A. PENGERTIAN TIFOID
Demam tifoid adalah salah satu penyakit yang sangat penting di beberapa negara
berkembang. Penyakit ini terjadi dan penyebarannya tidak bergantung pada iklim.
Menurut data WHO (2003), di Indonesia rata-rata terjadi kasus demam tifoid 900.000
per tahun dengan angka kematian lebih dari 20.000 dan lebih dari 91 % menyerang
anak dengan usia 3 – 19 tahun.
Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella typhi yaitu bakteri enterik gram negatif
berbentuk basil dan bersifat patogen pada manusia, dan bersifat patogen pada
manusia (Nurtjahjani, 2007). Thypoid mudah berpindah dari satu orang ke orang lain
yang kurang menjaga kebersihan diri dan lingkungannya yaitu penularan secara
langsung jika bakteri ini terdapat pada feses, urine atau muntahan penderita dapat
menularkan kepada orang lain dan secara tidak langsung melalui makanan atau
minuman (Djauzi, 2005; Easmon, 2005, Vollard 2007).
Penyakit ini disebarkan melalui jalur fecal-oral dan hanya menginfeksi manusia yang
mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh bakteri Salmonella
typhi. Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu penderita demam tifoid dan
karier. Seseorang yang karier adalah orang yang pernah menderita demam tifoid dan
terus membawa penyakit ini untuk beberapa waktu atau selamanya. Individu yang
mengekskresi bakteri ini dalam tinjanya untuk jangka waktu yang bervariasi disebut
sebagai karier konvalesen, biasanya dalam bulan ketiga penderita tidak lagi
mengekskresi mikroorganisme tersebut. Individu yang mengekskresi Salmonella
typhi selama setahun atau lebih disebut karier kronis. Antara 1 – 5% dari pasien
yang mengalami infeksi akut akan menjadi karier yang kronis. Hal ini tergantung pada
umur, jenis kelamin dan perawatannya. Karier kronis pada umumnya terjadi pada
wanita dan penderita dengan usia di atas 50 tahun (Spicer, 2000; Mansjoer, 2001;
WHO, 2003; Medicine Team, 2005).
Brusch (2006) mengatakan beberapa penelitian di seluruh dunia menemukan bahwa
laki-laki lebih sering terkena demam tifoid, karena laki-laki lebih sering bekerja dan
makan di luar rumah yang tidak terjamin kebersihannya. Tetapi berdasarkan dari
daya tahan tubuh, wanita lebih berpeluang untuk terkena dampak yang lebih berat
atau mendapat komplikasi dari demam tifoid. Salah satu teori yang menunjukkan hal
1
tersebut adalah ketika Salmonella typhi masuk ke dalam sel-sel hati, maka hormon
estrogen pada wanita akan bekerja lebih berat karena menangani dua hal sekaligus.
Penularan demam tifoid dapat terjadi melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5F.
Jalur penularan 5F tersebut antara lain :
1. Food
2. Fingers
3. Fomitus
4. Fly
5. Feces
Feces dan muntahan dari penderita demam tifoif dapat menularkan bakteri
Salmonella thypii kepada orang lain. Kuman tersebut ditularkan melalui makanan
atau minuman yang terkontaminasi dan melalui perantara lalat, dimana lalat tersebut
akan hinggap di makanan yang akan dikonsumsi oleh orang sehat. Apabila orang
tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan
makanan yang tercemar oleh bakteri Salmonella thipii masuk ke tubuh orang yang
sehat melalui mulut selanjutnya orang sehat tersebut akan menjadi sakit (Zulkoni,
2010).
B. FAKTOR RESIKO
Faktor Resiko penyakit demam Tifoid setelah dilakukan survey pada suatu tempat
diantaranya adalah :
1. Kebiasaan host (kebiasaan cuci tangan, penggunaan jamban)
2. Konsumsi makanan (kebiasaan mengkonsumsi makanan, pengolahan sumber
makanan, dan tempat makan)
3. Faktor lingkungan (adanya vektor penyakit yaitu lalat)
C. MANIFESTASI KLINIS
Prognosis demam tifoid pada anak baik bila pasien segera berobat. Mortalitas pada
pasien yang dirawat adalah +- 6%. Prognosis ini menjadi buruk bila terdapat
gambaran klinis yang berat seperti :
1. Demam tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinua
Demam ini bisa mencapai angka 40derajat C. Gejala demam disebabkan oleh
endotoksin, sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan
pada usus.
2. Kesadaran sangat menurun (sopor, koma, atau delirium)
2
Pasien menjadi lemah
3. Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis, serta perforasi.
Komplikasi biasanya terjadi pada usus halus, namun hal tersebut jarang terjadi.
Apabila komplikasi ini terjadi pada seorang anak, maka dapat berakibat fatal.
Gangguan pada usus halus ini dapat berupa :
1. Perdarahan usus
Apabila perdarahan terjadi dalam jumlah sedikit, perdarahan tersebut hanya dapat
ditemukan jika dilakukan pemeriksaan feses dengan benzidin; jika perdarahan
banyak, maka dapat terjadi melena yang bisa disertai nyeri perut dengan tanda –
tanda renjatan. Perforasi usus biasanya timbul pada minggu ketiga atau setelahnya
dan terjadi pada bagian usus distal ileum
2. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara
di ronga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati
dan diafragma pada foto rontgent abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak
3. Peritonitis
Peritonitis biasanya menyertai perforasi, namun dapat juga terjadi tanpa perforasi
usus. Ditemukan gejala abdomen akut seperti nyeri akut perut yang hebat, dinding
abdomen tegang (defence musculair), dan nyeri tekan
4. Komplikasi diluar usus
Terjadi lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakterimia) yaitu meningitis,
kolesistisis, ensefelopati, dan lain – lain. Komplikasi diluar usus ini terjadi karena
infeksi sekunder, yaitu bronkopneumonia sehingga menyebabkan pasien menjadi
sesak napas.
Selain itu pasien juga mengalami gejala seperti sakit kepala yang luar biasa,
penurunan nafsu makan, dann diare.
D. ETIOLOGI
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica
serotype typhi atau bisa juga disebabkan oleh bakteri Salmonella parathypii. Bakteri
ini umumnya terdapat dalam air atau makanan yang ditularkan oleh orang yang
terinfeksi bakteri tersebut sebelumnya.
3
Penyebab penyakit ini adalah jenis Salmonella typhosa, bakteri ini memiliki ciri – ciri
sebagai berikut :
1. Basil gram negatif yang bergerak dengan bulu getar dan tidak berspora
2. Memiliki paling sedikir 3 macam antigen, yaitu antigen O (somatik yang terdiri
atas zat kompleks lipopolisakarida), antigen H (flegella), dan antigen Vi.
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium pasien, biasanya terdapat zat anti
(aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.
Salmonella terdiri atas beratus – ratus spesies, namun memiliki susunan antigen yang
serupa, yaitu sekurang – kurangnya antigen O (somatik) dan antigen H (flegella).
Perbedaan di antara spesies tersebut disebabkan oleh faktor antigen dan sifat
biokimia.
Mekanisme masuknya kuman diawali dengan infeksi yang terjadi pada saluran
pencernaan, basil diserap oleh usus melalui pembuluh limfe lalu masuk ke dalam
peredaran darah sampai di organ – organ lain, terutama hati dan limpa. Basil yang
tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limpa sehingga organ – organ
tersebut akan membesar disertai dengan rasa nyeri pada perabaan, kemudian basil
masuk kembali ke dalam darah (bakterimia) dan menyebar ke seluruh tubuh terutama
ke dalam kelenjar limfoid usus halus, sehingga menimbulkan tukak berbentuk lonjong
pada mukosa di atas plak Peyeri’ tukak tersebut dapat menimbulkan perdarahan dan
perforasi usus.
E. PATOFISIOLOGI TIFOID
Kuman salmonella typhi yang masuk ke saluran gastrointestinal akan ditelan oleh sel-
sel fagosit ketika masuk melewatimukosa dan oleh makrofag yang ada didalam
laminaprophia. Sebagian dari salmonella typhi ada yang dapat masuk ke usus halus
mengadakan invaginasi ke jaringan limfoid usus halus (lakpeyer) dan jaringan limfoid
mesenterika. Kemudian salmonella typhi masuk melalui folikel limfa ke saluran
limphatik dan sirkulasi darah sistemik sehingga terjadi bakterimia. Bakterimia
pertama-tama menyerang system retikulo endothelial (RES) yaitu : hati, limfa, dan
tulang, kemudian selanjutnya mengenai seluruh organ didalam tubuh Antara lain
system saraf pusat, ginjal, dan jaringan limfa (Curtis, 2006 dalam Muttaqin & Sari,
2011)
4
Usus yang terserang tifus umumnya ileum distal, tetapi kadang bagian lain usus halus
dan kolon proksimal juga di hinggapi. Pada mulanya, plakatpeyer penuh dengan
vagosit, membesar, mononjol, dan tampak seperti infiltrate atau hyperplasia dimukosa
usus (Hidayat, 2005 dalam Muttaqin & Sari, 2011).
Pada akhir minggu pertama infeksi, terjadi nekrosis dan tukak. Tukak ini lebih besar
di ileum daripada di kolon sesuai dengan ukuran plakpeyer yang ada disana.
Kebanyakan tukaknya dangkal, tetapi kadang lebih dalam sampai menimbulkan
pendarahan. Perforasi terjadi pada tukak yang menembus serosa. Setelah penderita
sembuh, biasanya ulkus membaik tanpa meninggalkan jaringan parut dan fibrosis
(Brusch, 2009 dalam Muttaqin & Sari, 2011).
Masuknya kuman kedalam intestinal terjadi pada minggu pertama dengan tanda dan
gejala suhu tubuh naik turun khususnya suhu akan naik pada malam hari dan akan
menurun menjelang pagi hari. Demam yang terjadi pada masa ini disebut demam
interminten (suhu yang tinggi, naik turun, dan turunya dapat mencapai normal).
Disamping peningkatan suhu tubuh, juga akan terjadi obtipasi sebagai akibat
penurunan mobilitas suhu, namun hal ini tidak selalu terjadi dan dapat pula terjadi
sebaliknya. Setelah kuman melewati fase awal intestinal, kemudian masuk ke
sirkulasi sistemik dengan tanda peningkatan suhu tubuh yang sangat tinggi dan tanda-
tanda infeksi pada ERS seperti nyeri perut kanan atas, splenomegaly, dan
hepatomegaly (Chatejee, 2009 dalam Muttaqin & Sari, 2011)
Pada minggu selanjutnya dimana infeksi fekal intestinal terjadi dengan tanda-tanda
suhu tubuh masih tetap tinggi, tetapi nilainya lebih rendah dari fase bakterimia dan
berlangsung terus menerus (deman kontinu), lidah kotor, tepi lidah hyperemesis,
penurunan peristaltic, gangguan digesti dan absorpsi sehingga akan terjadi distensi,
diare dan pasien merasa tidak nyaman. Pada masa ini dapat terjadi pendarahan usus,
perforasi, dan peritonitis dengan tanda distensi abdomen berat, peristaltic menurun
bahkan hilang, melena, syok, dan penurunan kesadaran (Parry, 2002 dalam Muttaqin
& Sari, 2011).
5
Salmonella Typhosa
Mulut
HCL Lambung
System cerna
Usus
terganggu
Mengiritasi
mukosa
lambung Terjadi Limfoid plague
Hipoperistaltik payeri di ileum
gangguan
mortilitas usus terminalis
Konstipasi
Anoreksia Hiperperistaltik
Mual Muntah
Pendarahan dan
perforasi intestinal
Diare
Gangguan pemenunah
kebutuhan nutrisi Lamina propia
Gangguan ekliminasi alvi
(deficit) b/d gangguan (diare/konstipasi) b/d
fungsi deficit absorbs proses inflamasi
nutrisi Kuman masuk aliran
limfe mesentrial
Penurunan tonus
otot
Menuju limfe dan hati
Kelemahan fisik
Kuman berkembang biak
Peradangan
6
Pelepasan zat
pyrogen
Bedrest Total
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Hitung leukosit yang
rendah sering berhubungan dengan demam dan toksisitas penyakit, namun kisaran
jumlah leukosit bisa lebar. Pada anak yang lebih muda leukositosis bisa mencapai
20.000-25.000/mm3. Trombositopenia dapat merupakan marker penyakit berat
dan disertai dengan koagulasi intravaskular diseminata. Pemeriksaan fungsi hati
dapat berubah, namun gangguan hati yang bermakna jarang ditemukan.
2. Pemeriksaan Widal
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H S. typhi
dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dan penggunaannya sebagai satusatunya
pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat mengakibatkan overdiagnosis.
Kadar aglutinin tersebut diukur dengan menggunakan pengenceran serum
berulang. Pada umumnya antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H hari
ke 10-12 sejak awal penyakit. Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan
secara hati-hati karena beberapa faktor mempengaruhi hasilnya, antara lain
stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, endemisitas penyakit
tifoid, gambaran imunologi masyarakat setempat, dan riwayat imunisasi demam
7
tifoid. Sensitivitas dan spesifisitas rendah tergantung kualitas antigen yang
digunakan bahkan dapat memberikan hasil negatif pada 30% sampel biakan
positif demam tifoid. Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas
91,4%, dan nilai prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat
terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella,
enterobacteriaceae, pemeriksaan dilakukan di daerah endemis infeksi dengue dan
malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan preparat antigen komersial yang bervariasi
serta standardisasi yang kurang baik. Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-
2 minggu kemudian sehingga kenaikan 4 kali, terutama agglutinin O memiliki
nilai diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang positif
dapat berbeda dari >1/806 sampai >1/320 antar laboratorium tergantung
endemisitas demam tifoid di masyarakat setempat dengan catatan 8 bulan terakhir
tidak mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam tifoid. 5,7 Pemeriksaan
Widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai arti penting dan sebaiknya
dihindari oleh karena beberapa alasan, yaitu variablitas alat pemeriksaan,
kesulitan memperoleh titer dasar dengan kondisi stabil, paparan berulang S.typhi
di daerah endemis, reaksi silang terhadap nonSalmonella lain, dan kurangnya
kemampuan reprodusibilitas hasil pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan serologi
untuk aglutinin Salmonella seperti pemeriksaan Widal bahkan tidak dianjurkan.
8
demam tifoid. Pemeriksaan serologi tersebut dapat dibaca secara visual dalam
waktu 10 menit dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna
dan nilai > 6 dianggap sebagai positif kuat. Namun interpretasi hasil serologi yang
positif harus dilakukan secara hati-hati pada kasus tersangka demam tifoid di
daerah endemis karena IgM dapat bertahan sampai 3 bulan, sedangkan IgG
sampai 6 bulan
4. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. typhi hanya membutuhkan
waktu kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga lebih
unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa yang membutuhkan waktu 5-7
hari.12 In-flagelin PCR terhadap S. typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan
spesifisitas 87,9%.13 Pemeriksaan nested polymerase chain reaction(PCR)
menggunakan primer H1-d dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik
S. typhi dari darah pasien dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat yang
menjanjikan. Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi
dapat dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah
20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68.1%).
9
demam tifoid. Pemeriksaan ELISA ini menunjukkan sensitivitas 71,4%, 100%,
100%, 9,1% dan 0% pada minggu pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima
perjalanan penyakit demam tifoid.
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar, yaitu tatalaksana
umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa pemberian antibiotik
sebagai pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid juga bukan hanya tatalaksana
yang ditujukan kepada penderita penyakit tersebut, namun juga ditujukan kepada
penderita karier salmonella typhi, pencegahan pada anak berupa pemberian imunisasi
tifoid dan profilaksis bagi traveller dari daerah non endemik ke daerah yang endemik
demam tifoid.
1. Tatalaksana umum
Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam menangani demam
tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik. Pemberian rehidrasi
oral ataupun parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat
serta transfusi darah bila ada indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut
memperbaiki kualitas hidup seorang anak penderita demam tifoid. Gejala demam
tifoid pada anak lebih ringan dibanding orang dewasa, karena itu 90 % pasien
demam tifoid anak tanpa komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah sakit dan
dengan pengobatan oral serta istirahat baring di rumah sudah cukup untuk
mengembalikan kondisi anak menjadi sehat dari penyakit tersebut.
2. Tatalaksana antibiotik
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak di
negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya.
Berdasarkan ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan
pertama pengobatan demam tifoid pada anak, terutama di negara berkembang.1
Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana obat antibiotik lini pertamanya adalah
golongan fluorokuinolon, seperti ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin atau
gatifloksasin. Persoalan pengobatan demam tifoid saat ini adalah timbulnya
resistensi terhadap beberapa obat antibiotik yang sering digunakan dalam
pengobatan demam tifoid atau yang disebut dengan Multi Drug Resistance
10
(MDR). S. Typhi yang resisten terhadap kloramfenikol , yang pertama kali timbul
pada tahun 1970, kini berkembang menjadi resisten terhadap obat ampisilin,
amoksisilin, trimetoprim-sulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap
fluorokuinolon. WHO sendiri telah memberikan rekomendasi pengobatan
antibiotik untuk demam tifoid, yang dibagi atas pengobatan untuk demam tifoid
tanpa komplikasi, baik sebagai terapi utama maupun alternatif dan terapi untuk
demam tifoid yang berat atau dengan komplikasi yang membutuhkan pengobatan
parenteral.
Kloramfenikol tergolong obat ‘lama’ yang diberikan untuk pengobatan demam tifoid
pada anak dan sampai sekarang masih digunakan, terutama di negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. Kloramfenikol ditemukan pertama kali pada tahun
1947, diisolasi dari bakteri Streptomyces venezuelae. Setelah keberhasilan yang
ditunjukkan obat ini dalam dua wabah tifus di tahun 1948, kloramfenikol menjadi
antibiotik pertama yang diproduksi 11 Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak lXIII dalam skala besar. Pada tahun 1950, para ahli menemukan
bahwa obat ini dapat menyebabkan anemia aplastik yang serius dan berpotensi fatal,
sehingga pemakaian obat ini menurun drastis. Karena alasan itulah, dengan
pengecualian untuk daerah di mana biaya dan ketersediaan membuatnya tetap menjadi
terapi utama untuk demam tifoid, kloramfenikol tidak lagi merupakan obat pilihan
untuk infeksi tertentu di beberapa negara maju.4 Kloramfenikol sampai saat ini masih
merupakan obat pilihan pertama kasus demam tifoid pada anak, walaupun menurut
WHO obat ini dimasukkan sebagai obat alternatif atau obat pilihan atau lini kedua
karena obat lini pertamanya adalah fluorokuinolon, khususnya untuk pengobatan
demam tifoid pada orang dewasa. Kloramfenikol mempunyai beberapa kelebihan
sebagai obat demam tifoid yaitu efikasinya yang baik (demam turun rata-rata hari ke
4-5 setelah pengobatan dimulai), mudah didapat dan harganya yang murah.
Dibandingkan dengan antibiotik yang lain, kloramfenikol dapat menurunkan demam
lebih cepat bila digunakan untuk pengobatan demam tifoid. Tabel menunjukkan
kecepatan penurunan demam oleh masing-masing obat antibiotik pada kasus demam
tifoid pada anak. Namun Kloramfenikol mempunyai kekurangan, yaitu menyebabkan
efek samping berupa anemia aplastik akibat supresi sumsum tulang, menyebabkan
agranulositosis, menginduksi terjadinya leukemia dan menyebabkan Gray baby
11
syndrome. Kelemahan lain obat ini adalah tingginya angka relaps bila diberikan
sebagai terapi demam tifoid dan tidak bisa digunakan untuk mengobati karier S. typhi.
Untuk pengobatan karier demam tifoid, pemberian ampisilin atau amoksisilin dengan
dosis 40 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral dikombinasi probenesid 30 mg/kg
BB/hari dalam 3 dosis peroral atau trimetropimsulfametoksazol selama 4-6 minggu
memberikan angka kesembuhan 80%. Kloramfenikol tidak efektif digunakan sebagai
12
terapi karier demam tifoid. Selain amoksisilin/ampisilin, untuk pengobatan karier
demam tifoid, beberapa obat dapat dipergunakan, seperti kotrimoksazol,
siprofloksasin dan norfloksasin, walaupun dua obat terakhir tidak sebaiknya
digunakan pada penderita demam tifoid anak.
.
H. ASUHAN KEPERAWATAN TIFOID
1. Pengkajian
a. Identitas. Sering ditemukan pada anak berumur diatas satu tahun.
b. Keluhan utama berupa perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala,
pusing, dan kurang bersemangat, serta nafsu makan kurang (terutama
selama masa inkubasi).
c. Suhu tubuh. Pada kasus yang khas, demam berlangsung selama 3 minggu,
bersifat febris retimen, dan suhunya tidak tinggi sekali. Selama minggu
pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap harinya, biasanya
menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.
Dalam minggu kedua, pasien terus berada dalam keadaan demam. Pada
minggu ketiga, suhu berangsur turun dan normal kembali pada akhir
minggu ketiga.
d. Kesadaran. Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak berapa
dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma, atau
gelisah (kecuali bila penyakitnya berat dan terlambat mendapat
pengobatan). Disamping gejala-gejala tersebut mungkin terdapat gejala
lainnya. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan raseola, yaitu
bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalama kapiler kulit yang
dapat ditemukan pada minggu pertama demam. Kadang-kadang ditemukan
pula bradikardia dan epistaksis pada anak besar.
e. Pemeriksaan fisik
1) Mulut, terdapat nafas yang berbau tidak sedap serta bibir kering dan
pecah-pecah (regaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated
tongue), sementara ujung tepinya berwarna kemerahan, dan jarang
disertai tremor.
2) Abdomen, dapat ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus).
Bisa terjadi konstipasi, atau mungkin diare atau normal.
13
3) Hati dan limfa membesar disertai dengan nyeri pada perabaan.
f. Pemeriksaan laboratorium
1) Pada pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran leukopenia,
limfositosis relatif, dan aneosinofilia pada permukaan sakit.
g. Pemeriksaan widal
Untuk membuat diagnosis, pemeriksaan yang diperlukan ialah titer zat anti
terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200 ataulebih menunjukkan
kenaikan yang progresif.
2. Diagnosa keperawatan
a. Peningkatan suhu tubuh b/d adanya zat pirogen dalam terhadap infeksi
Salmonella thyposa
d. Gangguaan Pemenuhan istirahat dan tidur b/d faktor hospitalisasi , diare dan
konstipasi.
3. Intervensi keperawatan
14
1) Jelaskan pada keluarga tentang penyebab dari peningkatan suhu tubuh . R/
pengetahuan yang memadai meningkatkan kooperasi keluarga.
2) Berikan anak makanan yang mengandung cukup cairan, rendah serat dan
tinggi protein. R/ makanan mengandung gas menyulitkan penyerapan dan
bisa menimbulkan kerusakan usus.
Kriteria hasil :
Intervensi keperawatan :
15
5) Catat masukan dan pengeluaran . R/ memberikan rasa control pada anak
dan memberikan kesempatan untuk memilih makanan yang diinginkan
sesuai dengan kondisi anak.
6) Lakukan kolaborasi dengan pemberian nutrisi perantal bila nutrisi peroral
sulit dicapai. R/ program ini mengistirahatkan saluran gastrointestinal
sementara tetap memberikan nutrisi penting.
Intervensi :
1) Observasi dan catat frekuensi defekasi , karakkteristik, jumlah dan
factor pencetus. R/ membantu membedakan penyakit individu dan
mengkaji besarnya periode.
2) Tingkatkan tirah baring. R/ istirahat menurunkan motilitas usu juga
menurunkan metabolisme bila infeksi atau perdarahan sebagai
komplikasi.
3) Buang feses dengan cepat dab berikan pengharum ruangan. R/
menurunkan bau tidak sedap untuk menghindari rasa mual pasien
4) Identifikasi makanan dan cairan yang mencetuskan diare. R/ iritasi
dapat meningkatkan istirahat usus.
5) Mulai lagi pemasukan cairan peroral secara bertahap . R/ memberikan
istirahat kolon dengan memberikan ransangan makanan.
6) Lakukan kolaborasi medic untuk pemberian antikolinergik, antibiotic
dan antasida. R/ antikolinergik berguna menurunkan motilitas
gastrointestinal dan menurunkan sekresi digestif untuk menghilangkan
kram dan diare. Antasida berguna untuk menuunkan iritasi gaster
mencegah inflamasi dan menurunkan risiko infeksi. Antibiotic berguna
untuk mengobati infeksi supuratif local.
e. Gangguaan Pemenuhan istirahat dan tidur b/d faktor hospitalisasi , diare dan
konstipasi.
16
Kriteria Hasil :
1) Anak dapat tidur dengan nyenyak
2) Anak mempunyai jam tidur yang cukup
Intervensi :
1) Identifikasi factor-faktor penyebab dan penunjang . R/ menentuka
tindakan selanjutnya
2) Ciptakan lingkungan yang nyaman dengan cara mengurangi
kebisingan dan membatasi kunjungan. R/ kebisingan dan kunjungan
merupakan stimulasi eksterna yang berpengaruh pada pola istirahat
/tidur bagi klien.
3) Tingkatkan tidur dengan menguatkan bantuan sesuai kebiasaan
dirumah. R/ adaptasi terhadap lingkungan yang baru memerlukan
perhatian dan dukungan dari keluarga dengan modifikasi kebiasaan
anak sebelum tidur dirumah.
4) Jelaskan waktu malam pada anak . R/ waktu malam merupakan waktu
untuk beristirahat atau tidur
5) Berikan anak lampu malam . R/ lampu malam digunakan agar anak
dapat mengontrol kegelapan.
4. Implementasi
Setelah rencana keperawatan ditetapkan maka langkah selanjutnya diterapkan
dalam bentuk nyata. Implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan
keperawatan oleh perawat dan klien.hal-hal yang harus diperhatikan ketika
melakukan implementasi adalah intervensi yang dilakukan sesuai dengan rencana
setelah dilakukan validasi, penguasaan keterampilan interpersonal, intelektual dan
teknik.
5. Evaluasi
Akhir dari proses keperawatan adalah ketentuan hasil yang diharapkan terhadap
perilaku dan sejauh mana masalah klien dapat teratasi. Disamping itu perawat juga
melakukan umpan balik atau pengkajian ulang jika tujuan ditetapkan belum
berhasil/ teratasi.
17
DIARE
A. PENGERTIAN DIARE
Diare merupakan salah satu penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas di
negara yang sedang berkembang dengan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk,
persediaan air yang tidak adekuat, kemiskinan, dan pendidikan yang terbatas
(WHO, 2013).Diare adalah keadaan tidak normalnya pengeluaran feses yang
ditandai dengan peningkatan volume dan keenceran feses serta frekuensi buang air
besar lebih dari 3 kali sehari (pada neonatus lebih dari 4 kali sehari) dengan atau
tanpa lendir darah.Diare dapat mengakibatkan demam, sakit perut, penurunan
nafsu makan, rasa lelah dan penurunan berat badan.Diare juga dapat menyebabkan
kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak, sehingga dapat terjadi berbagai
macam komplikasi yaitu dehidrasi, renjatan hipovolemik, kerusakan organ bahkan
sampai koma.Angka kematian yang tinggi akibat diare akan berdampak negatif
pada kualitas pelayanan kesehatan karena angka kematian anak (AKA)
merupakan salah satu indikator untuk menilai derajat kesehatan yang optimal,
kurang berhasilnya usaha dalam proses pencegahan diare merupakan salah satu
faktor yang harus diperhatikan karena jika upaya pencegahan tidak ditangggulangi
dengan baik, maka peningkatan penyakit diare pada balita akan semakin
meningkat (Depkes, 2010).Data dari Depkes RI (2013), Insiden dan period
prevalence diare untuk seluruh kelompok umur di Indonesia adalah 3,5 persen dan
7,0 persen. Lima provinsi dengan insiden maupun period prevalen diare tertinggi
adalah Papua, Sulawesi Selatan, Aceh, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah.
Insiden diare pada kelompok usia balita di Indonesia adalah 10,2 persen.
Diare dapat disebabkan oleh beberapa organisme seperti bakteri, virus dan
parasit.Beberapa organisme tersebut biasanya menginfeksi saluran pencernaan
manusia melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh organisme
tersebut (food borne disease). Organisme penyebab diare biasanya berbentuk renik
dan mampu menimbulkan diare yang dapat dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan
gejala klinisnya, diantaranya :
1. Diare cair akut yaitu keadaan dimana membuat balita akan kehilangan cairan
tubuh dalam jumlah yang besar sehingga mampu menyebabkan dehidrasi
dalam waktu yang cepat. Biasanya pada jenis diare ini berlangsung kurang
dari 14 hari.
18
2. Diare akut berdarah yang sering disebut dengan disentri. Diare ini ditandai
dengan adanya darah dalam tinja yang disebabkan akibat kerusakan usus.
Balita yang menderita diare berdarah akan menyebabkan kehilangan zat gizi
yang berdampak pada penurunan status gizi. Biasanya pada jenis diare ini
berlangsung kurang dari 14 hari.
3. Diare persisten yaitu keadaan dimana kejadian diare dapat berlangsung ≥14
hari. Diare jenis ini sering terjadi pada anak dengan status gizi rendah, AIDS,
dan anak dalam kondisi infeksi (WHO, 2010). Beberapa jenis diare tersebut
sering disebabkan oleh organisme renik seperti bakteri pathogen misalnya
E.coli, Shigella, Campylobacter, Salmonella dan Vibrio cholera yang
menyebabkan epidemi diare pada anak. Kolera merupakan salah satu contoh
kasus epidemik dan sering diidentikkan dengan penyebab kematian utama
pada anak. Namun sebagian besar kejadian diare yang disebabkan oleh kolera
terjadi pada dewasa dan anak dengan usia yang lebih besar. Diare cair pada
anak sebagian besar disebabkan oleh infeksi rotavirus , V. cholera dan E.coli.
Diare berdarah paling sering disebabkan oleh Shigela (UNICEF dan WHO,
2009). Sedangkan diare cair akut pada anak di bawah lima tahun paling
banyak disebabkan oleh infeksi rotavirus.
Menurut penelitian Hazel (2013), faktor-faktor risiko terjadinya diare persisten
yaitu : bayi berusia kurang atau berat badan lahir rendah (bayi atau
a.
anak dengan malnutrisi, anak-anak dengan gangguan imunitas), riwayat
infeksi saluran nafas, ibu berusia muda dengan pengalaman yang terbatas
dalam merawat bayi,tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu mengenai
higienis, kesehatan dan gizi, baik menyangkut ibu sendiri ataupun bayi,
pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam pemberian ASI serta makanan
pendamping ASI, pengenalan susu non ASI/ penggunaan susu botol. Studi
yang dilakukan di Bangladesh menunjukkan bahwa rata-rata usia anak
penderita diare persisten adalah 10,7 bulan. Hasil studi ini sama pada
penelitian ini dimana terlihat bahwa yang mengalami diare persisten semuanya
berusia dibawah 10,7 bulan.
19
B. Faktor Resiko
Banyak faktor resiko yang diduga menyebabkan terjadinya penyakit diare. Salah
satu faktor antara lain adalah sanitasi lingkungan yang kurang baik, persediaan air
yang tidak hiegienis, dan kurangnya pengetahuan (WHO, 2013). Oleh sebab itu,
faktor risiko diare dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Faktor karakteristik individu yaitu umur balita <24 bulan, status gizi balita,
dan tingkat pendidikan pengasuh balita. Faktor ini atau biasa disebut factor
sosiodemografi yang berpengaruh terhadap kejadian diare pada anak yaitu
pendidikan dan pekerjaan orang tua, serta umur anak.Jenjang pendidikan
memegang peranan yang cukup penting dalam kesehatan
masyarakat.Pendidikan seseorang yang tinggimemudahkan orang tersebut
dalam penerimaan informasi, baik dari orang lain maupun media masa.
Banyaknya informasi yang masuk akan membuat pengetahuan tentang
penyakit diare semakin bertambah.
Terdapat hubungan yang signifikan dengan tingkat korelasi kuat antara tingkat
pendidikan ibu dengan perilaku pencegahan diare pada anak.Semakin tinggi
tingkat pendidikan yang dimiliki, maka perilaku pencegahan terhadap
penyakit diare akan semakin baik. Tingkat pendidikan yang tinggi pada
seseorang akan membuat orang tersebut lebih berorientasi pada tindakan
preventif, memiliki status kesehatan yang lebih baik dan mengetahui lebih
banyak tentang masalah kesehatan.Pendapatan, status sosial, pendidikan,
status sosial ekonomi, risiko cedera, atau masalah kesehatan dalam suatu
kelompok populasi dapat mencerminkan karakteristik pekerjaan seseorang.
Kejadian diare lebih sering muncul pada bayi dan balita yang statusekonomi
keluarganya rendah.Tingkat pendapatan yang baik memungkinkan fasilitas
kesehatan yang dimiliki mereka akan baik pula, seperti penyediaan air bersih
yang terjamin, penyediaan jamban sendiri, dan jika mempunyai ternak akan
diberikan kandang yang baik dan terjaga kebersihannya.
20
mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar, dan merebus air
minum, serta kebiasaan memberi makan anak di luar rumah.
Pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif dan kebiasaan mencuci tangan
merupakan faktor perilaku yang berpengaruh dalam penyebaran kuman enterik
dan menurunkan risiko terjadinya diare.Terdapat hubungan antara pemberian
ASI eksklusif dengan diare pada bayi dibawah 3 tahun. Bayi yang tidak
mendapat ASI eksklusif sebagian besar (52.9%) menderita diare, sedangkan
bayi dengan ASI eksklusif hanya 32.31% yang menderita diare.Selain ASI,
terdapat pula personal hygiene,yaitu upaya seseorang dalam memelihara
kebersihan dan kesehatan dirinya untuk memeroleh kesehatan fisik dan
psikologis. Kebiasaan tidak mencuci tangan dengan sabun setelah buang air
besarmerupakan kebiasaan yang dapat membahayakan anak, terutama ketika
sang ibu memasak makanan dan menyuapi anaknya, maka makanan tersebut
dapat terkontaminasi oleh kuman sehingga dapat menyebabkan diare. Perilaku
yang dapat mengurangi risiko terjadinya diare adalah mencuci sayur dan buah
sebelum dikonsumsi, karena salah satu penyebaran diare adalah melalui
penyajian makanan yang tidak matang atau mentah.
Pada penderita diare, zat-zat makanan yang masih diperlukan tubuh akan
terbuang bersamaan dengan terjadinya dehidrasi. Oleh karena itu, apabila anak
sering mengalami diare, maka pertumbuhannya tidak dapat berlangsung secara
optimal.
21
pendudukakan mempercepat penyebaran penyakit yang ditularkan melalui
tinja seperti diare, yang merupakan penyakit menular berbasis lingkungan.
Pembuangan tinja yang sembarangan juga akan menyebabkan penyebaran
penyakit. Penyebaran penyakit yang bersumber dari tinja dapat melalui
berbagai macam cara, baik melalui air, tangan, maupun tanah yang
terkontaminasi oleh tinja dan ditularkan lewat makanan dan minuman melalui
vector serangga (lalat dan kecoa). Selain itu, halaman rumah yang becek
karena buruknya saluran pembuangan air limbah (SPAL) memudahkan
penularan diare, terutama yang ditularkan oleh cacing dan parasit.
Membuang sampah sembarangan akan menjadi factor risiko timbulnya
berbagai vector bibit penyakit sehinggaa hubungan yang signifikan antara
pembuangan sampah dengan kejadian diare pada anak.
22
kesehatan apabila ditemukan buang air besar cair berlebih, makan atau minum
sedikit, demam, tinja berdarah, dan tidak membaik dalam waktu 3 hari.
Diare dapat dicegah dengan cara memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan dan
diteruskan sampai 2 tahun, memberikan makanan pendamping ASI sesuai umur,
memberikan minum air yang sudah direbus dan menggunakan air bersih yang
cukup, mencuci tangan dengan air dan sabun sebelum makan dan sesudah buang
air besar, buang air besar di jamban, membuang tinja bayi dengan benar, dan yang
terakhir adalah memberikan imunisasi campak.Diare menyebabkan kehilangan
cairan yang berperan penting di dalam tubuh, seperti sodium, klorida, dan
potasium.Dehidrasi merupakan komplikasi diare yang paling berbahaya.Gejala dari
dehidrasi, yaitu turgor kulit yang buruk, anak menjadi lebih rewel dari biasanya,
lidah dan mulut yang kering, demam tinggi, serta mata dan pipi cekung.
D. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran awal dimulai dengan bayi atau anak menjadi cengeng, gelisah, suhu
badan mungkin meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian
timbul diare. Feses makin cair, mungkin mengandung darah atau lendir, dan
warna feses berubah menjadi kehiaju – hijauan karena bercampur empedu. Akibat
seringnya defekasi, anus dan area sekitarnya menjadi lecet karena sifat feses
makin lama menjadi asam, hal ini terjadi akibat banyaknya asam laktat yang
dihasilkan dari pemecahan laktosa yang tidak dapat diabsorpsi oleh usus. Selain
itu perut juga mengalami kram abdominal karena seringnya defekasi.
Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare. Apabila penderita telah
banyak mengalami kehilangan air dan elektrolit, maka terjadilah gejala dehidrasi.
Berat badan turun, ubun – ubun besar cekung pada bayi, tonus otot dan turgor
kulit berkurang, dan selaput lendir pada mulut dan bibir terlihat kering sehingga
terlihat pucat. Gejala klinis menyesuaikan dengan derajat atau banyaknya
kehilangan cairan. Apabila dilihat dari banyaknya cairan yang hiang, derajat
dehidrasi dapat dibagi berdasarkan kehilangan berat badan dan skor Maurice King
(Noerrasid, Suraatmadja & Asnil, 1988).
Berdasarkan kehilangan berat badan, dehidrasi terbagi menjadi empat kategori
yaitu tidak ada dehidrasi (bila terjadi penurunan berat badan 2,5%), dehidrasi
ringan (bila terjadi penurunan berat badan 2,5 – 5%), dehidrasi sedang (bila terjadi
23
penurunan berat badan 5 – 10%), dan dehidrasi berat (bila terjadi penurunan berat
badan 10%), sedangkan menurut skor Maurice King dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Tambahan :
1. Perubahan tanda – tanda vital : nadi dan pernafasan cepat
2. Menurun atau tidak ada pengeluaran urine
E. ETIOLOGI
Faktor infeksi :
1. Bakteri : enteropathogenic escherichia coli, salmonella, shigella, yersinia
enterocolitica I
2. Virus : enterovirus echoviruses, adenovirus, human retrovirus (agent,
rotavirus)
3. Jamur : candida enteritis
4. Parasit : giardia clamblia, crysporidium
5. Protozoa
Behrman, Kiegman & Arvin, Nelson (1996) menjelaskan bahwa penyebab diare
secara umum dapat dilihat sebagai berikut :
24
Jenis Bayi Anak Remaja
diare
Akut a. Gastroenteritis a. Gastroenteritis a. Gastroenteritis
b. Infeksi sistemik b. Keracuunan b. Keracunan
c. Akibat pemakaian makanan makanan
antibiotik c. Infeksi sistemik c. Akibat pemakaian
d. Akibat pemakaian antibiotik
antibiotik
Kronik a. Pascainfeksi a. Pascainfeksi a. Penyakit radang
b. Defisiensi b. Defisiensi usus
disakaridase disakaridase b. Intoleransi laktosa
sekunder sekunder c. Giardiasis
c. Intoleransi protein c. Sindrom d. Penyalahgunaan
susu iritabilitas kolon laktasif (anorexia
d. Sindrom d. Penyakit seliak nervosa)
iritabilitas klon e. Intoleransi laktosa
e. Fibrosis kistik f. Giardiasis
f. Penyakit seliakus
g. Sindrom usus
pendek buatan
Hampir sekitar 70 – 90% penyebab dari diare sudah dapat dipastikan. Secara garis
besar penyebab diare dikelompokkan menjadi penyebab langsung atau faktor – faktor
yang dapat mempermudah atau mempercepat terjadinya diare.
Penyebab diare akut dapat dibagi menjadi dua golongan, diare sekresi (secretory
diarrhoea) dan diare somatik (osmotik diarrhoea). Diare sekresi dapat disebabkan oleh
faktor – faktor antara lain :
a. Infeksi virus, kuman – kuman patogen atau penyebab lainnya (seperti keadaan gizi
buruk, hygiene dan sanitasi yang buruk, kepadatan penduduk, sosial budaya, dan
sosial ekonomi
b. Hiperperistaltik usus halus yang dapat disebabkan oleh bahan – bahan kimia,
makanan (keracunan makanan, makanan yang pedas atau terlalu asam), gangguan
psikis (ketakutab, gugup) gangguan saraf, hawa dingin, alergi, dan sebagainya
c. Defisiensi imun terutama SigA (sectory Immunoglobulin A) yang mengakibatkan
berlipat gandanya bakteri atau flora usus dan jamur (terutama candida)
25
F. PATOFISIOLOGI DIARE
DIARE
Nafsu makan
DX.1 Melewati pertahanan me ↓
Gangg.Keseimb
mukosa usus
angan cairan &
elektrolit BB me ↓
kerusakan mukosa,
produksi
enterotoksin atau DX.2
sitotoksin. Gangg.Nutrisi ˂
kebutuhan tubuh
DX.3
Risiko tinggi
infeksi
26
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari pemeriksaan
feses. Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit, jika ada, dianggap
sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi maupun non-infeksi. Sampel
harus diperiksa sesegera mungkin karena neutrofi l cepat berubah. Sensitivitas
leukosit feses terhadap infl amasi patogen (Salmonella, Shigella, dan
Campylobacter) yang dideteksi dengan kultur feses bervariasi dari 45% - 95%
tergantung pada jenis patogennya. Penanda yang lebih stabil untuk infl amasi
intestinal adalah laktoferin. Laktoferin adalah glikoprotein bersalut besi yang
dilepaskan neutrofi l, keberadaannya dalam feses menunjukkan infl amasi
kolon. Positif palsu dapat terjadi pada bayi yang minum ASI. Pada suatu
studi, laktoferin feses dideteksi menggunakan uji aglutinasi lateks komersial,
sensitivitasnya 83-93% dan spesifi sitas 61-100% terhadap Salmonella,
Campylobacter, atau Shigella spp, yang dideteksi dari biakan kotoran. Biakan
feses harus dilakukan pada setiap pasien tersangka atau menderita diare infl
amasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, pemeriksaan leukosit feses atau
laktoferin positif, atau keduanya. Pada diare berdarah harus dilakukan kultur
feses untuk EHEC O157: H7.
Pada pasien diare berat dengan demam, nyeri abdomen, atau kehilangan
cairan harus diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum, kreatinin,
analisis gas darah, dan pemeriksaan darah lengkap.
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Penggantian Cairan Dan Elektrolit
Aspek paling penting adalah menjaga hidrasi yang adekuat dan keseimbangan
elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi oral, yang harus
dilakukan pada semua pasien, kecuali jika tidak dapat minum atau diare hebat
membahayakan jiwa yang memerlukan hidrasi intavena. Idealnya, cairan
rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 gram natrium klorida, 2,5 gram natrium
bikarbonat, 1,5 gram kalium klorida, dan 20 gram glukosa per liter air. Cairan
27
seperti itu tersedia secara komersial dalam paket yang mudah disiapkan
dengan dicampur air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi
oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½
sendok teh baking soda, dan sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau
1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium. Pasien harus minum
cairan tersebut sebanyak mungkin sejak merasa haus pertama kalinya. Jika
terapi intravena diperlukan, dapat diberikan cairan normotonik, seperti cairan
salin normal atau ringer laktat, suplemen kalium diberikan sesuai panduan
kimia darah. Status hidrasi harus dipantau dengan baik dengan
memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, serta penyesuaian
infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral
sesegera mungkin.Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah
cairan yang keluar. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan
memakai rumus:
2. Antibiotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut
infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa
pemberian antibiotik. 2 Antibiotik diindikasikan pada pasien dengan gejala
dan tanda diare infeksi, seperti demam, feses berdarah, leukosit pada feses,
mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau
penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pe lancong, dan pasien
immunocompromised. Pemberian antibiotik dapat secara empiris (tabel 2),
tetapi terapi antibiotik spesifi k diberikan berdasarkan kultur dan resistensi
kuman.
28
3. Obat Anti-Diare
a. Kelompok Anti-sekresi Selektif Terobosan terbaru milenium ini adalah
mulai tersedianya secara luas racecadotril yang bermanfaat sebagai
penghambat enzim enkephalinase, sehingga enkephalin dapat bekerja
normal kembali. Perbaikan fungsi akan menormalkan sekresi elektrolit,
sehingga keseimbangan cairan dapat dikembalikan. Hidrasec sebagai
generasi pertama jenis obat baru anti-diare dapat pula digunakan dan lebih
aman pada anak.
b. Kelompok Opiat
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl, serta
kombinasi difenoksilat dan atropin sulfat. Penggunaan kodein adalah 15-60
mg 3x sehari, loperamid 2-4 mg/3-4 kali sehari. Efek kelompok obat
tersebut meliputi penghambatan propulsi, peningkatan absorbsi cairan,
sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi frekuensi
diare. Bila diberikan dengan benar cukup aman dan dapat mengurangi
frekuensi defekasi sampai 80%. Obat ini tidak dianjurkan pada diare akut
dengan gejala demam dan sindrom disentri.
c. Kelompok Absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau
smektit diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyerap
bahan infeksius atau toksin. Melalui efek tersebut, sel mukosa usus
terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi
elektrolit.
d. Zat Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium,
Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis, dan Catechu dapat membentuk
koloid dengan cairan dalam lumen usus dan akan mengurangi frekuensi
dan konsistensi feses, tetapi tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan
elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 mL/2 kali sehari dilarutkan dalam air
atau diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet.
e. Probiotik
Kelompok probiotik terdiri dari Lactobacillus dan Bifi dobacteria atau
Saccharomyces boulardii, bila meningkat jumlahnya di saluran cerna akan
memiliki efek positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan reseptor
29
saluran cerna. Untuk mengurangi/ menghilangkan diare harus diberikan
dalam jumlah adekuat.
30
campak dalam 4 minggu terakhir, sebagai akibat dari penurunan kekebalan
pada pasien.
2) Riwayat alergi terhadap makanan atau obat-obatan (antibiotik) karena faktor
ini merupakan salah satu kemungkinan penyebab diare (Axton,1993:83).
3) Riwayat penyakit yang sering terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun
biasanya adalah batuk, panas, pilek, dan kejang yang terjadi sebelum, selama,
atau setelah diare. Informasi ini diperlukan untuk melihat tanda atau gejala
infeksi lain yang menyebabkan diare seperti OMA, tonsilitis, faringitis,
bronko pneumonia, dan ensefalitis (Surharyono,1999:59).
f. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum:
Baik, sadar (tanpa dehidrasi)
Gelisah, rewel (dehidrasi ringan atau sedang)
Lesu, lunglai, atau tidak sadar (dehidrasi berat)
2) Berat badan. Menurut S. Partono (1999), anak yang diare dengan dehidrasi
biasanya mengalami penurunan berat badan sebagai berikut:
31
Dehidrasi berat 10-15% (100-150 ml/kg) 9% (90 ml/kg)
g. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium penting artinya dalam menegakkan diagnosis (kausal)
yang tepat, sehingga dapat memberikan terapi yang tepat pula (Suharyono,1999).
Pemeriksaan yang perlu dilakukan pada anak yang mengalami diare, yaitu:
1) Pemeriksaan tinja, baik secara makroskopi maupun mikroskopi dengan
kultur.
32
2) Test malabsorbsi yang meliputi karbohidrat (pH, Clini Test), lemak dan
kultur urine.
Terdapat dua atau lebih tanda-tanda berikut: Diare dengan dehidrasi berat
1. Letargis atau tidak sadar
2. Mata cekung
3. Tidak bisa minum atau malas minum
4. Cubitan kulit perut kembalinya sangat lambat
Terdapat dua atau lebih tanda-tanda berikut: Diare denagn dehidrasi
f. Gelisah, rewel, atau mudah marah ringan/sedang
g. Mata cekung
h. Haus, minum dengan lahap
i. Cubitan kulit perut kembalinya lambat
Tidak cukup tanda-tanda untuk diklasifikasikan Diare tanpa dehidrasi
sebagai dehidrasi berat atau ringan/sedang
Diare selama 14 hari atau lebih disertai dengan Diare persisten berat
dehidrasi
Diare selama 14 hari atau lebih tanpa disertai tanda Diare persisten
dehidrasi
Terdapat darah dalam tinja (berak campur darah) Disentri
2. Diagnosa
1) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
gastrointestinal berlebihan melalu feses atau emesis
2) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kehilangan cairan melalui diare, asukan yang tidak adekuat
33
3) Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan mikroorganisme yang
menembus saluran gastrointestinal
4) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi karena diare
5) Ansietas berhubungan dengan perpisahan dengan oorangtua, lingkungan
tidak terkenal, prosedur yang menimbulkan stress
6) Perubahan proses keluarga berhubungan dengan krisis situasi, kurang
pengetahuan
3. Intervensi/rasional
1) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
gastrointestinal berlebihan melalu feses atau emesis
Intervensi Rasional
Mengevaluasi keefektifan
34
intervensi
Pertahankan pencatatan
yang ketat terhadap masuk
dan keluaran (feses, urine,
emesis) Mengkaji hidrasi
35
tinggi energi, protein, dan
elektrolit Meningkatankan kepatuhan
terhadap program terapeutik.
Instruksikan keluarga dalam
pemberian diet yang tepat
Upayakan untuk
mempertahankan bayi dan
anak kecil dari menempatkan
tangan dan objek dalam area
terkontaminasi
Mencegah penyebaran
Ajarkan anak, bila mungkin,
infeksi
tindakan perlindungan dari
agen infeksius
36
Implementasikan isolasi
substansi tubuh atau praktik
Mencegah penyebaran
pengendalian infeksi rumah
infeksi
sakit, termasuk pembuangan
feses dan pencucian yang
tepat, serta penanganan
spesimen yang tepat
37
Hindari penggunaan tisu rasa menyengat (nyeri)
basah yang dijual bebas
Mengetahui terapi apa yang
yang mengandung alkohol
cocok untuk dapat
pada kulit yang terekskorasi
dilaksanakan dengan segera
Observasi bokong dan
Mengobati infeksi jamur
perineum akan adanya
kulit
infeksi
Tujuan: kulit tubuh tetap dalam keadaan normal dan anak tidak
menunjukkan tanda tanda kerusakan pada kulit
38
pengalihan yang sesuai optimal
dengan tingkat
perkembangan anak dan
kondisinya
39
kesehatan komunitas pengonatan yang continu
4. Implementasi
Setelah rencana keperawatan ditetapkan maka langkah selanjutnya diterapkan
dalam bentuk nyata. Implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan
keperawatan oleh perawat dan klien.hal-hal yang harus diperhatikan ketika
melakukan implementasi adalah intervensi yang dilakukan sesuai dengan
rencana setelah dilakukan validasi, penguasaan keterampilan interpersonal,
intelektual dan teknik. Ada 3 fase dalam melaksanakan implementasi
keperawatan, yaitu:
a. Fase persiapan
Meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi, rencana, pengetahuan dan
keterampilan.Mengimplementasikan rencana, persiapan dan lingkungan.
b. Fase operasional
Merupakan puncak implementasi dengan berorientasi pada tujuan. pada
fase ini, implementasi dapat dilakukan secara independen, dependent dan
interdependent. Selanjutnya perawat akan melakukan pengumpulan data
yang berhubungan dengan reaksi klien terhadap fisik, psikologis, sosial
dan spiritual
c. Fase Terminasi
Merupakan terminasi perawat dengan klien setelah implementasi
dilakukan.
40
5. Evaluasi
Akhir dari proses keperawatan adalah ketentuan hasil yang diharapkan
terhadap perilaku dan sejauh mana masalah klien dapat teratasi. Disamping itu
perawat juga melakukan umpan balik atau pengkajian ulang jika tujuan
ditetapkan belum berhasil/ teratasi.
a. Anak dapat menunjukan tanda-tanda hidrasi yang adekuat
b. Anak mengonsumsi nutrisi yang ditentukan dan menunjukkan
pertambahan berat badan yang memuaskan
c. Anak tidak menunjukan tanda-tanda infeksi gastrointestinal dan infeksi
tidak menyebar ke orang lain
d. Kulit tubuh tetap dalam keadaan normal dan anak tidak menunjukkan
tanda tanda kerusakan pada kulit
e. Anak telah menunjukan tanda tanda kenyamanan dan tidak menunjukan
tanda-tanda distres fisik, keluarga dapat berpartisipasi dalam perawatan
anak sebanyak mungkin
f. Keluarga dapat memahami tetang penyakit anak dan pengobatannya serta
mampu memberikan perawatan, khususnya dirumah.
41
DAFTAR PUSTAKA
Iqbal wahid, dkk. Standar Asuhan Keperawatan Dan Prosedur Tetap Dalamdalam Praktik
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Mubarak, Wahit Iqbal dkk. 2015. Standar Asuhan Keperawatan dan Prosedur Tetap dalam
Praktik Keperawatab. Jakrta: Salemba Medika
Nuruzzaman, Hilda & Fariani Syahrul. 2016. Analisis Risiko Kejadian Demam Tifoid
Berdasarkan Kebersihan Diri dan Kebiasaan Jajan di Rumah. FKM UA, Departemen
Epidemiologi. Jurnal Berkala Epidimiologi, Vol.4 No.1 Januari 2016: 74 – 86.
Suriadi & Rita Yuliani. 2010. Asuhan Keperawatan pada Anak(ed.2). Jakarta: Sagung Seto
42