Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN NYERI

STASE KDP

Di Susun Oleh:
MUJA ASMARA
NIM: P2002040

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


INSTITUT TEKNOLOGI KESEHATAN DAN SAINS
WIYATA HUSADA SAMARINDA
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang
disebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri bersifat subjektif dan sangat bersifat
individual. Stimulus nyeri dapat berupa stimulus yang bersifat fisik dan mental,
sedangkan kerusakan dapat terjadi pada jaringan aktual atau pada fungsi ego
seseorang individu (Mahon, 1994). Ada dua bentuk nyeri secara umum yang
diketahui yaitu: nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut adalah pengalaman
sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau
fungsional yang berlangsung kurang dari tiga bulan. Sedangkan nyeri kronis
berlangsung lebih dari tiga bulan (Tim Pokja SDKI PPNI Edisi 1, 2016).
Pada umumnya penatalaksanaan nyeri terbagi menjadi dua, yaitu dengan
pendekatan farmakologis dan nonfarmakologis. Pendekatan secara farmakologis
dapat dilakukan dengan memberikan analgesik. Walaupun analgesik sangat efektif
untuk mengatasi nyeri, namun hal tersebut akan berdampak kecanduan obat dan
akan memberikan efek samping obat yang berbahaya bagi pasien. Secara
nonfarmakologis penatalaksanaannya antara lain dengan menggunakan nafas
dalam, teknik relaksasi dan distraksi (Potter dan Perry, 2010).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
a. Mempunyai keterampilan dalam memenejemen nyeri
2. Tujuan Khusus
a. Melakukan pengkajian nyeri
b. Memberikan tata laksana pasien nyeri dan merujuk bila terjadi komplikasi
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi Nyeri
Definisi nyeri terkini menurut International Association for the Study of Pain
(IASP) adalah sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan atau stimulus yang potensial
menimbulkan kerusakan jaringan. Konsep lama menyatakan bahwa proses nyeri
(pain processing) hanya bergantung pada jalur nyeri saja dan intensitas nyeri yang
timbul hanya dipengaruhi besarnya stimulus yang didapatkan. Teori gate control
yang dipopulerkan oleh Melzack dan Wall menyatakan bahwa pesepsi nyeri tidak
hanya dipengaruhi oleh aspek neurofisiologi saja, tetapi juga oleh aspek
psikologis. Teori ini menyatakan bahwa proses modulasi desendens dari otak ke
medula spinalis terhadap serabut saraf penghantar nyeri sangat Paradigma modern
penatalaksanaan nyeri telah berubah dari model biomedikal menjadi model
biopsikososial yang didasari pengertian bahwa mekanisme nyeri merupakan
integrasi dari input sensorik, emosional dan sistem kognitif (Meyer, 2007 dalam
Bambang et.all., 2017).

B. Klasifikasi Nyeri
Berdasarkan waktu nyeri dapat dibagi menjadi nyeri akut, sub-akut, dan
kronik. Nyeri akut merupakan respon biologis normal terhadap cedera jaringan
dan merupakan sinyal terhadap adanya kerusakan jaringan misalnya nyeri pasca
operasi, dan nyeri pasca trauma muskuloskeletal. Nyeri tipe ini sebenarnya
merupakan mekanisme proteksi tubuh yang akan berlanjut pada proses
penyembuhan. Nyeri akut merupakan gejala yang harus diatasi atau penyebabnya
harus dieliminasi. Nyeri sub akut (1 – 6 bulan) merupakan fase transisi dan nyeri
yang ditimbulkan karena kerusakan jaringan diperberat oleh konsekuensi problem
psikologis dan sosial. Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung lebih dari 6
bulan. Nyeri tipe ini sering kali tidak menunjukkan abnormalitas baik secara fisik
maupun indikator-indikator klinis lain seperti laboratorium dan pencitraan.
Keseimbangan kontribusi faktor fisik dan psikososial dapat berbeda-beda pada
tiap individu dan menyebabkan respon emosional yang berbeda pula satu dengan
lainnya. Dalam praktek klinis sehari-hari nyeri kronik dibagi menjadi nyeri kronik
tipe maligna (nyeri kanker) dan nyeri kronik tipe non maligna (artritis kronik,
nyeri neuropatik, nyeri kepala, dan nyeri punggung kronik) (dalam Bambang
et.all., 2017).
Nyeri secara esensial dapat dibagi menjadi dua, yaitu nyeri adaptif dan nyeri
maladaptif. Nyeri adaptif berperan dalam proses survival dengan melindungi
organ dari cedera atau sebagai penanda adanya proses penyembuhan dari cedera.
Nyeri maladaptif terjadi jika terdapat proses patologis pada sistem saraf atau
akibat dari abnormalitas respon sistem saraf. Kondisi ini merupakan suatu
penyakit (pain as a disease). Pada praktek klinis sehari-hari kita mengenal 4 jenis
nyeri:
1. Nyeri Nosiseptif
Nyeri dengan stimulasi singkat dan tidak menimbulkan kerusakan jaringan.
Pada umumnya, tipe nyeri ini tidak memerlukan terapi khusus karena
berlangsung singkat. Nyeri ini dapat timbul jika ada stimulus yang cukup
kuat sehingga akan menimbulkan kesadaran akan adanya stimulus berbahaya,
dan merupakan sensasi fisiologis vital. Contoh: nyeri pada operasi, dan nyeri
akibat tusukan jarum.
2. Nyeri Inflamatorik
Nyeri inflamatorik adalah nyeri dengan stimulasi kuat atau berkepanjangan
yang menyebabkan kerusakan atau lesi jaringan. Nyeri tipe II ini dapat terjadi
akut dan kronik dan pasien dengan tipe nyeri ini, paling banyak datang ke
fasilitas kesehatan. Contoh: nyeri pada rheumatoid artritis.
3. Nyeri Neuropatik
Merupakan nyeri yang terjadi akibat adanya lesi sistem saraf perifer (seperti
pada neuropati diabetika, post-herpetik neuralgia, radikulopati lumbal, dll)
atau sentral (seperti pada nyeri pasca cedera medula spinalis, nyeri pasca
stroke, dan nyeri pada sklerosis multipel).
4. Nyeri Fungsional
Bentuk sensitivitas nyeri ini ditandai dengan tidak ditemukannya
abnormalitas perifer dan defisit neurologis. Nyeri fungsional disebabkan oleh
respon abnormal sistem saraf terutama hipersensitifitas aparatus sensorik.
Beberapa kondisi umum yang memiliki gambaran nyeri tipe ini antara lain
fibromialgia, irritable bowel syndrome, beberapa bentuk nyeri dada non-
kardiak, dan nyeri kepala tipe tegang. Tidak diketahui mengapa pada nyeri
fungsional susunan saraf menunjukkan sensitivitas abnormal atau
hiperresponsif.

Nyeri nosiseptif dan nyeri inflamatorik termasuk ke dalam nyeri adaptif,


artinya proses yang terjadi merupakan upaya tubuh untuk melindungi atau
memperbaiki diri dari kerusakan. Nyeri neuropatik dan nyeri fungsional
merupakan nyeri maladaptif, artinya proses patologis terjadi pada saraf itu
sendiri sehingga impuls nyeri timbul meski tanpa adanya kerusakan jaringan
lain. Nyeri ini biasanya kronik atau rekuren, dan hingga saat ini pendekatan
terapi farmakologis belum memberikan hasil yang memuaskan (Rowbotham
et all., 2000; Woolf, 2004 dalam Bambang et.all., 2017).

C. Etiologi
Nyeri dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu trauma, mekanik, thermos,
elektrik, neoplasma (jinak dan ganas), peradangan (inflamasi), gangguan sirkulasi
darah dan kelainan pembuluh darah serta yang terakhir adalah trauma psikologis
(Handayani, 2015).

D. Patofisiologi
Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu nosisepsi,
sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik,
reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan
dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri : tranduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi.
Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen menerjemahkan
stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls nosiseptif. Ada tiga tipe
serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu serabut A-beta, A-delta, dan C.
Serabut yang berespon secara maksimal terhadap stimulasi non noksius
dikelompokkan sebagai serabut penghantar nyeri, atau nosiseptor. Serabut ini
adalah A-delta dan C. Silent nociceptor, juga terlibat dalam proses transduksi,
merupakan serabut saraf aferen yang tidak bersepon terhadap stimulasi eksternal
tanpa adanya mediator inflamasi.
Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu
dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak.
Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari sinyal elektrik
dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dan selanjutnya
berhubungan dengan banyak neuron spinal.
Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related
neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis, dan
mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid seperti mu,
kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga
mempunyai jalur desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan area
otak lainnya ke otak tengah (midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya menuju
medula spinalis. Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau
bahkan penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di kornu dorsalis.
Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi merupakan
hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek psikologis, dan
karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi
untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor
nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap
stimulus kuat yang secaara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga
Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri (nociseptor) ada yang bermiyelin dan
ada juga yang tidak bermiyelin dari syaraf aferen.

E. Manifestasi Klinis
Menurut International Association for The Study of Pain disebutkan beberapa
gambaran gejala pada myofascial trigger point adalah sebagai berikut :
1. Trigger points menimbulkan nyeri saat diransang.
2. Durasi nyeri bisa sampai jam atau hari
3. Nyeri yang mendalam (deep pain), sakit, nyeri bakar, dan kadang-kadang
nyeri dirasakan superficial.
4. Nyeri dapat menyebar caudal atau cranial.
5. Intensitas nyeri berhubungan dengan tingkat irirtabilitas.

F. Penilaian Nyeri
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi
nyeri paska pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien
digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini
mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri
yang dirasakan. Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini
1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai
dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada
pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien
yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal
setempa.

2. Verbal Rating Scale (VRS)


Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala
lima poin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.

3. Numerical Rating Scale (NRS)


Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana
pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan
angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan
angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.

4. Visual Analogue Scale (VAS)


Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang
merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda
tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta
untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang
dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah
dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan
VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan
secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga
penggunaannya realtif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata
sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga
melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan
bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan
data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat
nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia.
Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa
tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesic penyelamat (rescue
analgetic).
G. Penanganan nyeri
Penanganan nyeri paska pembedahan yang efektif harus mengetahui
patofisiologi dan pain pathway sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan
dengan cara farmakoterapi (multimodal analgesia), pembedahan, serta juga
terlibat didalamnya perawatan yang baik dan teknik non-farmakologi (fisioterapi,
psikoterapi).
1. Farmakologis
Modalitas analgetik paska pembedahan termasuk didalamnya analgesik oral
parenteral, blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal dan
opioid intraspinal. Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga
hal yaitu pasien, prosedur dan pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari
obat-obatan analgetik yang digunakan untuk penanganan nyeri paska
pembedahan.
2. Non-Farmakologis
Ada beberapa metode metode non-farmakologi yang digunakan untuk
membantu penanganan nyeri paska pembedahan, seperti menggunakan terapi
fisik (dingin, panas) yang dapat mengurangi spasme otot, akupunktur untuk
nyeri kronik (gangguan muskuloskletal, nyeri kepala), terapi psikologis
(musik, hipnosis, terapi kognitif, terapi tingkah laku) dan rangsangan elektrik
pada sistem saraf (TENS, spinal cord stimulation, intracerebral stimulation).

H. Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan Ni Putu Wardani (2014), pemeriksaan penunjang yang dilakukan
bertujuan untuk mengetahui penyebab dari nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan
seperti :
1. Pemeriksaan laboratorium
2. Pemeriksaan penunjang lainnya
a) Pemeriksaan USG untuk data penunjang apabila ada nyeri tekan abdomen
b) Rontgen untuk mengetahui tulang atau organ dalam yang abnormal
c) CT-Scan untuk mengetahui adanya pembuluh darah yang pecah di otak
d) MRI
I. WOC (what of caution)

Nyeri Potensial terjadinya


syok

Spasme otot Perdarahan hebat

Rangsangan diteruskan ke korteks


serebri
Gangguan
Nociceptor menerima
integritas kulit
rangsangan
Risiko infeksi
Pelepasan mediator Gangguan
kimiawi
mobilitas fisik Trauma
Kurang pengetahuan
jaringan lunak

Degranulasi Kerusakan
rangka Kerusakan kulit
Kurang informasi
sel mast neuromuskuler

Luka terbuka
cemas
Cedera sel

Perubahan status
kesehatan

fraktur

trauma
J. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap
tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
Anamnesa
1. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa
yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa
medis.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan
lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
tentang rasa nyeri klien digunakan:
1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab
dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya
penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan
yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu,
dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa
diketahui luka kecelakaan yang lain.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur
dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang
dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang
sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis
akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang

b. Pengkajian Saat Ini


Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti
penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau
tidak.
2. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C
dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan
penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi
komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau
protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan
faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia.
Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
3. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak.
4. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya
tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur
serta penggunaan obat tidur.
5. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada
beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain.
6. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
7. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).
8. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain
itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya.
9. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,
yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
10. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal
ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien

c. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan
setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care
karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya
memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
1. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti: Kesadaran penderita: apatis, sopor,
koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.

2. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin


a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak
ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
(karena tidak terjadi perdarahan)
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j) Paru
1. Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
2. Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
3. Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
4. Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
k) Jantung
1. Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
2. Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
3. Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l) Abdomen
1. Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
2. Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba.
3. Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
4. Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada
kesulitan BAB.

1. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagmosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur
femur sebagai berikut :
a) Nyeri akut berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
b) Gangguan rasa nyaman berhubungan engan gejala penyakit

2. Intervensi
SDKI SLKI SIKI

1. Nyeri Akut b/d Agen cedera Tingkat nyeri Manajemen nyeri


fisik Observasi :
- identifikasi lokasi, karakteristik,
Setelah dilakukan tindakan durasi, frekuensi, kualitas,
Definisi : keperawatan 1x24 jam intensitas nyeri
diharapkan nyeri menurun - Identifikasi skala nyeri
Pengalaman sensorik atau
Terapeutik
emosional yang berkaitan
- Berikan tehnik nonfarmakologis
dengan kerusakan jaringan Tingkat nyeri
untuk mengurangi rasa nyeri (mis,
aktual atau fungsional, dengan
1. Keluhan nyeri [5] TENS, hipnosis, akupsure, terapi
onset mendadak atau lambat
musik, biofeedback, terapi pijat,
dan berintensitas ringan hingga
2. Meringis [5] aromaterapi, teknik imajinasi
berat yang berlangsung dari 3
terbimbing, kompres hanat/dingin,
bulan. 3. Gelisah [5]
terapi bermain).
4. Kesulitan tidur [5] Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan
Gejala dan Tanda Mayor :
pemicu nyeri
Subjektif Ket : - Jelaskan strategi meredakan nyeri
(1) Meningkat - Anjurkan memonitor nyeri secara
1. Mengeluh nyeri mandiri
(2) Cukup meningkat
(3) Sedang - Ajarkan tehnik nonfarmakologis
Objektif
(4) Cukup menurun untuk mengurangi rasa nyeri
1. Tampak meringis (5) Menurun Kolaborasi
2. Gelisah - Kolaborasi pemberian analgesik,
jika perlu
3. Frekuensi nadi meningkat

4. Sulit tidur Kompres dingin


Obervasi
- Identifikasi kontraindikasi kompres
dingin (mis, penurunan sensasi,
penurunan sirkulasi)
- Identifikasi kondisi kulit yang akan
dilakukan kompres dingin
- Periksa suhu alat kompres
- Monitor irigasi kulit atau
kerusakan jaringan selama 5 menit
pertama
Terapeutik
- Pilih metode kompres yang
nyaman
- Pilih lokasi kompres
- Balut alat kompres dingin dengan
kain pelindung, jika perlu
- Lakukan kompres dingin pada
daerah yang cedera
- Hindari penggunaan kompres pada
jaringan yang terpapar terapi
radiasi
Edukasi
- Jelaskan prosedur penggunaan
kompres dingin
- Anjarkan cara menghindari
kerusakan jaringan akibat dingin
2. Gangguan rasa nyaman Status kenyamanan Manajemen nyeri
berhubungan dengan Observasi :
gejala penyakit - identifikasi lokasi, karakteristik,

Setelah dilakukan tindakan durasi, frekuensi, kualitas,

keperawatan 1x24 jam intensitas nyeri

Definisi : diharapkan nyeri menurun - Identifikasi skala nyeri


Terapeutik
Perasaan kurang senang, lega - Berikan tehnik nonfarmakologis
dan semprna dalam dimensi untuk mengurangi rasa nyeri (mis,
fisik, psikospiritual, lingkuan Status kenyamnan TENS, hipnosis, akupsure, terapi
dan sosial. musik, biofeedback, terapi pijat,
1. Keluhan tidak nyaman [5]
aromaterapi, teknik imajinasi

2. Gelisah [5] terbimbing, kompres hanat/dingin,

Gejala dan Tanda Mayor terapi bermain).


3. Keluhan sulit tidur [5] Edukasi
Subjek - Jelaskan penyebab, periode, dan
4. Merintih [5]
pemicu nyeri
1. Mengeluh tidak nyaman
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
Objektif - Anjurkan memonitor nyeri secara
Ket :
mandiri
1. Gelisah (1) Meningkat
- Ajarkan tehnik nonfarmakologis
(2) Cukup meningkat
untuk mengurangi rasa nyeri
(3) Sedang
Kolaborasi
(4) Cukup menurun
- Kolaborasi pemberian analgesik,
(5) Menurun
jika perlu

Pengaturan posisi
Observasi :
- Monitor alat traksi agar selalu tepat
Terapeutik
- Tempatkan pada posisi terapeutik
- Imobilisasi dan topang bagian
tubuh yang cedera dengan cepat
- Tinggikan bagian tubuh yang sakit
dengan tepat
- Hindarin menempatkan pada posisi
yang dapat meningkatkan nyeri
- Hindari posisi yang menimbulkan
ketegangan pada lukaminimalkan
gesekan dan tarikan saat mengubah
posisi
- Ubah posisi setiap 2 jam
Edukasi
- Ajarkan cara menggunakan postur
yang baik dan mekanik tubuh yang
baik selama melakukan perubhan
posisi
FORMAT PENGKAJIAN DAN ANALISA KETERAMPILAN

ITKES WIYATA HUSADA SAMARINDA

NAMA MAHASISWA : Muja Asmara

TEMPAT PERAKTEK :

TANGGAL :

A. IDENTITAS DIRI KLIEN

Insial nama : Tn. T Suku : Kutai


Umur : 38 tahun Pendidikan : SMA
J . Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jln. Kampung Kajang, Lama bekerja : 3 tahun
RT. 06 Tgl. MRS : 20 Desember 2020
Satus : Menikah Tgl. Pengkajian : 20 Desember 2020
Agama : Islam Sumber inormasi : Istri

B. RIWAYAT PENYAKIT
1. Keluhan Utama saat Masuk Rumah Sakit
Pasien mengatakan merasakan yeri pada daerah paha

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Saat ini pasien mengeluh merasakan nyeri pada daerah paha (skala nyeri 3), pasien
mengeluh tidak bisa BAK sejak tadi malam, terasa kencang pada daerah simfisis pubis
dan pasien mengeluh sulit makan dan mual muntah sejak tadi malam.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah dirawat dirumah sakit sebelumnya
4. Genogram

C. PEGKAJIAN SAAT INI (MULAI HARI PERTAMA MERAWAT KLIEN)


1. Pola nutrisi metabolic Program diit RS
a. Intake makanan
Nafsu makan klien berkurang, porsi makan tidak dihabiskan, klien mual muntah,
klien belum ada BAB selama dirawat di RS
b. Intake cairan

2. Pola eliminasi
a. Buang air besar : selama di rumah sakit klien belum ada BAB
b. Buang air kecil : selama di rumah sakit klien menggunakan kateter untuk alat
banatu berkemih

3. Pola aktivitas dan latihan


Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4
Makan/minum √
Mandi √
Toileting √
Berpakaian √
Mobilitas di tempat tidur √
Berpindah √
Ambulasi/ROM √

4. Oksigenasi
Tidak ada jejas, RR 20x/menit, pola nafas regular, SpOz : 98%, pernafasan cuping
hidung, terdapat retraksi dinding dada.
a. Palpasi : pergerakan dinding dada simetris tidak ada bagian yang tertinggal, taktil
freminus teraba dikedua lapang dada.
b. Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
c. Auskultasi : suara nafas vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan di seluruh lobus
paru
5. Pola tidur dan istirahat
a. Lama tidur : klien hanya tidur 3 - 4 jam
b. Gangguan tidur : klien mengalami kesulitan istirahat dan tidur dikarenakan rasa
nyeri yang di alami

6. Pola persepsual
a. Pengelihatan : klien tidak mengalami gangguan penglihatan
b. Pendengaran : klien tidak mengalami gangguan pendengaran
c. Pengecap : klien tidak mengalami gangguan pengecap
d. Sensasi : klien tidak mengalami gangguan sensansi

7. Pola persepsi diri


a. Pandangan klien tentang sakitnya
b. Kecemasan : klien mengalami cemas
c. Konsep diri

8. Pola seksualitas dan reproduksi


a. Fertilitas
b. Libido
c. Menstruasi
d. Kontrasepsi

9. Pola peran hubungan


a. Komunikasi
b. Hubungan dengan orang lain : klien memiliki hubungan yang baik dengan keluarga
c. Kemampuan keuangan : kemampuan keuangan klien baik

10. Pola manajemen koping-stress (perubahan terbesar dalam hidup saat ini)
Klien memiliki koping yang kurang baik, karena rasa cemas akan penyakitnya.

11. System nilai dan keyakinan (pandangan klien tentang agama,kegiatan keagamaan)
Pandangan klien tentang agama sangat baik, karena klien sangat yakin dan percaya akan
kenyakinannya.
D. PEMERIKSAAN FISIK

TD : 120/90 mmHg R : 20 x/mnt


N : 80 x/mnt S : 370C
BB/TB sebelum sakit : 62 Kg / 170 cm BB/TB sesudah sakit :62 Kg / 170 cm
1. System saraf
a. Memori : panjang
b. Perhatian : dapat mengulang
c. Bahasa : komunikasi verbal menggunakan bahasa Indonesia
d. Kognisi dan Orientasi : dapat mengenal orang, tempat dan waktu
e. Refleks Fisiologis :
- Achilles : 2
- Trisep : 2
- Brankioradialis : 2
f. Tidak ada keluhan pusing
g. Istirahat / tidur 3-4 jam / hari
h. Pemeriksaan syaraf kranial
- N1 : Pasien mampu membedakan bau minyak kayu putih dan alkohol
- N2 : Pasien mampu melihat dalam jarak 30 cm
- N3 : Pasien mampu mengangkat kelopak mata
- N4 : Pasien mampu menggerakkan bola mata kebawah
- N5 : Pasien mampu mengunyah
- N6 : Pasien mampu menggerakkan mata ke samping
- N7 : Pasien mampu terseyum dan mengangkat alis mata
- N8 : Pasien mampu mendengar dengan baik
- N9 : Pasien mampu membedakan rasa manis dan asam
- N10 : Pasien mampu menelan
- N11 : Pasien mampi menggerakkan bahu dan melawan tekanan
- N12 : Pasien mampu menjulurkan lidah dan menggerakkan lidah keberbagai arah

2. System persepsi sensori


Composmentis, GCS E:4 M:5 V:6

3. System limfatik
Tidak terkaji

4. System imun
Tidak terkaji

5. System respirasi
Tidak terkaji

6. System kardiovaskuler
Klien mengatakan nyeri pada daerah paha, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri menetap
dan terus menerus selama ±10 menit. inspeksi : skala nyeri 3, klien meringis.

7. System pencernaan
Selama di rumah sakit klien belum ada BAB dan terpasang cateter

8. System endokrin
Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, getah bening dan trias DM

9. System musculoskeletal

10. System integument

11. System urinary


Klien menggunakan kateter untuk alat bantu berkemih

E. DATA PENUNJANG
1. Laboratorium
2. Radiologi
3. Pemeriksaan penunjang lain

F. TERAPI
1. IVFD RL 500 cc 28 tetes/menit
2. Ceftriaxon 2x1 mg
3. Levoflaxacin 1x750
4. Ranitidin 2x1 mg
5. Ketorolac 2x1 mg
6. Paracetamol 3x1 mg
7. Tramadol

G. ANALISIS DATA

No DATA ETIOLOGI PROBLEM


1. Data subjektif : Agen cedera fisik Nteri akut
a) Pasien mengatakan masih terasa
nyeri pada daerah paha
b) Pasien mengatakan nyeri yang
dirasakan terasa berdenyut-denyut
c) Pasien mengatakan sakala nyeri 3
Data Objektif :
a) Pasien tampak meringis
b) Pasien takut menggerakkan
kakinya
c) TD 120/90 mmHg, N : 80 x/mnt,
P : 20 x/mnt, S : 370C
2. Data subjektif : Gangguan rasa nyaman Gejala penyakit
a) Pasien mengatakan susah bergerak
bebas
b) Pasien mengatakan susah tidur
Data Objektif :
a) Pasien tampak meringis
b) Pasien takut menggerakkan
kakinya
c) TD 120/90 mmHg, N : 80 x/mnt,
P : 20 x/mnt, S : 370C

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
2. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala penyakit
LAPORAN ANALISA KETERAMPILAN
(KEPERAWATAN DASAR PROFESI)

Nama mahasiswa : Muja Asmara


Ruang :
Kelompok :

NO ITEM REVIEW
A. IDENTITAS PASIEN
1. Inisial pasien : Tn. T
2. Usia : 38 tahun
3. Diagnosa medis : Fraktur Femur
4. Pemenuhan kebutuhan : Nyeri
5. Diagnosa keperawatan : Nyeri Akut
6. Tindakan yang dilakukan : Manajemen nyeri
Tanggal tindakan : 20 Desember 2020
7. Waktu : 20 Desember 2020
B STANDAR : Terapi Relaksi Nafas Dalam
PROSEDUR
OPERASIONAL
1. Pengertian : Merupakan metode efektif untuk mengurangi rasa nyeri pada
pasien yang mengalami nyeri kronis. Rileks sempurna yang
dapat mengurangi ketegangan otot, rasa jenuh, kecemasan
sehingga mencegah menghebatnya stimulasi nyeri
2. Tujuan tindakan 1. Meningkatkan aliran udara dan oksigen dalam darah
2. Untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri
3. Membantu dan meningkatkan relaksasi
4. Meningkatkan kualitas tidur
3. Prinsip tindakan : Suasana lingkungan tenang
(rasional)
4. Indikasi : Dilakukan untuk pasien yang mengalami nyeri akut dan nyeri
kronis
5. Kontraindikasi :
6. Alat :
7. Pra interaksi 1. Membaca status pasien
2. Mencuci tangan
3. Menyiapkan alat
8. Interaksi 1. Memberikan salam teraupetik
2. Validasi kondisi pasien saat ini
3. Menjaga keamanan privasi pasien
4. Menjelaskan tujuan dan prosedur yang akan dilakukan kepada
pasien dan keluarga
9. Kerja
1. Berikan kesempatan kepada pasien untuk bertanya bila ada
sesuatu yang kurang dipahami / jelas

2. Atur posisi agar pasien rileks tanpa adanya bebab fisik, baik
duduk maupun berdiri. Apabila pasien memilih duduk, maka
bantu pasien duduk di tepi tempat tidur atau posisi duduk
tegak di kursi. Posisi juga bisa semifowler, berbaring di
tempat tidur dengan punggung tesangga bantal

3. Instruksikan pasien untuk tarik nafas dalam sehingga rongga


pasru berisi udara

4. Instruksikan pasien secara perlahan dan menghembuskan


udara membiarkannya keluar diri setiap bagian anggota tubuh,
pada waktu bersamaan minta pasien untuk memusatkan
perhatian betapa nikmatnya rasanya

5. Instruksikan pasien untuk bernafas dengan irama normal


beberapa saat (1-2 menit)

6. Instruksikan pasien untuk kembali menarik nafas dalam,


kemudian menghembuskan dengan cara perlahan dan
merasakan saat ini udara mulai mengalir dari tangan, kaki,
menuju keparu-paru dan seterusnya udara dan rasakan udara
mengalir keseluruh tubuh

7. Minta pasien untuk memusatkan perhatian pada kaki dan


tangan, udara yang mengalir dan merasakan keluar dari ujung-
ujung jari tangan dan kaki dan rasakan kehangatannya

8. Instruksikan pasien untuk mengulangi teknik-teknik ini apa


bila rasa nyeri kembali lagi

9. Setelah pasien merasakan ketenangan, minta pasien untuk


melakukan secara mandiri

10. Ulangin latihan nafas dalam ini sebanyak 3 sampai 5 kali


10. Terminasi 1. Evaluasi hasil kegiatan
2. Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
3. Akhiri kegiatan dengan baik
4. Cuci tangan
11. Referensi Skripsi Luthfiana Rahmawati (2018) Penerapan Teknik
Relaksasi Nafas Dalam Pada Pasien Post Operasi Apendiktomi
Dengan Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Rasa Aman Nyaman
Di RSUD Sleman
C ANALISA : (sesuai tindakan yang dipilih)
KETERAMPILAN
1. Bahaya yang mungkin : Pasien tidak dapat rileks
terjadi dan cara : Pencegahannya : ciptakan suasana yang nyaman
pencegahan mengulangi kembali atur suhu ruangan
Identikasi tindakan 1. lakukan observasi setelah pemasangan infus
keperawatan lainnya 2. Ganti lokasi penusukan setiap 3 hari sekali
untuk mengatasi 3. Observasi tanda-tanda sistemik local seperti rubor, kalor, dollor,
masalah tersebut edema dan penurunan fungsi
4. Dst.
2. Identifikasi masalah : (masalah keperawatan yang mungkin muncul setelah dilakukan
keperawatan lain yang tindakan)
mungkin muncul Contoh :
(rasional) 1. Resiko infeki b/d…………..
R : tindakan ini merupakan tindakan invasive yang…..
dst
3. Evaluasi diri : (dibuat berdasarkan SPO dan tindakan yang telah dilakukan
Contoh :
1. Mendekatkan alat :
Evaluasi : baki alat diletakkan diranjang pasien karena tidak
tersedianya meja tindakan

2. Memasang perlak dan pengalas


Evaluasi : lupa dilakukan

3. Bersihkan area yang akan dilakukan penusukan dengan


menggunakan betadin
Evaluasi : tidak dilakukan karena desinfeksi dengan menggunakan
betadin saat ini sudah tidak digunakan lagi karena………………..
Hal ini dibuktikan dalam jurnal................................yang menyatakan
bahwa…..
Sebagai gantinya yang saya lakukan………. Sesuai sumber dari……..
yang menyatakan……………..

4. Rencana tindak lanjut : (hal yang akan dilakukan setelah mempelajari kesalahan sebelumnya)
Dalam tindakan selanjutnya, saya akan :
1. meminjam troli saat akan melakukan tindakan
2. memasang perlak dan pengalas
3. dst

5 Referensi (referensi analisis keterampilan. Buku minimal 10 tahun terakhir,


jurnal minimal 5 tahun terakhir)
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penyusunan makalah asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan kenyamanan (nyeri) pada fraktur femur dekstra
post. ORIF adalah sebagai berikut :
1. Nyeri adalah suatu keadaan yang tidak menyenangkan akibat terjadinya rangsangan
fisik maupun dari serabut saraf dalam tubuh ke otak yang diikuti oleh reaksi fisik,
fisiologis, dan emosional.
2. Nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor nyeri yang
dimaksud adalah nociceptor, merupakan ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki
sedikit atau bahkan tidak memiliki myelin yang tersebar pada kulit dan mukosa,
khususnya pada visera, persendian, dinding arteri, hati, dan kandung empedu.
3. Pengalaman nyeri seseorang dipengaruhi oleh arti nyeri, persepsi nyeri, toleransi nyeri
dan reaksi terhadap nyeri.

B. SARAN
1. Bagi Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa agar dapat meningkatkan pengetahuannya tentang masalah-
masalah dalam pemenuhan kebutuhan rasa nyaman dan juga meningkatkan kemampuan
dalam membuat asuhan keperawatan yang baik dan benar.
2. Bagi Perawat
Diharapkan bagi perawat agar dapat meningkatkan keterampilan dalam memberikan
asuhan keperawatan serta pengetahuannya sehingga dapat memberikan asuhan
keperawatan yang optimal terkhususnya pada pasien fraktur femur dextra post op.
ORIF.
3. Bagi Dunia Keperawatan
Diharapkan asuhan keperawatan ini dapat terus ditingkatkan teorinya sehingga dapat
menambah pengetahuan yang lebih baik bagi dunia keperawatan, serta dapat di
aplikasikan untuk mengembangkan keterampilan perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan rasa nyaman (nyeri) pada fraktur femur
dextra post op. ORIF.
DAFTAR PUSTAKA

Bambang Suryono Suwondo, Lucas Meliala, Sudadi (2017). Buku Ajar Nyeri, Indonesia Pain
Society. Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP Dr. Sardjito Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada.

Patofisiologi Nyeri (PAIN) (2017). Mochamad Bahrudin Fakultas Kedokteran Universitas


Muhammadiyah Malang Jl. Bendungan Sutami No. 188A Malang

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI

Potter, Pactricia A. & Anne, G. Perry. (2010). Fundamental Keperawatan Buku 1 Ed. 7. Jakarta:
Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai