“MANAJEMEN NYERI”
Di Susun Oleh:
SYAFRINA YOLANDA,S.Kep
(2214901078)
( ) ( )
B. Klasifikasi
Klasifikasi nyeri dibagi berdasarkan waktu yaitu nyeri akut dan nyeri kronik.
Untuk nyeri akut terjadi segera setelah tubuh terkena cidera/ intervensi bedah,
intensitasnya bervariasi dari berat sampai ringan. Nyeri akut dihubungkan dengan
kerusakan jaringan dan pengobatan cepat diberikan untuk hilangkan nyeri. Durasi
nyeri akut dimulai dari terkena cidera sampai dengan 7 hari (Sangaji, 2022).
1
Nyeri kronik adalah nyeri konstan/ hilang timbul yang menetap sepanjang
suatu periode tertentu, terjadi proses inflamasi/peradangan. Intensitas bervariasi,
ada periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi
(keparahan meningkat). Biasanya nyeri kronik sering sulit diobati karena biasanya
nyeri ini tidak memberikan respons terhadap pengobatan yang diarahkan pada
penyebabnya. Durasi dari nyeri kronik berlangsung hingga enam bulan (Sangaji,
2022).
Peradangan merupakan respons tubuh terhadap rangsangan berbahaya, seperti
luka fisik atau infeksi dan memiliki 5 gejala klasik yaitu panas berlebihan, rasa
nyeri, memerah, pembengkakan dan gangguan fungsi. Pada banyak kasus yang
terjadi, nyeri punggung menunjukkan kasus tertinggi dan dianggap prioritas, dan
nyeri sendi kasusnya lebih rendah meskipun tingkat kekronisannya mendosong
presentasi signifikan untuk konsumsi obat pada kategori ini (Sangaji, 2022).
C. Anatomi Fisiologi
Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu nosisepsi,
sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik,
reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan
dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri : tranduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi (Bahrudin, 2017).
Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen menerjemahkan
stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls nosiseptif. Ada tiga tipe
serabut saraf yang terlibat dalamproses ini, yaitu serabut A-beta, A-delta, dan C.
Serabut yang berespon secara maksimal terhadap stimulasi non noksius
dikelompokkan sebagai serabut penghantar nyeri, atau nosiseptor. Serabut ini
adalah A-delta dan C. Silent nociceptor, juga terlibat dalamproses transduksi,
merupakan serabut saraf aferen yang tidak bersepon terhadap stimulasi eksternal
tanpa adanya mediator inflamasi (Bahrudin, 2017).
Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu
dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak.
Neuron aferen primer merupakan pengirimdan penerima aktif dari sinyal elektrik
dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dan selanjutnya
berhubungan dengan banyak neuron spinal (Bahrudin, 2017).
Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related
2
neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis, dan
mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid seperti mu,
kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga
mempunyai jalur desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan area
otak lainnya ke otak tengah (midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya menuju
medula spinalis. Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau
bahkan penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di kornu dorsalis. Persepsi nyeri
adalah kesadaran akan pengalaman nyeri (Bahrudin, 2017).
Persepsi merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi,
modulasi, aspek psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri
adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh
yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secaara potensial merusak. Reseptor
nyeri disebut juga Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri (nociseptor) ada
yang bermiyelin dan ada juga yang tidak bermiyelin dari syaraf aferen (Bahrudin,
2017).
D. Teori Nyeri
Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan
bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling
relevan. Menurut Hartwig & Wilson, (2005) dalam Bahrudin (2017):
a. Teori Spesivisitas (Specivity Theory)
Teori ini digambarkan oleh Descartes pada abad ke 17. Teori ini didasarkan
pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang secara khusus mentransmisi
rasa nyeri. Syaraf ini diyakini dapat menerima rangsangan nyeri dan
mentransmisikannya melalui ujung dorsal dan substansia gelatinosa ke talamus,
yang akhirnya akan dihantarkan pada daerah yang lebih tinggi sehingga timbul
respon nyeri. Teori ini tidak menjelaskan bagaimana faktor-faktor multi
dimensional dapat mempengaruhi nyeri Bahrudin (2017).
b. Teori Pola (Pattern Theory)
Teori ini menurut Hartwig & Wilson, (2005) dalam Bahrudin (2017)
menerangkan bahwa ada dua serabut nyeri yaitu serabut yang mampu
menghantarkan rangsang dengan cepat dan serabut yang mampu menghantarkan
dengan lambat. Dua serabut syaraf tersebut bersinaps pada medula spinalis dan
3
meneruskan informasi ke otak mengenai sejumlah intensitas dan tipe input
sensori nyeri yang menafsirkan karakter dan kualitas input sensasi nyeri.
c. Teori Gerbang Kendali Nyeri ( Gate Control Theory )
Tahun 1959 Milzack dan Wall dalm Bahrudin (2017) menjelaskan teori
gerbang kendali nyeri, yang menyatakan terdapat semacam pintu gerbang yang
dapat memfasilitasi transmisi sinyal nyeri. (Hartwig & Wilson, 2005) Gate
Control Theory merupakan model modulasi nyeri yang populer. Teori ini
menyatakan eksistensi dari kemampuan endogen untuk mengurangi dan
meningkatkan derajat perasaan nyeri melalui modulasi impuls yang masuk pada
kornu dorsalis melalui “gate” (gerbang) (Bahrudin, 2017).
Berdasarkan sinyal dari sistem asendens dan desendens maka input akan
ditimbang. Integrasi semua input dari neuron sensorik, yaitu pada level medulla
spinalis yang sesuai, dan ketentuan apakah gate akan menutup atau membuka,
akan meningkatkan atau mengurangi intensitas nyeri asendens. Gate Control
Theory ini mengakomodir variabel psikologis dalampersepsi nyeri, termasuk
motivasi untuk bebas dari nyeri, dan peranan pikiran, emosi, dan reaksi stress
dalam meningkatkan atau menurunkan sensasi nyeri. Melalui model ini, dapat
dimengerti bahwa nyeri dapat dikontrol oleh manipulasi farmakologis maupun
intervensi psikologis (Bahrudin, 2017).
E. Skala Nyeri
1. Kategorikal/ one dimensional
Umumnya pengukuran ini menempatkan pasien pada beberapa kategori
yang umum dipakai yaitu : tidak ada nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, dan nyeri
hebat. Contohnya adalah verbal rating scale. Tidak terdapat nyeri diartikan pasien
tidak merasakan nyeri. Nyeri ringan diartikan sebagai nyeri yang umumnya
bersifat siklik dan tidak mengganggu aktivitas keseharian. Nyeri sedang bila nyeri
bersifat episodik, terdapat masa eksaserbasi. Umumnya nyeri masih dapat ditolerir
walaupun pasien membutuhkan analgetikum. Rasa nyeri akan meningkat apabila
melakukan aktivitas yang tidak biasa dilakukan. Nyeri hebat adalah apabila pasien
dalam melakukan aktivitas kesehariannya merasa nyeri dan mengganggu
aktivitasnya (Agustin 2022).
Gambar 1.3 Skala Nyeri Kategorikal Likert
4
2. Numerikal/ Numerical Rating Scale
Numeric rating scale merupakan skala nyeri yang paling sering digunakan.
Skala nyeri ini dirancang untuk digunakan oleh pasien yang berusia di atas 9
tahun. Tingkat intensitas nyeri ini dapat dinilai pada perawatan awal, atau secara
berkala setelah perawatan (Agustin, 2022).
Pada mengukuran skala nyeri ini, pasien diminta untuk menilai rasa sakit yang
dialami menggunakan angka 0–10 atau 0–5. Semakin besar angka yang dipilih,
maka semakin sakit juga nyeri yang dirasakan. Berikut adalah penjelasannya:
5
2022).
(Agustin 2022).
F. Penatalaksanaan
Manajemen nyeri merupakan salah satu cara yang digunakan dibidang
7
kesehatan untuk mengatasi nyeri yang dialami pasien. Manajemen nyeri yang tepat
haruslah mencakup penanganan secara keseluruhan, tidak hanya terbatas pada
pendekatan farmakologi saja, karena nyeri juga dipengaruhi oleh emosi dan
tanggapan individu terhadap dirinya. Secara garis besar ada dua manajemen untuk
mengatasi nyeri yaitu manajemen farmakologi dan non farmakologi (Utami, 2017).
Teknik farmakologi merupakan tindakan kolaborasi antara perawat dan
dokter yang menekankan pada pemberian obat yang efektif untuk menghilangkan
nyeri terutama untuk nyeri yang sangat hebat dan berlangsung lama. Pemberian
analgetik dan obat tidur bisa juga diberikan untuk mengurangi nyeri. Namun
pemakaian yang berlebihan mempunyai efek samping kecanduan dan dapat
membahayakan pemakainya bila over dosis. Metode pereda nyeri nonfarmakologis
merupakan tindakan mandiri perawat untuk mengurangi intensitas nyeri sampai
dengan tingkat yang dapat ditoleransi oleh pasien. Metode pereda nyeri
nonfarmakologis merupakan tindakan mandiri perawat untuk mengurangi
intensitas nyeri sampai dengan tingkat yang dapat ditoleransi oleh pasien (Potter &
Perry, 2010). Sekarang telah banyak dikembangkan intervensi keperawatan yang
dilakukan untuk mengurangi intensitas nyeri paska operasi seperti teknik relaksasi
dan distraksi yang bertujuan untuk memberikan rasa nyaman dan rileks pada
pasien, dapat mengurangi intensitas nyeri, serta dapat meningkatkan ventilasi paru
dan meningkatkan oksigen darah. Terapi relaksasi merupakan suatu teknik yang
berkaitan dengan tingkah laku manusia dan efektif dalam mengatasi nyeri akut
terutama rasa nyeri akibat prosedur diagnostik dan pembedahan (Utami, 2017)
G. Patofisiologi
Munculnya nyeri berkaitan dengan reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor
nyeri yang dimaksud adalah nociceptor, merupakan ujung-ujung saraf sangat bebas
yang memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki myelin yang tersebar pada kulit
dan mukosa, khususnya pada visera, persendian dinding arteri, hati dan kandung
empedu. Reseptor nyeri dapat memberikan respons akibat adanya stimulasi atau
rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa zat kimiawi seperti histamine,
bradikinin, prostaglandin, dan macam asam yang dilepas apabila terdapat
kerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigenasi. Stimulasi yang lain dapat
berupa termal, listrik atau mekanis.
Selanjutnya stimulasi yang diterima oleh reseptor tersebut ditransmisikan ke
8
serabut C. serabut-serabut aferen masuk ke spinal melalui akar dorsal (dorsal root)
serta sinaps pada dorsal horn. Dorsal horn, terdiri atas beberapa lapisan atau
laminae yang saling bertautan. Diantara lapisan dua dan tiga berbentuk substansia
gelatinosa yang merupakan saluran utama impuls. Kemudian, impuls nyeri
menyeberangi sumsum tulang belakang pada interneuron dan bersambung ke jalur
spinal asendens yang paling utama, yaitu jalur spinothalamic tract (STT) atau jalur
spinothalamus tract (SRT) yang membawa informasi tentang sifat dan lokasi nyeri.
Dari proses transmisi terdapat dua jalur mekanisme terjadinya nyeri, yaitu jalur
opiate dan jalur non-opiate. Jalur opiate ditandai oleh pertemuan reseptor pada otak
yang terdiri atas jalur spinal desendens dari thalamus yang melalui otak tengah dan
medulla ke tanduk dorsal dari sumsum tulang belakang yang berkonduksi dengan
nociceptor impuls supresif. Serotonin merupakan neurotransmitter dalam impuls
supresif. System supresif lebih mengaktifkan stimulasi nociceptor yagn
ditransmisikan oleh serabut A. Jalur non-opiate merupakan jalur desendens yang
tidak memberikan respons terhadap naloxone yang kurang banyak diketahui
mekanismenya. (Khumaira, 2016)
a. Definisi
9
badan. Dalam latihan relaksasi otot individu diminta menegangkan otot dengan
ketegangan tertentu dan kemudian diminta untuk mengendurkannya.Sebelum
dikendurkan penting dirasakan ketegangan tersebut sehingga individu dapat
membedakan antara otot tegang dan otot lemas.
2. Relaksasi kesadaran indera
Teknik ini individu dapat diberi satu persatu diberi pertanyaan yang tidak dijawab
secara lisan tetapi untuk dirasakan sesuai dengan apa yang dapat atau yang tidak
dapat dalam individu pada waktu intruksi diberikan pengembangan.
3. Relaksasi melalui hipnosa, yoga, dan meditasi
a. Hipnosa ialah kondisi yang menyerupai tidur lelap tetapi lebih aktif, saat
seseorang memiliki sedikit keinginan tahu dari dirinya dan bertindak menurut
sugesti dari orang yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut.
b. Yoga yaitu sebuah sistematika baru yang mampu menjelaskan manusia secara
utuh, bagaiman menjalani hidup secara berimbang serta bagaimana cara
bertahan hidup jika tidak ada keseimbangan.
c. Meditasi adalah suatu teknik latihan dalam meningkatkan kesadaran pada satu
objek stimulasiyang tidak berubah pada waktu tertentu. (Zainul, 2007).
c. Manfaat Relaksasi
Secara garis besar siswa-siswi TPQ dianjurkan kelapangan sebelum masuk ke kelas
tujuannya, untuk memberikan pengetahuan tentang manfaat relaksasi dengan cara
lari-lari kecil ditempat, mengatur nafas agar selalu rileks dalam mengerjakan sesuatu
di dalam kelas, dengan hal itu telah dijadikan menjadi beberapa manfaat yaitu:
1. Relaksasi akan membuat individu lebih mampu menghindari reaksi yang
berlebihan karena adanya stress.
2. Masalah-masalah yang berhubungan dengan stress seperti hipertensi, sakit
kepala, insomania dapat dikurangi atau diobati dengan relaksasi.
3. Mengurangi tingkat kecemasan.
4. Mengurangi kemungkinan gangguan yang berhubungan dengan stress.
5. Mengontrol anticipatory anxiety sebelum situasi yang menimbulkan kecemasan,
seperti pada pertemuan penting, wawancara atau sebagainya.
6. Penelitian menunjukkan bahwa perilaku tertentu dapat lebih sering terjadi selama
periode stress, misalnya naiknya jumlah rokok yang dihisap, konsumsi alcohol,
pemakaian obat-obatan, dan makanan yang berlebih-lebihan.
10
7. Meningkatkan penampilan kerja, sosial, dan penampilan fisik.
8. Kelelahan, aktivitas mental dan latihan fisik yang tertunda dapat diatasi dengan
menggunakan ketrampilan relaksasi. (Zainul, 2007).
d. Teknik-teknik Relaksasi
1. Relaksasi progesif (progressive relaxation training)
Untuk membawa seseorang relaks sampai pada otot-ototnya. Jacobson percaya
bahwa jika seseorang berada dalam keadaan seperti itu, akan terjadi pngurangan
timbulnya reaksi emosi yang bergelora, baik pada susunan syaraf otonom dan
lebih lanjut dapat meningkatkan perasaan segar dan sehat jasmani maupun rohani.
2. Otogenik (autogenic training)
Otogenik adalah latihan untuk merasakan berat dan panaspada anggota gerak,
pengaturan pada jantung dan paru-paru, perasaan panas pada perut dan dingin
pada dahi. Johanes Schultz, memperkenalkan teknik pasif agar seseorang dapat
menguasai munculnya emosi yang bergelora.
3. Sugesti diri (suggestion technique)
Seseorang dapat melakukan sendiri perubahan kefaalan pada dirinya sendiri, juga
bias mengatur permunculan-permunculan dari emosinya pada tingkatan maksimal
yang dikehendaki.
4. Melakukan sendiri (self help)
Seseorang diajarkan untuk melakukannya sendiri dengan mempergunakan alat
“bio feedback” agar pasien mengetahui saat-saat tercapainya keadaan relaks.
11
3. Differential relaxation
Relaksasi differensial merupakan salah satu ketrampilan relaksasi progesif. Dalam
pelatihan relaksasidifferensial ini, individu tidak hanya menyadari kelompok otot
yang diperlukan untuk melakukan aktifitas tertentu saja tetapi juga
mengidentifikasikan dan lebih menyadari lagi otot-otot yang tidak perlu
melakukan aktifitas tersebut.
12
bahwa intervensi telah selesai dilakukan.
13
menyikat gigi.
d) Pola istirahat dan tidur
Kebiasaan istirahat tidur berapa jam.
e) Kebiasaan – kebiasaan sebelum tidur apa saja yang dilakukan.
Pola aktivitas dan latihan
f) Kegiatan sehari-hari, olaraga yang sering dilakukan, aktivitas diluar kegiatan
olaraga, misalnya mengurusi urusan adat di kampung dan sekitarnya.
g) Kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan
Kebiasaan merokok, mengkonsumsi minum-minuman keras, ketergantungan dengan
obat-obatan (narkoba ).
h) Hubungan peran
Hubungan dengan keluarga harmonis, dengan tetangga, teman-teman sekitar
lingkungan rumah, aktif dalam kegiatan adat.
i) Pola persepsi dan konsep diri
Pandangan terhadap image diri pribadi, kecintaan terhadap keluarga, kebersamaan
dengan keluarga.
j) Pola nilai kepercayaan
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keyakinan terhadap agama yang
dianut, mengerjakan perintah agama yang di anut dan patuh terhadap perintah dan
larangan-Nya.
k) Pola reproduksi dan seksual
Hubungan dengan keluarga harmonis, bahagia, hubungan dengan keluarga besarnya
dan lingkungan sekitar.
4. Riwayat pengkajian nyeri
P: Provokatus paliatif: Apa yang menyebabkan gejala? Apa yang bias memperberat?
apa yang bias mengurangi
Q: QuaLity-quantity: Bagaimana gejala dirasakan, sejauh mana gejala dirasakan
R: Region – radiasi: Dimana gejala dirasakan ? apakah menyebar?
S: Skala – severity: Seberapah tingkat keparahan dirasakan? Pada skala berapah?
T: Time: Kapan gejala mulai timbul? Seberapa sering gejala dirasakan? tiba-tiba atau
bertahap? seberapa lama gejala dirasakan?
5. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum sakit sedang, kesadaran compos mentis, suhu 37,5 C, nadi 602)
100X/ menit, RR 16-20x / menit tensi 120/ 80 mmHg.
14
b) Pemeriksaan head totoe
1) Kepala dan leher: Dengan tehnik inspeksi dan palpasi:
Rambut dan kulit kepala: Pendarahan, pengelupasan, perlukaan, penekanan
Telinga: Perlukaan, darah, cairan, bauh.
2) Mata: Perlukaan, pembengkakan, replek pupil, kondisi kelopak mata, adanya
benda asing, skelera putih.
3) Hidung: Perlukaan, darah, cairan, nafas cuping, kelainan anatomi akibat trauma?
4) Mulut: Benda asing, gigi, sianosis, kering? Bibir: Perlukaan, pendarahan,
sianosis, kering? Rahang: Perlukaan, stabilitas.
5) Leher: Bendungan vena, deviasi trakea, pembesaran kelenjar tiroid
6) Pemeriksaan dada
- Inspeksi: Bentuk simetris kanan kiri, inspirasi dan ekspirasi pernapasan,
irama, gerakkan cuping hidung, terdengar suara napas tambahan bentu dada.
- Palpasi: Pergerakkan simetris kanan kiri, taktil premitus sama antara kanan
kiri dinding dada.
- Perkusi: Adanya suara-suara sonor pada kedua paru, suara redup pada batas
paru dan hipar.
- Auskultasi: Terdengar adanya suara visikoler di kedua lapisan paru, suara
ronchi dan wheezing
7) Kardiovaskuler
- Inspeksi: Bentuk dada simetris
- Palpasi: Frekuensi nadi,
- Parkusi: Suara pekak
- Auskultasi: Irama regular, systole/ murmur,
8) System pencernaan/abdomen
- Inspeksi: Pada inspeksi perlu diperliatkan, apakah abdomen membuncit atau
datar, tapi perut menonjol atau tidak, lembilikus menonjol atau tidak, apakah
ada benjolanbenjolan / massa.
- Palpasi: Adakah nyeri tekan abdomen, adakah massa ( tumor, teses) turgor
kulit perut untuk mengetahui derajat bildrasi pasien.
- Perkusi: Abdomen normal tympanik, adanya massa padat atau cair akan
menimbulkan suara pekak (hepar, asites, vesika urinaria, tumor)
- Auskultasi: Secara peristaltic usus dimana nilai normalnya 5- 35 kali
permenit.
15
P:Provokatus paliatif: Apa yang menyebabkan gejala? Apa yang bias
memperberat? apa yang bias mengurangi
Q:QuaLity-quantity: Bagaimana gejala dirasakan, sejauh mana gejala dirasakan
R: Region – radiasi: Dimana gejala dirasakan ? apakah menyebar?
S: Skala – severity: Seberapah tingkat keparahan dirasakan? Pada skala berapah?
T: Time: Kapan gejala mulai timbul? Seberapa sering gejala dirasakan? tiba-tiba
atau bertahap? seberapa lama gejala dirasakan?
9) Pemeriksaan extremitas atas dan bawah meliputi:
- Warna dan suhu kulit.
- Perabaan nadi distal.
- Depornitas extremitas alus..
- Gerakan extremitas secara aktif dan pasif.
- Gerakan extremitas yang tak wajar adanya krapitasi
- Derajat nyeri bagian yang cidera
- Edema tidak ada, jari-jari lengkap dan utuh
- Reflek patella
10) Pemeriksaan pelvis/genitalia
Kebersihan, pertumbuhan rambut
Kebersihan, pertumbuhan rambut pubis, terpasang kateter, terdapat lesi atau tidak
6. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis terhadap pengalaman atau
respon individu, keluarga, atau komunitas pada masalah kesehatan, pada resiko masalah
kesehatan atau pada proses kehidupan . Diagnosa keperawatan merupakan bagian vital
dalam menentukanasuhan keperawatan yang sesuai untuk membantu pasien mencapai
kesehatan yang optimal (PPNI, 2016):
a. Nyeri Akut berhubungan dengan agen injury fisik
16
7. Intervensi Keperawatan
17
Status Kenyamanan nyaman
1. Menyatakan rasa Edukasi
nyaman setelah nyeri Jelaskan mengenai kondisi dan
berkurang pilihan terapi/pengobatan
Ajarkan terapi relaksasi nafas
dalam
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
analgesik, antipruritus,
antihistamin, jika perlu
8. Implementasi Keperawatan
dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan (Potter & Perry, 2010).
perawat untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan yang dihadapi
kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan.
9. Evaluasi Keperawatan
adalah kegiatan yang disengaja dan terus menerus dengan melibatkan pasien,
tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan
18
lainnya.
tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap perencanaan (Setiadi,
dikenal dengan istilah SOPA, yakni subjektif (data keluhan pasien), objektif
(data hasil pemeriksaan), analisis data (perbandingan data dengan teori), dan
perencanaan.
yang dapat digunakan pada evaluasi jenis ini adalah melakukan wawancara
DAFTAR PUSTAKA
19
SDKI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat
PPNI
Azis, A. Hidayat Alimul. 2016. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan
Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Utami, S. (2017) ‘Efektifitas Relaksasi Napas Dalam Dan Distraksi Dengan Latihan 5 Jari
Terhadap Nyeri Post Laparatomi’, Jurnal Keperawatan Jiwa, 4.
20