Anda di halaman 1dari 36

PORTOFOLIO LAPORAN KASUS

DOKTER INTERNSIP JULI 2023

ABORTUS INKOMPLIT

Oleh:
dr. Mirawati Aho, S.Ked

Dokter Pendamping:
dr. Sitti Rachmawaty

DPJP :
dr. MN. Inal Arief , Sp,OG

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
RSUD KABUPATEN KAB. BUTON
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : dr. Mirawati Aho S,Ked


Bagian : Internsip RSUD Buton
Judul : Abortus Inkomplit

Telah menyelesaikan dan memprentasikan Laporan Kasus dalam rangka tugas


Internsip dalam Program Internsip Kementrian Kesehatan Republik Indonesia BLUD
RSUD Kabupaten Buton tahun 2023

Buton, 7 juli 2023


Pembimbing,

dr. MN. Inal Arief , Sp,OG


BAB I
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama : Ny.H
Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kel. LASALIMU
Agama : Islam
Suku : Buton
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Tanggal perawatan : 20 JUNI 2023

B. Anamnesis
1. Keluhan utama
Keluar darah dari jalan lahir.
2. Keluhan terpimpin
• Pasien perempuan, G3P2A0, berusia 36 tahun datang ke IGD obgyn
RSUD pasarwajo dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir sejak 7
jam yang lalu. Darah yang keluar berwarna kemerahan seperti darah
segar,awalnya seperti bercak kemudian semakin banyak dan
bergumpal-gumpal seperti hati ayam, dan terdapat massa jaringan.
• 1 minggu sebelum MRS pasien merasakan rasa nyeri yang sama dan
mendapati darah berwarna merah kecoklatan dari kemaluannya,
pasien mengira dirinya sedang mengalami menstruasi. Kemudian
pasien melakukan tes kehamilan menggunakan strip tes dan
mendapatkan hasil positif. Pasien juga mengaku kalau dirinya terakhir
melahirkan bulan januari tanggal 05 tahun 2023. Keluhan lain : demam
(-), nyeri perut tembus belakang (+), keluar nanah dari jalan lahir (-)
mual (+) muntah(-) BAB dan BAK seperti biasa.
HPHT: kemungkinan bulan maret 2023
Riwayat penyakit dahulu: gangguan pembekuan darah (-)
Riwayat Penyakit Keluarga : hipertensi (-), diabetes mellitus (-),
gangguan pembekuan darah (-).
Riwayat alergi (-)
Riwayat obstetri:
 G1/ 2019/ Dokter/ Rumah sakit / Lahir normal/ Laki-laki/ BBL
3200/ Sehat.
 G2/ 2023/ Bidan/ Rumah/ Lahir normal/ Laki-laki/ BBL 2900/
Sehat.
 G3/ 2023 / kehamilan sekarang
Riwayat pengobatan : pasien belum pernah minum obat dan melakukan
pemeriksaan kesehatan.

C. Pemeriksaan Fisis
1. Status generalisata
 Keadaan umum : Sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 82 x/m
Pernapasan : 20x/m
Suhu : 36,9 oC
2. Pemeriksaan fisik
Kepala : Normocephal, deformitas (-)
Mata : Konjungtiva anemis -/-, edema palpebra -/-
Telinga : Liang telinga lapang, serumen -/-
Hidung : Septum deviasi -/-, sekret -/-
Mulut : Bibir pucat (-), stomatitis (-), caries (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), struma (-),
deviasi trakea (-)
Tenggorok : Hiperemis (-), tonsil T1/T1
Jantung : Bunyi jantung I/II murni regular
Paru : Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen
 Inspeksi : Cembung ikut gerak napas
 Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

 Palpasi : Nyeri tekan (+) massa (-)

 Perkusi : Pekak (+)

Genitalia externa : Dbn


Ekstremitas : Edema -/-, pucat -/-, akral lembab +/+

3. Pemeriksaan obstetri
a. Pemeriksaan luar
Auskultasi : Denyut jantung janin (-)

Palpasi : TFU pertengahan umbilicus dan simfisis


Nyeri tekan (+) perut bagian bawah
Kontraksi (-)

b. Pemeriksaan dalam vagina


Vulva : dalam batas normal
Vagina : dalam batas normal
Porsio : Lunak
OUE/OUI : Terbuka, teraba massa jaringan
Uterus : Kesan membesar, ukuran sesuai usia kehamilan
12 minggu
Pelepasan : darah (+) pus (-) jaringan (+)
D. Pemeriksaan Penunjang
Hb : 10,1 gr/dl
Leukosit : 14,91 /ul

E. Diagnosis
Abortus Inkomplit

F. Perencanaan
Rencana terapi
 IVFD RL 20tpm
 Cefadroxil 2x 500mg
 Ranitidine 2x150mg
 Sulfate ferrous 1x1
 Rencana usg
 Rencana kuretase

G. Perkembangan pasien
Hari / Tgl Perjalanan Penyakit Rencana Terapi

Selasa, 20/06/2023
S : Pasien datang dengan keluhan P:
keluar darah dari jalan lahir sejak 7 jam Observasi KU dan TTV
yang lalu sebelum masuk Rumah sakit. IVFD RL 20tpm
Darah segar berbentuk gumpalan . Cefadroxil 2x 500mg
Kemudian pasien melakukan tes
kehamilan menggunakan strip tes dan Ranitidine 2x150mg
mendapatkan hasil positif. Sulfate ferrous 1x1
Rencana usg
O : KU : Sakit Sedang Rencana kuretase
Kesadaran: Compos Mentis
TD : 110/70 mmHg
N : 82 x/ menit
P : 20 x / menit
S : 36.9ºC
TFU 2 Jari di atas simfisis, DJJ (-)
Nyeri tekan bagian bawah
abdomen
PDV : Vulva : dalam batas normal
Vagina : dalam batas normal
Porsio : Lunak
OUE/OUI : terbuka, teraba
massa jaringan
Uterus : kesan membesar
ukuran sesuai usia kehamilan
12 minggu
Pelepasan : darah (+),pus (-),
jaringan (+)
A : Abortus Inkomplit
Rabu, 21/06/2023
S : Nyeri perut bagian bawah P:
berkurang sakit kepala berkurang, Observasi KU dan TTV
lemas berkurang. Cefadroxil 2x 500mg
O : KU : Sakit Sedang Ranitidine 2x150mg
Kesadaran: Compos Mentis Sulfate ferrous 1x1
TD : 110/70 mmHg Usg hari ini tampak uterus
N : 85 x/ menit dengan gambaran hipodens,
P : 20 x / menit sisa jaringan +
S : 36.6ºC Kuretase hari ini
TFU 3 Jari di atas simfisis
Nyeri tekan bagian bawah
abdomen
PDV :Vulva : dalam batas normal
Vagina : dalam batas normal
Porsio : Lunak
OUE/OUI : terbuka, teraba
massa jaringan
Uterus : kesan membesar
ukuran sesuai usia kehamilan
12 minggu
Pelepasan : darah (+), pus (-)
A : Abortus inkomplit

kamis, 22/06/2023
06.00 WITA S : Nyeri perut bagian bawah (-) sakit P:
kepala (-) lemas (-).  Aff infus
O : KU : Sakit ringan  Pasien Boleh Pulang
Kesadaran: Compos Mentis  Obat pulang :cefadroxil 2x
TD : 120/80 mmHg 500mg
N : 80 x/ menit  Ranitidine 2x1
P : 20 x / menit
S : 36.5ºC
TFU 2 Jari di atas simfisis
PDV : Vulva : dalam batas normal
Vagina : dalam batas normal
Porsio : Lunak
OUE/OUI : tertutup
Uterus : kesan mengecil
Pelepasan : darah (-),pus (-),
jaringan (-)
A : Abortus Komplit.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendahuluan
Rata-rata terjadi 144 kasus abortus per jam. Sebagian besar studi menyatakan
kejadian abortus spontan antara 15 – 20 % dari semua kehamilan. Kalau di kaji
lebih jauh abortus sebenarnya bisa mendekati 50 %. Hal ini di karenakan
tingginya angka chemical pregnancy loss yang tidak bias di ketahui pada 2 – 4
minggu setelah konsepsi. Sebagian besar kegagalan kehamilan ini di karenakan
kegagalan gamet ( misalnya sperma dan disfungsi oosit). Pada 1988 Wilcox dan
kawan-kawan melakukan studi terhadap 221 perempuan yang diikuti selama 707
siklus haid total. Didapatkan total 198 kehamilan, di mana 43 (22 %) mengalami
abortus sebelum saat haid berikutnya.1
Dalam sebuah tinjauan sistematis terhadap 46.421 wanita yang meneliti
frekuensi infeksi setelah aborsi medis pada semua masa gestasi, insidensinya
rendah yaitu 0,92%. Ini lebih rendah dari yang dilaporkan pada penelitian di
Inggris sebelumnya (2,54%), mungkin karena variasi kriteria diagnostik dan
ambang batas untuk meresepkan antibiotik. Kelompok studi yang memenuhi
syarat mencakup diagnosa infeksi yang telah dikonfirmasi dan dugaan yang
diobati dengan antibiotik. Dalam sebuah penelitian berbasis registri Finlandia
terhadap 42 619 wanita yang menjalani aborsi medis dan bedah, tingkat infeksi
yang dilaporkan dalam 6 minggu setelah prosedur ini, berdasarkan rawat jalan
dan rawat inap, adalah 1,7%, tanpa perbedaan antara prosedur medis dan bedah. 2

B. Definisi
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat
hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan mulai dari 20 minggu
atau berat janin kurang dari 500 gram.1
Abortus septik secara teknis berarti aborsi yang terkait dengan infeksi. Infeksi
yang terjadi dengan abortus spontan jarang terjadi, biasanya terjadi pada kasus
abortus yang diinduksi secara ilegal. Oleh karena itu, istilah abortus septik sering
digunakan untuk kasus abortus yang diinduksi secara ilegal, bahkan tanpa bukti
infeksi yang jelas. 3

C. Etiologi
Penyebab abortus (early pregnancy loss) bervariasi dan sering di perdebatkan.
Umumnya lebih dari satu penyebab. Penyebab terbnyak di antaranya adalah
sebagai berikut.

1. Penyebab genetik
Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kariptip embrio. Paling
sedikit 50 % kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan
sitogenetik. Bagaimanapun, gambaran ini belum termasuk kelainan yang di
sebabkan oleh ganguan gen tunggal (misalnya kelainan mendelian) atau
mutasi pada beberapa lokus (misalnya gangguan poligenik atau multifaktor)
yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan kariotip. 1
Kejadian tertinggi kelainan sitogenetik konsepsi terjadi pada awal
kehamilan. Kelainan sitogenetik embrio biasanya berupa aneuploidi yang
disebabkan oleh kejadian sporadis, misalnya nondisjunction meiosis atau
poliploidi dari fertilitas abnormal. Separuh dari abortus karena kelainan
sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi autosom. Triploidi di
temukan pada 16 % kejadian abortus, di mana terjadi fertilasi ovum normal
haploid oleh 2 sperma (dispermi) sebagai mekanisme patoli primer. Trisomi
timbul akibat dari nondisjunction meiosis selama gametogenesis pada pasien
dengan kariotip normal. Untuk sebagian besar trsisomi, gangguan meiosis
maternal bisa berimplikasi pada ganetogensis. Insiden trisomi meningkat
dengan bertambahnya usia. Trisomi 16, dengan kejadian sekitar 30 % dari
seluruh triomi, merupakan penyebab terbanyak. Semua kromosom trisomi
berakhir abortus kecuali pada trisomi kromosom gfortus dengan sindroma
down (trisomi 21) bisa bertahan. 1
Pengelolaan standar menyarankan untuk pemeriksaan genetik
amniosentesis pada semua ibu hamil dengan usia lanjut, yaitu di atas 35
tahun. Risiko ibu terkena aneuploidi adalah 1 : 80, pada usia di atas 35 tahun
karena angka kejadian kelainan kromosom/trisomi akan meningkat setelah
usia 35 tahun. 1
Kelainan lain umumnya berhubungan dengan fertilasi abnormal
(tetraploidi, triploidi). Kelainan ini tidak bisa dihubungkan dengan
kelangsungan kehamilan. Tetraploidi terjadi pada sekitar 3 % kelainan
sitogenesis pada abortus. Ini menunjukkan bahwa kelainan struktur
kromosom sering diturunkan dari ibunya. Kelainan struktur kromosom pada
pria bisa berdampak pada rendahnya konsestrasi sperma, infertilitas, dan bisa
mengurangi peluang kehamilan dan terjadinya keguguran. 1
Kelainan juga merupakan gen abnormal, mungkin karena adanya mutasi
gen yang bisa menggangu proses implantasi bahkan menyebabkan abortus.
Contoh untuk kelainan tunggal yang sering menyebabkan abortus berulang
adalah mytonic dystrophy, yang berupa autosom dominan dan penetrasi yang
tinggi, kelainan ini progresif, dan penyebab abortusnya munkgin karena
kombinasi gen yang abnormal dan gangguan fungsi uterus. Kemungkinan
juga karena adanya mosaik gonad pada ovarium atau testis. 1
Gangguan jaringan konektif lain, misalnya Sindroma Marfan, Sindroma
Ehlers-Danlos, homosisteinuri dan pseudoaxanthomaelasticum. Juga pada
perempuan dengan sickle cell anemia beresiko tinggi mengalami abortus. Hal
ini karena adanya mikroinfark pada plasenta. Kelainan hematologik lain yang
menyebabkan abortus misalnya disfibrinogenemi, defisiensi factor XIII, dan
hipofibrinogenemi afibrinogenemi congenital. 1
Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan dari 2 kromosom yang
abnormal, dimana bila kelainannya hanya pada salah satu orang tua, factor
tersebut tidak di turunkan. Studi yang pernah dilakukan menujukkan bahwa
bila dapat kelainan kariotip pada kejadian abortus, maka kehamilan
berikutnya juga beresiko abortus. 1
2. Penyebab Anatomik
Defek anatomi uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obsterik,
seperti abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden
kelainan uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan
dengan riwayat abortus, ditemukan anomaly uterus pada 27% pasien. 1
Studi oleh Acien (1996) terhadap 170 pasien hamil dengan malformasi
uterus, mendapatkan hasil hanya 18,8 % yang bisa bertahan sampai
melahirkan cukup bulan, sedangkan 36,5 % mengalami persalinan abnormal
(prematur, sungsang). Penyebab terbanyak abortus karena kelainan anatomik
uterus adalah septum uterus (10 – 30 %). Mioma uteri bisa menyebabkan
baik infertilitas maupun abortus berulang. Risiko kejadiannya antara gejala
10 – 30 % pada perempuan usia reproduksi. Sebagian besar mioma tidak
memberikan gejala, hanya yang berukuran besar atau yang memasuki kavum
uteri (submukosum) yang akan menimbulkan gangguan. 1
Sindroma Asherman bisa menyebabkan gangguan tempat implantasi serta
pasokan darah pada permukaan endometrium. Risiko abortus antara 25 – 80
%, bergantung pada berat ringannya gangguan. Untuk mendiagnosis
kelainan ini bisa digunakan histerosalpingografi (HSG) dan ultrasonografi. 1

3. Penyebab autoimun
Terdapat hubungan nyata antara abortus berulan dan penyakit autoimun.
Misalnya, pada Systematic Lupus Erythematosus (SLE) dan Antiphospholoid
Antibodies (aPA). aPA merupakan antibodi spesifik yang didapati pada
perempuan SLE. Kejadian abortus spontan di antara pasien SLE sekitar 10
%, di banding populasi umum. Bila digabung dengan peluan terjadinya
pengakhiran kehamilan semester trimester 2 dan 3, maka di perkirakan 75 %
pasien dengan SLE akan berakhir dengan terhentinya kehamilan. Sebagian
besar dengan kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA. aPA
merupakan antibodi yang akan berkaitan dengan sisi negatif dari fosfolipid.
Paling sedikit ada 3 bentuk aPA yang diketahui mempunyai arti klinis yang
penting, yaitu Lupus Anticolaguant (LAC), anticardolipin antibodies
(aCLs), dan biologically false-positive untuk syphilis (FP-STS). APS
(antiphosspholipid syndrome) sering juga ditemukan pada beberapa keadaan
obsteterik, misanya oada preeklampsia, IUGR dan prematuritas. Beberapa
keadaan lain yang berubungan dengan APS yaitu trombosis arteri-vena,
trombositopeni autoimun, anemia hemolitik korea dan hpertensi pulmonum.
1

The International Consensus Workshop pada 1998megajukan klasifikasi


untuk APS, yaitu meliputi:

 Thrombosis vascular
- Satu saat lebih episode thrombosis arteri, venosa atau kapilar, yang
dibuktikan dengan gambaran Doppler, pencitraan, histopatologi
- Pada histopatologi, trombosisnya tanpa di sertai gambaran
inflamasi.
 Komplikasi kehamilan
- Tiga atau lebih kejadian abortus dengan sebab yang tidak jelas,
tanpa kelainan anatomik, genetik, atau hormonal
- Satu atau lebih kematian janin dimana gambaran morfologi secara
sonografi normal
- Satu atau lebih persalinan prematur dengan gambaran janin normal
dan berhubungan dengan preeklampsia berat atau insufisiensi
plasenta yang berat
 Kriteria laboratorium
- aCL: IgG atau IgM dengan kadar yang sedang atau tinggi pada 2
kali atau lebih pemeriksaan dengan jarak lebih dari atau sama
dengan 6 minggu.
- aCL diukur dengan metode ELISA standar.
 Antibodi fosfolipid/antikoagulan
- Pemanjangan tes skirining koagulasi fosfolipid (misalnya aPTT,
PT, dan CT)
- Kegagalan untuk memperbaiki tes skrining yang memanjang
dengan pemanjangan plasma platelet normal
- Adanya perbaikan nilai tes yang memanjang dengan penambahan
fosfolipid
- Singkirkan dulu kelainan pembekuan darah yang lain dan
pemaikaian heparin.
aPA ditemukan kurang dari 2 % pada perempuan hamil yang
sehat, kurang dari 20 % pada perempuan yang mengalami abortus dan
lebih dari 33 % pada perempuan dengan SLE. Pada kejadian abortus
ditemukan infark plasenta yang luas, akibat adanya atherosis dan
oklusi vaskular kini dianjurkan pemeriksaan darah terhadap β-
2glikoprotein 1 yang lebih spesifik. 1
Pemberian antikoagulan misalnya aspirin, heparin, IL-3 intravena
menujukkan hasil yang efektif. Pada percobaan binatang IL-3 adalah
menyerupai growth hormone plasenta dan melindungi kerusakan
plasenta. 1
Trombosit plasenta pada APS diawali dengan adanya peningkatan
rasio tromboskan terhadap pprostasiklin, selain juga akibat dari
peningkatan agregrasi trombosit, penurunan c-reaktif protein dan
peningkatan sintesis platelet-activating factor. Secara klinis lepasnya
kehamilan pada pasien APS sering terjadi pada usia kehamilan diatas
10 minggu. 1
Pengelolaan secara umum meliputi pemberian heparin subkutan,
aspirin dosis rendah, prednison, imunoglobulin, atau kombinasi
semuanya. Studi case-control menunjukkan pemberian heparin 5000 U
2x/hari dengan 81 mg/hari aspirin meningkatkan daya tahan janin dari
50 %jadi 80 % pada perempuan yang pernah mengalami abortus lebih
dari 2 kali tes APLAs positif. Yang perlu diperthatikan ialah pada
gangguan heparin jangka panjang, pengawasan terhadap resiko
kehilangan massa tulang, pendarahan, serta trombositopeni. 1
4. Penyebab Infeksi
Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai dikenal
sejak 1917, ketika DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan
kejadian abortus berulang pada perempuan yang ternyata terpapar
brucellosis. Selain itu, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
keberadaan C. trachomatis, Neisseria gonore dan bakterial vaginosis di
saluran genital bawah pada saat aborsi dikaitkan dengan peningkatan risiko
infeksi. Tingkat kejadian di antara kelompok kontrol dalam uji coba
antibiotik profilaksis untuk aborsi menunjukkan bahwa komplikasi infektif
terjadi pada hingga 10% kasus. (abortion) Beberapa jenis organism tertentu
diduga berdampak pada kejadian abortus antara lain:
 Bakteri
- Listeria monositogenes
- Klamidia trakomatis
- Ureaplasma urealitikum
- Mikroplasma vaginosis
 Virus
- Sitomegalovirus
- Rubella
- Herpes simpleks virus (HSV)
- Human immunoficiency virus (HIV)
- Parvovirus
 Parasit
- Toksoplasmosis gondii
- Plasmodium falsiparum
 Spirokaeta
- Treponema palladium
Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi
terhadap risiko abortus/EPL. Di antaranya sebagai berikut.
 Adanya metabolik toksik, endotoksin, atau sitokin yang berdampak
langsunga pada janin atau unit fetoplasenta.
 Infeksi janin yang bisa mengakibatkan kematian janin atau cacat berat
sehingga janin sulit bertahan hidup
 Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut
kematian janin.
 Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah
(missal mikoplasma hominis, Klamidia, Ureaplasma urealitikum,
HSV) yang bisa mengganggu proses implantasi.
 Amnionitis (oleh kuman gram-positif dan gram-negatif, Listeria
monositogenes).
 Memacu perubahan genetik dan antomik embrio, umumnya oleh
karena virus selama kehamilan awal (misalnya rubela, parvovirus
B19, sitomegalovirus, koksakie virus B, varisela-zoster, kronik
sitomegalovirus CMV, HSV). 1
5. Faktor lingkungan
Diperkirakan 1 – 10 % malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan
kimia atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan
terhadap buangan gas anestesi dan tembakau. Sigaret rokok diketahui
mengandung unsure ratusan toksik, antara lain nikotin yang telah diketahui
mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta.
Karbon monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta
memacu neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada system sirkulasi
fetoplasenta dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin yang berakibat
terjadinya abortus. 1
6. Faktor hormonal
Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi
yang baik sistem pengaturanhormon maternal. Oleh karena itu, perlu
perhatian langsung terhadap sistem hormon secara keseluruhan, fase luteal,
dan gambaran hormon setelah konsepsi terutama kadar progesteron. 1
 Diabetes mellitus
Perempuan dengan diabetes yang dikelola dengan baik resiko abortusnya
tidak lebih jelek jika dibanding perempuan yang tanpa diabetes. Akan
tetapi perempuan diabetes dengan kadar HbA1c tinggi pada trimester
pertama, risiko abortus dn malformasi janin meninkt signifikan. Diabetes
jenis insulin-dependen dengan kontrol glukosa tidak adekuat punya
peluang 2 – 3 kali lipat mengalami abortus.1
 Kadar progesteron yang rendah
Progesteron punya peran penting dalam mempengaruhi reseptivitas
endometrium terhadap implantasi embrio. Pada tahun 1929, Allen dan
Corner mempublikasikan tentang proses fisiologi korpus luteum, dan
sejak itu diduga bahwa kadar progesteron yang rendah berhubungan
dengan risiko abortus. Support fase luteal punya peran kritis pada
kehamilan pada 7 minggu, yaitu yaitu saat dimana trofoblas harus
menghasilkan cukup steroid untuk menunjang kehamilan. Pengangkatan
korpus luteum sebelum usia 7 minggu akan menyebabkan abortus. Dan
bila progesteron pada pasien ini, kehamilan bisa diselamatkan. 1
 Defek fase luteal
Jones (1943) yang pertama kali mengutarakan konsep insufisiensi
progesterone pada fase luteal, dan kejadian ini dilaporkan pada 23 – 60
% perempuan dengan abortus berulang. Sayangnya belum ada metode
yang bisa dipercaya untuk mendiagnosis gangguan ini.
Pada penelitian terhadap perempuan yang mengalami abortus lebih dari
atau sama dengan 3 kali, didapatkan 17 % kejadian defek fase luteal.
Dan, 50 % perempuan dengan histologi defek fase luteal punya
gambaran progesteron yang normal. 1
 Pengaruh hormonal terhadap imunitas desi dua
Perubahan endometrium jadi desi dua mengubah semua sel pada
mukosa uterus. Perubahan morfologi dan fungsional ini mendukung
proses implantasi juga proses migrasi trofoblas dan mencegah invasi
yang berlebihan pada jaringan ibu. Di sini berperan penting interaksi
antara trofoblas ekstravillous dan infiltrasi leukosit pada mukosa uterus.
Sebagian besar sel ini berupa Large Granular Lymphocytes (LGL) dan
makrofag, dengan sel T dan sel B. 1
Sel NK di jumpai dalam penyakit banyak, terutama terutama pada
endometrium yang terpapar progesteron. Peningkatan sel NK pada
tempat implantasi saat trimester pertama mempunyai peran penting
dalam kelangsungan proses kehamilan karena ia akan mendahului
membunuh sel target dengan sedikit atau tanpa ekspresi HLA. Trofoblas
ekstravillous (dengan pembentukkan cepat HLA1) tidak bisa
dihancurkan oleh sel NK desidua, sehingga memungkinkan tejadinya
invasi optimal untuk plesentasi yang normal. 1
7. Faktor Hematologik
Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plesentasi dan
adanya mikrotombi pada pembuluh darah plasenta. Berbagai komponen
koagulasi dan fibrinolitik memegang peran penting pada implamtasi embrio,
inovasi trovoblas, dan plesentasi. Pada kehamilan keadaan hiperkoagulasi
dikarenakan:
 Peningkatan kadar faktor prokoagulan
 Penurunan faktor anitkoagulan
 Penurunan aktivitas fibrinolitik 1

Kadar faktor VII, VIII, X dan fibrinogen meningkat selama kehamilan


nomal, terutama pada kehamilan sebelum 12 minggu.

Bukti lain menujukkan bahwa sebelum terjadi abortus, sering didapatkan


defek hemostatik. Penelitian Tulpalla dan kawan-kawan menunjukkan
bahwa perempuan dengan riwayat abortus berulang, sering terdapat
peningkatan produksi tromboksan yang berlebihan pada usia kehamilan 4 –
6 minggu, dan penurunan produksi prostasiklin saat usia kehamilan 8 – 11
minggu. Perubahan rasio tromboksan-prostasikilin memacu vasospasme
serta agregrasi trombosit, yang akan menyebabkan mikrotrombi serta
nekrosis plasenta. Juga sering di sertai penurunan kadar protein C dan
fibrinopeptida. 1

Defisiasi faktor XII (Hageman) berhubungan dengan thrombosis


sistematik ataupun plasenter dan telah dilaporkan juga berhubungan juga
dengan abortus berulang pada lebih dari 22 % kasus. 1

Homositein merupakan asam amino yang dibentuk selama konversi


metionin ke sistein. Hiperhomosisteinemi, bisa kongenital ataupun akuisita,
berhubungan dengan trombosis dan penyakit vaskular dini. Kondisi ini
berhubungan dengan 21 % abortus berulang. Gen pembawa akan diturunkan
secara autosom resesif. Bentuk terbanyak yang didapat adalah folat. Pada
pasien ini, penambahan folat akan mengembalikan kadar homosistein normal
dalam beberapa hari. 1

D. Patofisiologi
Pada saat spermatozoa menembus zona pelusida terjadi reaksi korteks
ovum. Granula korteks di dalam ovum atau oosit sekunder berfusi dengan
membrane plasma sel, sehingga enzim di dalam granula-granula dikeluarkan
secara eksositosis ke zona pelusida. Hal ini menyebabkan glikoprotein di zona
pelusida berkaitan satu sama lain membentuksuatu materi yang keras dan tidak
dapat ditembus oleh spermatozoa lain. Kedua prononukleus saling mendekati
membentuk zigot yang terdiri dari bahan genetik perempuan dan laki-laki. Pada
manusia terdapat 46 kromosom yaitu 44 kromososm autosom dan 2 kromosom
kelamin. Dalam beberapa jam setelah pembuahan terjadi, mulailah pembelahan
zigot. Hal ini dapat berlangsung oleh karena sitoplasma ovum mengandung
banyak zat asam amino dan enzim. 4
Dalam 3 hari terbentuk suatu kelompok sel yanga sama besarnya, hasil
konsepsi berada dalam stadium morula dimana sebelumnya terjadi pembelahan-
pembelahan yang diperoleh dari vitelus, hingga volume vitelus ini makin
berkurang yang akhirnya terisi seluruh oleh morula. Selanjutnya pada hari
keempat hasil konsepsi mencapai stadium blastula yang disebut blastokista
dimana bagian luarnya adalah jaringan tropoblas dan bagian dalamnya disebut
disebut massa sel dalam (inner cell masa) pada satu kutub. Blastokista itu sendiri
tertanam diantara jaringan sel epitel dari mukosa uterus pada hari ke 6-7 setelah
ovulasi. Kemudian terjadi diferensiasi menjadi masa sinsitial. Pada hari ke-8,
trofoblas berdiferensiasi menjadi lapisan luar (outer multinucleated
sinititotrofoblast). Kemudian massa sinsitial berpenetrasi diantara sel epitel dan
akan segera menyebar ke struma. 4
Pada hari ke-9 vakuola atau lacuna muncul pada sinsitial dan akan segera
membesar kemudian akan segera menyatu. Pembentukan dari sirkulasi
uteroplasenta yang potensial terjadi ketika kapiler vena ibu bersentuhan dengan
sinsitial maka darah akan dapat lewat melalui sitem lacuna. Lakuna akan menjadi
daerah intervilus dari plasenta. Pada hari 12-13 setelah fertilisasi, blastokista
sudah sepenuhnya melekat pada stroma desidua sehingga epitel dari permukaan
uterus akan terus tumbuh. Hal ini menandakan bahwasanya tahap awal dari
implantasi akan disertai dengan sedikit nekrosis dari jaringan atau reaksi
inflamasi dari jaringan mukosa. Setelah fase inisial nidasi,0 diferensiasi dari
trofoblas dapat terjadi pada dua jalur utama yaitu villous dan ekstra villous. Hal
ini berguna untuk mempertimbangkan kedua jenis dari jalur diferensiasi yang
dipisahkan oleh kedua fungsi dari kedua trofoblas ini dan tipe dari sel maternal,
dimana masin-masing mempunyai fungsi yang berbeda. Villus trofoblas
sepenuhnya menutupi seluruh villi chorialis plasenta dan berfungsi untuk
transportasi nutrisi dan oksigen dari ibu ke janin. Dalam 2 minggu perkembangan
konsepsi, trofoblas invasif telah melakukan penetrasi ke pembuluh darah
endometrium, kemudian terbentuk sinus intertrofoblastik yang merupakan
ruangan yang berisi darah maternal. Sirkulasi darah janin ini berakhir di lengkung
kapiler di dalam vili korialis yang ruang intervilinya dipenuhi dengan darah
maternal yang dipasok oleh arteri spiralis dan dikeluarkan melalui vena uterine.
Vili korealis akan tumbuh menjadi suatu massa jaringan yaitu plasenta. Hasil
konsepsi diselubungi oleh jonjot-jonjot yang dinamakan vili korealis dan
berpangkal pada korion. Korion ini terbentuk oleh karena adanya chorionic
membrane. Selain itu, vili korealis yang berhubungan dengan desidua basalis
tumbuh dan bercabang-cabang dengan baik, korion tersebut dinamakan kor0ion
frondosum. Darah ibu dan darah janin dipisahkan oleh dinding pembuluh darah
janin dan lapisan korion. 4
Didapati bahwa thrombosis dari pembuluh darah uteroplasenta akan
menyebabkan perfusi ke plasenta terganggu. Kegagalan pada endovascular dan
interstisial dari diferensiasi ekstravillus trofoblas akan menyebabkan abortus pada
awal kehamilan. Pada kasus lain abortus spontan pada awal kehamilan, sinsitial
extravillous trofoblas tidak mencapai arteri spiralis. Hal ini menyebakan arteri
tidak berpulasasi dan suplai darah yang melalui arteri spiralis tidak akan adekuat
sampai akhir kehamilan trimester pertama yang menyebabkan terjadinya abortus
spontan. 4
Mekanisme terjadinya abortus septik, berkaitan dengan kondisi sistem
imunitasmaternal pada endometrium. Pada keadaan hamil, sistem imunitas pada
endometriummengalami anergi. Hal tersebut penting dalam proses implantasi dan
perkembanganembrio selanjutnya. Selama masa kehamilan, respon sistem
imunitas maternal telah diatursehingga menghasilkan keseimbangan berupa
penurunan relatif aktifitas sistem imunitasseluler yang menghasilkan sitokin
Th1dan peningkatan sistem imunitas humoral yangmenghasilkan sitokin Th2.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegagalan implantasidipengaruhi oleh
aktivasi sel K, yang bersama dengan makrofag dan sel T
menghasilkanberbagaimacam sitokinTh1, yaitu :Tumor Necroting Factor alpha
(TNFa), interferongamma, interleukin (IL) 1 dan 2; serta sitokin Th211. Sitokin
Th1diperlukan dalampengaturan invasi trofoblas dalam endometrium.
Keseimbangan produksi sitokin Th1dengan Th2 menimbulkan lingkungan
endometrium yang sesuai untuk implantasi danperkembangan embrio.
Peningkatan pelepasan sitokinTh1, terutama TNFa dan interferongamma
menyebabkan apoptosis yang tidak terkendali, sehingga terjadi
kegagalanimplantasi. Anergi sistem imunitas seluler mempermudah terjadinya
infeksi olehmikroorganisme. Infeksi dapat berlanjut dengan cepat dan dapat
berakibat fatal, karenaketerlambatan proliferasi sistem imunitas seluler dan
pelepasan sitokin Th1. 5

E. Klasifikasi
1. Abortus iminens
Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya abortus,
ditandai perdarahan pervaginam, ostium urteri masih tertutup dan hasil
konsepsi masih baik dalam kandungan.1
Diagnosis abortus iminens biasanya diawali dengan keluhan
perdarahan pervaginam pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu.
Penderita mengeluh mulas sedikit atau tidak ada keluhan sama sekali kecuali
perdarahan pervaginam. Ostium uteri masih tertutup besarnya uterus masih
sesuai dengan umur kehamilan dan tes kehamilan urin masih positif. Untuk
menentukan prognosis abortus iminens dapat dilakukan dengan melihat
kadar hormon hCG pada urin dengan cara melakukan tes urin kehamilan
menggunakan urin tanpa pengenceran dan pengenceran 1/10. Bila hasil urin
masih positif keduanya maka prognosisnya adalah baik, bila pengenceran
1/10 hasilnya negatif maka pragnosisnya dubia ad malam. Pengelolaan
penderita ini sangat bergantung pada informed consent yang diberikan. Bila
ibu ini masih menghendaki kehamilan tersebut, maka pengelolaan harus
maksimal untuk mempertahankan kehamilan ini. Pemeriksaan USG
diperlukan untuk mengetahui perkembangan janin yang ada dan mengetahui
keadaan plasenta apakah sudah terjadi pelepasan atau belum. Diperhatikan
ukuran biometri janin/kantong gestasi apakah sesuai dengan umur kehamilan
berdasarkan HPHT. Denyut jantung janin dan gerakan janin diperhatikan di
samping ada tidaknya hematoma retroplasenta atau pembukaan kanalis
servikalis. Pemeriksaan USG dapat dilakukanbaik secara transabdominal
maupun transvaginal. Pada USG transabnominal jangan lupa pasien harus
tahan kencing terlebih dahulu untuk mendapatkan acoustic window yang
baik agar rincian hasil USG dapat jelas. 1
Penderita diminta untuk melakukan terah baring sampai pendarahan
berhenti. Bisa diberi spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi atau diberi
tambahan hormon progesteron atau derivatnya untuk mencegah terjadinya
abortus. Obat-obatan ini walaupun secara statistik kegunaannya tidak
bermakna, tetapi efek psikologis kepada penderita sangat menuntungkan.
Penderita bisa dipulangan setelah tidak terjadi perdarahan dengan pesan
khusus tidak boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih kurang 2 minggu.
1

2. Abortus Insipiens
Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks telah
mendatar dan ostium uteri tela menbuka, akan tetapi hasil konsepsi masiha
dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran. 1
Penderita akan merasa mulas karena kotraksi yang sering dan kuat,
perdarahannya bertambah sesuai dengan pembukaan servik uterus dan umur
kehamilan. Besar uterus masih sesuai dengan umur kehamilan dengan tes
urin kehamilan masih positif. Pada pemeriksaan USG akan didapati
pembesaran uterus yang masih sesuai dengan umur kehamilan, gerak janin
dan gerak jantung janin masih jelas walau mungkin tidak normal, biasanya
terlihat penipisan serviks uterus atau pembukaannya. Perhatikan pula ada
tidaknya pelepasan plasenta pada dinding uterus. 1
Pengelolaan penderita ini harus memperhatikan keadaan umum dan
perubahan keadaan hemodinamik yang terjadi dan segera lakukan tindakan
evakuasi/pengeluaran hasil konsepsi disusul dengan kuretase bila perdarahan
banyak. Pada umur kehamilan di atas 12 minggu, uterus biasanya sudah
melebihi telur angsa tindakan evakuasi dan kuretase harus hati-hati, kalau
perlu dilakukan evakuasi seacara digital yang kemudian disusul dengan
tindakan kuretase sambil diberikan uterotonika. Hal ini diperlukan untuk
mencegah terjadinya perforasi pada dinding uterus. Pasca tindakan perlu
perbaikan keadaan umum, pemberian uterotonika, dan antibiotika
profilaksis. 1
3. Abortus Kompletus
Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan
kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
Semua hasil konsepsi telah dikeluarkan, osteum uteri telah menutup,
uterus sudah mengecil sehingga perdarahan sedikit. Besar uterus tidak seusai
dengan umur kehamilan. Pemeriksaan USG tidak perlu dilakukan bila
pemeriksaan secara klinis sudah memadai. Pengelolaan penderita tidak
memerlukan tindakan khusus ataupun pengobatan. Biasanya hanya diberi
roboransia atau hematenik bila keadaan pasien memerlukan. Uterotonika
tidak diperlukan.1

4. Abortus Inkompletus
Sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada
yang tertinggal.1
Batasan ini juga masih terpancang pada umur kehamilan kurang dari
20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Sebagian jaringan hasil
konsepsi masih tertinggal di dalam uterus di mana pemeriksaan vagina,
kanalis servikalis masih terbuka dan teraba jaringan dalam kavum uteri atau
menonjol pada ostium uteri eksternum. Perdarahan biasanya masih terjadi
jumlahnya pun bisa banyak atau sedikit bergantung pada jaringan yang
tersisa, yang menyebabkan sebagian placental site masih terbuka sehingga
perdarahan masih berjalan terus. Pasien dapat jatuh dalam keadaan animia
atau syok hemoragik sebelum sisa jaringan konsepsi di keluarkan.
Pengelolaan pasien harus diawali dengan perhatian dengan keadaan umum
dan mengatasi gangguan hemodinamik yang terjadi untuk kemudian
disiapkan tindakan kuretase. Pemeriksaan USG hanya dilakukan bila kita
ragu dengan diagnosis secara klinis. Besar uterus sudah lebih kecil dari umur
kehamilan dan kantong dan kantong gestasi sudah sulit dikenali, di kavum
uteri tampak massa hiperekoik yang bentuknya tidak beraturan. 1
5. Missed Abortion
Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal
dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi
seluruhnya masih tertahan dalam kandungan. 1
Penderita missed abortion biasanya tidak merasakn keluhan apapun
kecuali merasakan pertumbuhan kehamilannya tidak seperti yang
diharapkan. Bila kehamilan di atas 14 minggu sampai 20 minggu dan
penderita justeru merasakan rahimnya semakin mengecil dengan tanda-tanda
kehamilan sekunder pada payudara mulai menghilang. Kadangkala missed
abortion juga diawali dengan abortus iminens yang kemudian merasa
sembuh, tetapi pertumbuhan janin terhenti. Pada pemeriksaan tes urin
kehamilan biasanya negatif setelah satu minggu dari terhentinya
pertumbuhan kehamilan kehamilan. Pada pemeriksaan USG akan di
dapatkan uterus yang mengecil,kantong gestasi yang mengecil, dan
bentuknya tidak beraturan disertai gambaran fetus yang tidak ada tanda-
tanda kehidupan. Bila missed abortion berlangsung lebih dari 4 minggu
harus diperhatikan kemungkinan terjadinya gangguan penjendalan darah
oleh karena hipofibrigonemia sehingga perlu diperiksa koagulasi sebelum
tindakan evakuasi dan kuretase. 1
Pengelolaan missed abortion perlu diutarakan kedapa pasien dan
keluarganya secara baik karena resiko tindakan operasi dan kuretase ini
dapat menimbulkan komplikasi perdarahan atau bersihnya evakuasi/kuretase
dalam sekali tindakan. Faktor mental penderita perlu diperhatikan, karena
penderita umumnya merasa gelisah setelah tahu kehamilannya tidak tumbuh
atau mati. Pada umur kehamilan kurang dari 12 minggu tindakan evakuasi
dapat dilakukan secara langsung dengan melakukan dilitasi dan kuretase bila
serviksuterus memungkinkan. Bila umur kehamilan diatas 12 minggu atau
kurang dari 20 minggu dengan keadaan serviks uterus yang masih kaku
dianjurkan untuk melakukan induksi terlebih dahulu untuk mengeluarkan
janin atau mematangkan kanalis servikalis. Beberapa cara dapat dilakukan
antara lain dengan infuse intravena cairan oksitosin dimulai dari dosis 10
unit dalam 500 cc dekstrose 5 % tetesan 20 per menit dan dapat diulangi
sampai total oksitosin 50 unit dengan tetesan dipertahankan untuk mencegah
terjadinya retensi cairan tubuh. Jika tidak berhasil, penderita diistirahatkan
satu hari dan kemudian induksi diulangi biasanya maksimal 3 kali. Setelah
janin atau jaringan konsepsi berhasil keluar dengan induksi ini dilanjutkan
dengan tindakan kuretase sebersih mungkin. 1
Pada dekade belakangan ini banyak tulisan yang telah menggunakan
prostaglandin atau sintesinya untuk melakukan induksi pada missed
abortion. Salah satu cara yang banyak disebutkan adalah dengan pemberian
mesoprostol secara sublingual sebanyak 400 mg yang dapat diulangi 2 kali
dengan jarak 6 jam. Dengan obat ini akan terjadi pengeluaran hasil konsepsi
atau terjadi pembukaan hasil ostium serviks sehingga tindakan evakuasia dan
kuretase dapat dikerjakan untuk mengosongkan kevum uteri. Kemungkingan
penyulit pada tindakan missed abortion ini lebih besar mengingat jaringan
plasenta yang menempel pada dinding uterus biasanya sudah lebih kuat.
Apabila tedapat hipofibrinogenemia perlu disiapkan transfuse darah segar
atau fibrinogen. Pascatindakan kalau perlu dilakukan pemberian infus
intravena cairan oksitosin dan pemberian antibiotika. 1
6. Abortus Habitualis
Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih
berturut-turut.1
Penderita abortus habitualis pada umumnya tidak sulit untuk menjadi
hamil kembali, tetapi kehamilannya berakhir dengan keguguran/abortus
secara berturut-turut. Bishop melaporkan kejadian abortus habitualis sekitar
0,41 % dari seluruh kehamilan. 1
Penyebab abortus habitualis selain faktor anatomis banyak yang
mengaitkannya dengan reaksi imunologik yaitu kegagalan reaksi terhadap
antigen lymphocyte trophoblast cross reactive (TLX). Bila reaksi terhadap
antigen ini rendah atau tidak ada, maka akan terjadi abortus. Kelainan ini
dapat diobati dengan transfuse leukosit atau heparinisasi. Akan tetapi,
dekade terakhir menyebutkan perlunya dicari penyebab abortus ini secara
lengkap sehingga dapat diobati sesuai dengan penyebabnya. 1
Salah satu penyebab yang sering dijumpai ialah inkomptensia serviks
yaitu keadaan dimana serviks uterus tidak dapat menerima bebab untuk tetap
bertahan menutup setelah kehamilan melewati trimester pertama, dimana
ostium serviks akan membuka (inkompeten) tanpa disertai rasa
mules/kontraksi rahim dan akhirnya terjadi pengeluaran janin. Kelainan ini
sering disebabkan oleh trauma serviks yang berlebihan, robekan serviks
yang luas, sehingga diameter kanalis servikalis sudah melebar. 1
Diagnosis inkompetensia serviks tidak sulit dengan anamnesis yang
cermat. Dengan pemeriksaan dalam/inspekulo kita bisa menilai diameter
kanalis servikalis dan didapati selaput ketuban yang mulai menonjol pada
saat mulai memasuki trimester kedua. Diameter ini melebihi 8 mm. untuk
itu, pengelolaan penderita inkompetensi serviks dianjurkan untuk periksa
hamil seawal dan bila dicurigai adanya inkompetensia serviks harus
dilakukan tindakan untuk memberikan fiksasi pada serviks agar dapat
menerima beban dengan berkembangnya umur kehamilan. Operasi
dilakukan pada umur kehamilan 12 – 14 minggu dengan cara SHIRODKAR
atau McDONALD dengan melingkari kanalis servikalis dengan benang
sutera/MERSILENE yang tebal dan simpul baru di buka setelah umur
kehamilan aterm bayi siap di lahirkan. 1
7. Abortus Infeksiosa, Abortus Septik
Abortus infeksiosus ialah abortus yang disertai infeksi pada alat
genitalia. Abortus septik ialah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada
peredaran darah tubuh atau peritoneum (septikemia atau peritonitis).1
Kejadian ini merupakan salah satu komplikasi tindakan abortus yang
paling sering terjadi bila dilakukan kurang memperhatikan asepsis dan
antisepsis. 1

Abortus infeksiosus dan abortus septik perlu segera mendapatkan


pengelolaan yang adekuat karena dapat terjadi infeksi yang lebih luas selain
di sekitar alat genitalia juga ke rongga peritoneum, bahkan dapat ke seluruh
tubuh (sepsis, septikemia) dan dapat jatuh dalam keadaan syok septis.1
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang cermat tentang upaya
tindakan abortus yang tidak menggunakan peralatan yang asepsis dengan
didapat dengan gejala dan tanda panas tinggi, tampak sakit dan lelah,
takikardia, perdarahan pervaginam yang bau, uterus yang membesar dan
lembut, serta nyeri tekan. Pada laboratorium didapatkan tanda infeksi dengan
leuko sitosis. Bila sampai terjadi sepsis dan syok, penderita akan tampak
lelah, panas tinggi, menggigil, dan tekanan darah turun.1
Pasien-pasien ini memerlukan terapi antibiotik agresif, setelah
mengambil sampel bakteriologis sedapat mungkin, dan evakuasi produk
yang tersisa sesegera mungkin, asalkan pasien berada dalam kondisi yang
stabil. 3

Pasien dengan sepsis harus selalu dirawat di rumah sakit, dan jika
diagnosis septicemia telah ditegakkan, beralih ke perawatan kritis / unit
perawatan intensif diperlukan sedapat mungkin. Dalam situasi di mana
fasilitas semacam itu tidak tersedia, situasi klinis pasien perlu dievaluasi oleh
ahli yang relevan, dan dirujuk. 3

F. Diagnosis
Menurut WHO (1994), setiap wanita pada usia reproduktif yang megalami
dua daripada tiga gejala seperti di bawah harus dipikirkan kemungkinan
terjadinya abortus :
1. Perdarahan pada vagina
2. Nyeri abdomen bawah
3. Riwayat amenorea 6
Ultrasonografi penting dalam mengidentifikasi status kehamilan dan
memastikan bahwa suatu kehamilan intrauterine. Apabila ultrasonografi
transvaginal lebih besar dari 1.800 mIU per mL (1800 IU per L), kehamilan
ektopik harus dipikirkan. Ketika ultrasonografi transabdominal dilakukan, sebuah
rahim kosong harus menimbulkan kecurigaan kehamilan ektopik jika kadar hCG
kuantitatif lebih besar dari 3500 mIU per ML (3500 IU per L). rahim yang
ditemukan kosong 0pada oemeriksaan USG dapat mengidentifikasikan suatu
abortus kompleteus, tetapi diagnosis tidak definitive sehingga kehamilan ektopik
disingkirkan.
Menurut sasIrawinata dan kawan-kawan, diagnosa abortus menurut
gambaran klinis adalah seperti berikut.
a. Abortus iminens:
 Anamnesis : perdarahan sedikit dari jalan lahir dan nyeri perut tidak
ada atau ringan.
 Pemeriksaan dalam : fluksus ada (sedikit), ostium uteri tertutup, dan
besar uterus sesuai dengan umur kehamilan.
 Pemeriksaan penunjang : hasil USG.
b. Abortus Insipiens
 Anamnesis : perdarahan dari jalan lahir dan nyeri perut nyeri/
kontraksi rahim.
 Pemeriksaan dalam : ostium terbuka, buah kehamilan masih dalam
rahim, dan ketuban utuh untuk (mungkin menonjol).
c. Abortus inkomplit atau abortus komplit
 Anamnesis : perdarahan dari jalan lahir (biasanya banyak), nyeri/
kontraksi rahim ada, dan bilabanyak perdarahan bisa terjadi syok.
 Pemeriksaan dalam : ostium uteri terbuka, teraba sisa jaringan buah
kehamilan.
d. Abortus tertunda (missed abortion)
 Anamnesis : perdarahan bisa ada atau tidak.
 Pemeriksaan obstetric: fundus uteri lebih kecil dari umur kehamilan
dan bunyi jantung janin tidak ada.
 Pemeriksaan penunjang : hasil USG, laboratorium (Hb, trombosit,
fibrinogen, waktu perdarahan, waktu pembekuan dan waktu
protrombin)
e. Abortus habitualis
 Histerosalfingografi : untuk mengetahui ada tidaknya mioma uterus
submukosa dan anomali congenital.
 BMR dan kadar yodium darah diukur untuk mengetahui apakan ada
atau gangguan glandula thuroidea.
f. Abortus Septik
 Adanya abortus : amenore, perdarahan, keluar jaringan yang telah
ditolong diluar rumah sakit.
 Pemerikasan : kanalis servikasil terbuka, teraba jaringan, perdarahan
dan sebagainya.
 Tanda-tanda infeksi alat genital : demam, nadi cepat, perdarahan, nyeri
tekan dan leukositosis.
 Pada abortus septik : kelihatan sakit beray, panas tinggi, menggigil,
nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun sampai syok. 7

G. Penatalaksanaan
Pada abortus inkomplit bila terjadi perdarahan yang hebat, dianjurkan
segera melakukan pengeluaran sisa hasil konsepsi secara manual agar jaringan
mengganjal terjadinya kontraksi uterus segera dikeluarkan, kontraksi uterus dapat
berlangsung baik dan perdarahan bisa berhenti. Selanjutnya dilakukan tindakan
kuretase. Tindakan kuretase harus dilakukan secara hati-hati sesuai dengan
keadaan umum ibu dan besarnya uterus. Tindakan yang dianjurkan ialah dengan
karet vakum menggunakan kanula dari plastik. Pascatindakan perlu diberikan
uterotinika parenteral ataupun per oral antibiotika.1
Pada abortus infeksiosa, pengelolaan pasien ini harus mempertimbangkan
keseimbangan cairan tubuh dan perlunya pemberian antibiotika yang adekuat
sesuai dengan hasil kultus dan sensitivitas kuman yang diambil dari darah dan
cairan fluksus/fluor yang keluar pervaginam. Untuk tahap pertama dapat
diberikan pensilin 5 x 1,2 juta unit atau ampisilin 4 x 1 gram ditambah
gentamisin 2 x 80 mg dan metronidazol 2 x 1 gram. Selanjutnya antibiotik
disesuaikan dengan hasil kultur. 1
Tindakan kuretase dilaksanakan bila keadaan tubuh sudah membaik
minimal 6 jam setelah antibotik adekuat diberikan. Jangan lupa pada saat
tindakan uterus dilindungi dengan uterotonika.1
Antibiotik dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam dan bila dalam waktu 2
hari pemberian tidak memberikan respons harus diganti dengan antibiotik yang
lebih sesuai. Apabila ditakutkan terjadi tetanus, perlu ditambah dengan injeksi
ATS dan irigasi kanalis vagina/uterus dengan larutan proksida (H 2O2) kalau perlu
histerktomi totl secepatnya.1

H. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul dari abortus adalah:
a. Perdarahan akibat luka pada jalan lahir, atonia uteri, sisa jaringan
tertinggal, diatesa hemoragik dan lain-lain. Perdarahan dapat timbul segera
pasca tindakan, dapat pula timbul lama sekali setelah tindakan.
b. Syok akibat refeleks vasovagal atau neurogenik. Komplikasi ini dapat
mengakibatkan kematian yang mendadak. Diagnosis ini ditegakkan bila
setelah seluruh pemeriksaan dilakukan tanpa membawa hasil. Harus diingat
kemungkinan adanya emboli carian amnion, sehingga pemeriksaan
histologik harus dilakukan dengan teliti.
c. Emboli udara dapat terjadi pada teknik penyemprotan carian ke dalam
uterus. Hal ini terjadi karena pada waktu penyemprotan, selain cairan juga
gelembung udara masuk ke dalam uterus, sedangkan pada saat yang sama
system vena di endometrium dalam keadaan terbuka. Udara dalam jumlah
kecil biasanya tidak menyebabkan kematian, sedangkan dalam jumlah 70-
100 ml dilaporkan sudah dapat memastikan dengan segera.
d. Inhibisi vagus, hamper selalu terjadi pada tindakan abortus yang dilakukan
tanpa anastesi pada ibu dalam keadaan stress, gelisah, dan panik. Hal ini
dapat terjadi akibat alat yang digunakan atau suntikan secara mendadak
dengan cairan yang terlalu panas atau terlalu dingin.
e. Keracunan obat/ zat abortivum, termasuk karena anastesia. Antiseptik lokal
seperti KmnO4 pekat, AgNO3, K-Klorat, Jodium dan Sublimat dapat
mengakibatkancedera yang hebat atau kematian. Demikian pula obat-
obatan seperti kina atau logam berat. Pemeriksaan adanya Met-Hb,
pemeriksaan histologik dan toksikologik sangat diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.
f. Infeksi dan sepsis. Komplikasi ini tidak segera timbul pasca tindakan tetapi
memerlukan waktu. Gejala yang ditimbulkan yakni demam disertai
menggigil, keputihan berbau busuk, nyeri perut dan panggul, perdarahan
vagina yang berkepanjangan, nyeri tekan uterus dan atau peningkatan
jumlah sel darah putih.
g. Lain-lain seperti tersengat arus listrik saat melakukan abortus dengan
menggunakan pengaliran arus listrik. 2,8,9

I. Pencegahan infeksi
1. Antibiotik profilaksis menurunkan risiko infeksi setelah aborsi dan harus
diberikan kepada semua pasien aborsi.
2. Antibiotic profilaksis harus diberikan pra-bedah untuk efek maksimal dan
menurunkan risiko dari reaksi yang merugikan.
3. Pemberian antibiotik harus digunakan sesingkat mungkin untuk
meminimalkan risiko efek samping dan pengembangan bakteri resistensi
antibiotik.
4. Pemberian doxycycline pra operasi sebagai antibiotik profilaksis aman dan
efektif untuk operasi aborsi, baik sebagai dosis tunggal.
5. Kehadiran N. gonorrhoeae dan C. trachomatis pada pasien aborsi
meningkatkan risiko infeksi. Profilaksis universal dengan berbagai rejimen,
termasuk yang tidak dianjurkan oleh Amerika Serikat Centers for Disease
Control untuk pengobatan gonore atau klamidia telah terbukti efektif secara
signifikan mengurangi infeksi postabartal. Selain pemberian profilaksis
antibiotic universal, ketika mungkin0, skrinning yang tepat untuk gonore dan
klamidia harus dilakukan sehingga mereka yang positif dapat diobati.
6. Penggunaan segera kontrasepsi intrauterin tidak meningkatkan risiko infeksi
setelah aborsi. 10
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo. 2010.
2. Royal College of Obsetricians and Gynaecologists. The Care of Women
Requesting Induced Abortion. Royal College of Obsetricians and
Gynaecologists. 2011.
3. Sri Lanka College of Obstetricians & Gynecologists. National Guidance on Post
Abortion Care. Second Edition. Ministry Health, Nutrition and Indigenous
Medicine Sri Lanka. 2015. (kuning)
4. Cuningham F. Gary et al. Obstetri Williams edisi 21 Vol 1. EGC: Jakarta. 2006.
Hal 625-649; 688-698.
5. Kaponis A, Filindris T, Decavalas G. Septic Shock in Obstetry and Gynecology.
Department of Obstetrics & Gynecology Patra University School of Medicine,
Patra Greece.
6. World Health Organization. Safe Abortion: Technical and Policy Guidance for
Health Systems. 2nd Edition. 2012.
7. Sarwono, S. Ilmu Kebidanan. EGC: Jakarta. 2005.
8. Benson, Ralph C. Buku Saku Obstetri & Ginekologi. Penerbit buku Kedokteran
EGC: Jakarta. 2010.
9. Norwitz, E. At a Glance Obstetri dan Ginekologi. Ed.2. Erlangga. Jakarta. 2009.
10. Society of Family Planning. Clinical Guidelines: Prevention of Infection after
Induced Abortion. Article in Press. 2010.

Anda mungkin juga menyukai