REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2017
PYROMANIA
Disusun Oleh :
10542 0542 13
Pembimbing :
FAKULTAS KEDOKTERAN
2017
Yang bertanda tangan di bahwa ini menyatakan bahwa:
Judul : Pyromania
Telah menyelesaikan tugas refarat dalam rangka kepanitraan klinik pada bagian
Ilmu Psikiatri Fakultas Kedoteran Universitas Muhammadiyah Makassar.
Pembimbing
Penulis sampaikan terima kasih krpada dr. Hawaidah, Sp.KJ (K) selaku
pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam
rmembimbing, memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas
ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari yang diharapkan oleh
karena itu dengan kerendahan hati penulis akan senang menerima kritik dan saran
demi perbaikan dan kesempatan tugas ini. Semoga refarat ini dapat bermanfaat
bagi pembaca umumnya dan penulis secara khusus.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
A. Definisi
Piromania merupakan perilaku membuat api secara berulang,
disengaja dan bertujuan. Gambaran terkait mencakup tegangan atau
rangsangan afekteif sebelum melakukannya; terpesona dengan, berminat
pada, rasa ingin tahu mengenai, atau tertarik dengan api dan aktivitas serta
perlengkapan yang berkaitan dengan pemadaman api; dan kesenangan,
kepuasan atau perasaan lega saat membuat api atau ketika menyaksikan
atau berpartisipasi setelah kejadian.1
Pyromania adalah sebuah gangguan pengendalian implus yang
melibatkan adanya dorongan yang tak dapat ditolak untuk melakukan
pembakaran di mana orang itu merasakan ketegangan atau rangsangan
sebelum melakukan pembakaran dan ada perasaan puas atau lega.5
Pyromania merupakan keinginan yang tidak bisa ditekan untuk membakar
sesuatu.6
B. Epidemiologi
Gangguan ini ditemukan lebih sering terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan terutama laki-laki dengan keterampilan sosial
dan kesulitan belajar yang buruk. Tingkat komorditas tinggi lainnya
seperti gangguan penggunaan obat, gangguan perjudian, depresi, gangguan
bipolar, serta ada ditemukan pada gangguan perilaku.3
Pyromia biasanya muncul pada masa kanak-kanak dan remaja.
Prevalensi pada kelompok usia ini telah ditemukan lebih umum daripada
orang dewasa. Sebuah study terhadap 102 pasien rawat inap remaja
dilaporkan bahwa penderita piromania sebanyak 6,9%. Perilaku
pemadaman api sering terlihat pada anak-anak dan remaja, terutama yang
memiliki kondisi kejiwaan. Kolko dan Kazdin (1988) menemukan bahwa
di antara sampel anak-anak yang menghadiri klinik psikiatri rawat jalan,
sekitar 20% memiliki riwayat kebakaran. Untuk sampel anak rawat inap,
rasionya sekitar 35% . Kondisi yang paling sering dikaitkan dengan setting
kebakaran remaja termasuk gangguan kelainan, attention deficit /
hyperactivity disorder, dan adjustment disorder.9
C. Etiologi
Faktor psikososial. Sigmund Freud melihat api sebagai simbol
seksualitas. Ia yakin bahwa kehangatan yang dipancarkan oleh api
mencetuskan sensasi yang sama dengan menyertai kegairahan sexsual dan
bentuk serta gerakan api mewakili penis di dalam aktivitasnya. Psikoanalis
lain mengaitkan piromonia dengan keinginan hebat yang abnormal akan
kekuatan dan gengsi social. Sejumlah pasien dengan piromonia merupakan
pembuat api volunter yang membuat api untuk membuktikan bahwa diri
mereka berani,untuk mendorong pembuatan api lainnya beraksi, atau
untuk menunjukkan kekuatan mereka memadamkan api. Tindakan
pembakaran ini adalah suatu cara untuk mengeluarkan kemarahan yang
bertumpuk terhadap frustasi yang disebabkan oleh rasa inferioritas social,
fisik, atau seksual. Sejumlah penelitian mencatat bahwa ayah pasien
dengan piromania tidak tinggal dirumah. Dengan demikian, suatu
penjelasan mengenai pembuatan api dalam bahwa hal ini mencerminkan
keinginan agar ayah yang tidak ada kembali ke rumah sebagai penyelamat,
menyingkirkan api, dan menelamatkan si anak dari posisinya yang sulit
Pembuatan api perempuan, disamping jauh lebih sedikit jumlahnya
dibanding laki-laki, tidak memulai api untuk mengajak pembuatan api lain
ikut beraksi seperti kebanyakan yang dilakukan oleh pembuat api laki-aki.
Catatan kanakalan perempuan pembuat api yang sering adalah berganti-
ganti pasangan tanpa kesenangan dan pencurian kecil-kecilan, sering
mendekati kleptomania.1
Faktor Biologis. Rendahnya kadar 5-HIAA dan 3-metoksi-
4hidroksifenilglikol (MHPG) yang signifikan di dalam cairan
serebrospinal telah ditemukan pada pembuat api, yang mengesankan
kemungkinan keterlibatan serotonergik atau adrenergik. Adanya
hipoglikemia reaktif, berdasarkan kadar gula darah pada uji toleransi
glukosa, telah dikemukakan sebagai penyebab piromania. Meskipun
demikian, diperlukan studi lebih lanjut.1
Dalam Archives de Neurolopada bulan Desember tahun 1904, Dr
Raoul Leroy melakuakn penelitian pada orang dengan piromania dan
didapatkan kesimpulan bahwa factor keturunan yang sehat pada kedua sisi
ayah dan ibu akan menghasilkan otak yang dapat bertanggung jawab
terhadap gangguan dan masalah diprovokasi untuk implus (dalam hal ini
kasus piromania) pada terjadinya tekanan dalam perkembangan mental
selama masa kritis pubertas10
D. Gambaran klinis
Orang dengan piromania sering secara teratur menonton kebakaran
di lingkungan rumahnya, sering membuat alarm palsu, dan menunjukkan
minat di dalam pernak pernik pemadam kebakaran. Rasa ingin tahu
mereka tampak jelas, tetapi mereka tidak menunjukkan penyesalan dan
mungkin tidak peduli terhadap kerugian nyawa dan harta. Pembuat api
mungkin memperoleh kepuasan melalui kerusakan yang ditimbulkan;
sering mereka meninggalkan petunjuk yang jelas. Gambaran yang sering
dikaitkan mencakup intoksikasi alkohol, disfungsi seksual, IQ di bawah
rata-rata, frustasi diri yang kronis dan kemarahan terhadap figur yang
berwenang. Beberapa pembuat api menjadi terangsang secara seksual oleh
api.1
E. Diagnosis
Kriteria untuk mendiagnosis pyromania bedasarkan Diagnostik and
Statistical Manual of Mental Disorders, edisi keempat, teks revisi (DSM-
IV-TR), yaitu:1,8
1. Membuat api secara disengaja dan bertujuan pada lebih dari satu
kesempatan.
2. Ketegangan atau rangsangan afektif sebelum tindakan.
3. Terpesona dengan, berminat pada, rasa ingin tahu mengenai atau
tertarik dengan api dan konteks situasionalnya(cth, pernak-pernik
penggunaan, akibat).
4. Kesenangan, kepuasan, atau rasa lega ketika membuat api atau ketika
menyaksikan atau berpartisipasi dengan kejadian sesudahnya.
5. Pembuatan api ini tidak dilakukan untuk mendapatkan keuntungan
keuangan sebagai ekspresi terhadap ideology sosiopolitik, untuk
menutupi aktivitas kriminal, untuk menunjukkan kemarahan atau balas
dendam, untuk memperbaiki keadaan kehidupan seorang atau sebagai
penilaian yang terganggu (cth: pada demensia, reterdasi mental,
intoksikasi zat).
6. Pembuatan api sebaiknya tidak disebabkan oleh gangguan tingkah
laku, episode manik atau gangguan kepribadian antisosial.
Kriteria untuk mendiagnosis pyromania (bakar patologis) berdasarkan
PPDGJ-III, yaitu:7
1. Berulang-ulang melakukan pembakaran tanpa motif yang jelas,
misalnya motif untuk mendapatkan uang, balas dendam, atau alas am
politis
2. Sangat tertarik menonton peristiwa kebakaran
3. Perasaan tegang meningkat sebelum melakukan dan sangat terangsang
(intense excitement) segera setelah berhasil dilaksanakan.
F. Diagnosis Banding
Klinisi pasti memiliki sedikit masalah dalam membedakan antara
piromania dan ketertarikan banyak anak untuk bermain korek api, pematik
api, dan api sebagai bagian dari investigasi normalnya terhadap
lingkungan. Piromania juga harus dipisahkan dengan tindakan sabotase
pembakaran yang dilakukan oleh pengacau politik yang bertentangan atau
oleh pelaku bayaran, dinamakan arsonist di dalam sistem hokum.
Jika pembuatan api terdapat di dalam gangguan tingkah laku dan
gangguan kepribadian antisosial, perilaku ini merupakan tindakan yang
disengaja, bukan kegagalan untuk menolak suatu implus. Pasien dengan
skizofrenia atau mania dapat membuat api sebagai respons terhadap
waham atau halusinasi. Pasien dengan disfungsi otak (cth., demensia),
reterdasi mental, atau intoksikasi zat dapat membuat api karena kegagalan
untuk memahami akibat dari perbuatan.1
G. Penatalaksanaan
Pendekatan yang tepat untuk piromania adalah dengan sejumlah
modalitas, termaksud pendekatan perilaku. Karena sifat piromania yang
berulang, setiap program terapi harus mencakup pengawasan pasien guna
mencegah episode berulang perilaku pembuat api. Penahanan mungkuin
salah satu metode untuk mencegah kekambuhan. Terapi perilaku
kemudian dapat dilkukan di dalam institusi.1
Perilaku pembuat api pada anak harus diterapi dengan sangat
serius. Intervasi yang intensif harus dilakukan jika memungkinkan, tetapi
sebagai terapeutik dan preventif, bukan sebagai hukuman. Di dalam kasus
anak dan remaja, tetapi piromania atau perilaku membuat api harus
mencakup terapi keuarga.1
Dalam studi kasus saat ini, obat psikotropika seperti olanzapin dan
natrium valproat dikaitkan dengan perbaikan yang signifikan dalam
kognisi dan fungsi adaptif. Secara khusus, pasien menunjukkan kinerja
yang ditingkatkan pada tindakan perhatian dan control eksekusif,
bermanifestasi secara klinis sebagai pengaturan perilaku. Pada awalnya
data penelitian, menunjukkan bahwa antipsikotik atipikal mungkin
memiliki peran dalam pengolahan gangguan control implus dan
membutuhkan studi lebih lanjut.10
Pada anak-anak dan remaja, fokus pada masalah interpersonal
dalam keluarga. Prinsip terapi perilaku kognitif juga diterapkan pada
setting kebakaran pada anak (Kolko 2001).
terapi pyromania sebagian besar bersifat terapi perilaku atau terfokus pada
intervensi tekanan keluarga atau intrapersonal yang dapat memicu episode
pengaturan kebakaran. Metode pengobatan lainnya mengandalkan
penguatan positif dengan ancaman hukuman dan satiasi stimulus Bumpass
dkk. (1983) merawat 29 setter api anak dan menggunakan teknik grafik
yang menghubungkan stres, perilaku, dan perasaan eksternal pada kertas
grafik. Setelah pengobatan (rata-rata tindak lanjut, 2,5 tahun), hanya dua
dari 29 anak yang terus menyalakan api. Latihan relaksasi juga dapat
digunakan (atau ditambahkan ke teknik grafik) untuk membantu dalam
pengembangan mode alternatif dalam mengatasi tekanan yang mungkin
terjadi sebelum pengaturan kebakaran. Teknik lain menggabungkan
overcorrection, satiation, dan negative practice dengan konsekuensi
korektif. Anak diawasi dalam membangun api kecil yang terkontrol di
lokasi yang aman, yang kemudian dipadamkan oleh anak tersebut.9
H. Prognosis
Jika perilaku membuat api dimulai pada masa kanak-kanak, usia
khas onset piromania tidak diketahui. Jika onsetnya pada masa remaja atau
dewasa, perilaku ini cenderung sengaja merusak. Perilaku membuat api
pada piromania bersifat episodic dan frekuensinya naik turun.
Prognosisnya baik pada anak yang mendapatkan terapi, dan remisi penuh
realistic untuk dicapai. Prognosis untuk orang dewasa terbatas karena
mereka menyangkal tindakan mereka, menolak bertanggung jawab,
bergantung pada alcohol dan memiliki tilikan buruk.1
Terdapat peningkatan kecendrungan pelanggaran selanjutnya jika
telah terdapat riwayat pembakaran sebelumnya dan jika pelanggar hukum
tetap memiliki implus yang tidak tertahankan untuk menyalakan api, atau
meredakan ketegangan, atau mendapatkan kesenangan dari perbuatan
tersebut. Terdapat juga kecendrungan peningkatan pembakaran
selanjutnya jika pelaku menderita psikosisi, disabilitas belajar berat, atau
demensia. Meskipun demikian, penentuan apakah orang tertentu akan
melakukan pelanggaran kembali mungkin sulit dilakuakn, meskipun risiko
pembakaran kembali cukup rendah secara statistic pascaperiode penahann
di penjara atau rumah sakit.2
BAB III
PENUTUP
1. Sadock, Kaplan. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis,
Edisi 2. Jakarta.: EGC. Hlm 356-358
2. Basant K Puri dkk. 2011. Buku Ajar Psikiatri Edisi 2. Jakarta: EGC.
Hlm 399-400
3. SA Federation for Mental Health. Disruptive Impulse Control and
Conduct Disorders Pyromania.
https://www.safmh.org.za/documents/fact-
sheets/Disruptive%20impulse%20control%20and%20conduct%20diso
rders%20-%20pyromania.pdf.
4. Kaplan H. Benjamin J, Jack A. 2010. Gangguan Pengndalian Implus
yang Tidak Diklasifikasikan. Synopsis Psikiatri Jilid 2. Jakarta:
binarupa Aksara Publisher
5. Menaster M. 2011. Psychiatric illness associated with criminally.
Accesed on 23th augustust 2014. Avaible from:
Http://emedicine.medscape.com/acticle/294626-overview
6. Kuntojo. 2009. Psikologi Abnormal. Program studi bimbingan dan
Konseling Universitas Nusantara PGRI Kediri
7. Maslim, Rusdi. 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan
Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta Hlm.109
8. Autralian institute of criminology. 2005. The arsonists mind: part 2-
pyromania. http://www.aic.gov.au
9. Jonathan L. Kirsch dkk. 2014. Impulse Control Disorders: Intermittent
Explosive Disorder, Kleptomania, and Pyromania. Department of
Psychiatry, Albert Einstein College of Medicine, New York, NY, USA
Hlm.1-3, 56-69
10. The British Journal of psychiatry pyromania, a Psychosis of puberty.
2005. Accessed on: 24th August 2014. Available from:
http://bjp.rcpsych.org/content/bjprcpsych/186/6/543.2.full.pdf
11. Park W, Rausel D, sobhi G, Michael D, peter W, sean A, Response of
pyromania to Biological treatment in a Homeless Person 2005.
Available from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2416759/pdf/ndt-
0103-277.pdf
12. Jjjj
13. Mmm
14. kkk