Anda di halaman 1dari 78

MAKALAH PATOFISIOLOGI PADA SISTEM SARAF

(POINT 7-11)

Dosen Pengampu : Dr. HENDRATNA M.T., M.Kes.

Disusun Oleh :

Kelompok 6 Kelas 22A2

DIMAS BAGUS TRIATMOJO 220205066

DINTA ANIYUL AULIANISYA 220205067

ELISA FITRI 220205068

PRODI D3 REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS DUTA BANGSA

SURAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kami haturkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan hidayahnya serta kesehatan sehingga kelompok kami dapat menyusun makalah

dengan judul “Anatomi Patofisiologi system saraf point 7-11”. Makalah ini disusun untuk

memenuhi nilai pada mata kuliah anatomi dan fisiologi yang diampu oleh dosen Dr, Hendratna

Mulja Warjaja Tedja Saputra.

Surakarta, 19 September 2023

(Penyusun)
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem saraf adalah sistem organ yang terdiri atas serabut saraf yang tersusun

atas sel-sel saraf yang saling terhubung dan esensial untuk persepsi sensoris indrawi,

aktivitas motorik volunter dan involunter organ atau jaringan tubuh, dan homeostasis

berbagai proses fisiologis tubuh. Neuralgia trigeminal adalah kondisi nyeri pada wajah

bersifat kronis yang terbatas pada area nervus trigeminal. Nyeri dideskripsikan seperti

ditusuk-tusuk, atau seperti terbakar. Neuralgia trigeminal dapat ditegakkan dengan

diagnosa klinis, namun untuk menyingkirkan Neuralgia trigeminal klasik atau

sekunder harus menggunakan modalitas CT-Scan atau MRI. Karbamazepin

merupakan obat lini pertama dalam terapi farmakologi Neuralgia trigeminal.

Rehabilitasi TENS bermanfaat dalam pengurangan dosis karbamazepin sehingga

kemungkinan timbul efek sampingnya berkurang namun tidak mengubah skala nyeri

pasien. Terapi pembedahan yang paling efektif bagi pasien Neuralgia trigeminal akibat

kompresi adalah microvascular decompression. Terapi yang adekuat untuk pasien

Neuralgia trigeminal dapat mengurangi resiko timbulnya komplikasi.


B. Rumusan Masalah

1. Patofisiologi pada serabut saraf dan pleksus?

2. Polyneuropathy dan gangguan lain pada system saraf tepi?

3. Penyakit pada myoneural junction dnan otot?

4. Cerebral Palsy dan syndroma paralytic lainnya?

5. Inflamasi mening?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Patofisiologi pada serabut saraf dan pleksus

1. Neuralgia Trigeminal (G50.0)

a. Pengertian

Neuralgia trigeminal merupakan sindrom nyeri wajah yang terjadi berulang

dan bersifat kronik dengan karakteristik sangat parah, cepat, dan seperti

tersetrum listrik. Penyebab neuralgia trigeminal sebagian besar adalah kompresi

oleh arteri atau vena yang berdekatan yang melibatkan sebagian besar dari kasus

yakni Arteri Serebelar Superior. Prevalensi neuralgia trigeminal di dunia sekitar

0,16% - 0,3% dengan isidensi meningkat seiring dengan bertambahnya usia.

Neuralgia trigeminal diklasifikasikan menjadi klasik, sekunder, dan idiopatik.

Manifestasi klinis nyeri dideskripsikan seperti ditusuk-tusuk, atau seperti

terbakar. Neuralgia trigeminal dapat ditegakkan dengan diagnosa klinis. MRI

dan/atau CT-Scan dapat dilakukan untuk melihat adanya neuralgia trigeminal

klasik atau sekunder. Karbamazepin merupakan obat lini pertama dalam terapi

farmakologi neuralgia trigeminal. Rehabilitasi TENS bermanfaat dalam

pengurangan dosis karbamazepin sehingga kemungkinan timbul efek

sampingnya berkurang namun tidak mengubah skala nyeri pasien. Terapi

pembedahan yang paling efektif bagi pasien neuralgia trigeminal akibat

kompresi adalah microvascular decompression. Terapi yang adekuat untuk

pasien neuralgia trigeminal dapat mengurangi resiko timbulnya komplikasi.


b. Etiologi

Neuralgia trigeminal merupakan gangguan pada Nervus Kranialis V atau

Trigeminal yang dimana dimulai dari pons biasanya terjadi akibat adanya

kompresi akar saraf trigeminal yang beberapa milimeter berada setelah masuk ke

pons. 80-90% kasus Neuralgia trigeminal disebabkan oleh kompresi oleh arteri

atau vena yang berdekatan yang melibatkan sebagian besar dari kasus yakni

Arteri Serebelar Superior (1). Beberapa penyebab lain yang mengakibatkan

kompresi saraf termasuk meningioma, neuroma akustik, kista epidermoid, dan

jarang disebabkan oleh malformasi arteriovenosa atau aneurisma sakular.

c. Klasifikasi

Neuralgia trigeminal menurut The International Headache Society (IHS)

diklasifikasikan berdasarkan faktor penyabab, yakni

1) Neuralgia trigeminal Klasik Tidak ada penyebab gejala yang dapat

diidentifikasikan selain dari kompresi vaskular.

2) Neuralgia trigeminal Sekunder Gejala yang disebabkan oleh penyebab lain.

3) Neuralgia trigeminal Idiopatik Penyebab gejala yang tidak diketahui,

seringkali didapatkan setelah dilakukan pemeriksaan penunjang namun

tidak ditemukan adanya lesi maupun penyakit bawaan.

d. Manifestasi Klinis

Karateristik Neuralgia trigeminal adalah episode nyeri spontan pada

wajah dalam waktu singkat. Nyeri akan terasa seperti tertusuk, tersetrum,

terbakar, tertekan, meledak, tertembak, tebal, dan yang lainnya. Terdapat 2 tipe

Neuralgia trigeminal yakni Tipe 1 dengan nyeri intermiten dan Tipe 2 dengan
nyeri konstan. Biasanya nyeri akan hilang sepenuhnya diantara setiap serangan

dan tidak akan dirasakan saat pasien tidur. Hal ini mengakibatkan setidaknya 1

dari 15.000 orang yang mengalami Neuralgia trigeminal tidak terdiagnosis.

Neuralgia trigeminal seringkali hanya melibatkan 1 divisi, dan merambat secara

perlahan ke divisi lainnya. Neuralgia trigeminal seringkali dikaitkan dengan

spasme hemifasial ipsilateral. Gejalanya adalah rasa nyeri terasa seperti tersengat

setrum, kejang atau kram, atau rasa terbakar yang terus-menerus dengan

intensitas rasa sakit yang semakin intens. Pengidap dapat merasakan sakit pada

satu titik di area wajah atau menyebar ke seluruh wajah. Area yang biasanya

merasakan sakit akibat kondisi ini adalah pipi, rahang, bibir, gusi, gigi, dan

rahang. Pada kasus yang jarang terjadi, trigeminal neuralgia dapat mengenai area

mata dan dahi. Serangan rasa nyeri semacam ini secara tiba-tiba dapat

berlangsung dalam hitungan detik hingga beberapa menit dengan jeda tanpa rasa

nyeri yang menyelingi tiap episode serangan. Serangan rasa sakit yang dibarengi

rasa panas atau perih dapat berlangsung dan terjadi lebih sering serta lama.

Kondisi ini dapat berlangsung hingga beberapa hari, minggu, bulan, atau lebih

lama lagi. Kadang-kadang, pengidap trigeminal neuralgia bisa tidak merasakan

sakit selama beberapa waktu, walaupun masih memiliki kondisi ini.

e. Diagnosis

Diagnosis Neuralgia trigeminal ditegakkan dehtah kriteria diagnosis

sebagai berikut :

1) Serangan nyeri paroksismal pada daerah wajah atau frontal yang bertahan

selama beberapa detik sampai 2 menit.


2) Nyeri harus memenuhi empat dari lima kriteria berikut: a. Distribusi satu atau

lebih daerah persarafan cabang saraf trigeminal b. Mendadak, tajam, terasa di

permukaan, seperti ditusuk-tusuk, atau seperti terbakar c. Intensitas berat d.

Berawal dari trigger zone atau karena sentuhan pemicu, seperti makan,

berbicara, mencuci wajah, atau memberishkan gigi e. Asimtomatis pada

waktu diantara serangan

3) Pola serangan sama terus atau stereotipik

4) Tidak ada defisit neurologis

5) Tidak ada penyakit terkait lain yang dapat ditemukan International

classification of headache disorders, third edition (ICHD-3) membagi kembali

menjadi Neuralgia trigeminal klasik, sekunder, dan idiopatik. Neuralgia

trigeminal klasik merupakan Neuralgia trigeminal terkait kompresi vaskular,

Neuralgia trigeminal sekunder merupakan Neuralgia trigeminal terkait

penyakit seperti tumor atau multiple sklerosis, dan Neuralgia trigeminal

idiopatik merupakan Neuralgia trigeminal yang tidak diketahui penyebabnya.

f. Diagnosis Banding

Diagnosis banding Neuralgia trigeminal yaitu

1) Nyeri dental, prevalensi sangat sering, durasi nyeri 10 – 20 menit yang

dicetuskan dengan panas, dingin, atau makanan manis, terlokalisir pada

daerah gigi. Karakteristik nyeri tajam, ditusuk – tusuk.

2) Nyeri wajah atipikal, prevalensi relatif sering, durasi nyeri intermiten atau

terus menerus, dicetuskan dengan emosional, stres, perubahan cuaca, dan

pergerakan wajah. Karakteristik nyeri ringan – sedang, berdenyut dan tajam.


3) Temporomandibular joint syndrome, prevalensi relatif sering. Durasi nyeri

intermiten, dapat berlangsung beberapa jam, dicetuskan dengan pergerakan

sendi seperti membuka lebar mulut dan trauma. Karakteristik nyeri

berdenyut dan tajam.

4) Cluster headache, prevalensi jarang, durasi nyeri 15 – 180 menit, dicetuskan

dengan vasodilator atau alkohol, terjadi pada area orbita atau supraorbita,

dan/atau temporal yang disertai dengan gejala otonom. Karakteristik nyeri

terasa panas dan menyengat.

5) Giant cell arteritis, prevalensi jarang, durasi nyeri terus – menerus,

dicetuskan dengan mengunyah, terjadi birateral pada area sekitar arteri

temporalis. Karakteristik nyeri berdenyut dan tajam.

6) Postherpetic neuralgia, prevalensi jarang, durasi nyeri terus – menerus,

alodinia taktil, terjadi pada divisi pertama nervus trigeminal. Karakteristik

tingling dengan tingkat nyeri bervariasi.

7) Glossopharyngeal neuralgia, prevalensi sangat jarang, durasi nyeri beberapa

detik hingga 2 menit, dicetuskan dengan menelan, mengunyah, dan

berbicara, terjadi pada distribusi intraoral daripada nervus glosofaringeus.

Karakteristik nyeri berat, tajam, ditusuk – tusuk, dan terbakar.

g. Tatalaksana

1) Terapi farmakologis.

a) Terapi lini pertama untuk Neuralgia trigeminal adalah obat anti-epilepsi

(OAE). Terapi OAE yang dianjurkan sebagai pilihan utama adalah

Carbamazepine. Kerja dari obat ini adalah stabilisasi sodium channel


pada kondisi tidak aktif. Carbamazepine merupakan gold standa dengan

efikasi terbaik. Efek samping obat ini adalah tiredness, dizziness, dan

penurunan konsentrasi. Cara pemberian obat ini yaitu 200 – 1200

mg/hari secara bertahap dapat ditambah hingga rasa sakit hilang atau

mulai timbul efek samping dan saat remisi, obat ini dapat dikurangi

secara bertahap. Jika pasien tidak toleran terhadap carbamazepine,

diberikan oxabazepine sebagai pilihan kedua. Dosis obat ini 600 – 3000

mg/hari dengan cara pemberian sama dengan carbamazepine.

b) Terapi lini kedua untuk Neuralgia trigeminal adalah baclogen dari

golongan gabab receptor agonist dan lamotrigine dari golongan sodium

channel inhibitor. Baclofen memiliki efek menurunkan eksisatori

neurotransmisi dan dapat digunakan sendiri atau bersamaan dengan

carbamazepine. Efek samping obat ini sama dengan carbamazepine

ditambah dengan sedatif, faintness, fatigie, dan nausea. Dosis obat ini,

yaitu 60 – 80 mg/hari. Menghentikan baclofen secara tiba – tiba akan

menimbulkan kejang dan halusinasi. Lamotrigine merupakan obat

anticonvulsant untuk tatalaksana gangguan bipolar. Obat ini memiliki

respon baik terhadap Neuralgia trigeminal pada dosis 200 – 400

mg/hari. Penggunaan obat ini dapat bersamaan dengan carbamazepine

untuk memperoleh efektivitas terapi yang lebih baik. Obat ini dapat

menyebabkan reaksi stevensjohnson syndrome.

2) Terapi non-farmakologis.
Terapi non-farmakologik yang dianjurkan untuk pasien adalah konsultasi

kepada rehabilitasi medik.

a) Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) merupakan terapi

yang bertujuan untuk rehabilitasi nyeri akut maupun kronis yang

bekerja dengan mentransmisikan listrik ke permukaan kulit yang intak

untuk mengaktivasi saraf terkait dengan tujuan mengirangi nyeri.

Berdasarkan studi, pemberian carbamazepine dan TENS sebagai terapi

tidak memberikan perubahan tingkat nyeri pada pasien, namun TENS

dapat mengurangi dosis carbamazepine ketika digunakan sebagai terapi

adjuvant.

b) Terapi bedah.

Pasien harus dikonsulkan ke bedah saraf apabila terapi farmaka

gagal disertai dengan adanya lesi sinkinesis atau penekanan nervus

trigeminus. Beberapa contoh terapi bedah, yaitu ganglio gasserian

radiofrekuensi ablasi, glycerol rhizolisis atau microvascular

decompression. Microvascular decompression merupakan terapi bedah

yang paling sering digunakan untuk Neuralgia trigeminal. Terapi ini

ditujukan pada penderita Neuralgia trigeminal dengan kompresi nervus

trigeminal. Terapi ini melibatkan prosedur kraniotomi dan eksplorasi

fossa posterior untuk mengidentifikasi dan memindahkan pembuluh

darah yang menekan nervus trigeminal. Prosedur akan dilanjutkan

dengan pemasangan bantalan lembut diantara nervus trigeminal dan

pembuluh darah terkait. Beberapa pasien menunjukkan manfaat terapi


ini yaitu pain relief lebih dari 10 tahun sehingga terapi ini menjadi

terapi paling efektif untuk jangka panjang pada pasien Neuralgia

trigeminal akibat kompresi.

c) Edukasi.

Edukasi yang tepat untuk pasien Neuralgia trigeminal, yaitu

menjelaskan tentang penyakit ini bahwa dapat mengalami eksaserbasi

dan menjelaskan gejalanya sehingga mengetahui kapan harus

kunjungan ke dokter. Prognosis Neuralgia trigeminal bukan merupakan

kondisi yang mengancam jiwa. Namun dapat berakibat pada disabilitas

seumur hidup. Beberapa pasien dapat mengalami episode hingga

beberapa minggu atau bulan, yang diikuti dengan interval bebas nyeri.

Beberapa pasien juga memiliki saat ketika nyeri menjadi lebih buruk

dengan memendeknya interval bebas nyeri. Efektivitas dosis obat juga

dapat berkurang seiring waktu.

h. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Penunjang Pencitraan neuroimaging seperti Computed

tommographic Scan (CT-Scan) kepala atau Magnetic resonance imaging (MRI)

Otak berguna untuk mengidentifikasi penyebab Neuralgia trigeminal utamanya

klasik atau sekunder. Pencitraan CT-Scan atau MRI berguna untuk mencari

penyebab seperti cerebellopontine angle tumor atau multipel sklerosis yang

menyebabkan Neuralgia trigeminal sekunder. Magnetic resonance imaging dapat

menampilkan keseluruhan dari nervus trigemius dan mendeteksi kompresi

vaskular yang dapat menyebabkan Neuralgia trigeminal klasik.


i. Komplikasi

Komplikasi yang ditimbulkan , yaitu

1. Nyeri berat pada Neuralgia trigeminal dapat menyebabkan perkembangan

depresi pada pasien jika tidak ditatalaksana adekuat

2. Pasien dengan nyeri berat dengan kedutan wajah akan menyebabkan social

withdraw karena malu dan takut

3. Pasien dengan terapi obat antikonvulsan jangka panjang menyebabkan efek

obat yang merugikan

4. Beberapa pasien akan mengalami kesemutan permanen pada wajag

5. Beberapa pasien akan mengalami corneal anesthesia dan jaw weakness

6. Beberapa pasien akan mengalami anestesia dolorosa yang menimbulkan

disabilitas lebih buruk dibandingkan Neuralgia trigeminal

2. BELL’S PALSY (G51.0)

a. Pengertian

Bell’s palsy merupakan kelainan paling banyak yang mengenai saraf fasialis.

Bell’s palsy memiliki ciri khas kelemahan wajah sesisi/unilateral yang terjadi

tiba-tiba dan cepat, sering dalam beberapa jam. Sampai saat ini, etiologi bell’s

palsy masih belum jelas, sehingga diperlukan studi pustaka untuk membahasnya.

Bell’s palsy didiagnosis secara klinis, yaitu ditemukannya paralisis fasialis tipe

LMN akut, mengenai otot wajah atas dan bawah, yang mencapai puncaknya

dalam 72 jam.

b. Etiologi
Terdapat lima teori utama yang dianggap menjadi penyebab bell’s palsy

yaitu struktur anatomi, infeksi virus, iskemia, inflamasi dan stimulasi dingin.

Penelitian pada nervus fasialis didapatkan penampang lintang yang lebih besar

pada pasien bell’s palsy dibandingkan normal, sedangkan penampang lintang

kanalis auditori internal didapatkan lebih kecil pada bell’s palsy dibandingkan

normal. Adanya reaktivasi HSV-1 terutama di sekitar ganglion genikulatum

berhubungan dengan bell’s palsy. Hubungan ini didukung oleh ditemukannya

DNA HSV-1 pada spesimen klinis (cairan endoneural saraf fasialis intra

temporal) pada pasien bell’s palsy dan adanya kemampuan HSV-1 yang dapat

menyebabkan paralisis saraf. Kelumpuhan saraf fasialis juga disaksikan terjadi

setelah embolisasi fistula arterivena atau vena serebri. Pada paralisis fasialis

terlihat edema nervus fasialis dan ditemukan dilatasi saraf sebesar 12-32%. Pada

bell’s palsy terjadi perubahan histologi saraf fasialis yaitu saraf dari meatus

akustikus internal sampai foramen stylomastoideus diinfiltrasi oleh sel inflamasi,

terjadi pemecahan selaput mielin yang melibatkan makrofag dan terdapat

peningkatan ruang antar neuron. Akhir-akhir ini juga ditemukan bahwa terdapat

peningkatan rasio neutrofil limfosit pada pasien bell’s palsy dewasa dan anak.

Selain itu juga terdapat peningkatan konsentrasi sitokin interleukin-6,

interleukin-1 dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-α). Pada penelitian yang

mengevaluasi faktor meteorologi dan insidensi bell’s palsy didapatkan bahwa

angin dengan kecepatan yang tinggi berhubungan dengan terjadinya bell’s palsy.

c. Patofisiologi
Mekanisme bell’s palsy masih diperdebatkan selama bertahun-tahun. Pada

observasi post mortem kasus bell’s palsy didapatkan patofisiologi yang

mendasari adalah distensi vaskuler, inflamasi dan edema dengan iskemia saraf

fasialis. Beberapa teori diajukan untuk bell’s palsy, salah satunya bell’s palsy

sebagai penyakit demielinisasi akut, yang memiliki kemiripan dengan sindrom

guaillainbarre. Diduga keduanya menunjukkan neuritis inflamasi demielinisasi,

bell’s palsy dianggap varian mononeuritik dari sindrom guaillain-barre.

Berdasarkan laporan akhir-akhir ini, kemungkinan penyebab bell’s palsy karena

reaktivasi infeksi virus herpes di ganglia genikulatum yang selanjutnya

bermigrasi ke saraf fasialis. Virus herpes simpleks ini memediasi terjadinya

inflamasi sehingga menyebabkan penekanan saraf dan terjadinya gejala klinis

seperti paralisis fasialis.

d. Gejala Klinis

Bell’s palsy memiliki ciri khas kelemahan wajah sesisi/unilateral yang

terjadi tiba-tiba dan cepat, sering dalam beberapa jam. Pasien juga bisa

mengeluhkan kelopak mata ipsilateral terjatuh/menutup, ketidakmampuan

menutup mata dengan sempurna, mata kering karena tidak bisa menutup mata

sempurna, keluarnya air mata berlebihan (epifora), sudut mulut terjatuh,

gangguan/hilangnya sensasi perasa ipsilateral, kesulitan mengunyah disebabkan

kelemahan otot ipsilateral yang menyebabkan makanan terperangkap di mulut

yang terkena, menetesnya air liur, perubahan sensasi di wajah yang terkena,

nyeri di dalam atau belakang telinga, peningkatan sensitivitas terhadap suara

(hiperakusis) pada sisi yang sakit jika mengenai otot stapedius.


e. Diagnosis

Bell’s palsy didiagnosis secara klinis. Ciri yang ditemukan adalah paralisis

fasialis tipe LMN akut, mengenai otot wajah atas dan bawah, yang mencapai

puncaknya dalam 72 jam. Skala House Brackmann merupakan alat yang

digunakan untuk mendokumentasikan derajat paralisis fasialis dan untuk

memprediksi kemungkinan kesembuhan nya. Skala ini menilai gambaran wajah

dan kesimetrisannya dalam kondisi istirahat dan bergerak. Pasien yang masih

bisa menggerakkan wajahnya dan memiliki paralisis tidak komplit, memiliki

kesembuhan yang bagus. Pasien dengan skala 6 House Brackmann memiliki

kesembuhan yang lama atau tidak komplit. Skala House Brackmann ini

digunakan dan diterima secara luas

Skala House-Brackmann I sampai VI :

1) Grade I menunjukkan fungsi nervus fasial normal.

2) Grade II terjadi disfungsi ringan. Cirinya adalah:

a) Terdapat kelemahan ringan saat inspeksi

b) Dapat terjadi sinkinesis ringan

c) Saat istirahat didapatkan normal simetris

d) Terdapat gerakan dahi sedikit

e) Dapat menutup mata sempurna dengan sedikit usaha

f) Ditemukan asimetri mulut sedikit

3) Grade III menunjukkan disfungsi moderat, dengan ciri:

a) Terlihat asimetri kedua sisi dengan jelas dan sedikit kelemahan

b) Terdapat sinkinesis, bisa ditemukan kontraktur atau spasme hemifasial


c) Saat istirahat terlihat simetris normal

d) Terdapat gerakan dahi sedikit sampai sedang

e) Dapat menutup mata sempurna dengan usaha

f) Gerakan mulut sedikit lemah dengan usaha maksimal

4) Grade IV menunjukkan disfungsi moderat sampai berat, dengan ciri:

a) Terlihat jelas kelemahan dan asimetri

b) Saat istirahat terlihat simetris normal

c) Gerakan dahi tidak ada

d) Mata tidak bisa menutup dengan sempurna

e) Terdapat asimetris mulut dengan usaha maksimal

5) Grade V menunjukkan disfungsi berat. Cirinya adalah:

a) Hanya dapat melakukan sedikit gerakan

b) Saat istirahat terdapat asimetri

c) Tidak ada gerakan pada dahi

d) Mata menutup dengan tidak sempurna

e) Didapatkan sedikit gerakan mulut

6) Grade VI menunjukkan paralisis total. Cirinya adalah:

a) Terdapat asimetris yang luas

b) Tidak adanya gerakan

f. Penatalaksanaan

1) Steroid
Mekanisme bell’s palsy yaitu adanya inflamasi dan edema yang

menyebabkan kompresi saraf fasialis yang berjalan melalui kanalis fallopian

(fasialis). Agen antiinflamasi kuat seperti kortikosteroid oral, memiliki

target inflamasi yang bisa menurunkan edema dan memfasilitasi kembalinya

fungsi saraf fasialis (Baugh et al., 2013). Terdapat bukti sedang sampai

tinggi dari penelitian kontrol acak yang menunjukkan keuntungan

memberikan kortikosteroid pada bell’s palsy. Panduan AAOHNS untuk

diagnosis dan terapi bell’s palsy, penggunaan steroid sangat

direkomendasikan pada bell’s palsy dalam 72 jam setelah onset. American

Academy of Neurology (AAN) juga merekomendasikan pemberian steroid

pada pasien bell’s palsy (level A, kelas 1), steroid memiliki keefektifan yang

tinggi dan sebaiknya diberikan untuk meningkatkan probabilitas

kesembuhan. Dosis kortikosteroid (Prednison) yaitu: 1 mg/kgBB atau 60

mg/hari selama 6 hari, diikuti penurunan bertahap, dengan total pemberian

selama 10 hari.

2) Antiviral

Terdapat bukti yang jelas bahwa terapi antiviral saja tidak lebih baik

daripada plasebo untuk perbaikan saraf fasialis pada bell’s palsy. Terapi

antiviral saja (acyclovir atau valacyclovir) tidak direkomendasikan untuk

bell’s palsy karena kurangnya keefektifan obat, tingginya biaya yang

dikeluarkan dan kemungkinan efek samping yang akan terjadi. Panduan

AAO-HNS merekomendasikan pemberian terapi antiviral ditambah steroid

oral dalam 72 jam onset gejala bell’s palsy. Begitu pula dengan AAN
merekomendasikan pemberian antiviral ditambah steroid pada onset awal

bell’s palsy dapat meningkatkan probabilitas kesembuhan fungsi saraf

fasialis (Level C). Pada panduan praktik klinis (PPK) neurologi pemberian

asiklovir yaitu dosis 400 mg oral 5 kali sehari selama 10 hari dan jika

dicurigai virus varicella zoster, pemberian dosis menjadi 800 mg oral 5

kali/hari.

3) Perawatan mata

Perawatan mata pada lagoftalmos bisa menggunakan air mata artifisial,

humidifying cover, implan kelopak mata dan toxin botulinum. Pada PPK

neurologi direkomendasikan pemberian lubrikan okular topikal (air mata

artifisial pada siang hari) sehingga dapat mencegah corneal exposure.

3. CEDERA BRACHIAL PLEXUS (G54.0)

a. Pengertian

Brachial plexus dapat menimpa orang dewasa hingga bayi. Cedera

brachial plexus adalah kerusakan yang terjadi pada jaringan saraf brachial

plexus, akibat saraf yang tertekan, tertarik, robek, atau putus. Brachial plexus

merupakan sekelompok jaringan saraf yang saling bertautan dan berada di

leher, dada bagian atas, dan ketiak. Kelompok jaringan tersebut tersusun atas

lima saraf yang memiliki fungsi berbeda-beda.Fungsi saraf tersebut berperan

dalam pergerakan dan sensor tangan, lengan, serta bahu. Cedera pada suatu

saraf akan menghasilkan efek yang berbeda dengan cedera pada saraf

lainya.Cedera brachial plexus tingkat ringan, umum terjadi pada atlet


olahraga yang banyak melibatkan adu badan antarpemain, seperti gulat atau

bisbol. Namun brachial plexus pada bayi juga dapat terjadi saat proses

kelahiran.Sementara itu, cedera brachial plexus tingkat berat biasanya dialami

oleh korban kecelakaan kendaraan bermotor. Lebih lanjut, ada beberapa jenis

cedera brachial plexus, yaitu:

1) Brachial plexus neuropraxia

Kondisi ini terjadi saat saraf meregang hingga menimbulkan

cedera. Ada dua penyebab utama kondisi ini terjadi, yaitu karena tekanan

dan tarikan. Brachial plexus karena tekanan biasa terjadi pada orang yang

lebih tua, sedangkan yang disebabkan oleh tarikan, sering dialami anak

muda.

2) Brachial plexus rupture (sobek)

Kondisi ini terjadi saat saraf meregang sampai robek. Robekan

tersebut dapat terjadi pada sebagian atau seluruh saraf. Kondisi ini lebih

parah dibanding brachial plexus neuropraxia, karena sobeknya jaringan

saraf dapat menyebabkan otot-otot tertentu tak dapat digunakan. Kondisi

ini lebih sering diobati melalui operasi.

3) Brachial plexus neuroma

Kadang-kadang saat jaringan saraf cedera, misalnya saat luka

karena operasi, jaringan luka dapat terbentuk ketika saraf sedang dalam

proses penyembuhan. Jaringan luka tadi disebut neuroma, dan dapat

menyebabkan saraf kusut yang menghasilkan rasa sakit pada salah satu
jaringan saraf brachial plexus. Kondisi ini sering ditangani lewat operasi,

ketika jaringan saraf yang luka akan diangkat.

4) Brachial neuritis

Kondisi ini disebut juga sindrom Parsonage Turner. Brachial

neuritis merupakan kondisi yang langka terjadi dan dapat mengakibatkan

munculnya rasa sakit pada bahu dan lengan bagian atas. Rasa sakit ini

kemudian akan membuat otot melemah dan kehilangan massa otot,

Sindrom ini biasanya juga menyebar pada kaki dan diafragma (rongga

dada). Penyebabnya tidak diketahui secara pasti, tapi kemungkinan

berkaitan dengan respons autoimun yang dipicu oleh infeksi, cedera,

kelahiran, atau faktor lain.

5) Brachial plexus avulsion

Kondisi ini terjadi saat urat saraf terpisah secara utuh dari saraf

tulang belakang. Cedera ini biasanya disebabkan oleh benturan karena

kecelakaan. Kondisi ini dapat menimbulkan rasa sakit yang amat sangat.

Terpisahnya urat saraf dari saraf tulang belakang merupakan hal yang

amat sangat sulit disembuhkan. Kondisi ini biasanya berujung pada

kelumpuhan atau hilangnya sensasi pada otot secara permanen.

b. Etiologi

Cedera lahir pleksus brakialis diduga disebabkan oleh cedera yang

mengenai pleksus brakialis anak saat proses persalinan. Cedera ini dapat

mengakibatkan tidak lengkapnya fungsi sensorik dan/atau motorik pada

lengan yang terkena. Berdasarkan penelitian kami yang dipublikasikan,


cedera pleksus brakialis ditemukan terjadi pada 1,5 dari setiap 1.000

kelahiran hidup. Cedera pleksus brakialis traumatis dapat terjadi karena

kecelakaan kendaraan bermotor, kecelakaan sepeda, kecelakaan ATV,

olahraga, dll. Cedera saraf memiliki tingkat keparahan yang bervariasi, mulai

dari regangan ringan hingga akar saraf yang terlepas dari sumsum tulang

belakang.

Gejala Cedera Pleksus Brakialis :

1) Pola kelemahan otot atau kelumpuhan pada ekstremitas atas yang terlibat

tergantung pada saraf pleksus brakialis mana yang terlibat.

2) Penurunan sensasi (perasaan) pada ekstremitas atas yang terlibat.

3) Nyeri

c. Faktor Resiko Cedera Lahir Pleksus Brankialis

1) Distosia bahu (bahu bayi dibatasi pada panggul ibu)

2) Diabetes ibu

3) Ukuran kehamilan yang besar

4) Persalinan yang sulit membutuhkan bantuan eksternal

5) Persalinan berkepanjangan

6) Presentasi bokong saat lahir

7) Lebih dari separuh cedera pleksus brakialis tidak diketahui faktor

risikonya

8) Kelumpuhan Erb, Saraf C5, C6 dan terkadang C7 terlibat sering

datang dengan lengan lurus dan pergelangan tangan ditekuk

sepenuhnya (ujung pelayan) Mungkin memiliki fungsi tangan yang


baik tetapi gerakan lengannya tidak penuh mungkin mengalami

ketidakstabilan sendi bahu. Sering muncul dengan otot bisep dan

deltoid yang lemah (tidak mampu menekuk siku atau mengangkat

lengan di bahu) mencakup sekitar 75% dari seluruh cedera pleksus

brakialis

9) Kelumpuhan Global

Kelima saraf pleksus brakialis terlibat (C5-T1) hadir tanpa gerakan di

bahu, lengan, atau tangan, mungkin tidak ada sensasi di seluruh

lengan.

10) Sindrom Horner

Akibat kerusakan saraf yang mempengaruhi mata termasuk

penyempitan pupil (miosis) dan mata terkulai (ptosis) kadang-kadang

terlihat dengan avulsi akar saraf pada pleksus brakialis

d. Tatalaksana

1) Pembedahan untuk Cedera Pleksus Brakialis

Jangka waktu perbaikan bedah merupakan faktor penting dalam

pemulihan. Dalam waktu 18 bulan, otot-otot yang belum terhubung ke

saraf mungkin telah melemah hingga tidak memungkinkan lagi.

Untuk cedera avulsi dan ruptur, tidak ada potensi pemulihan penuh

kecuali perbaikan bedah dilakukan tepat waktu. Untuk cedera neuroma

dan neurapraxia, potensi perbaikannya bervariasi. Kebanyakan pasien

dengan cedera neurapraxia memiliki prognosis yang cukup baik yaitu

pulih secara spontan dengan kembalinya fungsi sebesar 90-100%.


Jika pembedahan diperlukan, perbaikan saraf mikro dapat dilakukan

paling cepat tiga bulan setelah cedera. Perbaikan saraf primer biasanya

selesai sekitar usia enam bulan setelah cedera.

e. Pemeriksaan Penunjang

1) Electromyography (EMG).

Prosedur ini melibatkan pemasukan jarum ke dalam otot untuk

mengevaluasi aktivitas listrik dalam otot tersebut ketika berkontraksi dan

beristirahat. Prosedur ini mungkin terasa sedikit sakit, namun mereda

setelahnya.

2) Tes konduksi saraf, yang biasanya dilakukan dalam rangkaian tes EMG.

Tes ini dilakukan unuk mengamati kecepatan konduksi saraf ketika

dialiri listrik. Informasi ini dapat memberi tahu dokter seberapa baik

saraf Anda bekerja.

3) Magnetic resonance imaging (MRI).

Tes ini dapat memberi tahu dokter seberapa parah cedera telah terjadi

sekaligus kondisi arteri utama yang penting dalam lengan.

4) Computerized tomography (CT) myelography.

Tes ini menggunakan sinar X-ray untuk memindai gambaran detail

mengenai tulang belakang dan akar-akar sarafnya. CT scan biasanya

dilakukan ketika MRI tidak memberikan hasil yang optimal.

5) Angiogram
Tes pemindaian menggunakan cairan pewarna khusus yang disuntikkan

ke pembuluh darah untuk mengecek kondisi pembuluh darah tersebut.

Informasi ini penting untuk dokter menentukan perencanaan operasi.

4. DIABETIC NEUROPATHY PAIN (E15-E16+ G63.3*)

a. Pengertian

Diabetes melitus adalah sindrom yang ditandai oleh bermacam presentasi

klinis dan komplikasi. Salah satunya yakni komplikasi mikrovaskuler kronis,

diabetik neuropatik . Diabetik neuropatik adalah entitas heterogenik, yang

meliputi kondisi disfungsi sensorimotor perifer dan saraf otonom. Walau

diabetik neuropatik mungkin bersifat asimtomatik, namun dapat pula terjadi

dengan diiringi nyeri. Kondisi diabetik neuropatik semacam itu disebut

dengan nyeri diabetik neuropatik. Gejala dari nyeri diabetik neuropatik

dideskripsikan bermacam-macam, yaitu termasuk rasa terbakar yang

intermiten atau kontinyu, tertusuk, kesemutan, dan mati rasa, sensasi panas,

dingin, atau gatal. Gejala berkembang dalam distribusi distal ke proksimal,

umumnya dimulai dari kaki. Diabetik neuropatik merupakan diagnosis

pengecualian, dan diagnosis diabetik neuropatik menyiratkan penyebab lain

dari neuropati telah dikecualikan. Penyebab umum neuropati yang harus

disingkirkan sebelum diagnosis DN dibuat termasuk alkohol, defisiensi

vitamin B12, kemoterapi neurotoksik, hipotiroidisme, penyakit ginjal,

malignansi, infeksi seperti HIV, chronic inflammatory demyelinating

neuropathy, neuropati turunan, dan vaskulitis.


b. Epidemiologi

Nyeri neuropatik berdampak besar pada kualitas hidup pasien, terutama

dengan menyebabkan gangguan yang cukup besar pada tidur, aktivitas sehari-

hari, dan kenikmatan hidup. Nyeri neuropatik kronis terjadi pada 13-26%

pasien diabetes. Dalam sebuah survei terbaru dari Augsburg, Jerman,

prevalensi polineuropati yang menyakitkan ditemukan 13,3% pada subjek

diabetes, 8,7% pada individu dengan gangguan toleransi glukosa, 4,2% pada

individu dengan gangguan glukosa puasa, dan 1,2% pada individu dengan

toleransi glukosa normal. Faktor independen yang secara signifikan terkait

dengan nyeri diabetik neuropatik (DPN) adalah usia, berat badan, dan

penyakit arteri perifer.

c. Manifestasi Klinis

Pasien dengan neuropati diabetik yang menyakitkan secara khas datang

dengan keluhan kesemutan, mati rasa, rasa terbakar, jenis nyeri seperti

menusuk yang menyiksa, kadangkadang tidak dapat mereda dan mungkin

berhubungan dengan paresthesia dan hiperestesia ditambah dengan rasa sakit

yang dalam di kaki atau tangan. Kondisi ini biasanya merupakan jenis

neuropati sensorimotor distal simetris. Karakteristik klinis lainnya adalah

karena keterlibatan dari nerve fiber kecil dan besar (sensorimotor campuran).

Pada awalnya, bagian paling distal dari ekstremitas yang terkena,

menyebabkan hilangnya sensorik dengan bentukan glove and stocking yang

khas, yang menunjukkan keterlibatan serabut saraf terpanjang. Hilangnya

sensorik diikuti dengan keterlibatan tungkai atas bagian distal, aspek anterior
batang tubuh, dan kemudian puncak kepala. Secara keseluruhan terjadi

gangguan sensasi raba ringan, kepekaan terhadap tekanan dan getaran, serta

proprioseptif sendi. Gejala biasanya muncul pada malam hari dan secara

keseluruhan mempengaruhi kualitas hidup individu termasuk mobilitas,

pekerjaan, tidur, suasana hati, harga diri, rekreasi dan aktivitas social

d. Faktor Resiko

Durasi diabetes dan kadar hemoglobin A1c (HbA1c) (pengukuran glikasi

hemoglobin sebagai pengganti rata-rata kadar glukosa harian) adalah

prediktor utama diabetik neuropatik (8). Kedua prediktor ini umumnya

diasosiasikan dengan faktor metabolik lain yang terkait dengan diabetik

neuropatik, terutama pada diabetes tipe 2, seperti resistensi insulin dan

hipertensi. Obesitas sering terjadi pada pasien dengan neuropati dalam

penelitian berbasis populasi di banyak negara, termasuk Amerika Serikat,

Denmark, Cina, dan Belanda (9). Tidak berkaitan dengan tingkat HbA1c,

jumlah komponen sindrom metabolik, seperti hipertrigliseridemia, hipertensi,

obesitas, dan kadar lipoprotein densitas tinggi rendah (HDL), secara

konsisten dikaitkan dengan neuropati diabetik pada pasien dengan diabetes

tipe 2 dan dalam beberapa kelompok diabetes tipe 1. Faktor risiko independen

lain untuk perkembangan diabetik neuropatik termasuk merokok,

penyalahgunaan alkohol, dan usia yang lebih tua (10). Beberapa gen dapat

berkaitan dengan kondisi diabetik neuropatik, tetapi sejauh ini hanya ACE

(angiotensinconverting enzyme) dan MTHFR (methylenetetrahydrofolate

reductase) yang polimorfisme telah dipelajari dalam banyak populasi


termasuk kelompok besar. Namun dibutuhkan lebih banyak penelitian untuk

lebih memahami peran genetika dalam perkembangan diabetik neuropatik

e. Diagnosa

Untuk diagnosis diabetik neuropatik, pemeriksaan bedsite harus mencakup

penilaian kekuatan otot, sensasi tusuk jarum, posisi sendi, sentuhan, dan suhu

(11). Tes getaran sebaiknya dilakukan dengan garpu tala berukuran 128 Hz.

Untuk sensasi sentuhan, direkomendasikan dengan filamen mono 1 g.

Pemeriksaan sensorik harus dilakukan pada tangan dan kaki secara bilateral.

Pada usia tua (> 70 tahun) getaran dan refleks pergelangan kaki dapat

berkurang secara normal dan dianggap abnormal jika tidak ada daripada

berkurang pada pasien dengan diabetik neuropatik. Tes sensorik kuantitatif

dapat digunakan sebagai tes tambahan tetapi tidak direkomendasikan untuk

praktik klinis rutin. Tes fungsi otonom yang biasa digunakan untuk diabetes

mellitus didasarkan pada tekanan darah dan respons detak jantung terhadap

serangkaian manuver. Tes khusus digunakan untuk mengevaluasi fungsi

gastrointestinal, genitourinari, sudomotor, dan aliran darah kulit tepi (12).

Biopsi saraf mungkin berguna untuk menyingkirkan penyebab lain dari

neuropati. Biopsi kulit telah digunakan ketika semua tindakan lain negatif

dalam diagnosis neuropati serat kecil untuk kuantifikasi produk gen protein,

yang merupakan penanda panaksonal. Diabetes sebagai penyebab neuropati

didiagnosis dengan mengesampingkan penyebab lain pada pasien yang hadir

dengan kaki yang nyeri dan memiliki gangguan tes toleransi glukosa. Baru

baru ini penggunaan mikroskopi kornea confocal dalam penilaian


polineuropati diabetik telah dilaporkan. Dalam mikroskop confocal, kornea

dipindai dan gambar dari lapisan Bowman yang mengandung pleksus saraf

yang kaya diperiksa untuk dinilai kepadatan, panjang nerve fiber, dan

kepadatan cabang. Parameter ini berkurang secara signifikan dalam diabetik

neuropatik dan berkorelasi dengan tingkat keparahan neuropati. Karena

sifatnya yang noninvasif, mikroskop confocal mungkin memiliki potensi

besar dalam menilai struktur saraf in vivo tanpa perlu biopsi saraf.

f. Tanda dan Gejala

Gejala Neuropati Diabetik

Gejala penyakit tergantung pada jenis yang dialami dan saraf mana yang

terkena. Gejala berkembang secara bertahap dan umumnya tidak tampak

sampai terjadi kerusakan saraf yang signifikan. Berikut ini gejala penyakit

sesuai dengan jenisnya:

1) Neuropati Perifer

Jenis neuropati ini disebut dengan neuropati perifer simetris distal.

Kondisi ini memengaruhi kaki dan tungkai, kemudian diikuti oleh tangan

dan lengan. Gejalanya termasuk:

a) Mati rasa atau berkurangnya kemampuan untuk merasakan sakit atau

perubahan suhu.

b) Perasaan kesemutan atau terbakar

c) Nyeri tajam atau kram.

d) Kelemahan otot.

e) Sensitivitas yang ekstrem terhadap sentuhan.


f) Masalah kaki serius, seperti bisul, infeksi, dan kerusakan tulang serta

sendi.

2) Neuropati Otonom

Sistem saraf otonom mengontrol tekanan darah, detak jantung,

keringat, mata, kandung kemih, sistem pencernaan, dan organ seks.

Diabetes dapat mempengaruhi saraf di salah satu area ini dan memicu

munculnya gejala, seperti:

a) Kurangnya kesadaran bahwa kadar gula darah rendah.

b) Penurunan tekanan darah saat bangun dari duduk atau berbaring,

sehingga menyebabkan pusing atau pingsan.

c) Masalah kandung kemih atau usus.

d) Keterlambatan pengosongan lambung, sehingga memicu mual,

muntah, sensasi perut penuh, dan kehilangan nafsu makan

e) Kesulitan menelan.

f) Perubahan cara mata menyesuaikan diri dari terang ke gelap atau jauh

ke dekat.

g) Masalah dengan respons seksual, seperti kekeringan vagina pada

wanita dan disfungsi ereksi pada pria.

3) Neuropati Proksimal (Poliradikulopati Diabetik)

Jenis neuropati ini mempengaruhi saraf di paha, pinggul, bokong, atau

kaki. Neuropati proksimal juga dapat memengaruhi daerah perut dan

dada. Gejala biasanya terjadi pada satu sisi tubuh, tetapi dapat menyebar

ke sisi lain. Gejalanya termasuk:


a) Sakit parah di pantat, pinggul atau paha.

b) Otot paha melemah dan mengecil.

c) Kesulitan bangkit dari posisi duduk.

d) Nyeri dada atau dinding perut.

4) Mononeuropati (Neuropati Fokal)

Mononeuropati mengacu pada kerusakan pada saraf tunggal yang

spesifik. Saraf terkena terletak di wajah, batang tubuh, lengan, atau kaki.

Mononeuropati dapat menyebabkan:

a) Kesulitan fokus atau penglihatan ganda.

b) Kelumpuhan pada satu sisi wajah.

c) Mati rasa atau kesemutan di tangan atau jari.

d) Kelemahan di tangan yang dapat mengakibatkan jatuhnya barang.

e) Nyeri di tulang kering atau kaki.

f) Kelemahan menyebabkan kesulitan mengangkat bagian depan kaki.

g) Sakit di bagian depan paha

g. Diagnosis Neuropati Diabetik

Proses diagnosis penyakit dilakukan dengan sejumlah pemeriksaan fisik,

termasuk:

1) Kekuatan dan tonus otot secara keseluruhan.

2) Refleks tendon.

3) Kepekaan terhadap sentuhan, rasa sakit, suhu, dan getaran.

4) Pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk memastikan diagnosis.

Beberapa pemeriksaan tersebut, yaitu:


a) Pengujian filamen. Tes dilakukan untuk menguji kepekaan pengidap

terhadap sentuhan. Caranya dengan menyikat monofilamen (senar

nylon) di atas area kulit.

b) Tes sensorik. Tes non-invasif ini digunakan untuk mengetahui

bagaimana saraf merespons getaran dan perubahan suhu.

c) Tes konduksi saraf. Tes ini mengukur seberapa cepat saraf di lengan

dan kaki menghantarkan sinyal listrik.

d) Elektromiografi. Tes ini dilakukan bersamaan dengan studi konduksi

saraf untuk mengukur pelepasan listrik yang dihasilkan otot.

e) Tes otonom. Tes dilakukan untuk menentukan bagaimana tekanan

darah berubah saat berada di posisi yang berbeda.

B. Polineuripathy dan saraf tepi

1. Guillain-Barré Syndrome (G61.0)

a. Pengertian

Guillain-Barré syndrome (GBS) adalah penyakit pada sistem saraf tepi

yang insidensinya langka. Berdasarkan ringkasan dari American Academy of

Neurology (AAN) guideline on Guillain-Barré syndrome, GBS terjadi pada 1

sampai 4 penderita per 100.000 populasi di seluruh dunia per tahunnya,

menyebabkan 25% penderita gagal napas sehingga membutuhkan ventilator,

4%-15% kematian, 20% kecacatan, dan kelemahan persisten pada 67%

penderita. GBS dapat diderita baik pria maupun wanita, berbagai usia, dan tidak

dipengaruhi oleh ras. Akan tetapi, kejadian GBS sebelumnya menunjukkan


bahwa penderita pria lebih banyak 1,5 kali dibanding wanita, lebih sering terjadi

pada pria berwarna kulit putih, dan angka insiden tertinggi pada usia sekitar 30-

50 tahun (usia produktif). 1-3 Data Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)

Jakarta menunjukkan pada akhir tahun 2010 – 2011 tercatat 48 kasus dengan

jumlah kasus bervariasi per bulan. Tahun 2012, kasus GBS di RSCM meningkat

10%. 4,5 GBS terjadi karena adanya rangsang pada sistem imun, meskipun

patogenesis yang pasti masih belum diketahui. Faktor risiko Fadlan Fadilah

Wahyu|Guillain-Barré syndrome: Penyakit Langka Beronset Akut yang

Mengancam Nyawa Medula yang diduga berkaitan dengan penyakit ini yaitu

adanya riwayat infeksi bakteri atau virus. Infeksi bakteri Campylobacter jejuni

dilaporkan paling sering berasosiasi dengan GBS. Infeksi yang disebabkan virus

antara lain oleh Cytomegalovirus, virus Epstein-Barr, atau virus influenza. 6,7

Selain faktor risiko infeksi, pemberian vaksin juga dilaporkan menjadi salah satu

faktor. 9 GBS memiliki merupakan penyakit autoikun dimana sistem imun dari

penderita menyerang sistem saraf perifer dan menyebabkan kerusakan pada sel

saraf.Gejala penyakit ini merupakan kelemahan dan kelumpuhan yang dapat

berlangsung selama beberapa minggu dan mencapai puncak gejala dalam 2-4

minggu. 10,11 Penyakit ini mampu menyebabkan komplikasi yang fatal apabila

sistem saraf otonom dan sistem pernapasan terlibat. Masyarakat awam relatif

memiliki pengetahuan yang minim terhadap penyakit ini bahkan ada yang belum

mengetahuinya. Onset penyakit yang akut dan berprogresif menuntut

penatalaksanaan yang cepat dan tepat. Oleh karena itu perlu pemahaman tentang
upaya untuk mendeteksi dini, pengobatan, serta upaya rehabilitasi sehingga

penatalaksanaan yang dilakukan menjadi optimal.

b. Gejala Klinis

Gejala klinis dari GBS umumnya terjadi kelemahan bilateral yang

progresif dan didahului baal selama 2-3 minggu setelah mengalami demam. Baal

dan kelemahan terjadi dari ekstremitas bawah bagian distal kemudian menjalar

ke bagian proksimal ke ekstremitas atas. Arefleksia atau menurunnya refleks

tendon di ekstremitas juga sering dijumpai. Selain itu, gejala-gejala tambahan

yang biasanya menyertai GBS antara lain gangguan pada N. Fasialis sisi

bilateral, facial flushing, kesulitan memulai BAK, kelainan dalam berkeringat,

dan penglihatan kabur

c. Diagnosa

Diagnosis GBS dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik

dibantu dengan pemeriksaan penunjang laboratorium. Pemeriksaan fisik yang

dapat dilakukan pemeriksaan neurologis meliputi sensibilitas, reflek fisiologis,

refleks patologis dan derajat kelumpuhan motoris. Pemeriksaan profil CSF

(cerebrospinal fluid) melalui pungsi lumbal untuk melihat adanya kenaikan

protein dan jumlah sel. Profil CSF dapat menunjukkan hasil normal pada 48 jam

pertama onset GBS. Kenaikan akan terjadi pada akhir minggu kedua sampai

mencapai puncak dalam 4 -6 minggu. 2,3,19 Pemeriksaan elektrofisiologis

dilakukan menggunakan Electromyogram (EMG) dan Fadlan Fadilah Wahyu|

Guillain-Barré syndrome: Penyakit Langka Beronset Akut yang Mengancam

Nyawa Nerve Conduction Velocity (NCV). NCV akan menganalisa kecepatan


impuls dan EMG akan merekam aktivitas otot sehingga mampu mendeteksi

kelemahan reflek dan respon saraf.

d. Klasifikasi

Klasifikasi GBS berdasarkan jenis, gejala klinis dan patofisiologi :

1) Jenis : AIDP (Acute Inflammatory Demyeliniting

Polyradiculoneuropathy)

Gejala Klinis : Demielinisasi saraf motorik akibat inflamasi, kerusakan

akson

Patofisiologi :Terjadi karena makrofag menginvasi selubung mielin

sehingga menyebabkan akson tidak terselubungi

2) Jenis : AMAN (Acute Motor Axonal Neuropathy)

Gejala Klinis : Adanya gejala pada sistem respirasi akibat terganggunya

saraf motorik pernapasan, degenerasi aksonal primer

Patofisiologi : Makrofag menginvasi nodus Ranvier, masuk di antara

akson dan aksolemma sel Schwann sehingga membuat

selubung mielin menjadi intak

3) Jenis : AMSAN (Acute Motor and Sensory Axonal Neuropathy)

Gejala Klinis : Adanya gejala disfungsi pernapasan karenasaraf motorik

dan sensorik mengalami gangguan, adanya degenerasi

aksonal primer dengan prognosis buruk

Patofisiologi : Hampir sama dengan AMANdengan keterlibatan jaras

ventral dan dorsal


4) Jenis : MFS (Miller Fisher Syndrome)

Gejala Klinis : Oftalmoplegia, ataksia, arefleksia

Patofisiologi : Sistem konduksi yang abnormal akan tetapi penyebabnya

masih belum jelas

5) Jenis : APN(Acute Pandysautonomic Neuropathy)

Gejala Klinis : Dapat disertai ensefalopati (jarang)

Patofisiologi : Kegagalan sistem saraf simpatis dan parasimpatis

e. Kriteria diagnosis GBS

Kriteria menurut Gilroy dan Meyer, yaitu jika memenuhi lima dari enam

kriteria berikut:

1) Kelumpuhan flaksid yang timbul secara akut, bersifat difus dan simetris

yang dapat disertai oleh paralysis facialis bilateral.

2) Gangguan sensibilitas subyektif dan obyektif biasanya lebih ringan dari

kelumpuhan motoris.

3) Pada sebagian besar kasus penyembuhan yang sempurna terjadi dalam

waktu 6 bulan.

4) Peningkatan kadar protein dalam cairan otak secara progresif dimulai pada

minggu kedua dari paralisis, dan tanpa atau dengan pleositosis ringan

(disosiasi sito albuminemik)

5) Demam subfebril atau sedikit peningkatan suhu selama berlangsungnya

kelumpuhan.

6) Jumlah leukosit normal atau limfositosis ringan, tanpa disertai dengan

kenaikan laju endap darah.


f. Diagnosis Banding

Diagnosis banding GBS antara lain adalah

1) Neuropati perifer,

2) Gangguan transmisi akut neuromuscular junction (miositis, mielitis akut),

3) Gangguan metabolik (hipokalemia, hipofosfatemia),

4) Infark serebri (batang otak),

5) Poliomielitis post difteri,

6) Ganglionopati pada ensefalitis atau meningitis.

g. Tatalaksana

1) Lasmapheresis atau penggantian plasma mampu mengurangi relaps dengan

cara menghilangkan antibodi dan faktor imun yang berperan dalam

kerusakan saraf.

2) Terapi imunoglobulin dalam dosis tinggi diadministrasi melalui injeksi

intravena dengan jumlah yang sedikit untuk membantu sistem imun

melawan patogen. Beberapa studi menyatakan imunoglobulin dosis tinggi

yang didapatkan dari pendonor mampu melemahkan serangan khususnya

pada sistem saraf. Steroid juga dapat digunakan untuk mengurangi

keparahan, tetapi keefektifannya masih dipertanyakan karena terkait efek

samping.
C. PENYAKIT PADA MYONNEURAL JUNCTION & OTOT

1. MIASTENIA GRAVIS (G70.0)

a. Pengertian

Miastenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan

kelemahan fluktuatif pada otot-otot ekstraokular, bulbar, dan otot-otot

proksimal. Kelemahan otot yang terjadi akan memburuk saat beraktivitas dan

membaik setelah beristirahat. Miastenia gravis disebabkan adanya autoantibodi

pada membran pascasinaps pada neuromuscular-junction (NMJ), seperti antibodi

terhadap reseptor asetilkolin, MuSK dan LRP4. Miastenia gravis adalah penyakit

neurologis yang langka, insidensnya hanya sekitar 1,7-21,3 per 1.000.000,

memiliki distribusi bimodal pada wanita, dengan puncak kejadian pada usia 30-

50 tahun. Pria memiliki proporsi yang lebih tinggi setelah usia 50 tahun.

Miastenia gravis sebagian besar merupakan penyakit yang dapat diobati tetapi

dapat mengakibatkan morbiditas yang signifikan dan bahkan kematian sehingga

penulisan literature review ini bertujuan untuk membahas patofisiologi,

manifestasi klinis, penegakkan diagnosis dan pilihan terapi saat ini untuk MG

sehingga dapat meningkatkan akurasi dari diagnosis dini yang sangat berperan

penting terhadap tatalaksana awal, serta pencegahan progesivitas penyakit yang

lebih buruk. Diagnosis MG ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

neurologis, elektrodiagnostik, serologi, serta CT scan torak untuk melihat adanya

timoma. Pengobatan utama pada MG ialah inhibitor enzim kolinesterase dan

agen imunosupresif. Gejala yang resisten terhadap modalitas pengobatan primer

atau yang memerlukan resolusi cepat seperti pada krisis miastenia dapat
menggunakan pengobatan plasmapheresis atau imunoglobulin intravena. Dapat

juga dilakukan timektomi.

Miastenia gravis disebabkan oleh adanya autoantibodi pada membran

pascasinaps pada taut saraf otot (neuromuscular-junction atau NMJ).

Autoantibodi yang umumnya ditemukan pada serum pasien MG adalah antibodi

Khairunnisa Salsabila, Hanna Mutiara, dan Rizki Hanriko | Miastenia gravis:

Etiologi, Patofisiologi, Maniestasi Klinis, Penegakkan Diagnosis dan

Tatalaksana Medula | Volume 13 | Nomor 1 | April 2023 |117 terhadap reseptor

asetilkolin. Adapun antibodi lain yang terdapat pada pasien MG, yakni muscle-

specific kinase (MuSK) dan low-density lipoprotein receptor-related protein

(LRP4). Kompleks protein Agrin-LRP4-MuSK sangat penting untuk

pembentukan dan pemeliharaan NMJ, termasuk distribusi dan pengelompokan

AChR.7 Penyakit ini berhubungan dengan adanya patologi timus. Pada pasien

berusia muda seringkali berkaitan dengan adanya hiperplasia folikular pada

timus, sedangkan pada pasien dewasa sering ditemukan adanya timoma. Timus

adalah tempat produksi sel T dan akan mengalami involusi karena penuaan.

Meskipun begitu, organ ini tetap ada pada orang dewasa dan dapat menjadi situs

inflamasi, perekrutan sel B, dan generasi pusat germinal/germinal center (GC).

Tingginya tingkat hiperplasia folikular pada pasien AchRMG, seberapa lama

apapun durasi penyakitnya, mengasumsikan bahwa sel B bermigrasi secara

terus-menerus ke timus dan resolusi pusat germinal pada pasien MG tidak

terkontrol dengan benar.


b. Klasifikasi

Klasifikasi MG tergantung pada jenis gambaran klinis dan jenis antibodi yang

terlibat, MG dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai subkelompok. Setiap

kelompok merespon secara berbeda terhadap pengobatan dan karenanya

membawa nilai prognostik, adapun klasifikasi MG antara lain:

1) MG onset dini, usia saat onset kurang dari 50 tahun dengan hiperplasia timus,

2) MG onset lambat, usia saat onset lebih dari 50 tahun dengan atrofi timus,

3) MG terkait timoma,

4) MG dengan antibodi anti-MuSK,

5) MG Okular, gejala hanya dari otot periocular,

6) MG tanpa antibodi AChR dan MuSK yang terdeteksi.

c. Patifiologi

Mekanisme patofisiologi pada MG tergantung pada jenis antibodi yang ada.

Pada n-AChR MG, antibodi adalah subtipe IgG1 dan IgG3. Antibodi ini

mengikat reseptor n-ACh yang ada di membran postsinaptik otot rangka dan

mengaktifkan sistem komplemen yang mengarah pada pembentukan membrane

attack complex (MAC). MAC menyebabkan degradasi pada reseptor, dan dapat

memblokir pengikatan ACh ke reseptornya atau dengan meningkatkan

endositosis reseptor n-ACh yang terikat antibodi.6 Pada Gambar. 1 dapat dilihat

bahwa antibodi mengikat AChR dan mengaktifkan kaskade komplemen,

menghasilkan pembentukan MAC dan penghancuran lokal dari membran NMJ

postsinaptik (A). Hal tersebut mengubah morfologi membran postsinaptik NMJ

sehingga menghasilkan permukaan yang relatif datar (B). Antibodi kemudian


mengikat molekul AChR pada membran pascasinaps NMJ. Molekul AChR

cross-linked ini diinternalisasi dan didegradasi, sebuah proses yang dikenal

sebagai modulasi antigenik, sehingga mengurangi jumlah molekul AChR pada

membran postsinaptik (C). Akhirnya, antibodi mengikat situs pengikatan ACh

dari AChR, menyebabkan blok fungsional AChR dengan mengganggu

pengikatan ACh yang dilepaskan di NMJ, (D). Hal ini menyebabkan kegagalan

transmisi neuromuskular dan oleh karena itu mengurangi kontraksi otot.

Pada miastenia gravis terkait MusK dan LRP4, antibodi yang terlibat

adalah subtipe IgG4 dan tidak menyebabkan pengaktifan komplemen. MG jenis

ini mengikat kompleks protein Agrin-LRP4-MuSK di NMJ, yang fungsi

utamanya adalah pemeliharaan NMJ, termasuk distribusi dan pengelompokan

reseptor n-ACh. Penghambatan kompleks menyebabkan berkurangnya jumlah

reseptor n-ACh. ACh yang dilepaskan di terminal saraf, pada gilirannya, tidak

dapat menghasilkan potensial postsinaptik yang diperlukan untuk menghasilkan

potensial aksi di otot karena berkurangnya jumlah reseptor n-ACh yang

menyebabkan gejala kelemahan otot. Kelemahan lebih terlihat dengan adanya

penggunaan otot yang berulang karena menyebabkan penipisan simpanan ACh

di NMJ.

Temuan histopatologis pada MG berbeda berdasarkan jenis antibodi yang

ada. Pada n-AChR MG, otot menunjukkan perubahan atrofi yang signifikan,

sedangkan pada MuSK MG, ada perubahan atrofi otot minimal dan kelainan

mitokondria yang signifikan (gambaran bengkak, giant, dan degeneratif).

Perbedaan menunjukkan mekanisme patofisiologi yang berbeda dari dua subtipe


MG. Atrofi neurogenik tampaknya menonjol pada n-AchR MG, sedangkan

kelainan mitokondria pada MuSK MG.10 Pada n-AChR MG, timus

menunjukkan hiperplasia epitel dan keterlibatan ekstraparenkim dengan area sel-

T dan pusat germinal. Pada MuSK MG, timus menunjukkan perubahan terkait

usia, dan perubahan hiperplastik sangat jarang terjadi. Pada MG seronegatif,

infiltrat dapat terlihat pada sebagian pasien. Temuan hiperplasia epitel thymus

dan infiltrat sel T menunjukkan timus terlibat dalam produksi autoantibodi

terhadap protein otot. Pada n-AChR MG, timus menunjukkan hiperplasia epitel

dan keterlibatan ekstraparenkim dengan area sel-T dan pusat germinal. Pada

MuSK MG, timus menunjukkan perubahan terkait usia, dan perubahan

hiperplastik sangat jarang terjadi. Pada MG seronegatif, infiltrat dapat terlihat

pada sebagian pasien. Temuan hiperplasia epitel thymus dan infiltrat sel T

menunjukkan timus terlibat dalam produksi autoantibodi terhadap protein otot.

d. Gejala

Gejala yang paling umum antara lain kelemahan otot ekstraokular, sekitar

85% pasien akan mengalami keluhan ini pada gejala awal. Keluhan pasien yang

umum termasuk berupa turunnya kelopak atas (ptosis), penglihatan ganda

(diplopia) atau keduanya. Gejala ini dapat berkembang dan menyebabkan MG

tipe generalisata yang melibatkan otot bulbar, aksial, dan ekstremitas pada 50%

pasien dalam dua tahun.11 Kelemahan pada otot bulbar, bisa menjadi gejala

awal pada 15% pasien dan menyebabkan gejala seperti kesulitan mengunyah

atau sering tersedak, disfagia (gangguan menelan) yang muncul setelah penderita

memakan makanan padat, penderita dapat mengalami kesulitan menggerakan


rahang bawah saat mengunyah makanan, sehingga harus dibantu oleh tangan

(tripod position), suara serak, disonia serta disartria yang muncul setelah

berbicara beberapa lama.11 Keterlibatan otot-otot wajah menyebabkan wajah

tanpa ekspresi atau senyumnya tampak datar (myasthenic snarl), dan keterlibatan

otot leher menyebabkan leher terasa kaku, nyeri, dan sulit untuk menegakkan

kepala (dropped head) akibat kelemahan pada otot-otot ekstensor leher.12

Kelemahan pada otot ekstremitas, biasanya melibatkan lebih banyal otot-otot

proksimal (deltoid dan triseps) daripada otototot distal, dengan tungkai atas lebih

terpengaruh daripada tungkai bawah. Adapun dapat terjadi juga gejala krisis

miastenia, yang disebabkan oleh keterlibatan otot interkostal dan diafragma dan

merupakan keadaan darurat medis karena menyebabkan penderita merasakan

kesulitan menarik napas. Tidak ada gejala otonom seperti palpitasi, gangguan

usus, atau kandung kemih yang terjadi pada MG karena hanya melibatkan

reseptor kolinergik nikotinik

e. Klasifikasi

1) Kelas I Kelemahan motorik terbatas pada ocular. Memiliki kesulitan dalam

menutup mata. Kekuatan motorik lain norma

2) II Kelemahan motorik derajat ringan melibatkan otot lain selain okular Dapat

ditemukan kelemahan motorik terbatas pada okular dengan berbagai derajat

a) IIa Kelemahan motorik lebih berat pada otot ekstremitas, batang tubuh,

atau keduanya

b) IIb Kelemahan motorik lebih berat pada otot orofaring, respiratorik, atau

keduanya
3) III Kelemahan motorik derajat sedang melibatkan otot lain selain okular

Dapat ditemukan kelemahan motorik terbatas pada okular dengan berbagai

derajat

a) IIIa Kelemahan motorik lebih berat pada otot ekstremitas, batang tubuh,

atau keduanya

b) IIIb Kelemahan motorik lebih berat pada otot orofaring, respiratorik, atau

keduanya

4) IV Kelemahan motorik derajat berat melibatkan otot lain selain okular Dapat

ditemukan kelemahan motorik terbatas pada okular dengan berbagai derajat

a) IVa Kelemahan motorik ebih berat pada otot ekstremitas, batang tubuh,

atau keduanya

b) IVb Kelemahan motorik lebih berat pada otot orofaring, respiratorik, atau

keduanya

5) V Membutuhkan intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik, terkecuali

dilakukan pascaoperasi Pemberian nutrisi enteral tanpa intubasi termasuk ke

kelompok

IVb

f. Pemeriksaan penunjang

Diagnosis MG ditegakkan berdasarkan anamnesis:

1) pemeriksaan neurologis

2) elektrodiagnostik

3) serologi untuk antibodi AChR dan MuSK

4) CT scan torak untuk melihat adanya timoma.


g. Gejala

Gejala seperti batuk setelah menelan, kebutuhan waktu yang lebih lama

untuk menyelesaikan makan, suara serak, mudah lelah saat menaiki tangga,

lambat dan sering terjadi kesalahan dalam menulis atau mengetik, gejala ini

paling menonjol pada sore atau malam hari setelah bekerja.

2. SINDROM LAMBERT-EATON (G73.1* C00-C48+)

a. Pengertian

Sindrom Lambert-Eaton, juga dikenal sebagai sindrom miastenik

Lambert-Eaton, adalah suatu kondisi di mana sistem kekebalan menyerang

sambungan neuromuskular – area di mana saraf dan otot terhubung. Biasanya,

sel-sel saraf Anda meneruskan sinyal ke sel-sel otot Anda. Sinyal-sinyal ini

membantu otot Anda bergerak. Karena sindrom Lambert-Eaton memengaruhi

cara saraf dan otot Anda berkomunikasi, sehingga otot Anda sulit digerakkan

seperti biasanya.

b. Etiologi

Kondisi ini sering dikaitkan dengan jenis kanker tertentu yang disebut

kanker paru-paru sel kecil. Sindrom ini mungkin disebabkan oleh upaya tubuh

Anda melawan kanker yang mendasarinya. Dalam beberapa kasus lainnya,

sindrom Lambert-Eaton berkembang setelah penyakit autoimun lainnya.

Terkadang penyebabnya tidak diketahui.

c. Gejala

1) Otot lemah – kelemahan sering kali hilang untuk sementara waktu setelah

berolahraga atau beraktivitas


2) Kesulitan berjalan

3) Sensasi kesemutan di tangan atau kaki

4) Kelopak mata terkulai

5) Kelelahan

6) Mulut kering

7) Kesulitan berbicara dan menelan

8) Kesulitan bernapas

9) Perubahan kandung kemih dan usus

10) Disfungsi ereksi

d. Diagnosa

pemeriksaan fisik. Tes darah khusus mungkin menunjukkan bahwa

menderita kondisi ini. juga mungkin menjalani tes yang disebut elektromiografi,

yang menunjukkan seberapa baik otot Anda bekerja. Karena sindrom Lambert-

Eaton dikaitkan dengan kanker paru-paru, penyedia layanan kesehatan mungkin

memesan rontgen atau CT scan paru-paru. Kondisi lain yang disebut miastenia

gravis memiliki gejala yang sangat mirip dengan sindrom Lambert-Eaton.

Penyedia layanan kesehatan akan menggunakan hasil elektromiografi dan tes

lainnya untuk mengetahui perbedaan antara kondisi tersebut. Jika penyedia

layanan kesehatan menemukan bahwa ada yang memiliki kondisi ini, akan

diperiksa untuk mengetahui adanya kanker paru-paru dan kanker lainnya, seperti

limfoma. Jika kanker tidak ditemukan pada awalnya, mungkin memerlukan

pemeriksaan rutin untuk terus mencari kanker yang mendasarinya, karena


sindrom Lambert-Eaton mungkin muncul hingga 3 tahun sebelum diagnosis

kanker.

e. Pengobatan

Pengobatan dengan pembedahan, radiasi, atau kemoterapi. penderita

menderita kanker dan merespons pengobatan dengan baik, kemungkinan besar

sindrom Lambert-Eaton Anda akan membaik. Penyedia layanan kesehatan

mungkin juga meresepkan obat-obatan untuk menekan sistem kekebalan atau

untuk membantu meningkatkan sinyal antara sel saraf dan otot.Perawatan yang

disebut plasmapheresis. Ini melibatkan penggantian plasma dalam darah Anda.

Ini menghilangkan protein sistem kekebalan berbahaya dari darah yang mungkin

terlibat dalam kondisi tersebut.

f. Pencegahan

Karena penyebab pasti sindrom Lambert-Eaton belum sepenuhnya dipahami,

cara mencegah penyakit ini masih belum jelas. Cara terbaik untuk mengurangi

risiko kanker paru-paru, yang sering dikaitkan dengan sindrom Lambert-Eaton,

adalah dengan tidak merokok. Langkah-langkah lain yang dapat membantu

menurunkan risiko kanker paru-paru meliputi:

1) Hindari paparan asap tembakau.

2) Makan lebih banyak buah dan sayuran.

3) Periksakan rumah untuk mengetahui adanya radon.

4) Hidup dengan sindrom Lambert-Eaton

Gejala Sindrom Lambert-Eaton mungkin menjadi lebih buruk saat kepanasan

atau demam. Oleh karena itu, hindari mandi air panas dan hubungi penyedia
periksakan jika mulai mengalami tanda-tanda pilek atau flu. Berolahraga

secara teratur dan cukup tidur juga dapat membantu mengatasi gejala.

D. CEREBRAL PALSY & SYNDROMA PARALITIC

1. Hemiplegia ( G81. 90)

a. Pengertian

Hemiplegia adalah suatu kondisi di mana salah satu sisi tubuh tidak dapat

digerakkan sama sekali (lumpuh). Kondisi ini tergolong dalam masalah pada

sistem saraf dengan tingkat keparahan yang bervariasi pada tiap penderitanya.

Kondisi ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah kerusakan

atau masalah pada sistem kontrol otak. Umumnya, lokasi pada otak yang

terdampak kondisi ini akan menentukan letak sisi tubuh yang mengalami

kelumpuhan. Jika otak sisi kiri yang mengalami cedera, hal tersebut

menyebabkan tubuh sisi kanan mengalami kelumpuhan. Sebaliknya, apabila

cedera atau kerusakan terjadi di otak sisi kanan, kelumpuhan akan menyerang

tubuh sisi kiri. Istilah lain dari kondisi hemiplegia adalah hemiparesis.

Hemiparesis adalah sebuah kondisi di mana seseorang masih dapat menggerakan

sisi tubuh yang terpengaruh, namun kekuatan ototnya menurun. Pada

hemiplegia, sisi tubuh tidak dapat digerakkan sama sekali. Kelumpuhan yang

terjadi pada salah satu sisi dapat memengaruhi lengan, tangan, kaki, dan otot

wajah. kesulitan dalam beraktivitas seperti makan, berpakaian, bahkan buang air.

Untungnya, perawatan-perawatan seperti rehabilitasi, olahraga, dan perangkat

bantuan dapat membantu mengembalikan dan memulihkan mobilitas tubuh.


b. Jenis-jenis Hemiplagia

Hemiplegia adalah kondisi yang dapat dibagi menjadi dua jenis. Umumnya,

pembagian jenis ini didasari oleh kapan penderita mulai mengidap kondisi ini:

1) Hemiplegia kongenital

Hemiplegia kongenital adalah salah satu jenis cedera atau kerusakan otak

yang telah terjadi sebelum bayi lahir dari kandungan. Bahkan, kerusakan otak

dapat terjadi di tengah-tengah proses persalinan, atau setelah persalinan

(hingga bayi berusia sekitar 2 tahun).

2) Hemiplegia acquired

Pada jenis ini, kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh terjadi di satu waktu

ketika anak sudah bertumbuh besar. Salah satu kondisi atau penyakit yang

dapat memicu terjadinya kelumpuhan adalah stroke.

c. Tanda dan Gejala

1) Kehilangan keseimbangan

2) Kesulitan berjalan

3) Kesulitan menelan

4) Kesulitan berbicara

5) Mati rasa, kesemutan, kehilangan sensasi pada satu sisi tubuh

6) Kesulitan menggenggam objek

7) Berkurangnya presisi pergerakan

8) Kelelahan otot

9) Kurangnya koordinasi
d. Etiologi

Penyebab utama dari hemiplegia adalah pendarahan otak (stroke

hemoragik) dan penyakit pembuluh darah pada cerebrum dan batang otak yang

menyebabkan terganggunya asupan darah pada otak (stroke iskemia). Kondisi

lain yang dapat memicu terjadinya hemiplegia adalah trauma atau cedera pada

otak. Penyebab utama lainnya yang lebih tidak akut adalah tumor atau luka pada

otak, abses otak, penyakit yang menghancurkan selubung sel saraf (multiple

sclerosis), pembuluh darah, komplikasi infeksi virus atau bakteri (meningitis)

dan peradangan otak (ensefalitis). Apabila lesi otak menyebabkan hemiplegia,

luka otak biasanya berada di sisi otak sebaliknya dari sisi yang lumpuh. Pada

kasus yang langka, hemiplegia disebabkan oleh penyakit menular akibat

poliovirus (poliomyelitis) atau gangguan sel saraf motorik (neuron) pada saraf

tulang belakang, batang otak dan korteks motorik (penyakit sistem motorik).

e. Tatalaksana

Tes-tes yang mungkin akan dilakukan untuk mendiagnosis penyebab hemiplegia

adalah:

1) Penghitungan darah lengkap

2) Tes biokimia darah

3) Cranial computerized tomography (CT scan)

4) Cranial magnetic resonance imaging (MRI)

5) EEG (electroencephalogram)

Bagaimana hemiplegia ditangani?


Hemiplegia adalah kondisi yang biasanya memerlukan beberapa waktu untuk

benar-benar pulih. Tidak ada satu jenis perawatan yang bekerja untuk semua

orang. Perawatan sangat tergantung pada penyebab kelumpuhan. Beberapa

pilihan perawatan meliputi:

a) Obat-obatan

Dokter mungkin akan memberikan obat-obatan yang dapat menurunkan

tekanan darah dan kolesterol. Kondisi ini ditujukan untuk orang-orang

yang menderita stroke dan yang memiliki faktor risiko kambuhnya

stroke, seperti tekanan darah tinggi (hipertensi) dan penyakit jantung.

Selain itu, obat pengencer darah mungkin juga akan diresepkan oleh

dokter untuk mengurangi penyumbatan pada pembuluh darah dan

kemungkinan stroke selanjutnya.

Untuk membantu melawan infeksi pada tubuh, dokter juga akan

memberikan suntik antibiotik dalam kasus-kasus tertentu. Injeksi

botulinum toxin (Botox) juga mungkin akan diberikan untuk merangsang

pergerakan otot tubuh.

b) Terapi fisik atau fisioterapi

Fisioterapi bertujuan untuk mengembalikan fungsi dan pergerakan kedua

sisi tubuh secara normal. Fisioterapis akan membantu penderita untuk

menyeimbangkan tubuh, mengangkat beban pada sisi tubuh yang

terdampak, serta mengembangkan sensitivitas pada sisi tubuh yang

lumpuh. Terapi fisik juga dapat memperkuat sisi tubuh yang tidak
terpengaruh hemiplegia dan membantu mengurangi kehilangan kendali

otot.

c) Orthosis

Orthosis atau ankle and foot orthoses (AFO) adalah alat yang dipasang

pada tubuh untuk menyeimbangkan sendi-sendi tubuh, pergerakan tubuh,

serta mengurangi rasa sakit dan risiko terjatuh atau cedera. Alat ini

dipasangkan pada kaki dan pergelangan kaki, yang dapat membantu

penderita berjalan dan bergerak secara lebih baik dan seimbang.

d) Psikoterapi

Terapi psikologis atau psikoterapi diperlukan agar penderita

mendapatkan edukasi mengenai penyakit yang diderita, serta dukungan

moral dari orang-orang terdekat dalam menghadapi penyakit ini.

e) Operasi ortopedi

Apabila pengobatan yang dilakukan di atas tidak menunjukkan adanya

perubahan, terutama setelah pemberian suntik botox, fisioterapi, dan

AFO, dokter akan merekomendasikan pasien untuk menjalani prosedur

operasi. Operasi diharapkan dapat mengembalikan fungsi tubuh dengan

cara memodifikasi otot atau tendon, meregangkan otot-otot tubuh,

menstabilkan sendi-sendi tubuh, dan terkadang melibatkan pemotongan

atau reorientasi tulang (osteotomi).


2. CEREBRAL PALSY (G80. 9)

a. Pengertian

Cerebral palsy atau lumpuh otak adalah sekelompok gangguan yang

memengaruhi gerakan dan koordinasi otot. Dalam banyak kasus, cerebral palsy

juga memengaruhi penglihatan, pendengaran, dan sensasi. Kondisi ini terjadi

akibat kerusakan pada otak yang belum matang dan berkembang, dan paling

sering terjadi sebelum lahir (selama kehamilan). Namun, cerebral palsy juga

dapat terjadi saat proses persalinan, atau tahun pertama pasca kelahiran. Secara

umum, cerebral palsy menyebabkan gangguan gerakan yang berhubungan

dengan refleks yang berlebihan, kelenturan atau kelenturan anggota badan dan

badan. Selain itu, tanda lainnya berupa postur yang tidak biasa, gerakan yang

tidak pengidapnya sengaja, berjalan tidak stabil, atau kombinasi dari semuanya.

Cerebral Palsy terjadi akibat perkembangan otak yang tidak normal atau

kerusakan pada otak yang sedang berkembang. Ini biasanya terjadi sebelum anak

lahir, tetapi bisa juga terjadi saat lahir atau pada awal masa bayi.

b. Faktor Penyebab & Faktor Resiko

Dalam banyak kasus, penyebabnya tidak diketahui. Banyak faktor yang dapat

menyebabkan masalah dengan perkembangan otak, di antaranya:

1) Mutasi gen yang mengakibatkan kelainan genetik atau perbedaan

perkembangan otak.

2) Infeksi ibu yang mempengaruhi janin yang sedang berkembang.

3) Stroke janin, gangguan suplai darah ke otak yang sedang berkembang.

4) Pendarahan ke otak dalam rahim atau saat bayi baru lahir.


5) Infeksi bayi yang menyebabkan peradangan dalam atau sekitar otak.

6) Cedera kepala traumatis pada bayi, seperti dari kecelakaan kendaraan

bermotor, jatuh atau kekerasan fisik.

7) Kurangnya oksigen ke otak terkait dengan persalinan atau kelahiran yang

sulit, meskipun asfiksia terkait kelahiran jauh lebih jarang menjadi

penyebab, daripada yang diperkirakan secara historis.

Ada sejumlah faktor yang dapat menempatkan bayi pada peningkatan risiko

cerebral palsy, termasuk:

1) Kelahiran prematur (lahir sebelum menginjak usia kehamilan 37 minggu).

2) Berat lahir rendah (kurang dari 2,5 kilogram).

3) Kelahiran sungsang yang terjadi saat pantat atau kaki bayi keluar lebih dulu

4) Ketidakcocokan Rh, yang terjadi ketika golongan Rh darah orang tua yang

hamil tidak cocok dengan golongan Rh darah bayi mereka

5) Kebiasaan negatif pada ibu selama kehamilan. Misalnya seperti merokok,

mengonsumsi minuman beralkohol, atau menggunakan narkoba.

6) Kelahiran bayi kembar dua atau lebih (triplet) khususnya ketika salah satu

bayi selamat dan bayi yang lain meninggal saat kelahiran.

7) Gejala Cerebral Palsy

8) Tanda dan gejala penyakit ini dapat sangat bervariasi dari orang ke orang.

Cerebral palsy dapat memengaruhi seluruh tubuh, atau terbatas terutama pada

satu atau dua anggota badan, atau satu sisi tubuh.

c. Gejala .
Berikut adalah penjelasan mengenai apa saja gejala cerebral palsy dari sejumlah

aspek:

1) Gejala pada gerakan dan koordinasi

a) Otot kaku dan refleks berlebihan (kelenturan), gangguan gerakan yang

paling umum.

b) Variasi dalam tonus otot, seperti terlalu kaku atau terlalu terkulai.

c) Otot kaku dengan refleks normal (kekakuan).

d) Kurangnya keseimbangan dan koordinasi otot (ataksia).

e) Tremor atau gerakan tak sadar yang tersentak-sentak.

f) Lambat, gerakan menggeliat.

g) Menyukai satu sisi tubuh, seperti hanya meraih dengan satu tangan atau

menyeret kaki sambil merangkak.

h) Kesulitan berjalan, seperti berjalan dengan jari kaki, gaya berjalan

berjongkok, gaya berjalan, seperti gunting dengan menyilangkan lutut,

gaya berjalan lebar, atau gaya berjalan asimetris.

i) Kesulitan dengan keterampilan motorik halus, seperti mengancingkan

pakaian atau mengambil peralatan.

2) Gejala saat bicara dan makan

a) Keterlambatan dalam perkembangan bicara.

b) Kesulitan berbicara.

c) Kesulitan dengan mengisap, mengunyah, atau makan.

d) Air liur berlebihan atau gangguan menelan.

e) Gangguan Perkembangan.
f) Keterlambatan dalam mencapai tonggak keterampilan motorik, seperti

duduk atau merangkak.

g) Kesulitan belajar.

h) Cacat intelektual.

i) Pertumbuhan tertunda, menghasilkan ukuran yang lebih kecil dari yang

diharapkan.

3) Masalah lainnya

a) Kerusakan otak dapat menyebabkan masalah neurologis lainnya,

seperti:

b) Kejang (epilepsi).

c) Kesulitan mendengar.

d) Masalah dengan penglihatan dan gerakan mata yang tidak normal.

e) Sentuhan abnormal atau sensasi nyeri.

f) Masalah kandung kemih dan usus, terutama pada anak-anak pengidap

cerebral palsy lebih rentan terkena batu kandung kemih.

g) Kondisi kesehatan mental, seperti gangguan emosional dan masalah

perilaku.

h) Gangguan otak yang menyebabkan kondisi ini tidak berubah seiring

waktu, sehingga gejalanya biasanya tidak memburuk seiring

bertambahnya usia.

Namun, seiring bertambahnya usia anak, beberapa gejala menjadi lebih atau

kurang jelas. Pemendekan otot dan kekakuan otot dapat memburuk jika tidak

segera tertangani.
d. Diagnosis

Seorang dokter akan mendiagnosis cerebral palsy dengan mengambil riwayat

medis lengkap, melakukan pemeriksaan fisik yang mencakup pemeriksaan

neurologis terperinci, dan mengevaluasi gejalanya.

e. Pemeriksaan Penunjang

1) Elektroensefalogram (EEG). Bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas listrik

pada otak.

2) MRI. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah mengidentifikasi ketidakteraturan

atau cedera otak.

3) CT scan. CT scan menciptakan gambar penampang otak yang jelas.

Pemeriksaan ini juga dapat mengungkapkan kerusakan otak.

4) Ultrasonografi (USG). USG kranial adalah metode menggunakan

gelombang suara frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambar dasar otak

bayi muda.

5) Tes darah. Bertujuan untuk menyingkirkan kemungkinan kondisi lain,

seperti gangguan perdarahan.

f. Tatalaksana

Tidak ada obat untuk palsi serebral. Namun, ada banyak pilihan perawatan yang

dapat membantu meningkatkan fungsi harian pengidapnya, yaitu:

1) Obat-Obatan

Obat-obatan yang dapat mengurangi ketegangan otot dapat kamu gunakan

untuk meningkatkan kemampuan fungsional, mengobati rasa sakit, dan

mengelola komplikasi yang berkaitan dengan kelenturan atau gejala palsi


serebral lainnya. Injeksi otot atau saraf. Untuk mengobati pengencangan

otot tertentu, dokter akan merekomendasikan suntikan onabotulinumtoxinA

(Botox), atau agen lain. Suntikan perlu kamu ulang setiap tiga bulan.

Relaksan otot mulut. Obat-obatan seperti baclofen, tizanidine, diazepam,

atau dantrolene sering dokter rekomendasikan untuk mengendurkan otot.

Obat untuk mengurangi air liur. Salah satu pilihan adalah suntikan Botox ke

dalam kelenjar ludah.

2) Terapi

Berbagai terapi memainkan peran penting dalam mengobati cerebral palsy:

a) Terapi Fisik

Latihan dan latihan otot dapat membantu kekuatan, kelenturan,

keseimbangan, perkembangan motorik, dan mobilitas anak.Orang tua

juga akan belajar cara merawat kebutuhan sehari-hari anak dengan aman

di rumah, seperti memandikan dan memberi makan anak. Untuk 1 hingga

2 tahun pertama setelah kelahiran, baik terapis fisik maupun okupasi

bekerja pada masalah-masalah seperti kontrol kepala dan badan,

berguling, dan menggenggam. Kemudian, kedua jenis terapis terlibat

dalam penilaian kursi roda.

b) Terapi Wicara dan Bahasa

Ahli patologi wicara-bahasa dapat membantu meningkatkan kemampuan

anak untuk berbicara dengan jelas atau berkomunikasi menggunakan


bahasa isyarat. Mereka juga dapat mengajarkan penggunaan perangkat

komunikasi, seperti komputer dan penyintesis suara, jika komunikasi

sulit kamu lakukan. Terapis wicara juga dapat mengatasi kesulitan makan

dan menelan.

c) Terapi Rekreasi

Beberapa anak mendapat manfaat dari olahraga rekreasi atau kompetitif

reguler atau adaptif, seperti menunggang kuda terapeutik. Jenis terapi ini

dapat membantu meningkatkan keterampilan motorik, bicara, dan

kesejahteraan emosional anak. Baik orang dewasa maupun anak-anak,

mendapat manfaat dari aktivitas fisik dan olahraga secara teratur untuk

kesehatan dan kebugaran secara umum.

3) Kawat gigi, belat atau perangkat pendukung lainnya akan dokter

rekomendasikan untuk anak guna membantu fungsi, seperti peningkatan

berjalan, dan peregangan otot kaku.

E. INFLAMASI MENING

1. Syndrome Horner (G90.2)

a. Pengertian

Sindrom Horner pada dasarnya merupakan suatu kondisi yang didapat akibat

penyakit sistemik/lokal atau penyebab iatrogenik, namun mungkin bersifat

bawaan dan murni turun temurun dalam beberapa kasus yang jarang terjadi.

Serabut simpatis memiliki jalur yang luas dan dapat terputus selama traversal

ekstrakranial, intrakranial, atau intra-orbital. Serabut simpatis dapat terganggu


secara sentral, antara hipotalamus dan titik keluar serabut dari sumsum tulang

belakang (C8 hingga T2), atau penghentiannya dapat terjadi di perifer, pada

rantai simpatis serviks, di tingkat ganglion serviks superior, atau sepanjang

perjalanan arteri karotis. Sindrom Horner preganglionik dapat menjadi tanda

buruk karena hubungannya dengan keganasan paru. Secara keseluruhan,

penyebab sindrom Horner dapat dibagi berdasarkan lokasi anatomi

gangguannya.

b. Patofisiologi

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sindrom Horner merupakan

akibat dari gangguan simpatis. Gejalanya bergantung pada lokasi lesi, dan

tingkat keparahannya bergantung pada derajat denervasi. Otot tarsal superior

membantu mengangkat kelopak mata atas dan mempunyai suplai saraf simpatis.

Denervasi otot ini menyebabkan ptosis, yang lebih ringan dibandingkan

kelumpuhan okulomotor (CN III) yang mempersarafi levator palpebra

superioris. Otot tarsal superior bertugas menjaga kelopak mata atas tetap

terangkat setelah levator palpebra superioris mengangkatnya. Hal ini

menjelaskan ptosis parsial yang terlihat pada sindrom Horner. Kelopak mata

bagian bawah mungkin sedikit terangkat karena denervasi otot kelopak mata

bawah, yang serupa dengan otot tarsal superior.

Persarafan simpatik bertanggung jawab atas pelebaran pupil (midriasis).

Ketika terganggu, suplai parasimpatis menjadi tidak terhambat, dan terjadi

penyempitan pupil (miosis). Reaksi pupil terhadap cahaya dan akomodasi adalah

normal karena sistem tersebut tidak bergantung pada suplai saraf simpatis.
Anhidrosis ipsilateral, gambaran klasik lainnya, bergantung pada tingkat

gangguan suplai simpatis. Anhidrosis dengan lesi neuron tingkat pertama

mempengaruhi sisi ipsilateral tubuh sebagai suplai simpatis dari pusatnya. Wajah

ipsilateral terlibat dalam lesi yang melibatkan neuron tingkat kedua. Lesi neuron

tingkat ketiga postganglionik setelah serabut vasomotor dan sudomotor

bercabang menunjukkan keterlibatan yang sangat terbatas pada wajah (area yang

berdekatan dengan alis ipsilateral).

Iris heterochromia (defisiensi pigmen yang relevan pada iris di sisi yang

terkena) terlihat pada anak-anak di bawah usia 2 tahun dan merupakan bentuk

bawaan dari sindrom Horner.

c. Penyebab

Penyebab utama sindrom Horner adalah kerusakan pada sistem saraf simpatik

yang berfungsi untuk mengatur hal-hal yang memerlukan respons cepat terhadap

perubahan di lingkungan sekitar, ukuran pupil mata, tekanan darah, denyut

jantung, dan proses pengeluaran keringat. Pada dasarnya, terdapat tiga jalur

neuron atau sel saraf yang turut dipengaruhi oleh sindrom Horner, di antaranya

adalah:

1) Neuron tingkat I: Jalur neuron yang membentang dari hipotalamus dan

melewati batang otak dan saraf tulang belakang bagian atas. Kerusakan pada

jalur neuron ini dapat disebabkan oleh stroke, tumor, kista atau terdapat

rongga pada tulang belakang, cedera leher, dan penyakit yang dapat

menyebabkan kerusakan pada selubung mielin atau lapisan pelindung sel

saraf.
2) Neuron tingkat II: Jalur neuron yang memanjang dari ruas tulang belakang,

melewati area dada bagian atas, hingga ke bagian samping leher. Kerusakan

3) Neuron tingkat II biasanya disebabkan oleh kanker paru-paru, tumor pada

selubung mielin (schwannoma), kerusakan pada pembuluh darah aorta,

cedera pada dada atau leher, dan komplikasi dari operasi pada rongga dada.

4) Neuron tingkat III: Jalur saraf yang membentang dari bagian samping leher,

dan berujung pada kulit wajah serta otot-otot pada kelopak mata dan iris.

Kerusakan pada jalur saraf ini dapat terjadi akibat kerusakan pembuluh

darah di sekitar leher, tumor atau infeksi pada bagian dasar tengkorak,

migrain, dan sakit kepala cluster.

Sementara itu, sindrom Horner pada anak-anak biasanya disebabkan oleh

kelainan pada pembuluh darah aorta sejak lahir, tumor pada sistem saraf, serta

cedera leher atau bahu yang terjadi saat proses persalinan. Pada beberapa kasus,

tidak diketahui secara pasti apa penyebab dari sindrom Horner sehingga kondisi

ini juga dikenal dengan istilah sindrom Horner idiopatik.

d. Gejala

Umumnya, sindrom Horner hanya memengaruhi salah satu sisi wajah

pengidapnya. Adapun tiga gejala utama yang terjadi pada sindrom Horner adalah

sebagai berikut:

1) Pupil mata mengecil (miosis).

2) Terkulainya kelopak mata bagian atas (ptosis).

3) Anhidrosis atau tidak keluarnya keringat pada salah satu sisi wajah.
Di sisi lain, terdapat beberapa gejala tambahan yang mungkin dialami oleh

penderita sindrom Horner berusia di bawah 2 tahun, yaitu:

1) Sisi wajah yang terdampak sindrom Horner tidak memerah (blushing) saat

terkena sinar matahari, sedang emosi, ataupun melakukan aktivitas fisik

berat.

2) Warna iris yang berbeda pada kedua mata (heterochromia)

Sindrom Horner yang tidak segera ditangani dengan tepat dapat meningkatkan

risiko terjadinya sejumlah komplikasi, seperti:

1) Gangguan penglihatan.

2) Lemah otot.

3) Nyeri leher.

4) Sakit kepala hebat yang terjadi secara tiba-tiba.

5) Gangguan keseimbangan tubuh.

e. Diagnosis

Penegakkan diagnosis sindrom Horner dapat diawali dengan melakukan

wawancara medis (anamnesis) dengan pasien untuk mengetahui gejala serta

riwayat cedera, riwayat penyakit, dan tindakan operasi yang pernah dijalani oleh

pasien. Dokter juga dapat melakukan pemeriksaan fisik untuk memeriksa warna

dan ukuran pupil yang tidak simetris, ptosis, keringat pada salah satu sisi wajah,

dan gejala fisik lainnya.

Selain itu, untuk memastikan diagnosis dari kondisi yang menyebabkan

sindrom Horner, terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang umum

digunakan, yaitu:
1) Pemeriksaan mata dengan cara meneteskan obat tetes mata yang

mengandung apraclonidine untuk melihat perubahan ukuran pupil mata. Jika

pupil melebar setelah ditetesi apraclonidine, maka diagnosis sindrom Horner

dapat dikonfirmasi.

2) Prosedur pencitraan, seperti rontgen, CT scan, USG, atau MRI untuk

melihat gangguan atau kelainan struktur, perdarahan, dan tumor pada otak.

3) Paredrine test untuk mengetahui penyebab miosis yang memengaruhi jalur

neuron ketiga (neuron yang berfungsi untuk melepaskan norepinephrine ke

celah sinaps).

f. Pengobatan

Pengobatan sindrom Horner dilakukan dengan menangani penyebab yang

mendasarinya. Adapun beberapa tindakan medis yang dapat dilakukan untuk

menangani sindrom Horner adalah:

1) Pemberian obat antibiotik atau antivirus untuk menangani infeksi yang

menyebabkan sindrom Horner.

2) Obat pengencer darah, seperti aspirin, untuk menangani stroke.

3) Obat antiinflamasi untuk menangani peradangan yang misalnya dapat terjadi

pada pasien dengan multiple sclerosis.

2. HYDROCEPHALUS (G91.9)

a. Pengertian

Hidrosefalus merupakan kondisi patologis otak yang di picu masalah

aliran cairan di dalam otak (cairan serebrospinal) atau akumulasi cairan


serebrospinal dalam ventrikel serebral, ruang subarachnoid, atau ruang

subdural. Masalah ini mengakibatkan cairan semakin bertambah banyak yang

seterusnya akan menekan jaringan otak di sekitarnya, khususnya saraf pusat

yang vital. Kasus ini menjadi salah satu masalah yang sering ditemukan di

ranah bedah saraf, yaitu sekitar 40% hingga 50%. Prosedur tindakan

keperawatan yang diberikan pada anak dengan pasca operasi kepala

memerlukan perawatan yang intensive.

Hidrosefalus adalah kondisi saat terjadinya penumpukan cairan berlebihan

di dalam otak. Pada keadaan normal, terdapat cairan otak yang mengisi ruangan-

ruangan (ventrikel) di dalam otak dalam jumlah tertentu. Namun, pada

hidrosefalus, jumlah cairan otak tersebut berlebihan, sehingga menimbulkan

penekanan sel-sel otak dan gangguan saraf. Beberapa jenis hidrosefalus, antara

lain:

1) Hidrosefalus Kongenital. Ini adalah kelainan bawaan yang terjadi akibat

gangguan di dalam kandungan ibu saat hamil, seperti infeksi toksoplasma,

kekurangan asam folat, atau penyebab lainnya.

2) Hidrosefalus yang Didapat (acquired hydrocephalus). Kondisi ini terjadi

karena gangguan di dalam otak, seperti misalnya stroke, radang selaput

otak, atau tumor otak. Kemudian, kondisi tersebut menyebabkan sirkulasi

cairan otak tersumbat, dan menyebabkan hidrosefalus.

b. Penyebab

Penyebab hidrosefalus kongenital umumnya adalah infeksi pada masa

kehamilan, seperti cytomegalovirus (CMV), rubella, penyakit gondok, sifilis,


atau toksoplasma. Sementara itu, pada hidrosefalus yang terjadi setelah lahir

(acquired hydrocephalus) umumnya disebabkan oleh penyakit di otak yang

menimbulkan gangguan sirkulasi cairan otak, seperti stroke perdarahan, tumor

otak, cedera otak yang parah, radang otak, atau radang selaput otak.

Hidrosefalus disebabkan oleh ketidakseimbangan antara berapa banyak

cairan serebrospinal yang diproduksi dan berapa banyak yang diserap ke dalam

aliran darah. Cairan serebrospinal ini diproduksi oleh jaringan yang melapisi

ventrikel otak. Ia mengalir melalui saluran interkoneksi dan cairan akhirnya akan

mengalir ke ruang di sekitar otak dan tulang belakang. Cairan akan diserap

terutama oleh pembuluh darah di jaringan permukaan otak.

Cairan serebrospinal memainkan peran penting dalam fungsi otak dengan cara:

1) Menjaga otak tetap apung, dalam artian membiarkan otak yang relatif berat

mengapung di dalam tengkorak.

2) Bantalan otak untuk mencegah cedera.

3) Mengeluarkan produk sisa metabolisme otak.

4) Mengalir bolak-balik antara rongga otak dan tulang belakang untuk

mempertahankan tekanan konstan di dalam otak, mengompensasi perubahan

tekanan darah di otak.

Terlalu banyak cairan serebrospinal di ventrikel terjadi karena salah satu alasan

berikut:

1) Sumbatan. Masalah yang saling umum adalah penyumbatan parsial aliran

cairan serebrospinal, baik dari satu ventrikel ke ventrikel lain, atau dari

ventrikel ke ruang lain di sekitar otak.


2) Penyerapan yang Buruk. Hal ini sebenarnya kurang umum, namun sering

dikaitkan dengan peradangan jaringan otak akibat penyakit atau cedera.

3) Produksi Cairan Berlebih. Meskipun jarang terjadi, cairan serebrospinal

dibuat lebih cepat dibandingkan yang bisa diserap.

c. Faktor Resiko

Terdapat beberapa beberapa kondisi yang memperbesar peluang seorang anak

mengalami hidrosefalus pada bayi baru lahir, antara lain:

1) Adanya perkembangan yang tidak normal pada sistem saraf pusat, sehingga

menghalangi aliran cairan serebrospinal.

2) Adanya perdarahan di ventrikel otak, sehingga memicu kemungkinan bayi

lahir prematur. Saat hamil, ibu mengalami infeksi pada rahim, sehingga

timbul peradangan di jaringan otak janin. Misalnya akibat infeksi rubella,

toksoplasma, gondok atau bahkan cacar air.

Sementara itu, jika hidrosefalus terjadi setelah anak tumbuh besar, faktor

risikonya antara lain:

1) Tumbuhnya tumor di otak atau sumsum tulang belakang anak.

2) Terjadinya infeksi yang menyerang otak atau sumsum tulang belakang.

3) Mengalami pendarahan di pembuluh darah otak.

4) Operasi di area kepala.

d. Gejala

Beberapa gejala hidrosefalus kongenital yang terjadi saat bayi baru lahir, antara

lain:
1) Bayi terlihat mengantuk terus atau kurang responsif terhadap lingkungan

sekitarnya.

2) Kaki dan tangan berkontraksi terus, sehingga terlihat kaku dan sulit

digerakkan.

3) Bayi mengalami keterlambatan perkembangan, misalnya umur enam bulan

belum bisa tengkurap, atau umur sembilan bulan belum bisa duduk.

4) Kepala bayi terlihat lebih besar, juga bertambah besar jika dibandingkan

dengan anak seusianya.

5) Kulit kepala bayi tipis dan pembuluh darahnya dapat terlihat dengan jelas.

6) Napas tidak teratur.

7) Mengalami kejang berulang.

e. Diagnosa & Pemeriksaan Fisik

Dokter akan melakukan beberapa tahapan pemeriksaan guna mendiagnosis

hidrosefalus, seperti dengan melakukan wawancara medis, pemeriksaan fisik,

serta pemeriksaan penunjang lain, seperti:

1) Pemindaian otak dengan CT scan, yang dilakukan sebagai pemeriksaan

darurat terhadap penyakit hidrosefalus, untuk mengetahui kondisi otak

pengidap.

2) Pemindaian otak dengan MRI, untuk mendapatkan gambaran otak secara

rinci dengan menggunakan medan magnetik dan gelombang radio.

3) Pemindaian otak dengan USG, yang relatif lebih aman dan rendah risiko,

serta dapat dilakukan sebagai pemeriksaan awal untuk mendeteksi

hidrosefalus pada janin dalam kandungan atau bayi yang sudah lahir.
f. Pengobatan Hidrosefalus

Pengobatan dalam menangani hidrosefalus adalah dengan melakukan

tindakan operasi, yang bertujuan untuk membuang kelebihan cairan

serebrospinal di dalam otak. Beberapa jenis operasi yang biasa dilakukan untuk

menangani hidrosefalus, antara lain:

1) Operasi Pemasangan Shunt. Shunt merupakan alat khusus berbentuk selang

yang dipasangkan oleh ahli bedah ke dalam kepala guna mengalirkan cairan

otak ke bagian tubuh lain dan diserap oleh pembuluh darah. Bagian tubuh

yang paling sering dipilih sebagai rute aliran cairan serebrospinal ini adalah

rongga perut. Shunt akan dilengkapi dengan katup yang berfungsi

mengendalikan aliran cairan, sehingga keberadaan serebrospinal di dalam

otak tidak surut terlalu cepat.

2) Operasi Endoscopic Third Ventriculostomy (ETV). Pada prosedur ini,

cairan serebrospinal dibuang dengan cara menciptakan lubang penyerapan

baru di permukaan otak. Prosedur ini sering diterapkan pada kasus

hidrosefalus yang dipicu oleh penyumbatan ventrikel otak. ETV bertujuan

agar cairan otak dapat tersebar merata di seluruh bagian otak dan tidak

menumpuk di satu lokasi tertentu.

g. Komplikasi

Beberapa komplikasi yang dapat timbul setelah menjalani prosedur pemasangan

shunt, antara lain:

1) Infeksi yang terjadi beberapa bulan setelah operasi.


2) Penyumbatan shunt yang berakibat penumpukan cairan serebrospinal dalam

otak.

3) Posisi shunt yang dipasang tidak berada di posisi yang tepat, sehingga cairan

serebrospinal merembes ke bagian sisi selang tersebut.

4) Pencegahan Hidrosefalus

Beberapa upaya pencegahan terhadap hidrosefalus, antara lain:

Ibu hamil melakukan kontrol berkala untuk mengetahui jika terjadi infeksi virus.

Ibu hamil, bayi, dan anak mendapatkan imunisasi lengkap sesuai jadwal yang

diberikan dokter.

3. REYE SYNDROME (G93.1)

a. Pengertian

Sindrom Reye adalah kondisi serius yang dapat menyebabkan kerusakan pada

organ hati dan otak. Sindrom ini kebanyakan menimpa anak-anak dan remaja

yang baru sembuh dari infeksi virus, seperti flu. Namun, pada kasus yang jarang

terjadi, sindrom Reye juga bisa menyerang orang dewasa. Sindrom Reye diduga

terjadi karena terganggunya proses metabolisme pada organ hati ketika anak

sedang terkena infeksi virus. Hal ini dapat menyebabkan penurunan gula darah

dan penumpukan amonia dalam darah, yang kemudian akan berdampak pada

otak. Kondisi ini dapat menyebabkan anak mengalami kejang dan hilang

kesadaran.

b. Penyebab
Sindrom Reye terjadi ketika mitokondria pada sel hati mengalami

kerusakan. Mitokondria adalah struktur kecil di dalam sitoplasma yang

berperan penting dalam menjaga fungsi hati. Kerusakan pada mitokondria

membuat hati tidak bisa membuang racun dari dalam darah, seperti amonia.

Akibatnya, racun menumpuk di dalam darah serta menyebabkan kerusakan di

seluruh organ tubuh dan pembengkakan di otak. Belum diketahui apa yang

menyebabkan sindrom Reye. Namun, diduga bahwa penggunaan aspirin pada

anak yang terinfeksi virus dapat memulai atau memperparah kerusakan

mitokondria hati. Selain itu, penggunaan aspirin pada remaja yang memiliki

gangguan oksidasi asam lemak juga diduga dapat memicu terjadinya sindrom

Reye. Gangguan oksidasi asam lemak adalah kelainan genetik yang

menyebabkan tubuh tidak mampu memecah asam lemak.

c. Gejala

Gejala sindrom Reye biasanya muncul dalam 3–5 hari setelah anak

terserang infeksi virus, seperti batuk pilek, flu atau cacar air. Pada anak yang

berusia di bawah 2 tahun, Sindrom Reye memunculkan gejala awal berupa:

1) Diare

2) Napas tersengal-sengal

Sementara pada anak-anak yang lebih tua, gejala awal sindrom Reye bisa

meliputi:

1) Lesu

2) Mudah mengantuk

3) Muntah terus menerus


Jika kondisi ini bertambah buruk, gejalanya pun dapat menjadi serius, seperti:

1) Bingung, meracau, mengigau, atau bahkan berhalusinasi

2) Mudah tersinggung dan perilakunya menjadi lebih agresif

3) Lemah atau bahkan kelumpuhan di tungkai

4) Kejang

5) Tingkat kesadaran menurun

d. Diagnosa dan Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis Sindrom Reye hingga saat ini, masih belum ada metode yang

spesifik untuk mendiagnosis sindrom Reye. Pemeriksaan darah dan urine

mungkin dilakukan untuk mendeteksi adanya gangguan oksidasi lemak atau

kelainan metabolisme lainnya. Pada beberapa kasus, dokter dapat melakukan

pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan bahwa gejala yang terjadi

disebabkan oleh penyakit lain. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:

1) Pungsi lumbal, yaitu pengambilan sampel cairan dari otak untuk

menyingkirkan gejala disebabkan oleh kondisi lain, seperti radang

selaput otak (meningitis) dan radang otak (ensefalitis)

2) Pemindaian dengan CT scan atau MRI, untuk mendeteksi gangguan di

otak yang dapat mengakibatkan perubahan pada perilaku penderita

3) Biopsi (pengambilan sampel jaringan) di hati, untuk menyingkirkan

kemungkinan lain yang menyebabkan gangguan pada organ hati

4) Biopsi kulit, untuk mendeteksi gangguan oksidasi asam lemak dan

gangguan metabolisme lain.


e. Penatalaksanaan

Hingga saat ini, belum ada metode pengobatan untuk menyembuhkan

sindrom Reye. Penanganan yang diberikan hanya bertujuan untuk

mengurangi gejala dan mencegah komplikasi. Sindrom Reye harus diatasi di

rumah sakit. Anak dengan gejala parah harus dirawat di unit perawatan

intensif (ICU). Selama perawatan, dokter akan memantau detak jantung,

tekanan darah, suhu tubuh dan pasokan oksigen ke paru-paru. Tindakan yang

dapat dilakukan oleh dokter adalah pemberian obat-obatan melalui infus,

meliputi:

1) Cairan yang mengandung gula dan elektrolit, untuk menjaga

keseimbangan kadar garam, nutrisi, mineral, dan gula dalam darah

2) Obat diuretik, untuk membuang kelebihan cairan dalam tubuh dan

meredakan pembengkakan di otak.

3) Transfusi plasma darah dan platelet atau pemberian vitamin K, guna

mencegah pendarahan akibat gangguan organ hati

4) Ammonia detoxican, guna mengurangi kadar amonia dalam darah

5) Obat antikonvulsan, untuk mencegah dan mengatasi kejang

6) Selain obat-obatan, dokter juga akan memberikan alat bantu napas

(ventilator) pada anak yang mengalami gangguan pernapasan.

Begitu bengkak di otak sudah mereda, fungsi tubuh yang lain akan

kembali normal dalam beberapa hari. Meski demikian, perlu waktu

beberapa minggu sampai anak cukup sehat untuk meninggalkan rumah

sakit.
f. Komplikasi

Komplikasi Sindrom Reye

Pada beberapa kasus, pembengkakan otak akibat sindrom Reye dapat

menyebabkan kerusakan otak permanen. Komplikasi lain yang mungkin

terjadi antara lain:

1) Penurunan daya ingat dan kemampuan berkonsentrasi

2) Kesulitan menelan dan berbicara

3) Gangguan penglihatan atau pendengaran

4) Kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (seperti berpakaian atau

menggunakan kamar mandi.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Neuralgia trigeminal adalah kondisi nyeri pada wajah bersifat kronis yang terbatas

pada area nervus trigeminal. Nyeri dideskripsikan seperti ditusuk-tusuk, atau seperti

terbakar. Neuralgia trigeminal dapat ditegakkan dengan diagnosa klinis, namun untuk

menyingkirkan Neuralgia trigeminal klasik atau sekunder harus menggunakan modalitas

CT-Scan atau MRI. Karbamazepin merupakan obat lini pertama dalam terapi

farmakologi Neuralgia trigeminal. Rehabilitasi TENS bermanfaat dalam pengurangan


dosis karbamazepin sehingga kemungkinan timbul efek sampingnya berkurang namun

tidak mengubah skala nyeri pasien. Terapi pembedahan yang paling efektif bagi pasien

Neuralgia trigeminal akibat kompresi adalah microvascular decompression. Terapi yang

adekuat untuk pasien Neuralgia trigeminal dapat mengurangi resiko timbulnya

komplikasi.

Bell’s palsy merupakan kelainan paling banyak ditemukan yang mengenai saraf

fasialis. Sampai saat ini, etiologi bell’s palsy masih belum jelas. Terdapat beberapa teori

yang diajukan yaitu struktur anatomi, infeksi virus, iskemia, inflamasi dan stimulasi

dingin. Diagnosis bell’s palsy dilakukan berdasarkan klinis. Terapi yang

direkomendasikan oleh AAN adalah pemberian steroid. Secara umum, bell’s palsy

memiliki prognosis yang baik.

Guillain-Barré syndrome (GBS) adalah penyakit autoimun pada sistem saraf yang

biasanya beronset akut atau sub akut, dipicu oleh infeksi bakteri antesenden atau infeksi

virus antesenden, dan ditandai dengan kelemahan progresif dari ekstremitas, parestesia/

baal ekstremitas, dan arefleksia relatif atau komplit. Deteksi dini secara cepat dan tepat

sangat diperlukan dengan mengetahui faktor risiko, gejala –gejala klinis, dan penegakkan

diagnosis sehingga terapi dapat dilakukan secepatnya untuk prognosis yang baik.

Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan kelemahan

fluktuatif pada otot-otot ekstra okular; bulbar, dan otot-otot proksimal. Kelemahan otot

yang terjadi akan memburuk saat beraktivitas dan membaik setelah beristirahat.

Miastenia gravis disebabkan oleh adanya autoantibodi pada membran pascasinaps pada

taut saraf otot (neuromuscular-junction atau NMJ). Autoantibodi yang umumnya

ditemukan pada serum pasien MG adalah antibodi terhadap reseptor asetilkolin. Adapun
antibodi lain yang terdapat pada pasien MG, yakni muscle-specific kinase (MuSK) dan

low-density lipoprotein receptor-related protein (LRP4). Diagnosis MG ditegakkan

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan neurologis, elektrodiagnostik, serologi untuk

antibodi AChR dan MuSK, serta CT scan torak untuk melihat adanya timoma.

Pengobatan utama pada MG ialah inhibitor enzim kolinesterase dan agen imunosupresif.

Gejala yang resisten terhadap modalitas pengobatan primer atau yang memerlukan

resolusi cepat seperti pada krisis miastenia dapat menggunakan pengobatan

plasmapheresis atau imunoglobulin intravena. Dapat juga dilakukan timektomi, meskipun

belum ada bukti ilmiah mengenai efektivitasnya

Sindrom Lambert-Eaton adalah suatu kondisi di mana sistem kekebalan tubuh

menyerang koneksi antara saraf dan otot. Hal ini paling sering terlihat pada orang dengan

kanker paru-paru sel kecil atau kanker lainnya, namun juga dapat terjadi pada orang tanpa

kanker.Gejala umumnya adalah otot lemah, kesulitan berjalan, sensasi kesemutan,

kelelahan, dan mulut kering.Jika terdapat kanker yang mendasarinya, menemukan dan

mengobatinya adalah prioritas pertama, dan dapat memperbaiki gejala dari kondisi ini.

Perawatan lain termasuk obat-obatan untuk menekan sistem kekebalan atau membantu

memperkuat sinyal antara saraf dan otot.


DAFTAR PUSTAKA

Ganesha Medicina Journal, Vol 2 No 2 September 2022 NEURALGIA TRIGEMINAL

Kesanda I Made Phala1, Putra Bayu Pramana Suryawan2, Wiratama Bayu Kresna3

1,2,3Program Pendidikan Profesi Dokter, Universitas Pendidikan Ganesha.

BELL’S PALSY: SUATU TINJAUAN PUSTAKA Rohmania Setiarini Fakultas

Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Jl. Unizar No.20 Turida Mataram

REVIEW ARTICLE Rachmantoko et al., JPHV 2021;2 DOI:

10.21776/ub.jphv.2021.002.01.3 DIABETIC NEUROPATHIC PAIN Reza Rachmantoko1,

Zamroni Afif2, Dessika Rahmawati2, Rodhiyan Rakhmatiar2, Shahdevi Nandar Kurniawan2

Fadlan Fadilah Wahyu|Guillain-Barré syndrome: Penyakit Langka Beronset Akut yang

Mengancam Nyawa Guillain-Barré Syndrome: Penyakit Langka Beronset Akut yang

Mengancam Nyawa Fadlan Fadilah Wahyu Mahasiswa, Fakultas Kedokteran, Universitas

Lampung

Khairunnisa Salsabila, Hanna Mutiara, dan Rizki Hanriko | Miastenia gravis: Etiologi,

Patofisiologi, Maniestasi Klinis, Penegakkan Diagnosis dan Tatalaksana Miastenia Gravis:

Etiologi, Patofisiologi, Manifestasi Klinis, Penegakkan Diagnosis dan Tatalaksana Khairunnisa

Salsabila1, Hanna Mutiara2, Rizki Hanriko3 1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas

Kedokteran, Universitas Lampung 2 3 Bagian Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas

Lampung Bagian Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

https://hellosehat.com/saraf/otak-tulang-belakang/brachial-plexus-injury/

https://www-hopkinsmedicine-org.translate.goog/health/conditions-and-diseases/lamberteaton-

syndrome?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc

Anda mungkin juga menyukai