Anda di halaman 1dari 22

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................2
1.1. Latar Belakang.................................................................................................2
1.2. Tujuan Penulisan..............................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN NEURALGIA POST HERPETIK........................................4
2.1. Defenisi Neuralgia Post Herpetik....................................................................4
2.2. Faktor Predisposisi...........................................................................................4
2.3. Patofisiologi Neuralgia Pascaherpetik............................................................5
2.4. Diagnosis Neuralgia Pascaherpetik.................................................................7
2.5. Komplikasi........................................................................................................8
2.6. Penatalaksanaan Neuralgia Pascaherpetik....................................................8
BAB III PENUTUP........................................................................................................20
3.1. Kesimpulan.....................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................21

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Neuralgia pascaherpetik atau postherpetic neuralgia (PHN) merupakan salah


satu komplikasi herpes zoster yang utama, berupa nyeri kronis (> 3 bulan) setelah
gejala kulit pada Herpes Zoster membaik.1,2,3 Nyeri neuropatik pada PHN sering
dijumpai pada usia lanjut dan kondisi imunosupresi.4,5

Insiden dan prevalen PHN adalah bervariasi. Pada studi klinis dan komunitas,
insiden PHN adalah 8% - 15% tergantung dari definisi yang digunakan. Satu studi
menyebutkan insiden 10 %-34%. Jika definisi menggunakan waktu 3 bulan
setelah onset gejala kulit maka insiden sebesar 10-20 %. Faktor usia merupakan
faktor resiko utama pada PHN. Data analisis dari United Kingdom General
Practice Research Data menunjukkan insiden meningkat dari 8% pada usia 50-54
tahun sampai 80% pada usia 80-84 tahun. Faktor risiko lain adalah tingkat
keparahan gejala prodromal, tingkat keparahan gejala kulit, dan intensitas nyeri
pada fase akut. Risiko juga meningkat pada kondisi penyakit kronis seperti
gangguan pernafasan, diabetes dan kondisi imunosupresi. Data dari register
poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah selama satu tahun (tahun 2015)
menunjukkan insiden PHN mencapai 21 kasus (16,6%) dari 126 kasus herpes
zoster yang ada. Sebanyak 75% dari penderita PHN tersebut berusia lebih dari 60
tahun.1,2,3,4,6

Patofisiologi neuralgia pascaherpetik dapat dijelaskan sebagai kelanjutan dari


patofisiologi herpes zoster yaitu akibat menurunnya sistem imunitas seluler terjadi
reaktivasi virus,
selanjutnya terjadi migrasi virus menuju saraf sensoris dan menimbulkan injuri
pada saraf, sehingga timbul alodinia dan nyeri dermatomal yang menetap
walaupun lesi herpes zoster telah menyembuh. Manifestasi klinis PHN meliputi
nyeri yang konstan (nyeri seperti berdenyut, sensasi seperti terbakar), nyeri yang
hilang timbul (nyeri seperti tertusuk), dan nyeri yang timbul oleh stimulus

2
termasuk alodinia. Nyeri pada PHN dapat menyebabkan gangguan tidur, depresi,
anoreksia, penurunan berat badan, chronic fatigue, dan terkucilnya penderita dari
lingkungan sosial, yang akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup penderita.
Penderita herpes zoster usia tua memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita
PHN, seiring dengan menurunnya sistem imunitas seluler.7,8

Pada penelitian yang berbasis populasi di Italia menyimpulkan bahwa PHN


dan herpes zoster merupakan penyakit yang patut diperhitungkan mengingat efek
negatif yangditimbulkan pada kualitas hidup penderita dan dampak dari segi
ekonomi.9 Fakta di atas meningkatkan kebutuhan klinisi untuk memahami lebih
lanjut mengenai penatalaksanaan PHN.Penatalaksanaan PHN meliputi
pencegahan infeksi inisial dan pengobatan yang agresif pada fase akut infeksi
Herpes Zoster. Seperti pada kasus nyeri kronis lainnya, pendekatan
multimodalitasperlu dilakukan pada penderita dengan PHN.2 Pada makalah ini
disampaikan penatalaksanaan PHN terkini dengan tujuan menambah wawasan,
dan dapat menjadi pertimbangan dalam penanganan PHN, sehingga dapat
mengurangi morbiditas penderita.

1.2. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

3
BAB II

PEMBAHASAN

NEURALGIA POST HERPETIK

2.1. Defenisi Neuralgia Post Herpetik

Neuralgia pascaherpetik merupakan komplikasi neurologis dari herpes zoster


berupa nyeri neuropatik dimana nyeri yang timbul merupakan akibat langsung
dari keruskan saraf perifer yang terjadi saat serangan herpes zoster.3 Meskipun
beragam definisi yang digunakan oleh klinisi dan peneliti, hasil dari studi terkini
mengemukakan bahwa nyeri yang berhubungan dengan herpes zoster terdiri dari 3
fase yaitu fase akut neuralgia herpetik ( nyeri yang menyertai lesi kulit
berlangsung sampai 30 hari setelah onset lesi kulit ), fase subakut neuralgia
herpetik ( berlangsung 30 – 120 hari ) dan neuralgia pascaherpetik ( nyeri menetap
lebih dari 120 hari setelah lesi kulit).2 Definisi PHN yang diterima secara umum
yaitu nyeri dermatomal yang signifikan atau sensasi abnormal yang terjadi dalam
120 hari atau lebih dari timbulnya lesi awal herpes zoster dan nyeri secara klinis
yang relevan didefinisikan sebagai PHN, yaitu nyeri dengan Visual Analogue
Score ≥ 3.10,11

2.2. Faktor Predisposisi

Beberapa faktor yang diduga sebagai faktor predisposisi PHN antara lain usia
lanjut, keadaan imunosupresi, gejala prodromal pada infeksi herpes zoster,
neuralgia herpetik akut yang berat, derajat keparahan herpes zoster , lokasi lesi
herpes zoster, penderita yang tidak mendapat terapi antivirus, status
imunokompromais, jenis kelamin wanita. Beberapa faktor seperti , kebiasaan
merokok, faktor psikologis, defisiensi micronutrient dalam beberapa penelitian

4
berperan sebagai faktor predisposisi PHN, namun masih dalam metode dan
sampel penelitian yang terbatas.12,13,14

2.3. Patofisiologi Neuralgia Pascaherpetik


Secara umum, patofisiologi terjadinya PHN merupakan kelanjutan dari proses
yang terjadi pada infeksi herpes zoster. Apabila system pertahanan seluler berada
di bawah level kritis, maka terjadi reaktivasi dari virus variella zoster. Infeksi
virus varicella zoster mencangkup lesi pada kulit dan injuri pada saraf. Virus
varicella zoster yang bermultiplikasi selanjutnya menyebar secara antidromikal
menuju saraf sensoris menyebabkan neuritis, dan virus yang keluar dari ujung
saraf sensoris pada kulit menyebabkan lesi kulit berupa vesikel yang
berkelompok. Inflamasi pada saraf perifer ini menyebabkan demeilinisasi,
degenerasi Wallerian dan fibrosis. Selanjutnya aktivitas yang tidak dapat
dihambat dan diamplifikasi pada serat saraf aferen primer ini menimbulkan nyeri
pada PHN.1
Terdapat beberapa mekanisme yang berbeda namun bersifat overlapping
dalam patogenesis PHN. Kerusakan saraf pada medula spinalis dan ganglion
dorsalis hingga saraf perifer merupakan mekanisme penting dalam patogenesis
PHN.1
Patofisiologi dari PHN adalah injuri saraf baik mengenai saraf perifer maupun
SSP. Kerusakan saraf perifer dan SSP ini menyebabkan perubahan spontan pada
saraf dan terjadi penurunan ambang respon nyeri, sehingga terjadi respon nyeri
yang disproporsional terhadap stimuli yang secara normal tidak menimbulkan
respon nyeri. Pada tingkat seluler, bukti menunjukkan peningkatan proporsi
subtipe voltage-gated sodium chanels, gangguan pada potassium voltage-gated
dan terjadi upregulasi reseptor yang berhubungan dengan nyeri seperti transient
receptor potential vanilloid 1 (TRPVI). Perubahan ini berhubungan dengan nyeri
yang timbul secara spontan maupun akibat rangsangan, akibat menurunnya
ambang respon nyeri terhadap potensial aksi. Transient receptor potential
vanilloid 1 (TRPVI) diketahui sebagai calcium channel non selektif dengan
permeabilitas yang tinggi terhadap kalsium yang diekskresikan pada ujung

5
terminal serat saraf sensoris yang berdiameter kecil. Selanjutnya penghambatan
terhadap reseptor TRPVI dapat mencegah potensial aksi pada serat saraf perifer
yang menimbulkan transmisi nyeri.13
Neuralgia pascaherpetik dapat dibedakan dalam tiga kelompok berdasarkan
perbedaan patofisiologi yang mendasarinya, yaitu:
a. Nosiseptor iritabel
b. Deafferentation (kerusakan koneksi serat saraf aferen)
dengan alodinia
c. Deafferentation tanpa alodinia
Nosiseptor iritabel pada PHN berhubungan dengan aktivitas serat saraf C,
yang timbul sebagai alodinia taktil, mekanis, dan termal yang berat dengan
hilangnya sensoris ringan. Nosiseptor serat C secara normal hanya dapat
dirangsang oleh stimulus yang berat, namun akibat perubahan seluler yang terjadi
pada PHN, nosiseptor serat C akan tersensitasi, menurunnya respon ambang nyeri
terhadap potensial aksi, dan peningkatan penyebaran respon nyeri. Manifestasi
klinis yang tampak dari model fatofisiologi ini adalah timbulnya nyeri spontan
dan alodinia.16
Model deafferentation berhubungan dengan alodinia dan hilangnya sensoris
pada dermatom yang terkena. Deafferentation perifer menyebabkan reorganisasi
medula spinalis kornu posterior. Pada deafferensiasi, serat saraf C sel saraf perifer
yang tersensitasi akan berkurang jumlahnya, menyebabkan pertumbuhan baru
serat A-ß (serat dengan diameter besar yang berespon terhadap stimulus mekanis
seperti sentuhan atau tekanan). Pertumbuhan baru serat A-ß menyebabkan
hubungan dengan saluran spinotalamikus pada medula spinalis yang sebelumnya
disinapsis oleh serat C untuk mentransmisikan nyeri. Pada proses deafferentation
ini terjadi reorganisasi medula spinalis bagian dorsalis akibat degenerasi serat
saraf C dan akibat pertumbuhan baru serat saraf A-ß, maka stimulus perifer
berupa sentuhan atau tekanan akan tercampur sebagai nyeri yang ditransmisikan
melalui saluran spinotalamikus pada medula spinalis, sehingga terjadi alodinia
yang dimediasi oleh SSP.
Penderita yang mengalami tipe nyeri deafferentation dengan alodinia sering
mengeluhkan hilangnya sensibilitas pada area yang awalnya mengalami nyeri

6
paling hebat. Hilangnya sensibilitas pada penderita terutama terhadap perbedaan
suhu namun dapat juga terjadi alodinia mekanis seperti nyeri saat menggosok gigi.
13,16

Terakhir tipe nyeri deafferentation tanpa alodinia diduga disebabkan sensitasi


CNS oleh serat dorsalis medula spinalis. Pada tipe nyeri ini tidak terjadi alodinia
karena terjadi diskoneksi saraf aferen secara total. Pada pemeriksaan sensibilitas
kuantitatif menunjukkan terutama hiperagelsia. 16

2.4. Diagnosis Neuralgia Pascaherpetik


Definisi PHN yang diterima secara umum yaitu nyeri yang signifikan atau
adanya sensasi abnormal yang terjadi dalam 120 hari atau lebih dari timbulnya
lesi awal herpes zoster.1,11Dapat sebagai nyeri konstan berupa rasa panas,
berdenyut; sebagai nyeri intermiten termasuk rasa tertusuk, seperti tersetrum
listrik atau sebagai nyeri yang distimulus yang disebut allodinia (rasa nyeri timbul
oleh stimulus yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan nyeri, seperti
9,14
hembusan angin, sentuhan ringan dari pakaian). Berdasarkan Visual Analogue
Score, intensitas nyeri pada PHN dikategorikan berdasarkan skala numerik
dengan nilai 0 hingga 10. Skala 0 berarti tidak didapatkan nyeri dan skala 10
berarti nyeri yang sangat berat sehingga tidak terbayangkan. Pada penggunaan
skala ini, penderita diberikan kesempatan untuk menggambarkan nyeri yang
dialaminya sepanjang hari berdasarkan skala nyeri yang disebutkan sebelumnya. 2

7
Dengan skala ini yang relevan didefinisikan sebagai PHN, yaitu nyeri dengan
Visual Analogue Score ≥ 3.10,11
Intensitas nyeri yang berhubungan dengan PHN juga dapat dikategorikan
berdasarkan skala menggunakan ZBPI (Zoster Brief Pain Inventory). Skala ZBPI
disusun berdasarkan BPI (Brief Pain Inventory) untuk mengukur derajat nyeri
dengan kategori nyeri yang paling hebat, nyeri yang paling ringan, nyeri rata-rata,
nyeri yang dialami saat ini serta pengaruh nyeri pada aktivitas sehari-hari, suasana
hati, kemampuan untuk berjalan, bekerja, hubungan social penderita, kualitas tidur
penderita dan bagaimana penderita menikmati hidupnya. Dengan skala ini PHN
didefinisikan nyeri dengan skore ≤ 3 selama 3 bulan atau lebih setelah onset lesi
kulit.9

2.5. Komplikasi
Neuralgia pasca herpetik seperti nyeri kronis lainnya pada akhirnya dapat
mengganggu kesehatan dan menurunkan kualitas hidup penderitanya. Pada
penderita usia lebih tua yang lebih suseptibel untuk menderita PHN, memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk mengalami komplikasi PHN. Efek buruk PHN pada
kualitas hidup penderita sebanding dengan yang disebabkan oleh penyakit yang
berat, atau kondisi psikologis yang serius. Neuralgia paska herpetic dapat
berpengaruh secara signifikan pada banyak aspek kehidupan penderita, dan
menyebabkan seperti timbulnya kelemahan, anoreksia, kecemasan, penurunan
berat badan, insomnia, depresi, kesulitan berkonsenterasi, dan gangguan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari seperti untuk mandi dan melakukan pekerjaan
rumah tangga. 8,13

2.6. Penatalaksanaan Neuralgia Pascaherpetik


Penatalaksanaan PHN mencangkup terapi farmakologi yang terdiri dari obat-
obat sistemik, obat topikal, selanjutnya intervensi psikologis, dan intervensi
bedah. Secara umum protokol yang digunakan pada penatalaksanaan PHN dapat
dilihat pada gambar 2.
Penggunaan gabapentin dan lidokain patch 5% merupakan terapi lini pertama
pada PHN, sedangkan terapi lini kedua yaitu opioid dengan TCAs
(triyclicantidepressant). Kombinasi terapi lini pertama dengan lini kedua dapat

8
digunakan untuk meningkatkan efek analgesik dan mencapai peningkatan kualitas
hidup penderita PHN.
Salah satu penelitian RCT menunjukkan kombinasi gabapentin dengan morfin
pada pengobatan PHN memberikan efek analgesia yang lebih kuat dengan dosis
masing-masing obat yang lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan kedua
agen tersebut secara tunggal. Namun demikian, kombinasi terapi ini dilakukan
dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti kondisi penderita, derajat
nyeri, respon terhadap terapi, pilihan penderita dan modalitas terapi yang ada.17,18

2.6.1. Terapi Farmakologi


Terdapat beberapa agen terapi farnakologi yang digunakan dalam pengobatan
PHN. Dosis dan efek samping pemberian agen farmakologi dalam pengobatan
PHN dapat dilihat pada tabel 1 dan 2.

2.6.1.1. Terapi farmakologi sistemik


1. Antidepresan trisiklik/ Tricyclic Antidepressant (TCA)

9
Antidepresan trisiklik sering digunakan secara luas sebagai pengobatan pada
beberapa nyeri neuropati, termasuk PHN. Terdapat beberapa mekanisme kerja
dari TCA yaitu dengan menghambat reuptake dari serotonin dan norepinefrin,
sebagai blokade jalur natrium sehingga berfungsi sebagai anestesi lokal.
Pada penelitian meta-nalisis yang meneliti penggunaan amitriptilin,
nortriptilin dan desipramin, menunjukkan ketiga agen TCA tersebut secara
signifikan berfungsi sebagai analgesik dalam pengobatan PHN. Dari penelitian-
penelitian tersebut juga menunjukkan amitriptilin memiliki efektivitas yang sama
dengan nortriptilin. Umumnya despiramin memiliki efek samping yang lebih
ditolerir dibandingkan amitriptilin terutama pada penderita usia tua. 2,17 Dalam
pengobatan PHN, amitriptilin, nortriptilin atau despiramin diberikan mulai dosis
10-25 mg satu kali perhari, dan dosis dapat ditingkatkan secara perlahan setiap
dua hingga empat minggu hingga timbul respon adekuat atau tercapai dosis
maksimal 75-150 mg (tabel 2). Kontraindikasi pemberian TCA yaitu pada
penderita dengan penyakit jantung, glaukoma, penderita dengan riwayat kejang,
dan penggunaan bersama tramadol. Efek samping yang dapat timbul seperti
sedasi, kekeringan pada mulut, penurunan daya pengelihatan, peningkatan berat
badan, retensi urin, konstipasi dan disfungsi seksual. Pada penderita usia tua,
pemberian TCA sebaiknya dimulai dari dosis rendah (10 mg) kemudian
ditingkatkan secara perlahan. Disarankan melakukan pemeriksaan
elektrokardiografi pada penderita usia lanjut yang akan mendapat pengobatan
TCA.2,18

2. Anti epilepsi
Antiepilepsi yang sering digunakan sebagai pengobatan PHN yaitu gabapentin
dan pregabalin. Mekanisme kerja gabapentin sebagai analgesik belum diketahui
secara pasti, diduga gabapentin bekerja sebagai subunit α2ᵟ-1 yang tergantung
pada aliran ion Ca2+ untuk menurunkan influks kalsium, sehingga menghambat
pelepasan neurotransmiter seperti glutamat menuju ujung terminal serat aferen
primer pada medula spinalis. Beberapa penelitian RCT dan meta-analisis
menunjukkan efikasi gabapentin sebagai analgesic pada pengobatan PHN. 18
Suatu tinjauan sistematis merekomendasikan pemberian gabapentin dengan dosis

10
900 mg/hari, mulai dari dosis 300 mg/hari pada hari pertama, kemudian dosis
ditingkatkan 300 mg/hari hingga tercapai dosis 900 mg/hari. Dosis ditingkatkan
hingga 1800 mg/hari dalam waktu 2 minggu (tabel 2). Gabapentin yang diberikan
bersama opioid dapat menjadi analgesik yang lebih superior dengan dosis
gabapentin yang lebih rendah, dibandingkan hanya dengan pemberian
gabapentin.18
Gabapentinoid golongan lebih baru, yaitu pregabalin memiliki efek analgesik
dengan mekanisme kerja yang hampir sama dengan gabapentin. Walaupun dosis
optimal pregabalin belum dapat ditentukan, penderita dapat merasakan penurunan
derajat nyeri pada dosis pertama pregabalin diberikan, dan dosis pregabalin yang
fleksibel ataupun menetap tampaknya efektif pada penderita PHN.
Pregabalin diberikan dalam dosis 50 mg tiga kali sehari atau 75 mg dua kali
sehari, dosis ditingkatkan hingga 150 mg dua kali sehari dalam waktu satu
minggu (tabel 2). Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, gabapentinoid
diberikan dalam dosis yang lebih rendah sekitar 50% dari dosis biasanya. Secara
umum pemberian gabapentinoid dapat ditoleransi dengan baik oleh penderita.
Efek samping yang paling sering timbul yaitu somnolen, pening, edema perifer,
kelelahan, sakit kepala, ataksia dan kekeringan pada mulut. 19

3. Analgesik opioid
Penggunaan opioid dipertimbangkan bila penderita PHN mengalami nyeri
derajat menengah hingga berat yang berefek secara signifikan terhadap kualitas
hidup penderita, dan pada penderita ini telah mendapat berbagai modalitas terapi,
namun belum mendapatkan hasil yang memuaskan. Penelitian RCT double blind
lainnya mendapatkan manfaat morfin yang diberikan dalam dosis 60 mg/ hari
secara signifikan mengurangi nyeri, disabilitas, dan alodinia.2
Terapi opioid diawali dengan penggunaan agen yang bersifat short acting
oksikodon saja atau dikombinasi dengan nonstreroidal anti-inflamatory drugs
(NSAID) dalam dosis yang ekuivalen dengan pemberian morfin sulfat intraoral.
Setelah satu hingga dua minggu, dilakukan konversi ke dosis ekuivalen dari
opioid yang bersifat long acting seperti controlled-release morphine, controlled-
release oksikodon, transdermal fentanil, levorfanol dan metadon hidroklorida

11
seperti tercantum pada table 2. Konversi dari regimen yang bersifat short acting
menjadi long acting membutuhkan waktu penyesuaian dosis hingga satu minggu.
Efek samping analgesik opioid pada umumnya konstipasi, sedasi, abuse
potential, dan mual. Analgesik opiod yang diberikan pada penderita usia lanjut
dapat menimbulkan efek samping seperti gangguan mobilitas dan fungsi kognitif.
Efek samping penggunaan opioid dalam jangka waktu lama, yaitu adanya
gangguan hormonalsehingga menyebabkan disfungsi seksual pada penderita.2
Walaupun opioid bersifat efektif, dibutuhkan monitoring yang intensif dan
efek samping penggunaannya, mengarahkan peneliti untuk beralih pada tramadol
sebagai opioid lemah pada penatalaksanaan PHN. Tramadol merupakan salah satu
agen analgesik opioid yang digunakan dalam pengobatan PHN. Mekanisme kerja
tramadol yaitu sebagai agonis opioid lemah dan menghambat reuptake monoamin
(norepinefrin dan serotonin). Pada penelitian RCT terhadap 127 sampel penderita
PHN, menunjukkan penurunan derajat nyeri hingga terjadi perbaikan kualitas
hidup pada kelompok penderita yang mendapat terapi tramadol 100-400 mg/hari
dengan dosis rata-rata 275 mg, selama 6 minggu. 20. .Efek samping tramadol
mencangkup rasa mual, muntah, konstipasi dan rasa pening. Efek samping yang
jarang timbul yaitu vertigo, retensi urin, pruritus, somnolen, dan sakit kepala.
Kombinasi tramadol dengan agen terapi lainnya yang bersifat menghambat enzim
CYP2D6 seperti fluoksetin, paroksetin, venlafaksin, duloksetin, dan TCA dapat
meningkatkan konsetrasi tramadol dalam sirkulasi karena penghambatan
metabolism tramadol oleh agen terapi tersebut, sehingga meningkatkan risiko
timbulnya efek samping seperti kejang dan sindrom serotonin.21

2.6.1.2.Terapi sistemik lainnya


Beberapa agen terapi sistemik pernah diberikan pada penderita PHN, namun
pemberian agen ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Agen tersebut
seperti antagonis N-metil-D-aspartat, vitamin C intravena dan ketamin.
Mekanisme kerja N-metil-D- aspartat diperkirakan dengan menghambat interaksi
input nosiseptif dengan reseptor NMDA pada bagian dorsal medulla spinalis
(sensitasi perifer). Agen ini juga mampu menghambat alodinia, nyeri yang
peristen akibat resistensi terhadap opioid (sensitasi sentral).2

12
Pada laporan kasus oleh Chen dkk menunjukkan injeksi vitamin C secara
intravena dengan dosis 2,5 gram perhari, setiap dua hari, dan didapatkan
hilangnya nyeri setelah seminggu pemberian dan bertahan hingga 3 bulan
pengamatan pada penderita PHN yang telah mengalami nyeri selama 8 bulan
sebelumnya. Ketamin yang digunakan secara IV atau subkutan sebagai
pengobatan PHN dalam beberapa penelitian RCT berefek pada penurunan derajat
nyeri pada penderita. Namun efek samping yang timbul seperti kelemahan,
pening, perubahan suasana hati, dan lainnya menyebabkan ketamin digunakan
secara terbatas.2,22
Terapi farmakologi topical Aplikasi farmakologi topikal pada PHN lebih
dipilih karena potensi sebagai analgesik dengan efek samping yang lebih ringan
dibandingkan agen farmakologi sistemik. Agen topikal sangat efektif pada
penderita PHN dengan alodinia termal atau mekanis. Agen topikal yang dibahas
pada tinjauan pustaka ini yaitu capsaicin, lidocaine patch 5%, NSAID topikal, dan
beberapa sediaan lainnya.2
1. Capsaicin (trans-8-metil-N-vanilil-6-nonenamid)
Capsaicin bersifat agonis selektif kuat terhadap reseptor transien yaitu
potential vanilloid 1 receptor (TRPV1). Setelah paparan capsaicin
reseptor kutaneus menjadi kurang sensitif terhadap berbagai stimulus dan
efek capsaicin ini secara garis besar disebut sebagai “desensitasi”.
Capsaicin memicu perubahan pada nosiseptor kutaneus yang bersifat
reversibel dan fungsi nosiseptor kutaneus ini kembali normal (diditeksi
sensasi noxius) dalam beberapa minggu pada orang normal. Efek samping
penggunaancapsaicin adalah timbulnya rasa perih atau sensasi terbakar
pada area ditempelkannya agen ini. Disarankan menggunakan sarung
tangan saat menempelkan agen ini, dan agar menghindari kontak dengan
mata dan mukosa. Terdapat 3 sediaan konsentrasi capsaicin yang telah
diteliti dan digunakan dalam pengobatan PHN. Penelitian oleh Webster
yang meneliti efikasi penggunaan capsaicin 8% selama 60 menit yang
ditoleransi dengan baik setelah diberikan pretreatment dengan krim
lidokain 2,5% atau prilokain 2,5% selama 60 menit. Capsaicin 8%
terbukti efektif baik digunakan sebagai agen tunggal maupun dikombinasi

13
dengan agen farmakologi lainnya.2,23 Pada penelitian double blind oleh
Watson menunjukkan efektivitas capsaicin cream 0,075% agen ini
sebagai pengobatan PHN, dengan menempelkannya pada area yang sakit
tiga hingga lima kali perhari. Beberapa penelitian terdahulu mununjukkan
efektivitas capsaicin dengan konsentrasi yang lebih rendah (0,025%) yang
mampu mengurangi derajat nyeri hingga 15%, walaupun harus digunakan
selama dua minggu atau lebih untuk mendapatkan efektivitas maksimal
dari krim ini.2

2. Lidokain tempel 5%
Pada pengobatan PHN, lidokain tempel 5% diaplikasikan pada area yang
mengalami nyeri paling hebat atau alodinia, maksimal tiga kali perhari,
dengan waktu tempel maksimal selama 12 jam. Pada tahun 2009
dilakukan penelitian RCT oleh Baron dkk, menyimpulkan lidokain tempel
5% memberikan efek analgesik pada penderita PHN, dengan efek
samping yang lebih ringan dibandingkan pregabalin.4 Oleh karena efikasi
yang telah terbukti dengan efek samping minimal, maka agen ini
merupakan salah satu terapi lini pertama pada penatalaksanaan PHN.2

3. Agen topikal lainnya


Aspirin topikal dengan nama kimia triethanolamine salicylate, telah
digunakan oleh beberpa peneliti sebagai pengobatan PHN. Dua penelitian
RCT menunjukkan penggunaan agen ini pada PHN dengan hasil yang
baik, pada 82% dari sampel penelitian, namun hasil ini memiliki level
evidence yang lemah (level C). Preparat lain yang digunakan dalam
penatalaksanaan PHN yaitu ethyl chloride (Chloroethane), fluori-
methane, dan sediaan menthol topikal yang masih membutuhkan
penelitian lebih lanjut.2

14
15
2.6.2. Terapi intervensi
2.6.2.1. Intervensi psikologis
Neuralgia pascaherpetik dapat menurunkan kualitas hidup penderita dengan
mempengaruhi suasana hati, fungsi fisik dan sosial penderita. Strategi dalam
menghadapi depresi dan nyeri dapat mempengaruhi derajat nyeri yang dialami
oleh penderita. Penelitian mengenai kognitif dan tingkah laku penderita usia lanjut
yang mempengaruhi cara penderita menghadapi nyeri PHN menunjukkan bahwa
catastrophizing mempengaruhi derajat nyeri secara independen.17

2.6.2.2. Intervensi Bedah


Tindakan intervensi bedah dapat dilakukan kasus PHN yang refrakter.
Tindakan intervensi tersebut meliputi injeksi epidural, blok saraf simpatetik,
opioid intratekal, dan radiofrekuensi.2,5 Injeksi epidural dengan anestesi lokal baik
secara intermiten atau kontinyu menggunakan kateter bersifat efektif dalam
mengurangi nyeri pada PHN atau selama episode herpes zoster. Masih sedikit

16
penelitian yang menunjukkan bahwa injeksi epidural dapat mempengaruhi
perjalanan klinis PHN, selain hanya mengurangi nyeri secara sementara.2,5
Blok saraf paravertebra untuk mengurangi nyeri pada PHNyang dilakukan
oleh Naja, dengan injeksi secara repetitif campuran anestesi lokal (bupivacaine
0,5% sebanyak 19 ml dan klonidin 150 μg ml) setiap 48 jam selama 3 minggu,
menggunakan kateter yang disuntikkan setingkat T2-T3. Pada penatalaksanaan
tersebut, penderita tetap bebas dari nyeri selama 8 bulan pengamatan, dan tidak
ditemukan efek samping penggunaan metode ini. Namun pembuktian lain yang
mendukung penatalaksanaan ini masih perlu dilakukan.2,5
Penggunaan agen intraspinal seperti opioid dan anestesi lokal menunjukkan
efektivitasnya terutama dengan penambahan anestesi lokal pada blok segemental.
Pada beberapa penelitian awal penatalaksanaan PHN dengan injeksi
metilprednisolon intratekal bersifat efektif namun dengan timbulnya efek samping
araknoiditis, penggunaan agen ini tidak direkoendasikan oleh FDA.2,5 Pulsed
radiofrequency (PRF) bersifat aman, dan nondestruktif, membantu memodulasi
nyeri dan dapat digunakan berkali-kali sesuai kebutuhan. Mekanisme kerja
modalitas ini belum diketahui secara pasti diduga melalui modulasi proses nyeri
pada ganglion dorsalis, bagian dorsal medula spinalis, dan pada tingkat molekuler.
Pada penelitian RCT dengan 49 penderita PHN yang mendapatkan pentalaksanaan
pulsed radiofrequency pada serat ganglion dorsalis dengan suhu 42 ̊C selama 120
detik, menunjukkan efektivitas berupa penurunan derajat nyeri secara signifikan
pada terapi minggu keempat.2, 25
Stimulator medula spinalis merupakan alat yang terdiri dari komponen
penerima yang diimplan di bawah kulit dan elektrode yang diletakkan pada ruang
epidural di atas medulla spinalis. Stimulasi elektrik pada medula spinalis bagian
posterior mengaktivasi penghambatan nyeri supraspinal dan spinal.
Penelitian terhadap efektifitas peggunaan stimulator medulla spinalis,
mendapatkan hasil yang bervariasi.2

2.6.2.3. Agen terapi lainnya


Terapi laser dan transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
merupakan agen terapi lain yang digunakan pada penatalaksanaan PHN, namun

17
belum terdapat penelitian RCT yang membandingkan efektifitasnya dibandingkan
dengan plasebo.2 Jenis laser yang sering digunakan dalam penatalaksanaan nyeri
yaitu low-level laser therapy (LLLT) seperti Gallium Aluminium Arsenid
(GaA1As) yang memancarkan gelombang inframerah (820-830 nm) dengan daya
60 mW. Penelitian oleh Moore dkk menunjukkan penatalaksanaan PHN dengan
laser diode GaA1As (830 nm, 60 mW) diberikan dua kali seminggu selama 4
2
minggu menunjukkan pengurangan nyeri hingga 74% berdasarkan VAS. Salah
satu penelitian mengenai efikasi penggunaan TENS pada PHN menunjukkan 60%
penderita melaporkan adanya pengurangan nyeri setelah terapi TENS. Pada
penelitian tersebut dilakukan terapi TENS dengan meletakkan elektrode dekat
area dimana nyeri dirasakan paling berat, dengan frekwensi 70 Hz dan amplitudo
0,2 kemudian ditingkatkan secara perlahan hingga terjadi parestesia yang masih
dapat ditolerir namun tidak menyebabkan kontraksi atau fasikulasi. Terapi ini
dilakukan selama 20 menit dalam waktu 10 hari. Penelitian lainnya menunjukkan
efikasi pemberian terapi kombinasi farmakologi seperti pemberian pregabalin
300-600 mg/hari dengan TENS selama 4 minggu terapi pada PHN.2
Perkembangan Penatalaksanaan Neuralgia pascaherpetik Terdapat beberapa
penelitian yang menunjukkan efek analgesic dari antidepresan terbaru seperti
venlafaksin, bupropion, dan paroksetin. Efektivitas obat-obat golongan baru ini,
mungkin lebih rendah dibandingkan antidepresan trisiklik, namun dengan efek
samping yang lebih rendah. Agen lain yang sedang diteliti yaitu DM-1796
merupakan gabapentin dengan extended release dengan dosis satu kali perhari.
Agen ini diproduksi dengan tujuan mengurangi frekuensi dosis dan meminimalisir
efek samping obat.
Semenjak mendapat persetujuan dari FDA sebagai pengobatan neuralgia
paskaherpetik , dilakukan penelitian RCT tentang dosis terapi dan efek samping
obat ini pada pada penderita dengan repolarisasi jantung. 25

2.7. Pencegahan Neuralgia Pascaherpetik


Sekitar 40% hingga 50% penderita PHN masih mengalami nyeri walaupun
telah mendapat berbagai pengobatan. Oleh karena itu usaha pencegahan
timbulnya PHN merupakan langkah penting dalam mengurangi morbiditas

18
penderita. Pada pencegahan PHN dilakukan identifikasi kelompok yang berisiko
tinggi untuk menderita PHN dan pengobatan efektif pada infeksi herpes zoster.
Tindakan pencegahan PHN terutama dengan pemberian vaksin zoster, agen
antivirus, dan antidepresan trisiklik/tricyclic antidepressant (TCA).Pemberian
vaksin zoster diharapkan dapat meningkatkan sistem imunitas seluler terhadap
VZV, sehingga insiden dan derajat nyeri akut pada herpes zoster dan PHN dapat
diturunkan. Pada tahun 2011, FDA menyetujui penggunaan vaksin zoster pada
individu yang berusia 50 tahun atau lebih. Vaksin zoster disuntikkan 0,65 mililiter
secara subkutan. Daya proteksi vaksin ini diperkirakan hingga 5 tahun. Sedangkan
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2006
merekomendasikan pemberian vaksin VZV pada individu yang berusia lebih dari
60 tahun dan rekomendasi ini masih dipertahankan pada tahun 2014 .
Kontraindikasi pemberian vaksin VZV yaitu pada individu dengan keadaan
imunodefisiensi yang berat ( kanker hematologi, HIV dengan kadar CD4 ≤ 200 ),
pada penderita yang mendapat kemoterapi atau radioterapi akibat penyakit kanker
yang dialami, dan penderita yang mendapat terapi imunosupresan.26,27
Pencegahan PHN dengan pemberian antivirus (asiklovir, valasiklovir, dan
famsiklovir) dalam waktu tidak lebih dari 72 jam setelah timbulnya lesi herpes
zoster, berdasarkan pertimbangan pemberian antivirus ini mengurangi replikasi
virus, sehingga mengurangi derajat kerusakan saraf lebih lanjut.
Walaupun risiko PHN pada penderita herpes zoster yang mendapat terapi
antiviral menurun secara signifikan, pemberian antiviral tersebut, tidak mencegah
timbulnya PHN pada keseluruhan penderita herpes zoster. 26 Tindakan
pencegahan PHN lainnya yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut yaitu
pemberian kortikosteroid, blok saraf paravertebra, blok saraf simpatetik, dan dan
pemberian vitamin C dosis tinggi.2

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

19
Neuralgia pascaherpetik merupakan komplikasi neurologis dari herpes zoster
berupa nyeri neuropatik dimana nyeri yang timbul merupakan akibat langsung
dari keruskan saraf perifer yang terjadi saat serangan herpes zoster.3 Meskipun
beragam definisi yang digunakan oleh klinisi dan peneliti, hasil dari studi terkini
mengemukakan bahwa nyeri yang berhubungan dengan herpes zoster terdiri dari 3
fase yaitu fase akut neuralgia herpetik ( nyeri yang menyertai lesi kulit
berlangsung sampai 30 hari setelah onset lesi kulit ), fase subakut neuralgia
herpetik ( berlangsung 30 – 120 hari ) dan neuralgia pascaherpetik ( nyeri menetap
lebih dari 120 hari setelah lesi kulit).2 Definisi PHN yang diterima secara umum
yaitu nyeri dermatomal yang signifikan atau sensasi abnormal yang terjadi dalam
120 hari atau lebih dari timbulnya lesi awal herpes zoster dan nyeri secara klinis
yang relevan didefinisikan sebagai PHN, yaitu nyeri dengan Visual Analogue
Score ≥ 3.

DAFTAR PUSTAKA

1. Stephen ES, Michael NM, Kenneth ES. Varicella and Herpes Zoster. In : Wolff
K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Eds.

20
Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 7th Ed. New York: McGraw
Hill; 2008. p.1885-98.
2. Singh S, Gupta R, Kaur S, Kaur J. Post-herpetic neuralgia: A review of current
management strategies. Indian Journal of Pain. 2013; 27 (1): 12-21
3. Johnson RW, Rice ASC. Postherpetic Neuralgia. N Engl J Med.2014;1526-33.
Available at: http://www.nejm.org/Accessed : 2016, September 27th.
4. Nalamachu S.Forster PM. Diagnosing and Managing Postherpetic Neuralgia.
Drug Aging. 2012; 29: 863-869.
5. Jeon YH. Herpes zoster and Postherpetic Neuralgia : Practical Consideration for
Prevention and treatment. Korean J Pain. 2015; 28(3) : 177-184.
6. Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Data Pasien Rawat Jalan Poliklinik RSUP
Sanglah Tahun 2014-2015. RSUP Sanglah: 2015.
7. Truini A, Galeotti F. Pathophysiology of pain in post herpetic neuralgia: a
clinical and neurophysiological study. Pain. 2008; 140 (3): 405-10.
8. Oster G, Harding G, Dukes E, Edelsberg J ,Cleary PD. Medication use, and
health related quality of life in older persons with postherpetic neuralgia: results
from a population based survey. The Journal of Pain. 2005;6:356-363.
9. Dwornkin R, Gnann JW, Oaklander AL, Raja SN, Schmader KE, Whitley RJ.
Diagnosis and Assessment of pain associated with herpes zoster and postherpetic
neuralgia. The Journal of Pain. 2008; 9 (1): 37-44.
10. Thyregod HG, Rowbotham MC, Peters M, Possehn J, Berro M, Petersen KL.
Natural history of pain following herpes zoster. Pain. 2007; 128(1): 148-56.
11. Gharibo C, Carolyn Kim. Postherpetic Neuralgia : An Overview of the
Pathopysiology, Presentation and Management. Pain Medicine News. 2011: 1-7.
Available at: http://www.painmedicinenews.com /Accessed : 2016, September
27th
12. Cebula SR, Groninger H. Postherpetic Neuralgia #272. Journal of Palliative
Medicine. 2013; 16(9).
13. Gupta R, Smith PF. Post herpetic neuralgia. Continuing Education in Anesthesia,
Critical Care&Pain. 2012; 12(4): 181-5.
14. Johnson, R., McEllhaney, J. Postherpetic neuralgia in the elderly. Int J Clin
Pract . 2009; 63(9): 1386-91.
15. Chen J, Chang C., Lin Y, Hu M. Nutritional factors in herpes zoster, post herpetic
neuralgia, and zoster vaccination. Popul Health Manag. 2012; 15(6): 391-7.

21
16. Coplan PM, Schmader K., Nikas A, Chan IS, Choo P, Levin M, Et al.
Development of a Measure of the Burden of Pain Due to Herpes Zoster and
Postherpetic Neuralgia for Prevention Trials: Adaptation of the Brief Pain
Inventory. The Journal of Pain. 2004; 5 (6): 344-56.
17. Wu LC, Raja S. An update on the treatment of Post Herpetic Neuralgia. The
Journal of Pain. 2008; 9 (1): 19-30.
18. Rice, A, Maton S. Gabapentin in postherpetic neuralgia: A randomized, double
blind, placebo controlled trial. Pain. 2001; 94: 215-24.
19. Frampton J, Foster R. Pregabalin in the treatment of postherpetic neuralgia.
Drugs. 2005; 65: 111-8.
20. Panlilio L, Raja S. Current management of postherpetic nuralgia. Neurlogist.
2002; 8: 339-50.
21. Gilron I., Bailey J, Tu D, Holden R, Weaver D, Houlden, R. Morphine,
gabapentine, or their combination for neuropathic pain. N Engl J Med. 2003; 352:
1324-34.
22. Chen J, Chu S, So, E. Treatment of postherpetic neuralgia with intravenous
administration of vitamin C. Anesth Analg. 2006; 103:1616-1617.
23. Baron, R, Mayiral, V, Leijon G, Binder A., Steigerwald,I, Serpell M. Efficacy
and safety of 5% lidocaine medicated plaster in comparison with pregabalin in
patients with postherpetic neuralgia and diabetic polyneuropathy: Interm analysis
from an open label, two-stage adaptive, randomized, controled trial. Clin Drug
Investig. 2009; 29: 231-41.
24. Kim Y. Lee C, Lee S, Huh J, Nahm F, Kim H. Effect of pulsed radiofrequency
for postherpetic neuralgia. Acta Anaesthesiol Scand. 2008; 52: 1140-3.
25. Thomas BM, Smith PF. Gabapentin enacarbil extended release for the treatment
of postherpetic neuralgia in adults. Therapeutics and Clinical Risk
Management.2013; 9: 469-475.
26. Whitley RJ, Volpi A., McKendrick M, Wijck A, Oaklander A. Management of
herpes zoster and post-herpetic neuralgia now and in the future. Journal of
Clinical Virology. 2010; 48: 20-8.
27. Hales CM, Harpaz R, Sanchez IO, Bialek SR. Update on Recommendations for
Use of Herpes Zoster Vaccine. Morbidity and Mortality Weekly Report 2014;
63(33):729-731.

22

Anda mungkin juga menyukai