Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

ILMU KESEHATAN ANAK

HIPERBILIRUBINEMIA

Oleh:

Mira Mei Sudarwati 19710139

Pembimbing :
dr. Yunika Nurtyas, Sp.A

RUMAH SAKIT UMUM DR.WAHIDIN SUDIROHUSODO


MOJOKERTO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
WIJAYA KUSUMA SURABAYA

2021
LAPORAN KASUS
ILMU KESEHATAN ANAK

HIPERBILIRUBINEMIA

Diajukan Untuk Salah Satu Syarat Guna


Mengikuti Ujian Dokter Muda

Oleh:

Mira Mei Sudarwati 19710139

Pembimbing :
dr. Yunika Nurtyas, Sp.A

ii
Daftar Isi
Halaman
Judul …...…………………………………………………………........ i
Halaman Persetujuan...............................................................................ii
Daftar Isi..................................................................................................iii
BAB I
LAPORAN KASUS
1.1 Identitas Pasien .....................................................................1
1.2 Anamnesa..............................................................................1
1.3 Pemeriksaan Fisik.................................................................2
1.4 Hasil Pemeriksaan Penunjang...............................................3
1.5 Diagnosis...............................................................................3
1.6 Planning.................................................................................3
1.7 Follow Up..............................................................................3
1.10 Diagnosa akhir......................................................................5
1.11Prognosa................................................................................6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................7
BAB III
KESIMPULAN ......................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................23

iii
BAB I

DATA PASIEN

1.1 Identitas Pasien

 Nama : By Ny. S

 Umur : 7 hari

 Jenis kelamin : Laki-laki

 Agama : Islam

 Suku : Jawa

 Alamat : Jl. Pulorejo V no. 14 Prajurit Kulon, Mojokerto

 Tanggal pemeriksaan : 04 Januari 2021

1.2 Anamnesa Pasien

1. Keluhan Utama : Kuning

2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke poliklinik anak pada hari

Senin 04 Januari 2021 dengan keluhan kuning sejak usia 3 hari. Kuning

terlihat dari wajah sampai perut. Pasien minum ASI.

3. Riwayat Imunisasi Dasar : Hepatitis B

4. Riwayat Penyakit Ibu : DM

5. Riwayat Kelahiran : Pasien lahir secara caesar di RSU dr. Wahidin

Sudiro Husodo, umur kehamilan cukup bulan (38/39 minggu), berat badan

lahir 5900gram, Panjang badan 55cm, lingkar kepala 37cm.

6. Riwayat Masuk Rumah Sakit : Pasien dirawat di perinatal setelah

dilahirkan dengan asfiksia sedang.

1
1.3 Pemeriksaan Fisik

 Keadaan umum : Cukup

 Berat Badan Lahir : 5900 gram

 Berat Badan Sekarang : 5100 gram

 Panjang Badan : 55 cm

 Lingkar Kepala : 37 cm

 Vital Sign :

HR : 145 x/menit

Suhu : 36,7 °C

RR : 48 x/menit

 Kepala Leher : Bentuk Kepala Normosefal

a/i/c/d : -/+/-/-

Ubun-ubun besar terbuka, wajah dan leher tampak kuning

 Thorax : Cor : S1S2 tunggal regular

Pulmo : Gerak napas simetris, retraksi dinding dada

(-), fremitus raba simetris (+/+), sonor

(+/+) ,ves +/+, Ronkhi -/-, whe -/-

 Abdomen : Inspeksi : tampak kuning (Kramer III)

Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal

Palpasi : Supel

Perkusi : Timpani

 Ekstremitas : Inspeksi : Tidak terdapat edema

Palpasi : Akral hangat , CRT < 2detik

2
1.4 Pemeriksaan Penunjang

INDIKATOR HASIL NILAI NORMAL

Bilirubin Total 15.60 <12.6 mg/dL

Bilirubin Direk 0.30 <0.2 mg/dL

Kimia Darah

Hematologi

Golongan darah O
Rhesus Positif

1.5 Kurva Lubencho

Berat badan menurut usia kehamilan dapat digolongkan sebagai berikut :

a. Kecil Masa Kehamilan (KMK) yaitu jika bayi lahir dengan BB

dibawah persentil ke 10.

b. Sesuai Masa Kehamilan (SMK) yaitu jika bayi lahir dengan BB

diantara persentil ke-10 dan ke-90.

c. Besar Masa Kehamilan (BMK) yaitu jika bayi lahir dengan BB

diatas persentil ke-90 pada kurva lubencho.

3
1.6 Pedoman Fototerapi

1.7 Diagnosis

4
 Diagnosis Kerja : Neonatus Aterm/Besar Masa Kehamilan +

Hiperbilirubinemia

1.6 Planning

Planning Planning terapi Planning Planning monitoring


diagnosis tindakan
- Bilirubin - Fototerapi 2×24 MRS TTV
Total jam Klinis
- Bilirubin - Urdafalk 3×50
direk mg
- ASI ad libitum

1.7 Follow Up

 Selasa, 05-01-21

S O A P
- Masih KU: cukup Neonatus - Fototerapi 2×24 jam
tampak kuning Vital Sign: Aterm/Besar Masa - Urdafalk 3×50 mg
di wajah, leher, RR : 45 x/mnt Kehamilan + - ASI ad libitum
sampai perut Nadi : 130x/menit Hiperbilirubinemia
bawah Suhu : 36.7 °C
Kramer III
K/L : A - /I+/C -/D-
Thorax
 Cor : S1S2 TR
g (-) m (-)
 Pulmo:
ves (+/+)
rho (-/-)
whe (-/-)
 Abd : BU
(+),supel (+)
timpani (+)
Ektremitas
 Akral hangat (+)
 Edem (-)
 CRT < 2dtk (+)

5
 Rabu, 06-01-21

S O A P
- Kuning KU: cukup Neonatus - Fototerapai 2×24 jam
berkurang, Vital Sign: Aterm/Besar Masa - Oral Urdofak 3×50
hanya tampak di RR : 46x/mnt Kehamilan + mg
wajah dan leher Nadi : 146x/menit Hiperbilirubinemi - ASI ad libidum
Suhu : 36,6 °C a
Kramer I
K/L : A - /I +/C -/D-
Thorax
 Cor : S1S2 TR
g(-) m (-)
 Pulmo:
ves (+/+)
rho (-/-)
whe (-/-)
 Abd : BU
(+),supel(+)
timpani (+)
Ektremitas
 Akral hangat (+)
 Edem (-)
 CRT <2dtk (+)
Lab
 Bilirubin Total :
9 mg/dL

1.6 Diagnosa akhir

Diagnosa : Neonatus Aterm/Besar Masa Kehamilan + Hiperbilirubinemia

1.7 Prognosa

Dubia ad bonam

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

HIPERBILIRUBINEMIA

A. DEFINISI

Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai peningkatan kadar bilirubin

serum total ≥5 mg/dL (86 µmol/L). Ikterus atau jaundice merupakan warna

kuning pada kulit, konjungtiva, dan mukosa akibat penumpukan bilirubin tak

terkonjugasi pada jaringan. Ikterus pada neonatus akan terlihat bila kadar

bilirubin serum >5 mg/dL (Naomi & Rizalya, 2011).

B. EPIDEMIOLOGI

Kasus hiperbilirubinemia pada neonates merupakan masalah yang

sering dijumpai, terutama satu minggu pertama kehidupan. Di Amerika

Serikat, sekitar 65% bayi mengalami ikterus. Penelitian yang dilakukan

Chime dkk di Nigeria tahun 2011 didapatkan prevalensi ikterus neonatorum

33% dengan 21% lelaki dan 12% perempuan. Di Indonesia, insiden ikterus

pada bayi cukup bulan di beberapa Rumah Sakit (RS) Pendidikan, antara lain,

RSCM, RS. Dr Sardjito, RS Dr. Soetomo, RS. Dr. Kariadi bervariasi antara

13,7 hingga 85%.1 Berdasarkan data registrasi Neonatologi bulan Desember

2014 sampai November 2015, di antara 1093 kasus neonatus yang dirawat,

didapatkan 165 (15,09%) kasus dengan ikterus neonatorum.

7
C. ETIOLOGI
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat

disebabkan oleh beberapa faktok. Secara garis besar, penyebab ikterus

neonatorum dapat dibagi menjadi :

1. Produksi yang berlebihan

Pada ikterus fisiologis biasanya disebabkan karena volume eritrosit

yang meningkat, usia eritrosit yang menurun, meningkatnya siklus

enterohepatik. Pada ikterus patologis terjadi oleh karena hemolisis

yang meningkat seperti pada inkompatibilitas golongan darah sistem

ABO, inkomptabilitias rhesus, defek pada membran sel darah merah

(Hereditary spherocytosis, elliptocytosis, pyropoikilocytosis,

stomatocytosis), defesiensi berbagai enzim (defisiensi enzim Glucose-

6-phosphate dehydrogenase (G6PD), defesiensi enzim piruvat kinase,

dan lainnya), hemoglobinopati (pada talasemia). Keadaan lain yang

dapat meningkatkan produksi bilirubin adalah sepsis, Disseminated

Intravascular Coagulation (DIC), ekstravasasi darah (hematoma,

perdarahan tertutup), polisitemia, bayi dengan ibu diabetes (Mishra

dkk., 2007).

2. Gangguan pada prose uptake dan konjugasi hepar

Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya

substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat

asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil

transferase (Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi

protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin

ke sel hepar (Mishra dkk., 2007).

8
3. Gangguan pada transportasi

Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke

hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat

misalnya salisilat, sulfanamid. Defisiensi albumin menyebabkan lebih

banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang

mudah melekat ke sel otak (Bryon dan Nancy, 2011).

4. Gangguan pada ekskresi

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di

luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan

bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan

hepar oleh penyebab lain (Mishra dkk., 2007).

D. PATOFISIOLOGI

Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk

akhir dari katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi.

Pada langkah pertama oksidasi, biliverdin terbentuk dari heme melalui kerja

heme oksigenase, dan terjadi pelepasan besi dan karbon monoksida. Besi

dapat digunakan kembali, sedangkan karbon monoksida diekskresikan melalui

paru-paru. Biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi bilirubin yang

hampir tidak larut dalam air dalam bentuk isomerik (oleh karena ikatan

hidrogen intramolekul). Bilirubin tak terkonjugasi yang hidrofobik diangkut

dalam plasma, terikat erat pada albumin. Bila terjadi gangguan pada ikatan

bilirubin tak terkonjugasi dengan albumin baik oleh faktor endogen maupun

eksogen (misalnya obatobatan), bilirubin yang bebas dapat melewati membran

9
yang mengandung lemak (double lipid layer), termasuk penghalang darah

otak, yang dapat mengarah ke neurotoksisitas (Sukadi, 2010).

Gambar 2.1 Pembentukan Bilirubin

Bilirubin yang mencapai hati akan diangkut ke dalam hepatosit,

dimana bilirubin terikat ke ligandin. Masuknya bilirubin ke hepatosit akan

meningkat sejalan dengan terjadinya peningkatan konsentrasi ligandin.

Konsentrasi ligandin ditemukan rendah pada saat lahir namun akan meningkat

pesat selama beberapa minggu kehidupan (Sukadi, 2010).

Bilirubin terikat menjadi asam glukuronat di retikulum endoplasmik

retikulum melalui reaksi yang dikatalisis oleh uridin difosfoglukuronil

transferase (UDPGT). Konjugasi bilirubin mengubah molekul bilirubin yang

tidak larut air menjadi molekul yang larut air. Setelah diekskresikan kedalam

empedu dan masuk ke usus, bilirubin direduksi dan menjadi tetrapirol yang

tak berwarna oleh mikroba di usus besar. Sebagian dekonjugasi terjadi di

10
dalam usus kecil proksimal melalui kerja B-glukuronidase. Bilirubin tak

terkonjugasi ini dapat diabsorbsi kembali dan masuk ke dalam sirkulasi

sehingga meningkatkan bilirubin plasma total. Siklus absorbsi, konjugasi,

ekskresi, dekonjugasi, dan reabsorbsi ini disebut sirkulasi enterohepatik.

Proses ini berlangsung sangat panjang pada neonatus, oleh karena asupan gizi

yang terbatas pada hari-hari pertama kehidupan (Sukadi, 2010).

E. KLASIFIKASI
Terdapat dua jenis hiperbilirubinemia, yaitu hiperbilirubinemia fisiologis dan

hiperbilirubinemia patologis :

1. Hiperbilirubinemia Fisiologis

Kadar bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated bilirubin, UCB)

pada neonatus cukup bulan dapat mencapai 6-8 mg/dL pada usia 3 hari,

setelah itu berangsur turun. Pada bayi prematur, awitan ikterus terjadi

lebih dini, kadar bilirubin naik perlahan tetapi dengan kadar puncak lebih

tinggi, serta memerlukan waktu lebih lama untuk menghilang, mencapai 2

minggu. Kadar bilirubin pada neonatus prematur dapat mencapai 10-12

mg/dL pada hari ke-5 dan masih dapat naik menjadi >15 mg/dL tanpa

adanya kelainan tertentu. Kadar bilirubin akan mencapai <2mg/dL setelah

usia 1 bulan, baik pada bayi cukup bulan maupun premature (Naomi &

Rizalya, 2011).

2. Hiperbilirubinemia Patologis

Hiperbilirubinemia patologis atau biasa disebut dengan ikterus

pada bayi baru lahir akan muncul dalam 24 jam pertama setelah bayi

dilahirkan. Pada hiperbilirubinemia patologis kadar serum bilirubin total

11
akan meningkat lebih dari 5 mg/dL per hari. Pada bayi cukup bulan, kadar

serum bilirubin akan meningkat sebanyak 12 mg/dL sedangkan pada bayi

kurang bulan (premature) kadar serum bilirubin total akan meningkat

hingga 15 mg/dL. Ikterus biasanya berlangsung kurang lebih satu minggu

pada bayi cukup bulan dan lebih dari dua minggu pada bayi kurang bulan.

Keadaan klinis bayi tidak baik seperti muntah, letargis, malas menetek,

penurunan berat badan yang cepat, suhu tubuh yang tidak stabil, apnea

(Martin dan Cloherty, 2007).

F. FAKTOR RESIKO
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dapat disebabkan atau

diperberat oleh faktor yang menambah beban metabolisme bilirubin oleh

hati (anemia hemolitik, waktu hidup sel darah menjadi pendek akibat

imaturitas atau akibat sel yang ditransfusikan, penambahan sirkulasi

interohepatik, dan infeksi), dapat mengurangi aktivitas enzim transferase

(hipoksia, infeksi, kemungkinan hipotermi dan defisiensi tiroid) dapat

berkompetisi atau memblokade enzim transferase (obat-obat dan bahan-

bahan lain yang memerlukan konjugasi asam glukuronat untuk ekskresi)

atau dapat menyebabkan tidak adanya atau berkurangnya jumlah enzim

yang diambil atau menyebabkan pengurangan reduksi bilirubin oleh sel

hepar (cacat genetik dan prematuritas) (Suchy, 2001).

Risiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak

terkonjugasi dalam serum menjadi bertambah dengan adanya faktor-faktor

yang mengurangi retensi bilirubin dalam sirkulasi (hipoproteinemia,

perpindahan bilirubin dari tempat ikatannya pada albumin karena ikatan

kompetitif obat-obatan, seperti sulfisoksazole dan moksalaktam, asidosis,

12
kenaikan sekunder kadar asam lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan

atau hipotermia) atau oleh faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas

sawar darah otak atau membran sel saraf terhadap bilirubin atau

kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya, seperti asfiksia, prematuritas,

hiperosmolalitas dan infeksi. Mekonium mengandung 1 mg bilirubin/dl

dan dapat turut menyebabkan ikterus melalui sirkulasi enterohepatik pasca

konjugasi oleh glukoronidase usus. Obat-obat seperti oksitosin dan bahan

kimia yang dalam ruang perawatan seperti detergen fenol dapat juga

menyebabkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi (Omer, dkk., 2010).

G. DIAGNOSIS
1. Anamnesis

a. Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis,

defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD) .

b. Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan

galaktosemia, deifisiensi alfa-1-antiripsin, tirosinosis,

hipermetioninemia, penyakit Gilbert, sindrom Crigler-Najjar tipe 1

dan II, atau fibrosis kistik .

c. Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada

kemungkinan inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk

jaundice.

d. Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan

infeksi virus atau toksoplasma.

e. Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi

menggeser ikatan bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau

13
mengakibatkan hemolisis pada bayi dengan defisiensi G6PD

(sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria).

f. Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan

perdarahan atau hemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami

hiperbilirubinemia yang disebabkan ketidakmampuan hati

memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan intrakranial.

Keterlambatan klem tali pusat dapat menyebabkan polisitemia

neonatal dan peningkatan bilirubin.

g. Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan

hiperbilirubinemia direk berkepanjangan.

h. Pemberian air susu ibu (ASI).

Harus dibedakan antara breast-milk jaundice dan breastfeeding

jaundice.

1) Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh

kekurangan asupan ASI. Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3

pada waktu produksi ASI belum banyak. Untuk neonatus cukup bulan

sesuai masa kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah), hal ini tidak

perlu dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan lemak coklat,

glikogen, dan cairan yang dapat mempertahankan metabolisme selama

72 jam. Walaupun demikian keadaan ini dapat memicu terjadinya

hiperbilirubinemia, yang disebabkan peningkatan sirkulasi

enterohepatik akibat kurangnya asupan ASI. Ikterus pada bayi ini tidak

selalu disebabkan oleh breastfeeding jaundice, karena dapat saja

merupakan hiperbilirubinemia fisiologis.

14
2) Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu

(ASI). Insidens pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian

besar bayi, kadar bilirubin turun pada hari ke-4, tetapi pada breast-milk

jaundice, bilirubin terus naik, bahkan dapat mencapai 20-30 mg/dL

pada usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan turun secara

drastis dalam 48 jam. Bila ASI diberikan kembali, maka bilirubin akan

kembali naik tetapi umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Bayi

menunjukkan pertambahan berat badan yang baik, fungsi hati normal,

dan tidak terdapat bukti hemolisis. Breast-milk jaundice dapat

berulang (70%) pada kehamilan berikutnya. Mekanisme sesungguhnya

yang menyebabkan breast-milk jaundice belum diketahui, tetapi

diduga timbul akibat terhambatnya uridine diphosphoglucuronic acid

glucuronyl transferase (UDGPA) oleh hasil metabolisme progesteron,

yaitu pregnane-3-alpha 2-beta-diol yang ada di dalam ASI sebagian

ibu (Naomi & Rizalya, 2011).

2. Pemeriksaan Fisik

Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar

matahari. Bayi baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin

serumnya kira-kira 6 mg/dl atau 100 mikro mol/L(1 mg mg/dl = 17,1

mikro mol/L). Salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL

secara klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut

Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-

tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,dada, lutut dan

lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning

15
(Sukadi, 2010). Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat

tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar

bilirubinnya, sebagaimana berikut :

Gambar 2.2 Metode Kramer

Krame Keterangan Rata-rata bilirubin serum (mg/dl)

r
I Kepala-Leher 5,0
II Badan atas (diatas umbilicus) 9,0
III Perut (dibawah umbilicus)-lutut 11,4
IV Ekstremitas atas dan ekstremitas bawah 12,4
V Telapak tangan dan telapak kaki 16,0
Tabel 2.1 Metode Kramer

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Bilirubin serum total. Bilirubin serum direk dianjurkan untuk

diperiksa bila ikterus menetap sampai usia >2 minggu atau

dicurigai adanya kolestasis.

16
b. Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk

melihat morfologi eritrosit dan ada tidaknya hemolisis. Bila

fasilitas tersedia, lengkapi dengan hitung retikulosit.

c. Golongan darah, Rhesus, dan direct Coombs’ test dari ibu dan bayi

untuk mencari penyakit hemolitik. Bayi dari ibu dengan Rhesus

negatif harus menjalani pemeriksaan golongan darah, Rhesus, dan

direct Coombs’ test segera setelah lahir.

d. Kadar enzim G6PD pada eritrosit.

e. Pada ikterus yang berkepanjangan, lakukan uji fungsi hati,

pemeriksaan urin untuk mencari infeksi saluran kemih, serta

pemeriksaan untuk mencari infeksi kongenital, sepsis, defek

metabolik, atau hipotiroid (Naomi & Rizalya, 2011).

H. PENATALAKSANAAN
1. Fototerapi dan Transfusi Tukar

Fototerapi dapat digunakan tunggal atau dikombinasi dengan

transfusi pengganti untuk menurunkan bilirubin. Sebagai patokan yang

digunakan adalah kadar bilirubin total. Fototerapi intensif dilakukan

apabila kadar bilirubin total berada di atas garis kelompok risiko sesuai

dengan usia kehamilan. Faktor risiko termasuk isoimmune hemolytic

disease, defesiensi G6PD, asfiksia, letargi, suhu tubuh yang tidak

stabil, sepsis, asidosis, kadar albumin < 3 gr/dL (American Academy

of Pediatrics, 2004).

Fototerapi memiliki komplikasi yaitu:

17
a) Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan mengakibatkan

peningkatan Insensible Water Loss (penguapan cairan). Pada BBLR

kehilangan cairan dapat meningkat 2-3 kali lebih besar.

b) Frekuensi defekasi meningkat sebagai akibat meningkatnya bilirubin

indirek dalam cairan empedu dan meningkatkan peristaltic usus.

c) Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar

(berupa kulit kemerahan) tetapi akan hilang jika fototerapi selesai.

d) Gangguan pada retina jika mata tidak ditutup.

e) Kenaikan suhu akibat sinar lampu, jika hal ini terjadi sebagian lampu

dimatikan, tetapi diteruskan dan jika suhu terus naik, lampu semua

dimatikan sementara, dan berikan ekstra minum kepada bayi.

Gambar 2.4. Panduan Fototerapi Pada Bayi

18
Darah bayi dikeluarkan (biasanya dua kali volume, yaitu 2x80

ml/kg) dan diganti dengan darah yang ditranfusikan. Tranfusi tukar dapat

mengeluarkan bilirubin dan antibody, serta mengkoreksi anemia.

Komplikasi : thrombosis, embolus, kelebihan atau kekurangan cairan,

kelainan metabolic, infeksi, kelainan koagulasi (Lissauer, 2013).

Tranfusi tukar dilakukan pada keadaan hiperbilirubinemia yang

tidak dapat diatasi dengan tindakan fototerapi selama 2x24 jam. Indikasi

untuk melakukan tranfusi tukar adalah kadar bilirubin lebih dari 20

mg/dl, kenaikan kadar bilirubin indirek cepat, yaitu 0,3-1 mg/jam,

anemia berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung, dan hasil

pemeriksaan uji comb positif. Efek samping tranfusi tukar adalah

hipokalsemia, hipomagnesia, hipoglikemia, gangguan kardiovaskuler,

perdarahan, dan infeksi (Pratama, 2013).

Tabel 2.2. Rekomendasi AAP dalam hiperbilirubinemia pada neonatus


sehat dan cukup bulan.

Usia Dianjurkan Diharuskan Tranfusi Tranfusi Tukar


(Jam) Terapi Sinar Terapi Sinar Tukar dan Terapi
Sinar
25-48 >12 mg/gl >15 mg/dl >20 mg/dl >25 mg/dl
(200 μmol/L) (250 μmol/L) (340 μmol/L) (425 μmol/L)
49-72 >15 mg/dl >18 mg/dl >25 mg/fl >30 mg/dl
(250 μmol/L) (300 μmol/L) (425 μmol/L) (510 μmol/L)
>72 >17 mg/dl >20 mg/dl >25 mg/dl >30 mg/dl
(290 μmol/L) (340 μmol/L) (425 μmol/L) (>510 μmol/L)

Tabel 2.3. Petunjuk Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia Berdasarkan


Berat Badan Dan Bayi Baru Lahir Yang Relative Sehat. (Kosin dkk,
2012).

19
Kadar Bilirubin Total Serum (mg/dl)

Sehat Sakit
Berat Badan Fototerapi Transfusi Fototerapi Transfusi
tukar tukar
Kurang bulan
<1000 gr 5-7 Bervariasi 4-6 Bervariasi
1001-1500 gr 7-10 Bervariasi 6-8 Bervariasi
1501-2000 gr 10-12 Bervariasi 8-10 Bervariasi
2001-2500 gr 12-15 Bervariasi 10-12 Bervariasi
Cukup bulan
>2500 gr 15-18 20-25 12-15 18-20

2. Terapi Medikamentosa

Akhir-akhir ini obat yang sering untuk terapi suportif adalah

ursodeoxycholic acid (UDCA). Ursodeoxycholic acid (3α, 7β-

dihidroksi-5β-cholanic acid) merupakan asam empedu yang terbentuk

secara alami, secara normal terdapat pada 1-2% asam empedu

manusia. Ursodeoxycholic acid berfungsi untuk melindungi sel-sel hati

dari kerusakan atau kematian sel, menstimulasi aliran cairan empedu,

menekan fungsi hati dalam pembentukan kolesterol dan juga dapat

membantu mempercepat pengembalian kadar bilirubin total ke dalam

kadar yang normal dengan menjalani fototerapi (Naser et all, 2016).

20
I. KOMPLIKASI

Kadar bilirubin indirek yang sangat tinggi dapat menembus sawar

otak dan sel-sel otak, hal ini dapat menyebabkan terjadinya disfungsi saraf

bahkan kematian. Mekanisme dan faktor-faktor yang mempengaruhi

terjadinya disfungsi saraf ini masih belum jelas. Bilirubin ensefalopati

adalah manifestasi klinis yang timbul akibat efek toksik bilirubin pada

sistem saraf pusat yaitu basal ganglia dan pada beberapa nuklei batang

otak (Omer, dkk., 2010). Kern ikterus adalah perubahan neuropatologi

yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak

terutama di ganglia basalis, pons dan serebelum. Akut bilirubin

ensefalopati terdiri dari 3 fase yaitu:

a. Fase Inisial: ditandai dengan letargis, hipotonik, berkurangnya

Gerakan bayi dan reflek hisap buruk.

b. Fase Intermediate: tanda-tanda kardinal fase ini adalah moderate

stupor, iritabilitas dan peningkatan tonus (retrocollis dan

opisthotonus). Demam muncul selama fase ini.

c. Fase Lanjut: ditandai dengan stupor yang dalam atau koma,

peningkatan tonus, tidak mampu makan, high-pitch cry dan kadang

kejang.

Manifestasi klinis kernikterus: pada tahap kronis bilirubin

ensefalopati, bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa

bentuk athetoid cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran, paralisis

21
upward gaze dan displasia dentalenamel (American Academy of

Pediatrics, 2004).

J. PENCEGAHAN
1) Setiap bayi baru lahir harus dievaluasi terhadap kemungkinan

mengalami hiperbilirubinemia berat. Evaluasi ini dapat dilakukan

dengan 2 cara, yaitu dengan memeriksa kadar bilirubin serum total

atau pengkajian terhadap faktor risiko secara klinis. Dengan

memeriksa bilirubin serum total dan memplot hasilnya pada

nomogram, kita dapat mengetahui apakah bayi berada pada zona risiko

rendah, menengah, atau tinggi untuk terjadinya hiperbilirubinemia

berat. Studi terbaru menyatakan bahwa kombinasi kadar bilirubin

sebelum dipulangkan dan usia gestasi merupakan prediktor terbaik

untuk terjadinya hiperbilirubinemia berat.

2) Saat ini tersedia alat noninvasif untuk memperkirakan kadar bilirubin

pada kulit dan jaringan subkutan, yaitu transcutaneus bilirubinometer.

Hasil yang didapat akan berbeda dari kadar bilirubin serum total,

karena bilirubin yang diukur bukan bilirubin dalam serum, melainkan

bilirubin yang terdeposisi pada jaringan. Belum ada studi yang

mempelajari apakah bilirubin serum atau bilirubin kulit yang lebih

akurat untuk menggambarkan deposisi bilirubin pada susunan saraf

pusat. Hasil pemeriksaan transcutaneus bilirubinometer dipengaruhi

oleh usia gestasi, keadaan sakit, edema, dan pigmentasi kulit.

Penggunaan kadar bilirubin transkutan membutuhkan nomogram

tersendiri.

22
3) Setiap ibu hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah dan

faktor Rhesus (Naomi & Rizalya, 2011).

BAB III

KESIMPULAN

Pasien datang ke poliklinik anak pada hari Senin 04 Januari 2021 dengan

keluhan kuning sejak usia 3 hari. Kuning terlihat dari wajah sampai perut. Pasien

pernah dirawat di ruang perinatal RSU dr. Wahidin Sudiro Husodo dengan

asfiksia sedang setelah dilahirkan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan

umum cukup, Berat Badan Lahir 5000gram, Berat Badan Sekarang 5100gram,

Panjang badan 55cm dan Lingkar kepala 37cm. Vital sign Nadi, Suhu dan HR

dalam batas normal. Terdapat ikterus dengan kuning terlihat sampai perut atau

Kramer III. Didapatkan Bilirubin Total dan Bilirubin Direk meningkat (BT: 15.60

mg/dL, BD: 0.30 mg.dL) pada pemeriksaan kimia darah.

Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik (Kramer) dan hasil pemeriksaan

Bilirubin yang menunjukkan peningkatan maka diagnosis kerja yang dapat dibuat

adalah Neonatus Aterm/Besar Masa Kehamilan dengan Hiperbilirubinemia.

Selama pasien di rawat diruang perinatal RSU dr. Wahidin Sudiro Husodo

dilakukan penatalaksanaan dengan fototerapi 2×24 jam, Urdafalk oral dan ASI ad

libitum. Setelah dilakukan perawatan dan terapi, pasien mengalami perbaikan

kondisi yaitu kuning sudah berkurang (Kramer I) dan pemeriksaan Bilirubin

terakhir sudah mengalami penurunan. Prognosis pada pasien yaitu dubia ad

bonam.

23
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics. 2004. Management of hyperbilirubinemia in


the newborn infant. 35 weeks of gestation. Clinical Practice Guideline,
Subcommittee an Hyperbilirubinemia. Pediatrics.

Bryon, J., Nancy, D. 2011. Hyperbilirubinemia in the Newborn. Pediatrics in


Review Vol.23 No.8.

Chime G, Egenede J, Arute J. 2011. Prevalence of Neonatal Jaundice on Central


Hospital, Warri, Delta State, Nigeria. Int J Health Res.

Lissauer, Avroy. 2013. Selayang Neonatalogi . edisi kedua. Jakarta.

Martin CR, Cloherty JP. 2007. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Stark AR (eds). Manual of neonatal care. Edisi ke 6.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.

Mishra S, Agarwal R, Deorari AK, Paul VK (2008). Jaundice in the newborn.


Indian Journal of Pediatrics.

Naomi, E., Rizalya, D. 2011. Pedoman Pelayanan Medis. Edisi II. Hal: 114-115.
Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Naser, H., Elham, G., Forough, S. 2016. Effect of Ursodeoxycholic Acid on


Indirect Hyperbilirubinemia in Neonates treated With Phototherapy. Vol. 62.
Journal of Pediatric gastroenterology and Nutrition.

Pratama, A. N. (2013). Analisis faktor – faktor penyebab kejadian kematian


neonatus di Kabupaten Boyolali. Undergraduated Thesis. Surakarta:
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

24
Sukadi, A. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta. Edisi I. Ikatan Dokter Anak
Indonesia.

25

Anda mungkin juga menyukai