Disusun oleh:
Ana Lutfia Ariani
30101306866
Pembimbing:
dr.Yusuf Antoni, Sp.OG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2017
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
A. IDENTITAS
Nama penderita : Ny.K
Umur : 25 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
No. RM : 345XXX
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Buruh Pabrik
Status : Menikah
Alamat : Grobogan
Tanggal Masuk : 22 Desember 2017
Ruang : VK
B. ANAMNESA
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 22 Desember 2017
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh kencang-kencang dan keluar darah dari jalan lahir
yang berwarna bening terkadang disertai darah.
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Dr. R. Soedjati Purwodadi. pasien
merupakan rujukan dari Puskesmas Grobogan dengan G2P0A1 usia 25
tahun, usia kehamilan 34 minggu dengan PPI dan KPD keluar cairan dari
jalan lahir sejak jam 18.00. pasien pernah melakukan USG 1x pada
tanggal 16 November 2017 dan didapatkan kesan normal. Kencang
dirasakan 10 menit sekali. Durasi kencang rata-rata tiga puluh detik.
Kencang tidak hilang dengan berubah posisi atau berjalan-jalan.
3. Riwayat Haid
- HPHT : 16 April 2017
- HPL : 23 Januari 2017
- UK : 34 minggu
- Menarche : umur 14 tahun
- Siklus haid : 28 hari, teratur
- Lama haid : 7 hari
- Dismenore : (-)
4. Riwayat Pernikahan
Pasien menikah yang pertama kali dengan suami sekarang.
Usia pernikahan 6 tahun.
5. Riwayat Obstetri
G2P0A1 hamil 34 minggu
G1 : Abortus
G2 : Hamil ini
6. Riwayat ANC
Pasien mengaku baru 1x melakukan ANC di bidan dan tidak ada pesan
khusus.
7. Riwayat KB
Pasien menggunakan KB suntik 1 bulan dan 3 bulan selama 1 tahun
8. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Penyakit Paru : disangkal
Riwayat DM : disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Present
b. Status Internus
Status Obstetri
Abdomen
Imunoserologi
HIV :(-)
HbsAg :(-)
E. DIAGNOSA
Pasien wanita 25 tahun G2P0A1 gravida 34 minggu dengan
Partus prematurus imminens dan KPD
F. TATALAKSANA
Rawat Inap pasien
Pengawasan: KU, Vital Sign
Lengkapi laboratorium
Terapi medicamentosa
Infus RL 20tpm
Inj. Dexamethasone 2x1 6mg
Nifedipin 3x10mg
IP Tx
Dexamethasone 6mg S2dd1 tab selama 2 hari
2. PROGNOSA
Kehamilan: dubia
3. EDUKASI
a. Rawat inap dan tirah baring
b. Memberitahu kondisi ibu dan janin pada keluarga
c. Pemberian makan dalam jumlah sedikit, namun
frekuensi sering. Menghindari makanan asam, pedas,
serta berlemak. Minum cairan dalam jumlah adekuat.
d. Jangan mengelus perut, memutar puting atau tindakan
lain yang merangsang kontraksi uterus
Tgl 22 Desember 2017
22.30
S : Ibu mengatakan kenceng-kenceng dan ketuban rembes sejak jam
18.00
O :
VT : 2 cm, portio linak, kk rembes preskep turun di H 1
DJJ : 134x/mnt
HIS : (+), setiap 10 menit sekali kencang 30 detik
TD : 120/70 mmhg, N : 80 x, S : 36,3’C, RR : 20x/m
A : G2P0A1 hamil 34 minggu dengan Partus prematurus
imminens + KPD
P :
Infus RL 20tpm
Inj. Dexamethasone 2x1 6mg
Nifedipine 3x10 mg
Tgl 23 Desember 2017
10.30
S : Pasien mengatakan kenceng-kenceng dan ketuban masih
merembes
O :
DJJ : 145x/mnt
KU : Baik
TD : 110/70
HIS : (+)
N : 80x/m
RR : 20x/m
A : G2P0A1 hamil 34 minggu dengan Partus prematurus
imminens + KPD
P :
Infus RL 20tpm
Inj. Dexamethasone 2x1 6mg
Nifedipine 3x10 mg
22.30
S : Pasien mengatakan kenceng-kenceng (-) dan ketuban tidak
merembes
O :
DJJ : 140x/mnt
KU : Baik
TD : 120/70
HIS : (-)
N : 80x/m
RR : 20x/m
08.00
S : Pasien mengatakan sudah tidak ada keluhan
O :
DJJ : 137x/mnt
KU : Baik
TD : 110/70
HIS : (-)
N : 80x/m
RR : 20x/m
A : G2P0A1 hamil 34 minggu dengan Partus prematurus
imminens + KPD
P :
Infus RL 20tpm
Inj. Dexamethasone 2x1 6mg
observasi
16.00
S : Pasien mengatakan sudah tidak ada keluhan
O :
DJJ : 140x/mnt
KU : Baik
TD : 110/70
HIS : (-)
N : 80x/m
RR : 20x/m
A : G2P0A1 hamil 34 minggu dengan Partus prematurus
imminens + KPD
P :
Infus RL 20tpm
Inj. Dexamethasone 2x1 6mg
observasi
22.30
S : Pasien mengatakan sudah tidak ada keluhan
O :
DJJ : 140x/mnt
KU : Baik
TD : 110/80
HIS : (-)
N : 80x/m
RR : 20x/m
A : G2P0A1 hamil 34 minggu dengan Partus prematurus
imminens + KPD
P :
Infus RL 20tpm
Inj. Dexamethasone 2x1 6mg
observasi
Tgl 25 Desember 2017
2. 1 Definisi
Diagnosis PPI dibuat jika pasien dengan usia kehamilan kurang dari 37
minggu mengalami kontraksi yang teratur, setidaknya sekali setiap 10 menit, yang
dapat berhubungan dengan dilatasi dan/atau penipisan dari serviks. Pendapat lain
mengatakan PPI adalah persalinan yang berlangsung pada usia kehamilan 20-37
minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (AJOG 1995). Namun, batas
bawah usia kehamilan yang digunakan untuk membedakan PPI dengan abortus
spontan bervariasi menurut lokasi. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di
Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa PPI adalah persalinan yang terjadi pada
usia kehamilan 22-37 minggu.
2. 2 Epidemiologi
Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain: (1) persalinan atas
indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun seksio sesarea;
(2) PPI spontan dengan selaput amnion utuh; dan (3) PPI dengan ketuban pecah
dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan pervaginam atau melalui seksio sesarea.
Sekitar 30-35% dari PPI berdasarkan indikasi, 40-45% PPI terjadi secara spontan
dengan selaput amnion utuh, dan 25-30% PPI yang didahului ketuban pecah dini.
Konstribusi penyebab PPI berbeda berdasarkan kelompok etnis.PPI pada
wanita kulit putih lebih umum merupakan PPI spontan dengan selaput amnion
utuh, sedangkan pada wanita kulit hitam lebih umum didahului ketuban pecah dini
sebelumnya.PPI juga bisa dibagi menurut usia kehamilan: sekitar 5% PPI terjadi
pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar 15%
terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada
usia kehamilan 32-33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia
kehamilan 34-36 minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan
angka kejadian PPI, yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah
kelahiran preterm atas indikasi.
Gambar 2.1 Gambaran angka kejadian PPI di USA, 1989-2000
2. 3 Etiologi
Saat ini, telah diketahui bahwa penyebab PPI multifaktorial dan sesuai
dengan usia kehamilan. Diantaranya ialah:
1. Perdarahan desidua (misalnya abrupsi),
2. Distensi berlebih uterus (misalnya, pada kehamilan multipel atau
polihidramnion),
3. Inkompetensi serviks (misalnya, trauma dan cone biopsy),
4. Distorsi uterus (misalnya, kelainan duktus Mullerian atau fibroid uterus),
5. Radang leher rahim (misalnya, akibat vaginosis bakterialis atau
trikomonas),
6. Demam/inflamasi maternal (misalnya akibat infeksi asenden dari traktus
genitourinaria atau infeksi sistemik),
7. Perubahan hormonal, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-
adrenal, baik pada ibu maupun janin (misalnya, karena stres pada ibu atau
janin), dan
8. Insufisiensi uteroplasenta (misalnya, hipertensi, diabetes tipe I,
penyalahgunaan obat, merokok, atau konsumsi alkohol).
Tabel 2.1 Etiologi dan alur PPI yang diakui secara umum
2. 4 Faktor Risiko
Meskipun patofisiologi PPI kurang dapat dipahami, namun terdapat banyak
faktor risiko yang diketahui berperan pada PPI, dan pengetahuan terhadap adanya
faktor risiko ini penting dalam menilai kemungkinan terjadinya PPI.Namun
sayangnya upaya untuk menilai faktor risiko tersebut tidaklah mudah, karena
lebih dari setengah dari PPI terjadi pada wanita yang tidak memiliki faktor risiko
yang jelas.
Berikut beberapa faktor risiko terjadinya PPI:
Faktor risiko mayor
1. Kehamilan multipel
2. Polihidramnion
3. Anomali uterus
4. Dilatasi serviks > 2 cm pada kehamilan 32 minggu
5. Riwayat abortus 2 kali atau lebih pada trimester kedua
6. Riwayat PPI sebelumnya
7. Riwayat menjalani prosedur operasi pada serviks (cone biopsy, loop
electrosurgical excision procedure)
8. Penggunaan cocaine atau amphetamine
9. Serviks mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu
10. Operasi besar pada abdomen setelah trimester pertama.
Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor;
atau dua atau lebih faktor risiko minor; atau keduanya.
Disamping faktor risiko di atas, faktor risiko lain yang perlu diperhatikan
adalah tingkat sosio-biologi (seperti usia ibu, jumlah anak, obesitas, status
sosioekonomi yang rendah, ras, stres lingkungan) dan komplikasi kehamilan
lainnya (seperti infeksi maternal, preeklamsia-eklamsia, plasenta previa,
kehamilan yang diperoleh melalui bantuan medikasi, terlambat atau tidak
melakukan asuhan antenatal). Merupakan langkah penting dalam pencegahan PPI
adalah bagaimana mengidentifikasi faktor risiko dan kemudian memberikan
asuhan prenatal serta penyuluhan agar ibu dapat mengurangi risiko tambahan.
2. 5 Patogenesis
Penyebab PPI multifaktorial dan dapat saling berinteraksi satu sama lain.
Berikut beberapa alur yang umum terjadi pada PPI:
Dari beberapa cara yang telah disebutkan di atas, cara yang paling umum ialah
penyebaran secara ascending dari vagina dan serviks.Hal ini dapat ditunjukkan
oleh suatu kondisi yang disebut vaginosis bakterialis, yang merupakan sebuah
kondisi ketika flora normal vagina predominan-laktobasilus yang menghasilkan
hidrogen peroksida digantikan oleh bakteri anaerob, Gardnerella vaginalis,
spesies Mobilunkus, atau Mycoplasma hominis. Keadaan ini telah lama dikaitkan
dengan ketuban pecah dini, PPI, dan infeksi amnion, terutama bila pada
pemeriksaan pH vagina lebih dari 5,0.
Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko PPI juga meningkat
pada perokok.Mekanisme meningkatnya risiko PPI pada wanita yang merokok
sampai saat ini belum jelas.Terdapat lebih dari 3000 bahan kimia dalam batang
rokok, yang masing-masing efek biologisnya sebagian besar tidak
diketahui.Namun, baik nikotin dan karbon monoksida merupakan vasokonstriktor
yang kuat dan dihubungkan dengan kerusakan plasenta serta menurunnya aliran
darah uteroplasenta.Kedua jalur tersebut mengarah pada terhambatnya
pertumbuhan janin dan PPI.
Lingkungan intrauterine yang buruk, seperti saat terganggunya aliran darah
uteroplasenta atau kondisi hipoksemia janin akan mengaktivasi aksis
hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) janin, yang ditunjukkan dengan
peningkatan corticotrophin-releasing hormone (CRH) oleh hipotalamus, yang
kemudian memacu sekresi adrenocorticotrophic hormone (ACTH) oleh hipofisis
anterior. ACTH pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan sekresi kortisol
dari korteks adrenal. Kortisol kemudian meningkatkan ekspresi PGHS-2
(prostaglandin H synthase), dan menghambat aktivasi PGDH (15-OH
prostaglandin dehydrogenase).
Selain itu, merokok juga dihubungkan dengan respon inflammasi sistemik
yang juga dianggap dapat meningkatkan risiko PPI, melalui peningkatan produksi
sitokin.
Tabel 2.2 Kombinasi penilaian panjang serviks dan fibronektin janin dalam
memprediksi risiko terulangnya PPI
Risiko terulangnya PPI
Panjang serviks
fFN positif fFN negatif
< 25 mm 65% 25%
25-35 mm 45% 14%
> 35 mm 25% 7%
2. 7 Diagnosis
Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman
PPI.Diferensiasi dini antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu sulit
dilakukan sebelum adanya pendataran dan dilatasi serviks.Kontraksi uterus sendiri
dapat menyesatkan karena ada kontraksi Braxtons Hicks. Kontraksi ini
digambarkan sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmik, dan tidak begitu
sakit atau tidak sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan keraguan yang amat
besar dalam penegakan diagnosis PPI. Tidak jarang, wanita yang melahirkan
sebelum aterm mempunyai aktivitas uterus yang mirip dengan kontraksi Braxtons
Hicks, yang mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu.
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI, yaitu:
1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya
setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi,
rasa tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%,
atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
6. Selaput amnion seringkali telah pecah,
7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.
Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The
American Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis
PPI ialah sebagai berikut:
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau
delapan kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.
2. 8 Penatalaksanaan
Hal pertama yang dipikirkan pada penatalaksanaan PPI ialah, apakah ini
memang PPI.Selanjutnya mencari penyebabnya dan menilai kesejahteraan janin
yang dapat dilakukan secara klinis, laboratoris, ataupun ultrasonografi, meliputi
pertumbuhan/berat janin, jumlah dan keadaan cairan amnion, persentasi dan
keadaan janin/kelainan kongenital.
Bila proses PPI masih tetap berlangsung atau mengancam, meski telah
dilakukan segala upaya pencegahan, maka perlu dipertimbangkan:
1. Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter
spesialis kesehatan anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi preterm,
atau berapa persen yang akan hidup menurut berat dan usia gestasi tertentu.
2. Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesaria.
3. Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma
gawat nafas.
4. Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi perawatan
bayi preterm dan kemungkinan hidup atau cacat.
5. Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm, dengan
rencana perawatan intensif neonatus.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:
1. Menghambat proses persalian preterm dengan pemberian tokolisis,
2. Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid,
3. Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan
antibiotik.
2.8.1 Tokolisis
Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan,
tidak ada yang benar-benar efektif.Namun, pemberian tokolisis masih perlu
dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi uterus yang regular disertai perubahan
serviks pada kehamilan preterm.
2.8.3 Antibiotika
Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika
yang tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis
neonatorum.9 Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko
terjadinya infeksi, seperti pada kasus KPD.Obat diberikan per oral, yang
dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lainnya ialah
ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain
seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko
necrotising enterocolitis.7
Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob maupun
anaerob. Yang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas kuman.
Setelah itu dilakukan deteksi dan penanganan terhadap faktor risiko PPI, bila tidak
ada kontra indikasi, diberi tokolisis.
2.8.4 Cara Persalinan
Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan
seperti: apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea
terutama pada berat janin yang sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian
forseps untuk melindungi kepala janin, dan apakah ada manfaatnya dilakukan
episiotomi profilaksis yang luas untuk mengurangi trauma kepala. Bila janin
presentasi kepala maka diperbolehkan partus pervaginam dengan episiotomi lebar
dan perlindungan forseps terutama pada bayi < 35 minggu.
Seksio sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi,
bahkan merugikan ibu.Oleh karena itu prematuritas janganlah dipakai sebagai
indikasi untuk melakukan seksio sesarea.Seksio sesarea hanya dilakukan atas
indikasi obstetrik.
Indikasi seksio sesarea:
a. Janin sungsang
b. Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)
c. Gawat janin
d. Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah,
oligohidramnion, dan cairan amnion berbau.
e. Bila syarat pervaginam tidak terpenuhi
f. Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa, dan
sebagainya).
2. 9 Komplikasi
Pada ibu, setelah PPI, infeksi endometrium lebih sering terjadi sehingga
mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi.Sedangkan
bagi bayi, PPImenyebabkan 70% kematian prenatal atau neonatal, serta
menyebabkan morbiditas jangka pendek maupun jangka panjang. Morbiditas
jangka pendek diantaranya ialah respiratory distress syndrome (RDS), perdarahan
intra/periventrikular, necrotising enterocolitis (NEC), displasia bronko-pulmoner,
sepsis, dan paten duktus arteriosus. Adapun morbiditas jangka panjang yang
meliputi retardasi mental, gangguan perkembangan, serebral palsi, seizure
disorder, kebutaan, hilangnya pendengaran, juga dapat terjadi disfungsi
neurobehavioral dan prestasi sekolah yang kurang baik.
2. 10 Pencegahan
Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan dengan PPI dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
2.10.1 Pencegahan primer
Ditujukan untuk semua wanita, sebelum atau selama kehamilan untuk
mencegah dan mengurangi risiko. Berikut beberapa intervensi yang dapat
dilakukan sebagai pencegahan primer:
Pencegahan primer sebelum pembuahan dan selama kehamilan
1. Memberikan pendidikan: kepada semua wanita usia reproduksi diberikan
pendidikan mengenai faktor-faktor risiko dari PPI. Sehingga faktor-faktor
risiko yang dapat dimodifikasi seperti pengambilan keputusan mengenai
prosedur invasif (kuretase uterus dan biopsi endometrium), kehamilan
yang dibantu oleh teknologi, dan merokok dapat dihindari.
2. Kebijakan publik: terdapat kebijakan yang diterapkan oleh suatu
pemerintahan dalam melindungi wanita yang sedang hamil, seperti
menerapkan waktu cuti minimal 14 minggu pada wanita hamil yang
bekerja, memberikan izin bagi wanita yang berkerja untuk menghadiri
asuhan prenatal, menghindarkan wanita hamil dari jam kerja malam, serta
perlindungan wanita hamil terhadap bahaya lingkungan kerja.
3. Mengkonsumsi suplemen nutrisi: wanita yang sedang merencanakan
kehamilan disarankan untuk mulai mengkonsumsi berbagai suplemen
nutrisi, hingga selama kehamilan untuk mengurangi risiko masalah
kehamilan. Berdasarkan penelitian, morbiditas respiratori menurun pada
bayi yang dilahirkan oleh wanita yang mengkonsumsi tambahan vitamin.
4. Menghentikan konsumsi rokok sejak direncanakannya kehamilan,
mengingat adanya hubungan antara merokok dengan PPI.
5. Melakukan asuhan prenatal. Berdasarkan hasil penelitian, wanita yang
melakukan asuhan prenatal yang adekuat memiliki angka kejadian PPI
yang lebih rendah dibanding mereka yang melakukan asuhan prenatal
tidak memadai, atau yang tidak melakukan asuhan prenatal.
6. Melakukan perawatan periodontal. Risiko kelahiran preterm berhubungan
dengan keparahan penyakit periodontal, dan risiko meningkat ketika
penyakit periodontal berkembang selama kehamilan, tetapi dasar mengenai
hubungan ini masih belum jelas. Peningkatan risiko PPI ini dapat
disebabkan oleh penyebaran secara hematogen dari mikroba pathogen
rongga mulut ke organ genital, atau lebih mungkin karena respon inflamasi
terhadap mikroba pada rongga mulut dan traktus genitalis.
7. Melakukan skrining wanita risiko rendah. Skrining dan terapi bakteriuria
asimptomatik telah dilaporkan menurunkan tingkat PPI. Namun, skrining
dan protokol terapi yang optimum dalam mencegah PPI masih belum jelas
benar. Pencegahan PPI sebagian besar didasarkan pada riwayat PPI
sebelumnya dan adanya faktor risiko kehamilan seperti kehamilan multipel
dan perdarahan, tetapi lebih dari 50% PPI terjadi pada kehamilan tanpa
faktor risiko yang jelas. Sebagian besar faktor risiko yang didasarkan pada
riwayat persalinan sebelumnya ini, memiliki sensitivitas yang rendah
dalam memprediksi PPI. Namun, Goldenberg dkk melaporkan bahwa
jumlah dan usia PPI sebelumnya, merupakan faktor risiko PPI yang kuat,
begitu juga dengan adanya fibronektin janin pada cairan servikovaginal,
panjang serviks, dan vaginosis bacterial, juga merupakan faktor risiko PPI
spontan yang kuat.
2. Paritas
Multigravida atau paritas tinggi merupakan salah satu dari
penyebab terjadinya kasus ketuban pecah sebelum waktunya. Paritas 2-3
merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian. Paritas 1 dan
paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian maternal lebih
tinggi, risiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik lebih
baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi/ dicegah dengan
keluarga berencana (Wiknjosastro, 2011). Menurut penelitian Fatikah
(2015) konsistensi serviks pada persalinan sangat mempengaruhi
terjadinya ketuban pecah dini pada multipara dengan konsistensi serviks
yang tipis, kemungkinan terjadinya ketuban pecah dini lebih besar dengan
adanya tekanan intrauterin pada saat persalinan. konsistensi serviks yang
tipis dengan proses pembukaan serviks pada multipara (mendatar sambil
membuka hampir sekaligus) dapat mempercepat pembukaan serviks
sehingga dapat beresiko ketuban pecah sebelum pembukaan lengkap.
Paritas 2-3 merupakan paritas yang dianggap aman ditinjau dari sudut
insidensi kejadian ketuban pecah dini. Paritas satu dan paritas tinggi (lebih
dari tiga) mempunyai resiko terjadinya ketuban pecah dini lebih tinggi.
Pada paritas yang rendah (satu), alat-alat dasar panggul masih kaku
(kurang elastik) daripada multiparitas. Uterus yang telah melahirkan
banyak anak (grandemulti) cenderung bekerja tidak efisien dalam
persalinan (Cunningham, 2006). Menurut penelitian Abdullah (2012)
Paritas kedua dan ketiga merupakan keadaan yang relatif lebih aman untuk
hamil dan melahirkan pada masa reproduktif, karena pada keadaan
tersebut dinding uterus belum banyak mengalami perubahan, dan serviks
belum terlalu sering mengalami pembukaan sehingga dapat menyanggah
selaput ketuban dengan baik (Varney, 2010). Ibu yang telah melahirkan
beberapa kali lebih berisiko mengalami KPD, oleh karena vaskularisasi
pada uterus mengalami gangguan yang mengakibatkan jaringan ikat
selaput ketuban mudah rapuh dan akhirnya pecah spontan (Cunningham.
2006).
3. Usia
Menurut Mundi (2007) umur dibagi menjadi 3 kriteria yaitu < 20
tahun, 20-35 tahun dan > 35 tahun. Usia reproduksi yang aman untuk
kehamilan dan persalinan yaitu usia 20-35 tahun (Winkjosastro, 2011).
Pada usia ini alat kandungan telah matang dan siap untuk dibuahi,
kehamilan yang terjadi pada usia < 20 tahun atau terlalu muda sering
menyebabkan komplikasi/ penyulit bagi ibu dan janin, hal ini disebabkan
belum matangnya alat reproduksi untuk hamil, dimana rahim belum bisa
menahan kehamilan dengan baik, selaput ketuban belum matang dan
mudah mengalami robekan sehingga dapat menyebabkan terjadinya
ketuban pecah dini. Sedangkan pada usia yang terlalu tua atau > 35 tahun
memiliki resiko kesehatan bagi ibu dan bayinya (Winkjosastro, 2011).
Keadaan ini terjadi karena otot-otot dasar panggul tidak elastis lagi
sehingga mudah terjadi penyulit kehamilan dan persalinan. Salah satunya
adalah perut ibu yang menggantung dan serviks mudah berdilatasi
sehingga dapat menyebabkan pembukaan serviks terlalu dini yang
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini. Cunningham et all (2006)
yang menyatakan bahwa sejalan dengan bertambahnya usia maka akan
terjadi penurunan kemampuan organ- organ reproduksi untuk menjalankan
fungsinya, keadaan ini juga mempengaruhi proses embryogenesis, kualitas
sel telur juga semakin menurun, itu sebabnya kehamilan pada usia lanjut
berisiko terhadap perkembangan yang janin tidak normal, kelainan
bawaan, dan juga kondisi-kondisi lain yang mungkin mengganggu
kehamilan dan persalinan seperti kelahiran dengan ketuban pecah dini. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian Kurniawati (2012) yang membuktikan
bahwa umur ibu 35 tahun juga merupakan faktor predisposisi terjadinya
ketuban pecah dini karena pada usia ini sudah terjadi penurunan
kemampuan organ-organ reproduksi untuk menjalankan fungsinya,
keadaan ini juga mempengaruhi proses embryogenesis sehingga
pembentukan selaput lebih tipis yang memudahkan untuk pecah sebelum
waktunya.
5. Usia Kehamilan
Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung
pada usia kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal,
persalinan prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin,
meningkatnya insiden Sectio Caesaria, atau gagalnya persalinan normal.
Persalinan prematur setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh
persalinan. Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan
aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan
antara 28-34 minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan
kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam1minggu. Usia kehamilan
pada saat kelahiran merupakan satu-satunya alat ukur kesehatan janin yang
paling bermanfaat dan waktu kelahiran sering ditentukan dengan
pengkajian usia kehamilan. Pada tahap kehamilan lebih lanjut,
pengetahuan yang jelas tentang usia kehamilan mungkin sangat penting
karena dapat timbul sejumlah penyulit kehamilan yang penanganannya
bergantung pada usia janin. Periode waktu dari KPD sampai kelahiran
berbanding terbalik dengan usia kehamilan saat ketuban pecah. Jika
ketuban pecah trimester III hanya diperlukan beberapa hari saja hingga
kelahiran terjadi dibanding dengan trimester II. Makin muda kehamilan,
antar terminasi kehamilan banyak diperlukan waktu untuk
mempertahankan hingga janin lebih matur. Semakin lama menunggu,
kemungkinan infeksi akan semakin besar dan membahayakan janin serta
situasi maternal (Astuti, 2012).
6. Cephalopelvic Disproportion(CPD)
Keadaan panggul merupakan faktor penting dalam kelangsungan
persalinan,tetapi yang tidak kurang penting ialah hubungan antara kepala
janin dengan panggul ibu.Partus lama yang sering kali disertai pecahnya
ketuban pada pembukaan kecil,dapat menimbul dehidrasi serta asdosis,dan
infeksi intrapartum. Pengukuran panggul (pelvimetri) merupakan cara
pemeriksaanyang penting untuk mendapat keterangan lebih banyak
tentang keadaan panggul (Prawirohardjo, 2011).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Partus prematurus imminens adalah persalinan yang terjadi pada usia
kehamilan 22-37 minggu dan merupakan salah satu penyebab utama mortalitas
dan morbiditas perintal di seluruh dunia. Angka kejadian PPI pada umumnya
bervariasi antara 6% sampai 15% dari seluruh persalinan. Patogenesis dari PPI
masih belum dimengerti dengan benar.Namun, infeksi tampaknya menjadi
penyebab tersering dan paling penting dalam PPI.Meskipun patofisiologi PPI
kurang dapat dipahami, namun terdapat banyak faktor risiko yang diketahui
berperan pada PPI, dan pengetahuan terhadap adanya faktor risiko ini penting
dalam menilai kemungkinan terjadinya PPI.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah menghambat proses PPI dengan
pemberian tokolisis, akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan
kortikosteroid, dan bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi. Ibu hamil
yang mempunyai risiko mengalami PPI dan/atau menunjukan tanda-tanda PPI
perlu dilakukan intervensi untuk meningkatkan neonatal outcomes.Intervensi
yang dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang berhubungan
dengan PPI dapat diklasifikasikan menjadi pencegahan primer, sekunder, dan
tersier.
DAFTAR PUSTAKA