Anda di halaman 1dari 15

PRESENTASI KASUS POLIKLINIK

NEURALGIA PASCAHERPETIKA

Pembimbing : dr. Hernawan, Sp.S

Disusun oleh :
Rhininta Adistyarani G4A014090

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS POLIKLINIK

NEURALGIA PASCAHERPETIKA

Diajukan untuk memenuhi syarat


mengikuti Kepaniteraan Klinik
di bagian Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal: Januari 2017

Disusun oleh :
Rhinita Adistyarani G4A014090

Purwokerto, Januari 2017


Pembimbing,

dr. Hernawan, Sp.S


BAB I
PENDAHULUAN

Neuralgia pascaherpetika (NPH) didefinisikan sebagai nyeri yang terus


berlangsung selama 3 bulan setelah lesi herpes zoster sembuh, atau nyeri yang terus
berlangsung selama 120 hari sejak timbulnya lesi herpes zoster. Dari data yang ada,
disimpulkan bahwa 10-25% pasien herpes zoster akan mengalami neuralgia
pascaherpetika dan kebanyakan pada pasien berusia lanjut.1,2
Di Amerika Serikat, NPH merupakan penyebab nyeri neuropatik tersering ketiga
setelah low back pain dan neuropati diabetik. Baik frekuensi dan durasi NPH keduanya
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Di antara pasien dengan herpes zoster
(HZ) akut, NPH berkembang pada 73% pasien diatas 70 tahun, 47% pasien diatas 60
tahun sedangkan untuk usia diatas 55 tahun hanya 27%. Hampir setengah dari pasien
diatas 70 tahun tersebut (48%) menderita NPH dengan durasi lebih dari 1 tahun.4
Nyeri yang terjadi pada NPH ini dapat menimbulkan gangguan tidur, depresi,
anoreksia, penurunan berat badan, kelelahan kronis dan mengganggu aktivitas sehari-hari
seperti berpakaian, mandi, belanja, memasak, pekerjaan rumah dan dalam melakukan
perjalanan.3 Oleh sebab itu, diperlukan pencegahan yang tepat yang dapat dilakukan saat
pasien terkena herpes zoster sehingga diharapkan dapat menurunkan risiko komplikasi
NPH.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Neuralgia pascaherpetika (NPH) didefinisikan sebagai nyeri yang terus
berlangsung selama 3 bulan setelah lesi herpes zoster sembuh, atau nyeri yang terus
berlangsung selama 120 hari sejak timbulnya lesi herpes zoster. Dari data yang ada,
disimpulkan bahwa 10-25% pasien herpes zoster akan mengalami neuralgia
pascaherpetika dan kebanyakan pada pasien berusia lanjut.1,2

2. Epidemiologi
Pada penelitian klinis dan komunitas, insidensi NPH secara keseluruhan yaitu 8-
15% tergantung dari definisi operasionalnya.3 Di Amerika Serikat, NPH merupakan
penyebab nyeri neuropatik tersering ketiga setelah low back pain dan neuropati diabetik.
Baik frekuensi dan durasi NPH keduanya meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Di antara pasien dengan herpes zoster (HZ) akut, NPH berkembang pada 73% pasien
diatas 70 tahun, 47% pasien diatas 60 tahun sedangkan untuk usia diatas 55 tahun hanya
27%. Hampir setengah dari pasien diatas 70 tahun tersebut (48%) menderita NPH
dengan durasi lebih dari 1 tahun.4 Wiryadi dkk melaporkan angka kejadian NPH pada
pasien HZ yang berobat antara tahun 1995-1996 sebesar 11% dari 738 pasien HZ di 6
rumah sakit pendidikan di Indonesia.5 Selama periode tahun 2006-2010, terdapat 82
pasien didiagnosis NPH dari seluruh pasien yang berobat ke poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUP Dr. Kariadi Semarang.6

3. Etiologi
Neuralgia pascaherpetika disebabkan oleh kerusakan neuron perifer dan sentral,
yang diakibatkan oleh respon imun dari reaktivasi virus varicella zoster.7 Setelah
perbaikan infeksi primer VZV, virus menetap secara laten di dalam ganglion radiks
dorsalis saraf kranial atau saraf spinal. Reaktivasi virus VZ yang diikuti replikasi
menginduksi terjadinya perubahan inflamasi pada neuron perifer dan ganglion
sensoris. Hal ini dapat menginduksi siklus sensitisasi yang mengakibatkan nyeri yang
menetap.6
4. Patofisiologi
Pada keadaan fisiologis, stimulus nosiseptif diterima oleh 3 macam reseptor saraf,
yakni mekanoseptor, termoreseptor, dan nosiseptor polimodal. Mekanoseptor diaktivasi
oleh stimulus mekanis, kemudian ditransmisikan oleh serabut saraf A dan C, sedangkan
termoreseptor diaktivasi oleh stimulus termal yang kebanyakan ditransmisikan oleh
serabut saraf C. Serabut saraf A dan C merupakan serabut saraf aferen pada akson distal
dari neuron sensoris primer. Serabut saraf C sangat halus, tidak bermyelin, mengalirkan
stimulus secara lambat. Serabut saraf C adalah serabut saraf polimodal dan
mentransmisikan nyeri tumpul atau seperti terbakar. Serabut saraf A bermyelin tipis dan
mengalirkan stimulus dengan cepat. Serabut saraf A merespons sentuhan ringan, suhu,
tekanan, serta nyeri bersifat tajam dan dapat meletupkan potensial aksi sesuai dengan
proporsi intensitas stimulus yang diterimanya.8
Neuralgia pascaherpetika termasuk nyeri neuropatik, yakni nyeri yang disebabkan
oleh kerusakan atau disfungsi primer pada sistem saraf. Pada nyeri neuropatik terjadi
kerusakan saraf perifer dan perubahan sinyal sistem saraf pusat, sehingga terjadi letupan
potensial aksi spontan, ambang aktivasi saraf yang menurun, dan peningkatan respon
terhadap stimulus.9,10
Mekanisme terjadinya neuralgia pascaherpetika dapat berlainan pada setiap
individu sehingga manifestasi nyeri yang berhubungan dengan neuralgia pascaherpetika
juga berlainan. Replikasi virus di dalam ganglion dorsalis menyebabkan respon inflamasi
berupa pembengkakan, perdarahan, nekrosis dan kematian sel neuron. Kemudian virus
akan menyebar secara sentrifugal sepanjang saraf menuju ke kulit, menyebabkan
inflamasi dan kerusakan saraf perifer. Kadang-kadang virus menyebar secara sentripetal
ke arah medula spinalis (mengenai area sensorik dan motorik) serta batang otak. Hal ini
menyebabkan sensitisasi ataupun deaferenisasi elemen saraf perifer dan sentral.1,11
Sensitisasi saraf perifer terutama terjadi pada nosiseptor serabut saraf C yang
halus dan tidak bermyelin. Sensitisasi ini menyebabkan ambang sensoris terhadap suhu
menurun, menimbulkan heat hyperalgesia, yakni nyeri seperti terbakar. Selain itu juga
terjadi letupan ektopik dari nosiseptor C yang rusak sehingga timbul alodinia, yakni rasa
nyeri akibat stimulus yang pada keadaan normal tidak menimbulkan rasa nyeri. Sebagai
respon atas menghilangnya sebagian besar input serabut saraf C karena kerusakan
tersebut, terbentuk tunas-tunas serabut saraf A yang menerima rangsang non-noksius
mekanoseptor di lapisan superfi sial kornu dorsalis medula spinalis. Pertunasan ini
menyebabkan hubungan antara serabut saraf A yang tidak menghantarkan nyeri dengan
serabut saraf C, sehingga stimulus yang tidak menyebabkan nyeri (raba halus)
dipersepsikan sebagai nyeri.1,9
Selain sensitisasi perifer dapat juga terjadi sensitisasi sentral yang menyebabkan
terjadinya nyeri spontan maupun nyeri yang diprovokasi, berupa alodinia dan
hiperalgesia. Sensitisasi sentral disebabkan oleh aktivitas ektopik dari serabut saraf
aferen. Neurotransmiter eksitatorik utama di medula spinalis adalah glutamat yang
berikatan dengan reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA). Glutamat diproduksi oleh
serabut saraf aferen primer di kornu dorsalis. Pada keadaan istirahat glutamat akan
mengaktivasi reseptor ionotropik -amino-3-hidroksi-5-metil-4-isoksazol propionat
(AMPA), reseptor kainat, dan reseptor metabotropik glutamat (mGluRs), sedangkan
reseptor NMDA diblok oleh ion magnesium sehingga mencegah masuknya ion natrium
dan kalsium yang akan terjadi saat glutamat berikatan dengan reseptor NMDA tersebut.
Aktivasi pascasinap yang berulang akan menyebabkan sumasi potensial sinaptik dan
depolarisasi membran yang progresif. Hal ini menyebabkan reseptor NMDA terbebas
dari blok ion magnesium yang selanjutnya menyebabkan infl uks kation-kation ke dalam
sel dan depolarisasi membran makin progresif.10
Neuralgia pascaherpetika juga dapat terjadi akibat proses deaferenisasi, yakni
hilangnya serabut saraf aferen sensoris baik yang berdiameter besar maupun kecil. Lesi
pada serabut saraf perifer maupun sentral dapat memacu terjadinya remodeling dan
hipereksitabilitas membran sel. Lesi yang masih terhubung dengan badan sel akan
membentuk tunas-tunas baru. Tunastunas baru ini ada yang mencapai organ target,
sedangkan yang tidak mencapai organ target akan membentuk neuroma, di neuroma ini
akan terakumulasi berbagai kanal ion, terutama kanal ion natrium, molekul-molekul
transduser dan reseptor-reseptor baru, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan
terjadinya letupan ektopik, mekanosensitivitas abnormal, sensitivitas terhadap suhu dan
kimia. Letupan ektopik dan sensitisasi berbagai reseptor akan menyebabkan timbulnya
nyeri spontan dan nyeri yang diprovokasi. Letupan spontan pada neuron sentral yang
terdeaferenisasi akan menyebabkan terjadinya nyeri konstan pada area tersebut.1,9
Gambar 1. Sensitisasi dan Deaferensiasi12

5. Manifestasi Klinis
Neuralgia paska herpetika sering mengenai dermatom regio torakal diikuti divisi
oftalmik pada regio trigeminal, regio saraf kranial lainnya dan regio servikal kemudian
dermatom lumbar dan sakral (lihat tabel 1).

Tabel 1. Distribusi Dermatomal Herpes Zoster pada Pasien Imunokompeten13


Regio Jumlah kasus
Torakal >50% dari semua kasus
Kranial 10-20%
Servikal 10-20%
Lumbar 10-20%
Sakral 2-8%
Generalisata <1%

Pasien NPH biasanya mengeluh nyeri yang bersifat spontan (dideskripsikan


sebagai rasa terbakar, aching, throbbing), nyeri yang intermiten (nyeri seperti ditusuk,
ditembak) dan/atau nyeri yang dibangkitkan oleh stimulus seperti alodinia. Alodinia
(nyeri yang dibangkitkan oleh stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri)
merupakan nyeri yang terdapat pada hampir 90% pasien NPH. Pasien dengan alodinia
dapat menderita nyeri yang hebat setelah tersentuh baik dengan sentuhan yang paling
ringan sekalipun seperti angin sepoi-sepoi ataupun selembar pakaian. Biasanya alodinia
terjadi jelas di daerah yang masih mempunyai sensasi, sedangkan nyeri spontan terjadi
terutama di daerah yang sensasinya terganggu atau hilang. Hampir seluruh pasien
memiliki sensasi abnormal pada raba halus, suhu, dan getar pada dermatom yang
terkena. Pasien juga sering mengalami disestesia, hiperalgesia, anestesia dan parestesia
yang kontinyu.3,13,14
Nyeri seperti ini dapat menimbulkan gangguan tidur, depresi, anoreksia,
penurunan berat badan, kelelahan kronis dan mengganggu aktivitas sehari-hari seperti
berpakaian, mandi, belanja, memasak, pekerjaan rumah dan dalam melakukan
perjalanan.3

6. Penegakan Diagnosis
Diagnosis NPH merupakan diagnosis klinis. Adanya riwayat HZ diikuti nyeri
yang menetap dikaitkan dengan dermatom yang terkena atau daerah yang berdekatan
merupakan ciri khas NPH. Namun pada beberapa kasus tidak terdapat riwayat erupsi HZ.
Pada kasus seperti ini diagnosis definitif berdasarkan pemeriksaan serologik serial yang
kadang-kadang dapat dimungkinkan praktik klinis. Uji diagnostik ini berguna dalam
penelitian yang dapat membantu dalam penetapan protokol terapi. Uji diagnostik ini
meliputi uji sensoris kuantitatif, biopsi kulit dan uji konduksi saraf. 13 Langkah diagnosis
NPH dapat dilihat pada tabel berikut :15

Tabel 2. Langkah-langkah Diagnosis NPH


Langkah Catatan Pendukung Diagnosis
Anamnesis - Tanyakan sumber nyeri pasien
- Nyeri biasanya menyebar unilateral, bersifat gatal,
terbakar, tajam, atau ditusuk
- Nyeri cukup berat hingga mengganggu aktivitas
- Nyeri mengikuti episode herpes zoster akut
Pemeriksaan Fisik - Terdapat bekas luka dari lokasi infeksi herpes zoster
sebelumnya
- Allodynia ditemukan di lokasi nyeri
- Perubahan autonom dapat terjadi di area yang terkena,
seperti berkeringat.
Laboratorium - Diagnosis NPH tidak terlalu bergantung pada
pemeriksaan laboratorium
- Kultur virus atau pewarnaan immunofloresense dapat
membedakan virus herpes zoster atau herpes simpleks
- Ditemukan antibodi herpes zoster dapat mendukung
diagnosis infeksi herpes zoster subklinis.
- Pemeriksaan lain yang mendukung diagnosis yaitu
pewarnaan immunoperoksidase, histopatologi, dan
Tzanck tes

7. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Terdapat beberapa pilihan untuk penatalaksanaan neuralgia pascaherpetika. Obat
yang sering digunakan adalah antikonvulsan gabapentin dan pregabalin. Gabapentin
dan pregabalin bekerja di subunit 2 yang terdapat pada kanal kalsium untuk
menurunkan influks kalsium, sehingga menginhibisi keluarnya neurotransmiter
eksitatorik termasuk glutamat yang merupakan neurotransmiter utama yang
memelihara sensitisasi sentral. Dosis awal gabapentin 300 mg pada hari pertama, 2 x
300 mg pada hari ke dua, 3 x 300 mg pada hari ke tiga. Titrasi lalu diperlambat
sampai mencapai 3 x 600 mg dalam 2 minggu. Dosisnya harus dibagi 3-4 kali sehari
karena waktu paruhnya pendek. Dosis pregabalin 150-600 mg perhari, dibagi 2
dosis. Gabapentin dan pregabalin akan mengurangi nyeri sehingga akan
memperbaiki tidur, mood, dan kualitas hidup. Pregabalin sendiri memiliki efek
antiansietas. Kedua obat ini memiliki insiden efek samping yang rendah, dan
biasanya bersifat ringan sehingga sering disarankan sebagai obat lini pertama. Efek
samping yang dapat dialami pasien antara lain somnolen, pusing, edema perifer, dan
gangguan keseimbangan.1,9,11
Selain gabapentin dan pregabalin, dapat juga digunakan antidepresan trisiklik
yang bekerja menginhibisi ambilan kembali norepinefrin dan serotonin, memblok
kanal natrium, kalsium, dan reseptor NMDA. Amitriptilin diindikasikan untuk
pasien neuralgia pascaherpetika yang mengalami insomnia karena obat ini memiliki
efek sedasi. Pemberian antidepresan trisiklik harus lebih hati-hati pada pasien
dengan kelainan jantung karena dapat menyebabkan takiaritmia dan perpanjangan
interval QT, sehingga harus dilakukan pemeriksaan gelombang EKG dasar sebelum
pengobatan. Selain efek samping pada jantung, obat golongan ini dapat
menyebabkan mulut kering, pusing, peningkatan berat badan, sedasi, konstipasi,
retensi urin, impotensi, dan hipotensi ortostatik. Efek samping dapat dikurangi
dengan memulai terapi dengan dosis rendah, titrasi lambat, dan diberikan pada
malam hari. Dosisnya dapat dimulai dengan 10-20 mg pada malam hari dititrasi
sampai 75- 100 mg/ hari, sekali sehari. Selain amitriptilin, obat golongan
antidepresan trisiklik lain yang dapat digunakan antara lain desipramin dan
nortriptilin.1,11
Opioid hanya diindikasikan pada pasien dengan nyeri sangat berat, sebagai terapi
lini ke dua atau ke tiga. Opioid dapat mengurangi alodinia dan nyeri spontan.
Namun obat golongan ini memiliki efek samping konstipasi, mual, muntah, sedasi,
ketergantungan, serta risiko penyalahgunaan obat dan dapat terjadi toleransi. Sediaan
yang dapat diberikan antara lain oksikodon, morfin (rata-rata 91 mg/hari) atau
metadon (rata-rata 15 mg/hari). Pada penggunaan opioid jangka panjang, diperlukan
pemantauan supresi imunitas serta hipogonadisme yang mungkin terjadi. 1,11
Rekomendasi penggunaan opioid adalah sebagai berikut. Berikan dosis efektif
sekecil mungkin, dimulai dengan opioid kerja singkat, misalnya 5-10 mg oksikodon
atau 10-15 mg morfin setiap 4 jam. Jika pasien telah menunjukkan toleransi terhadap
terapi inisial ini, konversi terapi ke opioid kerja panjang. Jika tidak memuaskan,
terapi opioid harus dikurangi secara bertahap sampai akhirnya berhenti sama sekali
untuk menghindari terjadinya withdrawal symptoms.1
Obat lain adalah tramadol yang memiliki efek agonis pada reseptor dan
menginhibisi ambilan kembali serotonin dan norepinefrin. Tramadol diberikan
dengan dosis 50-100 mg tiap 4 jam, tidak lebih dari 400 mg per hari. Dosis harus
dikurangi pada pasien usia lanjut dan pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Efek
sampingnya antara lain mual, muntah, konstipasi, retensi urin, somnolen, nyeri
kepala, dan pusing.1
Selain obat oral, dapat juga menggunakan terapi topikal. Keuntungan pemakaian
topikal adalah efek sistemik minimal karena absorpsi sistemik yang minimal. Terapi
topikal misalnya lidokain patch 5% yang efeknya dapat terlihat mulai 2-3 minggu
setelah pemakaian dimulai. Tiga buah patch dapat digunakan dalam satu waktu
pemberian. Caranya adalah 12 jam digunakan, kemudian dilepaskan selama 12 jam.
Lidokain topikal yang dikombinasikan dengan gabapentin terbukti lebih efektif
daripada pemberian 2 agen tersebut secara terpisah. Krim kapsaisin 0,025 dan
0.075% dapat digunakan 3-4 kali sehari, namun harus diberitahu kepada pasien
bahwa akan terasa sensasi terbakar pada awal pemakaian.1,11
Selain modalitas terapi oral dan topikal, dapat digunakan juga terapi invasif
seperti blok saraf simpatis, penyuntikan metilprednisolon intratekal dan epidural,
serta stimulasi medula spinalis.1

Gambar 2. Mekanisme Pengobatan NPH12

b. Pencegahan
Pencegahan neuralgia pascaherpetika dapat diusahakan dengan kombinasi agen
antiviral dan usaha agresif mengurangi nyeri akut pada pasien herpes zoster.
Kombinasi ini diharapkan akan mengurangi kerusakan saraf dan nyeri akut. Terapi
antiviral harus dimulai segera setelah diagnosis ditegakkan, dan lebih baik jika
dimulai pada tiga atau empat hari pertama. Terapi antiviral diharapkan dapat
menghentikan replikasi virus, sehingga durasi penyakit akan lebih singkat, dan
menurunkan kejadian neuralgia pascaherpetika. Antiviral yang dapat digunakan
adalah asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Terapi analgetika akan mengurangi
nyeri yang merupakan faktor risiko utama neuralgia pascaherpetika.9
Selain itu, telah dikembangkan vaksin pencegahan herpes zoster yang
direkomendasikan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) bagi
mereka yang berusia 60 tahun atau lebih. Dalam penelitian klinis yang melibatkan
ribuan lansia berusia 60 tahun atau lebih, vaksin ini mengurangi risiko herpes zoster
sebesar 51% dan risiko neuralgia pascaherpetika sebesar 67%. Efek proteksi vaksin
ini dilaporkan dapat mencapai 6 tahun atau bahkan lebih.16
8. Prognosis
Faktor risiko utama untuk terjadinya neuralgia pascaherpetika antara
lain usia tua, lesi kulit yang hebat, nyeri akut yang berat, dan nyeri prodromal pada
dermatom sebelum munculnya ruam. Kurang lebih 20% pasien berusia lebih dari 50
tahun mengalami nyeri sampai 6 bulan sejak awitan ruam kulit walaupun telah
mendapatkan terapi antiviral. Pada orangtua terjadi polineuropati subklinis sehingga
hanya dibutuhkan jumlah virus yang lebih sedikit untuk menyebabkan
neuralgia pascaherpetika dibandingkan pada pasien muda.1
Neuralgia pascaherpetika jarang terjadi pada pasien di bawah usia < 50 tahun
dengan herpes zoster. Insidensi, durasi, dan tingkat keparahan NPH meningkat seiring
dengan usia, akan tetapi semakin tua usia pasien maka nyeri yang dirasa biasanya nyeri
ringan. Sebagian besar kasus NPH sembuh sendiri dalam 3 bulan. Bahkan pada
kelompok risiko tinggi, pasien berusia > 70 tahun, 25% di antaranya mengalami nyeri
selama 3 bulan, dan hanya 10% yang menetap hingga 1 tahun dan tidak ada yang
mengalami nyeri yang berat. Pada beberapa kasus, nyeri dapat menetap hingga bertahun-
tahun.17
BAB IV
KESIMPULAN

1. Neuralgia pascaherpetika (NPH) didefinisikan sebagai nyeri yang terus berlangsung


selama 3 bulan setelah lesi herpes zoster sembuh, atau nyeri yang terus berlangsung
selama 120 hari sejak timbulnya lesi herpes zoster.
2. Neuralgia pascaherpetika disebabkan oleh kerusakan neuron perifer dan sentral, yang
diakibatkan oleh respon imun dari reaktivasi virus varicella zoster.
3. Neuralgia pascaherpetika termasuk nyeri neuropatik, yakni nyeri yang disebabkan oleh
kerusakan atau disfungsi primer pada sistem saraf perifer dan pusat.
4. Pasien NPH biasanya mengeluh nyeri yang bersifat spontan (dideskripsikan sebagai rasa
terbakar, aching, throbbing), nyeri yang intermiten (nyeri seperti ditusuk, ditembak)
dan/atau nyeri yang dibangkitkan oleh stimulus seperti alodinia.
5. Obat-obatan yang sering digunakan pada kasus NPH adalah gabapentin atau pregabalin,
antidepresan trisiklik (amitriptilin), dan opioid jika nyeri sangat berat. Obat topikal,
injeksi untuk blok saraf simpatis, injeksi intratekal dan epidural juga dapat menjadi
pilihan terapi.
6. Pencegahan neuralgia pascaherpetika dapat diusahakan dengan kombinasi agen antiviral
dan usaha agresif mengurangi nyeri akut pada pasien herpes zoster.
7. Insidensi, durasi, dan tingkat keparahan NPH meningkat seiring dengan usia. Sebagian
besar kasus NPH sembuh sendiri dalam 3 bulan. Pada beberapa kasus, nyeri dapat
menetap hingga bertahun-tahun.
DAFTAR PUSTAKA

1. Thakur R, Kent JL, Dworkin RH. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia. in:
Fishman SM, Ballantyne JC, Rathmell JP, eds. Bonicas Management of Pain. 4 ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2010; p. 348-55.
2. Scadding JW, Koltzenburg M. Painful Peripheral Neuropathies. in: McMahon SB,
Koltzenburg M, eds. Wall and Melzacks Textbook of Pain. 5 ed. Philadelphia: Elsevier,
2006; p. 992-4
3. Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. Varicella and herpes zoster Dalam:
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ
penyunting. Fitzpatricks Dermatology in general medicine. 7nded. New
York: Mc Graw-Hill;2008. hlm.1885-98
4. Weaver DA. The burden of herpes zoster and postherpetic neuralgia in the
United States. J Am Osteopath Assoc 2007;107(supll 1):S2-S7
5. Pusponegoro EHD. Neuralgia paska herpes. Dalam: Daili SF, Makes WIB,
penyunting. Infeksi virus herpes. Jakarta : Balai penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2002.hlm 208-21

6. Sumaryo, S. 2011. Prevention and Treatment of Post Herpetic Neuralgia to be


Treavelling. Semarang : SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RSUP Dr. Kariadi Semarang.

7. Searle, M., Snodgrass B., Brant JM. 2016. Postherpetic neuralgia: epidemiology,
pathophysiology, and pain management pharmacology. J Multidiscip Healthc. 9 : 447-
454.
8. Ropper AH, Samuels MA. Adams and Victors Principles of Neurology. Ed. 7. USA:
McGraw-Hill Co, 2009; p. 125-6
9. Meliala L, Suryamiharja A, Wirawan RB, Sadeli HA, Amir D. Nyeri Neuropatik. ed. 2.
Yogyakarta: Medikagama Press, 2008; p. 1-75.
10. Scholz J, Woolf CJ. Mechanisms of Neuropathic Pain. Dalam: Pappagallo M, ed. The
Neurological Basis of Pain. USA: McGraw-Hill Companies, 2005; p. 84-5
11. Cruciani R, Jabati S. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia. Dalam: Johnson RT,
Grifn JW, McArthur JC. eds. Current Therapy in Neurologic Disease. Philadelphia:
Mosby Inc, 2006; p.83-6
12. Clinical Manifestations and Treatment Options for Diabetic Neuropathies: Treatment
[internet]. 2007 http://www.medscape.com/viewarticle/565795_4. Diakses pada 24
Januari 2017.
13. Philip A, Thakur R. Post herpetic neuralgia. J Pall Med 2011;14(6):765-73.
14. Pusponegoro EHD. Neuralgia paska herpes. Dalam: Daili SF, Makes WIB,
penyunting. Infeksi virus herpes. Jakarta : Balai penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2002.hlm 208-21
15. Nalamachu S., Patricia MF. 2012. Diagnosing and Managing Postherpetic Neuralgia.
Drugs Aging. 29 (11) : 863-869.
16. Vaccines and Preventable Diseases: Shingles Vaccination: What You Need to Know
[internet]. http://www.cdc.gov/vaccines/vpd-vac/shingles/vacc-need-know.htm. Diakses
pada 24 Januari 2017.
17. Meadwos, S. 2003. What is the prognosis of postherpetic neuralgia? J Fam Pract. 52
(6) : 485-497.

Anda mungkin juga menyukai