Anda di halaman 1dari 48

Refleksi Kasus

Partus Prematurus Imminens Dan Ketuban Pecah


Dini
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah
Satu Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Kandungan dan Kebidanan RSUD Dr.R. Soedjati Purwodadi

Disusun oleh:
Ana Lutfia Ariani
30101306866

Pembimbing:
dr.Yusuf Antoni, Sp.OG

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2017
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

A. IDENTITAS
 Nama penderita : Ny.K
 Umur : 25 tahun
 Jenis kelamin : Perempuan
 No. RM : 345XXX
 Agama : Islam
 Pendidikan : SMP
 Pekerjaan : Buruh Pabrik
 Status : Menikah
 Alamat : Grobogan
 Tanggal Masuk : 22 Desember 2017
 Ruang : VK

B. ANAMNESA
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 22 Desember 2017

1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh kencang-kencang dan keluar darah dari jalan lahir
yang berwarna bening terkadang disertai darah.
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Dr. R. Soedjati Purwodadi. pasien
merupakan rujukan dari Puskesmas Grobogan dengan G2P0A1 usia 25
tahun, usia kehamilan 34 minggu dengan PPI dan KPD keluar cairan dari
jalan lahir sejak jam 18.00. pasien pernah melakukan USG 1x pada
tanggal 16 November 2017 dan didapatkan kesan normal. Kencang
dirasakan 10 menit sekali. Durasi kencang rata-rata tiga puluh detik.
Kencang tidak hilang dengan berubah posisi atau berjalan-jalan.
3. Riwayat Haid
- HPHT : 16 April 2017
- HPL : 23 Januari 2017
- UK : 34 minggu
- Menarche : umur 14 tahun
- Siklus haid : 28 hari, teratur
- Lama haid : 7 hari
- Dismenore : (-)
4. Riwayat Pernikahan
Pasien menikah yang pertama kali dengan suami sekarang.
Usia pernikahan 6 tahun.
5. Riwayat Obstetri
G2P0A1 hamil 34 minggu
G1 : Abortus
G2 : Hamil ini
6. Riwayat ANC
Pasien mengaku baru 1x melakukan ANC di bidan dan tidak ada pesan
khusus.
7. Riwayat KB
Pasien menggunakan KB suntik 1 bulan dan 3 bulan selama 1 tahun
8. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Penyakit Paru : disangkal
Riwayat DM : disangkal

9. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Penyakit Paru : disangkal
Riwayat DM : disangkal
10. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang buruh pabrik, suami pasien bekerja sebagai
buruh pabrik . Biaya pengobatan ditanggung BPJS.

C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Present

Keadaan Umum : Tampak lemah


Kesadaran : Composmentis
Vital Sign :
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit TB : 154 cm
RR : 18 x/menit BB : 57 Kg
Suhu : 36,70C

b. Status Internus

- Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)


- Mulut : Bibir sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-)
- Tenggorokan : Faring hiperemis (-), pembesaran tonsil (-)
- Leher : Simetris, pembesaran kelenjar limfe (-),
pembesaran tiroid (-)
- Kulit : Turgor kembali lambat, ptekiae (-)
- Mammae : Tidak dilakukan
- Pulmo
 Inspeksi : Pergerakan hemithorax dextra dan sinistra
simetris
 Palpasi : Stem fremitus dextra dan sinistra sama,
nyeri tekan (-)
 Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
 Auskultasi : Suara dasar vesikuler, suara tambahan (-)
- Cor
 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
 Perkusi : tidak dilakukan.
 Auskultasi : suara tambahan (-)
- Abdomen
 Inspeksi : Cembung, tampak pembesaran abdomen,
striae gravidarum (+), linea nigra (+), bekas
operasi (-).
 Auskultasi : bising usus (+), DJJ (+)
 Perkusi : Timpani (+), pekak sisi (-)
 Palpasi : TFU 25 cm, Kontraksi uterus (+) hilang
timbul,Nyeri tekan (-)
- Extremitas
Superior Inferior

Oedem -/- -/-


Varises -/- -/-
Reflek fisiologis +/+ +/+
Reflek patologis -/- -/-

Status Obstetri

Abdomen

 Inspeksi: Uterus membesar sesuai usia kehamilan (+), striae


gravidarum (+), linea nigra (+), bekas operasi (-)

 Palpasi : Bentuk memanjang, kontraksi (+), TFU 25 cm


Leopold 1 : TFU 3 jari diatasumbilikus pada fundus
teraba massa bulat besar lunak
Leopold II : Teraba bagian memanjang di sebelah kiri,
teraba bagian kecil-kecil di sebelah kanan
Leopold III : Teraba bagian bulat besar keras
Leopold IV : Konfigurasi kedua tangan konvergen.
Bagian terbawah janin belum masuk PAP
 TBJ : (TFU-12) x 155
(25-12) x 155 = 2015 gram

 Perkusi : Timpani, Pekak sisi (-), Pekak alih (-)


 Auskultasi : Bising usus (+), DJJ (+)
- Genitalia
 Eksterna
 Vulva : DBN
 Ostium urethra externa : tak tampak kemerahan, tak
tampak discharge
 Vagina : tampak fluksus (-), air ketuban (+)
 Interna (VT)
 2 cm, portio lunak
 Saat jari ditarik, nampak lendir darah menempel pada
handscoon
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah (tanggal 22 Desember 2017)
Hematologi
 Hb : 10,7 g/dL
 Hematokrit : 33,9 %
 Leukosit : 10,9 /uL
 Trombosit : 444 ribu /uL

Imunoserologi
HIV :(-)
HbsAg :(-)

E. DIAGNOSA
Pasien wanita 25 tahun G2P0A1 gravida 34 minggu dengan
Partus prematurus imminens dan KPD

F. TATALAKSANA
 Rawat Inap pasien
 Pengawasan: KU, Vital Sign
 Lengkapi laboratorium
 Terapi medicamentosa
 Infus RL 20tpm
 Inj. Dexamethasone 2x1 6mg
 Nifedipin 3x10mg
 IP Tx
 Dexamethasone 6mg S2dd1 tab selama 2 hari

2. PROGNOSA
Kehamilan: dubia

3. EDUKASI
a. Rawat inap dan tirah baring
b. Memberitahu kondisi ibu dan janin pada keluarga
c. Pemberian makan dalam jumlah sedikit, namun
frekuensi sering. Menghindari makanan asam, pedas,
serta berlemak. Minum cairan dalam jumlah adekuat.
d. Jangan mengelus perut, memutar puting atau tindakan
lain yang merangsang kontraksi uterus
Tgl 22 Desember 2017
22.30
 S : Ibu mengatakan kenceng-kenceng dan ketuban rembes sejak jam
18.00
 O :
 VT : 2 cm, portio linak, kk rembes preskep turun di H 1
 DJJ : 134x/mnt
 HIS : (+), setiap 10 menit sekali kencang 30 detik
 TD : 120/70 mmhg, N : 80 x, S : 36,3’C, RR : 20x/m
 A : G2P0A1 hamil 34 minggu dengan Partus prematurus
imminens + KPD
 P :
 Infus RL 20tpm
 Inj. Dexamethasone 2x1 6mg
 Nifedipine 3x10 mg
Tgl 23 Desember 2017

10.30
 S : Pasien mengatakan kenceng-kenceng dan ketuban masih
merembes
 O :
 DJJ : 145x/mnt
 KU : Baik
 TD : 110/70
 HIS : (+)
 N : 80x/m
 RR : 20x/m
 A : G2P0A1 hamil 34 minggu dengan Partus prematurus
imminens + KPD
 P :
 Infus RL 20tpm
 Inj. Dexamethasone 2x1 6mg
 Nifedipine 3x10 mg

Jam 16.00 WIB


 S : Pasien mengatakan kencang sudah berkurang dan ketuban masih
merembes sedikit
 O :
 DJJ : 142x/menit
 KU : Baik
 TD : 120/70
 T : 36.5’C
 HIS : jarang
 N : 80x/m
 RR : 20x/m
 A : G2P0A1 hamil 34 minggu dengan Partus prematurus
imminens + KPD
 P :
 Infus RL 20tpm
 Inj. Dexamethasone 2x1 6mg
 Nifedipine 3x10 mg
Tgl 23 Desember 2017

22.30
 S : Pasien mengatakan kenceng-kenceng (-) dan ketuban tidak
merembes
 O :
 DJJ : 140x/mnt
 KU : Baik
 TD : 120/70
 HIS : (-)
 N : 80x/m
 RR : 20x/m

 A : G2P0A1 hamil 34 minggu dengan Partus prematurus


imminens + KPD
 P :
 Infus RL 20tpm
 Inj. Dexamethasone 2x1 6mg
 observasi
Tgl 24 Desember 2017

08.00
 S : Pasien mengatakan sudah tidak ada keluhan
 O :
 DJJ : 137x/mnt
 KU : Baik
 TD : 110/70
 HIS : (-)
 N : 80x/m
 RR : 20x/m
 A : G2P0A1 hamil 34 minggu dengan Partus prematurus
imminens + KPD
 P :
 Infus RL 20tpm
 Inj. Dexamethasone 2x1 6mg
 observasi

16.00
 S : Pasien mengatakan sudah tidak ada keluhan
 O :
 DJJ : 140x/mnt
 KU : Baik
 TD : 110/70
 HIS : (-)
 N : 80x/m
 RR : 20x/m
 A : G2P0A1 hamil 34 minggu dengan Partus prematurus
imminens + KPD
 P :
 Infus RL 20tpm
 Inj. Dexamethasone 2x1 6mg
 observasi
22.30
 S : Pasien mengatakan sudah tidak ada keluhan
 O :
 DJJ : 140x/mnt
 KU : Baik
 TD : 110/80
 HIS : (-)
 N : 80x/m
 RR : 20x/m
 A : G2P0A1 hamil 34 minggu dengan Partus prematurus
imminens + KPD
 P :
 Infus RL 20tpm
 Inj. Dexamethasone 2x1 6mg
 observasi
Tgl 25 Desember 2017

 S : Pasien mengatakan sudah tidak ada keluhan


 O :
 DJJ : 136x/mnt
 KU : Baik
 TD : 110/90
 HIS : (-)
 N : 80x/m
 RR : 20x/m
 A : G2P0A1 hamil 34 minggu dengan Partus prematurus
imminens + KPD
 P :
 BLPL
 Amoxicillin 3x1 250mg
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Definisi
Diagnosis PPI dibuat jika pasien dengan usia kehamilan kurang dari 37
minggu mengalami kontraksi yang teratur, setidaknya sekali setiap 10 menit, yang
dapat berhubungan dengan dilatasi dan/atau penipisan dari serviks. Pendapat lain
mengatakan PPI adalah persalinan yang berlangsung pada usia kehamilan 20-37
minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (AJOG 1995). Namun, batas
bawah usia kehamilan yang digunakan untuk membedakan PPI dengan abortus
spontan bervariasi menurut lokasi. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di
Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa PPI adalah persalinan yang terjadi pada
usia kehamilan 22-37 minggu.

2. 2 Epidemiologi
Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain: (1) persalinan atas
indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun seksio sesarea;
(2) PPI spontan dengan selaput amnion utuh; dan (3) PPI dengan ketuban pecah
dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan pervaginam atau melalui seksio sesarea.
Sekitar 30-35% dari PPI berdasarkan indikasi, 40-45% PPI terjadi secara spontan
dengan selaput amnion utuh, dan 25-30% PPI yang didahului ketuban pecah dini.
Konstribusi penyebab PPI berbeda berdasarkan kelompok etnis.PPI pada
wanita kulit putih lebih umum merupakan PPI spontan dengan selaput amnion
utuh, sedangkan pada wanita kulit hitam lebih umum didahului ketuban pecah dini
sebelumnya.PPI juga bisa dibagi menurut usia kehamilan: sekitar 5% PPI terjadi
pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar 15%
terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada
usia kehamilan 32-33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia
kehamilan 34-36 minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan
angka kejadian PPI, yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah
kelahiran preterm atas indikasi.
Gambar 2.1 Gambaran angka kejadian PPI di USA, 1989-2000
2. 3 Etiologi
Saat ini, telah diketahui bahwa penyebab PPI multifaktorial dan sesuai
dengan usia kehamilan. Diantaranya ialah:
1. Perdarahan desidua (misalnya abrupsi),
2. Distensi berlebih uterus (misalnya, pada kehamilan multipel atau
polihidramnion),
3. Inkompetensi serviks (misalnya, trauma dan cone biopsy),
4. Distorsi uterus (misalnya, kelainan duktus Mullerian atau fibroid uterus),
5. Radang leher rahim (misalnya, akibat vaginosis bakterialis atau
trikomonas),
6. Demam/inflamasi maternal (misalnya akibat infeksi asenden dari traktus
genitourinaria atau infeksi sistemik),
7. Perubahan hormonal, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-
adrenal, baik pada ibu maupun janin (misalnya, karena stres pada ibu atau
janin), dan
8. Insufisiensi uteroplasenta (misalnya, hipertensi, diabetes tipe I,
penyalahgunaan obat, merokok, atau konsumsi alkohol).

Tabel 2.1 Etiologi dan alur PPI yang diakui secara umum

2. 4 Faktor Risiko
Meskipun patofisiologi PPI kurang dapat dipahami, namun terdapat banyak
faktor risiko yang diketahui berperan pada PPI, dan pengetahuan terhadap adanya
faktor risiko ini penting dalam menilai kemungkinan terjadinya PPI.Namun
sayangnya upaya untuk menilai faktor risiko tersebut tidaklah mudah, karena
lebih dari setengah dari PPI terjadi pada wanita yang tidak memiliki faktor risiko
yang jelas.
Berikut beberapa faktor risiko terjadinya PPI:
Faktor risiko mayor
1. Kehamilan multipel
2. Polihidramnion
3. Anomali uterus
4. Dilatasi serviks > 2 cm pada kehamilan 32 minggu
5. Riwayat abortus 2 kali atau lebih pada trimester kedua
6. Riwayat PPI sebelumnya
7. Riwayat menjalani prosedur operasi pada serviks (cone biopsy, loop
electrosurgical excision procedure)
8. Penggunaan cocaine atau amphetamine
9. Serviks mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu
10. Operasi besar pada abdomen setelah trimester pertama.

Faktor risiko minor


1. Perdarahan pervaginam setelah kehamilan 12 minggu
2. Riwayat pielonefritis
3. Merokok lebih dari 10 batang perhari
4. Riwayat abortus satu kali pada trimester kedua
5. Riwayat abortus > 2 kali pada trimester pertama.

Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor;
atau dua atau lebih faktor risiko minor; atau keduanya.
Disamping faktor risiko di atas, faktor risiko lain yang perlu diperhatikan
adalah tingkat sosio-biologi (seperti usia ibu, jumlah anak, obesitas, status
sosioekonomi yang rendah, ras, stres lingkungan) dan komplikasi kehamilan
lainnya (seperti infeksi maternal, preeklamsia-eklamsia, plasenta previa,
kehamilan yang diperoleh melalui bantuan medikasi, terlambat atau tidak
melakukan asuhan antenatal). Merupakan langkah penting dalam pencegahan PPI
adalah bagaimana mengidentifikasi faktor risiko dan kemudian memberikan
asuhan prenatal serta penyuluhan agar ibu dapat mengurangi risiko tambahan.

2. 5 Patogenesis
Penyebab PPI multifaktorial dan dapat saling berinteraksi satu sama lain.
Berikut beberapa alur yang umum terjadi pada PPI:

2. 5. 1 Aktivasi aksis hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) janin atau ibu:


stres
Stres yang didefinisikan sebagai tantangan baik psikologis atau fisik, yang
mengancam atau yang dianggap mengancam homeostasis pasien, akan
mengakibatkan akitivasi prematur hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) janin
atau ibu. Stres semakin diakui sebagai faktor risiko penting untuk PPI. Beberapa
penelitian telah menemukan50% hingga 100% kenaikan angka kelahiran
pretermberhubungan dengan stres pada ibu, dan biasanya merupakan gabungan
dari berbagai peristiwa kehidupan, kecemasan, atau depresi. Neuroendokrin,
kekebalan tubuh, dan proses perilaku(seperti depresi) telah dikaitkan dengan PPI
terkait stres. Namun, proses yang paling penting, yang menghubungkan stres dan
kelahiran preterm ialah neuroendokrin, yang menyebabkan aktivasi prematur aksis
HPA. Proses ini dimediasi oleh corticotrophin-releasing hormone (CRH)
plasenta. Penelitian in vitro pada sel plasenta manusia menunjukan CRH
dilepaskan dari kultur sel plasenta manusia dalamdosis yang sesuai responnya
terhadap semua efektor biologi utama stres, termasuk kortisol, katekolamin,
oksitosin,angiotensin II, dan interleukin-1 (IL-1). Dalam penelitian in vivo juga
ditemukan hubunganyang signifikan antarastres psikososial ibu dan kadar
CRH,ACTH, dan kortisol plasma ibu. Beberapa penelitian menghubungkan kadar
awal CRH plasma ibu dengan waktu persalinan. Hobel dkk. melakukan penilaian
kadar CRH serial selama kehamilan dan menemukan bahwa dibandingkan dengan
wanita yang melahirkan aterm, wanita yang melahirkan preterm memiliki kadar
CRH yang meningkat secara signifikan, dengan mempercepat peningkatan kadar
CRH selama kehamilan. Selain itu, mereka menemukan bahwa tingkat stres
psikososial ibu pada pertengahan kehamilan secara
Gambar 2.2 Alur yang umum terjadi pada PPI

signifikan dapat memprediksi besarnya peningkatan CRH ibu di antara


pertengahan kehamilan dan setelahnya.
Data ini menunjukan bahwa hubungan antara stres psikologis ibu dan
prematuritas dimediasi oleh peningkatan prematur dari ekspresi CRH
plasenta.Pada persalinan term, aktivasi CRH plasenta sebagian besar didorong
oleh aksis HPA janin dalam suatu feedback positif pada pematangan janin. Pada
PPI, aksis HPA ibu dapat mendorong ekspresi CRH plasenta. Stres pada ibu,
tanpa adanya penyebab PPI lainnya, seperti infeksi akan menyebabkan
peningkatan efektor biologi dari stres termasuk kortisol dan epinefrin, yang
mengaktifkan ekspresi CRH plasenta. CRH plasenta, pada gilirannya, dapat
menstimulasi janin untuk mensekresi kortisol dan
dehydroepiandrosteronesynthase (DHEA-S) (melalui aktivasi aksis HPA janin)
dan menstimulasi plasenta untuk mensintesis estriol dan prostaglandin, sehingga
mempercepat PPI.
Stres dapat berkonstribusi pada peningkatan angka kejadian PPI di antara
orang Afrika-Amerika di Amerika serikat.Asfiksia dapat mewakili hasil akhir
yang umum pada berbagai alur yang meliputi stres, perdarahan, preeklampsia, dan
infeksi.Asfiksia memainkan peranan penting dalam PPI, bayi lahir mati, dan
perkembangan neonatal yang merugikan.Asfiksia kronik yang berhubungan
dengan insufisiensi sirkulasi uteroplasenta dapat terjadi pada infeksi plasenta
seperti malaria, atau penyakit ibu (seperti diabetes, preeklamsia, hipertensi
kronik), dan ditandai oleh aktivasi aksis HPA janin dan berikutnya kelahiran
preterm.

2.5.2 Infeksi dan inflamasi


Patogenesis dari PPI masih belum dimengerti dengan benar.Namun, infeksi
tampaknya menjadi penyebab tersering dan paling penting dalam PPI.Meskipun
demikian, patogenesis infeksi hingga menyebabkan PPI pun hingga kini belum
jelas benar, namun diduga berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh, dan diawali
oleh aktivasi fosfolipase A2 yang dihasilkan oleh banyak mikroorganisme.
Fosfolipase A2akan memecah asam arakidonat dari selaput amnion janin, sehingga
asam arakidonat bebas meningkat untuk sintesis prostaglandin. Selain itu,
endotoksin (lipopolisakarida) bakteri dalam cairan amnion akan merangsang sel
desidua untuk menghasilkan sitokin dan prostaglandin yang dapat menginisiasi
proses persalinan. Berbagai sitokin, termasuk interleukin-1 (IL-1), interleukin-6
(IL-6), dan tumour necrosis factor (TNF) adalah produk sekretorik yang dikaitkan
dengan PPI.Sementara itu, platelet activating factor (PAF) yang ditemukan dalam
cairan amnion terlibat secara sinergik pada aktivasi jalinan sitokin tadi.PAF
diduga dihasilkan oleh paru dan ginjal janin.Oleh karenanya, janin tampaknya
memainkan suatu peran yang sinergik untuk inisiasi kelahiran preterm yang
disebabkan oleh infeksi bakterial.Secara teleologis, hal ini kemungkinan
menguntungkan bagi janin yang ingin melepaskan dirinya dari lingkungan yang
terinfeksi.
Endotoksin mikroba dan proinflammantori sitokin akan merangsang
produksi prostaglandin, mediator inflammatory lainnya, serta matrix-degrading
enzymes. Prostaglandin akan merangsang kontraksi uterus, dan berperan dalam
mengatur metabolisme matriks ekstraselular yang terkait dengan pematangan
serviks saat dimulainya persalinan, sedangkan degradasi dari matriks ekstraselular
pada membran amnion akan menyebabkan ketuban pecah dini yang kemudian
menyebabkan PPI.
Endotoksin mikroba akan merangsang produksi progesteron melalui
pemecahan asam arakidonat, dan bersama sitokin akan meningkatkan ekspresi
PGHS-2 (prostaglandin H synthase), dan menghambat aktivasi PGDH (15-OH
prostaglandin dehydrogenase).Meningkatnya PGHS-2 akan menstimulasi sintesis
prostaglandin. Sedangkan downregulation PGDH akan meningkatkan ratio
prostaglandin (PG) terhadap prostaglandin metabolite (PGM), yang akan
meningkatkan aktivitas uterus, pematangan serviks, dan rupturnya membran
amnion.
Sumber infeksi yang telah dikaitkan dengan kelahiran prematur meliputi
infeksi intrauterin, infeksi saluran kelamin, infeksi sistemik ibu, bakteriuria
asimptomatik, dan periodontitis ibu.Mikroorganisme yang umum dilaporkan pada
rongga amnion adalah genital Mycoplasma spp, dan Ureaplasma
urealyticum.Beberapa mikroorganisme yang umum pada saluran genitalia bawah,
seperti Streptococcus agalactiae, jarang tampak pada rongga amnion sebelum
selaput amnion pecah. Rongga amnion biasanya steril dari bakteri, dan adanya
bakteri yang jumlahnya cukup signifikan pada membran amnion diduga melalui
mekanisme sebagai berikut:
1. Secara ascending dari vagina dan serviks
2. Penyebaran secara hematogen melalui plasenta
3. Penggunaan alat saat melakukan prosedur invasif
4. Penyebaran secara retrograde melalui tuba fallopi.

Dari beberapa cara yang telah disebutkan di atas, cara yang paling umum ialah
penyebaran secara ascending dari vagina dan serviks.Hal ini dapat ditunjukkan
oleh suatu kondisi yang disebut vaginosis bakterialis, yang merupakan sebuah
kondisi ketika flora normal vagina predominan-laktobasilus yang menghasilkan
hidrogen peroksida digantikan oleh bakteri anaerob, Gardnerella vaginalis,
spesies Mobilunkus, atau Mycoplasma hominis. Keadaan ini telah lama dikaitkan
dengan ketuban pecah dini, PPI, dan infeksi amnion, terutama bila pada
pemeriksaan pH vagina lebih dari 5,0.

Gambar 2.3 Jalur masuknya kuman penyebab infeksi


2.5.3 Perdarahan desidua (Decidual hemorrhage/thrombosis)
Perdarahan desidua dapat menyebabkan PPI.Lesi vaskular dari plasenta
biasanya dihubungkan dengan PPI dan ketuban pecah dini.Lesi plasenta
dilaporkan 34% dari wanita dengan PPI, 35% dari wanita dengan ketuban pecah
dini, dan 12% kelahiran term tanpa komplikasi.Lesi ini dapat dikarakteristikan
sebagai kegagalan dari transformasi fisiologi dari arteri spiralis, atherosis, dan
trombosis arteri ibu atau janin.Diperkirakan mekanisme yang menghubungkan
lesi vaskular dengan PPI ialah iskemi uteroplasenta.Meskipun patofisiologinya
belum jelas, namum trombin diperkirakan memainkan peran utama.
Terlepas dari peran penting dalam koagulasi, trombin merupakan protease
multifungsi yang memunculkan aktivitas kontraksi dari vaskular, intestinal, dan
otot halus miometrium.Trombin menstimulasi peningkatan kontraksi otot polos
longitudinal miometrium, secara in vitro.Baru-baru ini, observasi in vitro
mengenai trombin dan kontraksi miometrium yang diperkuat oleh penelitian in
vivo menunjukan bahwa kontraksi miometrium secara signifikan menurun dengan
pemberian heparin yang diketahui merupakan inhibitor trombin.Penelitian in vitro
dan in vivo memberikan penjelasan kemungkinan mekanik mengenai peningkatan
aktivitas uterus secara klinis yang diamati pada abrupsi plasenta serta PPI yang
mengikuti perdarahan pada trimester pertama dan kedua.
Mungkin juga terdapat hubungan antara trombin dan ketuban pecah
dini.Matrix metaloproteinase (MMPs) memecah matriks ekstraseluler dari
membran janin dan choriodesidua, serta terlibat terhadap KPD, seperti dibahas di
bawah ini. Secara in vitro, trombin meningkatkan ekspresi protein MMP-1, MMP-
3, dan MMP-9 pada sel-sel desidua dan membran janin yang dikumpulkan dari
kehamilan term tanpa komplikasi.Trombin juga menimbulkan peningkatan IL-8
desidua, sebuah sitokin yang bertanggung jawab terhadap recruitment neutrofil.
Abrupsi plasenta terbuka, sebuah contoh ekstrim dari perdarahan desidua, ditandai
infiltrasi neutrofil pada desidua, sumber yang kaya protease dan MMPs. Ini
mungkin melengkapi mekanisme ketuban pecah dini (KPD) pada perdarahan
desidua.

2.5.4 Distensi uterus yang berlebihan (uterine overdistension)


Distensi uterus yang berlebihan memainkan peranan kunci dalam memulai
PPI yang berhubungan dengan kehamilan multipel, polihidramnion, dan
makrosomia.Kehamilan multipel, sering disebabkan oleh reproduksi yang dibantu
oleh tekhnologi (assisted reproduction technologies (ART)), termasuk induksi
ovulasi dan fertilisasi in vitro, dan merupakan satu dari penyebab yang paling
penting dari PPI di negara-negara maju. Di Amerika Serikat misalnya, ART
merupakan 1% dari semua kelahiran hidup, tetapi 17% dari semua kehamilan
multipel; 53% neonatus hasil dari ART pada tahun 2003 merupakan anak kembar.
Mekanisme dari distensi uterus yang berlebihan hingga menyebabkan PPI masih
belum jelas. Namun diketahui, peregangan rahim akan menginduksi ekspresi
protein gap junction, seperti connexin-43 (CX-43) dan CX-26, serta menginduksi
protein lainnya yang berhubungan dengan kontraksi, seperti reseptor oksitosin.
Pada penelitian in vitro, regangan miometrium juga meningkatkan prostaglandin
H synthase 2 (PGHS-2) dan prostaglandin E (PGE). Regangan otot pada segmen
menunjukan peningkatan produksi IL-8 dan kolagen, yang pada gilirannya akan
memfasilitasi pematangan serviks. Namun, penelitian eksperimental pada hewan
mengenai uterine overdistension hingga saat ini belum ada, dan penelitian pada
manusia sepenuhnya hanya berdasarkan observasi.

2.5.5 Insufisiensi serviks


Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy losses
pada trimester kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa gangguan
pada serviks berhubungan dengan outcomes kehamilan yang merugikan dengan
variasi yang cukup luas, termasuk PPI.Insufisiensi serviks secara tradisi telah
diidentifikasi di antara wanita dengan riwayat pregnancy losses berulang pada
trimester kedua, tanpa adanya kontraksi uterus. Terdapat lima penyebab yang
diakui atau dapat diterima, yaitu: (1) kelainan bawaan; (2) in-utero
diethylstilbestrol exposure; (3) hilangnya jaringan dari serviks akibat prosedur
operasi seperti Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP) atau conization;
(4) kerusakan yang bersifat traumatis; dan (5) infeksi.
Secara tradisi, wanita dengan riwayat insufisiensi serviks akan disarankan
cervical cerclage pada awal kehamilan. Namun, kemungkinan besar, kebanyakan
kasus insufisiensi serviks merupakan rangkaian remodeling jaringan dan
pemendekan serviks prematur dari proses patofisiologi lainnya yang mana
cerclage mungkin tidak selalu tepat dan lebih baik diprediksi oleh panjang serviks
yang ditentukan menggunakan ultrasonografi transvaginal. Panjang serviks yang
diukur dengan menggunakan ultrasonografi transvaginal berbanding terbalik
dengan risiko PPI.Selanjutnya, terdapat hubungan antara panjang serviks dari
kehamilan sebelumnya yang mengakibatkan PPI dengan panjang serviks pada
kehamilan berikutnya, tetapi tidak ada hubungannya antara riwayat obstetri dari
insufisiens serviks dan panjang serviks pada kehamilan berikutnya.
Data ini menunjukan bahwa insufisiensi serviks jarang terjadi, dan
pemendekan serviks lebih sering terjadi sebagai konsekuensi dari remodeling
serviks prematur, hasil dari proses patologis. Infeksi dan inflamasi mungkin
memainkan peranan penting dalam pemendekan dan dilatasi serviks
prematur.Lima puluh persen dari pasien dievaluasi dengan amniosintesis
sehubungan dengan dilatasi serviks asimptomatik pada trimester kedua, dan 9%
dari pasien memiliki panjang serviks < 25 mm tetapi tanpa dilatasi serviks terbukti
mengalami infeksi intraamnion.Data ini menunjukan suatu peranan penting
infeksi intraamnion yang menyebar secara ascending.

Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko PPI juga meningkat
pada perokok.Mekanisme meningkatnya risiko PPI pada wanita yang merokok
sampai saat ini belum jelas.Terdapat lebih dari 3000 bahan kimia dalam batang
rokok, yang masing-masing efek biologisnya sebagian besar tidak
diketahui.Namun, baik nikotin dan karbon monoksida merupakan vasokonstriktor
yang kuat dan dihubungkan dengan kerusakan plasenta serta menurunnya aliran
darah uteroplasenta.Kedua jalur tersebut mengarah pada terhambatnya
pertumbuhan janin dan PPI.
Lingkungan intrauterine yang buruk, seperti saat terganggunya aliran darah
uteroplasenta atau kondisi hipoksemia janin akan mengaktivasi aksis
hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) janin, yang ditunjukkan dengan
peningkatan corticotrophin-releasing hormone (CRH) oleh hipotalamus, yang
kemudian memacu sekresi adrenocorticotrophic hormone (ACTH) oleh hipofisis
anterior. ACTH pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan sekresi kortisol
dari korteks adrenal. Kortisol kemudian meningkatkan ekspresi PGHS-2
(prostaglandin H synthase), dan menghambat aktivasi PGDH (15-OH
prostaglandin dehydrogenase).
Selain itu, merokok juga dihubungkan dengan respon inflammasi sistemik
yang juga dianggap dapat meningkatkan risiko PPI, melalui peningkatan produksi
sitokin.

2. 6 Identifikasi Wanita yang Berisiko Mengalami PPI


Cara utama untuk mengurangi risiko PPI dapat dilakukan sejak awal,
sebelum tanda-tanda persalinan muncul.Dimulai dengan pengenalan pasien yang
berisiko, untuk diberi penjelasan dan dilakukan penilaian klinik terhadap PPI serta
pengenalan kontraksi sedini mungkin, sehingga tindakan pencegahan dapat segera
dilakukan.Pemeriksaan serviks tidak lazim dilakukan pada kunjungan antenatal,
padahal sebenarnya pemeriksaan tersebut mempunyai manfaat yang cukup besar
dalam meramalkan terjadinya PPI.Bila dijumpai seviks pendek (< 1 cm) disertai
dengan pembukaan yang merupakan tanda serviks matang/inkompetensi serviks,
maka pasien tersebut mempunyai risiko terjadinya PPI 3-4 kali.
Berikut beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
wanita yang berisiko mengalami PPI:

2.6.1 Skoring risiko


Metode skoring risiko ini dirancang oleh Papiernik dan dimodifikasi oleh
Creasly dkk.Pada metode ini, diberikan skor 1 sampai 10 untuk berbagai macam
faktor risiko, antara lain sosioekonomi, riwayat obstetri, kebiasaan hidup, serta
penyulit kehamilan yang dihadapi saat ini.Wanita dengan skor 10 atau lebih
dianggap berisiko tinggi mengalami PPI.Meskipun Creasy dkk.serta Covington
dkk. melaporkan bahwa dengan metode skoring yang disertai program
pencegahan dengan penyuluhan, akan memberikan hasil yang baik. Pada
prakteknya, penerapan metode ini belum terbukti berguna.Dan karena metode ini
sangat bergantung dengan riwayat obstetri sebelumnya, maka metode ini tidak
sesuai untuk nulipara.Oleh karena itu, metode ini tidak menawarkan keuntungan
lebih dari penilaian klinis lainnya, dan tidak dapat direkomendasikan.
2.6.2 Uji kontraksi uterus ambulatorik atau Home uterine activity monitoring
Metode ini didasarkan pada prinsip tokodinamometer, yang dicobakan pada
wanita yang berisiko mengalami PPI. Metode ini melibatkan pencatatan
telematika dari kontraksi rahim, dengan menggunakan alat sensor kontraksi yang
diikatkan disekitar abdomen, dan dihubungkan dengan sebuah perekam elektronik
kecil yang dipasang dipinggang, kemudian hasil aktivitas uterus akan dihantarkan
ke beberapa monitor senter. Dari hasil pemantauan tersebut, para praktisi
kesehatan akan memberikan saran serta dukungan setiap harinya terhadap pasien
tersebut melalui telepon.
Penelitian-penelitian terkini terus memperlihatkan bahwa pemantauan
aktivitas uterus di rumah tersebut tidak efektif dalam mencegah PPI, baik pada
wanita yang berisiko rendah atau wanita yang berisiko tinggi. Bahkan penggunaan
metode ini akan meningkatkan kunjungan diluar jadwal asuhan prenatal yang
dianjurkan serta menyebabkan peningkatan yang signifikan terhadap terapi obat
tokolisis profilaktik pada wanita hamil. Selain itu metode ini membutuhkan biaya
yang cukup besar dalam pelaksanaannya.Oleh karena itu, metode ini tidak
direkomendasikan pada praktek klinis rutin.

2.6.3 Estriol saliva


Beberapa peneliti telah melaporkan adanya kaitan antara peningkatan
konsentrasi estriol saliva ibu dengan kelahiran preterm. Hal ini dapat dijelaskan
melalui penelitian mengenai fisiologi proses persalinan, yang menunjukan
peranan aksis hipotalamo-pitutari-adrenal (HPA) janin sehingga menyebabkan
peningkatan produksi estriol dari plasenta pada saat dimulainya persalinan.
Diperkirakan pada kehamilan manusia, aktivasi prematur dari aksis HPA pada
PPIakan meningkatkan kadar estriol pada serum dan saliva ibu, dan ini dapat
menjadi perediktor dimulainya PPI. Telah dilaporkan bahwa peningkatan estriol
akan dimulai sejak 3 minggu sebelum dimulainya persalinan pada wanita yang
mengalami PPI atau aterm. Tingkat estriol saliva ibu menggambarkan tingkat
estriol dalam serum ibu, dan estriol saliva digunakan untuk menilai risiko PPI
dengan atau tanpa gejala.
Dua penelitian prospektif menunjukan bahwa estriol saliva lebih efektif
dalam memprediksi PPI dibandingkan metode skoring risiko.Namun, tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sangat buruk, dan memiliki tingkat
positif palsu yang sangat tinggi, yang dapat meningkatkan biaya perawatan
kehamilan karena intervensi yang tidak perlu.Tingkat estriol saliva dapat diukur
secara akurat dengan menggunakan radioimmunoassay.Heine dkk.menunjukan
bahwa tingkat estriol saliva positif satu (≥ 2,1 ng/ml) dapat memprediksikan suatu
peningkatan risiko PPI 3-4 kali lipat pada wanita dengan resiko rendah maupun
tinggi. Jika dua kali secara berturut-turut hasil tes positif, ini menunjukan
peningkatan akurasi prediksi yang signifikan, tetapi masih memiliki sedikit
penurunan sensitivitas. Tes estriol saliva menunjukan beberapa keunggulan yaitu
merupakan tindakan yang tidak invasif, sampel saliva yang mudah didapatkan,
dan dapat memberikan hasil positif beberapa minggu sebelum dimulainya
persalinan.1 Namun, adanya variasi diurnal dari tingkat estriol saliva ibu, serta
pemberian betametason untuk produksi surfaktan yang dapat menekan tingkat
estriol saliva ibu, dapat mempersulit interpretasi hasil. Masih dibutuhkan
penelitian lebih lanjut mengenai intervensi dan pengobatan yang potensial pada
wanita dengan peningkatan kadar estriol saliva yang tinggi, sebelum
penggunaannya direkomendasikan secara luas pada populasi obtetrik.

2.6.4 Skrining bacterial vaginosis (BV)


Vaginosis bakterialis telah lama dikaitkan dengan PPI spontan, ketuban
pecah dini, infeksi korion dan amnion, serta infeksi cairan amnion.Platz-
Christense dkk.(1993) telah memberikan beberapa bukti bahwa vaginosis
bakterialis dapat mencetuskan PPI dengan suatu mekanisme yang serupa dengan
jalur jaringan sitokin yang diusulkan untuk bakteri cairan amnion. Banyak
penelitian klinis secara konsisten menemukan bahwa wanita dengan vaginosis
bakterialis pada kehamilannya, memiliki risiko mengalami PPI yang meningkat 2
kali lipat.1 Diagnosis vaginosis bakterialis ditegakan jika memenuhi 3 dari 4
kriteria berikut ini:
1. pH vagina > 4,5
2. adanya “clue cells” (sel epitel vagina yang terlapis tebal oleh basil) pada
pewarnaan gram
3. adanya duh vagina homogen
4. bau amin bila sekresi vagina dicampur dengan kalium hidroksida.
Bukti terkini tidak mendukung skrining dan terapi pada semua wanita hamil
yang ditujukan untuk vaginosis bakterialis.Untuk wanita risiko tinggi dengan
riwayat PPI sebelumnya, skrining dan terapi vaginosis bakterialis dapat mencegah
PPI pada sebagian dari wanita.Namun, meta-analisis terbaru menunjukan banyak
perbedaan diantara 6 penelitian mengenai hal ini, sehingga membatasi penarikan
kesimpulan yang pasti.Telah banyak hasil yang tidak meyakinkan dan tidak
memberikan manfaat dari skrining vaginosis bakterialis yang bertujuan untuk
memprediksi PPI, terutama pada kelompok risiko rendah.

2.6.5 Skrining fibronektin janin atau fetal fibronectin (fFN)


Fibronektin adalah suatu glikoprotein yang diproduksi dalam 20 bentuk
molekul yang berbeda oleh berbagai jenis sel, termasuk hepatosit, sel ganas,
fibroblast, sel endotel, dan amnion janin.Glikoprotein ini terdapat dalam
konsentrasi tinggi di darah ibu dan di cairan amnion, serta dianggap memainkan
peranan pada adhesi antarsel dalam kaitannya terhadap implantasi serta dalam
mempertahankan adhesi plasenta ke desidua. Fibronektin janin diukur dengan
menggunakan enzyme linked immunosorbent assay. Normalnya, fibronektin janin
terdeteksi pada sekret serviks sampai usia kehamilan 16-20 minggu. Pada
kehamilan 24 minggu atau lebih, kadar fibronektin janin 50 ng/ml atau lebih
dianggap sebagai hasil positif dan mengindikasikan risiko PPI.
Lockwood dkk.(1991) yang melaporkan bahwa penemuan fibronektin janin
pada sekret servikovagina sebelum selaput amnion pecah dapat menjadi suatu
pertanda adanya ancaman PPI.Berdasarkan teori, peningkatan kadar fibronektin
janin pada vagina, serviks dan cairan amnion memberikan indikasi adanya
gangguan pada hubungan antara korion dan desidua.
Fibronektin janin dapat dideteksi di dalam sekret servikovagina pada
kehamilan normal aterm dengan selaput amnion utuh, dan tampaknya
memperlihatkan remodeling stroma serviks sebelum persalinan.Cox dkk.(1996)
menemukan bahwa dilatasi serviks lebih bermakna untuk mendeteksi fibronektin
daripada untuk meramalkan kelahiran preterm. Namun demikan, banyak
penelitian telah menunjukan adanya peningkatan risiko PPI, jika fFN positif pada
sekret serviks setelah usia kehamilan 24 minggu, dan sebaliknya terdapat
penurunan risiko jika didapatkan fFN negatif.
Spesifisitas dari tes fibronektin janin untuk memprediksi PPI dalam 1 dan 2
minggu kemudian ialah 89%, sedangkan untuk memprediksi PPI dalam 3 minggu
kemudian ialah 92%. Sensitivitas dari tes ini, dalam memprediksi dimulainya PPI
dalam 1 minggu dan 3 minggu kemudian, masing-masing ialah 71% dan 59%.
Perlu diketahui, faktor-faktor lain seperti manipulasi serviks dan infeksi
peripartum dapat merangsang pelepasan fibronektin janin.Serupa dengan hal
tersebut, Jackson dkk.(1996) memperlihatkan bahwa sel amnion manusia in vitro
menghasilkan fibronektin janin bila dirangsang oleh produk-produk radang yang
dicurigai mengawali PPI akibat infeksi.

2.6.6 Pengukuran panjang serviks


Serviks memerankan peranan ganda pada kehamilan. Serviks
mempertahankan isi uterus terhadap pengaruh gravitasi dan tekanan intrauterine
sampai persalinan, dan serviks akan berdilatasi untuk memungkinkan bagian dari
isi uterus untuk melintasinya selama proses persalinan. Kompetensi serviks
tergantung pada kesatuan antara anatomi dan komposisi biokimia dari
serviks.Salah satu indikator dini dari inkompetensi serviks atau dimulainya
persalinan ialah terjadinya pemendekan dari serviks.Perhatian terhadap penilaian
panjang serviks menggunakan ultrasonografi sebagai prediktor PPI muncul
setelah Iams dkk.(1996) menentukan distribusi normal dari panjang serviks
setelah umur kehamilan 22 minggu. Hal ini kemudian diterima secara luas, bahwa
panjang serviks kurang dari 25 mm pada usia kehamilan 24-28 minggu dapat
meningkatkan risiko PPI. Suatu penelitian prospektif yang melibatkan 2.915
wanita yang dievaluasi menggunakan ultrasonografi pada serviks secara serial
menunjukan suatu risiko relatif terhadap PPI ialah 9.57, 13.88, dan 24,94 untuk
panjang seviks masing-masing < 26 mm, < 22 mm, < 13 mm, pada usia kehamilan
28 minggu. Hasil dari beberapa penelitian yang menggunakan penilaian panjang
serviks sebagai prediktor PPI tidak selalu dapat dipercaya.terdapat variasi yang
luas pada nilai prediksinya.Sebuah tinjauan terhadap 35 penelitian yang
melibatkan penilaian panjang serviks menunjukan variasi yang sangat luas dalam
sensitivitas (68-100%) dan spesifisitas (44-79%). Oleh karena itu hingga saat ini
tidak ada bukti kuat yang mendukung penggunaan penilaian panjang serviks
dengan menggunakan USG pada usia kehamilan 24-28 minggu dalam
memprediksi PPI sebagai pemeriksaan rutin. Namun, dapat dilakukan pada
kehamilan dengan risiko tinggi atau dalam kombinasi dengan test fFN.

2.6.7 Kombinasi penilaian fFN dengan ultrasonografi serviks


Penilaian panjang serviks yang disertai dengan estimasi fFN sekret
vaginoserviks pada wanita yang berisiko tinggi mengalami PPI mungkin
bermanfaat. Suatu penelitian yang menilai risiko terulangnya PPI spontan pada
wanita yang memiliki riwayat PPI sebelumnya melaporkan, risiko sebesar 65%
jika panjang serviks kurang dari 25 mm dan fFN positif. Namun, jika fFN negatif,
risiko PPI hanya sebesar 25%.Seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah,
risiko terulangnya PPI pada wanita dengan panjang serviks > 35 mm dan fFN
negatif, hanya sebesar 7%.Oleh karena itu, kombinasi penilaian panjang serviks
dengan menggunakan USG, dan estimasi fFN dapat membantu memprediksi
terulangnya PPI pada wanita risiko tinggi.

Tabel 2.2 Kombinasi penilaian panjang serviks dan fibronektin janin dalam
memprediksi risiko terulangnya PPI
Risiko terulangnya PPI
Panjang serviks
fFN positif fFN negatif
< 25 mm 65% 25%
25-35 mm 45% 14%
> 35 mm 25% 7%
2. 7 Diagnosis
Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman
PPI.Diferensiasi dini antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu sulit
dilakukan sebelum adanya pendataran dan dilatasi serviks.Kontraksi uterus sendiri
dapat menyesatkan karena ada kontraksi Braxtons Hicks. Kontraksi ini
digambarkan sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmik, dan tidak begitu
sakit atau tidak sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan keraguan yang amat
besar dalam penegakan diagnosis PPI. Tidak jarang, wanita yang melahirkan
sebelum aterm mempunyai aktivitas uterus yang mirip dengan kontraksi Braxtons
Hicks, yang mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu.
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI, yaitu:
1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya
setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi,
rasa tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%,
atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
6. Selaput amnion seringkali telah pecah,
7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.

Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The
American Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis
PPI ialah sebagai berikut:
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau
delapan kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.

2. 8 Penatalaksanaan
Hal pertama yang dipikirkan pada penatalaksanaan PPI ialah, apakah ini
memang PPI.Selanjutnya mencari penyebabnya dan menilai kesejahteraan janin
yang dapat dilakukan secara klinis, laboratoris, ataupun ultrasonografi, meliputi
pertumbuhan/berat janin, jumlah dan keadaan cairan amnion, persentasi dan
keadaan janin/kelainan kongenital.

Bila proses PPI masih tetap berlangsung atau mengancam, meski telah
dilakukan segala upaya pencegahan, maka perlu dipertimbangkan:
1. Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter
spesialis kesehatan anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi preterm,
atau berapa persen yang akan hidup menurut berat dan usia gestasi tertentu.
2. Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesaria.
3. Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma
gawat nafas.
4. Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi perawatan
bayi preterm dan kemungkinan hidup atau cacat.
5. Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm, dengan
rencana perawatan intensif neonatus.

Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami PPI dan/atau menunjukan


tanda-tanda PPI perlu dilakukan intervensi untuk meningkatkan neonatal
outcomes.

Manajemen PPI tergantung pada beberapa faktor, diantaranya:


1. Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak akan dihambat
bilamana selaput ketuban sudah pecah.
2. Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai
4 cm.
3. Umur kehamilan. Makin muda umur kehamilan, upaya mencegah persalinan
makin perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila
TBJ > 2000 gram, atau kehamilan > 34 minggu.
a. Usia kehamilan ≥34 minggu; dapat melahirkan di tingkat dasar/primer,
mengingat prognosis relative baik.
b. Usia kehamilan < 34 minggu; harus dirujuk ke rumah sakit dengan
fasilitas perawatan neonatus yang memadai.
4. Penyebab/komplikasi PPI.
5. Kemampuan neonatal intensive care facilities.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:
1. Menghambat proses persalian preterm dengan pemberian tokolisis,
2. Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid,
3. Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan
antibiotik.

2.8.1 Tokolisis
Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan,
tidak ada yang benar-benar efektif.Namun, pemberian tokolisis masih perlu
dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi uterus yang regular disertai perubahan
serviks pada kehamilan preterm.

Alasan pemberian tokolisis pada persalianan preterm ialah:


1. Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur
2. Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan
paru janin
3. Memberi kesempatan transfer intrauterine pada fasilitas yang lebih lengkap
4. Optimalisasi personil.

Beberapa macam obat yang digunakan sebagai tokolisis, antara lain:


1. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan
tiap 8 jam sampai kontraksi hilang, maksimum 40 mg/6 jam. Umumnya
hanya diperlukan 20 mg. Obat dapat diberikan lagi jika timbul kontaksi
berulang.Dan dosis perawatan 3x10 mg.
2. Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol
dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih kecil.
Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 µg/menit, sedangkan per oral: 4
mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per infus: 10-
15 µg/menit, subkutan: 250 µg setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5
mg setiap 8 jam (maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah:
hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema
paru.
3. Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv, secara
bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance). Namun obat
ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat ditimbulkannya pada
ibu ataupun janin.7 Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi,
nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada ibu dan bayi).
4. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide
dapat menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat
cyclooxygenases (COXs) yang dibutuhkan untuk produksi prostaglandin.
Indometasin merupakan penghambat COX yang cukup kuat, namun
menimbulkan risiko kardiovaskular pada janin. Sulindac memiliki efek
samping yang lebih kecil daripada indometasin. Sedangkan nimesulide saat
ini hanya tersedia dalam konteks percobaan klinis.

Untuk menghambat proses PPI, selain tokolisis, pasien juga perlu


membatasi aktivitas atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual.

Kontraindikasi relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan


intrauterine terbukti tidak baik, seperti:
a. Oligohidramnion
b. Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini
c. Preeklamsia berat
d. Hasil nonstrees test tidak reaktif
e. Hasil contraction stress test positif
f. Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan pasien
stabil dan kesejahteraan janin baik
g. Kematian janin atau anomali janin yang mematikan
h. Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-mimetik.

2.8.2 Akselerasi pematangan fungsi paru


Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan
paru janin, menurunkan risiko respiratory distress syndrome(RDS), mencegah
perdarahan intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang
akhirnya menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana
usia kehamilan kurang dari 35 minggu.
Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason.Pemberian
steroid ini tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian
siklus tunggal kortikosteroid ialah:
1. Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.
2. Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.
Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin releasing
hormone 400 ug iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang
kemudian dapat meningkatkan produksi surfaktan. Ataupun pemberian suplemen
inositol, karena inositol merupakan komponen membran fosfolipid yang berperan
dalam pembentukan surfaktan.

2.8.3 Antibiotika
Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika
yang tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis
neonatorum.9 Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko
terjadinya infeksi, seperti pada kasus KPD.Obat diberikan per oral, yang
dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lainnya ialah
ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain
seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko
necrotising enterocolitis.7
Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob maupun
anaerob. Yang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas kuman.
Setelah itu dilakukan deteksi dan penanganan terhadap faktor risiko PPI, bila tidak
ada kontra indikasi, diberi tokolisis.
2.8.4 Cara Persalinan
Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan
seperti: apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea
terutama pada berat janin yang sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian
forseps untuk melindungi kepala janin, dan apakah ada manfaatnya dilakukan
episiotomi profilaksis yang luas untuk mengurangi trauma kepala. Bila janin
presentasi kepala maka diperbolehkan partus pervaginam dengan episiotomi lebar
dan perlindungan forseps terutama pada bayi < 35 minggu.
Seksio sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi,
bahkan merugikan ibu.Oleh karena itu prematuritas janganlah dipakai sebagai
indikasi untuk melakukan seksio sesarea.Seksio sesarea hanya dilakukan atas
indikasi obstetrik.
Indikasi seksio sesarea:
a. Janin sungsang
b. Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)
c. Gawat janin
d. Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah,
oligohidramnion, dan cairan amnion berbau.
e. Bila syarat pervaginam tidak terpenuhi
f. Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa, dan
sebagainya).
2. 9 Komplikasi
Pada ibu, setelah PPI, infeksi endometrium lebih sering terjadi sehingga
mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi.Sedangkan
bagi bayi, PPImenyebabkan 70% kematian prenatal atau neonatal, serta
menyebabkan morbiditas jangka pendek maupun jangka panjang. Morbiditas
jangka pendek diantaranya ialah respiratory distress syndrome (RDS), perdarahan
intra/periventrikular, necrotising enterocolitis (NEC), displasia bronko-pulmoner,
sepsis, dan paten duktus arteriosus. Adapun morbiditas jangka panjang yang
meliputi retardasi mental, gangguan perkembangan, serebral palsi, seizure
disorder, kebutaan, hilangnya pendengaran, juga dapat terjadi disfungsi
neurobehavioral dan prestasi sekolah yang kurang baik.
2. 10 Pencegahan
Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan dengan PPI dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
2.10.1 Pencegahan primer
Ditujukan untuk semua wanita, sebelum atau selama kehamilan untuk
mencegah dan mengurangi risiko. Berikut beberapa intervensi yang dapat
dilakukan sebagai pencegahan primer:
Pencegahan primer sebelum pembuahan dan selama kehamilan
1. Memberikan pendidikan: kepada semua wanita usia reproduksi diberikan
pendidikan mengenai faktor-faktor risiko dari PPI. Sehingga faktor-faktor
risiko yang dapat dimodifikasi seperti pengambilan keputusan mengenai
prosedur invasif (kuretase uterus dan biopsi endometrium), kehamilan
yang dibantu oleh teknologi, dan merokok dapat dihindari.
2. Kebijakan publik: terdapat kebijakan yang diterapkan oleh suatu
pemerintahan dalam melindungi wanita yang sedang hamil, seperti
menerapkan waktu cuti minimal 14 minggu pada wanita hamil yang
bekerja, memberikan izin bagi wanita yang berkerja untuk menghadiri
asuhan prenatal, menghindarkan wanita hamil dari jam kerja malam, serta
perlindungan wanita hamil terhadap bahaya lingkungan kerja.
3. Mengkonsumsi suplemen nutrisi: wanita yang sedang merencanakan
kehamilan disarankan untuk mulai mengkonsumsi berbagai suplemen
nutrisi, hingga selama kehamilan untuk mengurangi risiko masalah
kehamilan. Berdasarkan penelitian, morbiditas respiratori menurun pada
bayi yang dilahirkan oleh wanita yang mengkonsumsi tambahan vitamin.
4. Menghentikan konsumsi rokok sejak direncanakannya kehamilan,
mengingat adanya hubungan antara merokok dengan PPI.
5. Melakukan asuhan prenatal. Berdasarkan hasil penelitian, wanita yang
melakukan asuhan prenatal yang adekuat memiliki angka kejadian PPI
yang lebih rendah dibanding mereka yang melakukan asuhan prenatal
tidak memadai, atau yang tidak melakukan asuhan prenatal.
6. Melakukan perawatan periodontal. Risiko kelahiran preterm berhubungan
dengan keparahan penyakit periodontal, dan risiko meningkat ketika
penyakit periodontal berkembang selama kehamilan, tetapi dasar mengenai
hubungan ini masih belum jelas. Peningkatan risiko PPI ini dapat
disebabkan oleh penyebaran secara hematogen dari mikroba pathogen
rongga mulut ke organ genital, atau lebih mungkin karena respon inflamasi
terhadap mikroba pada rongga mulut dan traktus genitalis.
7. Melakukan skrining wanita risiko rendah. Skrining dan terapi bakteriuria
asimptomatik telah dilaporkan menurunkan tingkat PPI. Namun, skrining
dan protokol terapi yang optimum dalam mencegah PPI masih belum jelas
benar. Pencegahan PPI sebagian besar didasarkan pada riwayat PPI
sebelumnya dan adanya faktor risiko kehamilan seperti kehamilan multipel
dan perdarahan, tetapi lebih dari 50% PPI terjadi pada kehamilan tanpa
faktor risiko yang jelas. Sebagian besar faktor risiko yang didasarkan pada
riwayat persalinan sebelumnya ini, memiliki sensitivitas yang rendah
dalam memprediksi PPI. Namun, Goldenberg dkk melaporkan bahwa
jumlah dan usia PPI sebelumnya, merupakan faktor risiko PPI yang kuat,
begitu juga dengan adanya fibronektin janin pada cairan servikovaginal,
panjang serviks, dan vaginosis bacterial, juga merupakan faktor risiko PPI
spontan yang kuat.

2. 10.2 Pencegahan sekunder


Bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi risiko pada wanita yang
diketahui memiliki faktor risiko PPI.Sehingga dilakukan pada wanita yang
terbukti memiliki risiko PPI berdasarkan riwayat persalinan (misalnya, PPI
sebelumnya atau adanya anomali uterus) atau adanya risiko kehamilan saat ini
(misalnya kehamilan multipel atau perdarahan).Pencegahan ini memerlukan
identifikasi dan penurunan faktor risiko, yang keduanya terbukti sulit dilakukan.
Beberapa intervensi yang dapat dilakukan sebagai pencegahan sekunder
diantaranya ialah:
1. Pencegahan sekunder sebelum konsepsi: koreksi anomali duktus Mullerian,
pemberian progesteron profilaksis, mengontrol penyakit-penyakit seperti
diabetes, seizures, asma atau hipertensi.
2. Pencegahan sekunder setelah konsepsi:
a. Modifikasi aktivitas ibu (tirah baring, pembatasan kerja, dan menurunkan
aktivitas seksual, sering disarankan untuk menurunkan kemungkinan PPI)
b. Pemberian suplemen nutrisi (omega-3 polyunsaturated fatty acids
dianggap dapat menurunkan konsentrasi proinflammasi sitokin)
c. Peningkatan perawatan bagi wanita yang berisiko (asuhan prenatal yang
intensif, meliputi dukungan sosial, kunjungan ke rumah, serta pendidikan
pada wanita hamil)
d. Terapi antibiotik (masih kontroversial, memberikan antibiotik pada wanita
yang mengalami PPI sebelumnya dengan dugaan dikarenakan bakterial
vaginosis)
e. Pemberian progesteron (progesteron dianggap sebagai antagonis oksitosin,
sehingga menyebabkan relaksasi otot, selain itu progesteron memelihara
integritas serviks, dan memiliki efek antiinflamasi).

2.10.3 Pencegahan tersier


Pencegahan tersier merupakan pencegahan yang umum dilakukan.
Dimulai setelah proses persalinan terjadi, dengan tujuan untuk mencegah
kelahiran preterm atau meningkatkan outcome dari bayi preterm. Beberapa
intervensi yang dapat dilakukan sebagai pencegahan tersier diantaranya ialah
pengiriman ibu dengan PPI ke rumah sakit yang dilengkapi perawatan bayi
preterm dalam sistem regionalisasi, yang memberikan pelatihan dan
pengembangan keterampilan dan perawatan fasilitas, pemberian terapi tokolisis,
kortikosteroid antenatal, antibiotik dan PPI atas indikasi pada waktu yang tepat.

KPD ( Ketuban Pecah Dini )


Definisi
Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput sebelum terdapat tandatanda
persalinan mulai dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu terjadi pada
pembukaan< 4 cm yang dapat terjadi pada usia kehamilan cukup waktu atau
kurang waktu (Wiknjosastro, 2011; Mansjoer, 2010; Manuaba, 2009). Hal ini
dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan.
KPD preterm adalah KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu. KPD yang
memanjang adalah KPD yang terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktunya
melahirkan.
Etiologi
Penyebab ketuban pecah dini masih belum dapat diketahui dan tidak dapat
ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan ada faktorfaktor yang
berhubungan erat dengan ketuban pecah dini, namun faktorfaktor mana yang lebih
berperan sulit diketahui. Adapun yang menjadi faktor risiko menurut (Rukiyah,
2010; Manuaba, 2009; Winkjosastro, 2011) adalah : infeksi, serviks yang
inkompeten, ketegangan intra uterine, trauma, kelainan letak janin, keadaan sosial
ekonomi, peninggian tekanan intrauterine, kemungkinan kesempitan panggul,
korioamnionitis, faktor keturunan, riwayat KPD sebelumnya, kelainan atau
kerusakan selaput ketuban dan serviks yang pendek pada usia kehamilan 23
minggu. Infeksi, yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban dari vagina
atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini.
Ketegangan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan
(overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gemelli. Ketuban pecah dini
disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membran atau meningkatnya
tekanan intrauterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan
membran disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan
serviks. Selain itu ketuban pecah dini merupakan masalah kontroversi obstetrik
(Rukiyah, 2010) Inkompetensi serviks (leher rahim) adalah istilah untuk
menyebut kelainan pada otot-otot leher atau leher rahim (serviks) yang terlalu
lunak dan lemah, sehingga sedikit membuka ditengah-tengah kehamilan karena
tidak mampu menahan desakan janin yang semakin besar. Inkompetensi serviks
adalah serviks dengan suatu kelainan anatomi yang nyata, disebabkan laserasi
sebelumnya melalui ostium uteri atau merupakan suatu kelainan kongenital pada
serviks yang memungkinkan terjadinya dilatasi berlebihan tanpa perasaan nyeri
dan mules dalam masa kehamilan trimester kedua atau awal trimester ketiga yang
diikuti dengan penonjolan dan robekan selaput janin serta keluarnya hasil
konsepsi (Manuaba, 2009). Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat
secara berlebihan dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini, misalnya :
Trauma (hubungan seksual, pemeriksaan dalam, amniosintesis), Gemelli
(Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua janin atau lebih). Pada kehamilan
gemelli terjadi distensi uterus yang berlebihan, sehingga menimbulkan adanya
ketegangan rahim secara berlebihan. Hal ini terjadi karena jumlahnya berlebih, isi
rahim yang lebih besar dan kantung (selaput ketuban) relatif kecil sedangkan
dibagian bawah tidak ada yang menahan sehingga mengakibatkan selaput ketuban
tipis dan mudah pecah. Makrosomia adalah berat badan neonatus >4000 gram
kehamilan dengan makrosomia menimbulkan distensi uterus yang meningkat atau
over distensi dan menyebabkan tekanan pada intra uterin bertambah sehingga
menekan selaput ketuban, menyebabkan selaput ketuban menjadi teregang,tipis,
dan kekuatan membran menjadi berkurang, menimbulkan selaput ketuban mudah
pecah. Hidramnion atau polihidramnion adalah jumlah cairan amnion >2000mL.
Uterus dapat mengandung cairan dalam jumlah yang sangat banyak. Hidramnion
kronis adalah peningkatan jumlah cairan amnion terjadi secara berangsur-angsur.
Hidramnion akut, volume tersebut meningkat tiba-tiba dan uterus akan mengalami
distensi nyata dalam waktu beberapa hari saja (Winkjosastro, 2011).

Faktor Risiko ibu bersalin dengan Ketuban Pecah Dini


1. Pekerjaan
Menurut penelitian Abdullah (2012) Pola pekerjaan ibu hamil
berpengaruh terhadap kebutuhan energi. Kerja fisik pada saat hamil yang
terlalu berat dan dengan lama kerja melebihi tiga jam perhari dapat
berakibat kelelahan. Kelelahan dalam bekerja menyebabkan lemahnya
korion amnion sehingga timbul ketuban pecah dini. Pekerjaan merupakan
suatu yang penting dalam kehidupan, namun pada masa kehamilan
pekerjaan yang berat dan dapat membahayakan kehamilannya sebaiknya
dihindari untuk mejaga keselamatan ibu maupun janin. Hasil penelitian ini
sesuai dengan hasil penelitian Huda (2013) yang menyatakan bahwa ibu
yang bekerja dan lama kerja ≥40 jam/ minggu dapat meningkatkan risiko
sebesar 1,7 kali mengalami KPD dibandingkan dengan ibu yang tidak
bekerja. Hal ini disebabkan karena pekerjaan fisik ibu juga berhubungan
dengan keadaan sosial ekonomi. Pada ibu yang berasal dari strata sosial
ekonomi rendah banyak terlibat dengan pekerjaan fisik yang lebih berat.

2. Paritas
Multigravida atau paritas tinggi merupakan salah satu dari
penyebab terjadinya kasus ketuban pecah sebelum waktunya. Paritas 2-3
merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian. Paritas 1 dan
paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian maternal lebih
tinggi, risiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik lebih
baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi/ dicegah dengan
keluarga berencana (Wiknjosastro, 2011). Menurut penelitian Fatikah
(2015) konsistensi serviks pada persalinan sangat mempengaruhi
terjadinya ketuban pecah dini pada multipara dengan konsistensi serviks
yang tipis, kemungkinan terjadinya ketuban pecah dini lebih besar dengan
adanya tekanan intrauterin pada saat persalinan. konsistensi serviks yang
tipis dengan proses pembukaan serviks pada multipara (mendatar sambil
membuka hampir sekaligus) dapat mempercepat pembukaan serviks
sehingga dapat beresiko ketuban pecah sebelum pembukaan lengkap.
Paritas 2-3 merupakan paritas yang dianggap aman ditinjau dari sudut
insidensi kejadian ketuban pecah dini. Paritas satu dan paritas tinggi (lebih
dari tiga) mempunyai resiko terjadinya ketuban pecah dini lebih tinggi.
Pada paritas yang rendah (satu), alat-alat dasar panggul masih kaku
(kurang elastik) daripada multiparitas. Uterus yang telah melahirkan
banyak anak (grandemulti) cenderung bekerja tidak efisien dalam
persalinan (Cunningham, 2006). Menurut penelitian Abdullah (2012)
Paritas kedua dan ketiga merupakan keadaan yang relatif lebih aman untuk
hamil dan melahirkan pada masa reproduktif, karena pada keadaan
tersebut dinding uterus belum banyak mengalami perubahan, dan serviks
belum terlalu sering mengalami pembukaan sehingga dapat menyanggah
selaput ketuban dengan baik (Varney, 2010). Ibu yang telah melahirkan
beberapa kali lebih berisiko mengalami KPD, oleh karena vaskularisasi
pada uterus mengalami gangguan yang mengakibatkan jaringan ikat
selaput ketuban mudah rapuh dan akhirnya pecah spontan (Cunningham.
2006).

3. Usia
Menurut Mundi (2007) umur dibagi menjadi 3 kriteria yaitu < 20
tahun, 20-35 tahun dan > 35 tahun. Usia reproduksi yang aman untuk
kehamilan dan persalinan yaitu usia 20-35 tahun (Winkjosastro, 2011).
Pada usia ini alat kandungan telah matang dan siap untuk dibuahi,
kehamilan yang terjadi pada usia < 20 tahun atau terlalu muda sering
menyebabkan komplikasi/ penyulit bagi ibu dan janin, hal ini disebabkan
belum matangnya alat reproduksi untuk hamil, dimana rahim belum bisa
menahan kehamilan dengan baik, selaput ketuban belum matang dan
mudah mengalami robekan sehingga dapat menyebabkan terjadinya
ketuban pecah dini. Sedangkan pada usia yang terlalu tua atau > 35 tahun
memiliki resiko kesehatan bagi ibu dan bayinya (Winkjosastro, 2011).
Keadaan ini terjadi karena otot-otot dasar panggul tidak elastis lagi
sehingga mudah terjadi penyulit kehamilan dan persalinan. Salah satunya
adalah perut ibu yang menggantung dan serviks mudah berdilatasi
sehingga dapat menyebabkan pembukaan serviks terlalu dini yang
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini. Cunningham et all (2006)
yang menyatakan bahwa sejalan dengan bertambahnya usia maka akan
terjadi penurunan kemampuan organ- organ reproduksi untuk menjalankan
fungsinya, keadaan ini juga mempengaruhi proses embryogenesis, kualitas
sel telur juga semakin menurun, itu sebabnya kehamilan pada usia lanjut
berisiko terhadap perkembangan yang janin tidak normal, kelainan
bawaan, dan juga kondisi-kondisi lain yang mungkin mengganggu
kehamilan dan persalinan seperti kelahiran dengan ketuban pecah dini. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian Kurniawati (2012) yang membuktikan
bahwa umur ibu 35 tahun juga merupakan faktor predisposisi terjadinya
ketuban pecah dini karena pada usia ini sudah terjadi penurunan
kemampuan organ-organ reproduksi untuk menjalankan fungsinya,
keadaan ini juga mempengaruhi proses embryogenesis sehingga
pembentukan selaput lebih tipis yang memudahkan untuk pecah sebelum
waktunya.

4. Riwayat Ketuban Pecah Dini


Riwayat KPD sebelumnya berisiko 2-4 kali mengalami KPD kembali.
Patogenesis terjadinya KPD secara singkat ialah akibat adanya penurunan
kandungan kolagen dalam membran sehingga memicu terjadinya KPD
aterm dan KPD preterm terutama pada pasien risiko tinggi. Wanita yang
mengalami KPD pada kehamilan atau menjelang persalinan maka pada
kehamilan berikutnya akan lebih berisiko mengalaminya kembali antara 3-
4 kali dari pada wanita yang tidak mengalami KPD sebelumnya, karena
komposisi membran yang menjadi mudah rapuh dan kandungan kolagen
yang semakin menurun pada kehamilan berikutnya (Cunningham, 2006).
Menurut penelitian Utomo (2013) Riwayat kejadian KPD sebelumnya
menunjukkan bahwa wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan
mengalami KPD pada kehamilan sebelumnya diyakini lebih berisiko akan
mengalami KPD pada kehamilan berikutnya, hal ini dikemukakan oleh
Cunningham et all (2006). Keadaan yang dapat mengganggu kesehatan ibu
dan janin dalam kandungan juga juga dapat meningkatkan resiko kelahiran
dengan ketuban pecah dini. Preeklampsia/ eklampsia pada ibu hamil
mempunyai pengaruh langsung terhadap kualitas dan keadaan janin karena
terjadi penurunan darah ke plasenta yang mengakibatkan janin kekurangan
nutrisi.

5. Usia Kehamilan
Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung
pada usia kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal,
persalinan prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin,
meningkatnya insiden Sectio Caesaria, atau gagalnya persalinan normal.
Persalinan prematur setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh
persalinan. Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan
aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan
antara 28-34 minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan
kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam1minggu. Usia kehamilan
pada saat kelahiran merupakan satu-satunya alat ukur kesehatan janin yang
paling bermanfaat dan waktu kelahiran sering ditentukan dengan
pengkajian usia kehamilan. Pada tahap kehamilan lebih lanjut,
pengetahuan yang jelas tentang usia kehamilan mungkin sangat penting
karena dapat timbul sejumlah penyulit kehamilan yang penanganannya
bergantung pada usia janin. Periode waktu dari KPD sampai kelahiran
berbanding terbalik dengan usia kehamilan saat ketuban pecah. Jika
ketuban pecah trimester III hanya diperlukan beberapa hari saja hingga
kelahiran terjadi dibanding dengan trimester II. Makin muda kehamilan,
antar terminasi kehamilan banyak diperlukan waktu untuk
mempertahankan hingga janin lebih matur. Semakin lama menunggu,
kemungkinan infeksi akan semakin besar dan membahayakan janin serta
situasi maternal (Astuti, 2012).

6. Cephalopelvic Disproportion(CPD)
Keadaan panggul merupakan faktor penting dalam kelangsungan
persalinan,tetapi yang tidak kurang penting ialah hubungan antara kepala
janin dengan panggul ibu.Partus lama yang sering kali disertai pecahnya
ketuban pada pembukaan kecil,dapat menimbul dehidrasi serta asdosis,dan
infeksi intrapartum. Pengukuran panggul (pelvimetri) merupakan cara
pemeriksaanyang penting untuk mendapat keterangan lebih banyak
tentang keadaan panggul (Prawirohardjo, 2011).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Partus prematurus imminens adalah persalinan yang terjadi pada usia
kehamilan 22-37 minggu dan merupakan salah satu penyebab utama mortalitas
dan morbiditas perintal di seluruh dunia. Angka kejadian PPI pada umumnya
bervariasi antara 6% sampai 15% dari seluruh persalinan. Patogenesis dari PPI
masih belum dimengerti dengan benar.Namun, infeksi tampaknya menjadi
penyebab tersering dan paling penting dalam PPI.Meskipun patofisiologi PPI
kurang dapat dipahami, namun terdapat banyak faktor risiko yang diketahui
berperan pada PPI, dan pengetahuan terhadap adanya faktor risiko ini penting
dalam menilai kemungkinan terjadinya PPI.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah menghambat proses PPI dengan
pemberian tokolisis, akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan
kortikosteroid, dan bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi. Ibu hamil
yang mempunyai risiko mengalami PPI dan/atau menunjukan tanda-tanda PPI
perlu dilakukan intervensi untuk meningkatkan neonatal outcomes.Intervensi
yang dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang berhubungan
dengan PPI dapat diklasifikasikan menjadi pencegahan primer, sekunder, dan
tersier.
DAFTAR PUSTAKA

Wiknjosastro, H. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka,


Sarwono Prawirohardjo.
Wiknjosastro, H. 2007. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Manuaba, IBG. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC.
Oxorn Harry, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan
(Human Labor and Birth).Yogyakarta : YEM.
Joseph HK, dkk. 2010. Catatan Kuliah Ginekologi dan Obstetri
(obsgyn).Yogyakarta : Nuha Medika.
Hariadi, R. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Surabaya : Himpunan
Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia.
Varney, H. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 2.Jakarta :
EGC.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka
Cipta.

Anda mungkin juga menyukai