Pembimbing :
dr. Ariadne Tiara H, M.Si, Med, Sp.A
Disusun Oleh :
Mutiara Chandra Dewi G4A014004
2016
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. PNEUMONIA
Pneumonia merupakan peradangan parenkim patru,
berupa infiltrat atau konsolidasi pada alveoli atau jaringan
interstisial yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, atau
parasit. Biasanya sulit untuk menentukan penyebab spesifik
melalui gambaran klinis atau gambaran foto dada. Paling
banyak pneumonia disebabkan oleh virus atau bakteri, namun
episode yang serius disebabkan oleh bakteri. Pneumonia
adalah sindrom klinis, sehingga didefinisikan berdasarkan
gejala dan tanda klinis, dan perjalanan penyakitnya. Salah satu
definisi klinis klasik menyatakan pneumonia adalah penyakit
respiratorik yang ditandai dengan batuk, sesak napas, demam,
ronki basah, dengan gambaran infiltrat pada foto rontgen
toraks.
Anak yang menderita pneumonia, kemampuan paru-paru
untuk mengembang berkurang sehingga tubuh bereaksi
dengan bernapas cepat agar tidak kekurangan oksigen. Paru-
paru terdiri dari ribuan bronkhi yang masing-masing terbagi
lagi menjadi bronkhioli, yang tiap-tiap ujungnya berakhir pada
alveoli. Di dalam alveoli terdapat kapiler-kapiler pembuluh
darah dimana terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida.
Ketika seseorang menderita pneumonia, nanah (pus) dan
cairan mengisi alveoli tersebut dan menyebabkan kesulitan
penyerapan oksigen sehingga terjadi kesukaran bernapas.
Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam terjadi karena
gerakan paru yang berkurang akibat infeksi yang berat.
Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi. Manifestasi
klinis biasanya berat yaitu sesak, sianosis, tetapi dapat juga
gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus. Gejala dan
tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum
infeksi (nonspesifik), gejala pulmonal, pleural, atau
ekstrapulmonal. Gejala nonspesifik meliputi demam,
menggigil, sefalgia, resah dan gelisah. Gejala pada paru timbul
setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung. Setelah
gejala awal seperti demam dan batuk pilek, gejala napas
cuping hidung, takipnu, dispnu, dan timbul apnu. Otot bantu
napas interkostal dan abdominal mungkin digunakan. Batuk
umumnya dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus bisa
tanpa batuk. Frekuensi napas merupakan indeks paling sensitif
untuk mengetahui beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk
mendukung diagnosis dan memantau tata laksana pneumonia.
Pengukuran frekuensi napas dilakukan dalam keadaan anak
tenang atau tidur.
Dalam program penanggulangan penyakit ISPA, pneumonia
diklasifikasikan sebagai pneumonia sangat berat, pneumonia
berat, pneumonia dan bukan pneumonia, berdasarkan ada
tidaknya tanda bahaya, tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam dan frekuensi napas, dan dengan pengobatan yang
spesifik untuk masing-masing derajat penyakit.
2. BRONKIOLITIS
Bronkiolitis adalah infeksi saluran respiratorik bawah yang
disebabkan Respiratory syncytial virus (RSV) ditandai dengan
gejala peradangan akut, edema, dan nekrosis dinding sel epitel
bronkiolus disertai peningkatan produksi mukus. Terjadi paling
sering pada bayi usia 2 sampai 6 bulan. Klinisi harus dapat
menegakkan diagnosis bronkiolitis dan menilai derajat
keparahan berdasarkan riwayat penyakit serta pemeriksaan
klinis sedangkan pemeriksaan laboratorium dan radiologis
tidak harus rutin dilakukan. Gejala pada anak dengan
bronkiolitis antara lain mengi (yang tidak membaik dengan
tiga dosis bronkodilator kerja cepat), ekspirasi memanjang,
hiperinflasi dinding dada, hipersonor pada perkusi, retraksi
dinding dada, crackles atau ronki pada auskultasi, sulit makan,
menyusu atau minum.
Diagnosis banding utama bronkiolitis pada anak adalah
asma. Kedua penyakit ini sulit dibedakan pada episode
pertama. Infeksi virus RSV biasanya bersifat self limiting,
sehingga pengobatan biasanya hanya suportif, yaitu
1) Oksigen. Pemberian oksigen dilakukan pada semua anak
dengan mengi dan distres pernapasan berat, metode
yang direkomendasikan adalah dengan nasal prongs,
kateter nasal, atau kateter nasofaringeal dengan kadar
oksigen 30 40%. Terapi oksigen diteruskan sampai tanda
hipoksia hilang
2) Cairan. Pemberian cairan sangat penting untuk koreksi
asidosis metabolik dan respiratorik yang mungkin timbul
dan mencegah dehidrasi akibat keluarnya cairan melalui
mekanisme penguapan tubuh (evaporasi) karena pola
pernapasan cepat dan kesulitan minum.
3) Bronkodilator dan kortikosteroid. Beberapa penelitian
meta-analisis dan review sistematik menemukan bahwa
bronkodilator dapat meredakan gejala klinis, namun tidak
mempengaruhi penyembuhan penyakit, kebutuhan rawat
inap, ataupun lama perawatan.
4) Antivirus. Penggunaannya ribavirin masih kontroversial
pada bronkiolitis, baik efektivitas maupun keamanannya..
American Academy of Pediatrics merekomendasikan
penggunaan ribavirin pada keadaan yang diperkirakan
akan menjadi lebih berat seperti pada penderita
bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik,
penyakit paru kronik, imunodefisiensi, dan pada bayi-bayi
prematur (WHO, 2005).
5) Antibiotik. Anti-bakterial tidak perlu karena sebagian
besar kasus disebabkan oleh virus, kecuali bila dicurigai
ada infeksi tambahan. Terapi antibiotik sering digunakan
berlebihan karena khawatir terhadap infeksi bakteri yang
tidak terdeteksi (Walker, 2009). Pedoman antibitok untuk
bronkiolitis yang disarankan adalah sebagai berikut:
a) Apabila terdapat napas cepat saja, pasien dapat rawat
jalan dan diberikan kotrimoksazol (4 mg TMP/kgBB/kali)
2x/hari, atau amoksisilin (25 mg/kgBB/kali), 2x/hari,
selama 3 hari.
b) Apabila terdapat tanda distres pernapasan tanpa
sianosis tetapi anak masih bisa minum, rawat anak di
rumah sakit dan beri ampisilin/amoksisilin. Bila respons
baik maka dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit
dengan amoksisilin untuk 3 hari berikutnya. Namun bila
keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau
terdapat keadaan yang berat (tidak dapat menyusu
atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya,
kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres
pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25
mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam) sampai keadaan
membaik, dilanjutkan per oral 4x/hari sampai total 10
hari.
c) Bila pasien pneumonia berat segera berikan oksigen
dan pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau
ampisilin-gentamisin.
d) Alternatif antibiotik lain adalah seftriakson (80-100
mg/kgBB/kali IM atau IV sekali sehari).
6) Vitamin D. Menurut beberapa penelitian vitamin D
merupakan salah satu faktor yang berperan dalam
perjalanan penyakit bronkiolitis. Rendahnya konsumsi
vitamin D berkaitan dengan peningkatan resiko infeksi
pernapasan dan mengi berulang. Hal ini terkait vitamin D
dalam aktivitas sitem kekebalan bawaan, khususnya
cathecilidin yang membantu mencegah infeksi bakteri dan
virus. The American Academy of Pediatrics
merekomendasikan vitamin D 400IU setiap hari untuk bayi
baru lahir yang dilanjutkan sampai memasuki usia remaja
(Ralston, 2014).
Salah satu bentuk pencegahan terhadap RSV adalah
higiene perorangan, Perlindungan terhadap paparan asap
rokok serta polusi udara serta pemberian ASI eksklusif selama
6 bulan mencegah kejadian bronkiolitis (Walker, 2009).
3. ASMA
Konsensus Nasional Asma Anak menggunakan definisi
mengi berulang dan/ atau batuk untuk asma, sedangkan sebab
lain yang lebih jarang telah disingkirkan. Termasuk yang perlu
dipertimbangkan kemungkinan asma adalah anak-anak yang
hanya menunjukkan batuk sebagai satu-satunya tanda, dan
pada saat diperiksa tanda-tanda mengi, sesak, dan lain-lain
sedang tidak timbul. Kelompok anak yang patut diduga asma
adalah anak-anak yang menunjukkan batuk dan/atau mengi
yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini
hari, musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat
asma dan atopi pada pasien atau keluarganya. Sedangkan
anak yang sudah besar (>6 tahun) sebaiknya dilakukan
pemeriksaan faal paru sederhana dengan peak flow meter,
atau yang lebih lengkap dengan spirometer.
Asma anak dibagi menjadi 3 derajat penyakit berdasarkan
keadaan klinis dan kebutuhan obat yaitu , asma episodik
jarang, asma episodik sering dan asma persisten. Dasar
pembagian ini karena pada asma anak kejadian episodik lebih
sering dibanding persisten (kronisitas). Klasifkasi ini sangat
diperlukan karena berhubungan dengan tatalaksana lanjutan
(jangka panjang).
4. CROUP
Croup ialah infeksi pada tenggorokan dan pita suara yang
disebabkan oleh virus, dan menyebabkan inflamasi pada
laring, trakhea, dan bronkus. Penyakit ini menyerang anak-
anak di bawah usia 5 tahun karena mereka memiliki saluran
udara yang lebih kecil yang lebih rentan terhadap
pembengkakan. Sedangkan pada anak di atas usia 5 tahun
disebut laringitis. Croup yang ringan hanya menunjukkan
gejala demam, suara serak, dan batuk yang menggonggong.
Sedangkan pada croup yang berat terdengar suara stridor
dalam keadaan anak tenang. Selain itu napas anak cepat dan
terdapat retraksi pada dinding dada.
Croup yang ringan cukup dirawat jalan dengan pemberian
cairan oral, ASI, atau makanan yang cukup. Croup berat harus
dirawat di rumah sakit dan diberikan steroid dan adrenalin
yang diberikan secara nebulisasi. Pemberian kortikosteroid
berguna sebagai anti inflamasi dan vasokonstriksi pada
saluran napas atas. Pemberiannya diberikan secara oral
maupun nebulisasi, contohnya dexametason atau budesonid.
Sedangkan nebulisasi adrenalin 1:1000 juga diketahui dapat
mengurangi permeabilitas pembuluh darah di trakea dan
bronkus sehingga mengurangi edema yang akan melebarkan
jalan napas dan n meningkatkan aliran udara. Dosis sandar
adrenalin 5ml dari larutan adrenalin 1:1000 untuk anak 10 kg,
sedangkan untuk anak dengan BB<10 kg menggunakan dosis
0.5 ml/kgBB (NSW, 2010).
5. BENDA ASING
Aspirasi benda asing paling sering terjadi pada anak umur
kurang dari 3 tahun, benda asing dapat berupa bahan
makanan, jarum, peniti, mainan, uang logam, dan benda
lainnya. Aspirasi benda asing memberikan gambaran klinis
yang bervariasi dari gejala yang minimal hingga
kegawatdaruratan seperti gagal napas bahkan kematian.
Gejala klinis bervariasi bergantung ukuran, lokasi, jenis,
bentuk, sifat iritasi benda, derajat sumbatan, dan ada tidaknya
komplikasi.
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi dan bronkoskopi.
Anamnesis yang cermat mengenai adanya riwayat tersedak
sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Pada
pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda-tanda sumbatan
jalan napas sesuai dengan lokasi benda asing, ukuran, derajat
sumbatan dan lamanya waktu aspirasi. Aspirasi benda asing
pada anak perlu diwaspadai bila mengalami rasa tercekik tiba-
tiba (choking) yang diikuti oleh gejala batuk, sesak napas, atau
mengi bahkan stridor. Setelah terjadi aspirasi, benda asing
dapat tersangkut di tiga tempat, yaitu larings, trakea dan
bronkus.
Benda yang tersangkut di laring akan menimbulkan gejala
batuk, sesak, suara serak bahkan sampai tidak dapat bersuara.
Bila tersangkut di trakea, timbul gejala batuk tibatiba dan
berulang dengan rasa tercekik, sesak napas disertai tarikan
otot-otot pernapasan, stridor, disamping itu juga terdapat
tanda patognomonik yaitu audible slap (batuk dengan mulut
terbuka), palpatory thud (teraba benda asing di trakea pars
servikalis) dan asthmathoid wheeze (bunyi saat inspirasi dan
ekspirasi dengan mulut terbuka). Benda asing yang tersangkut
pada bronkus dapat menyebabkan kolaps atau konsolidasi
pada bagian distal lokasi penyumbatan. Manifestasinya berupa
batuk darah, emfisema, atelektasis. Gejala awal yang tersering
adalah tersedak yang dapat diikuti dengan interval bebas
gejala dalam beberapa hari atau minggu kemudian sebelum
anak menunjukkan gejala wheezing menetap, batuk kronik
atau pneumonia yang tidak berespons terhadap terapi.
Kesulitan mendiagnosis aspirasi benda asing pada anak
melalui pemeriksaan fisis menyebabkan pemeriksaan
radiologis sering dipakai untuk membantu diagnosis. Oleh
karena letak benda asing dapat berpindah tempat dan untuk
mengetahui ada tidaknya benda asing yang tertinggal,
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan radiologis sebelum
dan sesudah bronkoskopi. Bronkoskopi digunakan untuk
menegakkan diagnosis secara pasti dan sebagai terapi. Bila
benda asing terlihat di faring posterior maka dapat dipakai
perasat Heimlich atau menepuk punggung anak sebagai usaha
untuk mengeluarkannya. Sedangkan cara pengeluaran benda
asing di trakeobronkial yaitu dengan bronkoskop. Cara lain
untuk mengeluarkan benda asing padat di saluran napas yaitu
dengan laringoskopi, trakeostomi, atau torakotomi.
6. PERTUSIS
Pertusis atau yang lebih dikenal masyarakat sebagai batuk
rejan atau batuk 100 hari merupakan salah satu penyakit
yang sangat berbahaya dan mudah menular. Penyakit ini
terjadi karena adanya infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Bordetella pertussis. Curiga pertusis jika anak batuk berat
lebih dari 2 minggu. Masa inkubasi berkisar 7-10 hari dan
manifestasi kliniknya dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu:
a. Kataral, dicirikan dengan mulainya gejala pilek, bersin,
demam, dan batuk yang menyerupai common cold dan
secara klinik sulit dibedakan dari batuk dan pilek biasa
b. Batuk paroksismal mulai pada minggu ke 2 dimana biasanya
diagnosis pertusis sudah dapat ditegakkan. Batuk
paroksismal karena kesulitan mengeluarkan lendir. yang
diikuti dengan whoop yaitu suara bernada tinggi yang khas
dalam upaya inspirasi, muntah, sianosis atau apnu.
Serangan batuk biasanya paling sering terjadi pada malam
hari dan bertahan hingga 1-6 minggu, dapat mencapai 10
minggu.
c. Konvalesen dimana anak mulai mengalami perbaikan. Batuk
menjadi berkurang dan menghilang dalam 2-3 minggu
setelahnya.
Diagnosis pertusis dapat ditegakkan dengan karakteristik
batuk serta hasil laboratorium. Gold standar untuk penegakkan
diagnosis pertusis menggunakan kultur yang diambil dari swab
nasofaring bagian posterior. Terapi pertusis secara umum
merupakan suportif dan pemberian antibiotik. Pilihan antibiotik
yang dianjurkan adalah Eritromisin dengan dosis 12,5
mg/kgBB/kali selama 10 hari 4x/hari. Pemberian antibiotik ini
tidak memperpendek lamanya sakit namun menurunkan
periode infeksius. Anak dengan sianosis, henti napas, atau
batuk paroksismal berat perlu diberikan oksigen hingga gejala
tersebut tidak ada. Selama batuk paroksismal, letakkan anak
dengan posisi kepala lebih rendah dalam posisi telungkup,
atau miring, untuk mencegah aspirasi muntahan dan
membantu pengeluaran sekret. Isap lendir dari hidung dan
tenggorokan bila anak mengalami sianosis dan segera
bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan manual atau
dengan pompa ventilasi bila apnu.
Pencegahan terhadap Pertussis dapat dilakukan secara
aktif dan pasif. Secara aktif yaitu dengan memberikan vaksin
Pertussis dalam jumlah 12 unit dibagi dalam 3 dosis dengan
interval 8 minggu. Vaksin yang digunakan adalah vaksin DPT
(Difteria, Pertussis, Tetanus). Sedangkan scara pasif dengan
memberikan kemoprofilaksis.
7. TB
TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-
14 tahun. TB sa;ah satu penyebab kesakitan dan kematian
yang sering pada anak, karena anak lebih beresiko menderita
TB berat seperti TB milier atau meningitis TB. Anak juga
sangat rentan terinfeksi TB terutama yang kontak erat dengan
pasien TB BTA positif. Kendala utama dalam penanganan TB
anak adalah penegakkan diagnosis. Pada umumnya anak yang
terinfeksi tidak menunjukkan penyakit tuberkulosis (TB). Satu-
satunya bukti infeksi adalah uji tuberkulin (Mantoux) positif.
Kesulitan dalam menemukan kuman mycobacterium
tuberculosis menyebabkan penegakkan diagnosis harus
dikombinasikan dengan pemeriksaan penunjang yang relevan.
Gejala dan tanda TB anak sering tidak khas, sehingga perlu
ketelitian dalam anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anak,
batuk bukan merupakan gejala utama. Mungkin penurunan
berat badan, lemah, dan letih merupakan gejala yang sering
muncul. Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung
jenis organ yang terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan
saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit. Pembesaran KGB multipel
(>1 KGB), dengan diameter 1 cm, konsistensi kenyal dan
tidak nyeri dapat ditemukan pada TB kelenjar, terutama
terbanyak di daerah leher atau regio colli. TB otak dan selaput
otak menunjukkan gejala meningitis disertai gejala akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena, dan lesi desak
ruang. Penonjolan tulang belakang (gibbus) pada spondilitis
TB. TB organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal
dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ
tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan
adanya infeksi TB.
Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur
diagnostik dapat dikerjakan, namun apabila dijumpai
keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat
menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai
sistem skoring.
Gambar 7.
Sistem Skoring TB Anak
Baku emas
cara
pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB adalah dengan
cara menemukan kuman dalam sputum. Namun upaya untuk
menemukan kuman penyebab TB pada anak melalui
pemeriksaan sputum sulit dilakukan oleh karena sedikitnya
jumlah kuman dan sulitnya pengambilan spesimen sputum.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah
pemeriksaan foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada
TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain.
Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat
digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB
milier.
Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO
untuk meningkatkan ketepatan diagnosis TB anak, diantaranya
pemeriksaan biakan dengan metode cepat yaitu penggunaan
metode cair, molekular (LPA=Line Probe Assay) dan
NAAT=Nucleic Acid Amplification Test) (misalnya Xpert
MTB/RIF). Metode ini masih terbatas digunakan di semua
negara karena membutuhkan biaya mahal dan persyaratan
laboratorium tertentu
Gambar 8.Alur Diagnosis TB Anak
Panduan terapi OAT pada anak adalah RHZ (rifampisin,
isoniazid, pirazinamid) selama tahap intensif selama 2 bulan,
dilanjutkan RH (rifampisin, isoniazid) selama 4 bulan dengan
dosis sebagai berikut:
a. INH: 5-15 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari
b. Rifampisin: 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600
mg/hari
c. Pirazinamid: 15-30 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 2 000
mg/hari
d. Etambutol: 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 250
mg/hari
e. Streptomisin: 1540 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 000
mg/hari
8. GAGAL JANTUNG
Gagal jantung adalah keadaan ketidakmampuan jantung
sebagai pompa untuk memenuhi secara adekuat kebutuhan
metabolisme tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan olaeh
karena gangguan primer otot jantung, atau beban jantung
yang berlebihan, atau kombinasi keduanya. Gagal jantung
pada bayi dan anak merupakan suatu sindrom klinis yang
ditandai oleh ketidak mampuan miokardium memompa darah
ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
tubuh termasuk kebutuhan untuk pertumbuhan. Gagal jantung
pada bayi dan anak memberikan gambaran klinis dan
perjalanan penyakit yang berbeda pada orang dewasa. Gagal
jantung pada anak menyebabkan napas cepat dan distres
pernapasan. Penyebabnya gagal jantung pada anak antara lain
penyakit jantung bawaan, demam rematik akut, anemia berat,
pneumonia sangat berat dan gizi buruk.
Adanya gangguan pertumbuhan, sianosis, berkurangnya
toleransi latihan, kekerapan infeksi saluran napas berulang,
dan terdengarnya bising jantung, dapat merupakan petunjuk
awal terdapatnya kelainan jantung pada seorang bayi atau
anak. Anak yang lebih besar dapat mengeluh lekas lelah dan
tampak kurang aktif, toleransi berkurang, batuk, mengi, sesak
napas dan yang ringan (setelah aktivitas fisis tertentu), sampai
sangat berat (sesak napas pada waktu istirahat). Bayi dan
anak yang menderita gagal jantung yang lama biasanya
mengalami gangguan pertumbuhan dan tidak ada kenaikan
berat badan. Berat badan lebih terhambat daripada tinggi
badan.
Tanda yang penting adalah takikardia (150/menit atau lebih
pada saat istirahat), serta takipne (50/menit atau lebih pada
saat istirahat) Pada prekordium dapat teraba aktivitas jantung
yang meningkat. Bising jantung sering ditemukan pada
auskultasi, yang tergantung dan kelainan struktural yang ada.
Terdapatnya irama derap merupakan penemuan yang berarti,
khususnya pada neonatus dan bayi kecil. Ronki paru juga
sering ditemukan pada gagal jantung. Hepatomegali
merupakan tanda penting 1ainnya biasanya hati teraba 2 cm
atau leblh di bawah arkus kosta. Ujung-ujung ekstremitas akan
teraba dingin, terutama pada gagal jantung akut. Pemeriksaan
ekokardiografi sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis struktural serta kelainan hemodinarnik bayi dan
anak yang menderita gagal jantung
Terdapat tiga aspek yang penting dalam penanggulangan
gagal jantung yaitu pengobatan terhadap gagal jantung,
pengobatan terhadap penyakit yang mendasari, dan
pengobatan terhadap faktor pencetus (anemia, infeksi, dan
disritmia). Termasuk dalam pengobatan medikamentosa gagal
jantung yaitu rnengurangi retensi cairan dan gararn,
meningkatkan kontraktilitas otot jantung dan mengurangi
beban jantung.
a. Istirahat. Tirah baring dengan posisi setengah duduk sangat
membantu pasien.
b. Jaga suhu dan kelembaban, terutama neonatus yang sangat
rentan terhadap perubahan suhu lingkungan.
c. Oksigen.
d. Pernberian cairan dan diet.
e. Obat gagal jantung seperti obat inotropik, vasodilator, dan
diuretik. Digoxin dengan dosis pada anak 0,04 0,05
mg/kgBB/hari. Furosemid 0,5-2 mg/kgBB/dosis i.v. (2-4 kali
per hari), atau 1-2 mg/kgBB/dosis oral (1-3 dosis terbagi).
Kaptopril dengan dosis 0,1-0,5 mg/kg/hari terbagi 2-3 kali
per oral.
DAFTAR PUSTAKA