Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

ILMU PENYAKIT SARAF

POST HERPETIK NEURALGIA

Oleh:

I Wayan Saputri 19710154


Kharisma Citra Pangestu 19710110
Mira mei Sudarwati 19710139

Pembimbing :

dr. Estu Nila Widuri, Sp. S

RUMAH SAKIT UMUM DR.WAHIDIN SUDIROHUSODO


MOJOKERTO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
WIJAYA KUSUMA SURABAYA

2021

REFERAT

1
ILMU PENYAKIT SARAF

POST HERPETIK NEURALGIA

Diajukan Untuk Salah Satu Syarat Guna


Mengikuti Ujian Dokter Muda

Oleh :

I Wayan Saputri 19710154


Kharisma Citra Pangestu 19710110
Mira mei Sudarwati 19710139

Telah disetujui dan disahkan pada:

Hari : Selasa

Tanggal : 15 Juni 2021

Pembimbing,

dr. Estu Nila Widuri, Sp. S

2
BAB I

PENDAHULUAN

Neuralgia pascaherpetik atau postherpetic neuralgia (PHN) merupakan

salah satu komplikasi herpes zoster yang utama, berupa nyeri kronis (> 3

bulan) setelah gejala kulit pada Herpes Zoster membaik. Nyeri neuropatik

pada PHN sering dijumpai pada usia lanjut dan kondisi imunosupresi.

Insiden dan prevalen PHN adalah bervariasi. Pada studi klinis dan

komunitas, insiden PHN adalah 8% - 15% tergantung dari definisi yang

digunakan. Satu studi menyebutkan insiden 10 %-34%. Jika definisi

menggunakan waktu 3 bulan setelah onset gejala kulit maka insiden sebesar

10-20 %. Faktor usia merupakan faktor resiko utama pada PHN. Data analisis

dari United Kingdom General Practice Research Data menunjukkan insiden

meningkat dari 8% pada usia 50-54 tahun sampai 80% pada usia 80-84 tahun.

Faktor risiko lain adalah tingkat keparahan gejala prodromal, tingkat

keparahan gejala kulit, dan intensitas nyeri pada fase akut. Risiko juga

meningkat pada kondisi penyakit kronis seperti gangguan pernafasan, diabetes

dan kondisi imunosupresi. Data dari register poliklinik kulit dan kelamin

RSUP Sanglah selama satu tahun (tahun 2015) menunjukkan insiden PHN

mencapai 21 kasus (16,6%) dari National Symposium Tropical Skin Infection

3
| 79 126 kasus herpes zoster yang ada. Sebanyak 75% dari penderita PHN

tersebut berusia lebih dari 60 tahun.

Patofisiologi neuralgia pascaherpetik dapat dijelaskan sebagai

kelanjutan dari patofisiologi herpes zoster yaitu akibat menurunnya sistem

imunitas seluler terjadi reaktivasi virus, selanjutnya terjadi migrasi virus

menuju saraf sensoris dan menimbulkan injuri pada saraf, sehingga timbul

alodinia dan nyeri dermatomal yang menetap walaupun lesi herpes zoster

telah menyembuh. Manifestasi klinis PHN meliputi nyeri yang konstan (nyeri

seperti berdenyut, sensasi seperti terbakar), nyeri yang hilang timbul (nyeri

seperti tertusuk), dan nyeri yang timbul oleh stimulus termasuk alodinia.

Nyeri pada PHN dapat menyebabkan gangguan tidur, depresi, anoreksia,

penurunan berat badan, chronic fatigue, dan terkucilnya penderita dari

lingkungan sosial, yang akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup penderita.

Penderita herpes zoster usia tua memiliki risiko yang lebih besar untuk

menderita PHN, seiring dengan menurunnya sistem imunitas seluler.

Pada penelitian yang berbasis populasi di Italia menyimpulkan bahwa

PHN dan herpes zoster merupakan penyakit yang patut diperhitungkan

mengingat efek negatif yang ditimbulkan pada kualitas hidup penderita dan

dampak dari segi ekonomi. Fakta di atas meningkatkan kebutuhan klinisi

untuk memahami lebih lanjut mengenai penatalaksanaan PHN.

Penatalaksanaan PHN meliputi pencegahan infeksi inisial dan pengobatan

yang agresif pada fase akut infeksi Herpes Zoster. Seperti pada kasus nyeri

4
kronis lainnya, pendekatan multimodalitas perlu dilakukan pada penderita

dengan PHN.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Neuralgia pascaherpetik merupakan komplikasi neurologis dari herpes

zoster berupa nyeri neuropatik dimana nyeri yang timbul merupakan akibat

langsung dari keruskan saraf perifer yang terjadi saat serangan herpes zoster.

Meskipun beragam definisi yang digunakan oleh klinisi dan peneliti, hasil dari

studi terkini mengemukakan bahwa nyeri yang berhubungan dengan herpes

zoster terdiri dari 3 fase yaitu fase akut neuralgia herpetik ( nyeri yang menyertai

lesi kulit berlangsung sampai 30 hari setelah onset lesi kulit ), fase subakut

neuralgia herpetik ( berlangsung 30 – 120 hari ) dan neuralgia pascaherpetik

( nyeri menetap lebih dari 120 hari setelah lesi kulit). Definisi PHN yang

diterima secara umum yaitu nyeri dermatomal yang signifikan atau sensasi

abnormal yang terjadi dalam 120 hari atau lebih dari timbulnya lesi awal herpes

zoster dan nyeri secara klinis yang relevan didefinisikan sebagai PHN, yaitu

nyeri dengan Visual Analogue Score ≥ 3.

B. FAKTOR PREDISPOSISI

Beberapa faktor yang diduga sebagai faktor predisposisi PHN antara lain usia

lanjut, keadaan imunosupresi, gejala prodromal pada infeksi herpes zoster,

neuralgia herpetik akut yang berat, derajat keparahan herpes zoster , lokasi lesi

6
herpes zoster, penderita yang tidak mendapat terapi antivirus, status

imunokompromais, jenis kelamin wanita. Beberapa faktor seperti , kebiasaan

merokok, faktor psikologis, defisiensi micronutrient dalam beberapa penelitian

berperan sebagai faktor predisposisi PHN, namun masih dalam metode dan

sampel penelitian yang terbatas.

C. EPIDEMIOLOGI

Dalam survei yang dilakukan antara 1988 dan 1994 di AS, lebih dari 99%

orang dewasa berusia 40 tahun memiliki bukti serologis infeksi VZV sebelumnya

dan oleh karena itu berisiko mengembangkan HZ. Sekitar 1 juta kasus HZ terjadi

setiap tahun di AS, dan satu dari setiap tiga orang mengembangkan HZ selama

hidup mereka. Diperkirakan bahwa 5% 20% dari mereka dengan HZ terus

mengembangkan PHN. Frekuensi dan tingkat keparahan PHN meningkat dengan

bertambahnya usia, terjadi pada 20% orang berusia 60-65 tahun yang memiliki

HZ akut, dan pada lebih dari 30% orang berusia> 80 tahun. Selain usia, faktor

risiko untuk mengembangkan PHN setelah HZ termasuk adanya prodrome

(didefinisikan sebagai nyeri dan/atau sensasi abnormal sebelum onset ruam),

ruam parah (didefinisikan sebagai >50 lesi: papula, vesikel, atau vesikel

berkrusta), dan nyeri hebat selama fase akut. Sebuah tinjauan sistematis baru-

baru ini dan meta-analisis juga mengidentifikasi keterlibatan mata sebagai faktor

risiko. Faktor risiko tambahan yang mungkin termasuk lupus eritematosus

sistemik, diabetes, dan trauma baru-baru ini. Pasien immunocompromised berada

pada peningkatan risiko reaktivasi VZV serta komplikasi neurologis.

7
D. PATOFISIOLOGI

Secara umum, patofisiologi terjadinya PHN merupakan kelanjutan dari proses

yang terjadi pada infeksi herpes zoster. Apabila sistem pertahanan seluler berada di

bawah level kritis, maka terjadi reaktivasi dari virus variella zoster. Infeksi virus

varicella zoster mencangkup lesi pada kulit dan injuri pada saraf. Virus varicella

zoster yang bermultiplikasi selanjutnya menyebar secara antidromikal menuju saraf

sensoris menyebabkan neuritis, dan virus yang keluar dari ujung saraf sensoris pada

kulit menyebabkan lesi kulit berupa vesikel yang berkelompok. Inflamasi pada saraf

perifer ini menyebabkan demeilinisasi, degenerasi Wallerian dan fibrosis. Selanjutnya

aktivitas yang tidak dapat dihambat dan diamplifikasi pada serat saraf aferen primer

ini menimbulkan nyeri pada PHN.

Terdapat beberapa mekanisme yang berbeda namun bersifat overlapping dalam

patogenesis PHN. Kerusakan saraf pada medula spinalis dan ganglion dorsalis hingga

saraf perifer merupakan mekanisme penting dalam patogenesis PHN.Patofisiologi

dari PHN adalah injuri saraf baik mengenai saraf perifer maupun SSP. Kerusakan

saraf perifer dan SSP ini menyebabkan perubahan spontan pada saraf dan terjadi

penurunan ambang respon nyeri, sehingga terjadi respon nyeri yang disproporsional

terhadap stimuli yang secara normal tidak menimbulkan respon nyeri. Pada tingkat

seluler, bukti menunjukkan peningkatan proporsi subtipe voltage-gated sodium

chanels, gangguan pada potassium voltage-gated dan terjadi upregulasi reseptor yang

berhubungan dengan nyeri seperti transient receptor potential vanilloid 1 (TRPVI).

8
Perubahan ini berhubungan dengan nyeri yang timbul secara spontan maupun

akibat rangsangan, akibat menurunnya ambang respon nyeri terhadap potensial aksi.

Transient receptor potential vanilloid I|(TRPVI) diketahui sebagai calcium channel

non selektif dengan permeabilitas yang tinggi terhadap kalsium yang diekskresikan

pada ujung terminal serat saraf sensoris yang berdiameter kecil. Selanjutnya

penghambatan terhadap reseptor TRPVI dapat mencegah potensial aksi pada serat

saraf perifer yang menimbulkan transmisi nyeri.

Neuralgia pascaherpetik dapat dibedakan dalam tiga kelompok berdasarkan

perbedaan patofisiologi yang mendasarinya, yaitu:

a. Nosiseptor iritabel

b. Deafferentation (kerusakan koneksi serat saraf aferen) dengan alodinia

c. Deafferentation tanpa alodinia

Nosiseptor iritabel pada PHN berhubungan dengan aktivitas serat saraf C,

yang timbul sebagai alodinia taktil, mekanis, dan termal yang berat dengan hilangnya

sensoris ringan. Nosiseptor serat C secara normal hanya dapat dirangsang oleh

stimulus yang berat, namun akibat perubahan seluler yang terjadi pada PHN,

nosiseptor serat C akan tersensitasi, menurunnya respon ambang nyeri terhadap

potensial aksi, dan peningkatan penyebaran respon nyeri. Manifestasi klinis yang

tampak dari model fatofisiologi ini adalah timbulnya nyeri spontan dan alodinia.

Model deafferentation berhubungan dengan alodinia dan hilangnya sensoris

pada dermatom yang terkena. Deafferentation perifer menyebabkan reorganisasi

9
medula spinalis kornu posterior. Pada deafferensiasi, serat saraf C sel saraf perifer

yang tersensitasi akan berkurang jumlahnya, menyebabkan pertumbuhan baru serat

A-ß (serat dengan diameter besar yang berespon terhadap stimulus mekanis seperti

sentuhan atau tekanan). Pertumbuhan baru serat A-ß menyebabkan hubungan dengan

saluran spinotalamikus pada medula spinalis yang sebelumnya disinapsis oleh serat C

untuk mentransmisikan nyeri.

Pada proses deafferentation ini terjadi reorganisasi medula spinalis bagian

dorsalis akibat degenerasi serat saraf C dan akibat pertumbuhan baru serat saraf A-ß,

maka stimulus perifer berupa sentuhan atau tekanan akan tercampur sebagai nyeri

yang ditransmisikan melalui saluran spinotalamikus pada medula spinalis, sehingga

terjadi alodinia yang dimediasi oleh SSP. Penderita yang mengalami tipe nyeri

deafferentation dengan alodinia sering mengeluhkan hilangnya sensibilitas pada area

yang awalnya mengalami nyeri paling hebat. Hilangnya sensibilitas pada penderita

terutama terhadap perbedaan suhu namun dapat juga terjadi alodinia mekanis seperti

nyeri saat menggosok gigi.

Terakhir tipe nyeri deafferentation tanpa alodinia diduga disebabkan sensitasi

CNS oleh serat dorsalis medula spinalis. Pada tipe nyeri ini tidak terjadi alodinia

karena terjadi diskoneksi saraf aferen secara total. Pada pemeriksaan sensibilitas

kuantitatif menunjukkan terutama hiperagelsia.

10
Gambar 1. Sensitasi sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat pada PHN
(dikutip dari kepustakaan no 11)

E. MANIFESTASI KLINIS

Tanda khas dari haerpes zooster pada fase prodromal adalah nyeri dan

parasthesia pada daerah dermatom yang terkena. Dworkin membagi neuralgia

post herpetik ke dalam tiga fase:

1. Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya

berlangsung < 4 minggu,

2. Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4

bulan,

3. Neuralgia post herpetik: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi

kulit atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster.

F. DIAGNOSIS BANDING

a. .Trigerminal neuralgia

Neuralgia trigeminal atau Tic Douloreux merupakan sindrom

nyeri wajah yang dapat terjadi secara berulang dan bersifat kronik

dimana nyeri umumnya bersifat unilateral mengikuti distribusi

sensorik dari nervus kranialis V (nervus trigeminus) dan sering diikuti

oleh spasme wajah atau fenomena tic (kontraksi spasmodik berulang

dari otot) pada wajah.

11
b. Herpes Simpleks

Infeksi Herpes simpleks virus (HSV) dapat berupa kelainan

pada daerah orolabial atau herpes orolabialis serta daerah genital dan

sekitarnya atau herpes genitalis, dengan gejala khas berupa adanya

vesikel berkelompok di atas dasar makulaeritematosa.1 Herpes

simpleks genitalis merupakan salah satu Infeksi Menular Seksual

(IMS) yang paling sering menjadi masalah karena sukar disembuhkan,

sering berulang (rekuren), juga karena penularan penyakit ini dapat

terjadi pada seseorang tanpa gejala atau asimtomatis.

G. DIAGNOSIS

Riwayat HZ dan sifat nyeri merupakan parameter penting dari

diagnosis PHN. Dapat sebagai nyeri konstan berupa rasa panas, berdenyut;

sebagai nyeri intermiten termasuk rasa tertusuk, seperti tersetrum listrik atau

sebagai nyeri yang distimulus yang disebut allodinia (rasa nyeri timbul oleh

stimulus yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan nyeri, seperti

hembusan angin, sentuhan ringan dari pakaian). Dengan demikian,

memperoleh riwayat medis yang terperinci dan termasuk gejala dan riwayat

vaksinasi sangat penting, seperti melakukan pemeriksaan fisik yang cermat

dengan fokus pada kualifikasi rasa sakit dan dampaknya pada kehidupan

12
sehari-hari. Area yang sebelumnya terkena HZ mungkin menunjukkan bukti

jaringan parut kulit, dan tempat nyeri harus diperiksa untuk ruam, perubahan

warna, dan edema.

Berdasarkan Visual Analogue Score, intensitas nyeri pada PHN

dikategorikan berdasarkan skala numerik dengan nilai 0 hingga 10. Skala 0

berarti tidak didapatkan nyeri dan skala 10 berarti nyeri yang sangat berat

sehingga tidak terbayangkan. Pada penggunaan skala ini, penderita diberikan

kesempatan untuk menggambarkan nyeri yang dialaminya sepanjang hari

berdasarkan skala nyeri yang disebutkan sebelumnya. Dengan skala ini yang

relevan didefinisikan sebagai PHN, yaitu nyeri dengan Visual Analogue Score

≥ 3.

Intensitas nyeri yang berhubungan dengan PHN juga dapat

dikategorikan berdasarkan skala menggunakan ZBPI (Zoster Brief Pain

Inventory). Skala ZBPI disusun berdasarkan BPI (Brief Pain Inventory) untuk

mengukur derajat nyeri dengan kategori nyeri yang paling hebat, nyeri yang

paling ringan, nyeri rata-rata, nyeri yang dialami saat ini serta pengaruh nyeri

pada aktivitas sehari-hari, suasana hati, kemampuan untuk berjalan, bekerja,

hubungan sosial penderita, kualitas tidur penderita dan bagaimana penderita

menikmati hidupnya. Dengan skala ini PHN didefinisikan nyeri dengan skore

≤ 3 selama 3 bulan atau lebih setelah onset lesi kulit.

H. PENATALAKSANAAN

13
Penatalaksanaan PHN mencangkup terapi farmakologi yang terdiri

dari obat-obat sistemik, obat topikal, selanjutnya intervensi psikologis, dan

intervensi bedah. Secara umum protokol yang digunakan pada

penatalaksanaan PHN dapat dilihat pada gambar 2. Penggunaan gabapentin

dan lidokain patch 5% merupakan terapi lini pertama pada PHN, sedangkan

terapi lini kedua yaitu opioid dengan TCAs (triyclicantidepressant).

Kombinasi terapi lini pertama dengan lini kedua dapat digunakan untuk

meningkatkan efek analgesik dan mencapai peningkatan kualitas hidup

penderita PHN.

Namun demikian, kombinasi terapi ini dilakukan dengan mempertimbangkan

beberapa faktor seperti kondisi penderita, derajat nyeri, respon terhadap

terapi, pilihan penderita dan modalitas terapi yang ada.

Neuralgia Pasca Herpetikum

Terapi farmokologi Terapi intervensi

Gabapentin +/- Lidokain


5% Terapi konseling
psikologis, TENS dan
akupuntur
Opioid + TCA

Nyeri PHN yang refrakter

14
Gambar 2. Protokol penatalaksanaan PHN

a. Terapi Farmakologi

Terdapat beberapa agen terapi farnakologi yang digunakan dalam

pengobatan PHN.

Terapi farmakologi sistemik

1. Antidepresan trisiklik/ Tricyclic Antidepressant (TCA) Antidepresan

trisiklik sering digunakan secara luas sebagai pengobatan pada beberapa

nyeri neuropati, termasuk PHN. Terdapat beberapa mekanisme kerja dari

TCA yaitu dengan menghambat reuptake dari serotonin dan norepinefrin,

sebagai blokade jalur natrium sehingga berfungsi sebagai anestesi lokal.

Pada penelitianmeta-nalisis yang meneliti penggunaan amitriptilin,

nortriptilin dan desipramin, menunjukkan ketiga agen TCA tersebut secara

signifikan berfungsi sebagai analgesik dalam pengobatan PHN. Dari

penelitian-penelitian tersebut juga menunjukkan amitriptilin memiliki

efektivitas yang sama dengan nortriptilin. Umumnya despiramin memiliki

efek samping yang lebih ditolerir dibandingkan amitriptilin terutama pada

penderita usia tua.

Dalam pengobatan PHN, amitriptilin, nortriptilin atau despiramin

diberikan mulai dosis 10-25 mg satu kali perhari, dan dosis dapat

ditingkatkan secara perlahan setiap dua hingga empat minggu hingga

timbul respon adekuat atau tercapai dosis maksimal 75-150 mg (tabel 2).

Kontraindikasi pemberian TCA yaitu pada penderita dengan penyakit

15
jantung, glaukoma, penderita dengan riwayat kejang, dan penggunaan

bersama tramadol. Efek samping yang dapat timbul seperti sedasi,

kekeringan pada mulut, penurunan daya pengelihatan, peningkatan berat

badan, retensi urin, konstipasi dan disfungsi seksual.

Pada penderita usia tua, pemberian TCA sebaiknya dimulai dari dosis

rendah (10 mg) kemudian ditingkatkan secara perlahan. Disarankan

melakukan pemeriksaan elektrokardiografi pada penderita usia lanjut yang

akan mendapat pengobatan TCA.

2. Anti epilepsi

Antiepilepsi yang sering digunakan sebagai pengobatan PHN yaitu

gabapentin dan pregabalin. Mekanisme kerja gabapentin sebagai analgesik

belum diketahui secara pasti, diduga gabapentin bekerja sebagai subunit

α2ᵟ-1 yang tergantung pada aliran ion Ca2+ untuk menurunkan influks

kalsium, sehingga menghambat pelepasan neurotransmiter seperti

glutamat menuju ujung terminal serat aferen primer pada medula spinalis.

Beberapa penelitian RCT dan meta-analisis menunjukkan efikasi


18
gabapentin sebagai analgesik pada pengobatan PHN. Suatu tinjauan

sistematis merekomendasikan pemberian gabapentin dengan dosis 900

mg/hari, mulai dari dosis 300 mg/hari pada hari pertama, kemudian dosis

ditingkatkan 300 mg/hari hingga tercapai dosis 900 mg/hari. Dosis

ditingkatkan hingga 1800 mg/hari dalam waktu 2 minggu (tabel 2).

Gabapentin yang diberikan bersama opioid dapat menjadi analgesik yang

16
lebih superior dengan dosis gabapentin yang lebih rendah, dibandingkan

hanya dengan pemberian gabapentin.

Gabapentinoid golongan lebih baru, yaitu pregabalin memiliki efek

analgesik dengan mekanisme kerja yang hampir sama dengan gabapentin.

Walaupun dosis optimal pregabalin belum dapat ditentukan, penderita

dapat merasakan penurunan derajat nyeri pada dosis pertama pregabalin

diberikan, dan dosis pregabalin yang fleksibel ataupun menetap

tampaknya efektif pada penderita PHN.

Pregabalin diberikan dalam dosis 50 mg tiga kali sehari atau 75 mg

dua kali sehari, dosis ditingkatkan hingga 150 mg dua kali sehari dalam

waktu satu minggu. Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal,

gabapentinoid diberikan dalam dosis yang lebih rendah sekitar 50% dari

dosis biasanya. Secara umum pemberian gabapentinoid dapat ditoleransi

dengan baik oleh penderita. Efek samping yang paling sering timbul yaitu

somnolen, pening, edema perifer, kelelahan, sakit kepala, ataksia dan

kekeringan pada mulut.

3. Analgesik opioid

Penggunaan opioid dipertimbangkan bila penderita PHN mengalami

nyeri derajat menengah hingga berat yang berefek secara signifikan

terhadap kualitas hidup penderita, dan pada penderita ini telah mendapat

berbagai modalitas terapi, namun belum mendapatkan hasil yang

memuaskan. Penelitian RCT double blind lainnya mendapatkan manfaat

17
morfin yang diberikan dalam dosis 60 mg/ hari secara signifikan

mengurangi nyeri, disabilitas, dan alodinia.

Terapi opioid diawali dengan penggunaan agen yang bersifat short

acting oksikodon saja atau dikombinasi dengan nonstreroidal anti-

inflamatory drugs (NSAID) dalam dosis yang ekuivalen dengan

pemberian morfin sulfat intraoral. Setelah satu hingga dua minggu,

dilakukan konversi ke dosis ekuivalen dari opioid yang bersifat long

acting seperti controlled-release morphine, controlled-release oksikodon,

transdermal fentanil, levorfanol dan metadon hidroklorida.

b. Terapi sistemik lainnya

Beberapa agen terapi sistemik pernah diberikan pada penderita PHN,

namun pemberian agen ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Agen

tersebut seperti antagonis N-metil-D-aspartat, vitamin C intravena dan

ketamin. Mekanisme kerja N-metil-D- aspartat diperkirakan dengan

menghambat interaksi input nosiseptif dengan reseptor NMDA pada bagian

dorsal medula spinalis (sensitasi perifer). Agen ini juga mampu menghambat

alodinia, nyeri yang peristen akibat resistensi terhadap opioid(sensitasi

sentral).

c. Terapi farmakologi topikal

Aplikasi farmakologi topikal pada PHN lebih dipilih karena potensi

sebagai analgesik dengan efek samping yang lebih ringan dibandingkan agen

farmakologi sistemik. Agen topikal sangat efektif pada penderita PHN dengan

18
alodinia termal atau mekanis. Agen topikal yang dibahas pada tinjauan

pustaka ini yaitu capsaicin, lidocaine patch 5%, NSAID topikal, dan beberapa

sediaan lainnya.

1. Capsaicin (trans-8-metil-N-vanilil-6-nonenamid)

Capsaicin bersifat agonis selektif kuat terhadap reseptor transien yaitu

potential vanilloid 1 receptor (TRPV1). Setelah paparan capsaicin reseptor

kutaneus menjadi kurang sensitif terhadap berbagai stimulus dan efek

capsaicin ini secara garis besar disebut sebagai “desensitasi”. Capsaicin

memicu perubahan pada nosiseptor kutaneus yang bersifat reversibel dan

fungsi nosiseptor kutaneus ini.

kembali normal (diditeksi sensasi noxius) dalam beberapa minggu

pada orang normal. Efek samping penggunaan capsaicin adalah timbulnya

rasa perih atau sensasi terbakar pada area ditempelkannya agen ini.

Disarankan menggunakan sarung tangan saat menempelkan agen ini, dan agar

menghindari kontak dengan mata dan mukosa. Terdapat 3 sediaan konsentrasi

capsaicin yang telah diteliti dan digunakan dalam pengobatan PHN.

2. Lidokain tempel 5%

Pada pengobatan PHN, lidokain tempel 5% diaplikasikan pada area

yang mengalami nyeri paling hebat atau alodinia, maksimal tiga kali perhari,

dengan waktu tempel maksimal selama 12 jam.

3. Agen topikal lainnya

19
Aspirin topikal dengan nama kimia triethanolamine salicylate, telah

digunakan oleh beberpa peneliti sebagai pengobatan PHN.

Tabel 1. Pilihan Terapi dengan Agen Farmakologi Sistemik (dikutip dari


kepustakaan no. 2)
Agen Sistemik Dosis Efek Samping
 Antiepile
psi 100-300 peroral pada malam Edema perifer ringan,
Gabapentin hari, dosis ditingkatkan 100- gangguan kognitif, somnolen,
300 mg setiap tiga hari kelemahan,
hingga tercapai dosis 300-900 pening, ataksia
mg tiga kali perhari atau
didapatkan respon yang
adekuat.
Pregabalin 75 mg peroral dua kali sehari,
dosis ditingkatkan hingga 150
mg dua kali sehari

20
 Antidepres
an trisiklik
Amitripti 10-25 mg secara oral pada Gangguan tidur, pening
lin malam hari, dosis
Nortriptil ditingkatkan
in 25 mg setiap dua hingga 4
Imiprami minggu, hingga didapatkan
n respon yang adekuat atau
Despiram mencapai dosis maksimal 150
in mg perhari.
 Opioi
d 10-40 mg @ 12 jam dititrasi
Oksikodo 5-50 mg @ 12 jam dititrasi
n Morfin 2,5 mg – 10 mg tiga
Metadon kali/hari 5-20 mcg/jam,
Buprenorf dititrasi
in 25 mcg/jam – 100 mcg/ jam
transderm 50 mg/hari, titrasi hingga
al dosis maksimal 400 mg/hari.
Fentanil
transdermal
Tramadol

Tabel 2. Pilihan Terapi dengan Agen Farmakologi Topikal (dikutip dari


kepustakaan no. 2)
Agen Topikal Dosis Efek Samping
 Capsaicin Eritema lokal, dan rasa
0,025% Ditempelkan pada area yang tidak
Capsaicin terasa nyeri 3-5 kali perhari. nyaman.
0,075% Ditempelkan sekali selama
60 menit, setelah
pretreatment dengan krim
Capsaicin 8% lidokain dan dapat diulang
setiap tiga bulan.

21
Aplikasikan pada area yang
terasa nyeri setiap 4 Iritasi lokal pada kulit.
hingga 12 jam (sesuai
kebutuhan) Satu hingga
tiga sediaan
 Gel lidokain 5% dapat
digunakan selama 12 jam
Aplikasikan pada area yang
Lidokain terkena setiap 6-
transdermal 5% 12 jam, sesuai
kebutuhan.

EMLA

I. Pencegahan Neuralgia Pascaherpetik

Sekitar 40% hingga 50% penderita PHN masih mengalami nyeri

walaupun telah mendapat berbagai pengobatan. Oleh karena itu usaha

pencegahan timbulnya PHN merupakan langkah penting dalam mengurangi

morbiditas penderita. Pada pencegahan PHN dilakukan identifikasi kelompok

yang berisiko tinggi untuk menderita PHN dan pengobatan efektif pada

infeksi herpes zoster.

Tindakan pencegahan PHN terutama dengan pemberian vaksin zoster,

agen antivirus, dan antidepresan trisiklik/tricyclic antidepressant (TCA).

Pemberian vaksin zoster diharapkan dapat meningkatkan sistem imunitas

seluler terhadap VZV, sehingga insiden dan derajat nyeri akut pada herpes

zoster dan PHN dapat diturunkan. Pada tahun 2011, FDA menyetujui

penggunaan vaksin zoster pada individu yang berusia 50 tahun atau lebih.

22
Vaksin zoster disuntikkan 0,65 mililiter secara subkutan. Daya

proteksi vaksin ini diperkirakan hingga 5 tahun. Sedangkan Centers for

Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2006 merekomendasikan

pemberian vaksin VZV pada individu yang berusia lebih dari 60 tahun dan

rekomendasi ini masih dipertahankan pada tahun 2014 . Kontraindikasi

pemberian vaksin VZV yaitu pada individu dengan keadaan imunodefisiensi

yang berat ( kanker hematologi, HIV dengan kadar CD4 ≤ 200 ), pada

penderita yang mendapat kemoterapi atau radioterapi akibat penyakit kanker

yang dialami, dan penderita yang mendapat terapi imunosupresan.

Pencegahan PHN dengan pemberian antivirus (asiklovir, valasiklovir,

dan famsiklovir) dalam waktu tidak lebih dari 72 jam setelah timbulnya lesi

herpes zoster, berdasarkan pertimbangan pemberian antivirus ini mengurangi

replikasi virus, sehingga mengurangi derajat kerusakan saraf lebih lanjut.

Walaupun risiko PHN pada penderita herpes zoster yang mendapat terapi

antiviral menurun secara signifikan, pemberian antiviral tersebut, tidak

mencegah timbulnya PHN pada keseluruhan penderita herpes zoster.

Tindakan pencegahan PHN lainnya yang masih memerlukan penelitian lebih

lanjut yaitu pemberian kortikosteroid, blok saraf paravertebra, blok saraf

simpatetik, dan dan pemberian vitamin C dosis tinggi.

J. KOMPLIKASI

Neuralgia pasca herpetik seperti nyeri kronis lainnya pada akhirnya

dapat mengganggu kesehatan dan menurunkan kualitas hidup penderitanya.

23
Pada penderita usia lebih tua yang lebih suseptibel untuk menderita PHN,

memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami komplikasi PHN. Efek

buruk PHN pada kualitas hidup penderita sebanding dengan yang disebabkan

oleh penyakit yang berat, atau kondisi psikologis yang serius. Neuralgia paska

herpetik dapat berpengaruh secara signifikan pada banyak aspek kehidupan

penderita, dan menyebabkan seperti timbulnya kelemahan, anoreksia,

kecemasan, penurunan berat badan, insomnia, depresi, kesulitan

berkonsenterasi, dan gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti

untuk mandi dan melakukan pekerjaan rumah tangga.

K. PROGNOSIS

Prognosis pada pasien dengan usia lebih muda dan imunokompeten

umumnya baik. Pada lesi yang menyerang organ internal terutama pada pasien

yang sedang kemoterapi maka mortalitas mencapai 30%.

BAB III

KESIMPULAN

Neuralgia post herpetik adalah nyeri neuropatik yang menetap setelah onset

ruam ( atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster).Biasanya didahului oleh

adanya menderita vericilla pada masa anak – anak . Ketika telah berumur tua,

terutama pada usia pada usia 50 tahun ke atas, atau dalam keadaan

24
imunokmpromise maka virus herpes ini akan mengalami reaktivasi.Manifestasi klinis

yang sering di jumpai adalah adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang

dapat disertai dengan rasa sakit ( disestesi), hiperestesia yang merupakan respon

nyeri yang berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri terkena / tersetrum

listrik.Penatalaksanaan penyakit ini dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan

nonfarmakologi. Pemeriksaan penunjang pada penyakit ini tidak terlalu berarti,

cukup dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diangnosa penyakit ini sudah dapat

ditegakkan .Prognosis tidak buruk, pda umumnya dapat sembuh dengan terapi yang

teratur.

DAFTAR PUSTAKA

Singh S, Gupta R, Kaur S, Kaur J. Post-herpetic neuralgia: Pathophysiology,complications,


A review of current management strategies. Indian Journal of Pain. 2013; 27 (1):
83-85
Theresa M, Brett S, Jeannine M. 2016. Postherpetic neuralgia: epidemiology,
pathophysiology, and pain management pharmacology. Journal of
Multidisciplinary Healthcare. 447–454

25
Marques R. Herpes simplex. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Leffel DJ,
Wolff K, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th ed.
New York: McGraw-Hill; 2012. p. 4444-68.

Srivastava, Rahul et al. Diagnostic criteria and management of trigeminal neuralgia:


A review. Asian Pac. J. Health Sci., 2015; 2(1): 108-118

Cebula SR, Groninger H. Postherpetic Neuralgia #272. Journal of Palliative


Medicine.
2013; 16(9).

Gupta R, Smith PF. Post herpetic neuralgia. Continuing Education in Anesthesia,


Critical Care&Pain. 2012; 12(4): 181-5.

Johnson, R., McEllhaney, J. Postherpetic neuralgia in the elderly. Int J Clin Pract .
2009; 63(9): 1386-91.

Martin. Ilmiah : NEURALGIA PASKA HERPETIKA. 2008. [on


line]http://www.perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?option=com_conten
&view=section&id=7 layout=blog&Itemid=63 ? 92k ?

Sra, MD and S. K. Tyring, MD, PhD, MBA. TREATMENT OF POSTHERPETIC


NEURALGIA. USA : 2008; (29) [online] http:// Skin Therapy Letter .com

Wu LC, Raja S. An update on the treatment of Post Herpetic Neuralgia. The Journal
of Pain. 2008; 9 (1): 19-30.

Singh S, Gupta R, Kaur S, Kaur J. Post-herpetic neuralgia: A review of current


management strategies. Indian Journal of Pain. 2013; 27 (1): 12-21

Rice, A, Maton S. Gabapentin in postherpetic neuralgia: A randomized, double blind,


placebo controlled trial. Pain. 2001; 94: 215-24.

Whitley RJ, Volpi A., McKendrick M, Wijck A, Oaklander A. Management of herpes


zoster and post-herpetic neuralgia now and in the future. Journal of Clinical
Virology. 2010; 48: 20-8.

26
Hales CM, Harpaz R, Sanchez IO, Bialek SR. Update on Recommendations for Use
of Herpes Zoster Vaccine. Morbidity and Mortality Weekly Report 2014;
63(33):729-731.

27

Anda mungkin juga menyukai