Anda di halaman 1dari 23

Referat

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA MIGRAIN

Oleh :
Kharisma Novita Sari 2210070200096
Safira Sal Sabilla 2210070200107

Preseptor :
dr. Asrizal Asril, Sp. N, M. Biomed

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN NEUROLOGI RSUD


M. NATSIR SOLOK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
BAITURRAHMAH
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas berkat
rahmat dan karunia yang diberikan-Nya, sehingga penulis telah dapat
menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul “Diagnosis dan Tatalaksana
Migrain”. Penulisan referat ini diharapkan berguna sebagai khasanah ilmu
pengetahuan khususnya dalam bidang kesehatan.
Ucapan terima kasih kepada dr. Asrizal Asril, Sp. N, M. Biomed selaku
pembimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat ini tepat
waktu demi memenuhi tugas kepaniteraan klinik. Penulis menyadari masih banyak
kesalahan baik dalam segi penyusunan, pengolahan, pemilihan kata, dan proses
pengetikan karena masih dalam tahap pembelajaran. Saran dan kritik yang
membangun tentu sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan dan perbaikan di
masa yang akan datang.
Akhir kata, semoga referat ini dapat berguna khususnya bagi penulis dan
bagi pembaca pada umumnya dalam memahami masalah yang berhubungan
dengan “Diagnosis dan Tatalaksana Migrain”.

Solok, 11 Juli 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan ........................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
1.1 Migrain ..................................................................................................... 3
1.1.1 Definisi Migrain ................................................................................ 3
1.1.2 Klasifikasi Migrain............................................................................ 3
1.1.3 Epidemiologi Migrain ....................................................................... 5
1.1.4 Etiologi dan Faktor Risiko Migrain .................................................. 6
1.1.5 Patofisiologi Migrain ........................................................................ 6
1.1.6 Manifestasi klinis Migrain .............................................................. 10
1.1.7 Diagnosis Migrain ........................................................................... 11
1.1.8 Diagnosis Banding Migrain ............................................................ 14
1.1.9 Tatalaksana Migrain ........................................................................ 14
1.1.10 Komplikasi dan Prognosis Migrain ................................................. 16
1.1.11 Edukasi dan Pencegahan Migrain ................................................... 17
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 18
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 18
3.2 Saran ....................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Migrain merupakan penyakit neurologis dengan gejala serangan nyeri kepala


yang berdenyut, umumnya unilateral, diperberat oleh aktivitas fisik, dan disertai
dengan fotofobia, fonofobia, mual, dan muntah. Kejadian migrain yang tidak
teratasi dengan baik dapat mengganggu kualitas hidup seseorang dalam menjalani
kehidupan sehari-hari.1
Secara global, kejadian migrain sangat bervariasi di berbagai wilayah dan
populasi. Berdasarkan data dari Global Burden of Disease Study tahun 2016,
migrain menjadi masalah kesehatan yang signifikan di dunia. Secara global
kejadian migrain diperkirakan sekitar 14,7% dari populasi dunia. Data terbaru
mengenai prevalensi migrain di Indonesia dapat berbeda-beda tergantung pada
penelitian yang dilakukan. Namun, beberapa studi mengindikasikan bahwa
prevalensi migrain di Indonesia berkisar antara 10-15% dari populasi. Penelitian
yang dilakukan oleh Ristya Widyastuti, dkk pada tahun 2018 melaporkan bahwa
prevalensi migrain di Indonesia adalah sekitar 12,8% dari populasi. Penelitian ini
melibatkan 2.463 responden dari berbagai wilayah di Indonesia. 2
Faktor risiko terjadinya migrain salah satunya adalah jenis kelamin, migrain
lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Perbandingan prevalensi
migrain antara wanita dan pria sekitar 3:1. Hal ini menunjukkan adanya faktor-
faktor hormonal yang dapat memengaruhi risiko terjadinya migrain pada wanita.
Serangan migrain dapat terjadi secara berulang dan paling banyak menyerang
populasi usia 22 hingga 55 tahun.3 Selain itu faktor risiko lainnya adalah gaya hidup
dan faktor psikologis.4
Migrain terjadi akibat adanya gangguan pada jaringan otak yang melibatkan
korteks, subkorteks, dan brainstem. Umumnya, migrain diawali pada bagian sentral
otak yang dapat memicu gejala prodromal neurologis klinis dan aura, kemudian
nyeri dapat timbul setelah aktivasi dari nosiseptor meningeal.3
Penatalaksanaan nyeri pada migrain dapat dilakukan dengan terapi akut, terapi
preventif, atau keduanya. Terapi preventif bertujuan untuk mengurangi frekunesi,
durasi, dan meningkatkan respon pasien terhadap terapi akut. Pasien dengan

1
serangan migrain berat dan berulang biasanya membutuhkan kedua terapi ini.1
Dalam konteks ini, penting bagi profesional kesehatan untuk meningkatkan
tatalaksana yang tepat. Tatalaksana yang adekuat dapat membantu mengurangi
risiko serangan migrain berulang melalui edukasi dan terapi pengobatan . Oleh
karena itu, informasi mengenai penatalaksanaan migrain sangat penting untuk
membantu profesional kesehatan mengetahui dan memahami diagnosis dan
tatalaksana migrain.

1.2 Tujuan Penulisan

a. Tujuan Umum
Referat ini dapat digunakan sebagai referensi dalam pembelajaran, menambah
ilmu pengetahuan agar pembaca lebih memahami tentang diagnosis dan tatalaksana
migrain.
b. Tujuan Khusus
Penulisan referat diagnosis dan tatalaksana migrain sebagai syarat kepaniteraan
klinik bagian neurologi RSUD M. Natsir Solok.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Migrain
1.1.1 Definisi Migrain
Migrain adalah penyakit neurologis kronis paroksismal yang ditandai
dengan serangan nyeri kepala sedang atau berat disertai dengan gejala neurologis
dan sistemik reversibel. Gejala yang sering tampak pada migrain antara lain
fotofobia, fonofobia, dan gejala gastrointestinal seperti mual dan muntah. Istilah
migrain refrakter digunakan untuk mendefinisikan nyeri kepala persisten yang sulit
ditangani atau tidak berespon dengan pemberian terapi standar.5

1.1.2 Klasifikasi Migrain


Teori tentang klasifikasi nyeri kepala migrain telah banyak dikemukakan.
IHS (International Headache Society) membagi migrain menjadi dua, yaitu
migrain tanpa aura dan migrain dengan aura, sedangkan berdasarkan ICHD-3
(International Classification of Headache Disorder-3) migrain dibagi menjadi tiga
tipe, yaitu migrain dengan aura, migrain tanpa aura, dan migrain kronik. 4,6

a. Migrain tanpa Aura


Migrain tanpa aura adalah tipe yang sering dijumpai, ditemukan pada
sekitar 80% dari semua pengidap migrain. Migrain tanpa aura dimulai di neuron-
neuron nosiseptif di pembuluh darah. Sinyal nyeri berjalan dari pembuluh darah
ke aferen primer dan kemudian ke ganglion trigeminus dan akhirnya mencapai
nukleus kaudalis trigeminus yang merupakan suatu daerah pengolah nyeri di
batang otak. Neuron-neuron aktif di sistem saraf pusat kemudian
mengekspresikan gen c-fos yang ditekan oleh butabarbital di dalam nukleus
kaudatus. IHS (International Headache Society) mendefinisikan migrain sebagai
paling sedikit lima kali serangan nyeri kepala seumur hidup yang memeuhi
kriteria berikut :

1) Durasi 4 sampai 72 jam apabila tidak diobati.


2) Nyeri kepala dengan paling sedikit dua dari empat gambaranberikut:
lokasi unilateral, kualitas berdenyut (pulsating).

Pasien yang mengalami migrain dengan didahului oleh aura lebih besar

3
kemungkinannya mengalami rangkaian perubahan neurobiologik selama 24 sampai
48 jam sebelum awitan nyeri kepala. Perubahan-perubahan fungsi neurologik
tersebut biasanya dimulai dan berakhir sebelum awitan nyeri kepala. Kualitas
penyebaran gejala neurologik fokal yang khas mengisyaratkan bahwa aura dengan
“spreading depression” pada korteks yang terjadi saat suatu gelombang
depolarisasi listrik berjalan melintasi korteks dan merangsang neuron-neuron
sehingga fungsi neuron-neuron tersebut terganggu dan terjadi pengaktifan
trigeminus. Spreading depression tersebut memerlukan aktivitas reseptor N-metil-
D-aspartat (NMDA) glutamat. Gejala aura yang khas mencakup perubahan
penglihatan dan sensorik abnormal lainnya seperti kilatan atau cahaya tajam atau
merasa mengecap atau membaui sesuatu, serta defisit motorik dan bicara
(afasia). Aura juga dapat bersifat somatosensorik seperti rasa baal di satu tangan
atau satu sisi wajah.3

Penggunaan kriteria IHS tidak mengharuskan semua serangan migrain


memenuhi semua karakteristik tersebut, sebagai contoh banyak migrain yang
bersifat bilateral dan tidak berdenyut. Dampak dan hendaya migrain dapat
disebabkan oleh gejala yang memang menyebabkan hendaya, dan menjadi sumber
gangguan itu sendiri selain nyeri dari serangan migrain. Banyak fungsi fisiologik
yang terganggu selama migrain, diantaranya:4

1) Gangguan pemrosesan sensorik menyebabkan disfungsi penglihatan dan


pendengaran (fotofobia dan fonofobia);

2) Gangguan motilitas gastrointestinal dapat menyebabkan mual dan muntah


serta kesulitan mengkonsumsi obat antimigrain oral;

3) Gangguan otonom dapat menimbulkan berbagai gejala seperti diare; dan

4) Gangguan serebrum dapat menyebabkan perubahan kognitif dan suasana


hati.

b. Migrain dengan Aura

Sekitar sepertiga dari individu dengan migrain mengalami aura. Aura adalah
gejala neurologis fokal sementara yang biasanya mendahulu, namun terkadang
dapat menyertai fase sakit kepala serangan migrain. Gejala indrawi terjadi pada

4
31% individu yang terkena dan biasanya dialami sebagai parestesia unilateral
dominan (kesemutan dan jarum dan/atau mati rasa) yang menyebar secara bertahap
di wajah atau lengan.4 Apabila terdapat aura, paling sedikit terdapat dua dari
karakteristik di bawah ini :6

1) Sekurangnya satu gejala aura menyebar secara bertahap ≥5 menit, dan/atau


dua atau lebih gejala secara berurutan.

2) Masing-masing gejala aura berlangsung antara 5-60 menit.

3) Setidaknya satu gejala aura unilateral.

4) Aura disertai dengan, atau diikuti oleh gejala nyeri kepala dalam waktu 60

menit.

c. Migrain Kronik

Migrain kronik didefinisikan sebagai sakit kepala ≥15 hari per bulan selama >3
bulan dan pemenuhan kriteria ICHD-3 untuk migrain ≥8 hari per bulan. migrain
kronis berkembang secara bertahap dengan serangan migrain menjadi lebih sering
dari waktu ke waktu. Sekitar 2,5 dari 100 orang dengan migrain episodik akan
mengalami migrain kronis setiap tahun.1

1.1.3 Epidemiologi Migrain

Migrain terjadi pada 17,6% wanita dan 5,7% pria. Insiden migrain
tertinggi didapatkan pada usia 15 hingga 24 tahun,dengan puncaknya pada usia
20-24 tahun pada wanita dan 15-19 tahun pada pria. Sejumlah 90% serangan
pertama terjadi sebelum usia 40 tahun. Prevalensi tertinggi didapatkkan pada usia
35 hingga 45 tahun. Pada dewasa berusia 18 hingga 59 tahun, prevalensi migrain
diperkirakan sejumlah 17 hingga 21% bergantung pada kriteria diagnosis yang
digunakan: strict migraine 8-11% dan probable migraine 9-10% (2,4,5).7

Sekitar 70% penderita migrain mengalami serangan migrain tanpa aura


(common migrain) dan 20% mengalami migrain dengan aura (classical atau focal
migrain). Prevalensi migrain dengan aura meningkat seiring dengan usia, terjadi
pada 13% serangan migrain pada penderita berusia 18-29 tahun, 20,1% pada
penderita berusia 40-49 tahun, dan 41% penderita berusia 70% atau lebih.8,9

5
1.1.4 Etiologi dan Faktor Risiko Migrain

Pada penderita migrain, terjadi peningkatan sensitivitas otak yang


berlebihan, yaitu peningkatan sensitivitas terhadap cahaya, suara, Gerakan,
penciuman, atau stimuli sensori lainnya selama periode tanpa nyeri.
Hipersensitivitas ini dipercaya diinduksi oleh respon korteks dan brainstem,
menyebabkan terjadinya habituasi defektif.8

Migrain dapat dipicu oleh beberapa factor: stres emosional (80%),


hormon pada perempuan (65%), tidak makan (57%), cuaca (53%), gangguan
tidur (50%), bau- bauan (44%), nyeri leher (38%), cahaya (38%), alkohol
(38%), asap rokok (36%), tidur larut (32%), panas (30%), makanan (27%),
olahraga (22%), aktivitas seksual (5%). Penderita dengan aura mengalami lebih
banyak pemicu dibandingkan dengan penderita tanpa aura. Beberapa faktor
pencetus pada pasien migrain dengan aura yang paling banyak adalah akibat
menstruasi pada hari pertama atau perubahan hormonal pada wanita. 8

1.1.5 Patofisiologi Migrain

Migrain disebabkan oleh gangguan jaringan otak yang kompleks dengan


riwayat genetik yang kuat melibatkan bagian korteks, subkorteks, dan brainstem
yang mempengaruhi terjadinya nyeri dan gejala lainnya.8 Organ otak umumnya
tidak dapat merasakan sensasi, namun terdapat beberapa struktur otak yang
sangat sensitive terhadap nyeri, seperti duramater, bagian intracranial trigeminal,
saraf vagus dan glossofaringeal, dan bagian proksimal dari pembuluh intracranial
yaitu cabang basilar, vertebral, dan carotid. Pada Sebagian besar kasus, migrain
terjadi diawali pada bagian sentral otak pada area otak yang dapat menyebabkan
timbulnya gejala prodromal neurologis klasik dan aura, kemudian nyeri kepala
akan terjadi setelah aktivasi dari nosiseptor meningeal pada sistem
trigeminofaskular.9
Terdapat beberapa hipotesis mengenai patofisiologi migrain. Hipotesis
vaskular oleh Harold Wolff merupakan hipotesis yang berkembang dan
mendominasi hingga tahun 1980-an. Teori ini mengasumsikan bahwa aura pada
migrain terjadi akibat hipoksemia yang diinduksi vasokonstriksi yang bersifat
transien, dan nyeri kepala disebabkan oleh rebound vasodilasi yang memicu

6
terjadinya depolarisasi mekanik neuron nosiseptif primer pada dinding vascular
intra dan ekstraserebral. Teori ini kemudian dibantah setelah Olesen dkk
menemukan bahwa nyeri pada migrain dengan aura terjadi pada kondisi
hipoperfusi setelah terjadinya hyperperfusi pada aura. Angiografi menunjukkan
adanya vasodilatasi pada arteri intra dan ekstraserebral selama serangan, spesifik
pada sisi yang mengalami nyeri kepala. Tatalaksana dengan sumatriptan
menyebabkan terjadinya vasokonstriksi pada pembuluh ekstraserebral.8

Patofisiologi migrain diduga melibatkan sistem kompleks


trigeminovaskular (TCC). TCC merupakan organ utama yang berperan dalam
memicu terhadinya nyeri kepala pada migrain. Sistem ini terdiri nucleus
caudalis trigeminal, radiks posterior segmen C1-C2 dari saraf spinal.6
Patofisiologi migrain diperkirakan melibatkan aktivasi sistem TCC melalui
depolarisasi neuron pseudounipolar yang menjalar dari ganglion trigeminal
yang menginervasi struktur meningeal dan vascular serebral, menyebabkan
aktivasi dari neuron second-order pada nucleus caudalis trigeminal (TNC) di
medulla brainstem dan radiks posterior segmen saraf spinal servikal bagian atas.
Stimulasi dari neuron first-order nosiseptif trigeminal menyebabkan terjadinya
aktivasi pola somatotopic pada aksis rostrocaudal brainstem. Neuron second-
order pada TNC dan radiks posterior servikal diregulasi oleh nucleus raphe
magnus, periaqueductal gray (PAG), trigeminal nuclei rostral, dan sistem
inhibitor cortical descending, meluas hingga nuclei dorsomedial dan
ventroposteromedial thalamus. Nyeri trigeminal juga dikaitkan dengan aktivasi
beberapa area kortikal, yaitu area insular korteks, korteks cingulatum anterior,
dan korteks somatosensory Akson perifer ganglion trigeminal melepaskan
calcitonin gene-related peptide (CGRP) pada TCC. CGRP adalah neuropeptida
yang diekspresikan pada neuron perifer dan sentral dan berperan sebagai
dilatator arteriolar cerebral yang poten dan modulator sirkuit nyeri sentral dan
perifer. Pada neuron second-order dan third-order, CGRP memainkan peran
penting dalam regulasi mekanisme nyeri sentral. Peningkatan CGRP pada
penderita migrain diduga terkait dengan penurunan mekanisme inhibitor
descending, menyebabkan sensitisasi sirkuit neuronal sentral multiple,
meningkatkan kerentanan terhadap migrain.10

7
Thalamus merupakan jalur nosiseptif dimana input dari duramater dan
area kutaneus dihantarkan melalui neuron second-order trigeminovascular.
Thalamus merupakan area sentral untuk memproses dan mengintegrasikan
stimuli nyeri, serta berhubungan dengan berbagai area korteks, seperti korteks
somatosensory, motor, visual, auditori, olfaktori, dan limbik. Hal ini
menjelaskan kompleksitas pada gejala migrain. Thalamus merupakan area
pivotal dari terjadinya hipersensitivitas sensoris terhadap stimuli visual dan
allodynia.10
Hipotalamus merupakan bagian otak yang memiliki koneksi langsung dan
tidak langsung terhadap thalamus, neuron trigeminovaskular, dan nuclei
simpatik dan parasimpatik. Penelitian menggunakan positron emission
tomography menunjukkan adanya aktivasi hipotalamik selama serangan nyeri
kepala pada migrain selama 24 jam serangan dan fase iktal, disertai dengan
gangguan konektivitas fungsional antara hypothalamus dan area pada
brainstem. Pada pemeriksaan menggunakan positron emission tomography
(PET), didapatkan adanya peningkatan aliran darah pada hypothalamus selama
fase awal serangan migrain spontan dan selama fase premonitory. Keterlibatan
hypothalamus pada migrain menjelaskan terjadinya gejala pada awal fase iktal
dan bertahan sepanjang serangan berlangsung.10 Adanya gangguan pada
hipotalamus menimbulkan gejala seperti perubahan mood, ngidam makanan,
menguap, dan kelelahan.9,10 Onset migrain diduga terkait dengan jam biologis
dan ritme sirkardian yang diatur oleh hipotalamus karena terjadi secara harian,
bulanan, atau menyesuaikan dengan pola musim, atau siklus menstruasi pada
wanita. Gangguan fisiologi tidur-bangun sebagai pemicu terjadinya migrain
memperkuat dugaan keterlibatan hypothalamus. Mekanisme dopaminergic
diduga memainkan peran, menyebabkan timbulnya gejala menguap pada
penderita migrain.10
Studi dengan MRI menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara
aktivitas hipotalamus dan kortikal selama fase premonitory. Keterlibatan
korteks oksipital, berupa hipereaktivitas, pada migrain menyebabkan timbulnya
fenomena aura visual. Imaging menggunakan PET pada penderita migrain
dengan fotofobia menunjukkan adanya hipereksitabilitas pada korteks visual.

8
Terjadinya hipereksitabilitas pada korteks terkait dengan adanya disritmia
thalamocortical. Terapi dengan TMS single-pulse dapat menekan aktivasi jalur
trigemino-thalamic sehingga dapat digunakan sebagai tatalaksana migrain fase
akut dan preventif.7

Teori lain mengenai patofisiologi migrain adalah teori neurogenic, di mana


migrain adalah gangguan otak yang melibatkan perubahan vascular akibat
aktivitas neuronal abnormal. Cortical spreading depression (CSD) merupakan
gelombang depolarisasi intense pada membrane neuronal dan glial dari gray
matter cerebral yang menyebar sepanjang otak pada velositas lambat (2-5
mm/menit). CSD diinduksi oleh peningkatan konsentrasi K+ ekstraselular
melebihi batas yang ditentukan,. Stimulasi dari reseptor glutamate subtype N-
methyl-d-aspartate dapat memicu CSD dan menimbulkan ekspansi dari
gelombang depolarisasi. Mekanisme pasti CSD menyebabkan migrain belum
diketahui. Akan tetapi, pada penderita migrain didapatkan nilai ambang terjadinya
CSD yang lebih rendah,menyebabkaan hipereksitabilitas cerebral. Dishabituasi
kortikal diduga merupakan contributor utama terjadinya deficit habituasi, sebuah
respon fisiologis di mana stimulasi berulang menyebabkan penurunan amplitude
respon sensori.8,10

CSD dapat memicu terjadinya nyeri kepala, seperti migrain tanpa aura,
dengan memicu depolarisasi pada area otak. CSD mampu menstimulasi sistem
trigeminovaskular meningeal dan memicu jalur nyeri, menyebabkan inflamasi
meningeal dan ekstravasasi plasma dengan melepaskan mediator seperti glutamat,
potasium, ion hidrogen, dan ATP, yang menyebar ke leptomeninges dan
menstimulasi nosiseptor pial. Pelepasan mediator ini memfasilitasi pelepasan
neuropeptida proinflamatori vasoaktif, di antaranya calcitonin-gene-related
peptide (CGRP), neurokinin A, dan substansi P dari saraf perifer dan cabang
aksonal dura melalui refleks aksonal, menginduksi terjadinya inflamasi steril
sebagai respons terhadap sekresi neuropeptida pada mikrovaskulatur meningeal.8
CSD diketahui menyebabkan terjadinya gejala migrain dengan aura dengan
menganggu fungsi kortikal, menyebabkan disfungsi serebrovaskular yang
berkepanjangan.7

9
Migrain juga dapat terjadi secara perifer. Nyeri kepala pada migrain timbul
dari neuron aferen primer yang menginervasi jaringan cranial yang terstimulasi,
utamanya pada meninges dan pembuluh darah besar. Stimulasi langsung dari
arteri meningeal dan sinus dural pada manusia menyebabkan terjadinya sensasi
yang serupa dengan nyeri kepala yang menyakitkan yang terlokalisasi pada
cephalic, analog dengan terjadinya migrain. Aktivasi dari neuron parasimpatik
preganglionic pada nucleus salivatory superior merupakan komponen endogen
alternatif yang diduga menginduksi terjadinya inflamasi meningeal,
menyebabkan pelepasan molekul proinflamasi dari neuron eferen parasimpatik
dari ganglion sphenopalatine. Aktivasi aferen nosiseptif yang menginervasi arteri
ekstrakranial menyebabkan terjadinya nyeri kepala berdenyut. Sumber potensial
migrain lainnya terdapat pada neuron sensoris yang menginervasi struktur
occipital otak, di antaranya otot leher.8

1.1.6 Manifestasi klinis Migrain

Suatu serangan migrain dapat menyebabkan sebagian atau seluruh tanda dan
gejala, yaitu: nyeri kepala, fotofobia, mual baik disertai muntah maupun tidak
disertai muntah. Nyeri bersifat sedang sampai berat. Kebanyakan penderita migren
merasakan nyeri hanya pada satu sisi kepala, hanya sedikit yang merasakan nyeri
pada kedua sisi kepala. Sakit kepala berdenyut atau serasa ditusuk-tusuk. Rasa
nyerinya semakin parah dengan aktivitas fisik. Saat serangan, nyeri kepala
penderita tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Keluhan juga disertai
mual dan muntah, fotofobia dan atau fonofobia.6
Apabila terdapat aura, paling sedikit terdapat dua dari karakteristik berikut,
yaitu: sekurangnya satu gejala aura menyebar secara bertahap ≥5 menit, dan/atau
dua atau lebih gejala terjadi secara berurutan. Masing-masing gejala aura
berlangsung antara 5-60 menit. Setidaknya satu gejala aura unilateral. Aura disertai
dengan, atau diikuti oleh gejala nyeri kepala dalam waktu 60 menit.6,11
Beberapa faktor merupakan pencetus terjadinya serangan migren. Faktor
tersebut adalah: menstruasi, terlambat makan, alkohol, cahaya, kurang tidur, dan
faktor psikologi. Menstruasi biasa pada hari pertama menstruasi atau sebelumnya/
perubahan hormonal. Terlambat makan menjadi pemicu serangan migren.

10
Makanan misalnya akohol, coklat, susu, keju dan buah-buahan, mengandung
MSG. Cahaya kilat atau berkelip. Banyak tidur atau kurang tidur. Faktor herediter.
Faktor psikologis: cemas, marah, sedih.6 Pada migren tidak ditemukan kelainan
baik tanda fisik maupun neurologi. Artinya, tanda fisik dan tanda vital dalam batas
normal. Demikian juga, pemeriksaan neurologis dalam batas normal. Temuan-
temuan yang abnormal menunjukkan sebab-sebab sekunder, yang memerlukan
pendekatan diagnostik dan terapi yang berbeda.11

1.1.7 Diagnosis Migrain


a) Anamnesis

Berikut tanda dan gejala yang dapat ditemukan pada pasien dengan
serangan migrain berdasarkan ICHD-3 (International Classification of
Headache Disorder- III) :4

I. Migrain dengan Aura


Pada saat anamnesis dapat ditegakkan diagnosis apabila didapati :
1) Sakit kepala berdenyut atau tertusuk-tusuk.
2) Nyeri semakin memburuk dengan akivitas fisik.
3) Tidak dapat melakukan aktivitas saat serangan nyeri muncul.
4) Disertai mual dengan atau tanpa muntah.
5) Fotofobia atau fonofobia.
6) Setidaknya didapati dua serangan dari karakteristik di bawah ini :
- Sekurangnya satu gejala aura menyebar secara bertahap selama ≥5
menit, dua atau lebih gejala aura terjadi secara berurutan.
- Masing-masing gejala aura berlangsung selama 5-60 menit.
- Setidaknya satu gejala aura unilateral.
- Aura disertai dengan nyeri kepala dalam waktu 60 menit.

II. Migrain tanpa Aura


Pada saat anamnesis dapat ditegakkan diagnosis apabila didapati :
1) Setidaknya lima serangan yang memenuhi kriteria 2-5.
2) Serangan nyeri kepala berlangsung 4-72 jam (saat tidak diobati atau

11
tidak berhasil diobati).
3) Nyeri kepala setidaknya mempunyai dua dari empat karakteristik
dibawah ini :
- Lokasi unilateral
- Sifat/ kualitas nyeri berdenyut
- Intesitas nyeri sedang atau berat
- Bertambah berat oleh aktivitas fisik atau yang membuat penderita
berusaha menghindari aktivitas fisik (berjalan atau menaiki tangga)
4) Selama nyeri berlangsung disertai oleh salah satu gejala berikut :
- Mual atau muntah
- Fotofobia dan fonofobia

III. Migrain Kronik


Pada saat anamnesis dapat ditegakkan diagnosis apabila didapati :

1) Nyeri kepala (seperti migrain atau tipe tegang) ≥ 15 hari/ bulan selama
lebih dari tiga bulan yang memenuhi kriteria 2 dan 3.
2) Serangan terjadi pada individu yang telah mengalami setidaknya lima
kali serangn yang memenuhi kriteria migrain tanpa aura dan/ migrain
dengan aura.
3) Pada jangka waktu ≥8 hari/bulan selama lebih dari 3 bulan, salah satu
karakteristik berikut didapati :
- Kriteria 3 dan 4 untuk migrain tanpa aura
- Kriteria 2 dan 3 untuk migrain dengan aura

b) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik tidak dapat secara langsung mengkonfirmasi diagnosis


migrain, karena migrain merupakan jenis nyeri kepala yang didiagnosis
berdasarkan gejala klinis dan riwayat pasien. Pemeriksaan fisik dapat
membantu menyingkirkan kemungkinan penyebab lain yang memiliki gejala
menyerupai migrain. Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan saat mencurigai
adanya migrain meliputi :4,3

12
1) Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan keseimbangan, refleks, kepekaan sensorik, penglihatan, dan
pendengaran.
2) Pemeriksaan Tanda Vital
Tekanan darah, denyut nadi, suhu tubuh untuk mengetahui kondisi umum
pasien.

c) Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis migrain memerlukan pemeriksaan penunjang seperti :1

1) Pemeriksaan laboratorium, dilakukan pemeriksaan darah rutin, elektrolit,


kadar gula darah, dll. Pemeriksaan laboratorium ini dimaksudkan untuk
menyingkirkan penyebab sekunder.

2) Pemeriksaan neuroimaging berupa CT scan kepala / MRI kepala untuk


menyingkirkan penyebab sekunder. Indikasi pemeriksaan neuroimaging :
- Sakit kepala yang pertama kalinya atau terparah seumur hidup.
- Pemeriksaan neurologis yang abnormal.
- Sakit kepala yang progresif dan persisten.
- Didapati adanya gejala neurologis yang tidak memenuhi kriteria
migrain tanpa aura atau hal yang memerlukan pemeriksaan lebih
lanjut:
- Defisit neurologis yang persisten.
- Hemikrania yang hampir selalu pada sisi yang sama dan berkaitan
dengan gejala neurologis kontralateral.
- Respon yang tidak adekuat terhadap terapi rutin.
- Gejala klinis yang tidak biasa.

13
1.1.8 Diagnosis Banding Migrain
Beberapa diagnosis banding migrain, yaitu :3
a) Glaukoma akut, yang ditandai dengan gejala pandangan mata kabur, mual,
muntah, dan tampak kelipan cahaya.
b) Benign intracranial hypertension, dengan gejala onset mendadak, mual
muntah, pusing, pandangan kabur, papil edema, palsy saraf VI dan
diperberat dengan batuk, mengejan, dan perubahan posisi.
c) Cluster headache, dengan onset mendadak, durasi menit hingga jam,
berulang dalam beberapa minggu, lakrimasi unilateral, kongesti nasal, nyeri
periorbita unilateral berat, penderita merasa gelisah selama episode
berlangsung.
d) Tension type headache, umum terjadi dengan durasi 30 menit hingga 7 jam,
bilateral, tidak berdenyut, intesitas ringan-sedang, tidak menggangu
aktivitas, dan tidak mual muntah.

1.1.9 Tatalaksana Migrain

a. Medikamentosa

Penatalaksanaan migrain bertujuan untuk menghentikan progresivitas nyeri


kepala, mengurangi intensitas dan frekuensi serangan, mengurangi disabilitas,
meningkatkan kualitas hidup, serta mencegah rekurensi. Secara umum, pilihan
penatalaksanaan migraine dibagi berdasarkan tata laksana akut abortif dan
profilaksis.4

1) Terapi Abortif Migrain

Tata laksana akut atau abortif bertujuan untuk menghentikan progresivitas


gejala dan mengurangi intensitas nyeri kepala dengan cepat. Pemberian
antimuntah pada terapi akut dapat secara oral atau per rektal untuk mengurangi
gejala mual muntah dan meningkatkan pengosongan lambung. Sedangkan
penggunaan triptan oral diberikan pada serangan migrain berat jika serangan
sebelumnya belum dapat dikendalikan dengan analgesik sederhana. 4

14
Tabel 1. Terapi Abortif Migrain4
No Golongan Obat Nama Obat Dosis
1. Analgetik dan OAINS Aspirin 500-1000 mg per 4-6 jam

Ibuprofen 400-800 mg per 6 jam


Paracetamol 500-1000 mg per 6-8 jam
untuk terapi migrain akut
ringan hingga sedang
Kalium diklofenak (powder) 50-100 mg per hari dosis
tunggal
2. Anti emetik Metoklorpamid 10 mg
Domperidon 10 mg
3. Triptan Sumatriptan 30 mg
Eletriptan 40-80 mg
Rizatriptan 10 g

2) Terapi Profilaksis Migrain


Prinsip umum pemberian terapi profilaksis : 2,4
I. Obat harus dititrasi secara perlahan hingga dosis efektif atau maksimum
untuk meminimalkan efek samping.
II. Obat harus diberikan 6 sampai 8 minggu mengikuti dosis titrasi.
III. Pilihan obat harus sesuai profil efek samping dan kondisi penyakit penyerta
pasien.
IV. Pasca 6-12 bulan, apabila profilaksis efektif, obat dihentikan secara
bertahap.
Tabel 2. Terapi Profilaksis Migrain4

No Golongan Obat Nama Obat Dosis Obat


1. Beta blocker Propanolol (lini pertama) 80-240 mg per hari

Timolol 10-15 mg, dua kali per hari


Metoprolol 45-200 mg per hari

2. Antiepilepsi Topiramat 20-200 mg per hari

Asam valproat 400-1000 mg per hari


3. Antidepresant Amitriptilin 10-75 mg

4. Antiinflamasi non- Ibuprofen 200 mg dua kali per hari


steroid

15
Pengobatan migrain dikatakan berhasil apabila bebas nyeri setelah 2 jam,
perbaikan skala nyeri, efikasi pengobatan konsisten 2-3 kali serangan, dan tidak ada
nyeri kepala yang rekuren atau berulang. Selain itu, indikasi berhasilnya
pengobatan profilaksis adalah apabila frekuensi serangan menurun setidaknya 50%
per bulan selama 3 bulan. Namun pengobatan profilaksis harus dihentikan apabila
adanya efek samping, tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan, adanya
pengurangan skala nyeri, dan pengobatan berhasil selama 6-12 bulan, maka
pengobatan profilaksis dihentikan secara tapering off.4

b. Non-Medikamentosa
Terapi non-medikamentosa dilakukan untuk terapi psikologis dan perubahan
gaya hidup. Terapi ini bertujuan untuk membantu pasien dalam menghadapi gejala
migren dan mengidentifikasi faktor pencetus timbulnya serangan nyeri kepala.
Beberapa terapi yang dapat diberikan seperti :1

I. Latihan relaksasi, digunakan untuk relaksasi otot progresif dan meditasi.


II. Biofeedback, dilakukan dengan menggunakan alat elektronik untuk
membantu pasien dalam memonitor proses psikologis yang berkaitan
dengan nyeri, seperti tegangan otot, tekanan darah, perubahan denyut
jantung.
III. Terapi perilaku kognitif, terapi psikoterapi yang berorientasi pada gejala
dan fokus pada pengendalian stress.

1.1.10 Komplikasi dan Prognosis Migrain


a. Komplikasi Migrain
Komplikasi yang dapat terjadi pada migrain adalah status migrainosus,
persistent aura without infarction, migrainous infarction, dan migrain aura-
triggeres seizure. Berdasarkan ICHD-II, migrain triggered seizures
(migralepsi) menunjukkan kejang epilepsi yang terjadi selama atau dalam satu
jam setelah migrain dengan aura. Kasus ini lebih sering terjadi pada anak-anak
dibandingkan orang dewasa. Gejala awal yang muncul akan mirip dengan
migrain, seperti mual, muntah, kemudian diikuti dengan gejala epilepsi.3

16
b. Prognosis Migrain
Migraine memiliki prognosis jangka panjang yang bervariasi pada tiap
orang. Intensitas nyeri kepala dan frekuensi serangan cenderung berkurang
seiring bertambahnya usia. Umumnya prognosis baik dan tidak meningkatkan
resiko kematian.6

1.1.11 Edukasi dan Pencegahan Migrain


Edukasi dan pencegahan yang diberikan kepada pasien dengan migrain
untuk menghindari kejadian serangan berulang, yaitu :2

1) Terapi komprehensif migrain pada terapi akut dan profilaksis,


manajemen faktor pencetus dan memperbaiki gaya hidup (self-
management).
2) Self-management migrain :
- Self-monitoring untuk mengetahui faktor yang menyebabkan
migrain.
- Mengelola faktor pencetus.
- Teknik relaksasi.
- Pengelolaan stress.
- Mempertahankan kualitas tidur yang baik.
3) Penggunaan obat akut dan profilaksis sewajarnya.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Migrain adalah penyakit neurologis yang ditandai dengan serangan nyeri


kepala sedang atau berat disertai dengan gejala neurologis dan sistemik
reversibel. Migrain dibedakan menjadi migrain dengan aura, tanpa aura,
dan migrain kronis. Migrain dapat dipicu oleh beberapa factor: stres
emosional (80%), hormon pada perempuan (65%), tidak makan (57%),
cuaca (53%), gangguan tidur (50%), bau-bauan (44%), nyeri leher (38%).
2. Serangan migren dapat menyebabkan sebagian atau seluruh tanda dan
gejala, yaitu: nyeri kepala, fotofobia, mual baik disertai muntah maupun
tidak disertai muntah. Nyeri bersifat sedang sampai berat. Kebanyakan
penderita migren merasakan nyeri hanya pada satu sisi kepala, hanya
sedikit yang merasakan nyeri pada kedua sisi kepala. Sakit kepala
berdenyut atau serasa ditusuk-tusuk. Rasa nyerinya semakin parah dengan
aktivitas fisik.
3. Penatalaksanaan medikamentosa berupa terapi abortif akut dan profilaksis
dengan untuk menghentikan progresivitas nyeri kepala, mengurangi
intensitas dan frekuensi serangan, mengurangi disabilitas, meningkatkan
kualitas hidup, serta mencegah rekurensi. Tatalaksana non-medikamentosa
berupa teknik relaksasi, biofeedback, dan terapi perilaku kognitif.
4. Edukasi yang dapat diberikan pada penderita migrain terkait dengan terapi
komprehensif migrain pada terapi akut dan profilaksis, manajemen faktor
pencetus dan memperbaiki gaya hidup (self-management), serta
pengelolaan stress.

3.2 Saran

1. Bagi rumah sakit agar dapat menyediakan layanan pemeriksaan lengkap


seperti CT Scan atau MRI agar dapat membantu dalam pemeriksaan
penunjang pasien dengan keluhan yang mengarah pada migrain.
2. Diharapkan kepada pihak yang memiliki hubungan dengan individu yang
memiliki keluhan dengan indikasi ke arah migrain agar memberikan

18
edukasi seputar migrain, yaitu tentang managemen gaya hidup dan stress,
serta menghindari faktor pencetus.
3. Pentingnya edukasi kepada pasien migrain agar mengkonsumsi obat dalam
batas wajar.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Susanti R. Migren dan Permasalahannya: Pendekatan Terapi Akut dan


Preventif. Heal Med J. 2021;4(1):62–9.
2. Diener H-C, Holle-Lee D, Nägel S, Dresler T, Gaul C, Göbel H, et al.
Treatment of migraine attacks and prevention of migraine: Guidelines by the
German Migraine and Headache Society and the German Society of
Neurology. Clin Transl Neurosci. 2019;3(1):2514183X1882337.
3. Putri Paramita Abyuda K, Nandar Kurniawan S. Complicated Migraine.
JPHV (Journal Pain, Vertigo Headache). 2021;2(2):28–33.
4. Eigenbrodt AK, Ashina H, Khan S, Diener HC, Mitsikostas DD, Sinclair AJ,
et al. Diagnosis and management of migraine in ten steps. Nat Rev Neurol.
2021;17(8):501–14.
5. D’Antona L, Matharu M. Identifying and managing refractory migraine:
Barriers and opportunities? J Headache Pain. 2019;20(1).
6. Kurniawan M, Suharjanti I, Pinzon RT, editors. Panduan Praktik Klinis
Neurologis. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia; 2016.
7. Vuralli D, Ayata C, Bolay H. Cognitive dysfunction and migraine. J
Headache Pain. 2018;19(1).
8. Lanteri-Minet M, Valade D, Géraud G, Lucas C, Donnet A. Guidelines for
the diagnosis and management of migraine in adults and children. Douleurs.
2013;14(4):165–80.
9. Burstein R, Noseda R, Borsook D. Migraine: Multiple processes, complex
pathophysiology. J Neurosci. 2015;35(17):6619–29.
10. Puledda F, Messina R, Goadsby PJ. An update on migraine: current
understanding and future directions. J Neurol. 2017;264(9):2031–9.
11. Weatherall MW. The diagnosis and treatment of chronic migraine. Ther Adv
Chronic Dis. 2015;6(3):115–23.

20

Anda mungkin juga menyukai