Anda di halaman 1dari 8

Neuralgia Pasca Herpes

Rizaldy Pinzon

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana/

RS Bethesda Yogyakarta

Email: drpinzon17@gmail.com

Tujuan perkuliahan

Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa diharapkan mampu:

Tujuan instruksional umum:

Mampu menjelaskan tatalaksana neuralgia pasca herpes

Tujuan instruksional khusus:

1. Menyebutkan definisi neuralgia pasca herpes

2. Menjelaskan mekanisme neuralgia pasca herpes

3. Menjelaskan tatalaksana neuralgia pasca herpes


Pendahuluan

Herpes zoster (‘shingles’/HZ) adalah nyeri dengan distribusi dermatomal di daerah

ruam vesikular disebabkan karena reaktivasi virus varicella-zoster di ganglion radiks dorsalis

dan saraf kranial. Pada umumnya unilateral. Kadang ditemukan hanya nyeri tanpa adanya

ruam herpes zoster (‘zoster sine herpete’). Keluhan dari rasa gatal dan nyeri terbakar sampai

nyeri berat dan hiperestesi. Ruam mengalami penyembuhan dalam dua sampai empat minggu.

Definisi

Postherpetik neuralgia (PHN) adalah sebuah sindroma nyeri neuropatik yang

ditimbulkan oleh komplikasi akibat dari infeksi herpes zoster (HZ). Pada tahun 2002, The

International Association for Study of Pain (IASP) menggolongkan neuralgia post herpetika

1
sebagai nyeri kronik yaitu nyeri yang muncul setelah penyembuhan herpes zoster usai atau

nyeri yang berlangsung lebih dari tiga bulan tanpa adanya malignitas.

Definisi lain menyebutkan postherpetik neuralgia (PHN) merupakan komplikasi yang

serius dari herpes zoster yang dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, tersengat listrik,

teriris atau tertusuk, dapat bertahan selama berbulan-bulan bahkan sampai tahunan. Neuralgia

pascaherpes (‘postherpetic neuralgia’/PHN) adalah nyeri neuropatik persisten lebih dari satu

bulan setelah penyembuhan ruam herpes zoster dan menetap beberapa bulan atau tahun bahkan

seumur hidup.

Tiga macam keluhan utama nyeri neuropatik neuralgia pascaherpes, yaitu : (1) nyeri

terbakar atau nyeri tumpul dalam yang konstan dan spontan ; (2) nyeri paroksismal intermiten

pedih, seperti tertembak atau tersetrum; dan (3) nyeri alodinia/hiperalgesia mekanikal atau

pada sebagian kasus nyeri alodinia termal yang intermiten. Nyeri dapat disertai rasa gatal dan

disestesi yang mengganggu.

Epidemiologi

Insidensi postherpetik neuralgia (PHN) rata-rata sekitar 9-34% pada pasien herpes

zoster. Komplikasi ini merupakan bentuk yang paling sering muncul sebagai proses lanjutan

dari infeksi herpes zoster (HZ). Proporsi pria dan wanita untuk terkena komplikasi ini hampir

sama. Pada sebuah studi pasien HZ berusia 60 tahun dilaporkan 60% diantaranya mengalami

komplikasi PHN dan pada usia 70 tahun, 75% diantaranya mengalami PHN. Di Amerika

Serikat, tercatat sekitar 9-14% terkena komplikasi PHN pada 1 bulan dan sekitar 5% pada 3

bulan pasca infeksi HZ. Pada 1 tahun pasca infeksi HZ tercatat 3% diantaranya mengalami

nyeri neurpatik berat.

Duapertiga kasus herpes zoster berusia 50 tahun atau lebih, dengan ‘lifetime risk’ 30%.

Pada studi populasi, yang masih merasakan nyeri dalam satu bulan berkisar 18%-20%, dan

2
10%-14% dalam tiga bulan. Faktor risiko PHN adalah usia lanjut dan intensitas nyeri yang

tinggi saat HZ akut. Prediktor lain adalah adanya nyeri prodromal HZ, beratnya ruam HZ,

ditemukan gangguan sensibilitas seperti hipestesi dan alodinia, lokasi HZ di cabang ophtalmik

(5%-10% kasus), dan distres psikososial pada fase akut serta sebelum HZ kondisi kesehatan

rendah.

Sebanyak 80% neuralgia pascaherpes berusia 50 tahun atau lebih; atau diderita

seseorang dengan ‘immunocompromised’. Setelah satu tahun awitan neuralgia pasca herpes

sebanyak 48% masih menderita nyeri. Nyeri pada herpes zoster dan neuralgia pascaherpes akan

menggangu secara fisikofungsional dan psikososial sehingga berdampak pada aktivitas secara

umum, gangguan tidur dan ‘mood’. Pada nyeri hebat ditemukan ansietas dan depresi yang pada

akhirnya mempengaruhi kualitas hidup.

Adanya riwayat keluarga terkena infeksi HZ dikatakan dapat menjadi faktor risiko

timbulnya infeksi HZ. Pada sebuah studi kasus kontrol, sebanyak 504 pasien dan 523 kontrol,

dilaporkan bahwa pasien dengan riwayat infeksi HZ pada keluarga lebih banyak yang terkena

infeksi HZ dibandingkan dengan kontrol (39% vs 11%, p < 0.001).

Etiologi dan Mekanisme

Penyebab penyakit PHN adalah karena adanya lesi pada akar ganglion dorsalis akibat

infeksi virus herpes zoster yang selanjutnya menimbulkan inflamasi kronik sehingga timbul

cetusan ektopik terus menerus. Beberapa pasien PHN (postherpetik neuralgia) datang dengan

keluhan gangguan fungsi sensorik yang berasal dari proses demyelinisasi nosiseptor dan

kehilangan fungsi sensoris. Proses demielinisasi membuat kepekaan nosiseptif meningkat

(hipersensitif) dengan fenomena yang disebut allodinia (nyeri hebat pada rangsang non-

nosiseptif).

3
Fenomena allodinia mungkin didasari oleh dua mekanisme, yaitu proses pembentukan

koneksi jaringan saraf baru (Sprouting mechanism) dan hipersensitifitas akibat proses

demyelinisasi. Ketidakseimbangan jumlah serabut serabut saraf kecil dengan fungsi eksitasi

yang tidak intak dan jumlah serabut saraf besar (untuk fungsi inhibisi) menimbulkan impuls

ektopik yang selanjutnya menimbulkan nyeri neuropatik.

Gejala

Gejala PHN dapat dibagi menjadi 2, yaitu fase infeksi aktif akut dan fase kronik. Fase

infeksi aktif akut ditandai : (1) tampak erupsi kulit berupa lesi vesikel-vesikel dengan pustul,

bersifat dermatomal dan unilateral, (2) bentuk subklinis biasanya hanya nyeri dermatomal

tanpa lesi kulit.

Fase kronik ditandai oleh : (1) nyeri seperti terbakar, tersengat listrik, tertusuk atau

teriris pada sisi kulit yang terkena pasca 3 bulan sejak onset awal infeksi HZ, (2) hyperalgesia,

allodinia, dan gangguan fungsi otonom setempat (misalnya berkeringat), dan (3) gangguan atau

penurunan fungsi sensoris pada sisi yang terkena.

Diagnosis neuralgia pascaherpes ditegakkan dengan anamnesa nyeri seperti diatas.

Pemeriksaan sesuai dengan pemeriksaan nyeri neuropatik perifer. Pasien saat serangan tampak

menderita, ditemukan bekas ruam kulit di daerah nyeri. Pemeriksaan sensibilitas di daerah

dermatom atau persarafan bekas ruam dapat ditemukan hipestesi atau anestesi (anesthesia

dolorosa) serta alodinia dan hiperalgesia.

Terapi

Pada terapi PHN secara farmakologi dibagi menjadi fase akut general dan fase kronik.

Fase akut general dengan terapi sebagai berikut : (1) pada fase akut terdapat infeksi aktif HZ,

untuk itu diberikan pengobatan antiviral dengan pemberian acyclovir dan valacyclovir dalam

4
72 jam sejam onset awal HZ untuk mengurangi risiko terjadinya PHN pada fase penyembuhan,

(2) dapat digunakkan amitriptyline 25mg sebagai terapi tambahan untuk menurunkan insidensi

PHN, dan (3) Penggunaan kortikosteroid tidak mencegah timbulnya PHN.

Terapi pada herpes zoster akut bertujuan membatasi lama dan intensitas serangan,

meredakan gejala dan mencegah komplikasi. Antiviral sistemik diberikan untuk menghambat

replikasi virus pada sel terinfeksi, mempercepat penyembuhan ruam serta mengurangi berat

dan durasi nyeri. Wajib diberikan antiviral kepada yang imunokompeten : (1)berusia minimal

50 tahun; (2) nyeri sedang-berat; (3) dengan ruam sedang-berat; (4) lokasi ruam nontrunkal.

Terapi antiviral oral dimulai dalam tiga hari awitan ruam (sebelum 72 jam) seperti asiklovir

800mg 5 kali perhari selama 7-10 hari. Famsiklovir 500mg 3 kali sehari selama 7 hari.

Valasiklovir 1000mg 3 kali perhari selama 5-7 hari. Pada kondisi ‘immunocompromised’ berat

seperti AIDS, transplantasi organ, keganasan limfoproliferatif antiviral diberikan asiklovir

intravena 10-12,5mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari.

Terapi nyeri akut herpes zoster/‘zoster associated pain’ adalah parasetamol, obat anti

inflamasi nonsteroid (NSAID) dengan atau tanpa tramadol untuk nyeri ringan-sedang. Bila

nyeri berat dapat diberikan opioid kuat. Gabapentin dosis tunggal 900mg mengurangi beratnya

nyeri akut. Pemberian antidepresan trisiklik seperti amitriptilin dosis rendah yang dimulai

pemberiannya dalam dua hari awitan selama 90 hari akan mengurangi prevalensi neuralgia

pascaherpes.

Terapi invasif dengan injeksi steroid dan anestetik lokal intratekal dapat mengurangi

nyeri herpes zoster. Dikatakan blok saraf paravertebral dengan anestetik lokal dan steroid

dikombinasi dengan asiklovir dapat mencegah neuralgia pascaherpes dan mengurangi nyeri.

5
Herpes Zoster

Usia >50
Gejala berat (Dewasa)
Tahun
Gejala Sedang , usia >50 tahun

Tidak
Mempercepat Prednisone 40-60 mg memperpendek
penyembuhan, Valacyclovir 1g 3x1
per hari tapered dose durasi nyeri.
Memperpendek durasi selama 7 hari
selama 7-10 hari Dapat
nyeri, mengurangi durasi Atau
(masih kontroversial) mempercepat
dari nyeri postherpetik Famiclovir 500mg 3x1
perbaikan fungsi
selama 7 hari
dan kualitas hidup
Atau
Acyclovir 800mg 5.1
selama 7-10 hari

Gambar 1. Skema terapi farmakologi pada herpes zoster

Terapi untuk fase nyeri kronik adalah : terapi topikal dan terapi oral. Terapi nyeri

kronik topikal : (1) Lidokain patch 5% dapat digunakkan untuk nyeri derjat ringan; (2) Krim

capsaicin 0.075% dapat digunakkan 5 kali sehari, meskipun beberapa studi menyebutkan obat

ini memiliki efikasi yang rendah, (3) Capsaicin 8% memiliki efikasi yang tinggi. Terapi tunggal

dengan capsaicin patch konsentrasi tinggi selama 40 menit dilaporkan dapat mengurangi PHN

selama lebih dari 12 minggu tanpa penggunaan obat nyeri neuropatik sistemik

Terapi farmaka oral neuralgia pascaherpes dengan pilihan antidepresan trisiklik (level

A) seperti amitriptilin, nortriptilin, maproptilin, desiramin dimulai dengan dosis rendah tunggal

malam hari. Antikonvulsan (level A) seperti gabapentin dan pregabalin. Opiod ‘long acting’

dan tramadol diberikan hanya sebagai terapi lini ketiga. Parasetamol dan NSAID dianggap

tidak efektif untuk nyeri neuropatik ini. Terapi topikal dapat diberikan lidokain ‘patch’,

6
kapsaisin (level A), krim aspirin (level C). Terapi invasif intratekal metilprednisolon sekarang

kurang dianjurkan.

Golongan gabapentinoid (gabapentin, pregabalin) adalah obat satu-satunya yang di

telah ditetapkan oleh lembaga Food and Drug Administration (FDA) sebagai terapi PHN dan

obat ini paling sering digunakan pada PHN kronik. Dosis gabapentin 300mg 3x1 (dosis titrasi,

dapat dinaikkan hingga maksimal 3600mg/hari), dan pregabalin 75mg malam sebelum tidur

(dosis titrasi, dapat dinaikkan hingga maksimal 300mg 2x1).

Golongan trisiklik antidepresan (TCAs) seperti amitriptyline (25mg/hari, diminum

malam sebelum tidur, dapat dinaikkan hingga maksimal 75mg/hari), desipramine (10-

25mg/hari, dosis dapat dinaikkan setiap 3 hari, hingga maksimal 150mg/hari), dan nortriptyline

(10-25mg/hari, dosis dinaikkan 25mg setiap minggu hingga maksimal 75mg/hari). Penggunaan

obat golongan TCAs memerlukan pengawasan ketat terutama pada pasien-pasien lansia.

Tabel 1. Pilihan terapi nyeri pasca herpes

Opioid (oxycodone controlled-release) digunakkan bila obat lini pertama tidak

memberikan respon terapi yang signifikan. Penggunaan opioid harus mendapat pengawasan

7
ketat, mengingat efek samping ketergantungan obat dan risiko penyalahgunaan obat yang

tinggi.

Pencegahan dengan vaksinasi VZV pada yang immunokompeten berusia ≥60 tahun

akan mengurangi insidensi herpes zoster (51%) dan neuralgia pascaherpes (66%). Kontra

indikasi vaksinasi VZV adalah menderita AIDS, kanker darah fase aktif atau sedang dalam

terapi, sedang dalam terapi steroid dosis tinggi dan kehamilan.

Daftar Pustaka

Hadley GR, Gayle JA, Ripoll J, Jones MR, Argoff CE, Kaye RJ, Kaye AD. Post-herpetic
Neuralgia: a Review. Curr Pain Headache Rep. 2016 Mar;20(3):17
Mallick-Searle T, Snodgrass B, Brant JM. Postherpetic neuralgia: epidemiology,
pathophysiology, and pain management pharmacology. J Multidiscip Healthc. 2016;9:447-
454. Published 2016 Sep 21. doi:10.2147/JMDH.S106340
Ngo AL, Urits I, Yilmaz M, Fortier L, Anya A, Oh JH, Berger AA, Kassem H, Sanchez MG,
Kaye AD, Urman RD, Herron EW, Cornett EM, Viswanath O. Postherpetic Neuralgia: Current
Evidence on the Topical Film-Forming Spray with Bupivacaine Hydrochloride and a Review
of Available Treatment Strategies. Adv Ther. 2020 May;37(5):2003-2016.
Scholz J, Finnerup NB, Attal N, et al. The IASP classification of chronic pain for ICD-11:
chronic neuropathic pain. Pain. 2019;160(1):53-59.
Schutzer-Weissmann J, Farquhar-Smith P. Post-herpetic neuralgia - a review of current
management and future directions. Expert Opin Pharmacother. 2017 Nov;18(16):1739-1750
Shrestha M, Chen A. Modalities in managing postherpetic neuralgia. Korean J Pain.
2018;31(4):235-243. doi:10.3344/kjp.2018.31.4.235

Anda mungkin juga menyukai