Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

TRIGEMINAL NEURALGIA

Oleh:

dr. Mokhamad Munif Rizatul Qusnu

Pembimbing:

Dr. Maslihatul Aini, Sp.S

Rumah Sakit Umum Daerah Ploso Kabupaten Jombang

Program Dokter Internsip Indonesia

2018

i
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
TRIGEMINAL NEURALGIA

Oleh :
dr. Mokhamad Munif Rizatul Qusnu

Telah disetujui oleh :

Dokter Pendamping I Dokter Pendamping II

dr. Arif Eko Pribadi dr. Meridian Geodesi, M.M

Kepala SMF Neurologi RSUD Ploso

dr. Maslihatul Aini, Sp.S

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................................................... i

Daftar Isi............................................................................................................................. ii

BAB 1 Pendahuluan........................................................................................................... 1

BAB 2 Tinjauan Pustaka..................................................................................................... 3

BAB 3 Laporan Kasus........................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA………………………….....……………………………........................... 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nyeri merupakan keluhan yang paling banyak dijumpai pada pasien-pasien yang

datang ke rumah sakit maupun ke dokter. Permasalahan nyeri ini tentunya menjadi salah

satu permasalahan yang harus mendapatkan perhatian yang lebih. Nyeri yang tidak

tertangani dengan baik akan dapat mengakibatkan gangguan dalam menjalani aktifitas

sehari-hari maupun dapat menurunkan kualitas hidup seseorang. Sebagian nyeri yang

muncul tersebut dapat diakibatkan oleh adanya gangguan pada sistem saraf secara spesifik,

yang akan diuraikan dalam makalah ini.

Trigeminal neuralgia merupakan nyeri hebat unilateral pada wajah seperti sengatan

listrik yang muncul secara tiba-tiba dan berlangsung secara cepat. Nyeri tersebut terbatas

pada satu atau lebih cabang dari saraf trigeminus dan dapat muncul hanya dengan stimulus

yang sangat minimal (Maarbjerg et al., 2017). Nyeri pada trigeminal neuralgia ini dapat

berlangsung dalam rentang harian, mingguan, hingga bulanan. Kondisi ini dapat

menyebabkan gangguan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari dan bahkan dapat memicu

depresi (Zakrzewska & Linskey, 2015).

Walaupun penyakit ini cukup jarang dijumpai, insiden kejadiannya yaitu sekitar 5,7

kasus per 100.000 penduduk pada wanita, dan sekitar 2,5 kasus per 100.000 penduduk

pada pria (Zakrzewska & Linskey, 2014), penanganan yang tepat sangat diperlukan, baik

penanganan secara farmakologis maupun secara pembedahan. Oleh karena itu, penulis

akan membahas mengenai penyakit tersebut agar dapat menambah wawasan mengenai

perjalanan penyakit dan penanganan penyakit tersebut.

1
1.2 Tujuan

1. Memahami definisi dari trigeminal neuralgia

2. Memahami penyebab dari trigeminal neuralgia

3. Memahami patofisiologi dari trigeminal neuralgia

4. Memahami diagnosis dari trigeminal neuralgia

5. Memahami tatalaksana dari trigeminal neuralgia

1.3 Manfaat

Materi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada teman sejawat dokter

umum pada khususnya agar dapat menegakkan diagnosis dan memberikan penanganan

yang tepat pada kasus trigeminal neuralgia serta mengetahuinya pentingnya terapi pada

kasus tersebut.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Trigeminal neuralgia merupakan nyeri hebat unilateral pada wajah seperti sengatan

listrik yang muncul secara tiba-tiba dan berlangsung secara cepat. Nyeri tersebut terbatas

pada satu atau lebih cabang dari saraf trigeminus dan dapat muncul hanya dengan stimulus

yang sangat minimal (Maarbjerg et al., 2017). Frekuensi serangan nyeri ini dapat terjadi

dalam rentang harian, mingguan, hingga bulanan. Nyeri pada trigeminal neuralgia

dideskripsikan sebagai rasa nyeri yang tajam, menusuk-nusuk, bahkan hingga seperti

sengatan listrik yang berat. Stimulus ringan yang dapat memicu nyeri ini antara lain

sentuhan ringan, mengunyah, berbicara, membasuh wajah, hembusan angin, maupun saat

menggosok gigi. Kondisi ini dapat menyebabkan gangguan dalam menjalankan aktifitas

sehari-hari dan bahkan dapat memicu depresi (Zakrzewska & Linskey, 2015).

2.2 Epidemiologi

Trigeminal neuralgia cukup jarang dijumpai, insiden kejadiannya yaitu sekitar 5,7

kasus per 100.000 penduduk pada wanita, dan sekitar 2,5 kasus per 100.000 penduduk

pada pria. Insiden puncaknya terjadi pada penduduk yang berusia 50 - 60 tahun dengan

prevalensi yang terus meningkat seiring pertambahan usia (Zakrzewska & Linskey, 2014).

Onset usia rata-rata terjadinya trigeminal neuralgia adalah pada usia 53 tahun pada

trigeminal neuralgia klasik, sedangkan pada trigeminal neuralgia sekunder onset usia rata-

ratanya pada usia 43 tahun (Maarbjerg et al., 2017). Sebagian besar pasien trigeminal

neuralgia laki-laki mengeluhkan nyeri terjadi pada sisi kiri wajah, yaitu sekitar 67% kasus,

sedangkan pada pasien wanita, sebagian besar mengeluhkan nyeri terjadi pada sisi kanan

wajah, yaitu sekitar 55% kasus (Rothman & Monson, 2017). Trigeminal nerualgia sering

melibatkan cabang ke-2 dan cabang ke-3 dari saraf trigeminus (Maarbjerg et al., 2017).

3
2.3 Anatomi

Setelah serabut aferen nervus trigeminus berkonvergen menjadi satu dari ketiga cabang

utamanya, serabut saraf ini kemudian masuk melewati porus trigeminus, melintasi sisterna,

dan kemudian masuk ke dalam pons. Bagian serabut saraf trigeminus yang ada pada

sepanjang sisterna, selubung myelin yang mengelilingi saraf bertransisi dari yang awalnya

merupakan

derifat dari sel schwan (myelin perifer) menjadi derifat dari oligodendrosit (myelin

sentral). Bagian ini disebut dengan zona transisi. Sedangkan titik dimana serabut saraf

trigeminus memasuki pons disebut root entry point (Hughes et al., 2016).

Gambar 2.1 Gambaran skematik konvergensi dari tiga cabang utama saraf trigeminus
PT: Porus Trigeminus, TZ: Transition Zone, REP: Root Entry Point, V1: Cabang oftalmikus, V2:
Cabang maksilaris, V3: Cabang mandibularis
(Hughes et al., 2016)

2.4 Etiologi

Sekitar 30% dari kasus trigeminal neuralgia disebabkan oleh penekanan pada nervus

trigeminal oleh pembuluh darah, biasanya arteri, pada sisterna cerebellopontine. Studi

anatomis menunjukkan adanya transisi bertahap dari myelinisasi sel schwan menjadi

myelinisasi oligodendroglia pada banyak spesimen sepanjang 25% bagian proksimal saraf.

Hal ini mungkin menunjukkan bahwa zona transisi tersebut merupakan area penekanan

saraf oleh pembuluh darah. Hal ini disebut dengan konflik neurovaskuler disertai perubahan
4
morfologis. Perubahan morfologis tersebut meliputi distorsi, dislokasi, distensi, indentasi,

flattening, maupun atrofi. Perubahan morfologis ini berhubungan erat dengan trigeminal

neuralgia klasik dan dijumpai pada separuh pasien dengan trigeminal neuralgia (Maarbjerg

et al., 2017).

2.5 Patofisiologi

Banyak sumber yang menyatakan bahwa kompresi vaskuler pada saraf trigeminus

berhubungan dengan munculnya trigeminal neuralgia pada sekitar 95% pasien. Namun

demikian, patofisiologi pasti bagaimana kompresi vaskuler tersebut dapat menyebabkan

trigeminal neuralgia masih spekulatif. Hipotesis yang paling populer mengenai hal tersebut

antara lain adalah kombinasi dari demyelinisasi sentral pada zona akar saraf dan eksitasi

elektrik yang berlebihan. Studi terkini menunjukkan bahwa demyelinisasi ini memicu

terjadinya gangguan pada sistem nosiseptif. Sehingga menyebabkan pasien yang memiliki

riwayat nyeri dapat kehilangan kemampuan inhibisi sistem nosiseptif. Walaupun setelah

dilakukan tindakan pembedahan yang sukses, beberapa bentuk abnormalitas fungsi

somatosensoris tetap terjadi. Faktor lain seperti adanya hubungan genetik mungkin dapat

menjadi pertimbangan penting, karena kasus trigeminal neuralgia yang melibatkan faktor

genetik walaupun jarang namun tetap ada (Zakrzewska & Linskey, 2014).

Beberapa kasus trigeminal neuralgia dihubungkan dengan adanya plak sklerosis

multipel atau infark lakuna di dalam sistem trigeminal batang otak atau adanya lesi masa

pada cerebellopontine. Demyelinisasi plak sklerosis multipel telah dilaporkan melibatkan

nukleus saraf trigeminus pada batang otak (Zakrzewska & Linskey, 2014). Demyelinisasi

dari saraf aferen trigeminal ini diperkirakan menyebabkan terjadinya hipereksitasi. Impuls

ektopik yang muncul secara spontan sepanjang aferen sensoris maupun yang diakibatkan

adanya stimulus lokal langsung seperti pulsasi arteri merupakan kemungkinan yang dapat

menyebabkan hipereksitasi (Maarbjerg et al., 2017).

2.6 Klasifikasi

5
Trigeminal neuralgia diklasifikasikan menjadi tipe 1 (sebelumnya disebut trigeminal

neuralgia klasik maupun tipikal), yaitu nyeri episodik yang idiopatik yang berlangsung

beberapa detik dan terdapat interval bebas nyeri diantara serangannya. Yang kedua yaitu

tipe 2, dideskripsikan sebagai nyeri wajah yang berat, berdenyut, maupun seperti rasa

terbakar yang berlangsung secara konstan. Teori menyebutkan bahwa trigeminal neuralgia

tipe 1 dapat berkembang menjadi tipe 2. Pada trigeminal neuralgia tipe 2, abnormalitas

struktural lebih mungkin dapat ditemukan, seperti adanya tumor maupun malformasi

vaskuler (Montano et al., 2015).

Sedangkan menurut International Classification of Headache Disorders (ICHD3-beta)

klasifikasi trigeminal neuralgia adalah sebagai berikut (Maarbjerg et al., 2017) :

1. Trigeminal neuralgia klasik

- Trigeminal neuralgia klasik, murni paroksismal.

- Trigeminal neuralgia dengan nyeri wajah persisten.

2. Simtomatik trigeminal neuralgia

- Simtomatik trigeminal neuralgia akibat SOP (Space Occupaying Process).

- Simtomatik trigeminal neuropathy akibat multiple sclerosis.

Sedangkan menurut International Association for the Study of Pain (IASP) klasifikasi

trigeminal neuralgia adalah sebagai berikut (Maarbjerg et al., 2017) :

1. Trigeminal neuralgia idiopatik : tidak ada sebab yang jelas

2. Trigeminal neuralgia klasik : disebabkan oleh kompresi vaskuler pada akar saraf

trigeminus yang menyebabkan adanya perubahan morfologis pada akar saraf

3. Trigeminal neuralgia sekunder : disebabkan oleh penyakit neurologis mayor seperti

tumor cerebellopontine angle atau sklerosis multipel

2.7 Diagnosis

Kriteria diagnosis dari trigeminal neuralgia menurut International Classification of

Headache Disorders (ICHD3-beta) adalah sebagai berikut (Maarbjerg et al., 2017) :

A. Setidaknya tiga serangan nyeri wajah unilateral yang memenuhi kriteria B dan C

6
B. Terjadi pada satu atau lebih cabang dari nervus trigeminus, dengan tidak disertai

adanya radiasi di luar saraf trigeminus

C. Nyeri setidaknya memiliki tiga dari empat karakteristik di bawah ini :

1. Terjadi secara paroksismal, serangan berlangsung dari beberapa detik hingga

2 menit

2. Intensitasnya berat

3. Kualitas nyerinya seperti sengatan listrik, tajam, dan menusuk

4. Dipicu oleh stimulus yang minimal pada sisi wajah yang terkena

Kriteria diagnosis dari trigeminal neuralgia menurut International Association for the

Study of Pain (IASP) adalah sebagai berikut (Maarbjerg et al., 2017) :

A. Nyeri orofasial yang terdistribusi sesuai nervus trigeminus pada wajah maupun

intraoral

B. Karakteristik nyeri paroksismal

C. Nyeri dipicu oleh manuver tipikal

Pemeriksaan tambahan yang dapat dikerjakan antara lain MRI. Pemeriksaan ini

penting untuk menyingkirkan penyebab lain dari nyeri yang membutuhkan penanganan

khusus seperti tumor maupun sklerosis multipel (Zakrzewska, 2016). Pemeriksaan

laboratoris juga dapat dikerjakan untuk memastikan tidak adanya kelainan pada fungsi ginjal

dan liver berkaitan dengan pengobatan yang akan diberikan. EKG juga perlu dilakukan

karena carbamazepine dan oxcarbazepine kontraindikasi untuk diberikan pada pasien

dengan AV Block (Maarbjerg et al., 2017).

2.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari trigeminal neuralgia antara lain (Maarbjerg et al., 2017) :

 Neuralgia glosofaring : nyeri seperti tertusuk-tusuk pada bagian belakang dari

lidah, faring, atau pada telinga bagian dalam. Dipicu oleh faktor yang berbeda

dengan trigeminal neuralgia, yaitu seperti menelan, batuk, dan bersin

7
 Trigeminal neuropati post trauma : nyeri sepertu tertusuk-tusuk dan dipicu oleh

sentuhan ringan seperti pada trigeminal neuralgia, namun nyeri ini didahului

dengan trauma dan biasanya disertai kelainan neurologis yang jelas serta

hilangnya fungsi sensoris yang berhubungan dengan saraf tepi

 Nyeri wajah idiopatik persisten : nyeri tumpul yang timbul dipicu sentuhan ringan

atau timbul secara spontan yang bersifat konstan

 Trigeminal neuropati akibat akut herpes zoster : rasa terbakar dan tertusuk-tusuk

yang didahului dengan ruam herpetik pada distribusi nervus trigeminus. Sensasi

kesemutan dan abnormalitas neurologis

 Cluster headache : nyeri orbital, supraorbital, atau temporal disertai dengan

gejala otonomik dan kelemahan ipsilateral. Durasi antara 15-180 menit. Berbeda

dengan trigeminal neuralgia, nyeri pada cluster headache dapat berpindah sisi

 Primary stabbing headache : nyeri spontan seperti tertusuk-tusuk pada kulit

kepala dan tidak disertai gejala otonom

2.9 Terapi

Pilihan terapi yang dapat digunakan dalam terapi trigeminal neuralgia antara lain

terapi farmakologis dan terapi pembedahan. Terapi farmakologis yang digunakan antara lain

carbamazepine. Guidelines National Institute for Health and Care Excellence (NICE)

merekomendasikan carbamazepine sebagai terapi awal pada trigeminal neuralgia.

Mengawali dan mengakhiri terapi dengan penyesuaian dosis untuk menghindari efek

samping, antara lain reaksi Stevens-Johnson syndrome (Zakrzewska & Linskey, 2015).

Dosis carbamazepine yang digunakan yaitu 200 - 1200 mg/hari. Carbamazepine dapat

mengurangi frekuensi dan intensitas dari nyeri. Selain carbamazepine, sebagai terapi pilihan

pertama yang juga dapat digunakan adalah oxcarbazepine dengan dosis 600 - 1800

mg/hari. Oxcarbazepine sering digunakan karena memiliki tingkat toleransi yang tinggi dan

lebih jarang terjadi interaksi dengan obat lain (Montano et al., 2015).

8
Jika pasien alergi terhadap obat-obat tersebut di atas, maka direkomendasikan untuk

menggantinya dengan baclofen dan lamotrigine (Zakrzewska & Linskey, 2014). Baclofen

memiliki dosis terapeutik 40 - 80 mg/hari. Baclofen merupakan agonis reseptor GABA, yang

berfungsi untuk menurunkan neurotransmisi eksitatori. Efikasi bebas nyeri dalam lima tahun

dari obat ini hanya mencapai 30% dari keseluruhan kasus, sedangkan 17% kasus

mengalami rekurensi dalam tiga sampai enam bulan, dan 22% kasus mengalami rekurensi

dalam 18 bulan (Obermann, 2015). Sedangkan untuk lamotrigine memiliki dosis terapeutik

400 mg/hari. Lamotrigine mengeblok kanal sodium yang sensitif terhadap voltase,

menghambat pelepasan dari neurotransmiter eksitatori, dan menstabilkan membran saraf.

Dosis awal yaitu 25 mg/hari dan harus ditingkatkan secara perlahan hingga 200-400

mg/hari. Efek sampingnya antara lain mual, ataksia, dan pandangan kabur (Obermann,

2015).

Pada krisis neuralgia, terapi yang sering diberikan yaitu fenitoin, yang mana terbukti

efektif dalam meredakan nyeri dengan dosis intravena 14 mg/kgBB. Efek ini hanya

berlangsung sementara, yaitu 1-2 hari. Lidocain 8% yang diadministrasikan dalam bentuk

nasal spray juga dapat digunakan sebagai pereda nyeri sementara pada nyeri neuropatik,

setidaknya pada cabang maksilaris dari nervus trigeminus (Obermann, 2015).

Pada kasus-kasus dengan hasil terapi farmakologis yang tidak memuaskan, maka

terapi pembedahan harus dipertimbangkan sejak awal, seperti prosedur dekompresi

mikrovaskuler maupun gamma knife dapat menjadi pilihan (Leclercq, et al., 2013). Terapi

pembedahan yang menjadi pilihan pertama adalah dekompresi mikrovaskuler jika

keterlibatan neurovaskuler telah ditemukan. Prosedur ini meliputi kraniotomi dan eksplorasi

fossa posterior untuk mengidentifikasi saraf trigeminus dan pembuluh darah yang

menekannya (Muhammad et al., 2015). Dekompresi mikrovaskuler menghasilkan durasi

bebas nyeri terlama jika dibandingkan dengan teknik pembedahan lain, seperti yang

dilaporkan yaitu sekitar 73% pasien merasakan bebas nyeri yang signifikan selama lima

tahun setelah pembedahan. Komplikasi minor seperti munculnya nyeri baru maupun rasa

9
terbakar, hilangnya sensoris, dan disfungsi nervus kranialis ringan terjadi pada 2-7% kasus

(Maarbjerg et al., 2017).

Pilihan kedua dalam terapi pembedahan adalah prosedur lesioning peripheral

dengan target ganglion trigeminal, bisa secara kimia dengan blok glycerol, atau secara

mekanis dengan kompresi balon, maupun secara termis dengan radiofrequency

thermocoagulation. Pada radiosurgery atau yang sering disebut “gamma knife” ini, targetnya

adalah akar saraf trigeminus. Efikasi dari prosedur ini mencapai 50% dalam lima tahun

setelah tindakan, dengan komplikasi minor seperti hilangnya sensoris (12-50%) dan

munculnya rasa nyeri atau rasa terbakar baru (12%) (Maarbjerg et al., 2017).

2.10 Prognosis

Sekitar 73% pasien merasakan bebas nyeri tanpa pengobatan selama lima tahun

pasca operasi dekompresi mikrovaskuler. Pada pasien yang menjalani prosedur “gamma

knife” akan merasakan bebas nyeri pada 50% kasus selama lima tahun paska prosedur

(Maarbjerg et al., 2017). Sedangkan pada pasien yang menggunakan terapi farmakologis

seperti baclofen, efikasi bebas nyeri dalam lima tahun dari obat ini hanya mencapai 30%

dari keseluruhan kasus, sedangkan 17% kasus mengalami rekurensi dalam tiga sampai

enam bulan, dan 22% kasus mengalami rekurensi dalam 18 bulan (Obermann, 2015).

10
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Umur : 72 tahun
Jenis kelamin : Wanita
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Plandaan
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal Pemeriksaan : 14 November 2018

B. DATA DASAR
1. Anamnesis (Autoanamnesis)
Autoanamnesis dengan pasien di Poliklinik Neurologi RSUD Ploso tanggal 14
November 2018 pukul 12.45 WIB.
Keluhan Utama : Nyeri pada pipi kanan
a. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluhkan nyeri pada pipi sebelah kanan sejak lama konrol RSUD
Jombang, kurang lebih 1 bulan yang lalu pasien baru kontrol di RSUD Ploso.
Nyeri bersifat tajam dan kadang disertai panas. Dirasakan terus menerus kadang
membuat tidak bisa tidur. Nyeri dirasakan semakin memberat saat mengunyah dan
menggerakkan wajah. Riwayat trauma maupun herpes disangkal. Penglihatan
kabur maupun mata nrocoh juga disangkal. Jika terkena cahaya ataupun bunyi
yang keras menurut pasien tidak bertambah nyeri. Riwayat operasi cabut gigi
maupun operasi mulut yang lain tidak pernah dialami oleh pasien.

b. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi +. Riwayat sakit stroke, diabetes, jantung, ginjal disangkal.

c. Riwayat Keluarga
Tidak ada keluarga yang sakit seperti pasien.

11
2. Pemeriksaan Fisik
Glasgow coma scale : 456
Tanda vital : Nadi = 84x/menit, reguler, kuat angkat.
: RR = 20x/menit, reguler
: TD = 140/90 mmHg
: Tax = 36.5o C
KU/Kesadaran : Baik / komposmentis
Kepala : Mesocephal, bentuk dan ukuran normal
Rambut : Hitam beruban
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik(-/-),kornea jernih, pupil
bulat, isokor, refleks pupil (+/+), reflek kornea (+/+), reflek bulu
mata (+/+)
Telinga : Bentuk normal, simetris, discharge (-/-), nyeri tekan
tragus (-/-), nyeri tarik (-/-), tidak bengkak
Hidung : Simetris,sekret (-/-), epistaksis (-/-)
Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), karies dentis (+), lidah kotor (-), gusi
berdarah (-), T0-0Hiperemis (-/-), faring hiperemis(-)
Leher : Simetris, tidak ada pembesaran kelenjar limfe, kaku kuduk (-),
JVP tidak meningkat
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga V, linea midclavikula sinistra
Perkusi : Redup
Batas atas : ICS II linea parasternal kiri
Pinggang : ICS III linea parasternal kiri
Batas kiri bawah : ICS V midclavicularis kiri
Batas kanan : ICS IV linea parasternal kanan
Auskultasi : Bunyi Jantung I & II normal, Murmur (-), Gallop (-).
Paru-paru
Inspeksi : pergerakan hemithorax sinistra dan dextra simetris, tidak ada
retraksi sela iga
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru

12
Auskultasi : Suara dasar vesikuler. Suara tambahan: ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : datar, tidak ada gambaran usus ataupun vena, gerak peristaltik (-)
Auskultasi : BU (+) 6x/menit
Palpasi : supel, turgor baik, nyeri tekan (-)
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Perkusi : timpani 4 regio abdomen
Genital : tidak ada kelainan
Ekstremitas : tidak ada deformitas
Superior Inferior
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Oedem -/- -/-
Capillary refill < 2″ < 2″
Kekuatan motoric 5/5 5/5

3. Pemeriksaan Neurologis
1. Rangsang meningen
- Meningeal sign (-)
2. Gangguan Nervus Cranialis
 N I (Olfaktorius) : dbn
 N II (Optikus) : tidak dievaluasi
 N III, IV, VI (Okulomotorius, Trokhlearis, Abdusen)
- Gerak bola mata: dalam batas normal
Pupil :
- Bentuk : Bulat/Bulat
- Ukuran : 3 mm / 3 mm
- Isokor / anisokor : Isokor
- Letak : Ditengah/Ditengah
- Tepi : Rata/Rata
 N V (Trigeminus)
- Motorik :
Membuka dan menutup mulut : terbatas
Gerakan rahang : terbatas
13
Menggigit ( Palpasi ) : terbatas
- Sensorik :
Raba : Baik/Baik
Nyeri : allodinia V1-V2
- Refleks : Kornea : + / +
Maseter :+
 N.VII (fasialis): dalam batas normal
 N VIII (Vestibulokokhlearis): tidak dievaluasi
 N. IX, X (Glosofaringeus, Vagus): dalam batas normal
 N .XI (Asesorius) : dalam batas normal
 N XII (Hipoglosus) : dalam batas normal
3. Motorik
 Motorik
- Power :5|5
5|5
- Tonus : Normotonus
- Trofi : Eutrofi
4. Refleks
 Refleks Fisiologis :
- BPR : +2 / +2
- TPR : +2 / +2
- KPR : +2 / +2
- APR : +2 / +2
 Refleks Patologis :
- Babinski :-/-
- Chaddock :-/-
- Oppenheim :-/-
- Gordon :-/-
- Schaffer :-/-
- Hoffman Trommer: - / -

4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
14
Tanggal 28 November 2018
No Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Normal
1 DARAH LENGKAP
Hemoglobin 12 12-14 gr/dl
Leukosit 5.600 4000-10000 sel/mm
Diffcount
Limphosit 31 17,0-48,0 %
Midel 4 4,0-10,0 %
Granulosit 64 43,0-78,0 %
Trombosit 162.000 150.000-400.000 sel/mm
Hematokrit 38 35-45%
Eritrosit 4,6 4,0-5,0 juta/mm
MCV 82 80,0-97,0%
MCH 26 26,5-33,5%
MCHC 31 31,5-35,0%
2 Lemak
Kolesterol total 194 140-200 mg/dl
3 Gula Darah Acak 173 70-200 mg/dl

C. RESUME

Pasien datang dengan keluhan nyeri pada pipi sebelah kanan sejak kurang lebih

1 bulan yang lalu. Nyeri bersifat tajam dan kadang disertai panas. Dirasakan terus

menerus. Nyeri memberat saat mengunyah dan menggerakkan wajah. Pasien memiliki

riwayat penyakit hipertensi rutin berobat. Pada pemeriksaan fisik dalam batas normal.

Pemeriksaan neurologi pada Nervus Trigeminus pemeriksaan motorik pasien terbatas

dan pada sensoriknya didapatkan allodinia pada cabang oftalmikus dan maksilaris.

Pada pemeriksaan laboratorium darah lengkap, kolesterol total dan gula darah acak

dalam baas normal normal. Pemeriksaan penunjang berupa MRI belum dilakukan.

D. DIAGNOSIS

Diagnosis Klinis : Allodinia Nervus Trigeminus

15
Diagnosis Topis : Nervus Trigeminus cabang Oftalmikus (V1), Nervus Trigeminus
cabang Maksilaris (V2)
Diagnosis Etiologis : Trigeminal Neuralgia
Diagnosis Sekunder : Hipertensi stage 1

E. PLANNING
 Terapi
1) Non farmakologi :
- (tidak ada terapi non farmakologis)
2) Farmakologi :
- Gabapentin 2x300 mg (po)
- Vit B1 2x1 (po)
- Paracetamol 3x500 (po)
- Herbesser 1x100 mg (po)
 Edukasi
Menjelaskan diagnosis, tatalaksana, prognosis dari pasien, serta komplikasi yang
mungkin terjadi.
Tujuan pengobatan dan kemungkinan efek samping.

F. PROGNOSA
Qua ad vitam : dubia ad bonam
Qua ad sanam : dubia ad bonam
Qua ad fungsionam : dubia ad bonam

DAFTAR PUSTAKA

16
Rothman, K. J., & Monson, R. R. (2017). Epidemiology of trigeminal neuralgia. Journal of
Chronic Diseases, 26(1), 3–12. https://doi.org/10.1016/0021-9681(73)90075-1

Zakrzewska, J. M., & Linskey, M. E. (2014). Trigeminal neuralgia. Bmj, 348(feb17 9), g474–
g474. https://doi.org/10.1136/bmj.g474

Zakrzewska, J. M., & Linskey, M. E. (2015). Trigeminal neuralgia. Bmj, 350(mar12 4),
h1238–h1238. https://doi.org/10.1136/bmj.h1238

Leclercq, D., Thiebaut, J.-B., & Héran, F. (2013). Trigeminal neuralgia. Diagnostic and
Interventional Imaging, 94(10), 993–1001. https://doi.org/10.1016/j.diii.2013.08.002

Zakrzewska, J. M. (2016). Trigeminal Neuralgia : New Classification and Diagnostic Grading


for Practice and Research Trigeminal Neuralgia New Classification and Diagnostic
Grading for Practice and Research. American Academy of Neurology, 0(June).
https://doi.org/10.1212/WNL.0000000000002840

Hughes, M. A., Frederickson, A. M., Branstetter, B. F., Zhu, X., & Sekula, R. F. (2016). MRI
of the trigeminal nerve in patients with trigeminal neuralgia secondary to vascular
compression. American Journal of Roentgenology, 206(3), 595–600.
https://doi.org/10.2214/AJR.14.14156

Muhammad, G., Hussain, I., Zadran, K. K., & Bhatti, S. N. (2015). ORIGINAL ARTICLE
MICROVASCULAR DECOMPRESSION FOR TRIGEMINAL NEURALGIA
Shahbaz Ali Khan , Baynazir Khan , Abdul Aziz Khan , Ehtisham Ahmed Khan Afridi ,
Shakir, 27(3), 539–542.

Maarbjerg, S., Di Stefano, G., Bendtsen, L., & Cruccu, G. (2017). Trigeminal neuralgia -
Diagnosis and treatment. Cephalalgia, 37(7), 648–657.
https://doi.org/10.1177/0333102416687280

Obermann, M. (2015). Update on the challenges of treating trigeminal neuralgia. Orphan


Drugs: Research and Reviews, 11. https://doi.org/10.2147/ODRR.S53046

Montano, N., Conforti, G., Di Bonaventura, R., Meglio, M., Fernandez, E., & Papacci, F.
(2015). Advances in diagnosis and treatment of trigeminal neuralgia. Therapeutics and
Clinical Risk Management, 11, 289–299. https://doi.org/10.2147/TCRM.S37592

17

Anda mungkin juga menyukai