iskemik. Risiko terkena stroke jenis ini meningkat pada penderita

migraine yang memiliki riwayat hipertensi/ penyakit jantung.

 Masalah psikologis. Seperti depresi, cemas, atau panik.

Pemeriksaan diagnostik

Evaluasi diagnostic terdiri dari riwayat rinci : pengkajian fisik pada leher dan leher,

pengkajian neurologic yang mencangkup menguji saraf-saraf kranial, evaluasi ukuran

dan reaksi pupil, pemeriksaan funduskopi terhadap mata, dan menguji fungsi motoric

dan sensorik.

Riwayat kesehatan berfokus pada pengkajian terhadap sakit kepala itu sendiri dengan

penekanan terutama dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang mencetuskan atau

mendukung terjadinya sakit kepala.

Untuk pasien yang menunjukkan abnormalitas pada pemeriksaan neurologic, computed

to-mogrhapy (CT) atau pencitraan resonans magnetic (MRI) dapat digunakan untuk

mendeteksi penyebab dasar seperti tumor atau aneurisma. Uji diagnostic ini dapat di

indikasikan untuk pasien dengan nyeri sakit kepala yang menetap atau yang

menyebabkan kecacatan.

Penatalaksanaan
Pendekatan simtomatik. Pengobatan ini dilakukan pada pasien yang sering mendapat

serangan dan ditunjukkan untuk mengurangi atau membatasi serangan sakit kepala.

Preparat ergotamin. Digunakan secara peroral, sublingual,subkutan, intra muscular,

rektal atau melalui inhalasi. Pengobatan ini efektif dalam mengobati sakit kepala jika

digunakan pada awal proses migrane. Masing-masing dosis pasien diberikan sesuai

dengan kebutuhan individual pasien.


Daftar Pusataka

https://www.halodoc.com/kesehatan/migrain
TUGAS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

"Penyakit disleksia"

Oleh:

Nama: Fitriyah mursyidah

Nim: A.18.10.022

Prodi: S1 Keperawatan

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

TAHUN AKADEMIK 2020/2021


A.Definisi disleksia

Disleksia adalah hilangnya kemampuan untuk membaca dan menulis.Hilangnya

kemampuan untuk membaca disebut Aleksia dan hilangnya kemampuanuntuk menulis

disebut Agrafia. Disleksia merupakan sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada

seseorang yang disebabkan oleh kesulitan dalam melakukan aktivitasmembaca dan

menulis. Gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik,seperti masalah

penglihatan, tetapi mengarah pada otak yang telah mengolah dan memproses informasi

yang sedang dibaca.

B. Etiologi disleksia

Penyebab disleksia itu bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori faktor

utama, yaitu faktor pendidikan, psikologis, dan biologis, namun penyebab utamanya

adalah otak. Faktor-faktor tersebut antara lain:

1. Faktor pendidikan

Disleksia disebabkan oleh metode yang digunakan dalam mengajarkanmembaca,

terutama metode “whole-word” yang mengajarkan kata-kata sebagai satukesatuan

daripada mengajarkan kata sebagai bentuk bunyi dari suatu tulisan. Contoh, Jika anak

dalam tahap belum bisa membedakan huruf-huruf yang mirip seperti b dan d, maka cara

pengajaran yang perlu dilakukan adalah mempelajari hurufnya satu per

satu. Misalnya fokuskan pengajaran kali ini pada huruf b. Tulislah huruf b dalamukuran

yang besar kemudian mintalah anak untuk mengucapkan sembari tangannya mengikuti
alur huruf b atau membuat kode tertentu oleh tangan. Anak dilatih terus menerus sampai

ia bisa menguasainya, setelah itu mulailah beranjak ke huruf d. Mereka berpikir bahwa

metode fonetik, yang mengajarkan anak nama-nama huruf

berdasarkan bunyinya, memberikan fondasi yang baik untuk membaca.

Merekamengklaim bahwa anak yang belajar membaca dengan metode fonetik akan

lebih mudah dalam mempelajari kata-kata baru. Dan untuk mengenali kata-kata asing

secara tertulis sebagaimana mereka mengeja tulisan kata itu setelah

mendengar pelafalannya.Sementara ahli lain meyakini bahwa dengan

mengkombinasikan pendekatan “kata utuh” dan metode fonetik merupakan cara paling

efektif dalam pengajaran membaca.kesatuan (unit) anak pun akan belajar cara

menerapkan aturan fonetik pada kata- kata  baru.

2. Faktor Psikologis

Beberapa periset memasukkan disleksia ke dalam gangguan psikologis atauemosional

sebagai akibat dari tindakan kurang disiplin, tidak memiliki orangtua,sering pindah

sekolah, kurangnya kerja sama dengan guru, atau penyebab lain.Memang, anak yang

kurang ceria, sedang marah-marah, atau memiliki hubungan

yang kurang baik dengan orangtua atau dengan anak lain kemungkinan

memilikimasalah belajar. Stress mungkin juga mengakibatkan disleksia, namun yang

jelas stress dapat memperburuk masalah belajar.

3. Faktor Biologis
Sejumlah peneliti meyakini bahwa disleksia merupakan akibat dari penyimpangan

fungsi bagian-bagian tertentu dari otak. Diyakini bahwa area-area tertentu dari otak

anak disleksia perkembangannya lebih lambat dibanding anak-anaknormal. Di samping

itu kematangan otaknya pun lambat. Teori memang dulu banyakdiperdebatkan, namun

bukti-bukti mutakhir mengindikasikan bahwa teori itu memiliki validitas. Teori lainnya

menyatakan bahwa disleksia disebabkan olehgangguan pada struktur otak. Beberapa

peneliti menerima bahwa teori ini masihdiyakini sampai saat diadakan penelitian

penelaahan otak manusia disleksia yangmeninggal.Penelaahan otak ini telah

menyingkap karakteristik perkembangan otak. Dari situ diperoleh gambaran bahwa

gangguan struktur otak mungkin mengakibatkan sejumlahkasus penting disleksia berat.

Faktor genetik juga diperkirakan turut berperan.Beberapa penelitian mengungkapkan

bahwa 50 persen atau lebih anak disleksia memiliki riwayat orangtua yang disleksia

atau gangguan lain yang berkaitan. Ternyata, lebih banyak anak laki-laki yang disleksia

daripada anak perempuan.4

4. Kecelekaan

Gangguan kemampuan membaca atau mengenali huruf serta simbol huruf akibat

kerusakan saraf otak atau selaput otak, sehingga otak kiri korteks oksipital(bagian

belakang) terganggu. Kerusakan ini disebabkan infeksi atau kecelakaan.Karena

kerusakan ini, otak tidak berfungsi mengenali semua citra (image) yangditangkap indra

penglihatan karena ada gangguan sambungan otak kiri dan kanan.Ada yang berpendapat

gangguan itu disebut disleksia.


C. Gejala klinis

Gejala Disleksia bisa sulit untuk dikenali sebelum anak Anda masuk

sekolah,tetapi beberapa petunjuk awal mungkin menunjukkan adanya masalah. Setelah

anak Anda mencapai usia sekolah, guru anak Anda mungkin menjadi yang pertama

untuk melihat masalah. Kondisi ini sering menjadi jelas saat seorang anak mulai belajar

membaca.

1. Sebelum Sekolah

 Terlambat berbicara

 Lambat dalam belajar kata-kata baru

 Kesulita berima

2. Usia Sekolah

Setelah anak anda masuk sekolah, tanda dan gejala disleksia mungkin menjadilebih

jelas, termasuk:

10. Keahliahan membaca pada tingkat jauh di bawah tingkat yang diharapkan

untuk usia anak Anda

11. Kesulitan dalam memproses dan memahami apa yang dia dengar

12. Kesulitan memahami instruksi yang cepat

13. Kesulitan mengikuti lebih dari satu perintah pada waktu yang bersamaan

14. Kesulitan mengingat urutan kejadian suatu hal


15. Kesulitan melihat (dan kadang-kadang mendengar) persamaan dan perbedaan

dalam huruf dan kata

16. Ketidakmampuan untuk menjajaki pengucapan sebuah kata asing

17. Melihat huruf atau kata-kata secara terbalik ("b" untuk "d" atau "melihat"untuk

"adalah," misalnya) - ini adalah umum pada anak-anak, tetapi akan lebih terasa

pada anak-anak dengan disleksia

18. kesulitan dalam meng-eja

19. Kesulitan belajar bahasa asing

3. Remaja dan Dewasa

Gejala Disleksia pada remaja dan orang dewasa adalah sama dengan yang pada anak-

anak. Meskipun intervensi awal akan bermanfaat untuk pengobatan disleksia, tidak

pernah terlalu terlambat untuk mencari bantuan untuk disleksia.

Beberapa gejala disleksia umum pada remaja dan orang dewasa meliputi:

5. kesulitan membaca

6. kesulitan memahami lelucon atau indiom

7. membaca dengan suara keras

8. kesulitan dalam mengatur waktu

9. kesulitan meringkas cerita

10. kesulitan belajar bahasa aasing

11. kesulitan menghafal


D. patofisiologi

Disleksia dikarakteristikkkaan sebagai ganguaang kemampuuan membaca tanpa

atau dengan masalah psikologi. Membaca merupakan proses yang berlangsung didaerah

spasio –temporal,yang melibatkan pengkodean berurutan terhadap simbol-simbol

visual. Kemampuan spasio-temporal seperti mendeteksi perubahan huruf huruf

mempunyai peranan penting dalam proses membaca.

Pemeriksaan neurobiologik pada penderita disleksia menunjukkan adanya

gangguan fungsimembaca pada bagian posterior hemisfer kiri, terutama di daerah


1
temporo-parieto-oksipitalis. Gyrus angularis merupakan bagian lobus parietalis

posterior yang paling inferior, terletak tepat di belakang area Wernicke dan di sebelah

posterior bergabung dengan area visual lobus oksipitalis. Bila daerah ini mengalami

kerusakan sedangkan area Wernicke di lobus temporalis tetap utuh, pasien masih dapat

menginterpretasikan pengalaman auditorik seperti biasanya, namun rangkaian

pengalaman visual yang berjalan dari korteks visual ke area Wernicke benar-benar

terhambat. Oleh karena itu, pasien mungkin masih mampu melihat kata-kata dan bahkan

tahu mengenai kata-kata itu, tetapi tidak dapat menginterpretasikan arti kata-kata itu.

Keadaan ini disebut disleksia, atau buta kata-kata (word blindness).7

Sebuah teori disleksia yang bersumber pada defisit proses di temporal, yang

menggabungkan gejala klinis dengan kompleks neuropsikologis dan keragaman bentuk

disleksia. Teori ini berdasarkan pendekatan neuropsikologis yang mengarah pada defisit

fonologis dan gangguan visual.Dalam teori ini dikemukakan bahwa pada anak disleksia
didapatkan kesulitan untuk menyatukan perubahan stimulus yang berlangsung cepat

(khas pada disleksia). Kesulitan ini akan mengakibatkan kegagalan persepsi

pendengaran pada konsonan, defisit dalam penilaian perintah temporal, dan defisit

dalam berbagai tingkat membaca cepat. Diskalkulia, biasanya terdapat pada disleksia

berat juga merupakan hasil dari kegagalan fungsi proses numerik temporal. Koordinasi

motorik halus juga dapat terganggu pada penderita disleksia, yang akan mengakibatkan

disgrafia atau kesulitan dalam menulis, dan dispraksia atau kesulitan dalam koordinasi

gerakan motorik.

Para ilmuwan telah menggunakan teori membaca untuk membantu memahami

disleksia.Salah satu teori membaca yang paling banyak diterima adalah teori jalur

ganda.Dalam teori ini terdapat dua mekanisme yang digunakan untuk membaca sebuah

kata, yaitu jalur langsung (ortografi) dan jalur tidak langsung (fonologis).Jalur langsung

adalah melihat kata dan otomatis mengetahui apa yang dibaca. Untuk orang yang sering

melihat kata-kata, dan kata-kata tersebut telah dikenali sebelumnya, maka kemungkinan

besar jalur inilah yang digunakan. Pembaca terlatih menggunakan jalur ini untuk

sebagian besar yang mereka baca, meskipun mereka dapat menggunakan jalur lain

ketika mereka menemukan kata-kata yang baru atau kata asing. Jalur tidak langsung

menterjemahkan huruf-huruf menjadi suara, dan mengetahui pengucapan kata-kata dari

kombinasi suara yang dihasilkan. Jalur ini menggunakan proses fonologis dan biasanya

digunakan pada awal perkembangan keterampilan membaca. Pembaca yang

menemukan kata-kata baru maka kata-kata tersebut dibaca dengan hati-hati.Banyak


penderita disleksia memiliki kesulitan menggunakan jalur ini karena keterampilan

fonologis mereka kurang.

Pada dasarnya, membaca terdiri dari 2 proses utama, yaitu pengkodean dan pemahaman.

Pada penderita disleksia, terdapat defisit fonologis sehingga terjadi kegagalan dalam

memisahkan fonem sebagai segmen dasar sebuah kata-tulis.

E. Diagnosa

Disleksia merupakan diagnosis klinis.Diagnosis ditentukan berdasarkan riwayat

penderita, pengamatan dan penilaian psikometri.Dasar diagnosis ICD-10 dan DSM-IV

adalah gambaran klinis yang ditandai oleh kegagalan perkembangan proses membaca

dan mengeja. Namun, penelitian terkini menunjukkan terdapat 3 kelainan yang terpisah,

yaitu 1) kombinasi gangguan membaca dan mengeja atau disleksia, 2) gangguan

membaca, dan 3) gangguan mengeja.Sebagian besar gangguan membaca tidak

terdiagnosis sampai anak di kelas 3 atau sekitar umur 6-9 tahun. Anak usia prasekolah

mempunyai faktor risiko untuk menderita disleksia, antara lain kalo ada riwayat

keterlambatan bahasa atau tidak dapat mengeluarkan suara tertentu (kesulitan dalam

permainan kata-kata, kerancuan pada kata-kata dengan bunyi yang sama, kesulitan

belajar mengenal huruf), dan ada keluarga lain yang menderita disleksia. Pada usia

sekolah, anak sering dikeluhkan tidak dapat mengerjakan tugas-tugas dengan baik.

Orang tua dan guru seringkali tidak menyadari bahwa penyebabnya adalah gangguan

membaca.
Untuk menentukan apakah anak berisiko menderita disleksia, skrining biasanya

dilakukan pada akhir masa taman kanak-kanak atau memasuki sekolah dasar. Siswa

dengan kemampuan membaca di bawah teman seusianya pada skrining dicurigai

berisiko dan diberikan intervensi.

8. Penilaian kemampuan membaca

Pada saat ini, penilaian kemampuan membaca yang paling diterima

adalah penilaian berdasarkan fonologis.Anak dinilai dengan mengukur

pengkodean, kelancaran, dan pemahaman dalam membaca.Pemeriksaan analisis

fonologis untuk anak yang tersedia saat ini adalah Comprehensive Test of

Phonological Processing (CTOPP). Tes ini terdiri atas pengukuran pengetahuan

fonologis, pengkodean fonologis, dan kemampuan mengingat dan memberi

nama dengan cepat. 1

Pada anak usia sekolah, salah satu elemen yang penting untuk dievaluasi adalah

seberapa akurat anak dapat mengkode kata (membaca kata-kata tunggal).

Kelancaran membaca dapat dinilai dengan menggunakan the Gray Oral Reading

Test. Tes ini terdiri atas 13 bagian yang semakin sulit dan masing-masing diikuti

oleh lima pertanyaan pemahaman. Kemampuan membaca kata tunggal dapat

diketahui dengan menggunakan Test of Word Reading Efficiency (TOWRE),

sebuah tes untuk kecepatan membaca kata-kata.Skrining oleh dokter dapat

dilakukan dengan mendengarkan anak membaca dengan keras berdasarkan

tingkat kemampuan membacanya.

9. Pemeriksaan Fisik, Neurologis dan Laboratorium


Pemeriksaan fisik secara umum memiliki peran yang sangat kecil untuk

mengevaluasi disleksia.Gangguan sensorik primer harus disingkirkan terutama

pada anak-anak.Jenis pemeriksaan ditentukan oleh gejala-gejala non-disleksia

yang menunjukkan kelainan khusus.Hasil pemeriksaan neurologis rutin biasanya

normal. Pemeriksaan lain, seperti MRI atau analisis kromosom, hanya dilakukan

jika terdapat indikasi klinis spesifik.

F. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan disleksia terdiri atas menentukan kelainan serta

memberi pengetahuan kepada orang tua dan guru. Selanjutnya, penatalaksanaan

tergantung pada beratnya disleksia dan kelainan psikologis lain yang menyertai.

Medikamentosa tidak bermanfaat untuk disleksia.Apabila disleksia disertai

dengan ADHD, medikamentosa dapat memperbaiki kesulitan belajar yang

ditimbulkan. 1

Intervensi ditujukan untuk memperbaiki kemampuan memanipulasi

fonem pada suku kata dengan cara memfokuskan intruksi pada satu atau dua

jenis fonem, mengajar anak-anak dalam kelompok kecil, dan memberikan

instruksi yang eksplisit (daripada insidentil). Keberhasilan terapi mengacu pada

kemampuan membaca secara oral dengan kecepatan, akurasi dan ekspresi yang

tepat.Metode yang digunakan adalah membangun minat baca dengan panduan,

yaitu anak membaca dengan suara yang keras berulang kali dihadapan guru,
orang dewasa, atau teman-temannya, dan menerima umpan balik.Bukti-bukti

menunjukkan bahwa membaca oral dengan panduan memiliki dampak yang

jelas dan positif terhadapap pengenalan kata, kelancaran, dan pemahaman

membaca.Metode yang harus dihindari adalah mendorong membaca dalam

jumlah besar dan membaca dalam hati (diam), tanpa umpan balik kepada siswa.

Perangkat untuk terapi disleksia dapat berupa komputer dan perekam

suara.Penderita disleksia biasanya mempunyai tulisan tangan yang tidak dapat

dibaca. Komputer akan sangat bermanfaat karena dilengkapi dengan program

pemantau ejaan, sehingga dapat mengoreksi kesalahan ejaan yang sering

didapatkan pada penderita disleksia. Perekam suara dapat menyimpan gagasan-

gagasan penderita yang susah dituangkan dalam bentuk tulisan.

Pada terapi dengan Read Write and Type (RWT) dan Lindamood

Phoneme Sequencing Program for Reading, Spelling, and Speech (LIPS) selama

1 tahun, didapatkan perbaikan pada phonological awareness, rapid naming,

phonemic decording, akurasi dan kelancaran membaca, mengeja, membaca

secara komprehensif. Intervensi jangka panjang sering dilakukan pada

disleksia.Namun, terapi dengan intervensi jangka pendek pada anak kelas I

sekolah dasar yang berisiko disleksia pada sebuah studi memberikan perbaikan

yang bermakna terhadap kemampuan membaca.

Intervensi keluarga dilakukan pada lingkungan keluarga yang berisiko yang

berfokus pada phoneme awareness dan pengenalan huruf pada tahun-tahun


sebelum anak diberi pendidikan formal.Anak yang diberi intervensi keluarga

mempunyai pengenalan huruf yang lebih baik.

Besar dan bentuk huruf dapat memengaruhi kemampuan membaca

anak.Didapatkan hubungan yang berbanding lurus antara besar huruf dengan

kemampuan membaca.Penderita disleksia memerlukan ukuran huruf yang lebih

besar untuk mencapai kecepatan membaca maksimum.

G. Pencegahan

Pencegahan dengan cara memasukkan anak pada kelompok

bermain/PAUD, sangat membantu meningkatkan kemampuan linguistik.

Pencegahan berfokus pada kegiatan permainan bahasa, pengenalan irama,

mengenal suku kata, dan pengenalan suara.Kegiatan ini telah dibuktikan dengan

penelitian jangka panjang dapat memberikan manfaat untuk perkembangan

bahasa tertulis.Perlu ada tenaga yang terlatih dan memiliki motivasi tinggi

sebagai pengajar, agar berhasil dengan efektif.Keluarga memiliki peranan yang

sangat penting dalam mendukung keterampilan berbahasa.Adanya program

membaca bersama-sama yang dilakukan dengan suara keras pada kelompok

prasekolah dapat mendorong pengetahuan tentang alphabet. Sebelum anak akan

mulai bersekolah, setiap hari selama 15 menit orang tua dapat memberikan

kegiatan pengenalan alphabet. Adanya permainan yang memperkenalkan irama

dan kreasi, bersajak, mengenal huruf dan kalimat, bunyi huruf akan sangat

membantu dalam program pencegahan disleksia. Kegiatan permainan pada


kelompok bermain dapat sangat menyenangkan bagi anak-anak, dan juga

mempersiapkan mereka untuk sekolah karena mereka dihadapkan dengan tugas-

tugas tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.scribd.com/doc/231352395/Disleksia-pada-anak.kristianRichardson.

Juni/26/2014.

https://id.scribd.com/document/208085083/Disleksia.Ery sandi.

Februari/20/2014

Disleksia Akses dari: Http://Cae-Indonesia.Com/Disleksia/ Tgl. 14 April 2014

Disleksia (Gangguan Membaca) Akses dari: http://medicastore.com/penyakit/

3058/Disleksia_(Gangguan_Membaca).html Tgl. 14 April 2014


KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

“Multiple Sclerosis”

OLEH:

Nama : HAERUNNISA

Nim : A.18.10.023

Kelas : A

S1 KEPERAWATAN

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


 Definisi

Multiple Sclerosis adalah penyakit degeneratif system syaraf pusat (SSP)

kronis yang meliputi kerusakan myelin (material lemak dan protein ). Multiple

sclerosis secara umum dianggap sebagai auto imun dimana system imun tubuh

sendiri yang normalnya bertanggung jawab untuk mempertahankan tubuh

terhadap terhadap virus dan bakteri, dengan alasan yang tidak diketahui mulai

menyerang atau menghancurkan myelin yaitu lapisan pelindung syaraf yang

melindungi syaraf yang berfungsi untuk melancarkan pengiriman pesan dari

otak ke seluruh bagian tubuh. Ditandai dengan remisi dan ekaserbasi periodic.

Multiple sclerosis menghaisilkan berbagai tanda dan gejala tergantung pada

lokasi lesi, biasanya disebut sebagai plaque.

 Klasifikasi

Menurut Basic Neurologi (Mc. Graw Hill, 2000), ada beberapa kategori

multiple sclerosis berdasarkan progresivitasnya adalah :

12. Relapsing Remitting Multiple Sclerosis

Ini adlah jenis MS yang klasik yang sering kali timbul pada akhir

usia belasan atau dua puluhan tahun diawali dengan suatu erangan hebat

yang kemudian diikuti dengan keembuhan semu. Yang dimaksud dengan

kesembuhan semu adalah setelah serangan hebat penderita terlihat pulih.

Namun sebenarnya,tingkat kepulihan itu tidak lagi sama dengan tingkat

kepulihan sebelum terkena serangan.sebenarnya kondisinya adalah sedikit

demi sedikit semakin memburuk.jika sebelum terkena serangan hebat


pertama penderita memiliki kemampuan motorik dan sensorik 100%, maka

setelah serangan tersebut mungkin hanya akan pulih 70-95% saja. Serangan

berikut akan terus menurukan kemampuan penderita sampai ke 0%. Setiap

serangan tersebut berakibat semakin memburuknya kondisi penderita.

Interval waktu antara serangan satu dengan serangan yang selanjutnya sama

sekali tidak bisa diduga, bila dalam hitungan hari, minggu bulan atau tahun.

Hampir 70% penderita MS pada awalnya mengalami kondisi ini, setelah

beberapa kali mengalami serangan hebat, jenis MS ini akan berubah menjadi

Secondary Progressiv MS.

13. Primary Progresssiv Multiple Sclerosis

Pada jenis ini kondisi penderita terus memburuk. Ada saat – saat

penderita tidak mengalami penurunan kondisi ,namun jenis MS ini tidak

mengenal istilah kesembuhan semu. Tingkat progresivitanya beragam pada

tingakatan yang paling parah , penderita Ms jenis ini bisa berakhir dengan

kematian.

14. Secondary Progressiv Multiple Sclerosis

Ini adalah kondisi lanjut dari Relapsing Remitting MS .Pada jenis ini

kondisi penderita menjadi serupa pada kondisi penderita Primary Progresssiv

MS.
15. Benign Multiple Sclerosis

Sekitar 20% penderita MS jinak ini.Pada jenis MS ini penderita

mampu menjalani kehidupan seperti orang sehat tanpa begantung pada

siapapun.Serangan – serangan yang diderita pun umumnya tidak pernah

berat,sehingga para penderita sering tidak menyadari bahwa dirinya

menderita MS.

 Etiologi

Penyebab MS belum diketahui secara pasti namun ada dugaan berkaitan

dengan virus dan mekanisme autoimun (Clark, 1991). Ada juga yang

mengaitkan dengan factor genetic.

Ada beberapa factor pencetus, antara lain :

 Kehamilan

 Infeksi yang disertai demam

 Stress emosional

 Cedera

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penyebab Multiple Sclerosis

yang paling nyata adalah factor genetik (mirip kanker), tapi perkembangan dunia

kedokteran terbaru membantah kesimpulan ini. Penelitian terbaru membuktikan

bahwa Multiple Sclerosis.Faktor keturunan tampaknya berperan dalam

terjadinya sklerosis multipel. 

Sekitar 5% penderita memiliki saudara laki-laki atau saudara perempuan yang


juga menderita penyakit ini dan sekitar 15% penderita memiliki keluarga dekat

yang menderita penyakit ini. Faktor lingkungan juga berperan dalam terjadinya

penyakit ini. Sklerosis multipel hampir tidak pernah menyerang orang-orang

yang tinggal di dekat katulistiwa. Iklim dimana seseorang tinggal pada 10 tahun

pertama kehidupannya tampaknya lebih penting dari pada iklim dimana

seseorang tinggal setelah 10 tahun pertama kehidupannya, Meskipun para ahli

menemukan bahwa MS itu berhubungan dengan infeksi (virus) , imunologis,

dan factor genetic serta mengekalkan (menetap) sebagai hasil dari factor

intrinsik (contoh kegagalan imunoregulasi). Hal yang sudah diterima pada MS

akan diturunkan. Derajat pertama, kedua, ketiga relative pada klien dengan MS.

Yang meningkatkan resiko secara perlahan. Multipel unlinked genes akan

mudah diterima pada MS. Adanya faktor presifitasi terdiri dari terpaparnya pada

agen pathogenik sebagai penyebab dari MS masih kontroversi. Ini mungkin

karena asosiasi mereka masih acak dan tidak adanya hubungan sebab akibat

disana.

Faktor presifitasi yang mungkin termasuk infeksi , cedera fisik dan strees

emosional,kelelahan berlebihan kehamilan ataupun  seperti faktor ini :

 Gangguan autoimun ( kemungkinan dirangsag / infeksi virus )

 Kelainan pada unsur pokok lipid mielin

 Racun yang beredar dalam CSS

 Infeksi virus pada SSP ( morbili, destemper anjing )


 Manifestasi Klinik

Tergantung pada area system saraf pusat mana yang terjadi demielinasi :

w. Gejala sensorik : paralise ekstremitas dan wajah, parestesia, hilang sensasi

sendi dan proprioseptif, hilang rasa posisi, bentuk, tekstur dan rasa getar.

x. Gejala motorik : kelemahan ekstremitas bawah, hilang koordinasi, tremor

intensional ekstremitas atas, ataxia ekstremitas bawah, gaya jalan goyah dan

spatis, kelemahan otot bicara dan facial palsy.

y. Deficit cerebral : emosi labil, fungsi intelektual memburuk, mudah

tersinggung, kurang perhatian, depresi, sulit membuat keputusan, bingung

dan disorientasi.

z. Gejala pada medulla oblongata : kemampuan bicara melemah, pusing,

tinnitus, diplopia, disphagia, hilang pendengaran dan gagal nafas.

aa. Deficit cerebellar : hilang keseimbangan, koordinasi, getar, dismetria.

bb. Traktus kortikospinalis : gangguan sfingter timbul keraguan, frekuensi dan

urgensi sehingga kapasitas spastic vesica urinaria berkurang, retensi akut dan

inkontinensia.

cc. Control penghubung korteks dengan basal ganglia : euphoria, daya ingat

hilang, demensia.

dd. Traktus pyramidal dari medulla spinalis : kelemahan spastic dan kehilangan

refleks abdomen.
 Patofisiologi

Multiple Sclerosis ditandai dengan inflamasi kronis, demylination dan

gliokis (bekas luka). Keadaan neuropatologis yang utama adalah reaksi

inflamatori, mediasi imune, demyelinating proses. Yang beberapa percaya

bahwa inilah yang mungkin mendorong virus secara genetik mudah diterima

individu. Diaktifkannya sel T merespon pada lingkungan, (ex: infeksi). T sel ini

dalan hubunganya dengan astrosit, merusak barier darah otak, karena itu

memudahkan masuknya mediator imun.

Faktor ini dikombinasikan dengan hancurnya digodendrosyt (sel yang

membuat mielin) hasil dari penurunan pembentukan mielin. Makrofage yang

dipilih dan penyebab lain yang menghancurkan sel. Proses penyakit terdiri dari

hilangnya mielin, menghilangnya dari oligodendrosyt, dan poliferasi astrosyt.

Perubahan ini menghasilkan karakteristik plak , atau sklerosis dengan plak yang

tersebar. Bermula pada sarung mielin pada neuron diotak dan spinal cord yang

terserang. Cepatnya penyakit ini menghancurkan mielin tetapi serat saraf tidak

dipengaruhi dan impulsif saraf akan tetap terhubung. Pada poin ini klien dapat

komplain (melaporkan) adanya fungsi yang merugikan (ex : kelemahan).

Bagaimanapaun mielin dapat beregenerasi dan hilangnya gejala

menghasilkan pengurangan. Sebagai peningkatan penyakit, mielin secara total

robek/rusak dan akson menjadi ruwet. Mielin ditempatkan kembali oleh jeringan

pada bekas luka, dengan bentuk yang sulit, plak sklerotik, tanpa mielin impuls

saraf menjadi lambat, dan dengan adanya kehancuranpada saraf, axone, impuls
secara total tertutup, sebagai hasil dari hilangnya fungsi secara permanen. Pada

banyak luka kronik, demylination dilanjutkan dengan penurunan fungsisaraf

secara progresif.
Pathway
 Pemeriksaan Diagnostik

c. Lumbal punction : pemeriksaan elektroforesis terhadap LCS, didapatkan

ikatan oligoklonal yakni terdapat beberapa pita immunoglobulin gamma G

(IgG).

d. DCT Scan : gambaran atrofi serebral

e. MRI : menunjukkan adanya plak-plak kecil dan bisa digunakan

mengevaluasi perjalanan penyakit dan efek dari pengobatan.

f. Urodinamik : jika terjadi gangguan urinarius.

g. Neuropsikologik : jika mengalami kerusakan kognitifif.

 Penatalaksaan

5) Bersifat simtomatik : sesuai dengan gejala yang muncul

6) Farmakoterapi :

3. Kortikosteroid, ACTH, prednisone sebagai anti inflamasi dan dapat

meningkatkan konduksi saraf.

4. Imunosupresan : siklofosfamid (Cytoxan), imuran, interferon,

Azatioprin, betaseron.

5. Baklofen sebagai antispasmodic

7) Blok saraf dan pembedahan dilakukan jika terjadi spastisitas berat dan

kontraktur untuk mencegah kerusakan lenih lanjut.

8) Terapi fisik untuk mempertahankan tonus dan kekuatan otot


9) Therapy

10. Obat

Secara medis tidak ada yang menyembuhkan Multiple Sclerosis

100%. Obat – obatan yang ada hanyalah menghambat interval serangan,

sedikit mengurangi tingkat keparahan serangan,memperlambat

progreifitas atau perburukan MS. Obat yang biasa I berikan dokter

adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan satu atau dua

gejala saja. Misalnya, jika gejala yang muncul adalah akit kepala maka

dokter akan memberikan obat sakit kepala. Ada obat yang tidak

menyembuhkan namun berfungsi untuk memperlambat kerusakan yaitu

Interferon beta-1a atau kortikosteroid. Interferon bias disuntikan 1-3 kali

seminggu secara teratur seumur hidup. Penggunaan interferon biasanya

menimbulkan gejala – gejala influenza, seperti sakit kepala, demam dan

myalgia (nyeri otot/sendi). Gejala mirip flu ini akan timbul 4-6 jam

etelah injeksi dan gejala ini akan menetap selama beberapa jam.efek

samping yang lain adalah moon face, wajah terlihat menjadi bulat seperti

bulan ,gemuk)badan gemuk,insomnia (sulit tidur),euporia(perasaan

gembira berlebihan),dan perasaan tertekan (depresi ringan).

11. Bed Rest


Penderita MS membutuhkan banyak istirahat terutama setelah

mengalami serangan baik serangan kecil maupun erangan hebat.lamanya

istirahat tergantung kondisi penderita,semakin hebat serangan yang di

alami semakin lama waktu istirahat yang diperlukan.istirahat ini bisa

dilakukan di rumahsakit atau dirumah sendiri.

12. Pengobatan Dengan Transplantasi Sel Induk

Ilmu kedokteran yang terus berkembang membawa harapan besar

bagi penderita MS.Berinduk pada pengalaman penderita MS Amerika

yang telah menjalani pengobatan dengan transplantasi sel induk dari sum

–sum tulang belakangnya sendiri (sebelum pengobatan tersebut

kehidupan penderita dari amerika terjebak dalam kursi roda lumpuh total

setelah pengobatan meskipun tidak 100% sembuh,ia akhirnya dapat

menggunakan kakinya untuk berjalan).

Pengobatan dengan sel induk ini memang tidak menjajikan kesembuhan

100%,serta mengharuskan penderita MS rela merogoh sakunya dengan

sangat dalam,namun setidaknya pengobatan ini mungkin dapat menjadi

harapan baru bagi sebagian kecil penderita MS.


DAFTAR PUSTAKA

Mc. Graw Hill. 2000. Keperawatan Medikal Bedah Basic Neurologi. Jakarta. PT:

Ghanesa

Clark.1991. Mekanisme Autoimune Manusia. Bandung. Gramedhia

Mutaqin Arif. 2008. Asuhan keperawatan klien dangan gangguan system persyarafan ed

6 vol.2. salemba medical. Jakarta

Brunner & suddarth.2002. keperawatan medikal bedah  ed 8 vol.3 EGC. Jakarta

https://id.scribd.com/doc/220064460/Askep-Multiple-Sclerosis
Konsep Medis Penyakit

(GLAUKOMA)

OLEH:

NAMA : HENDRI KURNIAWAN

NIM : A18 10 024

KELAS : A KEPERAWATAN

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


A. Definisi

Glaukoma adalah suatu penyakit yang memberikan gambaran klinik berupa peninggian

tekanan bola mata, penggaungan papil saraf optik dengan defek lapang pandangan mata.

(Sidarta Ilyas,2000) Glaukoma adalah sekelompok kelainan mata yang ditandai dengan

peningkatan

tekanan intraokuler.( Long Barbara, 1996) Jadi, Glaukoma adalah kelompok penyakit

mata yang disebabkan oleh tingginya tekanan bola mata sehingga menyebabkan

rusaknya saraf optik yang membentuk bagian bagian retina retina dibelakang bola mata.

Saraf optik menyambung jaringan-jaringan penerima cahaya (retina) dengan bagian dari

otak yang memproses informasi pengelihatan

B. Etiologi

Bilik anterior dan bilik posterior mata terisi oleh cairan encer yang disebut humor

aqueus. Bila dalam keadaaan normal, cairan ini dihasilkan didalam bilik posterior,

melewati pupil masuk kedalam bilik anterior lalu mengalir dari mata melalui suatu

saluran. Jika aliran cairan ini terganggu (biasanya karena penyumbatan yang

menghalangi

keluarnya cairan dari bilik anterior), maka akan terjadi peningkatan tekanan.

Peningkatan tekanan intraokuler akan mendorong perbatasan antara saraf optikus

dan retina di bagian belakang mata. Akibatnya pasokan darah kesaraf optikus berkurang

sehingga sel-sel sarafnya mati. Karena saraf optikus mengalami kemunduran, maka

akan

terbentuk bintik buta pada lapang pandang mata. Yang pertama terkena adalah lapang
pandang tepi, lalu diikuti oleh lapang pandang sentral. Jika tidak diobati, glaukoma pada

akhirnya bisa menyebabkan kebutaan.

C. Patofisiologi

TIO ditentukan oleh kecepatan produksi Aqueos humor dan aliran keluar Aqueos humor

dari mata.TIO normal adalah 10- 21 mmHg dan dipertahankan selama terdapat

keseimbangan antara produksi dan aliran Aqueos humor. Aqueos humor

diproduksididalam badan siliar dan mengalir keluar melalui kan al Schelmn kedalam

sistem vena. Ketidakseimbangan dapat terjadi akibat produksi berlebih bad an siliar atau

oleh peningkatan hambatan abnormal terhadap aliran keluar Aqueos humor melalui

kamera occuli anterior(COA). Peningkatan TIO > 23 mmHg memerlukan evaluasi yang

seksama. Peningkatan TIO mengurangi aliran darah ke saraf optik dan retina. Iskemia

menyebakan struktur ini kehilangan fungsinya secara bertahap.Kerusakan jaringan

biasanya dimulai dari perifer dan bergerak menuju fovea sentralis. Kerusakan visus dan

kerusakan saraf optik serta retina adalah irreversible dan hal ini be rsifat permanen.

Tanpa penanganan, glaukoma dapat menyebabkan kebutaan.Hilangnya pengelihatan

ditandai dengan adanya titik buta pada lapang pandang.

D. Manifestasi Klinis

1) Glaukoma primer

a) Glaukoma sudut terbuka

 Kerusakan visus yang serius

 Lapang pandang mengecil dengan maca-macam skottoma yang khas

 Perjalanan penyakit progresif lambat


b) Glaukoma sudut tertutup

 Nyeri hebat didalam dan sekitar mata

 Timbulnya halo/pelangi disekitar cahaya

 Pandangan kabur

 Sakit kepala

 Mual, muntah

 Kedinginan

2) Glaukoma sekunder

 Pembesaran bola mata

 Gangguan lapang pandang

 Nyeri didalam mata

3) Glaukoma kongential

 Gangguan penglihatan

E. Penatalaksanaan

1) Terapi Medikamentosa

Tujuannya adalah menurunkan TIO (Tekanan Intra Okuler) terutama dengan

mengguakan obat sistemik (obat yang mempengaruhi tubuh

a) Obat Sistemik

 Asetazolamida, obat yang menghambat enzim karbonik anhidrase yang akan

mengakibatkan diuresis dan menurunkan sekresi cairan mata sebanyak 60%,

menurunkan tekanan bola mata. Pada permulaan pemberian akan terjadi hipokalemia
sementara. Dapat memberikan efek samping hilangnya kalium tubuh parastesi,

anoreksia, diarea, hipokalemia, batu ginjal dan myopia sementara.

 Agen hiperosmotik. Macam obat yang tersedia dalam bentuk obat minum adalah

glycerol dan isosorbide sedangkan dalam bentuk intravena adalah manitol. Obat ini

diberikan jika TIO sangat tinggi atau ketika acetazolamide sudah tidak efektif lagi.

b) Obat Tetes Mata Lokal

 Penyekat beta. Macam obat yang tersedia adalah timolol, betaxolol, levobunolol,

carteolol, dan metipranolol. Digunakan 2x sehari, berguna untuk menurunkan TIO.

 Steroid (prednison). Digunakan 4x sehari, berguna sebagai dekongestan mata.

Diberikan sekitar 30-40 menit setelah terapi sistemik.

2) Terapi Bedah

a) Iridektomi perifer. Digunakan untuk membuat saluran dari bilik mata belakang dan

depan karena telah terdapat hambatan dalam pengaliran humor akueus. Hal ini hanya

dapat dilakukan jika sudut yang tertutup sebanyak 50%.

b) Trabekulotomi (Bedah drainase). Dilakukan jika sudut yang tertutup lebih dari 50%

atau gagal dengan iridektomi.

F. Pemeriksaan Penunjang

1) Kartu mata Snellen/mesin Telebinokular (tes ketajaman penglihatan dan sentral

penglihatan) Mungkin terganggu dengan kerusakan kornea, lensa, aquous

2) vitreus humor, kesalahan refraksi, atau penyakit syaraf atau pen glihatan ke retina

atau jalan optik.Lapang penglihatan : Penurunan mungkin disebabkan CSV, massa

tumor pada hipofisis/otak, karotis atau patologis arteri serebral atau glaukoma.
3) Tes Provokatif :digunakan dalam menentukan tipe glaukoma jika TIO normal atau

hanya meningkat ringan.

4) Darah lengkap, LED :Menunjukkan anemia sistemik/infeksi

5) EKG, kolesterol serum, dan pemeriksaan lipid: Memastikan aterosklerosisi,PAK

6) Tes Toleransi Glukosa :menentukan adanya DM.

7) Oftalmoskopi : Untuk melihat fundus bagian mata dalam yaitu retina, discus optikus

macula dan pembuluh darah retina.

8) Tonometri : Adalah alat untuk mengukurtekanan intra okuler, nilai mencurigakan

apabila berkisar antara 21-25 mmhg dan dianggap patologi bila melebihi 25 mmhg.

(normal 12-25 mmHg). Tonometri dibedakan menjadi dua antara lain (Sidharta Ilyas,

2004) : Membantu membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup glaukoma.

9) Pemeriksaan lampu-slit. : Lampu-slit digunakan unutk mengevaluasi oftalmik yaitu

memperbesar kornea, sclera dan kornea inferior sehingga memberikan pandangan oblik

kedalam tuberkulum dengan lensa khusus.

10) Perimetri : Kerusakan nervus optikus memberikan gangguan lapang pandangan

yang khas pada glaukoma. Secara sederhana, lapang pandangan dapat diperiksa dengan

tes konfrontasi.

11) Pemeriksaan Ultrasonografi..: Ultrasonografi dalai gelombang suara yang dapat

digunakan untuk mengukur dimensi dan struktur okuler.


DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/doc/231479230/LAPORAN-PENDAHULUAN-GLAUKOMA
SKIZOFRENIA

DI SUSUN OLEH :

IKA NOVIKA

Nim : A.18.10.025

PRODI SI KEPERAWATAN

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP MEDIS

A.    Pengertian

berasal dari dua kata, yaitu “ Skizo “ yang artinya retak atau pecah (split), dan “

frenia “ yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita skizofrenia

adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian ( Hawari,

2003).

Schizofrenia merupakan gangguan  psikotik yang merusak yang dapat melibatkan

gangguan yang khas dalam berpikir (delusi), persepsi (halusinasi), pembicaraan, emosi

dan perilaku. Keyakinan irasional tentang dirinya atau isi pikiran yang menunjukkan

kecurigaan tanpa sebab yang jelas, seperti bahwa orang lain bermaksud buruk atau

bermaksud mencelakainya (Raboch, 2007).

Skizofrenia adalah gangguan psikologis/kejiwaan yang disebabkan oleh kelainan

secara kimiawi pada otak, yang pada akhirnya mengganggu fungsi sistemik dan impuls

syaraf otak. kondisi ini mengakibatkan kegagalan fungsi otak dalam mengolah

informasi dari dan ke panca indera, sehingga timbul proyeksi yang tidak seharusnya.

B.     Etiologi
1.      Teori somatogenik

a.       Keturunan

Telah dibuktikan dengan penelitian bahwa angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9-

1,8 %,  bagi saudara kandung 7-15 %, bagi anak dengan salah satu orang tua

yang menderita Skizofrenia 40-68 %, kembar 2 telur 2-15 % dan kembar satu

telur 61-86 % (Maramis, 1998; 215 ).

b.      Endokrin

Teori ini dikemukakan berhubung dengan sering timbulnya Skizofrenia pada

waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterium.,

tetapi teori ini tidak dapat dibuktikan.

c.       Metabolisme

Teori ini didasarkan karena penderita Skizofrenia tampak pucat, tidak sehat,

ujung extremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan

menurun serta pada penderita dengan stupor katatonik konsumsi zat asam

menurun. Hipotesa ini masih dalam pembuktian dengan pemberian obat

halusinogenik.

d.      Susunan saraf pusat


Penyebab Skizofrenia diarahkan pada kelainan SSP yaitu pada diensefalon atau

kortek otak, tetapi kelainan patologis yang ditemukan mungkin disebabkan oleh

perubahan postmortem atau merupakan artefakt pada waktu membuat sediaan.

2.       Teori Psikogenik

a.       Teori Adolf Meyer

Skizofrenia tidak disebabkan oleh penyakit badaniah sebab hingga sekarang

tidak dapat ditemukan kelainan patologis anatomis atau fisiologis yang khas

pada SSP tetapi Meyer mengakui bahwa suatu suatu konstitusi yang inferior atau

penyakit badaniah dapat mempengaruhi timbulnya Skizofrenia. Menurut Meyer

Skizofrenia merupakan suatu reaksi yang salah, suatu maladaptasi, sehingga

timbul disorganisasi kepribadian dan lama kelamaan orang tersebut menjauhkan

diri dari kenyataan (otisme).

b.      Teori Sigmund Freud

Skizofrenia terdapat

1)      kelemahan ego, yang dapat timbul karena penyebab psikogenik

ataupun somatik

2)      superego dikesampingkan sehingga tidak bertenaga lagi dan Id

yamg berkuasa serta terjadi suatu regresi ke fase narsisisme


3)      kehilangaan kapasitas untuk pemindahan (transference) sehingga

terapi psikoanalitik tidak mungkin.

c.       Eugen Bleuler

Penggunaan istilah Skizofrenia menonjolkan gejala utama penyakit ini yaitu

jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses

berfikir, perasaan dan perbuatan. Bleuler membagi gejala Skizofrenia menjadi 2

kelompok yaitu gejala primer (gaangguan proses pikiran, gangguan emosi,

gangguan kemauan dan otisme) gejala sekunder (waham, halusinasi dan gejala

katatonik atau gangguan psikomotorik yang lain).

d.      Teori lain

Skizofrenia sebagai suatu sindroma yang dapat disebabkan oleh bermacam-

macam sebab antara lain keturunan, pendidikan yang salah, maladaptasi, tekanan

jiwa, penyakit badaniah seperti lues otak, arterosklerosis otak dan penyakit lain

yang belum diketahui.

C. Pembagian Skizofrenia

Kraepelin membagi Skizofrenia dalam beberapa jenis berdasarkan gejala utama

antara lain :

a. Skizofrenia Simplek
Sering timbul pertama kali pada usia pubertas, gejala utama berupa kedangkalan

emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir sukar ditemukan,

waham dan halusinasi jarang didapat, jenis ini timbulnya perlahan-lahan.

b. Skizofrenia Hebefrenia

Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa remaja

atau antara 15-25 tahun. Gejala yang menyolok ialah gangguan proses berfikir,

gangguan kemauaan dan adaanya depersenalisasi atau double personality.

Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-

kanakan sering terdapat, waham dan halusinaasi banyak sekali.

c. Skizofrenia Katatonia

Timbulnya pertama kali umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering

didahului oleh stress emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau

stupor katatonik.

d. Skizofrenia Paranoid

Gejala yang menyolok ialah waham primer, disertai dengan waham-waham

sekunder dan halusinasi. Dengan pemeriksaan yang teliti ternyata adanya

gangguan proses berfikir, gangguan afek emosi dan kemauan.


e. Episode Skizofrenia akut

Gejala Skizofrenia timbul mendadak sekali dan pasien seperti dalam keadaan

mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan

seakan-akan dunia luar maupun dirinya sendiri berubah, semuanya seakan-akan

mempunyai suatu arti yang khusus baginya.

f. Skizofrenia Residual

Keadaan Skizofrenia dengan gejala primernya Bleuler, tetapi tidak jelas adanya

gejala-gejala sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan

Skizofrenia.

g. Skizofrenia Skizo Afektif

Disamping gejala Skizofrenia terdapat menonjol secara bersamaaan juga gejala-

gejal depresi (skizo depresif) atau gejala mania (psiko-manik). Jenis ini

cenderung untuk menjadi sembuh tanpa defek, tetapi mungkin juga timbul

serangan lagi.

D.    Patofisiologi

Prevalensi penderita schizophrenia di Indonesia adalah 0,3 – 1 % dan biasanya

timbul pada usia sekitar 18 - 45 tahun. Schizophrenia disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain: faktor genetik, faktor lingkungan dan faktor keluarga. Schizophrenia tidak

hanya menimbulkan penderitaan  bagi individu penderitanya tetapi juga bagi orang-

orang terdekat ( Arif, 2006). Penderita schizophrenia sering kali mengalami gejala

positif dan negatif yang memerlukan penanganan serius. Penderita schizophrenia juga

mengalami penurunan motivasi dalam berhubungan sosial, perilaku ini sering tampak

dalam bentuk perilaku autistic dan mutisme.

Akibat adanya penurunan motivasi ini sering tampak timbulnya masalah

keperawatan isolasi sosial menarik diri dan jika tidak diatasi dapat menimbulkan

perubahan persepsi sensoris halusinasi. Halusinasi yang terjadi pada penderita

schizophrenia tidak saja disebabkan oleh perilaku isolasi sosial tetapi juga dapat

disebabkan oleh gangguan konsep diri harga diri rendah. Dampak dari halusinasi yang

timbul akibat schizophrenia ini sangat tergantung dari isi halusinasi. Jika isi halusinasi

mengganggu, maka penderita schizophrenia akan cenderung melakukan perilaku

kekeeraan sedangkan halusinasi yang isinya menyenagkan dapat mengganggu dalam

berhubungan sosial dan dalam pelaksanaan aktivitas sehari-hari termasuk aktivitas

perwatan diri ( Stuart, 2007).

Schizophrenia sering dimanifestasikan dalam bentuk waham, perilaku katatonik,

adanya penurunan motivasi dalam melakukan hubungan sosial serta penurunan dalam

melakukan aktivitas sehari-hari. Waham yang dialami pasien schizophrenia dapat

berakibat pada kecemasan yang berlebihan jika isi wahamnya tidak mendapatkan

perlakuan dari lingkungan sehingga berisiko menimbulkan perilaku kekerasan yang


diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Adanya perilaku katatonik,

menyebabkan perasaan tidak nyaman pada diri penderita, hal ini karena kondisi

katatonik ini berdampak pada hambatan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Hambatan dalam aktivitas sehari-hari menyebabkan koping individu menjadi

tidak efektif yang dapat berlanjut pada gangguan konsep diri harga diri rendah dan bila

tidak diatasi berisiko menimbulkan perilaku kekerasan ( Ingram, 1996). Penderita dapat

mengalami ambivalensi, kondisi ini dapat menimbulkan terjadinya penurunan motivasi

dalam melakukan aktivitas perawatan diri dan kemampuan dalam berhubungan sosial

dengan orang lain. Adanya ambivalensi membuat penderita menjadi kesulitan dalam

pengambilan keputusan sehingga dapat berdampak pada penurunan motivasi dalam

melakukan aktivitas sehari-hari. Penderita schizophrenia yang menunjukkkan adanya

gejala negatif ambivalensi ini, sering kali dijumpai cara berpakaian dan berpenampilan

yang tidak sesuai dengan realita seperti rambut tidak rapi, kuku panjang, badan kotor

dan bau ( Rasmun, 2007). Prognosis untuk schizophrenia pada umumnya kurang begitu

menggembirakan sekitar 25 % pasien dapat pulih dari episode awal dan fungsinya dapat

kembali pada tingkat sebelum munculnya gangguan tersebut. Sekitar 25% tidak pernah

pulih dan perjalanan penyakitnya cenderung memburuk, dan sekitar 50 % berada

diantaranya ditandai dengan kekambuhan periodik dan ketidakmampuan berfungsi

dengan efektif kecuali akan waktu singkat ( Arif, 2006)

E.    Manifestasi Klinis
Menurut Keltner et al (1995), gejala-gejala ini dapat dikelompokkan menjadi 4

kategori :

1.      Gangguan Persepsi

a.    Halusinasi

Adalah pengalaman sensori yang terjadi tanpa stimulus dari luas. Menurut

Moller dan Murphy dalam Stuart dan Sundeen (1997) tingkatan halusinasi dibagi

menjadi 4 tingkatan yaitu :

1)      Tahap 1  Comforting

Tingkat cemas sedang, halusinasi secara umum adalah sesuatu yang

menyenangkan.Pengalaman halusinasi karena emosi yang meningkat seperti

cemas, kesepian, rasa bersalah, takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran

yang nyaman untuk melepaskan cemas. Individu mengenal bahwa pikiran dan

pengalaman sensori dalam kontrol kesadaran jika cemas dapat dikelola. Tingkah

laku yang dapat diobservasi :

a)      Meringis atau tertawa pada tempat yang tidak tepat.

b)      Menggerakkan bibir tanpa mengeluarkan suara.

c)      Pergerakan mata yang cepat.

d)     Respon verbal pelan seperti jika sedang asyik.


e)      Diam dan tampak asyik.

2)      Tahap II

Pengalaman sensori dari beberapa identifikasi indera terhadap hal yang

menjijikkan dan menakutkan. Halusinator mulai kehilangan control dan ada

usaha untuk menjauhkan diri dari sumber stimulus yang diterima . Individu

mungkin merasa malu dengan adanya pengalaman sensori dan menarik diri dari

orang lain. Tingkah laku yang dapat diobservasi :

a)      Meningkatnya system syaraf otonom, tanda dan gejala dari cemas

seperti meningkatnya nadi, pernafasan dan tekanan darah.

b)      Lapang perhatian menjadi sempit

c)      Asyik dengan pengalaman sensori dan mungkin kehilangan

kemampuan untuk membedakan halusinasi atau realitas.

3)      Tahap III

Controlling tingkat kecemasan berat, pengalaman sensori menjadi hal yang

menguasai. Halusinator mencoba memberi perintah , isi halusinasi mungkin

menjadi sangat menarik bagi individu. Individu mungkin mengalami kesepian ,

jika sensori yang diberikan berhenti. Psychotic. Tingkah laku yang dapat

diobservasi :

a.       Perintah langsung oleh halusinasi dapat diikuti.


b.      Kesulitan berhubungan dengan orang lain.

c.       Lapang perhatian hanya beberapa detik aau menit.

d.      Gejala fisik dan cemas berat seperti berkeringat, tremor,

ketidakmampuan mengikuti perintah.

4)      Tahap IV

Conquering, tingkat cemas, panik, umumnya halusinasi menjadi terperinci dan

khayalan tampak seperti kenyataan. Pengalaman sensori mungkin mengancam

jika individu tidak mengikuti perintah. Halusinasi mungkin memburuk dalam 4

jam atau sehari atau sehari jika tidak ada intervensi terapeutik. Tingkah laku

yang dapat diobservasi :

a. Teror keras pada tingkah laku seperti panic.

b)      Potensial kuat untuk bunuh diri.

c)      Aktivitas fisik yang menggambarkan isi dai halusinasi seperti

kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonia.

d)     Tidak dapat berespon pada perintah yang kompleks.

e)      Tidak dapat berespon pada lebih satu orang.

b.     Delusi
Adalah gejala yang merupakan keyakinan palsu yang timbul tanpa

stimulus luar yang cukup dan mempunyai cirri-ciri realistic, tidak logis,

menetap, egosentris, diyakini kebenarannya oleh pasien sebagai hal yang nyata,

pasien hidup dalam wahamnya, keadaan atau hal yang diyakini itu bukan

merupakan bagian dari sosiokultural setempat. Maam-macam waham :

1)      Waham rendah pikir, pasien percaya bahwa pikirannya,

perasaannya, ingkah lakunya dikendalikan dari luar.

2)      Waham kebesaran, suatu kepercayaan bahwa penderita adalah

orang yang penting dan berpengaruh dan mungkin mempunyai kelebihan

kekuatan yan terpendam atau benar-benar merakanfiur orang kuat

sepanjang sejarah.

3)      Waham diancam, suatu keyakinan bahwa dirinya selalu diancam,

diikti atau ada sekelompok orang yang memenuhinya.

4)      Waham tersangkut, adana kepercayaan bahwa seala sesatu yang

terjadi di sekelilngnya mempai hubungan pribadi seperti perinah atau

pesan khusus.

5)      Waham bizarre, pasien sering memperlihakan adanya waham

soatik msalnya pasien percaya adanya benda ang begerak-gerak di dalam

ususnya. Yang termasuk waham ini adalah waham sedot pikir, waham

sisip pikir, waham siar pikir, waham kendali pikir.


c.    Paranoid dimanifestasikan dengan interpretasi yang menetap bahwa

tindakan orang lain sebagai suatu ancaman atau ejekan.

d.    Ilusi adalah kesalahan dalam menginterpretasikan stimulus dari luar

yang nyata.

2.      Gangguan Proses Pikir

a.       Flight of idea, serangkaian pikiran yang diucapkan secara cepat disertai

perpindahan materi pembicaraan yang menddak tanpa alas an logic yang nyata.

b.      Retardation, adalah lambatnya aktifitas mental sebagai contoh pasien

mengatakan saya tidak dapat berpikir apa-apa.

c.       Blocking, putusnya pikiran ang ditandai dengan putusnya secara

sementara atau terhentinya pembicaraan.

d.      Autisme, pikiran yang timbul dari fantasi.

e.       Ambivalensi adalah keinginan yang sangat pada dua hal yang berbeda

pada waktu yang sama dan orang yang sama.

f.       Kehilangan asosiasiidak adanya hubungan pola pikir, ide dan topik yang

normal, tiba-tiba beralih tanpa menunjukkan hubungan dengan topic

sebelumnya.
3.      Gangguan Kesadaran

Manifestasi dari ganguan kesadaran antara lain bingung, inkoherensi

pembicaraan, pembicaraan ang tidak dapat dimengerti, terdapat distrsi tata bahasa atau

susunan kalimat, sering memakai istilah aneh, inkherensi timbul karena pikiran kacau

sehingga beberapa pikiran dikeluarkan dalam satu kalimat, clouding atau kesadaran

berkabut, kesadaran menurun disertai gangguan persepsi dan sikap.

4.      Gangguan Afek

a.    Afek yang tidak tepat, suatu keadaan disharmoni afek yang tidak sesuai

dengan tingkah laku pasien.

b.    Afek tumpul, ketidakmampuan membangkitkan emosi dan berespon

terhadap berita duka.

c.    Afek datar, ketidakmampuan membangkitkan respon terhadap berbagai

respon.

d.    Afek labil, kondisi emosi yang cepat berubah.

e.    Apatis, warna emosi yang tumpul disertai keacuhan atau ketidakpedulian.

f.     Euforia, gembira berlebihan, aa peningkatan perasaan dari biasanya selalu

merasa optimis, senang dan percaya diri, bersikap meyakinkan

F.     KOMPLIKASI
Menurut Keliat (1996), dampak gangguan jiwa skizofrenia antara lain :

1.      Aktifitas hidup sehari-hari

Klien tidak mampu melakukan fungsi dasar secara mandiri, misalnya kebersihan

diri, penampila dan sosialisasi.

2.      Hubungan interpersonal

Klien digambarkan sebagai individu yang apatis, menarik diri, terisolasi dari

teman-teman dan keluarga. Keadaan ini merupakan proses adaptasi klien

terhadap lingkungan kehidupan yang kaku dan stimulus yang kurang.

3.      Sumber koping

Isolasi social, kurangnya system pendukung dan adanya gangguan fungsi pada

klien, menyebabkan kurangnya kesempatan menggunakan koping untuk

menghadapi stress.

4.      Harga diri rendah

Klien menganggap dirinya tidak mampu untuk mengatasi kekurangannya, tidak

ingin melakukan sesuatu untuk menghindari kegagalan (takut gagal) dan tidak

berani mencapai sukses.

5.      Kekuatan
Kekuatan adalah kemampuan, ketrampilan aatau interes yang dimiliki dan

pernah digunakan klien pada waktu yang lalu.

6.      Motivasi

 Klien mempunyai pengalaman gagal yang berulang.

7.      Kebutuhan terapi yang lama

Klien disebut gangguan jiwa kronis jika ia dirawat di rumah sakit satu periode

selama 6 bulan terus menerus dalam 5 tahun tau 2 kali lebih dirawat di rumah

sakit dalam 1 tahun.

G.     Penatalaksanaan

1.      Medis

Obat antipsikotik digunakan untuk mengatasi gejala psikotik (misalnya perubahan

perilaku, agitasi, agresif, sulit tidur, halusinasi, waham, proses piker kacau). Obat-

obatan untuk pasien skizophrenia yang umum diunakan adalah sebaga berikut :

a.       Pengobatan pada fase akut

1)      Dalam keadaan akut yang disertai agitasi dan hiperaktif diberikan injeksi :

 Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intra muscular.


 Clorpromazin 25-50 mg diberikan intra muscular setiap 6-8 jam sampai

keadaan akut teratasi.

 Kombinsi haloperidol 5 mg intra muscular kemudian diazepam 10 mg intra

muscular dengan interval waktu 1-2 menit.

2)      Dalam keadaan agitasi dan hiperaktif diberikan tablet :

a)      Haloperidol 2x1,5 – 2,5 mg per hari.

b)      Klorpromazin 2x100 mg per hari

c)      Triheksifenidil 2x2 mg per hari

b.      Pengobaan fase kronis

Diberikan dalam bentuk tablet :

1)      Haloperidol 2x  0,5 – 1 mg perhari

2)      Klorpromazin 1 x 50 mg sehari (malam)

3)      Triheksifenidil 1- 2x 2 mg sehari

a)      Tingkatkan perlahan-lahan, beri kesempatan obat untuk bekerja, disamping itu

melakukan tindakan perawatan dan pendidikan kesehatan.

b)      Dosis maksimal

Haloperidol : 40 mg sehari (tablet) dan klorpromazin 600 mg sehari (tablet).


c.       Efek dan efek samping terapi

1)      Klorpromazine

Efek : mengurangi hiperaktif, agresif, agitasi

Efek samping : mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, sedasi, hipotensi ortostatik.

2)      Haloperidol

Efek : mengurangi halusinasi

Efek samping : mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, sedasi, hipotensi ortostatik.

2.      Tindakan keperawatan efek samping obat

a.       Klorpromazine

1)      Mulut kering  : berikan permen, es, minum air sedikit-sedikit dan membersihkan

mulut secara teratur.

2)      Pandangan kabur : berikan bantuan untuk tugas yang membutuhkan ketajaman

penglihatan.

3)      Konstipasi : makan makanan tinggi serat

4)      Sedasi : tidak menyetir atau mengoperasikan peralatan ang berbahaya.

5)      Hipoensi ortostatik : perlahan-lahan bangkit dari posisi baring atau duduk.


b.      Haloperidol

1)      Mulut kering  : berikan permen, es, minum air sedikit-sedikit dan membersihkan

mulut secara teratur.

2)      Pandangan kabur : berikan bantuan untuk tugas yang membutuhkan ketajaman

penglihatan.

3)      Konstipasi : makan makanan tinggi serat

4)      Sedasi : tidak menyetir atau mengoperasikan peralatan ang berbahaya.

5)      Hipotensi ortostatik : perlahan-lahan bangkit dari posisi baring atau duduk


ANALISA DATA
POHON MASALAH

Resiko tinggi
mencederai diri &
Orang lain

Perubahan
perilaku
Kerusakan Komunikasi Verbal kekerasan

Gangguan pola tidur

Perubahan persepsi sensori : Perubahan


proses fikir
Halusinasi pendengaran

Sidroma defisit
Isolasi sosial : menarik diri
perawatan diri

Koping keluarga Harga diri rendah Koping individu


tak efektif tak efektif

Stressor
TAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/12984347/ASKEP_SCIZOFRENIA

https://www.academia.edu/28227905/LAPORAN_PENDAHULUAN_DAN_STRATE

GI_PELAKSANAAN_SKIZOFRENIA

https://rsdurensawit.go.id/index.php/2017/07/19/10-gangguan-kejiwaan-yang-paling-

berbahaya/

Arif ,L. 2006. Skizofrenia, Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Jakarta:

Penerbit Refika Aditama.


Indriani

KONSEP MEDIS NEUROPATI

OLEH :

NAMA : INDRIANI

PRODI : SI KEPERAWATAN

NIM : A.18.10.026
TAHUN AKADEMIK 2020/2021

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

A. DEVINISI

Neuropati menyebabkan kesemutan, mati rasa, kelumpuhan, dan sensitivitas berlebih

pada kulit.
Neuropati merupakan kondisi yang terjadi karena rusaknya sistem saraf tepi.

Sistem saraf tepi adalah jaringan saraf yang menghubungkan sistem saraf pusat

(otak dan sumsum tulang belakang) ke seluruh tubuh. Sistem saraf tepi

diklasifikasikan menjadi:

 Saraf sensoris: berfungsi menerima sensasi, seperti suhu, rasa sakit,

getaran atau sentuhan

 Saraf motorik: berfungsi mengontrol pergerakan otot

 Saraf otonom: mengontrol fungsi seperti tekanan darah, detak jantung,

pencernaan dan kandung kemih

Neuropati terjadi ketika sel-sel saraf (neuron) rusak atau hancur. Neuropati dapat

menyerang satu saraf (mononeuropathy), dua saraf atau lebih di area yang

berbeda (multiple mononeuropathy) atau banyak saraf (polyneuropathy)

B. KOMPLIKASI

Setiap saraf di sistem saraf pusat memiliki fungsi spesifik, sehingga gejalanya

tergantung pada jenis saraf yang terkena neuropati. Gejala dan tanda yang

menunjukkan neuropati termasuk:

 Mati rasa

 Rasa tertusuk atau kesemutan di kaki atau tangan

 Rasa terbakar
 Sensitivitas berlebihan jika disentuh

 Hilangnya koordinasi dan mudah jatuh.

 Kelemahan otot atau kelumpuhan

 Intoleransi panas (tidak tahan terhadap suhu panas)

 Masalah pencernaan

 Perubahan tekanan darah

 Pusing

C. ETIOLOGI

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan neuropati. Penyebab neuropati

berbeda-beda tergantung jenisnya:

Neuropati herediter

Neuropati herediter terjadi dari turunan dari orang tua ke anak. Namun,

neuropati jenis ini jarang terjadi. Neuropati herediter yang paling umum adalah

penyakit Charcot-Marie-Tooth (CMT) yang menyerang saraf motorik dan

sensorik. CMT menyebabkan kelemahan pada otot kaki dan kaki bagian bawah.

Sayangnya, neuropati herediter tidak dapat diobati.

Acquired Neuropathy

Acquired neuropathy terjadi karena faktor lingkungan. Beberapa faktor

lingkungan yang dapat menyebabkan acquired neuropathy yaitu:


 Trauma: akibat cedera jatuh, kecelakaan mobil atau aktivitas olahraga.

Trauma saraf perifer dapat terjadi karena kompresi saraf karena tekanan

berulang atau penyempitan ruang saraf.

 Infeksi dan penyakit autoimun: misalnya virus HIV, virus herpes, dan

bakteri yang menyebabkan penyakit Lyme dan sifilis. Beberapa

gangguan autoimun juga dapat memengaruhi jaringan saraf. Contohnya

termasuk sindrom Guillain-Barré, lupus, dan rheumatoid arthritis.

 Penyakit lain: termasuk diabetes, gangguan ginjal, kanker, dan

ketidakseimbangan hormon.

 Obat-obatan dan racun: obat yang digunakan untuk mengobati kanker

(kemoterapi) dapat merusak saraf perifer. Paparan logam berat (timbal

dan merkuri) dan bahan kimia industri juga dapat memengaruhi fungsi

saraf.

 Gangguan pembuluh darah: Neuropati dapat terjadi ketika aliran darah

ke lengan dan kaki terhambat karena peradangan, pembekuan darah, atau

gangguan pembuluh darah lainnya.

 Konsumsi alkohol.

Neuropati idiopatik

Neuropati jenis idiopatik tidak diketahui penyebabnya. Sepertiga dari neuropati

adalah neuropati idiopatik.


D. DIAGNOSIS

Langkah pertama dalam membuat diagnosis dengan pemeriksaan riwayat medis

dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan lain yang mungkin dilakukan yaitu:

1. Pemeriksaan saraf: Dokter memeriksa postur tubuh, koordinasi tubuh,

refleks tendon, kekuatan otot, dan kemampuan tubuh untuk merasakan

sensasi tertentu.

2. Tes darah: untuk mendeteksi kekurangan vitamin, diabetes, penyakit

autoimun, atau indikasi kondisi lain yang dapat menyebabkan neuropati

perifer.

3. Tes pencitraan: CT scan atau MRI untuk melihat adanya tumor atau

kelainan lainnya.

4. Tes fungsi saraf: Elektromiografi merekam aktivitas listrik di otot Anda

untuk mendeteksi kerusakan saraf.

5. Biopsi: dengan mengambil jaringan saraf atau kulit.

E. PERAWATAN

Perawatan awal yang diberikan untuk mengobati neuropati adalah dengan

mengidentifikasi masalah kesehatan yang menyebabkan neuropati, misalnya

diabetes atau infeksi. Neuropati dapat diobati dengan:

1. Obat-obatan dapat digunakan untuk meredakan rasa sakit. Misalnya

memberikan obat pereda nyeri (anti inflamasi), obat anti kejang


(gabapentin, pregabalin), pengobatan topikal (krim capsaicin),

antidepresan (amitriptyline, doxepin, nortriptyline)

2. Terapi fisik dengan pijatan dan perawatan lain untuk membantu

meningkatkan kekuatan, keseimbangan, dan koordinasi otot tubuh

3. Operasi, dilakukan jika neuropati disebabkan karena tekanan pada saraf

4. Terapi okupasi untuk mengatasi rasa sakit dan mengembalikan fungsi

tubuh

5. Alat bantu mekanik, seperti braces (penyangga kaki) dan sepatu yang

dirancang khusus

F. PENATALAKSANAAN

neuropati ditentukan berdasarkan penyakit atau kondisi yang mendasarinya.

Contohnya, neuropati diabetes ditangani dengan obat-obatan untuk mengontrol

diabetes, sedangkan neuropati akibat kekurangan vitamin B12 ditangani

dengan suplemen vitamin B12.

Beberapa metode pengobatan yang dapat dilakukan oleh dokter adalah:

1. Obat-obatan

Dokter saraf juga akan memberikan gabungan dari beberapa obat-

obatan dalam meredakan gejala neuropati, antara lain:


 Obat pereda nyeri yang dioleskan.

 Obat antidepresan, seperti amitriptyline, doxepin, dan

nortriptyline.

 Opioid, seperti tramadol.

 Obat antikonvulsan (antikejang),

seperti gabapentin dan pregabalin.

2. Prosedur medis khusus

Selain pemberian obat-obatan, neuropati juga dapat ditangani

dengan beberapa prosedur di bawah ini:

 Fisioterapi, untuk meningkatkan kemampuan saraf untuk

bergerak.

 Terapi okupasi, untuk bisa beradaptasi dengan aktivitas

sehari-hari.

 Terapi transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS),

untuk merangsang sistem saraf dengan menggunakan energi

listrik.

 Pertukaran plasma darah untuk mengurangi reaksi sistem

imun yang berlebihan di dalam tubuh.

Jika neuropati disebabkan oleh penekanan atau penjepitan pada

saraf, maka penanganannya dapat dilakukan melalui prosedur


operasi. Selain itu, neuropati juga mungkin bisa diatasi dengan

metode akupunktur oleh dokter akupunktur.

3. Pola hidup sehat

Untuk memaksimalkan pengobatan, penderita juga dapat

menerapkan pola hidup sehat, seperti berolahraga secara teratur

untuk meningkatkan kekuatan otot, mengonsumsi makanan yang

bergizi untuk mencegah kekurangan asupan nutrisi dan vitamin,

serta berhenti merokok.

Meskipun banyak kasus neuropati yang tidak dapat sembuh

sepenuhnya dan memiliki kemungkinan untuk kambuh,

pengobatan yang tepat dapat membantu meredakan dan

mengendalikan gejala agar tidak muncul kembali.


DAFTAR PUSTAKA

Cleveland Clinic. https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/14737-neuropathy

Diakses pada 19 Maret 2019.

Mayo Clinic. https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/peripheral-

neuropathy/symptoms-causes/syc-20352061

Diakses pada 19 Maret 2019.

Web MD. https://www.webmd.com/brain/understanding-peripheral-neuropathy-

basics#1

Diakses pada 19 Maret 2019.


Konsep Medis Penyakit

(Celebral Palsy)

OLEH:

NAMA : JANNIATI

NIM : A18 10 028

KELAS : A KEPERAWATAN

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


1. Definisi

Celebral palsy adalah keadaan kerusakan jaringan otak yang tidak progresif,

yang bisa terjadi pada waktu muda (sejak dilahirkan) serta merintangi

perkembangan otak normal dengan gambaran klinik menunjukkan kelainan

dalam sikap dan pergerakan disertai kelainan neurologis berupa kelumpuhan

spastic, gangguan ganglia basal dan sereblum, serta kelainan mental (Mardhi

Amin, 2015).

2. Etiologi

Penyebab cerebral palsy dibagi dalam 3 bagian yaitu:

a. Pranatal

Infeksi terjadi dalam masa kandungan, menyebabkan kelainan pada

janin,misalnya oleh lues, toxoplasmosis, rubella dan penyakit infeksi

sitomegalitik. Kelainan menyolok biasanya gangguan pergerakan dan

retyardasi mental. Selain itu anoxia dalam kandungan, terkena radiasi sinar x

dan keracunan kehamilan dapat menimbulkan cerebral palsy.

b. Pariperal

- Anoxia/hipoksia

- Pendarahan otak

- Prematuritas

- Ikterus

- Meningiritis purulenta
c. Pasca natal

Setiap kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu perkembangan dapat

menyebabkan cerebral palsy, misalnya pada meningitis, ensefalitis, dan luka

parut pada otak pasca operasi (Black.m.Joyce dkk 2014).

3. Manifestasi klinis

- Spastisitas

Terdapat peninggian tonus otot dengan reflek yang disertai dengan

klonus dan refleks babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu

akan menetap dan tidak akan menghilang, meskipun penderita dalam

keadaan tidur.

- Tonus otot yang berubah

Bayi pada golongan ini pada usia bulan pertama tampak flaksid (lemas)

dan berbaring seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan

pada flower motor neuron bila bayi dibiarkan berbaring tampak flaksid

dan sikapnya seperti kodok terlentang tetapi bila dirangsang atau mulai

diperiksa otot tonusnya berubah menjadi spatis.

- Koreo-atetosis

Kelainan yang khas yaitu sikap yang abdnormal dengan pergerakan yang

terjadi dengan sendirinya.

- Ataksia
Merupakan suatu gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini

biasanya flaksid dan menunjukkan perkembangan motorik yang lambat.

- Gangguan pendengaran

Gangguan berupa kelainan neurogen terutama presepsi nada tinggi

sehigga sulit menangkap kata-kata.

- Gangguan bicara

Disebabkan oleh kelainan atau gangguan pendengaran atau retardasi

mental. Gerakan yang terjadi dengan sendirinya di bibir dan lidah

menyebabkan sukar mengontrol otot-otot tersebut sehingga anak sulit

membentuk kata-kata dan sering anak tampak berliur.

- Gangguan mata

Gangguan mata biasanya berupa strabismus konverjen dan kelainan

retraksi (Mardhi amin,2015)

4. Fatofisiologi

- Adanya malforasi pada otak, penyumbatan pada vaskuler, atropi,

hilangnya neuron dan degenerasi laminar akan menimbulkan narrowe

gyri, saluran sulci dan berat otak rendah

- Anoxia merupakan penyebab yang berarti dengan kerusakan otak, atau

sekunder dari penyebab mekanisme yang lain. carebrl palsy dapat

dikaitkan dengan premature yaitu spastic diplegia yang disebabkan oleh

hypoxic infarction atau hemmorage dalam ventrikel


- Type athetoid/dyskenetik di sebabkan oleh kernicterus dan penyakit

hemolitik pada bayi baru lahir, adanya pigmen berdeposit dalam basal

ganglia dan beberapa saraf nuclei cranial. Selain itu juga dapat terjadi

dalam basal ganglia mengalami injury yang ditandai dengan tidak

terkontrol, pergerakan yang tidak didasari sangat lambat.

- Type cerebral palsy hemiparatik, karena trauma pada kortek atau CVA

pada arteri cerebral tengah. Cerebral hypoplasia : hypoglia-ceria neonatal

dapat dihubungkan dengan ataxia cerebral palsy.

- Spastic cerebral palsy yang paling sering dan melibatkan kerusakan pada

motor kortex yang ditandai dengan ketegangan otot dan hiperesponsif.

Reflex tendon yang dalam akan meningkatkan dan menstimulasi yang

dapat menyebabkan pergerakan sentakan yang tiba-tiba pada sedikit atau

semua ekstremitas.

- Rigid/tremor/atonik cerebral palsy ditandai dengan kekakuan pada kedua

otot fleksor dan ekstensor. Type ini mempunyai prognosis yang buruk

karena ada deformitas multiple yang terkait kurangnya pergerakan aktif

(black.m.joyce dkk, 2014).

Cerebral palsy dibagi menjadi 4 kelompok yaitu:

- Tipe spastik (50% dari semua kasus cerebral palsy) dengan ciri-ciri otot

menjadi kaku,kekakuan yang terjadi dapat berupa: quardriplegi (kedua

lengan dan kedua tungkai), diplegi (kedua tungkai), hemiplegi (lengan

dan tungkai pada salah satu sisi tubuh).


- Tipe diskinetik (koreoathethoid,20% dan semua kasus cerebral

palsy),dengan ciri otot-otot lengan dan badan secara spontan bergerak

perlahan, menggeliat dan tak terkendali tetapi bisa juga timbul gerakan

kasar dan mengejang.

- Tipe ataksik (10% dari semua kasus cerebral palsy), resiko terkena

cerebral palsy meningkat tajam seiring dengan berat badan lahir rendah,

dilaporkan bahwa dengan bayi berat badan lahir rendah <1000 gram

mempunyai resiko tinggi 40 kali lipat dibandingkan dengan bayi berat

badan lahir normal. Angkah kejadian cerebral palsy spastic diplegi

dihubungkan dengan bayi berat badan rendah. Cerebral palsy tipe spastic

diplegi merupakan tipe yang paling sering ditemukan.

- Tipe campuran (20% dari semua kasus cerebral palsy) resiko terkena

cerebral palsy meningkat tajam seiring dengan berat badan lahir rendah,

dilaporkan bahwa bayi dengan berat badan lahir rendah < 1000 gram

mempunyai resiko tinggi 40 kali lipat dibadingkan dengan bayi dengan

berat badan lahir normal.(Black.m.Joyce dkk 2014).

5. Komplikasi

a. Kontraktur

b. Retardasi mental

c. Konstipasi
6. Pemeriksaan diagnostic

- EGC : dilakukan pada pasien yang kejang atau pada golongan

hamiparesis baik yang disertai kejang maupun yang tidak.

- Foto rontgen kepala

- Pemeriksaan reflex

- CT scan

- Fungsi lumbal untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab suatu

proses degeneratife

- Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan setelah diagnosis

serebral palsy ditegakkan(Mardhi amin,2015).

7. Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan medik

Pengobatan kausal tidak ada, hanya simptonatik. Pada keaddan ini perlu

kerjasama yang baik bersama para tim antara dokter anak, neurology,

psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, psikolog, fisioterapi,

occupationaltherapist, pekerja sosial, guru sekolah luar biasa dan orang

tua pasien.

- Fisioterapi

Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut

membantu program latihan dirumah. Untuk mencegah kontraktur perlu

diperhatikan posisi pasien pada waktu istrahat atau tidur.

- Tindakan bedah
Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk

dilakukan pembedahan otot tendon atau tulang untuk reposisi kelainan

tersebut

b. Penatalaksanaan keperawatan

Tindakan yang dapat dilakukan ialah :

- Mengobservasi dengan cermat bayi bayi baru lahir yang berisiko, (baca

status bayi secara cermat mengenai riwayat kehamilan). Jika dijumpai

adanya kejang atau sikap bayi yang tidak biasa pada neonates segera

memberitahukan dokter agar dapay dilakukan penanganan semestinya.

- Jika telah diketahui bayi lahir dengan resiko terjadi gangguan pada otak

walaupun selama diruang perawatan tidak terjadi kelainan agar

dipesangkan pada orang tua jika melihat sikap bayi yang tidak normal

supaya segera dibawah konsultasi ke dokter.

c. Penatalaksanaan terapeutik

terapi fisik

- Brances (alat penokong)

- Splint (pembalut)

- Casting (pemasangan gibs)

- Alat-alat : kursi roda atau yang lainnya

- Terapi kerja : menulis, makan, minum, dll

- Terapi bicara

- Pendidikan khusus
- Terapi social

- Terapi psikolog

(Black.m. Joyce dkk 2014)


DAFTAR PUSTAKA

1. Black, Joyce M. DKK 2014. Keperawatan medikal bedah. Jakarta:

PT Salemba Medika.

2. Mardhi Amin, 2015, Aplikasi Keperawatan Berasarkan Diagnosa

Medis dan NANDA. Jakarta: MediaAction.

3. https://www Alodokter.com/penyakit cp. Diakses 13 mei 2020


TUGAS PENYAKIT SARAF

“ BELL’S PALSY “

DISUSUN OLEH :

NAMA : JUSNIATI

NIM : A 18.10.030

KELAS : A S1 KEPERAWATAN

PRODI S1 KEPERAWATAN

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

TAHUN AKADEMIK 2020


BELL’S PALSY

KONSEP MEDIS

 Pengertian

Bell’s Palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe lower

motor neuron akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan

penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) diluar sistem saraf pusat tanpa disertai

adanya penyakit neurologis lainnya. (Thamrinsyam,2002)

Bell’s Palsy adalah suatu kondisi dimanan otot-otot wajah di suatu sisi

menjadi bengkak dan meradang yang mengakibatkan setengah wajah akan

tampak terkulai dan tak bertenaga. (Foster, 2008)

Bell’s palsy merupakan paresis nervus fasialis perifer yang penyebabnya

tidak diketehui (idiopatik) dan bersifat akut.

Paralisis fasialis idiopatik atau Bell’s Palsy, ditemukan oleh Sir Charles

Bell, dokter dari skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus atau

setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes

serta penderita hipertensi.

Lokasi cedera nervus vasialis pada Bell’s Palsy adalah di bagian perifer

nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Salah

satu gejala Bell’s Palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita

berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap

kelihatan. Gejala ini disebut juga fenomene Bell. Pada observasi dapat dilihat
juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika

dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).

 Patofisiologi

Para ahli menyebutkan bahwa Bell’s Palsy terjadi proses inflamasi akut pada

nervus fasialis didaerah tulang temporal, disekitar foramen stilomastoideus.

Bell’s Palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak

waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralisis bilateral. Penyakit ini dapat

berulang atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori

menyebutkan terjadinya proses inflamsi pada nervus fasialis yang menyebabkan

peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf

terseburt pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar

dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti

corong yang menyempit pada pintukeluar sebagai foramen mental. Dengan

bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau

iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang

dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan

supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak didaerah

wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun dilintasan

asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di kortek motorik

primer. Karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin”.

Paparan udara yang dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi

mobil dengan kaca jendela terbuka diduga sebagai salah satu penyebab
terjadinya Belll’s Palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit

didalam foramen stilomastoideus dan menumbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum

atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi

nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens

dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut

akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik kearah

lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan

tuli perseptif impsilateral dan ageusia (tidak bisa mangecap dengan 2/3 bagian

depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebb utama Belll’s

Palsy adalah reaktivitasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang

menyerang saraf kranalis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini

menyebar kesaraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion

genikulatum , nervus vasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan

kelumpuhan fasialis LMN.

Kelumpuhan pada Bell’s Palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari

otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palfebra tidak

dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang

berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan

dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak

bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.

 Etiologi
Diperkirakan penyebab Bell’s Palsy adalah virus. Akan tetepi, baru

beberapa tahun terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada

umumnya kasus Bell’s Palsy sekian lama dianggap idiopatik. Telah

didefinisikan gen Herpes Simpleks Virus (HSV) dalam ganglion genikulatum

penderita Bell’s Palsy. Dulu, masuk angin (misalnya hawa dimgin, AC, atau

menyetir mobil dengan jendela terbuka) dianggap sebagai satu-satunya pemicu

Bell’s Palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab Bll’s

Palsy. Tahun 1972, McCormic pertama kali mengususlkan HSV sebagai

penyebab paralisis fasial idiopatik. Dengan analogi bahwa HSV ditemukan pada

keadaan masuk angin (panas dalam/cold sore), dan beliau memberikan hipotesis

bahwa HSV bisa tetap laten dalam ganglion genikulatum. Sejak saat itu,

penelitian biopsi memperlihatkan adanya HSV dalam ganglion ganikulatum

pasien Bell’s Palsy. Murakami at.all melakukan tes PCR 9Polymerase-Chain

Reaction) pada cairan endoneural N. VII penderita Bell’s Palsy berat yang

menjalani pembedahan dan melakukan HSV dalam cairan endoneural. Apabila

HSV diinokulasi pada telinga dan lidah tikus, maka akan ditemukan antigen

virus dalam nervus fasialis dan ganglion genikulatum. Varicella Zooster Virus

(VZV) tidak ditemukan pada penderita Bell’s Palsy tetapi ditemukan pada

penderita Ramsay Hunt Syndrome.

Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s Palsy, tetapi ada 4 teori

yang dihubungkan dengan etiologi Bell’s Palsy yaitu:

13. Teori Iskemik Vaskuler


Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena regulasi

sirkulasi darah di kanalis fsialis

14. Teori Inveksi Virus

Virus yang dianggap paling banyak bertanggung jawab adalah Herpes

Simplex Virus (HSV), yang terjadi karena proses reakrivitas dari HSV

(khususnya tipe 1)

15. Teori Herediter

Bell’s Palsy terjadi mungkin karena kanalisis fasialis yang sempit pada

keturunan ayau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk

terjadinya paresis fasialis.

16. Teori Imunologi

Dikataka bahwa Bell’s Palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi

virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.

 Gejala Klinik

Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan dimulut pada saat

bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah

merasakan adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya

memperhatikannya lebih cepat dengan menggunakan cermin.

Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak

dapat dipejamkan, waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola

mata tampak berputar ke atas. Penderita tidak dapat bersiul atau maniup.

Apabila berkumur atau mium maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh .
Tanda dan gejala klinik lainnya berhubungan dengan tempat atau lokasi

lesi.

h. Lesi diluar foramen stilomastiodeus. Mulut tertarik ke arah sisi mulur yang

sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam di wajah

menghilang. Lipatan kulit menghilang. Apabila mata yang terkena tidak

tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus

i. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani). Tanda dan gejalanya

seperit pada nomor 1, ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan

lidah dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecap

pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedus, sekaligus

menunjukkan lesi didaerah antara pons dan titik dimana korda timpani

bergabung dengan nervus vasialis di kanalis.

j. Lesi di kanalis fasialislebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius).

Tanda dan gejala klinik seperti 1, 2, ditambah dengan adanya hiperakusis.

k. Lasi ditempat yang ledih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)

tanda dan gajala seperti 1, 2, 3, di sertai dengan nyeri di belakang dan di

dalam liang telinga.

l. Lesi di daerah meatus akustikus interna .tanda dan gejala seperti 1, 2, 3, 4,

ditambah dengan tuli sebagai akibat dari terlibatnya nervus trigeminus

m. Lasi di tempat keliarnya nervus fasialis dari pons. Tanda dan gejala sama

dengan diatas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus
akustikus dan kadang-ladang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan

nervus hipoglosus.

 Pemeriksaan penunjang

ee. Pemeriksaan fisik

Kelumpuhan nervus fasialis mudah terlihat hanya dengan pemeriksaan fisik

tetapi yang harus diteliti lebih lanjut adalah apakah ada penyebab lain yang

menyebabkan kelumpuhan narvus fasialais. Pada lesi supranuklear dimana

lokasi lesi diatas nukleus fasialis di pons, maka lesinya bersifat UMN. Pada

kelainan tersebut, sepertiga atas nervus fasialis normal, sedangkan dua

pertiga dibawahnya mengalami paralisis. Pemeriksaan nervus kranialis yang

lain dlam batas normal

ff. Pemeriksaan laboratorium

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menengakkan

diagnosis Bell’s Palsy

gg. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s Palsy. Pemeriksaan CT-

scan dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke

tulang, stroke, sklerosis multiple dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI

pada pasien Bell’s Palsy akan menunjukkan adanya penyangatan pada

nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.

 Diagnosis
Diagnosis Bell’s Palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan

peneriksaan fisik. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan di dapatkan adanya

parese dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat

memejamkan mata dan rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan aguesia juga

dapat ditemukan. Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s

Palsy lesinya bersifat LMN.

 Pengobatan

1. Melindungi mata pada saat tidur dan pemberian tetes mata metilselulosa,

memijat otot-otot yang lemah dan mencegah kendornya otot-otot dibagian

bawah wajah merupakan kondisi yang dapt dikelola secara umum. Belum

ada bukti yang mendukung bahwa tindakan pembedahan efektif terhadap

nervus fasialis, bahkan kemungkinan besar dapat membahayan.

2. Pemberian kortikosteroid, dimana pemeberiannya dimulai pada hari kelima

setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan

pasien.
Daftar Pustaka

https://id.scribd.com/doc/186264752/LAPORAN-PENDAHULUAN-BELLS-PALSY

https://www.alomedika.com/penyakit/neurologi/bells-palsy
MATERI PENYAKIT PARKINSON

OLEH:

KHUSNUL KHATIMAH

A.18.10.031

S1 KEPERAWATAN

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

TAHUN AKADEMI 2019/2020


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang bersifat kronis

progresif, merupakan penyakit terbanyak kedua setelah demensia Alzheimer. Penyakit

ini memiliki dimensi gejala yang sangat luas sehingga baik langsung maupun tidak

langsung mempengaruhi kualitas hidup penderita maupun keluarga. Pertama kali

ditemukan oleh seorang dokter inggris yang bernama James Parkinson pada tahun 1887.

Penyakit ini merupakan suatu kondisi ketika seseorang mengalami ganguan pergerakan.

Tanda-tanda khas yang ditemukan pada penderita diantaranya resting tremor,

rigiditas, bradikinesia, dan instabilitas postural. Tanda-tanda motorik tersebut

merupakan akibat dari degenerasi neuron dopaminergik pada system nigrostriatal.

Namun, derajat keparahan defisit motorik tersebut beragam. Tanda-tanda motorik

pasien sering disertai depresi, disfungsi kognitif, gangguan tidur, dan disfungsi

autonom.

Penyakit Parkinson terjadi di seluruh dunia, jumlah penderita antara pria dan

wanita seimbang. 5 – 10 % orang yang terjangkit penyakit parkinson, gejala awalnya

muncul sebelum usia 40 tahun, tapi rata-rata menyerang penderita pada usia 65 tahun.

Secara keseluruhan, pengaruh usia pada umumnya mencapai 1 % di seluruh dunia dan

1,6 % di Eropa, meningkat dari 0,6 % pada usia 60 – 64 tahun sampai 3,5 % pada usia

85 – 89 tahun.
Penyakit Parkinson dimulai secara samar-samar dan berkembang secara

perlahan. Pada banyak penderita, pada mulanya Penyakit Parkinson muncul sebagai

tremor (gemetar) tangan ketika sedang beristirahat, tremor akan berkurang jika tangan

digerakkan secara sengaja dan menghilang selama tidur. Stres emosional atau kelelahan

bisa memperberat tremor. Pada awalnya tremor terjadi pada satu tangan, akhirnya akan

mengenai tangan lainnya, lengan dan tungkai. Tremor juga akan mengenai rahang,

lidah, kening dan kelopak mata.

Penderita Penyakit Parkinson mengalami kesulitan dalam memulai suatu

pergerakan dan terjadi kekakuan otot. Jika lengan bawah ditekuk ke belakang atau

diluruskan oleh orang lain, maka gerakannya terasa kaku. Kekakuan dan imobilitas bisa

menyebabkan sakit otot dan kelelahan. Kekakuan dan kesulitan dalam memulai suatu

pergerakan bisa menyebabkan berbagai kesulitan. Otot-otot kecil di tangan seringkali

mengalami gangguan, sehingga pekerjaan sehari -hari (misalnya mengancingkan baju

dan mengikat tali sepatu) semakin sulit dilakukan. Penderita Penyakit Parkinson

mengalami kesulitan dalam melangkah dan seringkali berjalan tertatih-tatih dimana

lengannya tidak berayun sesuai dengan langkahnya. Jika penderita Penyakit Parkinson

sudah mulai berjalan, mereka mengalami kesulitan untuk berhenti atau berbalik.

Langkahnya bertambah cepat sehingga mendorong mereka untuk berlari kecil supaya

tidak terjatuh. Sikap tubuhnya menjadi bungkuk dan sulit mempertahankan

keseimbangan sehingga cenderung jatuh ke depan atau ke belakang. Wajah penderita

Penyakit Parkinson menjadi kurang ekspresif karena otot-otot wajah untuk membentuk

ekspresi tidak bergerak. Kadang berkurangnya ekspresi wajah ini disalah artikan
sebagai depresi, walaupun memang banyak penderita Penyakit Parkinson yang akhirnya

mengalami depresi. Pandangan tampak kosong dengan mulut terbuka dan matanya

jarang mengedip. Penderita Penyakit Parkinson seringkali ileran atau tersedak karena

kekakuan pada otot wajah dan tenggorokan menyebabkan kesulitan menelan. Penderita

Penyakit Parkinson berbicara sangat pelan dan tanpa aksen (monoton) dan menjadi

gagap karena mengalami kesulitan dalam mengartikulasikan fikirannya. Sebagian besar

penderita memiliki intelektual yang normal, tetapi ada juga yang menjadi pikun.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Penyakit Parkinson (paralysis agitans) atau sindrom Parkinson

(Parkinsonismus) merupakan suatu penyakit/sindrom karena gangguan pada

ganglia basalis akibat penurunan atau tidak adanya pengiriman dopamine dari

substansia nigra ke globus palidus/ neostriatum (striatal dopamine deficiency).

Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang

berkaitan erat dengan usia. Penyakit ini mempunyai karakteristik terjadinya

degenerasi dari neuron dopaminergik pas substansia nigra pars kompakta,

ditambah dengan adanya inklusi intraplasma yang terdiri dari protein yang

disebut dengan Lewy Bodies. Neurodegeneratif pada parkinson juga terjadi pasa

daerah otak lain termasuk lokus ceruleus, raphe nuklei, nukleus basalis Meynert,

hipothalamus, korteks cerebri, motor nukelus dari saraf kranial, sistem saraf

otonom.

2. Insidensi

Penyakit Parkinson terjadi di seluruh dunia, jumlah penderita antara pria

dan wanita seimbang. 5 – 10 % orang yang terjangkit penyakit parkinson, gejala

awalnya muncul sebelum usia 40 tahun, tapi rata-rata menyerang penderita pada

usia 65 tahun. Secara keseluruhan, pengaruh usia pada umumnya mencapai 1 %


di seluruh dunia dan 1,6 % di Eropa, meningkat dari 0,6 % pada usia 60 – 64

tahun sampai 3,5 % pada usia 85 – 89 tahun.

Di Amerika Serikat, ada sekitar 500.000 penderita parkinson. Di

Indonesia sendiri, dengan jumlah penduduk 210 juta orang, diperkirakan ada

sekitar 200.000-400.000 penderita. Rata-rata usia penderita di atas 50 tahun

dengan rentang usia-sesuai dengan penelitian yang dilakukan di beberapa rumah

sakit di Sumatera dan Jawa- 18 hingga 85 tahun. Statistik menunjukkan, baik di

luar negeri maupun di dalam negeri, lelaki lebih banyak terkena dibanding

perempuan (3:2) dengan alasan yang belum diketahui.

3. Etiologi

Etiologi Parkinson primer belum diketahui, masih belum diketahui.

Terdapat beberapa dugaan, di antaranya ialah : infeksi oleh virus yang non-

konvensional (belum diketahui), reaksi abnormal terhadap virus yang sudah

umum, pemaparan terhadap zat toksik yang belum diketahui, terjadinya penuaan

yang prematur atau dipercepat.

Parkinson disebabkan oleh rusaknya sel-sel otak, tepatnya di substansi

nigra. Suatu kelompok sel yang mengatur gerakan-gerakan yang tidak

dikehendaki (involuntary). Akibatnya, penderita tidak bisa mengatur/menahan

gerakan-gerakan yang tidak disadarinya. Mekanis-me bagaimana kerusakan itu

belum jelas benar. Beberapa hal yang diduga bisa menyebabkan parkinson

adalah sebagai berikut.


1.Usia : Insiden meningkat dari 10 per 10.000 penduduk pada usia 50

sampai 200 dari 10.000 penduduk pada usia 80 tahun. Hal ini

berkaitan dengan reaksi mikrogilial yang mempengaruhi kerusakan

neuronal, terutama pada substansia nigra, pada penyakit parkinson.

2.Geografi : Di Libya 31 dari 100.000 orang, di Buinos aires 657 per

100.000 orang. Faktor resiko yang mempengaruhi perbedaan angka

secara geografis ini termasuk adanya perbedaaan genetik, kekebalan

terhadap penyakit dan paparan terhadap faktor lingkungan.

3.Periode : Fluktuasi jumlah penderita penyakit parkinson tiap periode

mungkin berhubungan dengan hasil pemaparan lingkungan yang

episodik, misalnya proses infeksi, industrialisasi ataupn gaya hidup.

Data dari Mayo Klinik di Minessota, tidak terjadi perubahan besar

pada angka morbiditas antara tahun 1935 sampai tahun 1990. Hal ini

mungkin karena faktor lingkungan secara relatif kurang berpengaruh

terhadap timbulnya penyakit parkinson.

4.Genetik : Penelitian menunjukkan adanya mutasi genetik yang

berperan pada penyakit parkinson. Yaitu mutasi pada gen a-sinuklein

pada lengan panjang kromosom 4 (PARK1) pada pasien dengan

Parkinsonism autosomal dominan. Pada pasien dengan autosomal

resesif parkinson, ditemukan delesi dan mutasi point pada gen parkin

(PARK2) di kromosom 6. Selain itu juga ditemukan adanya disfungsi

mitokondria. Adanya riwayat penyakit parkinson pada keluarga


meningakatkan faktor resiko menderita penyakit parkinson sebesar

8,8 kali pada usia kurang dari 70 tahun dan 2,8 kali pada usia lebih

dari 70 tahun. Meskipun sangat jarang, jika disebabkan oleh

keturunan, gejala parkinsonisme tampak pada usia relatif muda.

Kasus-kasus genetika di USA sangat sedikit, belum ditemukan kasus

genetika pada 100 penderita yang diperiksa. Di Eropa pun demikian.

Penelitian di Jerman menemukan hasil nol pada 70 penderita. Contoh

klasik dari penyebab genetika ditemukan pada keluarga-keluarga di

Italia karena kasus penyakit itu terjadi pada usia 46 tahun.

5.Faktor Lingkungan

a.Xenobiotik

Berhubungan erat dengan paparan pestisida yang dapat menmbulkan

kerusakan mitokondria.

b.Pekerjaan

Lebih banyak pada orang dengan paparan metal yang lebih tinggi dan

lama.

c.Infeksi

Paparan virus influenza intrautero diduga turut menjadi faktor

predesposisi penyakit parkinson melalui kerusakan substansia

nigra. Penelitian pada hewan menunjukkan adanya kerusakan

substansia nigra oleh infeksi Nocardia astroides.

d.Diet
Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan stress oksidatif,

salah satu mekanisme kerusakan neuronal pada penyakit parkinson.

Sebaliknya,kopi merupakan neuroprotektif.

e.Trauma kepala

Cedera kranio serebral bisa menyebabkan penyakit parkinson, meski

peranannya masih belum jelas benar

f.Stress dan depresi

Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat mendahului gejala

motorik. Depresi dan stress dihubungkan dengan penyakit parkinson

karena pada stress dan depresi terjadi peningkatan turnover

katekolamin yang memacu stress oksidatif.

4. Patofisiologi

Dua hipotesis yang disebut juga sebagai mekanisme degenerasi neuronal

ada penyakit Parkinson ialah: hipotesis radikal bebas dan hipotesis neurotoksin.

1.Hipotesis radikal bebas

Diduga bahwa oksidasi enzimatik dari dopamine dapat merusak neuron

nigrotriatal, karena proses ini menghasilkan hidrogren peroksid dan

radikal oksi lainnya. Walaupun ada mekanisme pelindung untuk

mencegah kerusakan dari stress oksidatif, namun pada usia lanjut

mungkin mekanisme ini gagal.

2.Hipotesis neurotoksin
Diduga satu atau lebih macam zat neurotoksik berpera pada proses

neurodegenerasi pada Parkinson.

Pandangan saat ini menekankan pentingnya ganglia basal dalam

menyusun rencana neurofisiologi yang dibutuhkan dalam melakukan gerakan,

dan bagian yang diperankan oleh serebelum ialah mengevaluasi informasi yang

didapat sebagai umpan balik mengenai pelaksanaan gerakan. Ganglia basal tugas

primernya adalah mengumpulkan program untuk gerakan, sedangkan serebelum

memonitor dan melakukan pembetulan kesalahan yang terjadi seaktu program

gerakan diimplementasikan. Salah satu gambaran dari gangguan ekstrapiramidal

adalah gerakan involunter.

Dasar patologinya mencakup lesi di ganglia basalis (kaudatus, putamen,

palidum, nukleus subtalamus) dan batang otak (substansia nigra, nukleus rubra,

lokus seruleus).

Secara sederhana , penyakit atau kelainan sistem motorik dapat dibagi

sebagai berikut :

1.Piramidal ; kelumpuhan disertai reflek tendon yang meningkat dan

reflek superfisial yang abnormal

2.Ekstrapiramidal : didomonasi oleh adanya gerakan-gerakan involunter

3.Serebelar : ataksia alaupun sensasi propioseptif normal sering disertai

nistagmus

4.Neuromuskuler : kelumpuhan sering disertai atrofi otot dan reflek

tendon yang menurun.


Patofisiologi depresi pada penyakit Parkinson sampai saat ini belum

diketahui pasti. Namun teoritis diduga hal ini berhubungan dengan defisiensi

serotonin, dopamin dan noradrenalin.

Pada penyakit Parkinson terjadi degenerasi sel-sel neuronyang meliputi

berbagai inti subkortikal termasuk di antaranya substansia nigra, area ventral

tegmental, nukleus basalis, hipotalamus, pedunkulus pontin, nukleus raphe

dorsal, locus cereleus, nucleus central pontine dan ganglia otonomik. Beratnya

kerusakan struktur ini bervariasi. Pada otopsi didapatkan kehilangan sel

substansia nigra dan lokus cereleus bervariasi antara 50% - 85%, sedangkan

pada nukleus raphe dorsal berkisar antara 0% - 45%, dan pada nukleus ganglia

basalis antara 32 % - 87 %. Inti-inti subkortikal ini merupakan sumber utama

neurotransmiter. Terlibatnya struktur ini mengakibatkan berkurangnya dopamin

di nukleus kaudatus (berkurang sampai 75%), putamen (berkurang sampai 90%),

hipotalamus (berkurang sampai 90%). Norepinefrin berkurang 43% di lokus

sereleus, 52% di substansia nigra, 68% di hipotalamus posterior. Serotonin

berkurang 40% di nukleus kaudatus dan hipokampus, 40% di lobus frontalis dan

30% di lobus temporalis, serta 50% di ganglia basalis. Selain itu juga terjadi

pengurangan nuropeptid spesifik seperti met-enkephalin, leu-enkephalin,

substansi P dan bombesin.

Perubahan neurotransmiter dan neuropeptid menyebabkan perubahan

neurofisiologik yang berhubungan dengan perubahan suasana perasaan. Sistem


transmiter yang terlibat ini menengahi proses reward, mekanisme motivasi, dan

respons terhadap stres. Sistem dopamin berperan dalam proses reward dan

reinforcement. Febiger mengemukakan hipotesis bahwa abnormalitas sistem

neurotransmiter pada penyakit Parkinson akan mengurangi keefektifan

mekanisme reward dan menyebabkan anhedonia, kehilangan motivasi dan

apatis. Sedang Taylor menekankan pentingnya peranan sistem dopamin

forebrain dalam fungsi-fungsi tingkah laku terhadap pengharapan dan antisipasi.

Sistem ini berperan dalam motivasi dan dorongan untuk berbuat, sehingga

disfungsi ini akan mengakibatkan ketergantungan yang berlebihan terhadap

lingkungan dengan berkurangnya keinginan melakukan aktivitas, menurunnya

perasaan kemampuan untuk mengontrol diri. Berkurangnya perasaan

kemampuan untuk mengontrol diri sendiri dapat bermanifestasi sebagai perasaan

tidak berguna dan kehilangan harga diri. Ketergantungan terhadap lingkungan

dan ketidakmampuan melakukan aktivitas akan menimbulkan perasaan tidak

berdaya dan putus asa. Sistem serotonergik berperan dalam regulasi suasana

perasaan, regulasi bangun tidur, aktivitas agresi dan seksual. Disfungsi sistem ini

akan menyebabkan gangguan pola tidur, kehilangan nafsu makan, berkurangnya

libido, dan menurunnya kemampuan konsentrasi. Penggabungan disfungsi

semua unsur yang tersebut di atas merupakan gambaran dari sindrom klasik

depresi.

5. Klasifikasi
Pada umumnya diagnosis sindrom Parkinson mudah ditegakkan, tetapi

harus diusahakan menentukan jenisnya untuk mendapat gambaran tentang

etiologi, prognosis dan penatalaksanaannya.

1.Parkinsonismus primer/ idiopatik/paralysis agitans.

Sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan kronis, tetapi

penyebabnya belum jelas. Kira-kira 7 dari 8 kasus parkinson termasuk

jenis ini.

2.Parkinsonismus sekunder atau simtomatik

Dapat disebabkan pasca ensefalitis virus, pasca infeksi lain :

tuberkulosis, sifilis meningovaskuler, iatrogenik atau drug induced,

misalnya golongan fenotiazin, reserpin, tetrabenazin dan lain-lain,

misalnya perdarahan serebral petekial pasca trauma yang berulang-ulang

pada petinju, infark lakuner, tumor serebri, hipoparatiroid dan kalsifikasi.

3.Sindrom paraparkinson (Parkinson plus)

Pada kelompok ini gejalanya hanya merupakan sebagian dari gambaran

penyakit keseluruhan. Jenis ini bisa didapat pada penyakit Wilson

(degenerasi hepato-lentikularis), hidrosefalus normotensif, sindrom Shy-

drager, degenerasi striatonigral, atropi palidal (parkinsonismus

juvenilis).
6. Gejala Klinis

Meskipun gejala yang disampaikan di bawah ini bukan hanya milik penderita

parkinson, umumnya penderita parkinson mengalami hal itu.

1.Gejala Motorik

a.Tremor/bergetar

Gejala penyakit parkinson sering luput dari pandangan awam, dan

dianggap sebagai suatu hal yang lumrah terjadi pada orang tua. Salah satu

ciri khas dari penyakit parkinson adalah tangan tremor (bergetar) jika

sedang beristirahat. Namun, jika orang itu diminta melakukan sesuatu,

getaran tersebut tidak terlihat lagi. Itu yang disebut resting tremor, yang

hilang juga sewaktu tidur.

Tremor terdapat pada jari tangan, tremor kasar pada sendi

metakarpofalangis, kadang-kadang tremor seperti menghitung uang logam

atau memulung-mulung (pil rolling). Pada sendi tangan fleksi-ekstensi

atau pronasi-supinasi pada kaki fleksi-ekstensi, kepala fleksi-ekstensi atau

menggeleng, mulut membuka menutup, lidah terjulur-tertarik. Tremor ini

menghilang waktu istirahat dan menghebat waktu emosi terangsang

(resting/ alternating tremor).


Tremor tidak hanya terjadi pada tangan atau kaki, tetapi bisa juga

terjadi pada kelopak mata dan bola mata, bibir, lidah dan jari tangan

(seperti orang menghitung uang). Semua itu terjadi pada saat

istirahat/tanpa sadar. Bahkan, kepala penderita bisa bergoyang-goyang jika

tidak sedang melakukan aktivitas (tanpa sadar). Artinya, jika disadari,

tremor tersebut bisa berhenti. Pada awalnya tremor hanya terjadi pada satu

sisi, namun semakin berat penyakit, tremor bisa terjadi pada kedua belah

sisi.

b.Rigiditas/kekakuan

Tanda yang lain adalah kekakuan (rigiditas). Jika kepalan tangan

yang tremor tersebut digerakkan (oleh orang lain) secara perlahan ke atas

bertumpu pada pergelangan tangan, terasa ada tahanan seperti melewati

suatu roda yang bergigi sehingga gerakannya menjadi terpatah-

patah/putus-putus. Selain di tangan maupun di kaki, kekakuan itu bisa

juga terjadi di leher. Akibat kekakuan itu, gerakannya menjadi tidak halus

lagi seperti break-dance. Gerakan yang kaku membuat penderita akan

berjalan dengan postur yang membungkuk. Untuk mempertahankan pusat

gravitasinya agar tidak jatuh, langkahnya menjadi cepat tetapi pendek-

pendek.

Adanya hipertoni pada otot fleksor ekstensor dan hipertoni

seluruh gerakan, hal ini oleh karena meningkatnya aktifitas motorneuron

alfa, adanya fenomena roda bergigi (cogwheel phenomenon).


c.Akinesia/Bradikinesia

Kedua gejala di atas biasanya masih kurang mendapat perhatian

sehingga tanda akinesia/bradikinesia muncul. Gerakan penderita menjadi

serba lambat. Dalam pekerjaan sehari-hari pun bisa terlihat pada

tulisan/tanda tangan yang semakin mengecil, sulit mengenakan baju,

langkah menjadi pendek dan diseret. Kesadaran masih tetap baik sehingga

penderita bisa menjadi tertekan (stres) karena penyakit itu. Wajah menjadi

tanpa ekspresi. Kedipan dan lirikan mata berkurang, suara menjadi kecil,

refleks menelan berkurang, sehingga sering keluar air liur.

Gerakan volunter menjadi lambat sehingga berkurangnya gerak

asosiatif, misalnya sulit untuk bangun dari kursi, sulit memulai berjalan,

lambat mengambil suatu obyek, bila berbicara gerak lidah dan bibir

menjadi lambat. Bradikinesia mengakibatkan berkurangnya ekspresi muka

serta mimik dan gerakan spontan yang berkurang, misalnya wajah seperti

topeng, kedipan mata berkurang, berkurangnya gerak menelan ludah

sehingga ludah suka keluar dari mulut.

d.Tiba-tiba Berhenti atau Ragu-ragu untuk Melangkah

Gejala lain adalah freezing, yaitu berhenti di tempat saat mau mulai

melangkah, sedang berjalan, atau berputar balik; dan start hesitation, yaitu

ragu-ragu untuk mulai melangkah. Bisa juga terjadi sering kencing, dan
13
sembelit. Penderita menjadi lambat berpikir dan depresi. Bradikinesia

mengakibatkan kurangnya ekspresi muka serta mimic muka. Disamping


itu, kulit muka seperti berminyak dan ludah suka keluar dari mulut karena

berkurangnya gerak menelan ludah.

e.Mikrografia

Tulisan tangan secara gradual menjadi kecil dan rapat, pada

beberapa kasus hal ini merupakan gejala dini.

f.Langkah dan gaya jalan (sikap Parkinson)

Berjalan dengan langkah kecil menggeser dan makin menjadi cepat

(marche a petit pas), stadium lanjut kepala difleksikan ke dada, bahu

membengkok ke depan, punggung melengkung bila berjalan.

g.Bicara monoton

Hal ini karena bradikinesia dan rigiditas otot pernapasan, pita suara,

otot laring, sehingga bila berbicara atau mengucapkan kata-kata yang

monoton dengan volume suara halus ( suara bisikan ) yang lambat.

h.Dimensia

Adanya perubahan status mental selama perjalanan penyakitnya

dengan deficit kognitif.

i.Gangguan behavioral

Lambat-laun menjadi dependen ( tergantung kepada orang lain ),

mudah takut, sikap kurang tegas, depresi. Cara berpikir dan respon

terhadap pertanyaan lambat (bradifrenia) biasanya masih dapat

memberikan jawaban yang betul, asal diberi waktu yang cukup.

j.Gejala Lain
Kedua mata berkedip-kedip dengan gencar pada pengetukan diatas

pangkal hidungnya (tanda Myerson positif)

2.Gejala non motorik

a.Disfungsi otonom

-Keringat berlebihan, air ludah berlebihan, gangguan sfingter terutama

inkontinensia dan hipotensi ortostatik.

-Kulit berminyak dan infeksi kulit seborrheic

-Pengeluaran urin yang banyak

-Gangguan seksual yang berubah fungsi, ditandai dengan melemahnya

hasrat seksual, perilaku, orgasme.

b.Gangguan suasana hati, penderita sering mengalami depresi

c.Ganguan kognitif, menanggapi rangsangan lambat

d.Gangguan tidur, penderita mengalami kesulitan tidur (insomnia)

e.Gangguan sensasi,

- kepekaan kontras visuil lemah, pemikiran mengenai ruang, pembedaan

warna,

- penderita sering mengalami pingsan, umumnya disebabkan oleh

hypotension orthostatic, suatu kegagalan sistemsaraf otonom untuk

melakukan penyesuaian tekanan darah sebagai jawaban atas perubahan

posisi badan
- berkurangnya atau hilangnya kepekaan indra perasa bau ( microsmia

atau anosmia),

7. Diagnosis

Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang. Pada setiap kunjungan penderita :

1.Tekanan darah diukur dalam keadaan berbaring dan berdiri, hal ini untuk

mendeteksi hipotensi ortostatik.

2.Menilai respons terhadap stress ringan, misalnya berdiri dengan tangan

diekstensikan, menghitung surut dari angka seratus, bila masih ada tremor

dan rigiditas yang san gat, berarti belum berespon terhadap medikasi.

3.Mencatat dan mengikuti kemampuan fungsional, disini penderita disuruh menulis

kalimat sederhana dan menggambarkan lingkaran-lingkaran konsentris

dengan tangan kanan dan kiri diatas kertas, kertas ini disimpan untuk

perbandingan waktu follow up berikutnya.

8. Pemeriksaan penunjang

-EEG (biasanya terjadi perlambatan yang progresif)

-CT Scan kepala (biasanya terjadi atropi kortikal difus, sulki melebar,

hidrosefalua eks vakuo).


9. Tata laksana penyakit Parkinson

Penyakit Parkinson merupakan penyakit kronis yang membutuhkan penanganan

secara holistik meliputi berbagai bidang. Pada saat ini tidak ada terapi untuk

menyembuhkan penyakit ini, tetapi pengobatan dan operasi dapat mengatasi gejala yang

timbul.

Pengobatan penyakit parkinson bersifat individual dan simtomatik, obat-obatan

yang biasa diberikan adalah untuk pengobatan penyakit atau menggantikan atau meniru

dopamin yang akan memperbaiki tremor, rigiditas, dan slowness.

Perawatan pada penderita penyakit parkinson bertujuan untuk memperlambat

dan menghambat perkembangan dari penyakit itu. Perawatan ini dapat dilakukan

dengan pemberian obat dan terapi fisik seperti terapi berjalan, terapi suara/berbicara dan

pasien diharapkan tetap melakukan kegiatan sehari-hari.

1) Terapi Obat-obatan

Beberapa obat yang diberikan pada penderita penyakit parkinson:

a.Antikolinergik

Benzotropine ( Cogentin), trihexyphenidyl ( Artane). Berguna untuk

mengendalikan gejala dari penyakit parkinson. Untuk mengaluskan

pergerakan.

b.Carbidopa/levodopa

Levodopa merupakan pengobatan utama untuk penyakit parkinson. Di

dalam otak levodopa dirubah menjadi dopamine. L-dopa akan diubah


menjadi dopamine pada neuron dopaminergik oleh L-aromatik asam

amino dekarboksilase (dopa dekarboksilase). Walaupun demikian, hanya

1-5% dari L-Dopa memasuki neuron dopaminergik, sisanya

dimetabolisme di sembarang tempat, mengakibatkan efek samping yang

luas. Karena mekanisme feedback, akan terjadi inhibisi pembentukan L-

Dopa endogen. Carbidopa dan benserazide adalah dopa dekarboksilase

inhibitor, membantu mencegah metabolisme L-Dopa sebelum mencapai

neuron dopaminergik.

Levodopa mengurangi tremor, kekakuan otot dan memperbaiki gerakan.

Penderita penyakit parkinson ringan bisa kembali menjalani aktivitasnya

secara normal. Obat ini diberikan bersama carbidopa untuk

meningkatkan efektivitasnya & mengurangi efek sampingnya.

Sejak diperkenalkan akhir tahun 1960an, levodopa dianggap

merupakan obat yang paling banyak dipakai sampai saat ini. Levodopa

dianggap merupakan tulang punggung pengobatan penyakit parkinson.

Berkat levodopa, seorang penderita parkinson dapat kembali beraktivitas

secara normal.

Banyak dokter menunda pengobatan simtomatis dengan levodopa

sampai memang dibutuhkan. Bila gejala pasien masih ringan dan tidak

mengganggu, sebaiknya terapi dengan levodopa jangan dilakukan. Hal ini

mengingat bahwa efektifitas levodopa berkaitan dengan lama waktu

pemakaiannya.Levodopa melintasi sawar-darah-otak dan memasuki susunan


saraf pusat dan mengalami perubahan ensimatik menjadi dopamin. Dopamin

menghambat aktifitas neuron di ganglia basal.

Efek samping levodopa dapat berupa:

1) Neusea, muntah, distress abdominal

2) Hipotensi postural

3) Sesekali akan didapatkan aritmia jantung, terutama pada penderita yang

berusia lanjut. Efek ini diakibatkan oleh efek beta-adrenergik dopamine

pada system konduksi jantung. Ini bias diatasi dengan obat beta blocker

seperti propanolol.

4) Diskinesia.

Diskinesia yang paling sering ditemukan melibatkan anggota gerak, leher

atau muka. Diskinesia sering terjadi pada penderita yang berespon baik

terhadap terapi levodopa. Beberapa penderita menunjukkan gejala on-off

yang sangat mengganggu karena penderita tidak tahu kapan gerakannya

mendadak menjadi terhenti, membeku, sulit. Jadi gerakannya terinterupsi

sejenak.

5) Abnormalitas laboratorium. Granulositopenia, fungsi hati abnormal dan

ureum darah yang meningkat merupakan komplikasi yang jarang terjadi

pada terapi levodopa.

Efek samping levodopa pada pemakaian bertahun-tahun adalah

diskinesia yaitu gerakan motorik tidak terkontrol pada anggota gerak

maupun tubuh. Respon penderita yang mengkonsumsi levodopa juga


semakin lama semakin berkurang. Untuk menghilangkan efek samping

levodopa, jadwal pemberian diatur dan ditingkatkan dosisnya, juga dengan

memberikan tambahan obat-obat yang memiliki mekanisme kerja berbeda

seperti dopamin agonis, COMT inhibitor atau MAO-B inhibitor. Jika

kombinasi obat-obatan tersebut juga tidak membantu disini dipertimbangkan

pengobatan operasi. Operasi bukan merupakan pengobatan standar untuk

penyakit parkinson juga bukan sebagai terapi pengganti terhadap obat-obatan

yang diminum.

c.COMT inhibitors

Entacapone (Comtan), Tolcapone (Tasmar). Untuk mengontrol fluktuasi

motor pada pasien yang menggunakan obat levodopa. Tolcapone adalah

penghambat enzim COMT, memperpanjang efek L-Dopa. Tapi karena efek

samping yang berlebihan seperti liver toksik, maka jarang digunakan. Jenis

yang sama, entacapone, tidak menimbulkan penurunan fungsi liver.

d.Agonis dopamin

Agonis dopamin seperti bromokriptin (Parlodel), pergolid (Permax),

pramipexol (Mirapex), ropinirol, kabergolin, apomorfin dan lisurid dianggap

cukup efektif untuk mengobati gejala Parkinson. Obat ini bekerja dengan

merangsang reseptor dopamin, akan tetapi obat ini juga menyebabkan


penurunan reseptor dopamin secara progresif yang selanjutnya akan

menimbulkan peningkatan gejala Parkinson.

Obat ini dapat berguna untuk mengobati pasien yang pernah mengalami

serangan yang berfluktuasi dan diskinesia sebagai akibat dari levodopa dosis

tinggi. Apomorfin dapat diinjeksikan subkutan. Dosis rendah yang diberikan

setiap hari dapat mengurangi fluktuasi gejala motorik.

e.MAO-B inhibitors

Selegiline (Eldepryl), Rasagaline (Azilect). Inhibitor MAO diduga

berguna pada penyakit Parkinson karena neuotransmisi dopamine dapat

ditingkatkan dengan mencegah perusakannya. Selegiline dapat pula

memperlambat memburuknya sindrom Parkinson, dengan demikian terapi

levodopa dapat ditangguhkan selama beberapa waktu. Berguna untuk

mengendalikan gejala dari penyakit parkinson. Yaitu untuk mengaluskan

pergerakan.

Selegilin dan rasagilin mengurangi gejala dengan dengan

menginhibisi monoamine oksidase B (MAO-B), sehingga menghambat

perusakan dopamine yang dikeluarkan oleh neuron dopaminergik.

Metabolitnya mengandung L-amphetamin and L-methamphetamin. Efek

sampingnya adalah insomnia. Kombinasi dengan L-dopa dapat

meningkatkan angka kematian, yang sampai saat ini tidak bisa diterangkan

secara jelas. Efek lain dari kombinasi ini adalah stomatitis.


f.Amantadine (Symmetrel)

Berguna untuk perawatan akinesia, dyskinesia, kekakuan, gemetaran.

g.Inhibitor dopa dekarboksilasi dan levodopa

Untuk mencegah agar levodopa tidak diubah menjadi dopamin di luar

otak, maka levodopa dikombinasikan dengan inhibitor enzim dopa

dekarboksilase. Untuk maksud ini dapat digunakan karbidopa atau

benserazide ( madopar ). Dopamin dan karbidopa tidak dapat menembus

sawar-otak-darah. Dengan demikian lebih banyak levodopa yang dapat

menembus sawar-otak-darah, untuk kemudian dikonversi menjadi

dopamine di otak. Efek sampingnya umunya hampir sama dengan efek

samping yang ditimbulkan oleh levodopa.

2) Deep Brain Stimulation (DBS)

Pada tahun 1987, diperkenalkan pengobatan dengan cara

memasukkan elektroda yang memancarkan impuls listrik frekuensi tinggi

terus-menerus ke dalam otak. Terapi ini disebut deep brain stimulation

(DBS). DBS adalah tindakan minimal invasif yang dioperasikan melalui

panduan komputer dengan tingkat kerusakan minimal untuk mencangkokkan

alat medis yang disebut neurostimulator untuk menghasilkan stimulasi


elektrik pada wilayah target di dalam otak yang terlibat dalam pengendalian

gerakan.

Terapi ini memberikan stimulasi elektrik rendah pada thalamus.

Stimulasi ini digerakkan oleh alat medis implant yang menekan tremor.

Terapi ini memberikan kemungkinan penekanan pada semua gejala dan efek

samping, dokter menargetkan wilayah subthalamic nucleus (STN) dan

globus pallidus (GP) sebagai wilayah stimulasi elektris. Pilihan wilayah

target tergantung pada penilaian klinis.

DBS kini menawarkan harapan baru bagi hidup yang lebih baik

dengan kemajuan pembedahan terkini kepada para pasien dengan penyakit

parkinson. DBS direkomendasikan bagi pasien dengan penyakit parkinson

tahap lanjut (stadium 3 atau 4) yang masih memberikan respon terhadap

levodopa.

Pengendalian parkinson dengan terapi DBS menunjukkan

keberhasilan 90%. Berdasarkan penelitian, sebanyak 8 atau 9 dari 10 orang

yang menggunakan terapi DBS mencapai peningkatan kemampuan untuk

melakukan akltivitas normal sehari-hari.

Selain terapi obat yang diberikan, pemberian makanan harus benar-

benar diperhatikan, karena kekakuan otot bisa menyebabkan penderita

mengalami kesulitan untuk menelan sehingga bisa terjadi kekurangan gizi

(malnutrisi) pada penderita. Makanan berserat akan membantu mengurangi


ganguan pencernaan yang disebabkan kurangnya aktivitas, cairan dan

beberapa obat.

3) Terapi Fisik

Sebagian terbesar penderita Parkinson akan merasa efek baik dari

terapi fisik. Pasien akan termotifasi sehingga terapi ini bisa dilakukan di

rumah, dengan diberikan petunjuk atau latihan contoh diklinik terapi fisik.

Program terapi fisik pada penyakit Parkinson merupakan program jangka

panjang dan jenis terapi disesuaikan dengan perkembangan atau perburukan

penyakit, misalnya perubahan pada rigiditas, tremor dan hambatan lainnya.

Latihan fisik yang teratur, termasuk yoga, taichi, ataupun tari dapat

bermanfaat dalam menjaga dan meningkatkan mobilitas, fleksibilitas,

keseimbangan, dan range of motion. Latihan dasar selalu dianjurkan, seperti

membawa tas, memakai dasi, mengunyah keras, dan memindahkan makanan

di dalam mulut.

4) Terapi Suara

Perawatan yang paling besar untuk kekacauan suara yang diakibatkan

oleh penyakit Parkinson adalah dengan Lee Silverman Voice Treatment

( LSVT ). LSVT fokus untuk meningkatkan volume suara. Suatu studi

menemukan bahwa alat elektronik yang menyediakan umpan balik indera


pendengar atau frequency auditory feedback (FAF) untuk meningkatkan

kejernihan suara.

5) Terapi gen

Pada saat sekarang ini, penyelidikan telah dilakukan hingga tahap

terapi gen yang melibatkan penggunaan virus yang tidak berbahaya yang

dikirim ke bagian otak yang disebut subthalamic nucleus (STN). Gen yang

digunakan memerintahkan untuk mempoduksi sebuah enzim yang disebut

glutamic acid decarboxylase (GAD) yang mempercepat produksi

neurotransmitter (GABA). GABA bertindak sebagai penghambat langsung

sel yang terlalu aktif di STN.

Terapi lain yang sedang dikembangkan adalah GDNF. Infus GDNF

(glial-derived neurotrophic factor) pada ganglia basal dengan menggunakan

implant kathether melalui operasi. Dengan berbagai reaksi biokimia, GDNF

akan merangsang pembentukan L-dopa.

6) Pencangkokan syaraf

Cangkok sel stem secara genetik untuk memproduksi dopamine atau

sel stem yang berubah menjadi sel memproduksi dopamine telah mulai

dilakukan. Percobaan pertama yang dilakukan adalah randomized double-

blind sham-placebo dengan pencangkokan dopaminergik yang gagal

menunjukkan peningkatan mutu hidup untuk pasien di bawah umur.

7) Operasi
Operasi untuk penderita Parkinson jarang dilakukan sejak

ditemukannya levodopa. Operasi dilakukan pada pasien dengan Parkinson

yang sudah parah di mana terapi dengan obat tidak mencukupi. Operasi

dilakukan thalatotomi dan stimulasi thalamik.

8) Terapi neuroprotektif

Terapi neuroprotektif dapat melindungi neuron dari kematian sel

yang diinduksi progresifitas penyakit. Yang sedang dikembangkan sebagai

agen neuroprotektif adalah apoptotic drugs (CEP 1347 and CTCT346),

lazaroids, bioenergetics, antiglutamatergic agents, dan dopamine receptors.

Adapun yang sering digunakan di klinik adalah monoamine oxidase

inhibitors (selegiline and rasagiline), dopamine agonis, dan complek I

mitochondrial fortifier coenzyme Q10.

9) Nutrisi

Beberapa nutrient telah diuji dalam studi klinik klinik untuk

kemudian digunakan secara luas untuk mengobati pasien Parkinson. Sebagai

contoh, L- Tyrosin yang merupakan suatu perkusor L-dopa mennjukkan

efektifitas sekitar 70 % dalam mengurangi gejala penyakit ini. Zat besi (Fe),

suatu kofaktor penting dalam biosintesis L-dopa mengurangi 10%- 60%

gejala pada penelitian terhadap 110 pasien.

THFA, NADH, dan piridoxin yang merupakan koenzim dan perkusor

koenzim dalam biosintesis dopamine menunjukkan efektifitas yang lebih


rendah dibanding L-Tyrosin dan zat besi. Vitamin C dan vitamin E dosis

tinggi secara teori dapat mengurangi kerusakan sel yang terjadi pada pasien

Parkinson. Kedua vitamin tersebut diperlukan dalam aktifitas enzim

superoxide dismutase dan katalase untuk menetralkan anion superoxide yang

dapat merusak sel.

Belum lama ini, Koenzim Q10 juga telah digunakan dengan cara

kerja yang mirip dengan vitamin A dan E. MitoQ adalah suatu zat sintesis

baru yang memiliki struktur dan fungsi mirip dengan koenzim Q10.

10) Qigong

Terdapat dua penelitian mengenai qigong pada penyakit bParkinson.

Dalam percobaan di Bonn, studi terhadap 56 pasien didapatkan peningkatan

gejala motorik dan non-motorik di antara pasien yang melakukan latihan

qigong terstruktur 1 kalin seminggu selama 8 minggu. Penulis berspekulasi

bahwa gambaran aliran energy yang membantu peningkatan dalam

movement pasien.

Namun demikian studi kedua menunjukkan qigong tak efektif pada

penyakit Parkinson. Dalam studi tersebut, peneliti menggunakan randomized

cross-over trial untuk membandingkan latihan aerobic dengan qigong pada

penyakit Parkinson tahap lanjut.dua kelompok pasien PD dinilai, kemudian

melakukan 20 sesi baik latihan aeronik maupun qigong, dinilai lagi,

kemudian setelah selang 2 bulan, ditukar dengan 20 sesi lainnya, kemudian

dinilai lagi. Penulis mendapatkan peningkatan kemampuan motorikdan


fungsi kardiorespirator setelah mengikuti latihan aerobic, tetapi tak

mendapatkan manfaat setelah mengikuti qigong. Penulis juga menyimpulkan

latihan aerobik tak memiliki manfaat terhadap kualitas hidup pasien.

11) Botox

Baru-baru ini, injeksi Botox sedang diteliti sebagai salah satu

pengobatan non-FDA di masa mendatang.

10. Prognosis

Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson,

sedangkan perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat ini. Sekali terkena

parkinson, maka penyakit ini akan menemani sepanjang hidupnya.

Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami progress hingga terjadi total

disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak general, dan dapat

menyebabkan kematian.

Dengan perawatan, gangguan pada setiap pasien berbeda-berbeda. Kebanyakan

pasien berespon terhadap medikasi. Perluasan gejala berkurang, dan lamanya gejala

terkontrol sangat bervariasi. Efek samping pengobatan terkadang dapat sangat parah.4

PD sendiri tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal, tetapi berkembang

sejalan dengan waktu. Rata-rata harapan hidup pada pasien PD pada umumnya lebih

rendah dibandingkan yang tidak menderita PD. Pada tahap akhir, PD dapat
menyebabkan komplikasi seperti tersedak, pneumoni, dan memburuk yang dapat

menyebabkan kematian.

Progresifitas gejala pada PD dapat berlangsung 20 tahun atau lebih. Namun

demikian pada beberapa orang dapat lebih singkat. Tidak ada cara yang tepat untuk

memprediksikan lamanya penyakit ini pada masing-masing individu. Dengan treatment

yang tepat, kebanyakn pasien PD dapat hidup produktif beberapa tahun setelah

diagnosis.
BAB III

PENUTUP

Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang bersifat kronis

progresif, merupakan suatu penyakit/sindrom karena gangguan pada ganglia basalis

akibat penurunan atau tidak adanya pengiriman dopamine dari substansia nigra ke

globus palidus/ neostriatum (striatal dopamine deficiency). Di Amerika Serikat, ada

sekitar 500.000 penderita parkinson. Di Indonesia sendiri, dengan jumlah penduduk 210

juta orang, diperkirakan ada sekitar 200.000-400.000 penderita

Penyakit Parkinson merupakan penyakit kronis yang membutuhkan penanganan

secara holistik meliputi berbagai bidang. Pada saat ini tidak ada terapi untuk

menyembuhkan penyakit ini, tetapi pengobatan dan operasi dapat mengatasi gejala yang

timbul . Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson,

sedangkan perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat ini. Sekali terkena

parkinson, maka penyakit ini akan menemani sepanjang hidupnya.

Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami progress hingga terjadi total

disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak general, dan dapat

menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada setiap pasien berbeda-

berbeda. Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi. Perluasan gejala berkurang,

dan lamanya gejala terkontrol sangat bervariasi. Efek samping pengobatan terkadang

dapat sangat parah.


DAFTAR PUSTAKA

https://id.scribd.com/doc/44379639/MAKALAH-PARKINSON
Kiki Resky Putri

KONSEP MEDIS PENYAKIT HUNTINGTON

OLEH :

NAMA : KIKI RESKI PUTRI

PRODI : SI KEPERAWATAN

NIM : A.18.10.032
TAHUN AKADEMIK 2020/2021

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

A. Definisi penyakit huntington

Penyakit Huntington adalah penyakit keturunan yang menyebabkan penderitanya

mengalami gangguan dalam berpikir dan bergerak, juga gangguan kejiwaan. Seseorang

yang menderita penyakit ini akan mengalami kesulitan dalam beraktivitas dan

memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pengobatan penyakit Huntington bertujuan untuk meredakan gejala dan akan

disesuaikan dengan gejala yang dialami. Jangan ragu untuk berkonsultasi secara

langsung dengan dokter, untuk menentukan metode penanganan yang tepat.

Patofisiologi penyakit Huntington

B. Patofisiologi

Penyakit Huntington merupakan penyakit keturunan menyebabkan penurunan

kemampuan saraf pada otak manusia dan mengakibatkan gangguan kejiwaan, dan

hingga saat ini belum dapat di obati atau disembuhkan

C. Etiologi

Penyebab Penyakit Huntington

Penyakit Huntington merupakan dampak dari adanya gen yang cacat. Gen ini

diturunkan dari orang tua ke anak. Meski begitu, kondisi ini berbeda dengan beberapa

penyakit keturunan lainnya.


Di beberapa penyakit keturunan, gen cacat baru bisa diturunkan ke anak jika kedua

orang tua memilikinya. Namun pada penyakit Huntington, gen cacat sudah bisa

diturunkan ke anak meski hanya salah satu orang tua saja yang memilikinya. Dengan

kata lain, anak memiliki potensi tinggi menderita penyakit Huntington jika salah satu

orang tuanya menderita kondisi ini.

D. Gejala Penyakit Huntington

Penyakit ini dapat mengganggu kemampuan berpikir (kognitif) dan bergerak, serta

mengalami gangguan kejiwaan. Hal ini akan menimbulkan gejala yang beragam pada

tiap pasien.

Gejala akibat terganggunya kemampuan kognitif meliputi:

a. Lambat dalam memahami suatu maksud pembicaraan atau mengalami kesulitan

menemukan kata yang ingin diucapkan.

b. Sulit mengutamakan, mengatur, atau fokus pada suatu pekerjaan.

c. Kesulitan mempelajari suatu informasi.

d. Tidak sadar terhadap perilaku dan kemampuan diri sendiri.

e. Terus larut dalam satu pemikiran atau tindakan.

f. Hilangnya kontrol terhadap satu tindakan, misalnya melakukan sesuatu secara

impulsif (tanpa dipikir terlebih dahulu) atau tiba-tiba saja marah.

Gejala akibat gangguan bergerak meliputi:

a. Mata yang bergerak lambat.


b. Sulit berbicara atau menelan.

c. Gangguan keseimbangan.

d. Otot terasa kaku.

e. Chorea, yakni gerakan menyentak atau menggeliat yang terjadi di luar kendali.

Gangguan dalam bergerak ini akan membatasi penderita dalam melakukan kegiatan

sehari-hari, termasuk sekolah atau bekerja.

Gejala akibat gangguan kejiwaan meliputi:

a. Menarik diri dari lingkungan sosial.

b. Gangguan obsesif kompulsif.

c. Gangguan bipolar.

d. Terlalu percaya diri.

e. Insomnia.

f. Sering marah, sedih, dan merasa tidak peduli dengan sekitar.

g. Sering membicarakan kematian atau muncul keinginan untuk bunuh diri.

Gejala penyakit Huntington umumnya muncul saat penderitanya berusia 30 sampai 40

tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan gejala penyakit Huntington sudah muncul

diusia anak-anak atau remaja (di bawah 20 tahun). Kondisi itu disebut juvenile

Huntington.

Pada juvenile Huntington, gejala yang dapat muncul adalah:

a. Kejang
b. Otot kaku sehingga mempengaruhi cara berjalan

c. Penurunan prestasi di sekolah

d. PeruKejang

e. bahan tulisan tangan

f. Mengalami tremor atau gemetar

g. Hilangnya kemampuan secara akademik atau fisik yang pernah dikuasai

sebelumnya.

E. Diagnosis Penyakit Huntington

Riwayat kesehatan keluarga merupakan salah satu data penting bagi dokter, sehingga

pastikan untuk memberikan informasi yang rinci mengenai hal ini kepada dokter.

Setelah itu, dokter akan melakukan pemeriksaan fungsi saraf (pemeriksaan neurologis).

Dalam prosesnya, dokter akan mengajukan pertanyaan dan melakukan tes sederhana

untuk menilai:

a. Penglihatan

b. Pendengaran

c. Keseimbangan

d. Kemampuan meraba

e. Gerak tubuh

f. Kekuatan dan bentuk otot

g. Refleks
Dokter juga akan melakukan tes penunjang yang berupa:

a. Tes fungsi otak dan pemindaian otak, seperti tes elektroensefalografi yang

digunakan untuk memeriksa aktivitas listrik di otak, atau MRI dan CT scan yang

dapat menampilkan gambaran otak sehingga dapat dilihat kondisinya.

b. Tes genetik. Tes ini dilakukan dengan mengambil sampel darah pasien untuk

diperiksa lebih lanjut di laboratorium. Tes genetik juga dapat dilakukan untuk

mendeteksi penyakit ini jika terdapat anggota keluarga yang menderita penyakit

Huntington, walaupun belum menimbulkan gejala.

Dokter juga dapat menyarankan tes yang lain, jika memang diperlukan. Konsultasikan

lebih lanjut dengan dokter terkait pemeriksaan yang akan dilakukan. Tanyakan manfaat

dan risiko dari pemeriksaan tersebut.

Pengobatan Penyakit Huntington

Pengobatan penyakit Huntington bertujuan untuk meredakan gejala yang muncul.

Penanganan untuk tiap gejala berbeda dan perlu dikonsultasikan terlebih dahulu

dengan dokter saraf.

Untuk gejala gangguan bergerak, pasien akan diberikan obat sesuai dengan gejala yang

muncul. Misalnya untuk chorea, beberapa obat yang dapat diberikan adalah:

a. Obat antipsikotik, seperti haloperidol dan chlorpromazine

b. Levetiracetam

c. Clonazepam
Obat juga dapat diberikan untuk meredakan gejala gangguan kejiwaan. Berbeda gejala

gangguan kejiwaan yang timbul, berbeda pula obat yang diresepkan dokter. Beberapa

obat yang digunakan untuk meredakan gejala gangguan kejiwaan, meliputi:

a. Antidepresan seperti escitalopram, fluoxetine, dan sertraline.

b. Antipsikotik, seperti quetiapine, risperidone, dan olanzapine.

c. Antikonvulsan, seperti carbamazepine dan lamotrigine.

Masing-masing obat dapat menimbulkan efek samping dan berpotensi memperburuk

kondisi. Oleh karena itu, gunakan obat sesuai anjuran dokter.

Selain obat-obatan, gejala penyakit Huntington juga dapat ditangani dengan terapi.

Tersedia banyak terapi yang bisa diterapkan dan masing-masingnya memiliki manfaat

yang berbeda. Dokter akan menentukan jenis terapi yang tepat dan sesuai dengan gejala

yang pasien alami.

Sebagai contoh, jika pasien sulit mengendalikan emosi, maka dokter akan

menganjurkan pasien mengikuti . Dalam prosesnya, terapis akan membantu pasien

dalam mengelola perilaku. Bila muncul gangguan saat bergerak atau gangguan

keseimbangan, maka dokter akan menganjurkan terapi lain, seperti fisioterapi  atau

terapi okupasi, untuk membantu pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Perlu diingat belum ada metode pengobatan yang secara pasti dapat mengatasi penyakit

Huntington sepenuhnya.

F. Komplikasi Penyakit Huntington


Gejala penyakit Huntington akan memburuk seiring berjalannya waktu. Akan ada masa

di mana pasien tidak dapat melakukan apa pun, termasuk berbicara, namun masih bisa

mengenali orang di sekitarnya dan memahami apa yang dibicarakan orang tersebut. Di

fase ini, pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi keperluan sehari-

hari.

Banyak penderita penyakit Huntington hanya bertahan hidup 15 sampai 20 tahun

semenjak gejalanya muncul. Beberapa kasus menunjukan bahwa hal itu disebabkan

karena bunuh diri yang dipicu oleh depresi berat. Kasus lainnya disebabkan karena

cedera akibat terjatuh, kekurangan gizi karena mengalami kesulitan menelan, dan

munculnya infeksi seperti infeksi paru-paru (pneumonia).

G. Pencegahan Penyakit Huntington

Penyakit Huntington dapat dicegah salah satunya dengan bayi tabung dan analisis

genetik sebelum merencanakan memiliki keturunan, bila di dalam keluarga ada yang

menderita penyakit ini. Dokter akan memilih sel telur maupun sperma yang tidak

memiliki gen penyakit Huntington. Diskusikan lebih lanjut manfaat serta risiko yang

ada dengan dokter.

DAFTAR PUSTAKA
Nopoulos, PC. (2016). Huntington’s Disease: a Single-gene Degenerative Disorder of

the Striatum. Dialogues, 18(1), pp. 91-98.

Myers, RH. (2004). Huntington’s Disease Genetics. NeuroRX, 1(2), pp. 255-262.

NORD (2007). Rare Disease. Huntington’s Disease.

Better Health (2014). Neuromuscular System. Huntington’s Disease.

NHS Choices (2018). Health A-Z. Huntington’s Disease.

Mayo Clinic (2018). Diseases & Conditions. Huntington’s Disease.

Weatherspoon, D. Healthline (2016). Huntington’s Disease.

Lava, N. Web MD (2018). Huntington’s Disease: Symptoms and Treaments.


Nurfadillah

KONSEP MEDIS PENYAKIT AFASIA

OLEH :

NAMA : NURFADILLAH

PRODI : SI KEPERAWATAN

NIM : A.18.10.033

TAHUN AKADEMIK 2020/2021

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA


PENGERTIAN AFASIA

Seperti dilansir Mayo Clinic, Kamis (22/8/2013), afasia (aphasia) adalah sebuah

sindrom pada sistem saraf (neurologis) yang merusak kemampuan bahasa. Memori otak

mereka mengalami kecacatan. Orang yang menderita penyakit ini akan mengalami

kesulitan dalam mengekspresikan pikiran dan sulit memahami serta menemukan kata-

kata saat berkomunikasi. Tentunya, hal ini akan menimbulkan masalah pada hidup

penderitanya.

Afasia merupakan gangguan komunikasi yang menyebabkan seseorang mengalami

kesulitan dalam berbahasa, termasuk bicara dan atau memahami perkataan orang lain

atau diri sendiri, membaca, atau menulis. Kondisi ini biasanya diakibatkan oleh

kerusakan pada bagian otak yang bertanggung jawab dalam proses bahasa, misalnya

setelah stroke.

Afasia menyebabkan kesulitan menggunakan atau memahami kata-kata. Penderita

afasia akan memiliki masalah dalam memahami percakapan, membaca dan memahami

kata-kata tertulis, menulis kata, dan menggunakan angka.

Beberapa jenis afasia di antaranya adalah:

 Afasia Broca. Seseorang dengan afasia Broca dapat mengerti perkataan orang

lain, namun kesulitan dalam berbicara. Oleh karena itu, gejalanya dapat berupa

bicara hanya dengan kalimat tidak lengkap yang singkat. Para penderitanya juga
mungkin memiliki kemampuan terbatas dalam memahami perkataan orang lain

secara keseluruhan, dan kelumpuhan atau kelemahan tungkai sisi kanan.

a. Afasia Wernicke. Seseorang dengan afasia ini dapat berbicara secara mudah dan

lancar, namun memasukan kata-kata yang tidak jelas atau tidak dapat

dimengerti. Mereka biasanya tidak mengerti bahasa lisan dengan baik dan sering

kali tidak menyadari, bahwa orang lain tidak dapat memahaminya. Jenis afasia

ini adalah hasil kerusakan pada jaringan bahasa di bagian tengah otak sebelah

kiri .

6. Afasia Global. Afasia global disebabkan oleh kerusakan luas pada jaringan

bahasa otak. Orang dengan afasia global tidak dapat atau sulit memahami kata-

kata, dan tidak mampu menggunakan kata dalam kalimat, atau bahkan tidak

dapat berbicara sama sekali.

GEJALA

Seseorang dengan afasia sering mengalami masalah dalam memahami dan

menggunakan bahasa. Seperti membaca, mendengarkan, berbicara, mengetik atau

menulis.

Para penderita afasia kerap membuat kesalahan dengan kata-kata yang mereka gunakan.

Afasia dapat terjadi dengan sendirinya atau bersamaan dengan gangguan lain, seperti

kesulitan melihat, masalah mobilitas, kelemahan anggota tubuh dan masalah dengan

ingatan atau kemampuan berpikir.

PENYEBAB
Penyebab afasia adalah kerusakan otak pada bagian yang memproses bahasa dan bicara,

akibat stroke, adanya sumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak. Kerusakan otak

yang disebabkan oleh cedera kepala yang parah, tumor, infeksi atau proses degeneratif

(penuaan), juga dapat menyebabkan afasia. Dalam kasus ini afasia biasanya terjadi

dengan disertai masalah kognitif (proses berpikir) lainnya, seperti masalah memori

(ingatan) dan kebingungan (disorientasi).

Afasia sementara dapat juga terjadi. Penyebabnya adalah migrain, kejang, atau transient

ischemic attack atau TIA (stroke ringan). TIA terjadi akibat penyumbatan atau

gangguan aliran darah sementara di area otak. Penderita TIA berisiko tinggi mengalami

stroke.

DIAGNOSIS

Afasia biasanya didiagnosis setelah dokter melakukan tes. Tes tersebut melibatkan

latihan sederhana, seperti meminta seseorang untuk menyebutkan benda-benda dalam

ruangan, mengulang kata, kalimat, membaca dan menulis.

Tujuan dari tes ini adalah untuk memahami kemampuan seseorang dalam:

4) Memahami pengucapan dan tata bahasa dasar

1. Menggunakan kata-kata dalam frasa dan kalimat

 Berkomunikasi secara sosial, misalnya mengadakan percakapan atau memahami

percakapan

a. Membaca dan menulis huruf, kata dan kalimat


 CT scan dan MRI scan biasanya dilakukan dokter untuk menilai kerusakan otak.

PERAWATAN

Dokter dapat merekomendasikan terapi bahasa dan bicara untuk mengatasi afasia.

Terapi ini biasanya berlangsung bertahap dan akan lebih baik jika dimulai sedini

mungkin, setelah cedera otak terjadi. Pengobatan afasia mungkin melibatkan:

 Latihan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi

a. Kelompok untuk melatih keterampilan komunikasi

 Pengujian kemampuan komunikasi dalam situasi nyata

1. Kegiatan belajar menggunakan bentuk komunikasi lain, seperti gerak tubuh,

gambar dan komunikasi yang dimediasi komputer

 Penggunaan komputer untuk mempelajar kembali suara dan kata kerja

a. Dukungan keluarga untuk membantu berkomunikasi di rumah

KOMPLIKASI AFASIA

Karena memengaruhi kemampuan berkomunikasi, afasia dapat berdampak pada

kehidupan sehari-hari penderitanya, termasuk dalam hal pekerjaan dan hubungan

pribadi. Jika tidak ditangani dengan baik, afasia juga dapat menyebabkan munculnya

gangguan kecemasan, depresi, dan perasaan terisolasi.

PENCEGAHAN AFASIA
Belum ada cara pasti untuk mencegah terjadinya afasia. Langkah terbaik yang dapat

dilakukan adalah mencegah kondisi yang dapat menyebabkan afasia. Pencegahan

tersebut dapat dilakukan dengan menjalani gaya hidup sehat, seperti:

 Berhenti merokok

 Menghindari konsumsi minuman beralkohol secara berlebihan

 Menjaga berat badan agar tetap ideal dan terhindar dari obesitas

 Melakukan olahraga secara teratur setidaknya 30 menit setiap hari

 Menjaga pikiran tetap aktif, misalnya dengan membaca atau menulis


DAFTAR PUSTAKA

https://m.liputan6.com/health/read/671788/afasia-gangguan-pada-otak-yang-merusak-

kemampuan-berbahasa

https://www.sehatq.com/penyakit/afasia/amp#aoh=15897746582757&referrer=https

%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24s

https://www.alodokter.com/afasia
SISTEM SARAF

“Penyakit Meningitis”

Oleh :

Rifka Annisa

A.18.10.034

Keperawatan A

Prodi S1.Keperawatan

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA

Tahun Akademik 2020


KONSEP MEDIS PENYAKIT MENINGITIS

A. PENGERTIAN

Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi

otak dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ

jamur(Smeltzer, 2001). Meningitis adalah radang dari selaput otak (arachnoid

dan piamater). Bakteri dan virus merupakan penyebab utama dari meningitis.

Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan

oleh salah satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok,

Streptokok, Hemophilus influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996).

Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan

spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi

& Rita, 2001).

B. ETIOLOGI

 Bakteri; Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae

(pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus

haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae,

Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa

 Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia


 Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan

dengan wanita

 Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu

terakhir kehamilan

 Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.

 Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan

dengan sistem persarafan

C. PATOFISIOLOGI

Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari oroaring dan diikuti

dengan septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis

bagian atas.

Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media,

mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf

baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis.

Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah

dan saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen,

semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan bakteri. Organisme

masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam

meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan

penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan

metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat


purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga

menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri

dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari

peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak),

edema serebral dan peningkatan TIK.

Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi

meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps

sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada

sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel

dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus.

D. MANIFESTASI KLINIS

Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan TIK :

1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering

2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif,

dan koma.

3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sebagai berikut:

a. Rigiditas nukal ( kaku leher ). Upaya untuk fleksi kepala mengalami

kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.

b. Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam

keadan fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan

sempurna.
c. Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan

fleksi lutut dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas

bawah pada salah satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi

ektremita yang berlawanan.

4. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.

5. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat

eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan

karakteristik tanda-tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi),

pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat

kesadaran.

6. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.

7. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-

tiba muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati

intravaskuler diseminata

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Analisis CSS dari fungsi lumbal :

a) Meningitis bakterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut,

jumlah sel darah putih dan protein meningkat glukosa meningkat,

kultur positip terhadap beberapa jenis bakteri.


b) Meningitis virus : tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel

darah putih meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur

biasanya negatif, kultur virus biasanya dengan prosedur khusus.

2. Glukosa serum : meningkat ( meningitis )

3. LDH serum : meningkat ( meningitis bakteri )

4. Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil

( infeksi bakteri )

5. Elektrolit darah : Abnormal .

6. ESR/LED : meningkat pada meningitis

7. Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat mengindikasikan

daerah pusat infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi

8. MRI/ skan CT : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat

ukuran/letak ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor

9. Ronsen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi intra

kranial.

F. DIAGNOSIS

Dalam mendiagnosis meningitis, awalnya dokter akan melakukan

pemeriksaan fisik, mengamati potensi penyebaran penyebab meningitis ditempat

tinggal pasien, menanyakan riwayat penyakit atau tindakan medis yang pernah

dijalani, dan memeriksa faktor resiko lain. Kemudian, pemeriksaan dapat

dilanjutkan dengan melakukan tes untuk mencari tahu penyebab meningitis.


Tes yang dilakukan dapat berupa :

1. Tes darah

Dokter akan mengambil sampel darah pasien untuk kemudian

diperiksa lebih lanjut. Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat

adakah mikroorganisme yang membahayakan di dalam darah pasien.

2. Pemindaian

CT scan atau MRI dapat dilakukan untuk memeriksa pembengkakan

atau peradangan disekitar kepala.

3. Spinal tap (lumbal fungsi)

Dalam tes ini, cairan serebrospinal digunakan sebagai sampel untuk

mendiagnosis meningitis. Penderita meningitis umumnya memiliki

kandungan gula yang rendah serta terjadi peningkatan pada jumlah

sel darah putih dan protein dalam cairan serebrospinalnya.

4. Tes PCR

Dokter juga dapat melakukan tes polymerase chain reaction (PCR)

atau tes yang bekerja dengan memeriksa antibodi dalam tubuh,

apabila meningitis yang ada dicurigai disebabkan oleh virus.

G. PENGOBATAN

Pengobatan meningitis harus disesuaikan dengan penyebabnya.

1. Meningitis Virus
Pada kondisi tertentu, mengitis yang disebabkan oleh virus dapat

pulih dengan sendirinya. Namun, jika kondisi menigitis yang

disebabkan oleh virus tergolong parah, dokter mungkin akan

meresepkan obat golongan antiviral, seperti acylovir. Dokter juga

menganjurkan pasien meningitis virus untuk cukup beristirahat dan

memperbanyak minum air putih.

2. Meningitis Bakterialis

Pada meningitis yang disebabkan oleh bakteri, pengobatan yang

dilakukan dapat berupa pemberian antibiotik atau kortikosteroid.

Dokter akan menyesuaikan antibiotik yang digunakan dengan bakteri

penyebab meningitis.

3. Menigitis Jamur

Meningitis yang disebabkan oleh jamur diatasi dengan obat

antijamur, seperti amphotericin B atau fluconazole. Dokter akan

menyesuaikan tipe obat beserta dosis dengan kondisi pasien.

H. PENATALAKSANAAN

Penatalaksaan medis meningitis yaitu :

1. Antibiotik sesuai jenis agen penyebab

2. Steroid untuk mengatasi inflamasi

3. Antipiretik untuk mengatasi demam

4. Antikonvulsant untuk mencegah kejang


5. Neuroprotector untuk menyelamatkan sel-sel otak yang masih bisa

dipertahankan

6. Pembedahan

Seperti dilakukan VP Shunt (Ventrikel Peritoneal Shunt)

Ventriculoperitoneal Shunt adalah prosedur pembedahan yang dilakukan untuk

membebaskan tekanan intrakranial yang diakibatkan oleh terlalu banyaknya

cairan serbrospinal. Cairan dialirkan dari ventrikel di otak menuju rongga

peritoneum. Prosedur pembedahan ini dilakukan di dalam kamar operasi dengan

anastesi umum selama sekitar 90 menit. Rambut di belakang telinga dicukur,

lalu dibuat insisi tapal kuda di belakang telinga dan insisi kecil lainnya di

dinding abdomen. Lubang kecil dibuat pada tulang kepala, lalu selang kateter

dimasukkan ke dalam ventrikel otak. Kateter lain dimasukkan ke bawah kulit

melalui insisi di belakang telinga,

menuju ke rongga peritoneum. Sebuah katup diletakkan di bawah kulit di

belakang telinga yang menempel pada kedua kateter. Bila terdapat tekanan

intrakranial meningkat, maka CSS akan mengalir melalui katup menuju rongga

peritoneum (Jeferson, 2004). Terapi bedah merupakan pilihan yang lebih baik.

Alternatif lain selain pemasangan shunt antara lain:

a. Choroid pleksotomi atau koagulasi pleksus Choroid

b. Membuka stenosis akuaduktus

c. Eksisi tumor
d. Fenestrasi endoskopi

I. KOMPLIKASI

Komplikasi yang muncul akibat meningitis pada tiap orang dapat berbeda-beda.

Berikut adalah beberapa komplikasi yang dapat terjadi :

1. Kehilangan penglihatan

2. Kejang

3. Gangguan ingatan

4. Migrain

5. Kehilangan pendengaran

6. Arthritis atau radang sendi

7. Gagal ginjal

8. Syok

9. Kesulitan berkonsnterasi

10. Kerusakan otak

11. Hidrosefalus
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/6559846/laporan_pendahuluan_dan_askep_Meningitis

https://www.alodokter.com/meningitis

Anda mungkin juga menyukai