Oleh:
Pembimbing :
2021
REFERAT
1
ILMU PENYAKIT SARAF
Oleh :
Hari : Selasa
Pembimbing,
2
BAB I
PENDAHULUAN
salah satu komplikasi herpes zoster yang utama, berupa nyeri kronis (> 3
bulan) setelah gejala kulit pada Herpes Zoster membaik. Nyeri neuropatik
pada PHN sering dijumpai pada usia lanjut dan kondisi imunosupresi.
Insiden dan prevalen PHN adalah bervariasi. Pada studi klinis dan
menggunakan waktu 3 bulan setelah onset gejala kulit maka insiden sebesar
10-20 %. Faktor usia merupakan faktor resiko utama pada PHN. Data analisis
meningkat dari 8% pada usia 50-54 tahun sampai 80% pada usia 80-84 tahun.
keparahan gejala kulit, dan intensitas nyeri pada fase akut. Risiko juga
dan kondisi imunosupresi. Data dari register poliklinik kulit dan kelamin
RSUP Sanglah selama satu tahun (tahun 2015) menunjukkan insiden PHN
3
| 79 126 kasus herpes zoster yang ada. Sebanyak 75% dari penderita PHN
menuju saraf sensoris dan menimbulkan injuri pada saraf, sehingga timbul
alodinia dan nyeri dermatomal yang menetap walaupun lesi herpes zoster
telah menyembuh. Manifestasi klinis PHN meliputi nyeri yang konstan (nyeri
seperti berdenyut, sensasi seperti terbakar), nyeri yang hilang timbul (nyeri
seperti tertusuk), dan nyeri yang timbul oleh stimulus termasuk alodinia.
Penderita herpes zoster usia tua memiliki risiko yang lebih besar untuk
mengingat efek negatif yang ditimbulkan pada kualitas hidup penderita dan
yang agresif pada fase akut infeksi Herpes Zoster. Seperti pada kasus nyeri
4
kronis lainnya, pendekatan multimodalitas perlu dilakukan pada penderita
dengan PHN.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
zoster berupa nyeri neuropatik dimana nyeri yang timbul merupakan akibat
langsung dari keruskan saraf perifer yang terjadi saat serangan herpes zoster.
Meskipun beragam definisi yang digunakan oleh klinisi dan peneliti, hasil dari
zoster terdiri dari 3 fase yaitu fase akut neuralgia herpetik ( nyeri yang menyertai
lesi kulit berlangsung sampai 30 hari setelah onset lesi kulit ), fase subakut
( nyeri menetap lebih dari 120 hari setelah lesi kulit). Definisi PHN yang
diterima secara umum yaitu nyeri dermatomal yang signifikan atau sensasi
abnormal yang terjadi dalam 120 hari atau lebih dari timbulnya lesi awal herpes
zoster dan nyeri secara klinis yang relevan didefinisikan sebagai PHN, yaitu
B. FAKTOR PREDISPOSISI
Beberapa faktor yang diduga sebagai faktor predisposisi PHN antara lain usia
neuralgia herpetik akut yang berat, derajat keparahan herpes zoster , lokasi lesi
6
herpes zoster, penderita yang tidak mendapat terapi antivirus, status
berperan sebagai faktor predisposisi PHN, namun masih dalam metode dan
C. EPIDEMIOLOGI
Dalam survei yang dilakukan antara 1988 dan 1994 di AS, lebih dari 99%
orang dewasa berusia 40 tahun memiliki bukti serologis infeksi VZV sebelumnya
dan oleh karena itu berisiko mengembangkan HZ. Sekitar 1 juta kasus HZ terjadi
setiap tahun di AS, dan satu dari setiap tiga orang mengembangkan HZ selama
bertambahnya usia, terjadi pada 20% orang berusia 60-65 tahun yang memiliki
HZ akut, dan pada lebih dari 30% orang berusia> 80 tahun. Selain usia, faktor
ruam parah (didefinisikan sebagai >50 lesi: papula, vesikel, atau vesikel
berkrusta), dan nyeri hebat selama fase akut. Sebuah tinjauan sistematis baru-
baru ini dan meta-analisis juga mengidentifikasi keterlibatan mata sebagai faktor
7
D. PATOFISIOLOGI
yang terjadi pada infeksi herpes zoster. Apabila sistem pertahanan seluler berada di
bawah level kritis, maka terjadi reaktivasi dari virus variella zoster. Infeksi virus
varicella zoster mencangkup lesi pada kulit dan injuri pada saraf. Virus varicella
sensoris menyebabkan neuritis, dan virus yang keluar dari ujung saraf sensoris pada
kulit menyebabkan lesi kulit berupa vesikel yang berkelompok. Inflamasi pada saraf
aktivitas yang tidak dapat dihambat dan diamplifikasi pada serat saraf aferen primer
patogenesis PHN. Kerusakan saraf pada medula spinalis dan ganglion dorsalis hingga
dari PHN adalah injuri saraf baik mengenai saraf perifer maupun SSP. Kerusakan
saraf perifer dan SSP ini menyebabkan perubahan spontan pada saraf dan terjadi
penurunan ambang respon nyeri, sehingga terjadi respon nyeri yang disproporsional
terhadap stimuli yang secara normal tidak menimbulkan respon nyeri. Pada tingkat
chanels, gangguan pada potassium voltage-gated dan terjadi upregulasi reseptor yang
8
Perubahan ini berhubungan dengan nyeri yang timbul secara spontan maupun
akibat rangsangan, akibat menurunnya ambang respon nyeri terhadap potensial aksi.
non selektif dengan permeabilitas yang tinggi terhadap kalsium yang diekskresikan
pada ujung terminal serat saraf sensoris yang berdiameter kecil. Selanjutnya
penghambatan terhadap reseptor TRPVI dapat mencegah potensial aksi pada serat
a. Nosiseptor iritabel
yang timbul sebagai alodinia taktil, mekanis, dan termal yang berat dengan hilangnya
sensoris ringan. Nosiseptor serat C secara normal hanya dapat dirangsang oleh
stimulus yang berat, namun akibat perubahan seluler yang terjadi pada PHN,
potensial aksi, dan peningkatan penyebaran respon nyeri. Manifestasi klinis yang
tampak dari model fatofisiologi ini adalah timbulnya nyeri spontan dan alodinia.
9
medula spinalis kornu posterior. Pada deafferensiasi, serat saraf C sel saraf perifer
A-ß (serat dengan diameter besar yang berespon terhadap stimulus mekanis seperti
sentuhan atau tekanan). Pertumbuhan baru serat A-ß menyebabkan hubungan dengan
saluran spinotalamikus pada medula spinalis yang sebelumnya disinapsis oleh serat C
dorsalis akibat degenerasi serat saraf C dan akibat pertumbuhan baru serat saraf A-ß,
maka stimulus perifer berupa sentuhan atau tekanan akan tercampur sebagai nyeri
terjadi alodinia yang dimediasi oleh SSP. Penderita yang mengalami tipe nyeri
yang awalnya mengalami nyeri paling hebat. Hilangnya sensibilitas pada penderita
terutama terhadap perbedaan suhu namun dapat juga terjadi alodinia mekanis seperti
CNS oleh serat dorsalis medula spinalis. Pada tipe nyeri ini tidak terjadi alodinia
karena terjadi diskoneksi saraf aferen secara total. Pada pemeriksaan sensibilitas
10
Gambar 1. Sensitasi sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat pada PHN
(dikutip dari kepustakaan no 11)
E. MANIFESTASI KLINIS
Tanda khas dari haerpes zooster pada fase prodromal adalah nyeri dan
1. Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya
2. Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4
bulan,
3. Neuralgia post herpetik: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi
F. DIAGNOSIS BANDING
a. .Trigerminal neuralgia
nyeri wajah yang dapat terjadi secara berulang dan bersifat kronik
11
b. Herpes Simpleks
pada daerah orolabial atau herpes orolabialis serta daerah genital dan
G. DIAGNOSIS
diagnosis PHN. Dapat sebagai nyeri konstan berupa rasa panas, berdenyut;
sebagai nyeri intermiten termasuk rasa tertusuk, seperti tersetrum listrik atau
sebagai nyeri yang distimulus yang disebut allodinia (rasa nyeri timbul oleh
memperoleh riwayat medis yang terperinci dan termasuk gejala dan riwayat
dengan fokus pada kualifikasi rasa sakit dan dampaknya pada kehidupan
12
sehari-hari. Area yang sebelumnya terkena HZ mungkin menunjukkan bukti
jaringan parut kulit, dan tempat nyeri harus diperiksa untuk ruam, perubahan
berarti tidak didapatkan nyeri dan skala 10 berarti nyeri yang sangat berat
berdasarkan skala nyeri yang disebutkan sebelumnya. Dengan skala ini yang
relevan didefinisikan sebagai PHN, yaitu nyeri dengan Visual Analogue Score
≥ 3.
Inventory). Skala ZBPI disusun berdasarkan BPI (Brief Pain Inventory) untuk
mengukur derajat nyeri dengan kategori nyeri yang paling hebat, nyeri yang
paling ringan, nyeri rata-rata, nyeri yang dialami saat ini serta pengaruh nyeri
menikmati hidupnya. Dengan skala ini PHN didefinisikan nyeri dengan skore
H. PENATALAKSANAAN
13
Penatalaksanaan PHN mencangkup terapi farmakologi yang terdiri
dan lidokain patch 5% merupakan terapi lini pertama pada PHN, sedangkan
Kombinasi terapi lini pertama dengan lini kedua dapat digunakan untuk
penderita PHN.
14
Gambar 2. Protokol penatalaksanaan PHN
a. Terapi Farmakologi
pengobatan PHN.
diberikan mulai dosis 10-25 mg satu kali perhari, dan dosis dapat
timbul respon adekuat atau tercapai dosis maksimal 75-150 mg (tabel 2).
15
jantung, glaukoma, penderita dengan riwayat kejang, dan penggunaan
Pada penderita usia tua, pemberian TCA sebaiknya dimulai dari dosis
2. Anti epilepsi
α2ᵟ-1 yang tergantung pada aliran ion Ca2+ untuk menurunkan influks
glutamat menuju ujung terminal serat aferen primer pada medula spinalis.
mg/hari, mulai dari dosis 300 mg/hari pada hari pertama, kemudian dosis
16
lebih superior dengan dosis gabapentin yang lebih rendah, dibandingkan
dua kali sehari, dosis ditingkatkan hingga 150 mg dua kali sehari dalam
gabapentinoid diberikan dalam dosis yang lebih rendah sekitar 50% dari
dengan baik oleh penderita. Efek samping yang paling sering timbul yaitu
3. Analgesik opioid
terhadap kualitas hidup penderita, dan pada penderita ini telah mendapat
17
morfin yang diberikan dalam dosis 60 mg/ hari secara signifikan
namun pemberian agen ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Agen
dorsal medula spinalis (sensitasi perifer). Agen ini juga mampu menghambat
sentral).
sebagai analgesik dengan efek samping yang lebih ringan dibandingkan agen
farmakologi sistemik. Agen topikal sangat efektif pada penderita PHN dengan
18
alodinia termal atau mekanis. Agen topikal yang dibahas pada tinjauan
pustaka ini yaitu capsaicin, lidocaine patch 5%, NSAID topikal, dan beberapa
sediaan lainnya.
1. Capsaicin (trans-8-metil-N-vanilil-6-nonenamid)
rasa perih atau sensasi terbakar pada area ditempelkannya agen ini.
Disarankan menggunakan sarung tangan saat menempelkan agen ini, dan agar
2. Lidokain tempel 5%
yang mengalami nyeri paling hebat atau alodinia, maksimal tiga kali perhari,
19
Aspirin topikal dengan nama kimia triethanolamine salicylate, telah
20
Antidepres
an trisiklik
Amitripti 10-25 mg secara oral pada Gangguan tidur, pening
lin malam hari, dosis
Nortriptil ditingkatkan
in 25 mg setiap dua hingga 4
Imiprami minggu, hingga didapatkan
n respon yang adekuat atau
Despiram mencapai dosis maksimal 150
in mg perhari.
Opioi
d 10-40 mg @ 12 jam dititrasi
Oksikodo 5-50 mg @ 12 jam dititrasi
n Morfin 2,5 mg – 10 mg tiga
Metadon kali/hari 5-20 mcg/jam,
Buprenorf dititrasi
in 25 mcg/jam – 100 mcg/ jam
transderm 50 mg/hari, titrasi hingga
al dosis maksimal 400 mg/hari.
Fentanil
transdermal
Tramadol
21
Aplikasikan pada area yang
terasa nyeri setiap 4 Iritasi lokal pada kulit.
hingga 12 jam (sesuai
kebutuhan) Satu hingga
tiga sediaan
Gel lidokain 5% dapat
digunakan selama 12 jam
Aplikasikan pada area yang
Lidokain terkena setiap 6-
transdermal 5% 12 jam, sesuai
kebutuhan.
EMLA
yang berisiko tinggi untuk menderita PHN dan pengobatan efektif pada
seluler terhadap VZV, sehingga insiden dan derajat nyeri akut pada herpes
zoster dan PHN dapat diturunkan. Pada tahun 2011, FDA menyetujui
penggunaan vaksin zoster pada individu yang berusia 50 tahun atau lebih.
22
Vaksin zoster disuntikkan 0,65 mililiter secara subkutan. Daya
pemberian vaksin VZV pada individu yang berusia lebih dari 60 tahun dan
yang berat ( kanker hematologi, HIV dengan kadar CD4 ≤ 200 ), pada
dan famsiklovir) dalam waktu tidak lebih dari 72 jam setelah timbulnya lesi
Walaupun risiko PHN pada penderita herpes zoster yang mendapat terapi
J. KOMPLIKASI
23
Pada penderita usia lebih tua yang lebih suseptibel untuk menderita PHN,
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami komplikasi PHN. Efek
buruk PHN pada kualitas hidup penderita sebanding dengan yang disebabkan
oleh penyakit yang berat, atau kondisi psikologis yang serius. Neuralgia paska
K. PROGNOSIS
umumnya baik. Pada lesi yang menyerang organ internal terutama pada pasien
BAB III
KESIMPULAN
Neuralgia post herpetik adalah nyeri neuropatik yang menetap setelah onset
adanya menderita vericilla pada masa anak – anak . Ketika telah berumur tua,
terutama pada usia pada usia 50 tahun ke atas, atau dalam keadaan
24
imunokmpromise maka virus herpes ini akan mengalami reaktivasi.Manifestasi klinis
yang sering di jumpai adalah adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang
dapat disertai dengan rasa sakit ( disestesi), hiperestesia yang merupakan respon
cukup dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diangnosa penyakit ini sudah dapat
ditegakkan .Prognosis tidak buruk, pda umumnya dapat sembuh dengan terapi yang
teratur.
DAFTAR PUSTAKA
25
Marques R. Herpes simplex. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Leffel DJ,
Wolff K, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th ed.
New York: McGraw-Hill; 2012. p. 4444-68.
Johnson, R., McEllhaney, J. Postherpetic neuralgia in the elderly. Int J Clin Pract .
2009; 63(9): 1386-91.
Wu LC, Raja S. An update on the treatment of Post Herpetic Neuralgia. The Journal
of Pain. 2008; 9 (1): 19-30.
26
Hales CM, Harpaz R, Sanchez IO, Bialek SR. Update on Recommendations for Use
of Herpes Zoster Vaccine. Morbidity and Mortality Weekly Report 2014;
63(33):729-731.
27