BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
juta penduduk mengalami gastritis setiap tahunnya (Matsukura et al, 2003; Xuan
et al, 2005).
Angka kejadian gastritis di Indonesia menurut WHO adalah 40,8% dan
merupakan salah satu dari sepuluh penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di
rumah sakit ( Rugge et al, 2005; Rehnberg et al, 2001)
ulu hati, mual, muntah, hematemesis dan melena. Pada kasus berat, pasien
biasanya telah mengalami ulkus yang dalam dan komplikasi berupa perforasi
(Andersen et al, 2005).
Sedangkan gastritis kronik didefinisikan secara histologi berupa
peningkatan jumlah sel limfosit dan sel plasma pada mukosa lambung.
Berdasarkan etiologi, gastritis kronik dikelompokkan menjadi tipe A yaitu berasal
dari autoimun, tipe B yaitu berasal dari infeksi H.pylori dan berapa kasus lain
dengan etiologi yang belum jelas. Secara endoskopi, mukosa menunjukkan
gambaran atrofi. Sedangkan secara histologi ditemukan infiltrasi sel limfosit-
plasma pada daerah mukosa sel-sel parietal. Neutrofil jarang ditemukan. Mukosa
dapat menunjukkan perubahan ke arah metaplasia intestinal. Pada stadium akhir,
mukosa atropi dan sel-sel parietal tidak ditemukan, namun H. Pylori dapat
ditemukan. Gejala gastritis kronik dapat asimtomatik. Beberapa gejala yang dapat
ditemukan berupa : nyeri epigastrium ringan, mual dan tidak nafsu makan.
Pemeriksaan endoskopi perlu dilakukan oleh karena gastritis kronik berisiko
terhadap terjadinya ca gaster. Pasien gastritis tipe A, memiliki kelainan autoimun
pada organ lain khususnya penyakit tiroidn (Dixon et al,1996; Szoke, 2009).
Etiologi gastritis oleh Rugge atas dasar agen yang ditransmisikan yaitu
kimiawi, fisik, faktor imun, dan idiopatik. Rugge juga membagi etiologi gastritis
berdasarkan 3 bentuk utama antara lain gastritis H.pylori, gastritis kimiawi, dan
gastritis autoimun. Lalu Toljamo (2012) mengelompokkan etiologi gastritis
menjadi 3 kelompok yaitu agen kimiawi, penyakit, dan faktor fisik/mekanik.
Adapun Adibi menuliskan etiologi gastritis menjadi 2 bagian besar yaitu gastritis
H. pylori dan gastritis non H. Pylori (Rugge et al, 2005).
c. Uji urease
Metode ini bersifat cepat dan sederhana untuk deteksi infeksi H.pylori namun
hanya menunjukkan ada atau tidaknya infeksi. Pemeriksaan CLO dan
pemeriksaan urease yang lebih murah ternyata memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang serupa. Namun, sensitivitas pemeriksaan urease seringkali
lebih tinggi dibanding metode berbasis biopsi karena seluruh spesimen biopsi
ditempatkan di dalam media sehingga dapat menghindari sampel tambahan
ataupun kesalahan proses terkait histologi maupun kultur. Sensitivitas
pemeriksaan urease biopsi terlihat jauh lebih rendah (sekitar 60%) pada pasien
dengan perdarahan saluran cerna atas. Namun kondisi tersebut dapat diperbaiki
dengan menempatkan beberapa sampel biopsi di dalam satu vial untuk
pemeriksaan.