Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN JURNAL

FITUR PENCITRAAN DAN MANAJEMEN FRAKTUR STRESS,


ATIPIKAL DAN PATOLOGIS

Oleh:
Mira Mei Sudarwati 19710139

Pembimbing :
dr. Adi Habibi, Sp.Rad

RUMAH SAKIT UMUM DR.WAHIDIN SUDIROHUSODO


MOJOKERTO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2021
FITUR PENCITRAAN DAN MANAJEMEN FRAKTUR STRESS,
ATIPIKAL DAN PATOLOGIS

Fraktur traumatis dan atraumatik adalah entitas dengan manifestasi klinis,


temuan pencitraan, dan protokol manajemen yang berbeda tetapi sering tumpang
tindih. Artikel ini adalah review dari terminologi, etiologi, dan fitur pencitraan
utama yang mempengaruhi manajemen fraktur atraumatik termasuk fraktur stres,
fraktur femoralis atipikal, dan fraktur patologis. Terminologi fraktur atraumatik
ditinjau, dengan penekanan pada perbedaan dan persamaan fraktur stres, atipikal,
dan patologis. Biomekanik dasar tulang normal dijelaskan, dengan penekanan
pada jalur remodeling tulang. Kerangka kerja ini digunakan untuk lebih
menyampaikan etiologi bersama, perbedaan utama, dan temuan pencitraan
penting dari jenis fraktur. Selanjutnya, temuan karakteristik pencitraan dari famili
fraktur yang beragam ini akan dibahas. Untuk setiap jenis fraktur, fitur pencitraan
yang paling relevan secara klinis yang memandu manajemen oleh tim perawatan
multidisiplin, termasuk ahli bedah ortopedi, akan ditinjau. Selain itu, fitur
pencitraan ditinjau untuk membantu membedakan fraktur stres dari fraktur
patologis pada pasien dengan kasus yang meragukan. Akhirnya, kriteria
pencitraan untuk resiko stratifikasi fraktur patologis di tempat neoplasma tulang
mendatang akan dibahas. Perhatian khusus diberikan pada fraktur yang terjadi
pada femur proksimal karena struktur makro tulang dan campuran dari tulang
trabekuler dan kortikal dari femur proksimal dapat berfungsi sebagai kerangka
kerja yang mudah untuk memahami fraktur atraumatik di seluruh kerangka.
Fraktur atraumatik di tempat lain di tubuh juga digunakan untuk menggambarkan
fitur pencitraan utama dan konsep perawatan.

PENDAHULUAN
Fraktur atraumatik termasuk fraktur stres, fraktur femur atipikal, dan
fraktur patologis sering ditemui di unit gawat darurat. Fraktur atraumatik atau
trauma minimal didefinisikan sebagai fraktur yang disebabkan oleh mekanisme
energi yang relatif rendah yang biasanya tidak diharapkan menyebabkan fraktur.
Meskipun berbagai jenis fraktur ini (masing-masing disebabkan oleh stres
berulang, perubahan metabolisme tulang, dan neoplasma fokal) mungkin pada
pandangan pertama tampak tidak berhubungan, mereka sebenarnya memiliki
mekanisme yang sama di tingkat mikrostruktur. Tulang adalah organ yang hidup
dan dinamis, dan jenis fraktur ini semuanya disebabkan oleh kegagalan fokal
tulang karena ketidakseimbangan dalam siklus pembentukan kembali tulang.
Terminologi, temuan pencitraan, dan pilihan pengobatan fraktur
atraumatik sering tumpang tindih dan terkadang membingungkan. Hal ini dapat
mengakibatkan tantangan interpretatif bagi ahli radiologi dan potensi
miskomunikasi yang tidak disengaja dengan tim perawatan multidisiplin.
Pembedaan yang akurat ketika diagnosis banding dari penyebab fraktur sangat
penting, mencakup baik fraktur femur atipikal dan fraktur patologis, karena
pengobatan jenis fraktur ini seringkali sangat berbeda dari fraktur traumatis akut.
Kesalahan diagnosis dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis keganasan,
kegagalan untuk memperbaiki gangguan metabolisme, atau perawatan bedah yang
tidak optimal dan potensi kegagalan implan. Penatalaksanaan fraktur atraumatik
yang optimal, baik konservatif atau bedah, seringkali memerlukan pendekatan
multidisiplin yang bergantung pada identifikasi, karakterisasi, dan pelaporan fitur
pencitraan yang relevan secara klinis.
Dalam artikel ini kami meninjau terminologi, patofisiologi, gambaran
pencitraan, dan manajemen fraktur stres, fraktur femoralis atipikal, dan fraktur
patologis. Femur proksimal ditekankan sebagai template untuk tulang panjang di
seluruh kerangka karena ini adalah tempat umum untuk ketiga jenis fraktur
atraumatik, tetapi prinsip umum yang dibahas dapat diterapkan secara luas di
seluruh kerangka. Selain itu, kami menekankan fitur pencitraan utama yang
membantu mempercepat manajemen yang tepat, untuk membedakan di antara
jenis fraktur, dan untuk stratifikasi fraktur yang akan datang sesuai dengan risiko
pada pasien dengan neoplasma tulang.
DEFINISI DAN TERMINOLOGI
Berbagai terminologi tumpang tindih yang digunakan untuk
menggambarkan fraktur atraumatik, termasuk fraktur stres, kelelahan, insufisiensi,
kerapuhan, fraktur atipikal, dan fraktur patologis, dapat menjadi hambatan untuk
memahami, melaporkan, dan menilai cedera ini. Fraktur stres, dalam arti luas
istilahnya, dapat dibagi menjadi fraktur kelelahan dan fraktur insufisiensi. Dalam
praktik klinis, fraktur kelelahan dan fraktur insufisiensi terletak di sepanjang
spektrum, dan dalam beberapa kasus, sulit untuk membedakan keduanya. Namun,
memahami perbedaan biologis dan radiografi dapat mengarah pada pemahaman
yang lebih baik tentang patofisiologi yang mendasarinya.
Fraktur kelelahan adalah kegagalan fokus tulang normal yang disebabkan
oleh tekanan berulang. Fraktur kelelahan biasanya terjadi ketika pasien terlibat
dalam peningkatan frekuensi, durasi, atau intensitas aktivitas, seperti ketika
rekrutan militer mengalami "fraktur berbaris (march fracture)" dari tulang
metatarsal.
Sebagai perbandingan, fraktur insufisiensi adalah kegagalan fokus tulang
yang melemah secara abnormal yang disebabkan oleh tekanan berulang. Istilah
fraktur kerapuhan juga menandakan fraktur pada tulang yang melemah secara
abnormal; namun, istilah ini sering digunakan dalam pengaturan peristiwa
pemuatan mekanis yang terisolasi daripada stres yang diterapkan berulang-ulang,
dan istilah ini paling sering digunakan pada pasien dengan osteoporosis. Dalam
praktek klinis, istilah kerapuhan dan ketidakcukupan sering digunakan secara
bergantian dengan mengacu pada patah tulang osteoporosis karena, dalam banyak
kasus, tidak mungkin untuk membedakan kronisitas dan besarnya beban yang
mengakibatkan patah tulang pada tulang osteoporotik yang melemah secara difus.
Pada gangguan metabolik yang mendasari terjadinya fraktur, fraktur insufisiensi
dapat timbul dari berbagai gangguan yang mempengaruhi kemampuan tulang
untuk menahan gaya beban normal, termasuk gangguan homeostasis mineral
tulang (misalnya, osteoporosis, hiperparatiroidisme, diabetes mellitus,
osteomalacia), remodeling tulang (misalnya, penyakit Paget, osteopetrosis,
displasia tulang sklerosis lainnya), pembentukan kolagen (misalnya, osteogenesis
imperfecta, sindrom Marfan), efek merugikan dari obat-obatan (misalnya, obat-
obatan glukokortikoid, agen kemoterapi), dan terapi radiasi sebelumnya. Namun,
dengan tidak adanya riwayat penyakit metabolik tulang, diferensiasi antara
kelelahan dan fraktur insufisiensi sering kali berubah-ubah, dan tidak selalu jelas
bagaimana membedakan tulang normal dan abnormal.
Selain itu, pola fraktur yang serupa dapat dilihat pada fraktur traumatis dan
insufisiensi, termasuk fraktur radius distal, tibia plateu, dan leher femoralis,
meskipun trauma energi yang lebih tinggi umumnya diperlukan untuk fraktur
tulang yang sehat. Selain itu, mungkin ada komponen dari kedua mekanisme pada
pasien yang sama, seperti skenario klinis yang relatif umum dari "female athlete
triad", di mana gangguan makan, amenore, dan osteoporosis muncul secara
bersamaan, seringkali pada atlet dengan daya tahan tingkat tinggi. Mungkin
karena ambiguitas ini, istilah fraktur stres digunakan secara luas untuk merujuk
pada fraktur kelelahan baik dalam praktik klinis maupun dalam literatur
kedokteran ortopedi dan olahraga. Untuk alasan ini, ulasan ini difokuskan pada
patah tulang karena kelelahan, dan untuk menjaga konsistensi dengan literatur
ortopedi, istilah patah tulang stres digunakan secara sinonim dengan patah tulang
karena kelelahan dan patah tulang insufisiensi untuk merujuk pada patah tulang
pada tulang yang melemah.
Fraktur femoralis atipikal terjadi di korteks lateral diafisis femoralis dan
dapat dilihat pada pasien yang menjalani terapi jangka panjang dengan obat
bifosfonat. Berbeda dengan fraktur stres dan insufisiensi, di mana terminologinya
agak tidak tepat, fraktur femoralis atipikal didefinisikan secara eksplisit, dan
terminologi harus mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh American Society for
Bone and Mineral Research (ASBMR). Penampilan pencitraan dari fraktur ini
mirip dengan fraktur stres (kelelahan). Namun, mereka harus dianggap sebagai
bentuk fraktur insufisiensi karena tulang dapat menjadi sangat rapuh dan lemah.
Istilah fraktur patologis umumnya digunakan untuk fraktur melalui
neoplasma fokal, yang mungkin jinak atau ganas, meskipun definisi ini juga
diterapkan secara tidak konsisten, dan fraktur patologis melalui osteomielitis telah
dijelaskan dalam literatur. Hal ini bertentangan dengan fraktur daerah penyakit
tulang metabolic, apakah difus, seperti dengan osteopetrosis, atau fokal seperti
pada Paget disease yang umumnya harus disebut sebagai fraktur insufisiensi,
seperti yang telah dibahas sebelumnya.

STUKTUR TULANG DAN PATOFISIOLOGI


Jenis patah tulang atraumatik yang tampaknya beragam ini memiliki lebih
banyak kesamaan daripada yang terlihat pada pandangan pertama (melihat
sekilas). Untuk memahami dengan baik ciri-ciri etiologi dan pencitraan bersama
dari patah tulang ini, sangat membantu untuk meninjau prinsip-prinsip dasar dari
anatomi tulang, biomekanik, dan siklus remodeling tulang.
Tulang adalah bahan terkuat dan terkeras di tubuh. Hal ini terbagi menjadi
dua stuktur makro yang mendominasi, tulang kortikal (tulang kompak) dan tulang
trabecular ( tulang spons, ronga meduler, atau tulang kanselus) (gambar 1).
Proporsi relatif dari setiap jenis tulang bergantung pada bentuk tulang, lokasi
spesifik di dalam tulang, dan variasi gaya arah yang harus didukung. Tulang
kortikal mendominasi diaphyses tulang panjang. Struktur mikro tulang kortikal
terdiri dari osteon berbentuk silinder paralel yang terdiri dari lembaran lamelar
dari kolagen termineralisasi yang diperkuat dengan intervensi garis semen. Di sisi
lain, tulang trabekuler jauh lebih berpori dan diatur dalam jalinan pelat dan
penyangga yang dinamis yang berorientasi pada tekanan yang diterapkan pada
tulang dari waktu ke waktu. Tulang trabekuler mendominasi metafisis dan daerah
subkondral dari tulang panjang, badan vertebral, tulang datar panggul, tulang
tarsal, dan tulang sesamoid, dab sebagainya. Tulang kortikal dan tulang trabekuler
memiliki tampilan pencitraan yang berbeda dan tingkat resistensi yang berbeda
terhadap stres yang diterapkan dan respons terhadap cedera.
Gambar 1. Ilustrasi stuktur makro tulang Panjang

Tulang terkena berbagai gaya mekanis, termasuk gaya tekan, tarik, tekuk,
geser, dan torsi. Respon langsung dari tulang atau material struktural lainnya
terhadap gaya mekanis ditentukan berdasarkan interaksi dua faktor utama yaitu
kemampuan material untuk menyerap beban mekanis (stres) dan kemampuan
untuk berubah bentuk di bawah gaya tersebut tanpa kegagalan (regangan)
(Gambar 2). Pada tingkat beban rendah, tulang mudah berubah bentuk dalam
rentang elastisnya, dan tulang kembali ke bentuk dan struktur aslinya ketika beban
dilepaskan. Saat beban mekanis meningkat, tulang berubah bentuk di luar
jangkauan elastisnya (ke dalam kisaran plastik) dan terbentuk celah mikro. Fraktur
terjadi ketika ada akumulasi retakan mikro yang melebihi kapasitas tubuh untuk
perbaikan (misalnya, fraktur stres, fraktur kelelahan, atau fraktur insufisiensi),
ketika ada satu gaya yang melebihi beban kegagalan tulang (misalnya, fraktur
traumatis), atau kombinasi dari keduanya.
Tekanan (beban mekanik)

Regangan (deformasi/perubahan dimensi)

Gambar 2. Grafik menunjukkan kurva teori tekanan-regangan. Yield point


mewakili beban mekanis yang diperlukan untuk menyebabkan deformasi plastik
suatu material yang irreversible. Di tulang, tekanan multidirectional di yield point
hasil dari retakan mikro yang memulai remodeling tulang dan perbaikan kaskade.
Fraktur stres terjadi ketika laju pembentukan retakan mikro melebihi kapasitas
perbaikan tulang. Failure point mewakili beban mekanis yang diperlukan untuk
kerusakan kasar material. Pada tulang, kekuatan inilah yang dibutuhkan untuk
menghasilkan patah tulang traumatis akut.

Hukum Wolff menjelaskan bagaimana tulang beradaptasi dengan tekanan


mekanis dengan terus menerus melakukan remodeling, menghasilkan peningkatan
kekuatan dan peningkatan ketahanan terhadap tekanan yang diterapkan. Jalur
remodeling tulang lengkap dapat memakan waktu 2–8 bulan dan melibatkan tiga
langkah terpisah: (a) pembentukan retakan mikro karena deformasi plastik awal,
(b) pembentukan rongga resorpsi oleh osteoklas di lokasi retakan mikro, dan (c)
aktivasi osteoblas dengan deposisi tulang baru di rongga resorpsi (Gambar 3).
Proses renovasi ini serupa di seluruh kerangka, namun ada perbedaan utama
antara tulang kortikal dan trabekuler. Hanya remodeling kortikal yang dikaitkan
dengan peradangan periosteum yang berdekatan. Remodeling tulang trabekuler, di
sisi lain, dikaitkan dengan reorientasi trabekula agar lebih tahan terhadap gaya
yang diterapkan. Ketidakseimbangan komponen apa pun dari jalur renovasi
merusak perbaikan microcrack dan membatasi respons adaptif tubuh terhadap
tekanan. Hal ini pada akhirnya menghasilkan tulang yang melemah secara
abnormal dan menyebabkan tulang mengalami patah tulang atraumatic.
Pada fraktur stres, ketidakseimbangan dalam jalur remodeling tulang
adalah kelebihan keparahan, durasi, atau frekuensi stres yang diberikan, di mana
tulang tidak memiliki cukup waktu untuk memperbaiki retakan mikro secara
memadai sebelum putaran baru stres diterapkan. Pada fraktur femoralis atipikal,
ketidakseimbangan dihasilkan dari defisiensi remodeling tulang intrakortikal dan
perbaikan retakan mikro di korteks femoralis lateral, yang setidaknya sebagian
dimediasi oleh penekanan fungsi osteoklas. Pada fraktur patologis, lesi fokal
mengganggu mikrostruktur tulang, struktur makro, dan jalur remodeling yang
terkait. Dalam kasus beberapa neoplasma litik fokal, ketidakseimbangan kaskade
pemodelan ulang dapat dihasilkan dari peningkatan regulasi diferensiasi osteoklas
yang diinduksi tumor dan resorpsi tulang lokal (Gambar 3).

2) Osteoklas memediasi
1) Pembentukan 3) deposisi tulang baru
pembentukan rongga
retakan mikro osteoblastik
resorpsi

Fraktur stress : Fraktur femur atipikal : fraktur patologis :


laju pembentukan supresi remodeling lesi fokal menghambat
retakan mikro yang secara umum, kemampuan tulang untuk
melebihi jalur kemungkinan dimediasi memperbaiki dengan
remodeling tulang oleh penghambatan mengganggu jalur remodeling
normal osteoklas tulang secara fisik

Gambar 3. Ilustrasi menunjukkan kegagalan remodeling tulang pada fraktur stres


kelelahan, fraktur femoralis atipikal, dan fraktur patologis.

FRAKTUR STRES (KELELAHAN)


Fraktur stres terjadi sebagai hasil penjumlahan dari beban siklus yang
berulang, ketika laju kerusakan mikro yang terakumulasi melebihi kemampuan
tulang untuk beregenerasi melalui proses remodeling. Terjadi paling sering pada
individu muda yang aktif sebagai akibat dari peningkatan frekuensi, durasi, atau
intensitas aktivitas. Baik faktor intrinsik dan ekstrinsik berkontribusi pada etiologi
fraktur stres. Faktor intrinsik berkaitan langsung dengan karakteristik anatomi dan
metabolisme atlet, termasuk jenis kelamin, status hormonal, kualitas tulang,
kekuatan otot, dan gaya berjalan. Faktor ekstrinsik termasuk aturan pelatihan dan
faktor terkait peralatan seperti alas kaki dan permukaan berlari. Fraktur stres
paling sering muncul pada ekstremitas bawah yang menahan beban, termasuk,
dalam urutan frekuensi yang menurun yaitu tibia, kalkaneus, tulang metatarsal,
dan femur proksimal. Meskipun fraktur stres dapat terlihat pada ekstremitas atas,
cedera ini jarang terjadi dan biasanya merupakan hasil dari aktivitas atletik yang
melibatkan lemparan berulang.
Temuan Pencitraan
Fitur pencitraan dari fraktur stres ditentukan terutama berdasarkan dua
faktor: proporsi relatif tulang kortikal ke trabekuler dan kronisitas cedera (Gambar
4). Di lokasi dengan proporsi tulang kortikal yang lebih tinggi, seperti diafisis
tulang panjang, tanda radiografi paling awal dari kelelahan tulang adalah tanda
"korteks abu-abu", yang mengacu pada lusensi kortikal halus di lokasi
pembentukan retakan mikro dan resorpsi osteoklas. Reaksi periosteal dan
pembentukan kalus endosteal dengan penebalan kortikal mengikuti cedera
menyebar ke permukaan periosteal dan endosteal dan cascade penyembuhan
dimulai. Akhirnya, pada cedera tingkat tinggi, kerusakan kortikal dengan garis
fraktur terang menjadi jelas. Hal ini bertentangan dengan fraktur stres pada tulang
dengan proporsi tulang trabekuler yang lebih tinggi, seperti metafisis tulang
panjang, di mana tanda awalnya adalah buram halus dan sklerosis samar pada
trabekula. Ini berkembang menjadi sklerosis intrameduler linier, yang dihasilkan
dari deposisi tulang dan pembentukan mikrokalus di sepanjang struts trabekuler
yang telah direnovasi (Gambar 4). Comminution dan displacement merupakan
manifestasi fraktur stres yang jarang terjadi.
Gambar 4. Gambaran lokasi fraktur stres kelelahan dengan proporsi tulang
kortikal dan trabekuler yang bervariasi. (a, b) Radiografi anteroposterior (AP) dari
pergelangan kaki dan kaki menunjukkan tulang dengan proporsi tulang kortikal
yang lebih tinggi, seperti diafisis tibialis anterior (a) dan metatarsal kedua (b), dan
dapat menunjukkan garis melintang yang halus atau miring berorientasi lucency
(panah hitam) dengan reaksi periosteal halus yang berdekatan (panah putih). (c, d)
Radiografi AP pada pergelangan kaki menunjukkan tulang dengan proporsi tulang
trabekuler yang lebih besar, seperti metafisis tibialis distal (c) dan kalkaneus (d),
dan mungkin menunjukkan buram trabekuler halus dan sklerosis samar (mata
panah di c) atau sklerosis linier di sepanjang garis fraktur (mata panah di d). Jika
fraktur trabekuler meluas ke korteks, reaksi periosteal dapat terlihat (panah di c).

MRI memiliki sensitivitas yang lebih tinggi daripada radiografi dalam


evaluasi fraktur stres dini. Sensitivitas untuk fraktur stres dengan radiografi telah
dilaporkan sebesar 15% -35% untuk cedera tahap awal dan 30% -70% untuk
cedera tahap akhir. MRI, di sisi lain, dianggap memiliki sensitivitas mendekati
100%. Gambaran awal MRI termasuk edema periosteal dan edema sumsum paling
baik ditunjukkan pada gambar dari urutan sensitif cairan. Saat tingkat keparahan
cedera berlanjut, garis fraktur linier hipointens dapat terlihat. Pembentukan tulang
baru periosteal dan endosteal adalah hipointens pada gambar dari semua urutan.
Saat ini, CT tidak dianggap sebagai modalitas pencitraan lini pertama atau
kedua untuk evaluasi diagnostik dari cedera stres yang dicurigai, namun CT
mungkin memiliki peran dalam kasus di mana hasil MRI tidak jelas, karena
spesifisitas yang tinggi untuk fraktur stres.

Peran Pencitraan dalam Mengelola Fraktur Stres


Fraktur stres dapat dikelompokkan sebagai risiko rendah atau tinggi, yang
membantu memandu pengobatan yang optimal dan memprediksi waktu yang
dibutuhkan pasien untuk kembali ke aktivitas (kembali bermain) (Gambar5).
Fraktur stres yang timbul akibat gaya tekan umumnya dianggap berisiko rendah
dan dapat dikelola dengan modifikasi aktivitas dan bantalan beban yang
berkelanjutan. Jenis fraktur stres yang paling umum adalah fraktur risiko rendah,
termasuk tibia posteromedial, kalkaneus, metatarsal ketiga dan keempat, dan leher
femur medial. Sebagai perbandingan, patah tulang yang muncul di bawah tekanan
tarik dan / atau di daerah dengan vaskularisasi yang buruk dianggap sebagai patah
tulang berisiko tinggi dan lebih mungkin membutuhkan rehabilitasi yang
diperpanjang, untuk mengakibatkan penyatuan tertunda, atau bahkan berkembang
menjadi patah tulang lengkap (Gambar 6). Fraktur berisiko tinggi termasuk
fraktur di leher femoralis superolateral, patela, korteks tibialis anterior, malleolus
medial, leher talar, korteks navicular dorsal, metafisis proksimal dari metatarsal
kelima, dan sesamoids ibu jari kaki. Fraktur ini mungkin memerlukan penanganan
yang lebih agresif, dengan penghentian aktivitas yang mengganggu, bantalan
beban terlindungi, dan dalam beberapa kasus, pembedahan. konsultasi kedokteran
bedah atau olah raga sering kali dianjurkan bila teridentifikasi patah tulang akibat
stres berisiko tinggi. Selain itu, fraktur femur proksimal, fraktur dengan garis
kelelahan lebih dari 50% dari lebar leher femur, atau fraktur dengan bukti
displacement harus dianggap berisiko tinggi.

Gambar 5. Manajemen fraktur stress tekanan (resiko rendah) atau regangan


(resiko tinggi). (a) gambar MR sagittal T1-weight menunjukkan fraktur stress
kelelahan (panah) yang meluas ke korteks posterior tibia. Karena fraktur akibat
stress kelelahan dianggap berisiko rendah, pasien ini dapat diobati dengan
modifikasi aktivitas saja (penghentian stresor berulang dalam waktu singkat —
dalam hal ini, berlari). (b) Radiografi lateral menunjukkan fraktur stres kelelahan
(panah) dari korteks anterior tibia. Karena fraktur kelelahan regangan dianggap
berisiko tinggi, pasien ini dirawat dengan penghentian stres berulang (berlari) dan
melindungi bantalan beban yang berkepanjangan.

Gambar 6. Fraktur displaced pada wanita 33 tahun dengan riwayat fraktur stres
sisi tarik berisiko tinggi pada leher femoralis yang tidak mematuhi rekomendasi
untuk berhenti berlari dan menjaga beban yang diberikan. (a) radiografi AP (b)
citra MR koronal T1-weighted fat-saturated menunjukkan fraktur displaced
(panah) dari leher femoralis dengan angulasi varus dan impaksi korteks medial.
Demikian juga, temuan MRI digunakan untuk panduan keputusan bermain
kembali bagi atlet. Fraktur dapat dinilai berdasarkan sistem klasifikasi yang
diusulkan oleh Fredericson dkk, yang memungkinkan klasifikasi fraktur
kelelahan tibialis medial berdasarkan pola periosteal, sumsum, dan edema kortikal
yang tampak pada gambar urutan MRI dari fat suppressed T2-weighted dan non
fat saturated T1-weighted (Gambar 7). Dalam sistem klasifikasi Fredericson,
derajat 1 hanya edema periosteal, derajat 2 adalah edema sumsum tulang ringan
yang hanya terlihat pada citra MR T2-weighted, derajat 3 lebih parah edema
sumsum tulang terlihat pada citra MR yang sensitif terhadap cairan dan T1-
weighted, dan derajat 4 adalah garis fraktur linier intrakortikal. Sistem ini
dimodifikasi oleh Kijowski et al, yang menyarankan untuk membagi derajat 4
menjadi 4a (perubahan intensitas sinyal intrakortikal tanpa bentuk linier) dan 4b
(garis fraktur kortikal intrakortikal linier) (Gambar 7).

Grade 0 : Grade 1: Grade 2:


Normal Edema periosteal Edema periosteal dan sedikit di
sumsum (hanya terlihat gambar
T2 weight)

Grade 3:
Grade 4a: Grade 4b:
edema periosteal dan sumsum
edema periosteal, edema periostela,
(terlihat di kedua gambar T1
sumsum dan sumsum dan kortikal
dan T2 weight)
kortikal dengan garis konfigurasi

Gambar 7. Ilustrasi menunjukkan grade klasifikasi Fredericson untuk sindrom


stres tibialis medial di MRI.
Meskipun sistem klasifikasi ini dikembangkan untuk cedera stres tibialis
posteromedial, sistem Fredericson sering digunakan untuk penilaian fraktur stres
di area lain. Namun, satu batasan penting dari MRI (dan oleh karena itu dari
klasifikasi Fredericson) adalah bahwa secara fisiologis, cedera kortikal
(pembentukan keretakan micro) adalah salah satu manifestasi awal dari fraktur
stress, namun MRI konvensional tidak memungkinkan visualisasi perubahan
kortikal sampai akhir perkembangan fraktur stres. Pencitraan multimodalitas juga
mungkin memiliki peran tambahan dalam penilaian fraktur stres, karena penulis
dari beberapa penelitian telah menunjukkan prediksi waktu yang lebih baik untuk
kembali bermain dengan menggabungkan penilaian MRI, lokasi fraktur, dan skor
kepadatan mineral tulang dengan absorptiometri sinar-X energi ganda namun,
diperlukan lebih banyak penelitian di bidang ini.

FRAKTUR FEMORALIS ATIPIKAL


Fraktur femur atipikal pada dasarnya adalah fraktur yang berorientasi
transversal dari korteks lateral femur yang muncul, akibat dari defisiensi dalam
perombakan tulang normal dan jalur remodeling tulang osteoklas yang
digabungkan. Fraktur femur atipikal telah dilaporkan pada pasien yang telah
menggunakan obat jangka panjang yang menekan perombakan tulang yang
dimediasi oleh osteoklas, seperti obat bifosfonat dan denosumab (sebuah antibodi
monoklonal RANKL [receptor activator of nuclear factor κB ligand] inhibitor
yang menghambat pematangan osteoklas) namun, patah tulang ini juga dapat
dilihat pada pasien yang tidak terpajan obat ini. Karena pembentukan tulang yang
tidak digabungkan dengan pembentukan rongga resorpsi yang dimediasi oleh
osteoklas tidak ditekan, fraktur femoralis atipikal menunjukkan pembentukan
kalus tulang endosteal dan periosteal yang khas dari cedera stres berulang (yaitu,
fraktur stres akibat kelelahan) di tempat lain di kerangka. Meskipun fraktur ini
mungkin tampak seperti fraktur karena stres akibat kelelahan, namun fraktur ini
diklasifikasikan lebih akurat sebagai bentuk fraktur insufisiensi, karena tulang
melemah oleh gangguan pada siklus remodeling tulang.
Dengan fraktur femoralis atipikal, tekanan berulang yang menjadi
predisposisi cedera pada pasien adalah tekanan tarik, yang paling menonjol di
korteks lateral femur. Faktanya, penelitian telah menunjukkan peningkatan risiko
fraktur atipikal pada pasien dengan kelainan gaya berjalan atau geometri tungkai
yang menonjolkan tekanan tarik di sepanjang femur lateral, termasuk mereka yang
memiliki sudut tibiofemoral yang meningkat dan mereka dengan peningkatan
femoral bowing (Gambar 8).

Gambar 8. Ilustrasi menunjukkan morfologi femoralis pada beberapa fraktur


femur atipikal. Studi menunjukkan peningkatan insiden pada pasien dengan
morfologi femoralis yang memperburuk tekanan tarik pada korteks lateral femur,
termasuk bowing femoral.

Fitur Pencitraan
Pada tahun 2013, ASBMR merilis seperangkat kriteria klinis dan
pencitraan yang telah direvisi untuk definisi fraktur femoralis atipikal (Tabel 1).
Kriteria ini dibuat untuk menyoroti tampilan pencitraan dari fraktur femoralis
atipikal dengan mengecualikan fitur klinis dan pencitraan yang meningkatkan
kemungkinan penyebab alternatif untuk fraktur, seperti osteoporosis dan trauma.
Kondisi komorbiditas dan pengobatan yang berhubungan dengan fraktur atipikal
tidak dimasukkan sebagai komponen dari definisi tersebut.
Untuk memenuhi definisi fraktur femoralis atipikal, fraktur harus
ditempatkan di dalam diafisis femoralis (distal ke trokanter minor dan proksimal
suar supracondylar). Fraktur yang berasal dari leher femoralis dan di femur
intertrochanteric secara khusus dikeluarkan dari definisi, karena fraktur ini lebih
mungkin dikaitkan dengan penyebab lain seperti trauma atau osteoporosis.
Tabel 1: Fraktur Femoralis Atipikal : Ringkasana definisi gugus tugas
ASBMR yang sudah disrevisi (2013)
Lokasi di diafisis femoralis
Distal ke trokanter minor
Proksimal ke suar suprakondilar
Fitur utama (diperlukan empat dari lima)*
Atraumatik atau trauma minimal
Secara substansial melintang (asalnya di korteks lateral); fraktur komplit
bisa menjadi miring secara lebih medial
Harus melibatkan korteks lateral; patah tulang lengkap meluas ke
korteks medial dan mungkin menunjukkan "spike medial"
Non-kominusi atau kominusi minimal
Penebalan endosteal atau periosteal (kerusakan atau pelebaran)
Fitur minor †
Penebalan diaphyseal umum
Fraktur diaphyseal femoralis bilateral
Gejala prodromal (misalnya, nyeri pangkal paha)
Penyembuhan tertunda
Kriteria pengecualian
Fraktur leher femur atau daerah intertrochanteric dengan ekstensi
subtrochanteric spiral
Fraktur periprostetik
Fraktur yang berhubungan dengan tumor dan penyakit tulang lain-lain
(misalnya, penyakit Paget, displasia fibrosa)

* Empat dari lima kriteria utama harus dipenuhi tanpa melanggar kriteria
pengecualian. Meskipun masing-masing dari lima kriteria sangat sugestif untuk
fraktur atipikal, hanya empat yang diperlukan untuk memungkinkan penilaian
klinis dalam kasus dengan kecurigaan tinggi atau ketika ada informasi yang
hilang.
† Fitur minor telah dikaitkan dengan fraktur atipikal tetapi tidak diperlukan untuk
diagnosis.

Fraktur harus berasal dari korteks tarik lateral femur (Gambar 9). Menurut
definisi, fraktur tidak lengkap hanya terletak di korteks lateral diafisis femoralis.
Pada fraktur lengkap, penebalan periosteal terlokalisasi atau endosteal yang
menunjukkan cedera stres berulang terlihat di korteks lateral, dan mungkin
terdapat spike yang khas pada korteks medial (Gambar 10). Hasil dari satu studi
menunjukkan bahwa penebalan kortikal lateral fokal ini adalah temuan yang
paling akurat (84,2% -94,7%) untuk membedakan fraktur atipikal dari fraktur
penyebab lain, termasuk trauma dan kelelahan tulang. Penebalan kortikal lateral
fokal juga telah terbukti berguna dalam membedakan fraktur atipikal dari jenis
fraktur insufisiensi lainnya, termasuk yang terkait dengan penyakit Paget dan pada
pasien dengan osteopetrosis.

Gambar 9. Ilustrasi menunjukkan lokasi fraktur stres kelelahan dan fraktur


atipikal di tulang femur.

Gambaran morfologi akhir yang dianggap integral untuk diagnosis fraktur


atipikal adalah orientasi transversal substansial dari fraktur non-kominusi pada
asalnya di korteks lateral (Gambar 10). Pada fraktur komplit, garis bisa muncul
dalam orientasi lebih miring karena fraktur meluas ke medial di sepanjang sisa
tulang paha. Hal ini dapat menyebabkan penampilan karakteristik “spike medial”,
yang mungkin disebabkan oleh propagasi medial akut dari fraktur korteks lateral
berorientasi transversal yang tidak lengkap. Dalam satu studi, orientasi fraktur
transversal secara substansial sangat akurat (84,2% -86,8%) untuk membedakan
fraktur femoralis atipikal dari kasus-kasus dengan penyebab lain, sementara
kurangnya kominusi dan adanya spike medial dianggap sedikit kurang berguna
secara diagnostik.
Gambar 10. Spektrum kelainan radiografi terlihat dengan fraktur femoralis
atipikal pada tiga pasien. (a) Radiografi AP pinggul kanan pada wanita 64 tahun
dengan penebalan periosteal dan endosteal (panah) korteks lateral diafisis
femoralis, yang konsisten dengan reaksi stres femoralis atipikal atau fraktur halus.
(b) Radiografi AP dari pinggul kiri pada wanita berusia 67 tahun menunjukkan
fraktur yang berorientasi melintang (panah putih) dari korteks lateral diafisis
femoralis dengan kerusakan endosteal terkait (panah hitam) dan penebalan
kortikal yang berdekatan (panah), temuan yang konsisten dengan fraktur femoralis
atipikal yang tidak lengkap. (c) Radiografi AP dari pinggul kanan pada wanita 59
tahun menunjukkan fraktur diafisis femoralis non-kominusi yang konsisten
dengan fraktur atipikal lengkap. Fraktur secara substansial melintang (panah
putih) di korteks lateral tetapi menjadi lebih miring dengan spike medial saat
fraktur menyebar secara medial (panah hitam). Kerusakan endosteal dan
periosteal terkait dengan penebalan korteks lateral menunjukkan bahwa fraktur
lengkap ini berasal dari korteks lateral.

Gambaran klinis dan pencitraan yang meningkatkan kemungkinan


penyebab fraktur alternatif dikeluarkan dari definisi fraktur atipikal. Fraktur
atipikal terjadi pada pasien tanpa riwayat trauma atau dengan trauma minimal,
seperti jatuh dari posisi berdiri. Selain itu, fraktur harus non-kominusi atau
minimal kominusi, sugestif kegagalan "rapuh". Kominusi lebih sering terlihat
pada patah tulang traumatis, dengan atau tanpa osteoporosis. Meskipun fraktur
diaphyseal femoralis traumatis non-kominusi kadang-kadang terjadi, biasanya
tidak terdapat penebalan kortikal lateral atau spike medial (Gambar 11). Kondisi
lain yang secara khusus dikecualikan dari definisi termasuk fraktur periprostetik,
fraktur patologis (terkait dengan neoplasma), dan fraktur insufisiensi terkait
dengan penyakit metabolik lain-lain dan penyakit tulang lainnya (misalnya,
penyakit Paget dan fibrous displasia, antara lain) (Gambar 12).
Gambar 11. Fraktur traumatis pada wanita berusia 38 tahun yang terlibat dalam
kecelakaan kendaraan bermotor berkecepatan tinggi. Proyeksi intensitas rata-rata
sagital (a) dan koronal (b) pada pencitraan CT menunjukkan fraktur femoralis
non-kominusi yang berorientasi transversal (panah). Meskipun fraktur non-
kominusi transversal mirip dengan fraktur atipikal, gambaran yang menunjukkan
bahwa ini bukan fraktur femoralis atipikal meliputi riwayat trauma, tidak adanya
penebalan dan kerusakan kortikal lateral, dan tidak adanya lonjakan medial.

Gambar 12. Osteogenesis imperfecta dan fraktur humerus traumatis minimal


pada pria berusia 23 tahun. (a) Radiografi AP menunjukkan fraktur transversal
minimal humerus kanan (panah putih) akibat trauma minimal. Fraktur miring dari
kondilus medial juga terlihat (panah hitam). Meskipun fraktur non-kominusi
transversal traumatis minimal memiliki bentuk yang mirip dengan fraktur atipikal,
fraktur ini bukan fraktur atipikal karena lokasi humerus, adanya penyakit tulang
yang mendasari (osteogenesis imperfecta), tidak adanya perubahan stres kortikal
(kerusakan endosteal, penebalan kortikal), dan tidak adanya spike medial. Oleh
karena itu, ini paling tepat disebut sebagai fraktur insufisiensi (atau kerapuhan).
(b) Radiografi AP menunjukkan fiksasi fraktur berikutnya (panah hitam dan
putih) dengan batang intrameduler dan pelat kortikal. Kesulitan dalam memasang
batang intramedulla yang kaku ke dalam humerus yang rapuh mengakibatkan
fraktur oblik intraoperatif pada diafisis humerus proksimal (mata panah),
menekankan tantangan bedah yang dihadapi pada pasien dengan penyakit tulang
rapuh dan dengan kanal intrameduler sempit.

Pengobatan
Pengobatan pasien dengan fraktur femoralis atipikal dapat mencakup
penghentian pengobatan antiresorptif, asesmen, dan kemungkinan suplementasi
dengan kalsium dan vitamin D, pertimbangan agen pembentuk tulang (termasuk
teriparatide, hormon paratiroid rekombinan), skrining radiografi dari femur
kontralateral, dan kemungkinan fiksasi bedah. Dalam artikel ini, kami fokus pada
perincian perawatan yang paling relevan bagi ahli radiologi: skrining femoralis
kontralateral, dan fitur pencitraan yang memandu perawatan bedah oleh ahli
bedah ortopedi.
Ketika fraktur femoralis atipikal diidentifikasi, skrining pinggul
kontralateral dan seluruh femur direkomendasikan dengan AP dan radiografi
lateral (Gambar 13) karena hingga 44% pasien menunjukkan fraktur pada femur
kontralateral baik pada saat fraktur atau setelah tahun-tahun berikutnya.
Radiografi kontralateral harus dilakukan selama masa inap awal pasien di rumah
sakit karena adanya cedera kontralateral dapat mengubah perawatan bedah
potensial untuk cedera ipsilateral dan kontralateral.
Jika tidak ada fraktur yang teridentifikasi, rekomendasi yang diberikan
dapat mencakup tindak lanjut klinis dan radiografi atau pemindaian tulang atau
MRI yang bersifat segera. Pemindaian tulang atau MRI sebaiknya dilakukan
setiap kali pasien datang dengan gambaran klinis yang berhubungan dengan
fraktur femoralis atipikal, seperti nyeri paha atau selangkangan.
Perawatan bedah untuk patah tulang femoralis atipikal bergantung pada
kombinasi faktor klinis dan pencitraan. Fraktur bergeser atau fraktur lengkap
harus ditangani dengan pembedahan. Perawatan konservatif dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan fraktur atipikal yang tidak lengkap jika nyeri
pangkal paha atau paha minimal atau tidak ada. Gambaran pencitraan lain yang
dapat meningkatkan risiko progresi yang semakin parah dan mengindikasikan
perlunya perawatan bedah yang mungkin adalah (a) adanya garis radiolusen di
korteks, (b) fraktur di lokasi subtrochanteric, (c) deformitas atau pembengkokan
tulang paha, (d) adanya fraktur atipikal kontralateral saat ini atau sebelumnya, dan
(e) tidak adanya penyembuhan pada pencitraan tindak lanjut jangka pendek.
Gambaran klinis yang dapat meningkatkan risiko meliputi penggunaan jangka
panjang dan ketergantungan yang tinggi terhadap terapi bifosfonat; penggunaan
obat glukokortikoid atau penghambat pompa proton; dan nyeri paha atau
selangkangan.

Gambar 13. Skrining dari keseluruhan femur kontralateral pada dua pasien. (a)
Radiografi AP pinggul kiri pada wanita berusia 58 tahun dengan nyeri pinggul
dan fraktur femur atipikal baru yang menggunakan obat bifosfonat menunjukkan
fraktur yang berorientasi transversal (panah) dari korteks lateral femur dengan
kerusakan endosteal dan periosteal, konsisten dengan fraktur femoralis atipikal
yang tidak lengkap. (b) Skrining radiografi AP dari pinggul kontralateral (kanan)
yang dilakukan pada saat yang sama menunjukkan tidak adanya fraktur
kontralateral; namun, keseluruhan tulang paha tidak dicitrakan, seperti yang
biasanya direkomendasikan. (c (c) Sebuah radiografi resolusi rendah area panggul
dari pemeriksaan CT abdomen-panggul yang dilakukan secara bersamaan
menunjukkan fraktur atipikal sisi kiri (panah hitam) dan reaksi stres femoralis
atipikal atau fraktur halus yang tidak lengkap di diafisis femoralis kanan (panah
putih), yang berada di luar bidang pandang pada radiografi pinggul. (d, e)
Potongan radiografi AP dari pinggul kiri (d) dan radiografi AP dari seluruh femur
kanan (e) pada wanita berusia 70 tahun menunjukkan skrining yang tepat untuk
seluruh femur kontralateral ketika fraktur atipikal (panah di d) diidentifikasi.

Ketika operasi diindikasikan, perawatan yang lebih disukai adalah


perawatan intramedulla (Gambar 14) dan beberapa orang menganggapnya sebagai
standar perawatan untuk semua fraktur kominutif minimal transversal atau miring
pada ekstremitas bawah tulang panjang diafisis, terlepas dari penyebabnya.

Gambar 14. Fraktur femoralis atipikal pada wanita berusia 65 tahun yang
mengalami nyeri pinggul kiri dan ketidakstabilan setelah jatuh dari posisi berdiri.
(a) Radiografi AP menunjukkan fraktur (panah) dengan orientasi transversal di
korteks lateral, spike medial, dan kerusakan endosteal kortikal lateral, temuan ini
konsisten dengan fraktur femoralis atipikal lengkap. (b) Radiografi AP
menunjukkan fiksasi dengan paku intramedulla (panah), yang dianggap sebagai
standar perawatan untuk fraktur femoralis atipikal dan fraktur transversal non-
kominusi lainnya pada tulang panjang.

Deformitas, stenosis, atau obstruksi saluran intramedulla dapat


mempengaruhi pemilihan alat dan bahkan dapat menghalangi pengobatan dengan
alat intramedulla. Hal ini penting untuk diperhatikan oleh ahli bedah ortopedi.
Sebagai contoh, pembengkokan femoralis anterolateral yang berlebihan dapat
terlihat pada fraktur femoralis atipikal dan memerlukan sistem paku intramedullar
dengan kelengkungan dan diameter yang sesuai agar pas dengan deformasi femur.
Selain itu, kanal intramedulla dapat menyempit secara fokal karena
pemenggalan endosteal pada fraktur atipikal sebagai akibat dari penebalan
kortikal pada pasien dengan fraktur insufisiensi yang berhubungan dengan
osteopetrosis. Terlepas dari penyebabnya, penyempitan atau deformitas kanal
intramedulla yang substansial dapat menyebabkan kesulitan intraprosedural
dengan reaming kanal meduler dan penanaman paku melalui kanal meduler,
terutama pada tulang yang rapuh atau tidak memadai (Gambar 12). Untuk alasan
ini, deformitas parah atau penyempitan saluran meduler merupakan kontraindikasi
relatif terhadap penempatan alat intrameduler.

FRAKTUR PATOLOGIS
Sama seperti fraktur stress dan patah tulang atipikal, patah tulang patologis
muncul karena ketidakseimbangan antara tekanan yang ditempatkan pada tulang
dan kemampuan tulang untuk menahan tekanan tersebut tanpa kegagalan. Dengan
fraktur patologis, penurunan resistensi terhadap beban terjadi karena erosi dan
penggantian arsitektur tulang normal dengan neoplasma fokal jinak atau ganas
atau osteomielitis. Dengan banyak neoplasma litik, ketidakseimbangan muncul
karena peningkatan regulasi diferensiasi osteoklas dan resorpsi tulang melampaui
deposisi tulang baru. Beberapa tumor menyebabkan kerusakan tulang jelas dengan
batas yang jelas, sementara tumor lainnya menembus melalui tulang,
menghasilkan lesi yang tidak terlalu jelas.
Membedakan fraktur tekanan yang akurat dari fraktur patologis dapat
menjadi tantangan bagi ahli radiologi yang menafsirkannya karena lokasi cedera
dan fitur pencitraan yang tumpang tindih. Misalnya, fraktur stres yang
berkembang dapat dikaitkan dengan gambaran radiografi yang agresif seperti
reaksi periosteal yang tidak beraturan atau osteolisis yang berlebihan dan dapat
disalahartikan sebagai fraktur patologis atau neoplasma litik. Dalam skenario ini,
biopsi fraktur stres yang berkembang dapat mengacaukan diagnosis sebenarnya
karena osteoid yang belum matang terbentuk dalam proses penyembuhan dapat
diinterpretasikan sebagai temuan neoplasma pada evaluasi histopatologi.
Sebaliknya, fraktur patologis juga dapat disalahartikan sebagai fraktur jinak, yang
mengakibatkan keterlambatan diagnosis keganasan.
Riwayat klinis pasien dan lokasi cedera dapat menjadi hal penting untuk
membedakan stres dari cedera patologis. Diagnosis fraktur stres lebih banyak
ditemukan pada pasien muda yang sehat dengan riwayat aktivitas berulang.
Fraktur patologis, sebaliknya, lebih banyak ditemukan terutama pada pasien usia
lanjut dengan penyakit metastasis dan tanpa riwayat aktivitas berulang. Namun
yang perlu dipehatikan adalah sarkoma Ewing dan limfoma primer tulang pada
pasien muda mungkin sulit dibedakan dari diagnosis fraktur stres yang jauh lebih
umum. Selain itu, lokasi cedera dapat berguna untuk membedakan fraktur stres
dan patologis. Cedera stres umumnya terjadi di lokasi khusus yang terkait dengan
aktivitas tertentu (Tabel 2).
Tabel 2: Lokasi Fraktur Stres yang Umum Berdasarkan Aktivitas
Lokasi Aktivitas
Hamate (hook) Golf, tenis, bisbol
Ulna (coronoid/olecranon) Melempar, menggunakan kursi roda
Humerus (diafisis distal) Melempar
Tulang rusuk Golf, angkat beban, mendayung
Tulang belakang lumbal Angkat beban, ballet
(spondylolysis)
Cincin obturator/ tulang pubis Senam, lari, bowling
Femur (leher, diafisis) Lari, balet, senam
Tibia Lari, basket, balet
Fibula Lari, melompat (akrobatik)
Kalkaneus Melompat (akrobatik), berdiri
Tarsal navicular Lari
Diafisis metatarsal Lari, berdiri, basket, balet
Sesamoid metatarsal Berdiri

Di sisi lain, fraktur patologis, paling sering terjadi di tiga lokasi: (a) femur
subtrochanteric, (b) persimpangan kepala humerus dan metafisis, dan (c) di badan
vertebral (3). Cedera avulsi pada trokanter minor femur pada orang dewasa harus
dianggap patologis sampai terbukti sebaliknya (Gambar 15). Meskipun riwayat
klinis dan lokasi cedera dapat membantu, namun keduanya tidak spesifik, dan
dalam banyak kasus tidak cukup untuk membedakan antara penyebab jinak dan
ganas secara meyakinkan.
Gambar 15. Avulsi trokanter minor pada pria 59 tahun dengan riwayat melanoma
yang disertai dengan nyeri pinggul kiri. (a) Radiografi AP menunjukkan fraktur
avulsi (panah) dari trokanter minor. (b) Gambar CT koronal menunjukkan lesi
litik yang mendasari (panah) pada pasien dengan melanoma metastasis. Fraktur
avulsi trokanterik minor pada orang dewasa harus dianggap patologis sampai
terbukti sebaliknya.

Temuan Pencitraan
MRI paling cocok untuk membedakan antara patah tulang jinak dan ganas
karena kemampuannya untuk mengkarakterisasi kelainan intensitas sinyal
sumsum. Karakteristik intensitas sinyal sumsum yang paling penting untuk
membedakan patah tulang jinak dari patologis adalah margin dan homogenitas
dari kelainan intensitas sinyal T1-weighted di sekitar patahan (Gambar 16). Pada
fraktur jinak, kelainan sinyal T1-hypointense menunjukkan edema dan perdarahan
akut. Oleh karena itu, ini mungkin menunjukkan margin yang tidak jelas, sumsum
lemak normal yang campur aduk, dan transisi seperti pita secara bertahap ke
intensitas sinyal sumsum normal lebih menjauh dari fraktur. Dalam banyak patah
tulang patologis, kelainan intensitas sinyal T1-weighted setidaknya sebagian
disebabkan oleh tumor infiltratif. Hal ini sering menghasilkan kelainan sinyal T1-
hypointense yang lebih homogen dengan margin cembung yang terdefinisi dengan
baik. Abnormalitas intensitas sinyal T2-weighted kurang spesifik mengingat
edema sumsum yang melimpah, perdarahan, dan peradangan berdekatan yang
dapat dilihat pada fraktur akut dengan penyebab apapun. Sebagai catatan,
tampilan MRI pada banyak fraktur patologis — di mana lesi muncul dengan
margin yang jelas — dapat berlawanan dengan intuisi ahli radiologi yang kurang
berpengalaman karena tampilan radiografi dari banyak lesi yang tampak agresif
biasanya memiliki zona transisi yang luas.
Fitur kedua yang berguna untuk membedakan fraktur stres dari patologis
pada CT dan MRI adalah ada atau tidaknya garis fraktur yang terdefinisi dengan
baik (Gambar 16). Jika muncul, garis fraktur yang memanjang dari tulang kortikal
ke tulang kanselus mungkin menandakan fraktur stres. Dalam banyak fraktur
patologis, tumor dapat mengikis tulang trabekuler dan menyusup ke ruang fraktur,
mengurangi mencoloknya garis fraktur yang berbeda. Gambaran lain yang lebih
sugestif dari fraktur patologis pada CT atau MRI meliputi reaksi periosteal
agresif, erosi kortikal, scalloping endosteal, area hypoenhancing (nekrotik) di
jaringan lunak yang berdekatan, dan adanya massa jaringan lunak yang
meningkat.
Intensitas sinyal dan fitur morfologi telah dipelajari secara lebih ekstensif
untuk membedakan fraktur kompresi osteoporosis (insufisiensi) dari fraktur
patologis pada badan vertebral. Meskipun protokol pencitraan dan manajemen
sering berbeda untuk kelainan tulang belakang, fitur pencitraan yang berguna
untuk membedakan insufisiensi dan patah tulang patologis di tulang belakang
mungkin memiliki kesamaan dengan tulang yang memiliki struktur makro
dominan trabekuler serupa. Sama seperti pada kerangka apendikular, baik pola
sinyal T1-hipointens dan tidak adanya garis patah tulang yang jelas telah
menunjukkan kegunaan untuk membedakan penyebab patah tulang belakang.
Selain itu, fraktur kompresi vertebra osteoporotik dapat dikaitkan dengan pita
sklerosis atau impaksi trabekuler yang sejajar dengan garis fraktur. Ini mungkin
analog dengan mikrokalus dan sklerosis linier yang terlihat di sepanjang fraktur
stres trabekuler awal. Fraktur patologis lebih mungkin mengikis trabekula dan
oleh karena itu kecil kemungkinannya untuk menunjukkan sklerosis linier yang
sejajar dengan fraktur. Gambaran lain yang mungkin menunjukkan fraktur
kompresi vertebra patologis meliputi (a) kerusakan tulang kortikal atau kanselus,
(b) tidak adanya vakum atau celah cairan, (c) konveksitas atau penonjolan pada
dinding vertebral posterior, (d) keterlibatan pedikel, massa paravertebral fokus
berukuran lebih besar dari 10 mm, dan (e) kelainan sinyal T1 dengan intensitas
berlanjut pada 3–6 bulan setelah MRI (Tabel 3). Teknik pencitraan canggih untuk
evaluasi perubahan intensitas sinyal sumsum, termasuk MRI yang diperkuat
bahan kontras dinamis, MRI pergeseran kimiawi, dan MRI berbobot difusi, telah
menunjukkan ketepatan untuk membedakan fraktur jinak dengan fraktur ganas di
tubuh vertebral.

Gambar 16. Garis fraktur dan intensitas sinyal sumsum T1-weighted untuk
membedakan fraktur patologis dan fraktur stres. (a) Gambar MR koronal T1-
weighted dari leher femoralis kiri menunjukkan fraktur stres dengan garis fraktur
T1-hipointens yang memanjang dari korteks ke tulang trabekuler (panah putih).
Kelainan intensitas sinyal T1-weighted terkait tidak jelas, dengan area intervensi
tidak merata dari sumsum lemak normal (panah hitam). (b) Citra MR T1-weighted
Sagital dari humerus kanan menunjukkan gangguan kortikal halus yang
mengindikasikan fraktur patologis (panah putih), tanpa bukti garis fraktur T1-
hipointens yang menembus tulang trabekuler di rongga sumsum. Kelainan sinyal
T1-hipointens yang terkait adalah homogen dan terdefinisi dengan baik (panah
hitam), dengan sumsum lemak normal T1-weighted intervensi minimal.

Tabel 3 merangkum temuan pencitraan dengan berbagai modalitas yang


mungkin berguna untuk membedakan fraktur stres dari fraktur patologis. Jika
diagnosis definitif masih belum pasti setelah pencitraan awal, pilihan diagnostik
termasuk biopsi atau radiografi dan MRI dalam waktu dekat. Pada patah tulang
jinak, tindak lanjut pencitraan dalam jangka pendek harus menunjukkan tanda-
tanda penyembuhan dan peningkatan kelainan intensitas sinyal sumsum dalam 2-3
bulan.
Tabel 3 Fitur Indikasi Fraktur Stres vs Fraktur Patologis
Modalitas Fraktur Patologis Fraktur stress: kelelahan dan
atipikal
Radiografi Destruksi kortikal atau scalloping Penebalan endosteal dan
dan CT endosteal periosteal
Reaksi periosteal agresif Reaksi periosteal jinak
Pola sumsum litik atau permeatif Trabekula sklerotik utuh
Massa jaringan lunak Tidak ada massa jaringan
Matriks termineralisasi lunak
MRI Garis fraktur tidak ada atau samar Garis fraktur yang jelas
Kelainan sinyal T1-hypointense memanjang melalui tulang
yang jelas trabekuler
Intensitas sinyal T1-weighted Kelainan sinyal T1-
yang homogen tanpa adanya hypointense yang tidak jelas
sumsum normal Intensitas sinyal T1-weighted
Edema otot yang berdekatan heterogen dengan keberadaan
secara substansial sumsum yang berukuran
besar
Jejak edema otot berdekatan
tidak memiliki batas yang
jelas
Skintigrafi Penyerapan tersebar Penyerapan linier atau
/ PET terfokus.

Dengan adanya neoplasma tulang yang baru teridentifikasi, pencitraan


memiliki peran penting dalam memprediksi risiko pasien yang mengalami fraktur
patologis. Sistem penilaian Mirels adalah sistem penilaian yang paling umum
digunakan dan telah terbukti valid serta dapat direproduksi untuk memprediksi
fraktur patologis yang akan datang pada kerangka apendikular berdasarkan
gambaran radiografi dari lesi tulang (Tabel 4).

Tabel 4: Resiko Fraktur Patologis (Kriteria Mirels)


Skor Lokasi Nyeri Matriks lesi Ukuran lesi*
1 Ekstrimitas atas Rendah Blastik <1/3
2 Ekstrimitas bawah Sedang Campuran 1/3–2/3
3 Femur peritrochanteric Fungsional † Litik >2/3
* Ukuran lesi mengacu pada fraksi diameter tulang sesuai artikel awal oleh Mirels
(80); Namun, sumber yang lebih baru (83,84) merujuk pada ukuran lesi sebagai
sebagian kecil dari keterlibatan kortikal.
† Nyeri fungsional didefinisikan sebagai nyeri saat ekstremitas digunakan
(misalnya nyeri tungkai saat berjalan).

Penting bagi ahli radiologi untuk memahami sistem penilaian Mirels dan
faktor risiko lain patah tulang pada pasien dengan neoplasma untuk memberikan
gambaran yang paling relevan secara klinis kepada ahli bedah ortopedi dari tumor
tulang yang membutuhkan perawatan bedah. Sistem ini didasarkan pada empat
karakteristik utama: (a) lokasi lesi, (b) ukuran lesi, (c) matriks lesi, dan (d) adanya
nyeri. Penilaian dan penghitungan skor total fitur pencitraan ini dijelaskan pada
Tabel 4. Sesuai rekomendasi awal, fiksasi profilaksis direkomendasikan untuk lesi
dengan skor lebih dari atau sama dengan 9 (Gambar 17); lesi dengan skor 8
samar-samar, dan diperlukan penilaian klinis; dan lesi dengan skor kurang dari 7
seringkali dapat diobati secara medis. Misalnya, lesi peritrochanteric (3 poin) litik
(3 poin) yang kurang dari sepertiga diameter tulang (1 poin) dengan nyeri ringan
(1 poin) memiliki skor total 8 poin. Jika lesi lebih besar atau nyeri lebih parah,
fiksasi profilaksis akan direkomendasikan sesuai dengan kriteria Mirels. Di luar
kriteria Mirels, yang lain menyarankan fiksasi profilaksis ketika lebih dari 50%
dari lebar tulang telah hancur, dengan lesi yang lebih besar dari 2,5 cm, ketika
fraktur meliputi trokanter, dan pada pasien dengan nyeri setelah radiasi lesi.
Gambar 17. Penerapan kriteria Mirels untuk fraktur patologis tertunda pada dua
pasien. (a) Radiografi AP pada pria 66 tahun dengan riwayat karsinoma sel ginjal
dan nyeri paha fungsional (3 poin) menunjukkan lesi litik permeatif (panah; 3
poin) pada ekstremitas bawah (2 poin), yang melibatkan lebih dari dua pertiga
diameter korteks (3 titik). (b) Skor kriteria Mirels untuk lesi litik ini adalah 11
poin, dan oleh karena itu difiksasi secara profilaksis sebelum fraktur total. (c)
Radiografi AP pada pria 57 tahun dengan karsinoma sel skuamosa metastatik dan
nyeri tungkai kiri dan selangkangan ringan (1 titik) menunjukkan lesi litik (panah;
3 titik) pada tungkai bawah (2 titik), yang mana mencakup lebih dari dua pertiga
diameter korteks (3 titik). Lesi ini mencetak 9 poin dan karena itu berisiko
mengalami patah tulang di masa yang akan datang. (d) Pasien menolak fiksasi
pada saat radiografi dan kembali 4 bulan kemudian dengan fraktur patologis.
Meskipun fraktur ini tidak non-kominusi, hal tersebut menunjukkan orientasi
melintang secara substansial di korteks lateral (panah) dan menunjukkan spike
medial (mata panah). Ini tidak dianggap sebagai fraktur femoralis atipikal karena
tidak adanya kerusakan atau penebalan kortikal lateral dan adanya neoplasma
yang mendasari (kriteria eksklusi).

Pertimbangan Perawatan Tambahan.


Pertimbangan perawatan terperinci untuk pasien dengan fraktur patologis
tergolong rumit dan di luar cakupan artikel ini. Faktor-faktor yang mempengaruhi
strategi pengobatan yang optimal untuk patah tulang patologis termasuk evaluasi
asal usul lesi, status penyebaran penyakit, prognosis pasien, kesehatan pasien
secara keseluruhan, morfologi patah tulang, dan status lokal dari tulang yang
terkena, adalah beberapa di antara banyak pertimbangan lainnya. Pada pasien
yang menjalani pengobatan paliatif, intervensi bedah dapat ditawarkan untuk
fiksasi profilaksis fraktur yang akan datang atau untuk stabilisasi mekanis fraktur
patologis. Dalam situasi ini, tujuan pembedahan bukanlah penyembuhan; operasi
ditawarkan untuk menghilangkan rasa sakit, pemulihan fungsi, dan peningkatan
kualitas hidup.

KESIMPULAN
Fraktur atraumatik meliputi fraktur stres, atipikal, dan patologis sering
ditemukan di unit gawat darurat dan dalam praktik klinis. Ahli radiologi harus
memahami terminologi dan fitur pencitraan yang relevan secara klinis dari fraktur
atraumatik untuk memastikan identifikasi yang tepat, karakterisasi, dan hubungan
yang tepat dari temuan kritis yang mempengaruhi pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai