Anda di halaman 1dari 14

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Gastritis


Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung
sebagai respon terhadap jejas (injury) yang dapat bersifat akut maupun kronik (El-
Zimaity, 2007). Gastritis adalah inflamasi mikroskopis yang merupakan diagnosis
histologis, bukan klinis. Gastritis (erosi gaster) didefinikan adanya kerusakan
mukosa yang tidak menembus mukosa muskularis. Perbedaan antara gastritis dan
ulkus gaster berdasarkan kedalaman rusaknya mukosa, sementara ulkus gaster
menembus sampai mukosa muskularis (Toljamo, 2012).

Gambar 1. Struktur potong lintang dinding gaster (Toljamo, 2012)


Keterangan: A: struktur normal, B erosi superfisial, C erosi dalam, D ulkus gaster
akut. E ulkus gaster kronik

2.2 Epidemiologi Gastritis


Gastritis merupakan masalah kesehatan yang umum ditemui dalam
pelayanan klinis. Sekitar 10% kunjungan pada unit gawat darurat merupakan
kasus gastritis. Berdasarkan penelitian WHO (World Health Organization).
dilaporkan prevalensi gastritis dibeberapa negara sebagai berikut: Inggris
22%,China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35% dan Perancis 29,5%. Sekitar 1,8-2,1
5

juta penduduk mengalami gastritis setiap tahunnya (Matsukura et al, 2003; Xuan
et al, 2005).
Angka kejadian gastritis di Indonesia menurut WHO adalah 40,8% dan
merupakan salah satu dari sepuluh penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di
rumah sakit ( Rugge et al, 2005; Rehnberg et al, 2001)

2.3 Etiologi Gastritis


Terdapat beberapa penyebab gastritis diantaranya infeksi kuman H.pylori,
gangguan fungsi sistem imun, infeksi virus seperti : enteric rotavirus, calicivirus
dan cytomegalovirus, infeksi jamur seperti: candida species, histoplasma
capsulatum dan mukonacea serta obat anti inflamasi nonsteroid, konsumsi
alkohol, usia, stress oleh karena trauma, tindakan operatif, luka bakar, dll
(Matsukura et al, 2003; Xuan et al, 2005).
Infeksi kuman H.pylori merupakan penyebab gastritis yang sangat penting.
Prevalensi infeksi H.pylori pada orang dewasa di negara berkembang 90%. Di
Indonesia, prevalensi kuman H.pylori yang dinilai melalui pemeriksaan urea
breath test cukup tinggi pada pasien dispepsia (Xuan et al, 2005; Andersen et al,
2005). Gastritis dapat muncul secara tiba-tiba (gastritis akut) ataupun
membutuhkan waktu yang lama (gastritis kronik). Gastritis akut adalah proses
inflamasi akut pada mukosa lambung biasanya berupa kondisi erosi dan
hemoragik. Penyebab yang paling sering diantaranya Non Steroid Anti
Inflammatory Drugs (NSAIDs), kortikosteroid, paparan zat kimia berupa alkohol,
kondisi stress seperti luka bakar berat, myocard infarction, lesi intrakaranial dan
periode postoperatif, kemoterapi dan iskemia. Secara endoskopi terlihat berupa
hiperemis mukosa dengan erosi multipel, kecil dan superfisial serta dapat juga
ditemukan ulkus.(Andersen et al, 2005)
Secara mikroskopi dapat ditemukan epitel superfisial injury dan nekrosis
pada kelenjar superfisial. Perdarahan pada lamina propria dapat ditemukan. Sel-
sel inflamasi dijumpai dalam jumlah kecil, meskipun neutropil lebih dominan.
Pada kasus ringan, pasien biasanya asimptomatik atau hanya memiliki gejala
dispepsia ringan. Pada kasus sedang sampai berat, biasanya pasien dengan nyeri
6

ulu hati, mual, muntah, hematemesis dan melena. Pada kasus berat, pasien
biasanya telah mengalami ulkus yang dalam dan komplikasi berupa perforasi
(Andersen et al, 2005).
Sedangkan gastritis kronik didefinisikan secara histologi berupa
peningkatan jumlah sel limfosit dan sel plasma pada mukosa lambung.
Berdasarkan etiologi, gastritis kronik dikelompokkan menjadi tipe A yaitu berasal
dari autoimun, tipe B yaitu berasal dari infeksi H.pylori dan berapa kasus lain
dengan etiologi yang belum jelas. Secara endoskopi, mukosa menunjukkan
gambaran atrofi. Sedangkan secara histologi ditemukan infiltrasi sel limfosit-
plasma pada daerah mukosa sel-sel parietal. Neutrofil jarang ditemukan. Mukosa
dapat menunjukkan perubahan ke arah metaplasia intestinal. Pada stadium akhir,
mukosa atropi dan sel-sel parietal tidak ditemukan, namun H. Pylori dapat
ditemukan. Gejala gastritis kronik dapat asimtomatik. Beberapa gejala yang dapat
ditemukan berupa : nyeri epigastrium ringan, mual dan tidak nafsu makan.
Pemeriksaan endoskopi perlu dilakukan oleh karena gastritis kronik berisiko
terhadap terjadinya ca gaster. Pasien gastritis tipe A, memiliki kelainan autoimun
pada organ lain khususnya penyakit tiroidn (Dixon et al,1996; Szoke, 2009).
Etiologi gastritis oleh Rugge atas dasar agen yang ditransmisikan yaitu
kimiawi, fisik, faktor imun, dan idiopatik. Rugge juga membagi etiologi gastritis
berdasarkan 3 bentuk utama antara lain gastritis H.pylori, gastritis kimiawi, dan
gastritis autoimun. Lalu Toljamo (2012) mengelompokkan etiologi gastritis
menjadi 3 kelompok yaitu agen kimiawi, penyakit, dan faktor fisik/mekanik.
Adapun Adibi menuliskan etiologi gastritis menjadi 2 bagian besar yaitu gastritis
H. pylori dan gastritis non H. Pylori (Rugge et al, 2005).

2.3.1 Etiologi Utama


Terdapat 2 etiologi utama dari gastritis yaitu gastritis H.pylori dan gastritis
non H.pylori.Berbagai macam penyebab terjadinya gastritis non H.pylori antara
lain(Navvabi et al, 2013)
1. Gastritis kimiawi
i. Gastritis alkoholik
7

ii. Gastritis yang diinduksi obat


Obat yang berhubungan dengan gastritis antara lain acarbose,
alkohol, antibiotik (eritromisin oral), bifosfonat, herbal (garlic,
ginkgo, saw palmetto, feverfew, chaste tree berry, white willow),
zat besi, metformin, miglitol, NSAID (termasuk COX-2), opiat,
orlistat, potasium klorida (KCl), teofilin.
iii. Gastritis refluks (empedu atau duodenal juice)
iv. Gastritis kimiawi lainnya
2. Gastritis radiasi
3. Gastritis alergi
4. Gastritis autoimun
5. Bentuk khusus gastritis, gastritis NOS/ unspecified

2.4 Klasifikasi Gastritis


2.4.1 Klasifikasi Gastritis secara Makroskopis
Klasifikasi ini membagi gastritis menjadi gastritis erosiva dan gastritis non
erosiva. Gastritis erosiva merupakan erosi mukosa gaster disebabkan kerusakan/
defek pertahanan mukosa. Umumnya bersifat akut, bisa dengan perdarahan,
namun bisa bersifat subakut atau kronik dengan sedikit gejala atau asimtomatis.
Paling sering disebabkan oleh NSAID, alkohol, stres. Penyebab lain yang jarang
seperti radiasi, infeksi virus, injuri vaskular, dan trauma langsung. Erosi
superfisial dan lesi mukosa punktata bisa terjadi. Erosi dalam, ulkus, bahkan
perforasi terjadi pada kasus berat atau yang tidak ditangani. Lesi khas muncul di
korpus, tetapi antrum juga bisa terlibat. Ciri khas dari gastritis erosiva adalah lesi
mukosa tidak menembus lapisan mukosa muskularis. Sementara gastritis non-
erosiva mengacu pada kelainan histologis yang terutama akibat infeksi H.pylori.
Kebanyakan pasien gastritis non-erosiva tidak mempunyai gejala (Warren, 2000).
8

Gambar 2. A. Gambaran permukaan antrum gaster secara endoskopi; B.


Biopsi dari nodul pada antrum gaster menunjukkan inflamasi pada mukosa,
dan hiperplasia limfoid (Warren, 2000)

2.4.2. Klasifikasi Gastritis Berdasarkan Endoskopi


Klasifikasi ini membagi gastritis menjadi gastritis komplit dengan tipe
matur dan imatur, gastritis inkomplit, serta gastritis erosif hemoragik (Toljamo,
2012)

Tabel 1. Klasifikasi Gastritis Berdasarkan Endoskopi


9

2.5 Patofisiologi Gastriris


2.5.1 Patofisiologi Gastritis secara Umum
Terjadinya gastritis secara umum karena ketidakseimbangan faktor agresif
dan defensif, di mana faktor agresif lebih dominan daripada faktor defensif. Yang
termasuk faktor agresif antara lain asam lambung, pepsin, refluks bilier, nikotin,
alkohol, NSAID, kortikosteroid, H.pylori, dan adanya radikal bebas. Yang
termasuk faktor defensif antara lain mikrosirkulasi mukosa, sel epitel permukaan,
prostaglandin, fosfolipid, mukus, bikarbonat, dan motilitas saluran
cerna(Simadibrata et al, 2012)

Gambar 3. Patofisiologi Gastritis(Silva et al, 2011)


Keterangan : (A) mukosa gaster normal akibat adanya keseimbangan antara faktor
agresif dan pertahanan mukosa. (B) pembentukan ulkus gaster karena
ketidakseimbangan faktor agresif dan faktor pertahanan mukosa

2.5.2 Patofisiologi Gastritis akibat NSAID


Beberapa sel di mukosa gaster berkontribusi terhadap produksi asam
lambung. Sel G di antrum gaster melepaskan hormon gastrin. Hormon ini bekerja
pada enterochromaffin-like cells (ECL) di korpus lambung menyebabkan
pelepasan histamin. Histamin akan menstimulasi sel parietal untuk mensekresikan
asam. Hormon gastrin juga menstimulasi secara langsung sel parietal dan
meningkatkan kerja ECL serta sel parietal. Prostaglandin merupakan faktor
10

pertahanan yang penting untuk melindungi mukosa gaster. Sintesis prostaglandin


dipengaruhi aktivitas cyclooxygenase (COX) enzyme. Ada 2 bentuk COX yaitu
COX-1 dan COX-2. COX-1 bertanggungjawab memproduksi prostaglandin, yang
secara fisiologis akan menjaga integritas mukosa dan aliran darah mukosa.
NSAID dapat menekan aktivitas COX-1, yang berakibat pada lesi mukosa
gaster(Simadibrata et al, 2010).
Aspirin, salah satu NSAID yang digunakan secara luas di klinis bisa
menyebabkan stres ulcer dan mengeksaserbasi ulkus gaster sebelumnya. Interaksi
NSAID dan stres dapat menyebabkan lesi pada gaster dengan salah satu
mekanismenya adalah dengan meningkatkan sitokin inflamasi salah satunya TNF-
α(Chi et al, 1995).
Penggunaan analgetik berhubungan dengan erosi gaster. Dilaporkan juga
jumlah erosi gaster yang sama antara penggunaan COX-2 selektif dengan NSAID
non selektif, yaitu celecoxib vs diklofenak.(Kohen et al, 2002) Banyak studi yang
melaporkan ada hubungan signifikan terjadinya gastritis dengan penggunaan
NSAID. Mekanisme NSAID menginduksi erosi antara lain dengan menghambat
sintesis prostaglandin dan fosforilasi oksidatif, mengganggu mikrosirkulasi lokal,
yang berdampak terjadinya nekrosis iskemik. Penggunaan NSAID jangka panjang
pada pasien H.pylori secara signifikan menyebabkan erosi yang lebih berat
dibandingkan pada pada pasien yang tidak terinfeksi H.pylori, namun hal ini
masih kontroversi(Toljamo, 2012)

2.6 Gastritis Helicobacter pylori


2.6.1 Faktor Virulensi Helicobacter pylori
H.pylori adalah etiologi utama terjadinya gastritis. H.pylori merupakan
bakteri Gram negatif, bentuk heliks, mikroaerofilik, dengan panjang 3 mikrometer
dan diameter sekitar 0,5 mikrometer. yang ditemukan di gaster. Pertama kali
diidentifikasi tahun 1982 oleh ilmuwan Australia Barry Marshall dan Robin
Warren, yang saat itu ditemukan pada pasien gastritis kronik dan ulkus gaster
(Blaser, 2006). Faktor virulensi spesifik seperti vacuolating cytotoxin (VacA)
maupun cytotoxin-associated protein (CagA), berkontribusi terhadap cedera
11

mukosa gastroduodenum dan mengganggu proses penyembuhan mukosa yang


rusak.
a. Cytotoxin-associated gene (cag) pathogenicity island (cagPaI)
CagPaI adalah regio DNA yang disusun oleh 30 gen yang mengkode Type IV
Secretion System (T4SS). Infeksi strain H.pylori dengan CagPaI sekitar 2x
beresiko terkena ulkus peptikum dan adenokarsinoma gaster. Sekitar 60-70%
H. pylori pada orang barat dan hampir 100% H. Pylori pada orang Asia Timur
mengekspresikan CagA. Walaupun seluruh H. pylori memicu gastritis,
strainyang mengandung Cag-PAI (Cag+) menambah resiko terkena gastritis
derajat berat, gastritis atrofi, dan kanker gaster dibandingkan dengan strain
yang tidak. Strain H. pylori seringkali terbagi menjadi strain CagA positif dan
CagA negatif tergantung ada atau tidaknya produk gen terminal dari Cag-
Island, yaitu CagA.
Infiltrasi neutrofil pada mukosa gaster lebih berat secara signifikan pada
pasien yang terinfeksi strain CagA(+) dibandingkan CagA (-). Kondisi ini
menunjukkan adanya CagPaI berperan besar menginduksi inflamasi. Banyak
penelitian melaporkan adanya hubungan antara prognosis klinis dengan
adanya CagA. CagA meningkatkan produksi reactive oxidative species (ROS)
dan dapat menginduksi stres oksidatif terhadap mukosa gaster (Holck et al,
2003; Farinati et al, 2003; Viala et al, 2004).
Pasien dengan H. pylori strain CagA(+) lebih rentan mengalami
transformasi neoplastik dari mukosa gaster. Pasien dengan H. Pylori CagA(+)
memiliki prevalensi mutasi p53 yang lebih tinggi dibandingkan pasien yang
tidak terinfeksi (Mangia et al, 2006).
12

Gambar 4. Interaksi CagA dengan molekul pejamu

b. Vacuolating cytotoxin A (VacA)


Semua strain H.pylori memiliki gen VacA dan sekitarnya separuhnya
mensekresikan protein VacA aktif. Protein ini toksin yang dapat menginduksi
pembentukan vakuola secara masif pada sel epitel in vitro dan mengurangi
proliferasi sel T. Inhibisi sel T menyebabkan H.pylori dapat menyebabkan
infeksi kronik. Toksin dapat membentuk pori-pori pada sel epitel gaster yang
mengangkut cairan interstisial bersama urea menuju ke bakteri. Dengan cara ini
bakteri mendapatkan nutrisi, mempertahankan pH dengan mengubah urea
menjadi amonia sehingga membantu H.pylori untuk tumbuh. VacA juga
berperan melonggarkan tight junction antara sel-sel dan menyebabkan
kerusakan epitel (Sundrud et al, 2004).
VacA diketahui merupakan determinan penting dalam perkembangan
gastritis H.pylori. VacA mengkode protein VacA yang dijumpai pada seluruh
strain H. pylori, tetapi produk yang dihasilkan bisa dengan atau tanpa aktivitas
vakuolisasi in vitro. Genotipe VacA s1a berhubungan erat dengan produksi
sitotoksin yang tinggi, sementara alel VacA s2 dapat menunjukkan hubungan
yang negatif dengan aktivitas sitotoksin.
13

Gambar 5. Virulensi H. pylori

c. Duodenal ulcer promoting gene A (dupA)


Gen dupA terutama berhubungan dengan ulkus peptikum. Pada penelitian di
China menunjukkan pasien ulkus duodenum memiliki prevalensi strain dupA
positif dibandingkan pasien Ca gaster dan ulkus gaster7. Penelitian Lu et al
menemukan bahwa infeksi strain dupA+ berkaitan dengan peningkatan kadar IL-8
pada mukosa gaster dan infiltrasi neutrofil yang lebih berat(Li et al, 2005)
d. Outer inflammatory protein (oipA)
Gen oipA juga dapat menginduksi ekspresi IL-8 dari sel epitel gaster. Adanya
oipA berkorelasi dengan ulkus &Ca gaster6.
e. Protein membran luar lainnya
Banyak protein membran luar H.pylori memungkinkan perlekatan H.pylori
terhadap sel epitel gaster, seperti BabA, SabA, HpaA, Omp18, AlpA, AlpB, dan
HopZ. BabA (blood group antigen binding adhesion A), salah satu faktor yang
paling banyak dipelajari, ditemukan pada sel epitel dan memfasilitasi kolonisasi
H.pylori dan meningkatkan respons IL-8, yang menyebabkan inflamasi
mukosa(Dossumbekova et al, 2006)
f. HP-NAP
14

HP-NAP adalah faktor lain yang dapat mengaktivasi neutrofil. HP-NAP


mengaktivasi sel mast sehingga menyebabkan pelepasan isi granul dan sitokin
proinflamasi IL-6. Faktor ini dapat menyebabkan datangnya monosit dan neutrofil
ke lokasi infeksi (Montemurro P, et al, 2002). HP-NAP juga dapat menginduksi
respons Th1 yang kuat, induksi neutrofil untuk memproduksi ROS dan
menyebabkan inflamasi dan kerusakan sel(Montecucco, 1995).

Gambar 6. Biopsi gaster menunjukkan H.pylori. Pembesaran 1000 X

2.7 Pemeriksaan Diagnostik Helicobacter pylori


Metode diagnostik untuk mendeteksi kuman H.pylori dibagi menjadi
pemeriksaan invasif dan pemeriksaan non invasif. Beberapa metode telah
dikembangkan untuk mendeteksi keberadaan infeksi kuman H. pylori, yang
dapat dilihat pada tabel di bawah ini(Silva et al, 2011).

Tabel 2. Pemeriksaan diagnostik untuk H. pylori


15

2.7.1 Invasif(Silva et al, 2011)


a. Histologi
Meskipun H.pylori dapat dikenali dari bagian yang diwarnai dengan
hematoksilin dan eosin saja, dibutuhkan pengecatan tambahan (seperti Giemsa,
Genta, Gimenez, perak Warthin-Starry, violet Creosyl) untuk mendeteksi
infeksi dalam kadar rendah dan untuk menunjukkan karakteristik morfologi
H.pylori. Keuntungan pemeriksaan secara histologi selain dapat disimpan,
irisan dari biopsi dapat diperiksa kapanpun; dan adanya gastritis, atrofi,
ataupun metaplasia intestinal dapat pula diperiksa. Spesimen biopsi dari bagian
lain lambung dapat disimpan dalam formalin untuk diproses hanya jika
histologi antrum tidak dapat disimpulkan.
b. Kultur
Isolasi mikrobiologi adalah baku emas teoritis untuk identifikasi infeksi bakteri,
namun kultur H.pylori kurang dapat dipercaya. Risiko pertumbuhan berlebih
maupun kontaminasi membuatnya kurang sensitif, dan metode ini adalah
metode yang paling tidak mudah dikerjakan bersama endoskopi. Meskipun
hanya sedikit pusat kesehatan yang secara rutin menawarkan isolasi
mikrobiologis H.pylori, prevalensi strain multiresisten membuat metode kultur
dan uji sensitivitas terhadap antibiotik menjadi persyaratan bagi pasien dengan
infeksi persisten dengan kegagalan terapi.
16

c. Uji urease
Metode ini bersifat cepat dan sederhana untuk deteksi infeksi H.pylori namun
hanya menunjukkan ada atau tidaknya infeksi. Pemeriksaan CLO dan
pemeriksaan urease yang lebih murah ternyata memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang serupa. Namun, sensitivitas pemeriksaan urease seringkali
lebih tinggi dibanding metode berbasis biopsi karena seluruh spesimen biopsi
ditempatkan di dalam media sehingga dapat menghindari sampel tambahan
ataupun kesalahan proses terkait histologi maupun kultur. Sensitivitas
pemeriksaan urease biopsi terlihat jauh lebih rendah (sekitar 60%) pada pasien
dengan perdarahan saluran cerna atas. Namun kondisi tersebut dapat diperbaiki
dengan menempatkan beberapa sampel biopsi di dalam satu vial untuk
pemeriksaan.

2.7.2 Pemeriksaan Non-invasif (Silva et al, 2011)


a. Serologi
Infeksi H.pylori menimbulkan respon mukosa lokal dan antibodi sistemik.
Antibodi IgG terhadap H.pylori dalam sirkulasi dapat dideteksi melalui
antibodi enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) atau uji aglutinasi
lateks. Pemeriksaan tersebut umumnya sederhana, reprodusibel, tidak mahal,
dan dapat dilakukan terhadap sampel yang disimpan. Metode ini banyak
digunakan dalam studi epidemiologi, termasuk studi retrospektif untuk
menentukan prevalensi maupun insiden infeksi. Individu sangat bervariasi
terkait respon antibodi terhadap antigen H.pylori, dan tidak ada antigen yang
sama yang dapat dikenali melalui serum dari semua subyek. Oleh karena itu
akurasi pemeriksaan serologis bergantung kepada antigen yang digunakan
sehingga penting untuk melakukan validasi lokal terhadap ELISA H.pylori.
Pada orang tua dengan infeksi yang telah berlangsung lama, gastritis atrofi
dikaitkan dengan hasil negatif palsu. Konsumsi obat anti-inflamasi non-steroid
juga dilaporkan mempengaruhi akurasi ELISA. Titer antibodi turun secara
perlahan pasca-keberhasilan eradikasi sehingga serologi tidak dapat digunakan
untuk menentukan eradikasi H.pylori ataupun untuk menentukan tingkat
17

reinfeksi. Meskipun titer antibodi IgM terhadap H.pylori menurun seiring


bertambahnya usia, tidak ada assay yang menunjukkan akuisisi baru. Karena
infeksi ini biasanya asimtomatik, sulit untuk mengidentifikasi dan menegakkan
jalur transmisi. Keuntungan metode serologi adalah perkembangan uji finger
prick yang menggunakan assay fase solid terfiksir untuk mendeteksi adanya
imunoglobulin H.pylori. Near patient test (NPT) dapat dilakukan di pusat
kesehatan primer dan lebih sederhana dibanding C-urea breath test yang
merupakan satu-satunya NPT yang digunakan saat ini. Namun akurasi NPT
serologis lebih rendah dibanding yang dilaporkan untuk pemeriksaan ELISA
standar menggunakan preparat antigen yang sama. Pemeriksaan ini sering
digunakan untuk menenangkan pasien, namun saat ini belum ada studi yang
membandingkan akurasi, efektivitas biaya, dan nilai jaminan dari C-urea
breath test dengan NPT serologis di pusat kesehatan primer.
b. Urea breath test (UBT)
Deteksi non-invasif terhadap H. pylori melalui uji (Toljamo, 2012)C-urea
breath test memiliki prinsip dasar yaitu larutan yang dilabel urea dengan
karbon-13 akan dihidrolisasi secara cepat di sepanjang mukosa lambung dan
melalui sirkulasi sistemik, diekskresikan sebagai (Toljamo, 2012)CO2 dalam
udara ekspirasi. Pemeriksaan ini mendeteksi infeksi saat ini dan tidak bersifat
radioaktif, dapat digunakan sebagai uji skrining untuk H.pylori, menilai
eradikasi, dan mendeteksi infeksi pada anak. Pemeriksaan C-urea breath test
mirip dengan C-urea breath test namun bersifat radioaktif dan tidak dapat
dilakukan di pusat kesehatan primer.
c. Faecal antigen test
Dalam pemeriksaan antigen di feses, ELISA sandwich sederhana digunakan
untuk mendeteksi keberadaan antigen H. pylori yang terbungkus feses. Studi
melaporkan sensitivitas dan spesifisitas yang mirip dengan (Toljamo, 2012)C-
urea breath test (>90%), dan teknik ini berpotensi untuk dikembangkan
sebagai NPT. Keutungan utama dari pemeriksaan ini adalah dalam studi
epidemiologi berskala besar terhadap akuisisi H. pylori pada anak.

Anda mungkin juga menyukai