Proposal Penelitian
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Nyeri dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional
yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang sudah atau
berpotensi terjadi, atau dijelaskan berdasarkan kerusakan tersebut. Definisi ini
menghindari pengkorelasian nyeri dengan suatu rangsangan ( stimulus ). Definisi ini
juga menekankan bahwa nyeri bersifat subjektif dan merupakan suatu sensasi sekaligus
1,2,3
emosi.
Secara patologik nyeri dikelompokkan pada nyeri adaptif atau nyeri akut atau
nyeri nosiseptif, dan nyeri maladaptif sebagai nyeri kronik juga disebut sebagai nyeri
neuropatik serta nyeri psikologik atau nyeri idiopatik. Nyeri akut atau nosiseptif yang
diakibatkan oleh kerusakan jaringan, merupakan salah satu sinyal untuk mempercepat
perbaikan dari jaringan yang rusak. Sedangkan nyeri neuropatik disebut sebagai nyeri
fungsional merupakan proses sensorik abnormal yang disebut juga sebagai gangguan
sistem alarm. Nyeri idiopatik yang tidak berhubungan dengan patologi baik neuropatik
maupun nosiseptif dan memunculkan gejala gangguan psikologik memenuhi
1,2,3
somatoform seperti stres, depresi, ansietas dan sebagainya.
Klasifikasi dari nyeri kronik digolongkan dalam 3 kategori, yaitu: nyeri yang
disebabkan oleh penyakit atau kerusakan pada jaringan itu sendiri ( nyeri nosiseptif,
seperti osteoarthritis ), nyeri yang disebabkan oleh penyakit atau kerusakan sistem
somatosensori ( nyeri neuropatik ), dan gabungan antara nyeri nosiseptif dan neuropatik
1,2,3
( nyeri gabungan ).
International Association for the Study of Pain ( IASP ), mendefinisikan nyeri
neuropatik adalah nyeri yang dihasilkan dari penyakit atau kerusakan dari sistem saraf
perifer atau sentral, dan berasal dari kelainan fungsi sistem nervus. Awalnya, nyeri
neuropatik digunakan hanya untuk menggambarkan nyeri yang berhubungan dengan
neuropatik perifer, dan nyeri sentral pada lesi di sistem saraf pusat yang berhubungan
dengan nyeri. Nyeri neurogenik menyangkut semua penyebab, baik perifer maupun
1,2,3
sentral.
Nyeri neuropatik yang didefinisikan sebagai nyeri akibat lesi jaringan saraf baik
3
perifer maupun sentral bisa diakibatkan oleh beberapa penyebab seperti amputasi,
toksis ( akibat khemoterapi ) metabolik ( diabetik neuropati ) atau juga infeksi misalnya
herpes zoster pada neuralgia pasca herpes dan lain-lain. Nyeri pada neuropatik bisa
1,2,3
muncul spontan ( tanpa stimulus ) maupun dengan stimulus atau juga kombinasi.
Post Herpetic Neuralgia ( PHN ) merupakan nyeri yang timbul setelah gejala-
1
gejala herpes zoster mulai membaik.
Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi varicella zoster
virus ( VZV ) yang memiliki double-stranded DNA dan bereplikasi di nukleus sel,
sehingga memiliki kemampuan untuk menjadi laten pada ganglion sel saraf sensori
2
manusia selama seumur hidup.
Herpes zoster menyebabkan morbiditas yang cukup tinggi karena menyerang
saraf sensori sehingga mengakibatkan rasa yang sangat nyeri, selain itu penyakit ini
juga menyebabkan ketidaknyamanan karena vesikel yang muncul mengikuti dermatom
saraf pada bagian-bagian yang dapat menganggu aktivitas sehari-hari, misalkan pada
pinggang, punggung, dan lengan. Rekarensi penyakit herpes zoster menyebabkan
5
tingkat kesakitan semakin tinggi.
2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat oleh penulis adalah:
1. Adakah pengaruh pemberian mecobalamin injeksi terhadap skala nyeri pada pasien
rawat inap dengan post herpetic neuralgia ?
2. Bagaimana pengaruh pemberian mecobalamin injeksi terhadap skala nyeri pada
pasien rawat inap dengan post herpetic neuralgia ?
3. Tujuan
Umum :
Untuk pengembangan ilmu dalam memberikan terapi pada pasien post herpetic
neuralgia.
Khusus :
1. Mengetahui pengaruh pemberian mecobalamin injeksi terhadap skala nyeri
pada pasien rawat inap dengan post herpetic neuralgia.
2. Mengetahui bagaimana pengaruh pemberian mecobalamin injeksi terhadap
skala nyeri pada pasien rawat inap dengan post herpetic neuralgia.
4. Manfaat
Dari penelitian ini juga diharapkan memberi manfaat yang berguna. Adapun
manfaat yang diharapkan adalah :
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri
disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan.
Burgoon, 1957, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri yang menetap
setelah fase akut infeksi. Rogers, 1981, mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap
satu bulan setelah onset ruam herpes zoster. Tahun 1989, Rowbotham mendefinisikan
sebagai nyeri yang menetap atau berulang setidaknya selama tiga bulan setelah
penyembuhan ruam herpes zoster. Dworkin, 1994, mendefinisikan neuralgia paska
herpetika sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan
setelah penyembuhan herpes zoster). Tahun 1999, Browsher mendefinisikan sebagai
nyeri neuropatik yang menetap atau timbul pada daerah herpes zoster lebih atau sama
dengan tiga bulan setelah onset ruam kulit. Dari berbagai definisi yang paling tersering
digunakan adalah definisi menurut Dworkin. Sesuai dengan definisi sebelumnya maka
The International Association for Study of Pain (IASP) menggolongkan neuralgia post
herpetika sebagai nyeri kronik yaitu nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai atau
8
nyeri yang berlangsung lebih dari tiga bulan tanpa adanya malignitas.
NPH umumnya didefinisikan sebagai nyeri yang timbul lebih dari 3 bulan setelah
onset (gejala awal) erupsi zoster terjadi. Nyeri umumnya diekspresikan sebagai sensasi
terbakar (burning) atau tertusuk-tusuk (shooting) atau gatal (itching). Nyeri ini juga
dihubungkan dengan gejala yang lebih berat lagi seperti disestesia, parestesia,
hiperstesia, allodinia dan hiperalgesia. Pada pasien dengan NPH, biasanya terjadi
perubahan fungsi sensorik pada area yang terkena. Pada satu penelitian, hampir seluruh
penderita memiliki area erupsi yang sangat sensitif terhadap nyeri, dengan sensasi
abnormal terhadap sentuhan ringan, nyeri atau temperature pada area kulit yang
6
B. Prevalensi
Di Amerika Serikat, frekuensi PHN yang terjadi 1 bulan setelah onset dilaporkan
sebanyak 9-14,3 % dan 3 bulan setelah onset sebanyak 5 %, sedangkan dalam waktu
10
1 tahun, 3 % akan mengalami nyeri yang lebih berat.
Insiden bervariasi berdasarkan umur dan status imunologis, dari range 0,4 hingga
1,6 kasus per 1.000 populasi normal pada usia dibawah 20 tahun, dan 4,5 hingga 11
11
kasus per 1.000 populasi normal pada usia 80 tahun atau lebih. Sebuah penelitian di
Islandia menunjukkan bahwa variasi resiko PNH ini dihubungkan dengan kelompok
umur tertentu. Dari sampel penelitian didapatkan bahwa tidak ada sampel yang berusia
dibawah 50 tahun dilaporkan menderita nyeri hebat, dan pasien yang berumur lebih
dari 60 tahun dilaporkan mengalami nyeri yang lebih hebat : 6% 1 bulan setelah onset
10
dan sebanyak 4% 3 bulan setelah onset. Resiko serangan kedua sama tingginya
dengan resiko yang terjadi pada serangan yang pertama. Angka kejadiannya beberapa
kali lebih tinggi pada orang dewasa penderita infeksi HIV atau pada pasien penderita
keganasan dan 50 hingga 100 kali lebih tinggi pada anak-anak dengan Leukemia
dibandingkan dengan orang-orang sehat dengan usia yang sama. Resiko nyeri post
herpetik meningkat sesuai pertambahan umur. Insidens nyeri post herpetik meningkat
pada pasien-pasien dengan Ophtalmic Zoster dan kemungkinan lebih tinggi pada
11
wanita dibandingkan pada pria.
C. Etiologi
Neuralgia post herpetik disebabkan oleh infeksi virus herpes zoster. Virus varisella
zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi manusia.
Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari sebuah
icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Ditengahnya terdapat
DNA untai ganda. Virus varisella zoster memiliki diameter sekitar 150-200 nm. Infeksi
primernya secara klinis dikenal dengan Varicella (chicken pox), umumnya terjadi pada
7
anak-anak. Tipe Virus yang bersifat patogen pada manusia adalah herpes virus-3
12
(HHV-3), biasa juga disebut dengan varisella zoster virus (VZV). Virus ini berdiam
di ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis terutama nervus
kranialis V (trigeminus) pada ganglion gasseri cabang oftalmik dan vervus kranialis
10
VII (fasialis) pada ganglion genikulatum.
D. Patofisiologi
Infeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varicella atau cacar air.
Pajanan pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini masuk ke tubuh
melalui sistem respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster bereplikasi dan
menyebar melalui aliran darah sehingga terjadi viremia dengan manifestasi lesi kulit
yang tersebar di seluruh tubuh. Periode inkubasi sekitar 14- 16 hari setelah paparan
awal. Setelah infeksi primer dilalui, virus ini bersarang di ganglia akar dorsal, hidup
7,12,13
secara dorman selama bertahun-tahun.
Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella
zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam
pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme tidak
diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia atau
status imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi,
virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan
dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini
8
bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari
proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama „Lipschutz inclusion
7,12,13
body‟.
Neuralgia Post Herpetik memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri herpes
zoster akut. NPH, komplikasi dari herpes zoster, adalah sindrom nyeri neuropatik yang
dihasilkan dari kombinasi inflamasi dan kerusakan akibat virus pada serat aferen
primer saraf sensorik. Setelah resolusi infeksi primer varicella, virus tetap aktif di
ganglia sensorik. Virus ini diaktifkan kembali atau mengalami reaktivasi,
bermanifestasi sebagai herpes zoster akut, dan berhubungan dengan kerusakan pada
ganglion, saraf aferen primer, dan kulit. Studi histopatologi telah menunjukkan fibrosis
dan hilangnya neuron (dalam ganglion dorsal), jaringan parut, serta kehilangan akson
dan mielin (pada saraf perifer yang terlibat), atrofi (dari tanduk dorsal sumsum tulang
belakang), dan peradangan (sekitar saraf tulang belakang) dengan infiltrasi dan
akumulasi limfosit. Selain itu, ada pengurangan saraf inhibitor berdiameter besar dan
14,15
peningkatan neuron eksitasi kecil, pada saraf perifer.
Mekanisme terjadinya neuralgia pasca herpetika dapat berlainan pada setiap
individu sehingga manifestasi nyeri yang berhubungan dengan neuralgia
pascaherpetika juga berlainan. Replikasi virus di dalam ganglion dorsalis
menyebabkan respon inflamasi berupa pembengkakan, perdarahan, nekrosis dan
9
kematian sel neuron. Proses perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.
Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa
bulan dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses
11,12
sklerosis.
Kemudian virus akan menyebar secara sentrifugal sepanjang saraf menuju ke kulit,
menyebabkan inflamasi dan kerusakan saraf perifer. Kadang-kadang virus menyebar
secara sentripetal ke arah medula spinalis (mengenai area sensorik dan motorik) serta
batang otak. Hal ini menyebabkan sensitisasi ataupun deaferenisasi elemen saraf
16
perifer dan sentral.
Sensitisasi saraf perifer terutama terjadi pada nosiseptor serabut saraf C yang halus
dan tidak bermyelin. Sensitisasi ini menyebabkan ambang sensoris terhadap suhu
menurun, menimbulkan heat hyperalgesia, yakni nyeri seperti terbakar. Selain itu juga
terjadi letupan ektopik dari nosiseptor C yang rusak sehingga timbul alodinia, yakni
rasa nyeri akibat stimulus yang pada keadaan normal tidak menimbulkan rasa nyeri.
Sebagai respon atas menghilangnya sebagian besar input serabut saraf C karena
kerusakan tersebut, terbentuk tunas- tunas serabut saraf Aβ yang menerima rangsang
non-noksius mekanoseptor di lapisan superfisial kornu dorsalis medula spinalis.
Pertunasan ini menyebabkan hubungan antara serabut saraf Aβ yang tidak
menghantarkan nyeri dengan serabut saraf C, sehingga stimulus yang tidak
16
menyebabkan nyeri (raba halus) dipersepsikan sebagai nyeri.
10
Selain sensitisasi perifer dapat juga terjadi sensitisasi sentral yang menyebabkan
terjadinya nyeri spontan maupun nyeri yang diprovokasi, berupa alodinia dan
hiperalgesia. Sensitisasi sentral disebabkan oleh aktivitas ektopik dari serabut saraf
aferen. Neurotransmiter eksitatorik utama di medula spinalis adalah glutamat yang
berikatan dengan reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA). Glutamat diproduksi oleh
serabut saraf aferen primer di kornu dorsalis. Pada keadaan istirahat glutamat akan
mengaktivasi reseptor ionotropik α-amino-3-hidroksi-5- metil-4-isoksazol propionat
(AMPA), reseptor kainat, dan reseptor metabotropik glutamat (mGluRs), sedangkan
reseptor NMDA diblok oleh ion magnesium sehingga mencegah masuknya ion
natrium dan kalsium yang akan terjadi saat glutamat berikatan dengan reseptor NMDA
tersebut. Aktivasi pascasinap yang berulang akan menyebabkan sumasi potensial
sinaptik dan depolarisasi membran yang progresif. Hal ini menyebabkan reseptor
NMDA terbebas dari blok ion magnesium yang selanjutnya menyebabkan influks
9,14
kation-kation ke dalam sel dan depolarisasi membran makin progresif. Neuralgia
pascaherpetika juga dapat terjadi akibat proses deaferenisasi, yakni hilangnya serabut
saraf aferen sensoris baik yang berdiameter besar maupun kecil. Lesi pada serabut
saraf perifer maupun sentral dapat memacu terjadinya remodeling dan
hipereksitabilitas membran sel. Lesi yang masih terhubung dengan badan sel akan
membentuk tunas-tunas baru. Tunas-tunas baru ini ada yang mencapai organ target,
sedangkan yang tidak mencapai organ target akan membentuk neuroma, di neuroma
ini akan terakumulasi berbagai kanal ion, terutama kanal ion natrium, molekul-
molekul transduser dan reseptor-reseptor baru, sehingga pada akhirnya akan
menyebabkan terjadinya letupan ektopik, mekanosensitivitas abnormal, sensitivitas
terhadap suhu dan kimia. Letupan ektopik dan sensitisasi berbagai reseptor akan
menyebabkan timbulnya nyeri spontan dan nyeri yang diprovokasi. Letupan spontan
pada neuron sentral yang terdeaferenisasi akan menyebabkan terjadinya nyeri konstan
7,8,14,16
pada area tersebut.
11
Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan neuralgia paska
herpetika ditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan pada pasien yang mengalami
herpes zoster tetapi tidak mengalami neuralgia paska herpetika tidak ditemukan atrofi
7,15
kornu dorsalis.
E. ManifestasiKlinis
Tanda khas dari herpes zooster pada fase prodromal adalah nyeri dan parasthesia
pada daerah dermatom yang terkena. Dworkin membagi neuralgia post herpetik ke
14,17,18
dalam tiga fase:
1. Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya
berlangsung
< 4 minggu
2. Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4
bulan
3. Neuralgia post herpetik: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit
atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster.
Pada umumnya penderita dengan herpes zoster berkunjung ke dokter ahli penyakit
kulit oleh karena terdapatnya gelembung-gelembung herpesnya. Keluhan penderita
disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian,
setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral mengikuti
dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang
timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan
ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari
dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-
12
10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai
14,17,18
berminggu-minggu.
Pada masa gelembung –gelembung herpes menjadi kering, orang sakit mulai
menderita karena nyeri hebat yang yang dirasakan pada daerah kulit yang terkena.
Nyeri hebat itu bersifat neuralgik. Di mana nyeri ini sangat panas dan tajam, sifat nyeri
neuralgik ini menyerupai nyeri neuralgik idiopatik, terutama dalam hal serangannya
yaitu tiap serangan muncul secara tiba – tiba dan tiap serangan terdiri dari sekelompok
serangan – serangan kecil dan besar. Orang sakit dengan keluhan sakit kepala di
belakang atau di atas telinga dan tidak enak badan. Tetapi bila penderita datang sebelum
gelembung – gelembung herpes timbul, untuk meramalkan bahwa nanti akan muncul
herpes adalah sulit sekali. Bedanya dengan neuralgia trigeminus idiopatik ialah adanya
gejala defisit sensorik. Dan fenomena paradoksal inilah yang menjadi ciri khas dari
neuralgia post herpatik, yaitu anestesia pada tempat – tempat bekas herpes tetapi pada
timbulnya serangan neuralgia, justru tempat –tempat bekas herpes yang anestetik itu
yang dirasakan sebagai tempat yang paling nyeri. Neuralgia post herpatik sering terjadi
di wajah dan kepala. Jika terdapat di dahi dinamakan neuralgia postherpatikum
14,17,18
oftalmikum dan yang di daun telinga neuralgia postherpatikum otikum.
Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala prodromal
rasa terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai dengan
13
dermatom yang terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit
kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi
makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat
berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai intensitas
bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri
yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya
lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk
lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu. Intensitas dan
durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat dikurangi dengan
pemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan famciclovir atau valacyclovir.
Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat
mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh
rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang
dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan penderita, tidur bahkan sampai mood sehingga
nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang
pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya
erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar,
parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan
respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik.
Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia),
rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam
14,17,18
menanggapi rangsang yang berulang.
F. Diagnosis
a. Anamnesis
Nyeri erupsi vesikuler sesuai dengan area dermatom merupakan gejala
tipikal herpes zoster. Seiring dengan terjadinya resolusi pada erupsi kulit, nyeri
yang timbul berlanjut hingga 3 bulan atau lebih, atau yang dikenal sebagai
nyeri post herpetik. Nyeri ini sering digambarkan sebagai rasa terbakar,
8,19,20,21
tertusuk-tusuk, gatal atau tersengat listrik.
17,19,20,21
b. PemeriksaanFisik
1. Nyeri kepala, yang timbul sebagai respon dari viremia
2. Munculnya area kemerahan pada kulit 2-3 hari setelahnya
14
18,22,23
a. Terapi farmakologis:
1. Antivirus
Intensitas dan durasi erupsi kutaneus serta nyeri akut pada herpes
zoster yang timbul akibat dari replikasi virus dapat dikurangi dengan
pemberian asiklovir, Valacyclovir, Famciclovir. Asiklovir diberikan
dengan dosis anjuran 5 x 800 mg/hari selama 7 – 10 hari diberikan
pada 3 hari pertama sejak lesi muncul. Efek samping yang dapat
ditemukan dalam penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit
kepala, diare, pusing, lemah, anoreksia, edema, dan radang
tenggorokan. Valasiklovir diberikan dengan dosis anjuran 1 mg/hari
selama 7 hari secara oral. Efek samping yang dapat ditemukan dalam
penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, dan nyeri
perut. Famsiklovir diberikan dengan dosis anjuran 500 mg/hari
selama 7 hari. Efek samping dalam penggunaan opbat ini adalah
mual, muntah, sakit kepala, pusing, nyeri.
2. Analgesik
Terapi sistemik umumnya bersifat simptomatik, untuk nyerinya
diberikan analgetik. Jika diserta infeksi sekunder diberikan antibiotic.
Analgesik non opioid seperti NSAID dan parasetamol mempunyai
efek analgesik perifer maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil
terhadap nyeri neuropatik.
Sedangkan penggunaan analgesik opioid
memberikan efektifitas lebih baik. Tramadol telah terbukti efektif
dalam pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja sebagai agonis mu-
opioid yang juga menghambat reuptake norepinefrin dan serotonin.
Pada sebuah penelitian, jika dosis tramadol dititrasi hingga
maksimum 400 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Namun, efek pada
sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya amnesia pada orang
tua. Hal yang harus diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat lebih
baik dikhususkan pada kasus nyeri yang berat atau refrakter oleh
karena efek toleransi dan takifilaksisnya. Dosis yang digunakan
18
maksimal 60 mg/hari. Oxycodone berdasarkan penelitian
menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan plasebo dalam
meredakan nyeri, allodinia, gangguan tidur, dan kecacatan.
16
3. Antiepilepsi
Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan 1) memodulasi
voltage-gated sodium channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan
efek inhibisi GABA, dan 3) menghambat transmisi glutaminergik
yang bersifat eksitatorik. Gabapentin bekerja pada akson terminal
dengan memodulasi masuknya kalsium pada kanal kalsium, sehingga
terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral, gabapentin dapat
menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen. Dosis yang
dianjurkan sebesar 1800-3600 mg/d . Karbamazepin, lamotrigine
bekerja pada akson terminal dengan memblokade kanal sodium,
sehingga terjadi hambatan. Pregabalin bekerja menyerupai
gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti halnya gabapentin,
pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun berikatan dengan
subunit dari voltage-gated calcium channel, sehingga mengurangi
influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter (glutamat, substance
P, dan calcitonin gene-related peptide) pada primary afferent nerve
terminals. Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai efektivitas
analgesik baik pada kasus neuralgia paska herpetika, neuropati
diabetikorum dan pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma
medulla spinalis. Didapatkan pula hasil perbaikan dalam hal tidur dan
ansietas.
4. Anti depressan
Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus
neuralgia paska herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme
memblok reuptake (pengambilan kembali) norepinefrin dan
serotonin. Obat ini dapat mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi saraf
spinal yang terlibat dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji klinik
obat antidepressan trisiklik amitriptilin, dilaporkan 47-67% pasien
mengalami pengurangan nyeri tingkat sedang hingga sangat baik.
Amitriptilin menurunkan reuptake saraf baik norepinefrin maupun
serotonin. dengan pemberian tricyclic antidepressant seperti
amiitriptyline dengan dosis, 25-150 mg/d secara oral. Obat ini akan
lebih efektif bila dikombinasikan dengan phenitiazine. TCA telah
17
klinik ini).
18,22,23
b. Terapi non farmakologis
1. Akupunktur
Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan
nyeri. Terdapat beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur
untuk kasus neuralgia paska herpetika. Namun penelitian-penelitian
tersebut masih menggunakan jumlah kasus tidak terlalu banyak dan
terapi tersebut dikombinasi pula dengan terapi farmakologis.
2. TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)
Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial
hingga komplit pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi
penggunaan TENS-pun dianjurkan hanya sebagai terapi adjuvan/
tambahan disamping terapi farmakologis.
H. Pencegahan
Cara mencegah Nyeri Post Herpetikum ini adalah dengan mencegah terinfeksinya
11
virus Zoster itu sendiri. Pencegahan neuralgia pascaherpetika dapat diusahakan
dengan kombinasi agen antiviral dan usaha agresif mengurangi nyeri akut pada pasien
herpes zoster. Kombinasi ini diharapkan akan mengurangi kerusakan saraf dan nyeri
akut. Terapi antiviral harus dimulai segera setelah diagnosis ditegakkan, dan lebih baik
jika dimulai pada tiga atau empat hari pertama. Terapi antiviral diharapkan dapat
menghentikan replikasi virus, sehingga durasi penyakit akan lebih singkat, dan
menurunkan kejadian neuralgia pascaherpetika. Antiviral yang dapat digunakan adalah
asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Terapi analgetika akan mengurangi nyeri
15,16
yang merupakan faktor risiko utama neuralgia pascaherpetika.
Telah dikembangkan vaksin pencegahan herpes zoster yang direkomendasikan
oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) bagi mereka yang berusia 60
tahun atau lebih. Dalam penelitian klinis yang melibatkan ribuan lansia berusia 60
tahun atau lebih, vaksin ini mengurangi risiko herpes zoster sebesar 51% dan risiko
neuralgia pascaherpetika sebesar 67%. Efek proteksi vaksin ini dilaporkan dapat
14,16
mencapai 6 tahun atau bahkan lebih. Selain itu, The United States Advisory
Committee on Immunization Practices (ACIP) juga telah merekomendasikan lansia
diatasumur 60 tahun untuk memperoleh vaksin herpes zoster ini sebagai bagian dari
19
24
perawatan kesehatan rutin. Vaksin Oka-strain hidup baru-baru ini telah disetujui oleh
11,25
Food and Drug Administration untuk mencegah Varicella.
I. Prognosis
Sindrom nyeri yang timbul pada PNH ini cenderung beresolusi denagn lambat.
Pada pasien-pasien dengan PNH, kebanyakan berespon dengan baik terhadap obat-
obatan analgesik, seperti pada antidepressan trisiklik, namun pada sebagian kasus,
nyeri yang dirasakan semakin memburuk dan tidak berespon terhadap terapi yang
26
diberikan.
Umumnya prognosisnya baik, di mana ini bergantung pada tindakan perawatan
sejak dini. pada umumnya pasien dengan neuralgia post herpetika respon terhadap
analgesik seperti antidepressan trisiklik. Jika terdapat pasien dengan nyeri yang
menetap dan lama dan tidak respon terhadap terapi medikasi maka diperlukan
26
pencarian lanjutan untuk mencari terapi yang sesuai.
Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak
menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu
fungsi sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi
26
didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.
Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko berulangnya HZ
masih mungkin terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur, selama pasien
26
mempunyai daya tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.
2.2 Nyeri
The International Association for the Study of Pain (LISP) mendefinisikan nyeri
adalah sensasi sensoris yang tidak menyenangkan atau rasa tidak nyaman dan pengalaman
emosional disertai kerusakan jaringan yang nyata atau yang potensial. Sebenarnya tujuan
alamiah dari adanya rasa nyeri adalah sebagai signal pemberi tanda bahwa ada bagian tubuh
dalam bahaya, sehingga dapat diambil langkah untuk menjauhi atau menghindari sumber
nyeri ini (Attan et al. 2000; Widjaya, 2001; Usunoff et al. 2005; Suryamiharja et al. 2011).
Nyeri neuropatik adalah rasa nyeri yang justru timbul akibat adanya kerusakan dari
jaras pembawa rasa nyeri itu sendiri, baik berupa gangguan fungsi atau perubahan patologis
pada suatu saraf. Rasa nyeri neuropatik kadang tetap terasa nyeri meskipun lesi penyebab
cedera tersebut sudah lama sembuh ( Usunoff et al. 2005). Yang termasuk nyeri neuropatik
20
antara lain: nyeri neuropati diabetik, trigeminal neuralgia, post herpetik neuralgia (PHN),
dan lain-lain. Ciri-ciri utama dari nyeri neuropatik adalah gejala hiperalgesia, alodinia, dan
nyeri spontan (Usunoff et al. 2005; Moalem et al. 2006).
A. Fisiologi Nyeri
Nyeri dapat didefenisikan sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang diakibatkan oleh adanya kerusakan jaringan yang jelas, atau sesuatu
yang tergambarkan seperti yang dialami (International Association for the Study of Pain
tahun 1979). Dan defenisi di atas dapat diketahui adanya hubungan pengaruh obyektif
(aspek fisiologi dari nyeri) dan subyektif (aspek komponen emosidan kejiwaan). Pengaruh
subyektif erat kaitannya dengan pendidikan, budaya, makna situasi dan aktifitas kognitif,
sehingga nyeri merupakan hasil belajar serta pengalaman sejak dimulainya kehidupan.
Individualisme rasa nyeri ini sulit dinilai secara obyektif, walaupun dokter telah melakukan
observasi atau menggunakan alat monitor. Baku emas untuk mengetahui seseorang berada
dalam kondisi nyeri ataupun tidak adalah dengan menanyakannya langsung.
Kata nosisepsi berasal dari kata "noci" dari bahasa Latin yang artinya harm atau
injury dalam bahasa Inggris atau luka atau trauma. Kata ini digunakan untuk
menggambarkan respon neural hanya pada traumatik atau stimulus noksius. Banyak pasien
merasakan nyeri meskipun tidak ada stimulus noksius. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh
aktivasi ataupun sensitisasi dari nosiseptor perifer, reseptor khusus yang mentransduksi
stimulus noksius.
sel inflamasi. Zat-zat kimia yang dilepaskan ini berperan pada proses transduksi dari nyeri.
Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau dilakukan
penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak nyeri akan menimbulkan respon stress
metabolik yang akan mempengaruhi semua system tubuh dan memperberat kondisi pasien,
sehingga akan merugikan pasien akibat timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi pasien
itu sendiri, seperti:
B. Mekanisme Nyeri
C. Sensitisasi Perifer
Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan
lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen
+
intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K , sel inflamasi akan menghasilkan
sitokin, chemokin clan growth faktor. Beberapa komponen diatas akan langsung
merangsang nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen lainnya akan
menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan berikutnya
(nociceptor sensitizers). Sensitivitas daripada terminal nosiseptor perifer tidaklah tetap,
dan aktivasinya dapat dilakukan baik melalui stimulasi perifer berulang atau melalui
perubahan komposisi kimia dari terminal dapat mensensitisasi neuron sensor primer.
Fenomena ini dikatakan sebagai sensitisasi perifer.
Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang
aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada
reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan
muncul secara bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia
tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan
menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan sensitivitas nyeri di
tempat cidera atau inflamasi.
D. Sensitisasi Sentral
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, rnaka transmisi nosiseptor di
sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung
jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral
23
2) Nyeri Somatik
Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah
dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan,
membrane mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri insisi bedah,
tahap kedua persalinan, atau iritasi peritoneal adalah nyeri somatik. Penyakit yang
menyebar pada dinding parietal, yang menyebabkan rasa nyeri menusuk
disampaikan oleh nervus spinalis. Pada bagian ini dinding parietal menyerupai kulit
dimana dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun, insisi pada peritoneum
parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum viseralis tidak nyeri sama
sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri parietal biasanya terlokalisasi langsung
pada daerah yang rusak. Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan
lokalisasi dari nyeri dari viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang
sama. Sebagai contoh, impuls nyeri berasal dari apendiks yang inflamasi melalui
serat-serat nyeri pada sistem saraf simpatis ke rantai simpatis lalu ke spinal cord
pada T10 ke T11. Nyeri ini menjalar ke daerah umbilikus dan nyeri menusuk dan
ham sebagai karakternya. Sebagai tambahan, impuls nyeri berasal dari peritoneum
parietal dimana inflamasi apendiks menyentuh dinding abdomen, impuls- impluls
ini melewati nervus spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri
menusuk berlokasi langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran
kanan bawah.
J. Penilaian Nyeri
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi nyeri
paska pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan
untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien
dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan. Ada beberapa
skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini.
a. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda,
dimulai dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna
pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien
yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal
setempat.
28
Gambar 5.Wong Baker Faces Pain Rating Scale (Sjahrir II, 2006)
K. Penanganan Nyeri
Penanganan nyeri yang efektif harus mengetahui patofisiologi dan pain
pathway sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara farmakoterapi
(multimodal analgesia), pembedahan, juga terlibat didalamnya perawatan yang baik
dan teknik non-farmakologi (fisioterapi, psikoterapi).
a. Farmakologis
Modalitas analgetik termasuk didalamnya analgesik oral parenteral,
blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal dan opioid
intraspinal. Ada empat grup utama dari obat-obatan analgesik yang digunakan
untuk penanganan nyeri.
31
2.3 Methylcobalamin
Cobalamin atau vitamin B12 adalah anggota familly corrin, yang dikenal
sebagai hydroxocobalamin di Inggris dan sebagai sianokobalamin di Amerika Serikat
40-50% dari corrins serum mungkin secara fisiologis merupakan vitamin B12 tidak
aktif. Tubuh manusia tidak mensintesis cobalamin. Satu-satunya sumber adalah
makanan hewani daging, ikan dan produk susu. Kebutuhan harian vitamin B12 pada
manusia adalah 1-3 μg (Kuwabara S, et al. 1999).
32
a. Homocystein
Homocystein merupakan senyawa antara yang dihasilkan pada metabolisme
metionin, yaitu suatu asam amino esensial yang terdapat dalam beberapa bentuk
sulfurhidril diplasma dalam bentuk tereduksi dan disulfida dalam bentuk teroksidasi
dinamakan homocystein.
b. Dosis
c. Efek samping
• Hipersensitivitas
• Sakit kepala
• Rasa nyeri atau terjadi pengerasan di sekitar area injeksi
• Berkeringat
• Rasa panas dan kemerahan pada kulit wajah
• Mual
• Kehilangan nafsu makan
• Diare atau gangguan pencernaan lainnya
• Muntah
• Demam
36
BAB III
A. Kerangka Konsep
Post Herpetic
Neuralgia
Neuropatic Pain
Sensitisasi
Sentral Perifer
Glutamat + Kekacauan
Methylcobalamin serabut C & AB
NMDA reseptor
Cytokines
Damage Neuron
C. Hipotesis Penelitian
1. Ada pengaruh pemberian Methylcobalamin injeksi terhadap skala nyeri pada pasien
Post Herpetic Neuralgia.
39
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat kuantitatif eksperimental yang menggunakan rancangan
Randomised Control Trial (RCT). Penelitian yang dilakukan menggunakan rancangan
posttest only with control group design dengan menggunakan pendekatan cohort,
pengukuran variabel dilakukan berdasarkan status paparan kemudian diikuti hingga
periode tertentu sehingga dapat diidentifikasi dan dihitung besarnya kejadian.
(Notoatmodjo, 2010).
C. Subjek Peneltian
1. Populasi Target Penelitian
Populasi target adalah pasien Post Herpetic Neuralgia.
2. Populasi Terjangkau Penelitian
Populasi terjangkau adalah pasien Post Herpetic Neuralgia yang rawat inap di
RSUP Sanglah.
3. Sample Penelitian
Pasien PHN yang akan diberikan pengobatan Methylcobalamin Injeksi yang rawat
inap di RSUP Sanglah yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi kurun waktu
Januari 2019 sampai Desember 2019. Sampel diambil dengan cara random
sampling.
Kriteria inklusi:
1. Pasien dengan PHN yang sesuai dengan gejala dan tanda yang sudah ditegakkan
dengan menggunakan skor VAS (Visual Analogue Scale) dan Pain Detect.
2. VAS > 6
3. Kooperatif dan dapat berkomunikasi dengan baik
4. Bersedia mengikuti penelitian
Kriteria eksklusi:
1. Pasien dengan penyakit neurologis yang melibatkan system saraf pusat maupun
perifer yang menyebabkan gejala sisa berupa gangguan sensorik, motorik
maupun otonom (stroke, tumor, trauma kepala, infeksi, dan sebagainya).
2. Pasien dengan riwayat penyakit metabolik lain yang menyebabkan gejala
neuropati perifer.
3. Pasien dengan riwayat penggunaan alkohol.
4. Sedang hamil dan menyusui.
5. Alergi terhadap Methylcobalamin.
E. Besar Sampel
Besar sampel dalam penelitian berhubungan erat dengan populasi, karena hasil
penelitian harus relevan dengan populasi atau dapat diaplikasikan seluas mungkin.
Untuk penelitian eksperimental, besaran sampel tiap kelompok (grup) perlakuan harus
berada pada kisaran 15 sampai 20 sampel (Furlong et al., 2000: 80).
Perhitungan subjek penelitian ditentukan dengan menggunakan rumus.
(t-1) (n-1) ≥ 15
(2-1) (n-1) ≥ 15
(n-1) ≥ 15
n ≥ 15+1
n ≥ 16
Dimana,
t: jumlah kelompok perlakuan
n: jumlah subjek penelitian perkelompok perlakuan
41
Dengan demikian, jumlah minimum sampel per kelompok dalam penelitian ini
adalah sebesar 16 subjek. Di mana dalam kelompok kontrol terdiri dari 16 subjek dan
kelompok perlakuan terdiri dari 16 subjek dengan keseluruhan total subjek sebanyak
32. Untuk menhindari pasien yang drop out sehingga masing-masing kelompok terdiri
dari 20 subjek dengan keseluruhan total 40 subjek.
Dikatakan PHN jika skor yang didapat menggunakan Pain Detect Quisioner
adalah 19 - 38.
42
c. Satuan :-
d. Skala : ordinal
2. Methylcobalamin
a. Definisi : methylcobalamin injeksi 500 mg.
b. Alat ukur :-
c. Satuan : 500 mcg injeksi intravena
500 mcg/hari diberikan tiga kali dalam seminggu.
d. Skala : nominal
H. Instrumen Penelitian
Instrumen yang
digunakan adalah formulir penjelasan tentang penelitian,
formulir persetujuan subjek penelitian (informed consent), rekam medis pasien, data
identitas pasien, dan lembar kuesioner nyeri. Pada penelitian ini, menggunakan
instrumen nyeri VAS dan Pain Detect Quisioner.
I. Etik Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti mendapatkan rekomendasi dari institusi tempat
penelitian. Penelitian menggunakan etika sebagai berikut:
1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity) Peneliti
mempertimbangkan hak-hak subyek untuk mendapatkan informasi yang terbuka
berkaitan dengan jalannya penelitian serta memiliki kebebasan menentukan pilihan
dan bebas dari paksaan untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian (autonomy).
Beberapa tindakan yang terkait dengan prinsip menghormati harkat dan martabat
manusia, adalah: peneliti mempersiapkan formulir persetujuan subyek (informed
consent).
2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian (respect for privacy and
confidentialy).Pada dasarnya penelitian akan memberikan akibat terbukanya
informasi individu termasuk informasi yang bersifat pribadi, sehingga peneliti
memperhatikan hak-hak dasar individu tersebut.
3. Keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness)
Penelitian
dilakukan secara jujur, hati-hati, professional, berperikemanusiaan, dam
memperhatikan factor-faktor ketepatan, keseksamaan, kecermatan, intimitas,
43
J. Prosedur Penelitian
Sampel diperoleh dengan cara:
1. Semua pasien rawat inap di RSUP SANGLAH dengan PHN yang masuk
dalam
kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.
2. Dilakukan pemeriksaan untuk tingkatan nyeri dengan menggunakan VAS Score dan
Pain Detect. Pasien yang masuk kriteria penelitian, jika VAS > 6 dan Pain Detect
> 19.
3. Didapatkan sampel pasien dengan PHN.
4. Kemudian dilakukan simple random sampling untuk dibagi menjadi 2 kelompok.
Kelompok yang pertama adalah kelompok kontrol yang tidak diberikan terapi
methylcobalamin, dan kelompok yang kedua adalah kelompok perlakuan yang
diberikan terapi methylcobalamin.
5. Kemudian pasien diobservasi selama 1 minggu. Setelah 1 minggu dievaluasi rasa
nyerinya menggunakan VAS dan Pain Detect kemudian di analisis statistic.
44
PHN
Inklusi Eksklusi
Tingkat Nyeri
Neuropatik
Kelompok I Kelompok II
Tanpa Methylcobalamin Methylcobalamin
Evalusai Nyeri
setelah 1 minggu
Analisa Statistik