Anda di halaman 1dari 17

I.

PENDAHULUAN

Diare merupakan penyakit yang sering ditemui pada daerah tropis (Indonesia, India dan kawasan Asia tenggara). Di Indonesia, penyakit ini sudah menjadi endemik dikarenakan hampir tiap tahun selalu ada sekian jumlah pasien yang menderita diare. Selain itu di Indonesia memiliki iklim yang sangat mendukung dari pertumbuhan amoeba tersebut (Qesman, 2009). Lebih lagi di Indonesia contohnya di purwokerto hampir seluruh warganya memiliki kesadaran kesehatan yang masih minim. Oleh karena itu perlu waktu yang lama dan peran banyak dari banyak pemerintah untuk menekan jumah kejadian diare. Diare juga merupakan penyakit yang dapat berakibat gawat. Hal ini karena diare dapat menyebabkan dehidrasi. Oleh karena itu jika tidak ditangani dengan serius diare dapat menyebabkan kematian. Diagnosa lebih awal dan

penatalaksanaan lebih awal akan akan mencegah kemungkinan bertambah parahnya penyakit, dan mengurangi angka mortalitas pada kejadian diare (Qesman, 2009). Adapun tujuan dari pembuatan referat ini ialah untuk mengetahui: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Etiologi Epidemiologi Faktor risiko Tanda dan gejala Penegakan diagnosis Patogenesis Patofisiologi dan Penatalaksanaan dari diare et causa amoeba

II.

ISI

A. Definisi Amoebiasis merupakan suatu penyakit saluran pencernaan yang disebabkan oleh amoeba (tersering Entamoeba histolytica), dengan atau tanpa gejalanya. Contoh penyakit yang disebabkan oleh infeksi amoeba adalah disentri amoeba dan diare et causa amoeba. Perbedaan keduanya ialah pada frekuensi defekasi, dimana pada diare pasien akan memiliki gejala berupa buang air besar kurang lebih 4 kali sehari, dengan feses yang encer disertai dengan dehidrasi (Munjal et al., 2012).. Pada disentri akan ditemui gejala berupa buang air besar 6-8 kali sehari, dengan feses yang encer disertai lendir dan darah. Namun keduanya dapat berbahaya jika tidak ditangani dengan serius. Selain Entamoeba histolytica, amoeba penyebab infeksi pada manusia lainnya adalah E. moshkovskii, E. hartmannii, E. gingivalis, Endolimax nana dan Iodamoeba butschii (Munjal et al., 2012).

B. Etiologi Penyebab penyakit ini ialah protozoa dari genus amoeba. Sebagaimana disebutkan diatas spesies yang paling banyak menyebabkan diare adalah E. histolytica. Beberapa spesies penyebab diare lainnya adalah E. moshkovskii, E. hartmannii, E. gingivalis, Endolimax nana dan I. butschii (Munjal et al., 2012). Faktor predisposisi dari penyakit ini ialah (Utah Departemend of Health, 2003) : 1. Tinggal di negara miskin atau berkembang, 2. Sanitasi yang buruk, 3. Homoseksual, 4. Kebiasaan yang jorok (makan tanpa cuci tangan, buang sampah sembarangan, mck di sungai dsb), 5. Tinggal di daerah kumuh, dan 6. Higienisitas yang buruk

C. Epidemiologi Prevalensi penyakit ini di setiap daerah sangat bervariasi, diperkirakan 10% populasi di dunia terinfeksi penyakit ini. Prevalensi tertinggi berada pada negara-negara tropis (sekitar 50-80 %). Hal ini dikaitkan dengan faktor-faktor berupa iklim, letak geografik dan demografi dari negara tersebut, sebagaimana dijelaskan diatas (Qesman, 2009). Di Indonesia, amoebiasis banyak dijumpai di daerah endemi. Prevalensi penyakit ini di berbagai daerah Indonesia rata-rata 10-18%. Dikarenakan peyakit ini erat kaitannya dengan sanitasi lingkungan, maka penyakit ini juga banyak dijumpai di seluruh negara di dunia terutama di negara berkembang, negara beriklim tropis dan subtropis (Rasmaliah, 2001). Di Republik Rakyat Cina, Mesir, India dan Belanda memiliki angka prevalensi antara 10,1-11,5%. Di daerah Eropa Utara angka

prevalensinya 5-20%, Eropa Selatan 20-51% dan di Amerika Serikat 20%. Di negara maju seperti Eropa dan Amerika, angka prevalensinya diukur dengan jumlah pengandung kista (Rasmaliah, 2001).

D. Faktor Risiko Faktor risiko terkuat dalam analisis mentah adalah usia antara 25 dan 34 tahun dan perjalanan luar Kanada. Risiko diare lebih rendah ketika probabilitas kontaminasi adalah moderat dan penggunaan air swasta pasokan. Kontak dengan hewan ternak tidak dikaitkan dengan peningkatan risiko diare dalam analisis multivariat, hanya kelompok usia 25-34 tahun dan penggunaan persediaan air swasta tetap secara signifikan terkait dengan status penyakit (St-Pierre, 2009). Faktor risiko lain adalah (Simadibrata et al., 2009). 1. Baru saja melancong ke negara berkembang atau daerah tropis. 2. Mengonsumsi makanan tertentu termasuk jenis dan lokasi dimana makanan dan minuman dimakan. 3. Individu dengan penurunan kekebalan tubuh (AIDS) 4. Efek samping obat obatan (antibiotik, AINS), antidepresan tertentu, antasida dan laksatif.

E. Tanda dan Gejala Tanda dan gejala yang dapat ditemukan pada penyakit ini ialah (Soewondo, 2009): 1. Rasa nyeri dan kram perut (kolik) 2. Rasa nyeri ketika BAB (tenesmus) 3. Feses keluar bercampur darah dan lendirPatofisiologi 4. Demam 5. Mual dan muntah 6. Carrier 7. Diare dan dehidrasi 8. Badan letih lemah 9. Menurunnya nafsu makan

F. Penegakan Diagnosis 1. Anamnesis Pasien Biasanya datang dengan keluhan yang khas, yaitu nausea, muntah, nyeri abdomen, demam, dan defekasi yang sering. Patogen pada usus halus biasanya tidak invasif dan patogen ileokolon lebih bersifat invasif. Pasien yang mengalami invasi toksigenik biasanya akan mengalami nausea dan muntah sebagai gejala prominen bersamaan dengan diare air tapi jarang mengalami demam. Muntah yang dialami saat beberapa jam setelah makan menandakan adanya keracunan makanan karena toksin yang dihasilkan, Diarea air merupakan gejala tipikal dari organisme yang menginvasi epitel usus dengan inflamasi minimal, seperti virus enterik, atau organisme yang menempel tetapi tidak menghancurkan epitel seperti enteropathogenic E Coli (Simadibrata dan Daldiyono, 2009). Dehidrasi dapat timbul jika diare berat dan asupan oral terbatas karena nausea dan muntah, terutama pada anak kecil dan lanjut usia. Dehidrasi bermanifestasi sebagai rasa haus yang meningkat,

berkurangnya jumlah buang air kecil dengan warna urin gelap, tidak mampu berkeringat, dan perubahan ortostatik (Simadibrata et al., 2009).

2.

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik biasanya dilakukan untuk mengetahui

bagaimana derajat beratnya diare daripada menentukan etiologinya. Status volume dinilai dengan memperhatikan perubahan ortostatik pada tekanan darah dan nadi, temperatur tubuh dan tanda toksisitas (Simadibrata et al., 2009). 3. Pemeriksaan Penunjang Pada pasien yang mengalami dehidrasi atau toksisitas berat atau diare berlangsung lebih dari beberapa hari, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan tersebut antaralain pemeriksaan darah tepi lengkap (hemoglobin, hematokrit, leukosit, hitung jenis leukosit), kadar eliktrolit serum,ureum dan kretinin, pemeriksaan tinja dan pemeriksaan enzyme-linked immunorsorbent assay (ELISA) mendeteksi giardiasis dan tes serologic amebiasis, dan foto x-ray abdomen. Pasien dengan diare karena virus, biasanya memiliki jumlah dan hitung jenis leukosit yang normal atau limfositosis. pasien dengan infeksi bakteri terutama pada infeksi bakteri yang infasif ke mukosa, memiliki leukositosis dengan kelebihan darah putih muda. Neurotropenia dapat timbul pada salmonellosis (Simadibrata et al., 2009). Ureum dan kreatinin di periksa untuk memeriksa adanya kekurangan volume cairan dan mineral tubuh pemeriksaaan tinja dilakukan untuk mellihat adanya leukosit dalam tinja yang menunjukan adanya infeksi bakteri, adanya telur cacing dan parasit dewasa. Pasien yang telah mendapatkan pengobatan antibiotik dalam tiga bulan sebelumnya atau yang mengalami diare di rumah sakit sebaiknya diperiksa tinja untuk pengukuran toksin Clostridium difficile. Rektoskopi atau sigmoidoskopi perlu dipertimbangkan pada pasien pasien yang toksik, pasien dengan diare berdarah, atau pasien dengan diare akut persisten. Biopsi mukosa sebaiknya dilakukan jika mukosa terlihat inflamasi berat (Simadibrata et al., 2009).

G. Patogenesis Yang berperan dalam terjadinya diare akut terutama karena infeksi yaitu faktor kausal (agent) dan faktor penjamu (host). Faktor penjamu adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap organisme yang dapat menimbulkan diare akut, terdiri dari faktor faktor daya tangkis lingkungan saluran cerna. Faktor faktor tersebut antara lain adalah keasaman lambung, motilitas usus, imunitas, dan juga lingkungan mikroflora usus. Faktor kausal adalah daya penetrasi yang dapat merusak sel mukosa, kemampuan memproduksi toksin yang mempengaruhi sekresi cairan usus halus dan daya lekat kuman. Patogenesis dari diare dibedakan atas : diare karena bakteri non-invasif (enterotoksigenik) dan diare karena bakteri atau parasit invasif (enteroinvasif) (Simadibrata et al., 2009). Untuk diare karena bakteri non-invasif, biasanya diakibatkan oleh bakteri yang tidak merusak mukosa misalnya Enterotoxigenic E.Coli (ETEC) dan C. Perfringens V. Cholerae eltor. Bakteri bakteri ini akan mengeluarkan toksin yang terikat pada usus halus 15 30 menit setelah dikeluarkan. Enterotoksin ini akan menyebabkan terjadinya kegiatan berlebihan dari nikotinamid adenin dinukleotid pada dinding sel usus, sehingga menyebabkan kadar adenosin 3,5-siklik monofosfat dalam sel meningkat, sehingga sekresi aktif anion klorida kedalam lumen usus yang diikuti oleh air ion bikarbonat, natrium dan kalium (Simadibrata et al., 2009). Pada diare karena bakteri atau parasit invasif, bakteri yang biasanya bersifat invasif adalah Enteroinvasive E.Coli, Salmonella, Shigella, Yersinia, C. perfringens tipe C. Diare disebabkan oleh rusaknya dinding usus berupa nekrosis dan ulserasi. Sifat diarenya adalah ulseratif eksudatif. Cairan diare dapat bercampur dengan lendir dan darah (Simadibrata et al., 2009).

H. Patofisiologi 1. Mual dan muntah Mual dan muntah yang terjadi pada penderita amebiasis dipicu oleh toksin yang dikeluarkan oleh trofozoit. Toksin ini kemudian akan merangsang serabut aferen menuju daerah medula oblongata dan memacu timbulnya respon mual dan muntah. Serabut eferen yang keluar dari medula oblongata ini bercabang ke beberapa tempat seperti diafragma, esofagus, faring, dan mulut. Serabut eferen yang menuju diafragma akan meningkatkan tekanan intraabdomen sehingga memicu timbulnya aliran retrograde yang mengalirkan makanan yang sudah berada di saluran cerna bawah kembali ke atas (Hasler, 2005) 2. Demam Bentukan E. hystolytica mempunyai kemampuan menginvasi dinding usus adalah trofozoit. Ketika trofozoit hendak menginvasi dinding usus, trofozoit ini akan mengeluarkan lectin galactose N-acetylgalactosamine (GaI/GaINAc). Hal yang ini dapat menimbulkan mikroulserasi yang selanjutnya mampu mendatangkan neutrofil sehingga menimbulkan reaksi peradangan. Mikroulserasi ini ditandai dengan ulserasi kecil berbatas tegas dengan kondisi mukosa yang masih normal. Apabila ulserasi ini meluas pada jaringan submukosa, maka akan menimbulkan ulserasi dengan bentukan mirip botol labu yang pada tepinya ditemukan trofozoit (Reed, 2005). 3. Carrier Baik trofozoit maupun kista dapat ditemukan di dalam usus. Akan tetapi, keberadaan trofozoit dan kista ini tidak selamanya menimbulkan gejala yang cukup berarti, atau dengan kata lain kondisi ini bisa saja asimtomatik. Bahkan kondisi asimtomatik ini terjadi pada 90% orang yang pada ususnya ditemukan trofozoit maupun kista (Soewondo, 2009). Hal tersebut diatas terjadi apabila trofozoit yang ada di dalam usus tidak melakukan invasi pada dinding usus. Kondisi ini dinamakn dengan kondisi carrier atau cyst passer. Ulserasi yang terjadi di daerah mukosa

terbilang lebih kecil daripada ulserasi yang terdapat di daerah submukosa dan muskularis. Hal ini menjadi ciri khas dari infeksi amoeba (Soewondo, 2009). Trofozoit memiliki kemampuan sitolitik, sehingga neutrofil yang ada mampu dibunuh dengan pengeluarkan racun neutrofil berupa fosfolipase A serta pembentukan lubang peptida. Hal ini menyebabkan peradangan di daerah ulserasi menjadi minimal. Neutrofil yang lisis ini juga bisa ditemukan sebagai bentukan khas pada infeksi amebiasis berupa kristal Charcot-Leyden. Kristal ini bisa ditemukan pada cairan serosa pada sekresi bronkial penderita asma atau pada tinja penderita amebiasis. Selain itu trofozoit juga memiliki kandungan protein sistein ekstraseluler yang mampu mendegradasi kolagen, elastin, IgA, IgG, dan anafilatoxin C3a dan C5a. Trofozoit juga memiliki enzim yang mampu merusak ikatan glikoprotein antara mukosa epitel dalam usus, yaitu enzim

fosfoglukomutase (Reed, 2005). 4. Feses bercampur darah dan lendir Darah beserta lendir yang keluar bercampur dengan feses menunjukka terjadinya ulserasi yang terdapat di dalam usus besar. Lendir yang keluar menunjukkan lapisan mukosa usus yang rusak. Darah yang terdapat pada feses penderita amebiasis biasanya berwarna gelap, hal ini berkaitan dengan predileksi terjadinya ulserasi yang biasanya terdapat di bagian proximal seperti caecum (Herry, 1996). 5. Diare dan dehidrasi Kerusakan dinding usus yang merupakan akibat dari infeksi amoeba ini menyebabkan fungsi penyerapan yang dilakukan oleh usus menjadi terganggu. Salah satu fungsi yang terganggu adalah fungsi absorpsi air. Kerusakan dinding usus yang disebabkan oleh infeksi amoeba ini akan menyebabkan absorpsi air terganggu karena permukaan absorpsi usus mengalami kerusakan. Hal ini menyebabkan air yang berlebih dalam saluran cerna tidak bisa diserap kembali ke dalam tubuh, sehingga feses yang dihasilkan berbentuk encer. Selain itu penyerapan air yang terganggu membuat lumen mudah untuk penuh, hal ini menyebabkan stimulus untuk

melakukan buang air besar terjadi sering meskipun feses yang dikeluarkan sebagian besar adalah cairan (Behrman, 2004).

I.

Gambaran Histopatologi

Gambar 2.1. Gambaran histopatologi saluran pencernaan pada diare et causa amoeba pada pewarnaan hematoxylin eosin (HE) (Gulwani, 2013).

Representasi folikel limfoid dan agregat. A, agregat besar limfoid. B, agregat limfoid Basal. C, agregat limfoid subepitel. D, limfoid folikel. E, beberapa agregat limfoid dalam beberapa biopsi dalam sampel yang sama. F, A folikel limfoid dan agregat limfoid bersamaan di biopsi yang sama (hematoxylin-eosin, perbesaran asli 200 [A sampai D], 25 [E], dan 50 [F]) (Gulwani, 2013).

J.

Tatalaksana 1. Terapi lama a) Medikamentosa Pada kasus amebiasis ekstraintestinal (misal pada abses hati amoeba). Dapat diberikan metronidazol 750 mg dengan dosis pemberian 3 kali sehari dan diberikan selama 5-10 hari, dengan ditambah dengan obat luminal tersebut diatas. Beberapa obat yang dapat diberikan pada amebiasis ekstraintestinal antaralain (Sudoyo et al, 2009): a) Kloroquin fosfat 1 gram perhari, diberikan selama 2 hari, lalu dilanjutkan 500mg/hari selama 19 hari. b) Emetin 1 mg/KgBB/hari secara intra muskuler (maksimal pemberian) dengan lama pemberian selama 10 hari. Obat ini efektif untuk membunuh tropozoid pada jaringan maupun pada lumen usus. Namun obat ini tidak efektif untuk membunuh amuba pada lumen usus. Obat ini dapat memberikan efek samping berupa mual, muntah, diare, kram perut, nyeri otot, takikardia, hipotensi hingga inversi gelombang T dan QT memanjang pada EKG. Oleh karena itu pasien yang mendapatkan pengobatan ini disarankan untuk dalam keadaan tirah baring dengan pemantauan EKG. Pada karier atau penderita yang asimptomatik, dapat diberikan Iodoquinol (diiodo-hidroxyquin) 650 mg, merupakan obat yang bekerja pada lumen usus. Obat ini diberikan dengan dosis tiga kali sehari. Pengobatan dilakukan selama 20 hari (Sudoyo et al., 2009). Obat ini merupakan obat yang bersifat amubisid (membunuh amoeba), namun dengan mekanisme kerja yang belum diketahui. Obat ini efektif untuk amoeba dalam bentuk motil maupun kista. Namun obat ini hanya efektif pada amoeba pada lumen usus, dan tidak efektif untuk abses amuba dan amubiasis hati (Gunawan et al., 2011).

10

Selain

iodoquinol,

pilihan

obat

lainnya

dapat

diberikan

paramomycine 500 mg, dengan dosis 3 kali sehari. Obat ini diberikan selama 10 hari. Pada ameba akut, dapat diberikan metronidazole 750 dengan dosis 3 kali sehari, selama 5-10 hari. Pada pengobatan ini diberikan pula obat luminal tersebut diatas (Sudoyo et al., 2009). Obat ini merupakan amubisid yang sangat efektif, dan belum ada amuba yang resisten terhadap obat ini. Efek samping obat ini dapat berupa sakit kepala, mual, mulut kering dan rasa kecap logam. Efek samping yang jarang ditemukan seperti muntah, diare dan spasme usus (Gunawan et al., 2011). b) Non medikamentosa Mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit Pada keadaan disentri, pasien dapat mengalami dapat mengalami kehilangan cairan maupun elektrolit. Untuk itu dapat diberikan rehidrasi secara oral untuk mengembalikan cairan dan elektrolit. Namun pada pasien dengan dehidrasi berat dapat diberikan rehidrasi secara intravena jika rehidrasi secara oral tidak efektif (Sagala, 2013).

2. Terapi baru Penatalaksanaan penyakit ini dengan cara terbaru ialah: a) Menjaga sanitasi Pencegahan Kebersihan perorangan antara lain mencuci tangan dengan bersih secara menyeluruh menggunakan sabun dan air panas setelah mencuci anus dan sebelum maka. Menghindari berbagai handuk atau kain wajah.Kebersihan lingkungan antara lain memasak air minum sampai mendidih sebelum diminum, mencuci sayuran atau memasaknya sebelum dimakan, buang air besar di jamban, tidak menggunakan tinja manusia untuk pupuk, menutup dengan baik makanan yang dihidangkan,membuang sampah di tempat sampah yang ditutup untuk menghindari lalat (Sagala, 2013).

11

b) Kelompok absorbent Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan infeksius atau toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit (Sagala, 2013). c) Zat Hidrofilik Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium, Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk kolloid dengan cairan dalam lumen akan mengurang frekwensi dan konsistensi feses tetapi tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit.pemakaiannya adalah 5-10 cc/2x sehari dilarutkan dalam air atau dalam bentuk kapsul dan tablet (Sagala, 2013). d) Probiotik Probiotik merupakan mikroorganisme yang bila dikonsumsi peroral akan memberikan dampak positif bagi kesehatan manusia dan merupakan strain flora usus normal yang telah diisolasi dari tinja manusia sehat. Kaitan ilmiah antara probiotik dan manfaatnya bagi kesehatan manusia pertama kali diungkapkan oleh ahli mikrobiologi Rusia yang bernama Metchnikoff (1907). Ia mengatakan bahwa asam laktat yang dihasilkan oleh laktobacillus dalam yogurt dapat menghambat pertumbuhan beberapa spesies bakteri patogen (Sagala, 2013). 1) Kelompok probiotik yang terdiri dari : Lactobacillus dan Bifidobacteria atau Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran cerna akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan reseptor saluran cerna. Syarat penggunaan dan keberhasilan

mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan dalam jumlah yang adekuat (Sagala, 2013).

12

e) Zink Pemberian zink selama diare akut efektif menurunkan lamanya dan beratnya penyakit. Oleh karena itu pengobatan dengan menggunakan zink mempunyai potensi menurunkan kematian diare sebanyak 2.5 juta orang setiap tahunnya. Secara keseluruhan penurunan resiko diare yang lama, (diare yang berakhir 7 hari) sebanyak < 20% dan mempunyai interval kepercayaan, zink dan suplemen vitamin A berinteraksi dalam menurunkan prevalensi dari diare (Sagala, 2013). Fakta bertahun-tahun telah menunjukkan bahwa suplemen zink mengurangi lamanya dan derajat keparahan diare. Zink merupakan mikronutrien yang penting dan melindungi membrana sel dari kerusakan oksidatif. Zink tidak disimpan dalam tubuh, sehingga kadar zink ditentukan oleh keseimbangan pemasukan makanan, absorpsi, dan kehilangan. Keadaan kekurangan zink dapat terjadi pada anak-anak dengan diare akut sebagai akibat kehilangan melalui usus. Kemanjuran zink dalam pengobatan terhadap diare didukung oleh beberapa percobaan secara random, dan terkontrol yang menunjukkan penurunan lamanya diare, jumlah pengeluaran tinja, dan frekuensi buang air besar (Sagala, 2013). Pada penelitian observasional, kadar zink dalam plasma yang rendah berhubungan dengan peningkatan derajat keparahan diare. Pemberian zink dengan dosis 20 40 mg kepada anak-anak dengan gastroenteritis ringan memberi hasil penurunan lamanya diare dan frekuensi BAB pada percobaan plasebo terkontrol (Sagala, 2013).

K. Prognosis Dengan pemberian pengobatan yang tepat serta adekuat, sebagian besar kasus disentri bakteri dan amebic akan mereda dalam waktu 10 hari, dan sebagian besar individu akan sembuh dalam waktu 2 sampai 4 minggu setelah mulai pengobatan. Prognosis untuk penyakit yang tidak diobati bervariasi dengan status kekebalan individu dan tingkat keparahan penyakit. Dehidrasi ekstrim akan memperpanjang pemulihan dan menempatkan orang

13

pada risiko yang lebih besar untuk komplikasi serius. Pada Kebanyakan orang dewasa di negara maju bisa sembuh sepenuhnya dari episode disentri. risiko lebih besar untuk mengalami dehidrasi ialah anak-anak , disentri basiler pada khususnya dapat menyebabkan kematian anak karena dehidrasi dalam waktu 12 - 24 jam (Younger, 2008). Kebanyakan orang yang terinfeksi Entamoeba histolytica tidak menjadi parah. Pasien yang mengalami hal yang lebih parah pada kasus disentri amuba adalah pasien pasien yang memiliki peningkatan risiko untuk komplikasi seperti kolitis fulminan atau abses hati. Sekitar 0,5 persen dari pasien dengan disentri amuba bisa mengalami kolitis fulminan, dan kebanyakan berisiko untuk menimbulkan kematian. Antara 2 dan 7 persen kasus abses amoebic hati, jika terjadi pecahnya abses maka tingkat kematian akan menjadi tinggi. Pria 7 12 kali lebih mungkin untuk mengalami abses hati daripada wanita. Setiap pasien yang didiagnosis dengan disentri ameba harus dilakukan pemeriksaan tinjanya untuk melihat apakah ada kambuh saat 1, 3, dan 6 bulan setelah pengobatan dengan obat, untuk mengetahui apakah mereka telah mengalami komplikasi (Younger, 2008). L. Komplikasi Komplikasi utama diare adalah dehidrasi, malnutrisi, dan penurunan berat badan. Tanda - tanda dehidrasi akan sulit untuk dilihat, tetapi peningkatkan rasa haus, mulut kering, keletihan (terutama jika memburuk pada saat berdiri), atau warna gelap saat berkemih. Dehidrasi berat menyebabkan perubahan kimia dalam tubuh dan dapat mengancam jiwa. Dehidrasi akibat diare dapat menyebabkan gagal ginjal, gejala neurologis, arthritis, dan masalah kulit (Gale, 2008).

14

III. 1.

KESIMPULAN

Diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali sehari dan definisikan sebagai buang air besar dengan feses yang tidak berbentuk (unformed stools) atau cair dengan frekuensi lebih dari tiga kali dalam 24 jam.

2.

Ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap tahun dengan mortalitas 3 4 juta pertahun.

3. 4. 5.

90 % dari kasus disebabkan karena adanya infeksi sedangkan 10 % adalah karena obat obat, toksin, alergi, iskemia dan keadaan lain. Pasien dengan diare akut akibat infeksi sering mengalami nausea, muntah, nyeri perut sampai kejang perut, dan demam. Pada umumnya prognosis baik, bergantung pada cepatnya penanganan. Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung.

15

DAFTAR PUSTAKA

Behrman, Kliegman, Arvin dan Samik Wahab. 2004. Penyakit Protozoa. Dalam : Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 16. Volume 2. Jakarta: EGC Gale. 2008. Gale Encyclopedia of Medicine. USA : The Gale Group Gulwani, H., 2013. Diarrhea/Dysentry-General. Available at: http://www.pathologyoutlines.com/topic/colondiarrheageneral.html (Diunduh pada 24 Mei 2013). Gunawan, Sulistia G., Rianto Setiabudy, Nafrialdi dan Elysabeth. 2011. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Inonesia (FKUI) Herry J. B. Examination of Feces, in Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods. Nine Ed, WB Saunder Co, Philadelphia, 1996 ; 537541. Sagala, Khalid Huda, 2013. Diare Akut Infeksius Pada Dewasa. Available at : http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-umar4.pdf, terakhir diakses pada tanggal 25 Mei 2013. Munjal, A. Muruganathan, T. Geetha, Sandhya A. Kamath, Siddharth N. Shah, Shashank R. Joshi, Samar Barnejee, et al., 2012. Medical Update Vol. 23. India: Association of Physicians of India (API) Qesman, N., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing Rasmaliah. 2001. Epidemiologi Amoebiasis dan Upaya Pencegahannya. Available at: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3702/1/fkmrasmaliah2.pdf, terakhir diakses pada tanggal 25 Mei 2013. Reed, S. L., 2005. Amebiasis and Infection with Free-Living Amebas. In : Harrison, Dennis L et al. 16th Edition Harrisons Principle of Internal Medicine. New York : Mc Graw Hill Simadibrata, Marcellus dan Daldiyono. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta : Interna Publishing Soewondo, Eddy Soewandojo. 2009. Amebiasis. Dalam : Sudoyo, Aru W., et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing St-Pierre, Christine, Patrick Levallois, Suzanne Gingras, Pierre Payment dan Marc Gignac. 2009. Risk of diarrhea with adult residents of municipalities with significant livestock production activities. J Public Health. 2009; 31 (2): 278 285.

16

Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K. dan Siti Setiati. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing Utah Departement of Health. 2003. Amebiasis (amebic dysentery). Available at: http://health.utah.gov/epi/fact_sheets/amebia.pdf, terakhir diakses pada tanggal 25 Mei 2012. Younger, Paula. 2012. The Gale Encyclopedia of Medicine 4th edition. Michigan : Emerald Group Publishing Limited

17

Anda mungkin juga menyukai