Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Typus abdominalis dalam kehamilan, dan nifas menunjukan angka
kematian yang lebih tinggi dari pada di luar kehamilan. Ibu hamil yang
menderita tifus memiliki risiko kematian 15 persen atau lebih. Penyakit ini
mempunyai pengaruh buruk terhadap kehamilan. Janin yang dikandungnya
berpeluang sekitar 60-80 persen gugur atau lahir prematur, lebih dini
terjadinya infeksi dalam kehamilan, lebih besar kemungkinan berakhirnya
kehamilan. Infeksi ini bisa dicegah dengan vaksinasi. Ibu yang mengalami
infeksi setelah melahirkan disarankan untuk tidak menyusui bayinya karena
dikhawatirkan bisa menular.
Selain itu, ibu dianjurkan untuk banyak istirahat, menjalani pengobatan
simptomatik dan minum obat antibakteri.Pengobatan dengan kloramfenikol
atau tiamfenikol (Urfamycin) biasanya cukup manjur. Waktu ada wabah,
semua wanita hamil perlu diberi vaksinasi. Walaupun kuman-kuman tIfus
abdominalis tidak di keluarkan melalui air susu, namun sebaiknya penderita
tidak menyusui bayinya karena keadaan umum ibu biasanya tidak
mengizinkan, dan karena kemungkinan penuluaran oleh ibu melalui jalan lain
tetap ada. Tifus abdominalis tidak merupakan indikasi bagi abortus buatan.
Transmisi kuman Salmonela typhi terjadi melalui oral, kontaminasi
makanan/minuman dengan kuman tersebut. Penyakit ini mengakibatkan
gejala demam, yang naik bertahap (tidak mendadak tinggi, seperti
kebanyakan infeksi virus). Keluhan perut umumnya selalu ada, dapat berupa
diare, nyeri, atau konstipasi. Lidah tampak kotor, tremor, dengan tepi
hiperemis. Nadi dapat memperlihatkan bradikardi relatif, dengan nadi per
menit yang tidak sesuai (terlalu lambat) dibandingkan suhu badan yang
tinggi. Laboratorium didapatkan lekopenia dan trombositopenia (tidak seberat
trombositopenia pada DBD).

1.2. Rumusan Masalah


1) Apa yang dimaskud dengan Tifus Abominalis?
2) Apa saja etiologi yang menyebabkan Tifus Abdominalis?
3) Bagaimana Patofisologi terjadinya Tifus Abdominalis?
1

4) Bagaimana tanda dan gejala dari Tifus Abdominalis?


5) Bagaiman Penatalaksanaan Tifus Abdominalis?
1.3. Tujuan
1) Untuk mengetahui yang dimaskud dengan Tifus Abominalis.
2) Untuk mengetahui etiologi yang menyebabkan Tifus Abdominalis.
3) Untuk mengetahui patofisologi terjadinya Tifus Abdominalis.
4) Untuk mengetahui tanda dan gejala dari Tifus Abdominalis.
5) Untuk mengetahui penatalaksanaan Tifus Abdominalis?

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Tifus abdominalis (demam tifoid) adalah penyakit infeksi bakteri hebat
yang diawali di selaput lendir usus dan jika tidak diobati secara progresif
menyerbu jaringan di seluruh tubuh. Aspek paling penting dari infeksi ini
ialah kemungkinan terjadinya perforasi usus, karena satu kali organisme

memasuki rongga perut dan pasti timbul peritonitis yang mengganas. Bila ini
terjadi akan timbul komplikasi lain ialah perdarahan per anus dan infeksi
terlokalisasi (meningitis, dll).
Tifus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus
dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran
pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran yang disebabkan oleh
Salmonella typhi.
2.2. Etiologi
Tifus abdominalis disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Termasuk
ke dalam famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella. S. typhi
merupakan bakteri berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora,
motil, berkapsul dan mempunyai flagella. Bakteri ini dapat bertahan hidup
pada pembekuan selama beberapa minggu namun mati pada pemanasan
dengan suhu 54,4 C selama 1 jam dan 60 C selama 15 menit.
Salmonella typhi memiliki 3 macam antigen, yaitu :
a. Antigen O (Antigen dinding sel/ somatik) yang terletak pada lapisan luar
tubuh bakteri. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau
disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi
tidak tahan tehadap formaldehid.
b. Antigen H (Antigen flagella) yang merupakan komponen protein dan
berada dalam flagella. Antigen ini tahan terhadap formaldehid tetapi tidak
tahan tehadap panas dan alkohol.
c. Antigen Vi (Virulen) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang
melindungi seluruh permukaan sel.
Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan
pembentukan tiga macam antibodi yang biasa disebut aglutinin.
2.3 Patogenesis
Masa inkubasi Tifus abdominalis umumnya 10-20 hari. Inkubasi
terpendek 3 hari dan terlama 60 hari. Masa inkubasi ini bergantung pada
jumlah bakteri yang tertelan dan faktor host. Bakteri Salmonella typhi masuk

ke

dalam

tubuh

manusia

melalui

makanan

atau

minuman

yang

terkontaminasi. Setelah bakteri masuk ke saluran pencernaan manusia dan


sampai di lambung maka timbul usaha pertahanan non spesifik yang bersifat
kimiawi yaitu dengan adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim
yang dihasilkannya.
Keadaan asam lambung tersebut menghambat multiplikasi Salmonella
dan pada pH 2,0 sebagian besar bakteri akan mati dengan cepat sedangkan
sebagian bakteri yang tidak mati akan mencapai usus halus. Selain itu, adanya
bakteri anaerob di usus juga menghalangi pertumbuhan bakteri dengan
pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan asam.
Apabila bakteri mampu mengatasi mekanisme pertahanan tubuh maka
bakteri akan melekat pada permukaan usus. Kemudian bakteri akan
menembus ke epitel usus, selanjutnya berkembang biak dan akan
difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian, Salmonella typhi
dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya
perlindungan oleh kapsul bakteri. Bakteri masuk ke dalam peredaran darah
melalui pembuluh limfe usus halus hingga mencapai organ hati dan limpa.
Bakteri yang tidak dihancurkan akan berkembang biak di dalam hati dan
limpa sehingga terjadi pembesaran pada organ-organ tersebut disertai rasa
nyeri pada perabaan. Kemudian bakteri Salmonella typhi masuk kembali ke
dalam peredaran darah (bakteriemia) dan menyebar ke seluruh tubuh terutama
ke dalam kelenjar limfoid usus halus menimbulkan tukak. Tukak tersebut
dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus.
Jika demikian keadaannya maka kotoran dan air seni penderita akan
mengandung S. typhi yang siap menginfeksi orang lain melalui makanan
ataupun minuman yang dicemari. Pada penderita yang tergolong carrier,
bakteri dapat terus menerus berada di kotoran dan air seni sampai bertahuntahun. Oleh karena itu, apabila bakteri S. thypi masuk ke dalam saluran cerna
maka bakteri tersebut akan masuk ke dalam saluran darah dan tubuh akan
merespon dengan menunjukkan beberapa gejala seperti demam.
Pada

dasarnya,

tifus

abdominalis

merupakan

penyakit

sistem

retikuloendotelial yang bermanifestasi terutama pada jaringan limfe, usus

limpa, hati dan sumsum tulang. Di usus, jaringan limfe terletak


antemesenterial pada dindingnya dan dinamai Plakat Payeri.
Bagian usus yang terserang tifus umumnya ileum terminale, tetapi
kadang bagian lain usus halus dan kolon proksimal juga dihinggapi. Pada
mulanya, plakat Payer dipenuhi oleh fagosit, lalu membesar, menonjol dan
tampak seperti infiltrat atau hiperplasia di mukosa usus. Pada akhir minggu
pertama infeksi, terjadi nekrosis dan tukak. Ukuran tukak ini lebih besardi
ileum daripada di kolon, sesuai dengan ukuran plakat Payer di bagian usus
tersebut. kebanyakan tukak dangkal, tetapi kadang dalam sehingga
menimbulkan perdarahan. Perforasi terjadi bila tukak menembus serosa.
Setelah penderita sembuh, ulkus biasanya membaik tanpa meninggalkan
jaringan parut dan fibrosis.
Jaringan retikuloendotelial lain juga mengalami perubahan. Kalenjar
limfe mesenterial dipenuhi oleh fagosit sehingga membesar dan melunak.
Limpa biasanya juga membesar dan melunak. Hati menunjukkan proliferasi
sel polimorfonukllear dan mengalami nekrosis fokal.
Jaringan sistem lain hampir selalu terlibat. Kandung empedu selalu
terinfeksi dan bakteri hidup dalam empedu. Sesudah sembuh, empedu
penderita dapat tetap mengandung bakteri sehingga penderita tersebut
menjadi pembawa kuman. Sel ginjal membengkak keruh dan mengandung
koloni bakteri, sehingga kuman dapat ditemukan dalam kemih pada minggu
pertama. Bila sembuh, penderita menjadi karier yang menularkan bakteri
lewat kemihnya. Parotitis dan orkitis kadang ditemukan pada penderita
demam tifoid, sedangkan bronkitis hampir selalu ada. Pneumonia juga
kadang terjadi. Selain disebabkan oleh basil tifus, pneumonia pada tifus
abdominalis lebih sering terjadi sekunder akibat infeksi pneumokokus.
Otot

jantung

membengkak,

melunak,

dan

memberi

gambaran

miokarditis. Biasanya, tekanan darah menurun disertai dengan denyut nadi


melambat akibat miokarditis tersebut. vena sering mengalami trombosis,
terutama vena femoralis, vena safena dan sinus di otak. Otot lurik dapat
mengalami degenerasi Zenker, yakni hilangnya transversales yang disertai
dengan pembengkakan otot. Degenerasi Zenker inilah yang mendasari

kelemahan otot pada penderita. Otot yang sering diserang adalah otot
diafragma, muskulus rektus abdominis, dan otot paha. Toksin di otot dapat
juga menyebabkan abses di otot bersangkutan. Pada tulang dapat dijumpai
lesi supuratif berupa abses. Osteomielitis ini dapat berlangsung sampai
bertahun tahun dan paling sering terjadi di tibia, sternum, iga dan ruas
tulang belakang.
Pada demam tifoid, sering didapatkan gambaran piogenik disertai adanya
basil tifus yang hidup di darah. Infeksi di sumsum tulang ditandai dengan
leukopenia disertai hilangnya sel polimorfonuklear dan eosinofil serta
bertambahnya sel mononuklear.
2.4 Epidemiologi Tifus abdominalis
2.4.1. Distribusi dan Frekuensi
1) Orang
Tifus abdominalis menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan
yang nyata insidensi antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan umur,
proporsi penderita Tifus abdominalis lebih sering terjadi pada anak-anak.
Pada sebagian besar orang dewasa mengalami infeksi ringan dan akan
sembuh dengan sendirinya serta akan kebal pada serangan berikutnya.
Menurut Noer, Syaifoellah (1996), kasus Tifus abdominalis tertinggi terjadi
pada kelompok umur 12-30 tahun sebesar 70-80%, pada umur 31-40 tahun
sebesar 10-20%, dan lebih dari 40 tahun sebesar 5-10%.

2) Tempat dan Waktu


Penyebarannya tidak dipengaruhi keadaan iklim, tetapi banyak
dijumpai di negara-negara sedang berkembang di daerah tropis. Pada tahun
2000, insidens rate Tifus abdominalis di Amerika Latin per 100.000
penduduk dan di Asia tenggara 110 per 100.000 penduduk. Di Indonesia,
Tifus abdominalis ditemukan sepanjang tahun. Insidensi rate Tifus
abdominalis di Jakarta Utara tahun 2001 sebesar 610 per 100.000 penduduk
dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.

Tifus abdominalis atau demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella


typhi, yang secara morfologi identik dengan Escherichia coli.

Walaupun

patogen kuat, kuman ini tidak bersifat piogenik tapi justru menekan
pembentukan sel polimorfonuklear dan eosinofil. Kuman ini mempunyai
beberapa antigen yang penting untuk diagnosis imunologik. Sumber infeksi S.
typhi selalu manusia, baik orang sakit maupun orang sehat pembawa kuman.
Infeksi umumnya terjadi melalui makanan yang terkontaminasi tinja, kemih,
atau pus yang positif mengandung kuman.
Kontaminasi bakteri pada susu sangat berbahaya karena bakteri dapat
berkembang biak dalam media ini. Penyebaran umumnya terjadi melalui air
atau kontak langsung. Oleh karena itu, pencegahan harus diusahakan melalui
perbaikan sanitasi lingkungan, kebiasaan makan, proyek MCK dan pendidikan
kesehatan di puskesmas dan posyandu.
2.4.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi (Determinan)
1) Faktor Host
Manusia merupakan sumber penularan Salmonella typhi. Terjadinya
penularan karena kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang
penderita Tifus abdominalis atau carrier kronis. Transmisi bakteri
Salmonella terutama masuk bersama makanan atau minuman yang tercemar
kotoran manusia.
Selain itu, transmisi secara kongenital dapat terjadi secara transplasental
dari seorang ibu yang mengalami bakterimia (beredarnya bakteri dalam
darah) kepada bayi dalam kandungan atau tertular saat dilahirkan dari
seorang ibu yang merupakan carrier Tifus abdominalis dengan rute fekal
oral. Seseorang yang telah terinfeksi Salmonella typhi dapat menjadi
carrier kronis dan mengekspresikan mikroorganisme selama beberapa
tahun.
2) Faktor Agent
Tifus abdominalis disebabkan oleh Salmonella typhi. Bakteri ini hanya
dapat menginfeksi tubuh manusia. Jumlah Salmonella typhi yang tertelan

akan mempengaruhi masa inkubasi, semakin banyak bakteri yang tertelan


maka akan semakin singkat masa inkubasi Tifus abdominalis.
3) Faktor Environment
Tifus abdominalis merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di
daerah tropis terutama daerah dengan kualitas sumber air yang tidak
memadai dengan standar higiene dan sanitasi yang rendah. Penyebaran
penyakit akan semakin meningkat apabila disertai dengan kondisi tepat
tinggal yang tidak sehat, kepadatan penduduk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah.
2.5. Sumber Penularan
Ada dua sumber penularan dari Salmonella typhi, antara lain :
1) Penderita Tifus abdominalis
Yang menjadi sumber utama infeksi Tifus abdominalis adalah manusia
yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik
ketika ia sedang menderita sakit maupun yang sedang dalam masa
penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada umumna masih
mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya.
2) Karier Tifus abdominalis
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin)
mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca Tifus abdominalis,
tanpa disertai gejala klinis. Pada penderita Tifus abdominalis yang telah
sembuh setelah 2-3 bulan masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi
di feses atau urin. Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan.
Pada Tifus abdominalis sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung
empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh
karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid gagal,
harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki
kelainan anatominya.
Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis, yaitu :
a. Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya
tidak pernah menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis

akan tetapi mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada


orang lain, seperti pada penyakit Poliomyelitis, Hepatitis B dan
Meningococcus.
b. Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa
tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/
sebagai sumber penularan, seperti pada penyakit Cacar air, Campak dan
virus Hepatitis.
c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru
sembuh dari penyakit menular tertentu, tetapi masih merupakan sumber
penularan penyakit tersebut untuk masa tertentu.
d. Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup
lama seperti pada penyakit Tifus abdominalis dan Hepatitis B.
2.6 Gambaran Klinis
Gejala klinis yang pertama kali timbul disebabkan oleh bakteriema, yang
menimbulkan gejala toksik umum seperti letargi, sakit kepala, demam dan
brakikardi.

Selanjutnya,

gejala

disebabkan

oleh

gangguan

sistem

retikuloendotelial, seperti adanya kelainan hematologi, gangguan faal hati dan


nyeri perut. Kelompok gejala lainnya disebabkan oleh komplikasi seperti
ulserasi di usus dengan penyulitnya. Gejala klinis infeksi ini berupa demam
(biasanya > 5 hari, terutama malam hari). Pasien bisa menggigil, nyeri atau
kembung abdomen, lidah kotor dengan tepian merah, dan sering konstipasi
selama beberapa hari.
Masa tunas biasanya lima sampai empat belas hari, tetapi dapat sampai
lima minggu. Pada kasus ringan dan sedang, penyakit biasanya berlangsung
selama empat minggu. Timbulnya berangsur, mulai dengan tanda malaise,
anoreksia, nyeri kepala, nyeri seluruh badan, letargi, dan demam. Demam ini
tidak selalu khas, kadang menyerupai demam pada influenza.
Pada minggu pertama, terdapat demam remiten yang berangsur makin
tinggi dan hampir selalu disertai dengan nyeri kepala. Biasanya terdapat batuk
kering dan tidak jarang ditemukan epistaksis. Hampir selalu ada rasa tidak
enak atau nyeri perut. Konstipasi sering ada, tetapi diare juga ditemukan.

Keluhan
1. Nyeri kepala (frontal)
2. Kurang enak di perut
3. Nyeri tulang, persendian,
dan otot.
4. Berak berak
5. Muntah

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Gejala
Demam
Nyeri tekan perut
Bronkitis
Toksik
Letargik
Lidah tifus

Kelaianan makulopapular berupa roseola berdiameter 2-5 mm terdapat


pada kulit perut bagian atas dan dada bagian bawah. Kelainan yang berjumlah
kurang lebih 20 buah ini hanya tampak selama dua sampai empat hari pada
minggu pertama.
Pada minggu kedua, demama umumnya menetap tinggi (demam kontinu)
dan penderita tampak sakit berat. Perut tampak tegang (distensi) dan terdapat
gangguan pencernaan seperti diare, yang kadang disertai dengan perdarahan
saluran cerna. Keadaan berat ini berlangsung sampai dengan minggu ketiga.
Selain letargi, penderita mengalami delirium, bahkan sampai koma akibat
endotoksemia. Pada minggu ketiga ini, tampak gejala fisik lain berupa
bradikardi relatif disertai pembesaran dan pelunakan limpa.
Perbaikan dapat mulai terjadi pada akhir minggu ketiga dengan
menurunnya suhu badan dan membaiknya keadaan umum. Tifus abdominalis
dapa t kambuh satu sampai dua minggu setelah demam hilang. Kambuhan ini
dapat ringan atau berat, dan mungkin terjadi sampai dua atau tiga kali.
2.7 Diagnosis
Ada dua cara untuk mendiagnosis penyakit Tifus abdomianalis yaitu
secara klinis dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis klinis sering tidak
tepat karena gejala klinis khas Tifus abdominalis tidak ditemukan atau gejala
yang sama terdapat pada penyakit lain.30 Oleh karena itu, perlu dilakukan
pemeriksaan laboratrium untuk membantu menegakkan diagnosis Tifus
abdominalis.
1) Pemeriksaan Darah Tepi

10

Diagnosis Tifus abdominalis dengan pemeriksaan darah tepi akan


mendapatkan gambaran lekopenia dan limfositosis relatif pada permulaan
sakit. Disamping itu, pada pemeriksaan ini kemungkinan terdapat anemia
dan trombositopenia ringan.18 Penelitian oleh beberapa ilmuwan
mendapatkan bahwa jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak
mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup
tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita Tifus
abdominalis atau bukan. Akan tetapi, adanya leukopenia dan limfositosis
relatif menjadi dugaan kuat diagnosis Tifus abdominalis.
Pemeriksaan apus darah tepi penderita memperlihatkan anemia
normokromik,

leukopenia

disertai

hilangnya

sel

eosionofil

dan

menurunya jumlah sel polimorfonuklear. Albuminuria terjadi pada fase


demam. Uji benzidin pada tinja biasanya positif di minggu ketiga dan
keempat.
Pada minggu pertama, biakan Salmonella typhi dari darah hasilnya
positif pada 90% penderita, sedangkan pada akhir minggu ketiga, hasil
biakan positif pada 50% penderita. Kadang hasil biakan tetap positif
sehngga penderita tersebut menjadi pembawa kuman, yang kebanyakan
orang dewasa daripada anak anak, dan pria lebih banyak daripada
wanita. Pada akhir minggu kedua dan minggu ketiga, biakan darah
menjadi positif untuk basil usus, yang menunjukkan adanya ulserasi di
ileum. Jika terjadi perforasi yang diikuti peritonitis, terjadi toksemia oleh
basil aerob (E.coli ) dan basil anaerob (Bakteri fragilis ).
2) Pemeriksaan Bakteriologis
Diagnosis pasti Tifus abdominalis dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang,
cairan duodenum atau dari rose spots.34 Berkaitan dengan patogenesis
penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya
di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif dapat memastikan

11

Tifus abdominalis akan tetapi hasil negatif belum tentu tidak menderita
Tifus abdominalis karena tergantung pada. beberapa faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan antara lain; penggunaan
antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume
spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang
tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur
mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya
waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih
untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk
dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
3) Pemeriksaan Serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis Tifus
abdominalis dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen
antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Beberapa uji
serologis yang dapat digunakan pada Tifus abdominalis ini meliputi :
a. Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin
digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa
reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah
mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O)
dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Semakin tinggi
titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis
sebagai penderita Tifus abdominalis. Teknik aglutinasi uji Widal dapat
dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji
tabung (tube test).
Namun demikian uji Widal memiliki kelemahan seperti rendahnya
sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil
sehingga membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita
Tifus abdominalis. Pemberian antibiotika sebelum pengambilan serum
dapat memberikan hasil negatif palsu sedangkan kesamaan antigen O

12

dan H yang dimiliki S. typhi dengan salmonella lain, bahkan


kesamaan epitop dengan Enterobactericeae lain dapat menyebabkan
hasil positif palsu. Hingga saat ini walaupun telah digunakan secara
luas di seluruh dunia, manfaat test Widal masih diperdebatkan dan
sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai
standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal
harus ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di
populasi. Meskipun pemeriksaan Widal memiliki banyak keterbatasan
namun pemeriksaan ini masih dianjurkan untuk dilakukan karena
proses pengerjaannya cepat, tidak membutuhkan instrumental dan
relatif murah.
b. Tes TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif
yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Tes ini sangat akurat dalam
diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM
dan tidak mendeteksi antibodi IgG. Walaupun belum banyak
penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian
pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
c. Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9.
Antigen ini mampu membedakan organisme ini >99% dari serotype
bakteri salmonella yang lain, sehingga tes ini sangatlah spesifik
terhadap salmonella serotype thypi.
Tes diagnostik ELISA memiliki keunggulan dari tes lainnya karena
uji ini dapat digunakan pada fase akut danmemiliki nilai yang akurat
dengan hanya satu kali pemeriksaan serta memiliki sensitifitas dan
spesififitas yang jauh lebih baik daripada uji Widal. Adapun
kelemahan uji ELISA antara lain dilakukan dengan sistem multistep,

13

menggunakan enzim konjugat dan proses pembacaan sampel


menggunakan media elektronik sehingga harga uji ini menjadi mahal.
2.8 Komplikasi
Komplikasi Tifus abdominalis dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
1) Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Terjadi pada 10-15%, sekitar 25% penderita Tifus abdominalis dapat
mengalami perdrahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah.
Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok
tetapi bisa sembuh dengan sendirinya.
b. Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 1-5% dari penderita yang dirawat. Biasanya
timbul pada minggu ketiga, tetapi dapat terjadi pada minggu pertama.
Penderita Tifus abdominalis dengan perforasi usus mengeluh nyeri
perut yang hebat dapat disertai dengan tekanan darah turun nadi
bertambah cepat bahkan sampai syok.
Perdarahan tukak tifus ditemukan pada kira kira 5% penderita,
sedangkan perforasi disertai mortalitas tinggi ditemukan pada 3% penderita.
Perdarahan dan perforasi berisiko tinggi terjadi pada berbagai keadaan berikut
ini :
1.
2.
3.
4.
5.

Kadar albumin rendah (<2,5 gr%)


Kadar obat yang tidak memadai
Banyak gerak
Diet padat yang diberikan terlalu dini
Keadaan penyakit berat (demam lebih dari tiga minggu)
Untuk mengurangi kemungkinan komplikasi perdarahan dan atau

perforasi usus, penderita dianjurkan mendapat diet cukup dan lunak sampai
demam hilang. Penderita pun harus membatasi gerakan. Antifoid perlu
diberikan secara tepat dalam dosis yang memadai dan diminum secara teratur.

14

Komplikasi infeksi dapat terjadi perforasi atau perdarahan. Timbul


perdarahan atau perforasi karena kuman Salmonella typhi terutama
menyerang jaringan tertentu, yaitu jaringan atau organ limfoid seperti
limpa yang membesar. Membesarnya plak Peyeri ini tidak berarti ia
tambah kuat. Sebaliknya jaringan ini menjadi rapuh dan mudah rusak
oleh gesekan makanan yang melaluinya. Inilah sebabnya mengapa
kepada pasien tifus harus diberikan makanan lunak, yaitu agar
konsistensi bubur yang melalui liang usus, tidak sampai merusak
permukaan plak Peyeri ini.
Bila tetap juga rusak, maka dinding usus setempat yang memang
sudah tipis makin menipis sehingga pembuluh darah setempat ikut rusak
dan timbul perdarahan yang kadang-kadang cukup hebat. Bila ini
berlangsung terus, ada kemungkinan dinding usus itu tidak tahan dan
pecah (perforasi) diikuti peritonitis yang dapat berakhir fatal.
2) Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler: miokarditis, trombosis, tromboflebitis,
syok
b. Komplikasi hematologi: anemia hemolitik, koagulasi intravaskuler
diseminata (KID), trombositopenia.
c. Komplikasi respirasi: bronkitis, pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Komplikasi neuropsikiatri: delirium, ensefalopati, psikotik,
meningitis, gangguan koordinasi.
e. Komplikasi tulang: osteomielitis, periositis dan arthritis.
f. Komplikas hepar dan kandung empedu: hepatitis dan kolesistitis
g. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis
2.9 Diagnosis Banding
Diagnosis biasanya ditegakkan atas dasar gejala klinis dan pemeriksaan
serologi. Diagnosis dapat dipastikan bila biakan dari darah, tinja, urin,
sumsum tulang, sputum atau eksudar purulen menunjukkan hasil positif.
Demam tinggi disertai atau tanpa disertai bronkitis, keluhan sakit kepala dan
nyeri samar di perut dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, seperti
salmonelosis umum, bronkitis akut, influenza dan pneumonia.
2.10 Prognosis
15

Prognosis bergantung pada saat dimulainya pengobatan, keadaan


sosioekonomi dan gizi penderita. Angka kematian di rumah sakit tipe A
berkisar antara 5 10%. Angka kematian pada operasi atas alasan perforasi
berkisar 15 25%. Kematian akibat demam tifoid disebabkan oleh keadaan
toksik, perforasi, perdarahan, atau pneumonia.
2.11 Tata laksana
Pengelolaan konservatif berupa terapi diet tifus disertai pemberian
kloramfenikol, ampisilin, atau kotrimoksazol. Kolesistitis akut tifosa,
hepatitis, artritis, parotitis, dan osteomielitis, termasuk spondilitis, umumnya
dapat diatasi secara konservatif. Jika tindakan konservatif tidak berhasil,
diperlukan tindakan bedah.
1) Pengobatan Demam Tiphoid pada Wanita Hamil
a. Lakukan rehidrasi akibat demam, muntah atau diare.
b. Demam dapat diatasi denan paracetamol 500 mg setiap 4-6 jam,
kurangi dosis antipiretik apabila suhu tubuh kembali normal.
c. Isolasi kuman penyebab (untuk diagnosis pasti) dan lakukan
pemeriksaan serologis secara terjadwal.
d. Terapi antiiotika untuk demam tifoid adalah :
- Kloramfenikol 4x500 mg (oral) perhari hingga 3-5 hari bebas
demam
- Tiamfenikol 4x500mg (oral) per oral hingga 3-5 hari bebas
demam
- Ampisilin 4x500-1000 mg hingga 3-5 hari bebas demam
- Walaupun golongan kinolon cukup efektif, tetapi tiadk dianjurkan
untuk ibu hamil.
Pilih antibiotika generasi baru yang tidak menekan hiperpireksia
e. Lakukan kompres pada tubuh apabila terjadi hiperpireksia
f. Lakukam pemantauan perkembangan kehamilan dan pertumbuhan
janin
g. Hindarkan transmisi lanjutan
h. Konsleing tentang demam tifoid dan pengaruhnya terhadap
kesehatan ibu, kheamilan dan janin atau neonates.
i. Ibu dengan demam tifoid sebaiknya memertimbangkan risiko dan
keuntungan untuk memberikan laktasi atau merawat sendiri bayi
yang baru dilahirkan. Meskipun basi tifus tidak mencapai air susu
ibu, tetapi karena ibu sakit berat dan dapat menularkannya, maka

16

bayi segera dipisahkan dari ibu setelah lahir. Vaksinasi tifoid dapat
dilakukan pada ibu hamil dan tidak membahayakan janin yang
dikandugnya.
2.12 Pencegahn
Pencegahan adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mengurangi
angka kesakitan dan kematian akibat penyakit Tifus abdominalis.
Pencegahan terdiri dari beberapa tingkatan yaitu pencegahan primer,
pencegahan sekunder dan pencegahan tersier.
2.12.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang
yang sehat agar tidak sakit dengan cara mengendalikan penyebabpenyebab penyakit dan faktor risikonya. Pencegahan primer dapat
dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain
Salmonella typhi yang dilemahkan, mengonsumsi makanan sehat untuk
meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan kesehatan
kepada masyarakat agar menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS).
Imunisasi typhus abdominalis merupakan imunisasi yang digunakan
untuk mencegah terjadinya penyakit typhus abdominalis. Dalamm
persediaan khususnya di Indonesia terdapat tiga jenis vaksin typhus
abdominalis, di antaranya kuman yang dimatikan, kuman yang
dilemahkan (vivotif, berna), dan antigen capsular Vi poliysaccharida
(Typhim Vi, Pasteur Meriux). Vaksin kuman yang dimatikan dapat
diberikan untuk bayi 6-12 bulan adalah 0,1 ml, 1-2 tahun 0,2 ml , dan 212 tahun adalah 0,5 ml. pada imunisasi awal dapat diberikan sebanyak 2
kali dengan interval 4 minggu kemudian pebguat setelah 1 tahun
kemudian. Vaksin kuman yang dilemahkan dapat diberikan dalam
bentuk capsul coated sebelum makan pada hari ke-1, 2, dan 5 untuk
anak di atas usia 6 tahun. Antigen kapsular diberikan untuk usia di atas
2 tahun dan dapat diulang setiap 3 tahun.
2.12.2 Pencegahan Sekunder

17

Pencegahan

sekunder

adalah

upaya

yang

dilakukan

untuk

menemukan kasus secara dini, pengobatan bagi penderita dengan tepat


serta mengurangi akibat-akibat yang lebih serius. Pencegahan sekunder
dapat berupa:
a. Pencarian penderita maupun carrier secara dini melalui peningkatan
usaha surveilans Tifus abdominalis.
b. Perawatan
Penderita tifus abdominalis sebaiknya mengonsumsi makanan yang
cukup cairan, berkalori, tinggi protein, lembut dan mudah dicerna
seperti bubur nasi. Pemberian makanan tersebut dimaksudkan untuk
menghindari komplikasi perdarahan usus dan perforasi usus karena
usus perlu diistirahatkan. Tidak dianjurkan mengonsumsi bahan
makanan yang mengandung banyak serat dan mengahasilkan
banyak gas. Pemberian susu dilakukan 2 kali sehari. Jenis makanan
untuk penderita dengan kesadaran menurun adalah makanan cair
yang dapat diberikan melalui pipa lambung. Untuk penderita
dengan komplikasi perforasi usus, tidak dianjurkan makanan yang
dapat mengiritasi lambung seperti makanan pedas dan asam
c. Diet
Penderita Tifus abdominalis sebaiknya mengonsumsi makanan yang
cukup cairan, berkalori, tinggi protein, lembut dan mudah dicerna
seperti bubur nasi. Pemberian makanan tersebut dimaksudkan untuk
menghindari komplikasi perdarahan usus dan perforasi usus karena
usus perlu diistirahatkan. Tidak dianjurkan mengonsumsi bahan
makanan yang mengandung banyak serat dan mengahasilkan
banyak gas. Pemberian susu dilakukan 2 kali sehari. Jenis makanan
untuk penderita dengan kesadaran menurun adalah makanan cair
yang dapat diberikan melalui pipa lambung. Untuk penderita
dengan komplikasi perforasi usus, tidak dianjurkan makanan yang
dapat mengiritasi lambung seperti makanan pedas dan asam
2.12.3 Pencegahan Tersier

18

Pencegahan tersier adalah upaya untuk mengurangi keparahan atau


komplikasi penyakit yang sudah terjadi. Apabila penderita Tifus
abdominalis telah dinyatakaan sembuh, sebaiknya tetap menjaga
kesehatan dan kebersihan sehingga daya tahan tubuh dapat pulih
kembali dan terhindar dari infeksi ulang Tifus abdominalis. Disamping
itu, penderita tersebut harus melakukan pemeriksaan serologis sebulan
sekali untuk mengetahui keberadaan Salmonella typhi di dalam tubuh.

BAB III
TINJAUAN KASUS
Tanggal 26 Agustus 2016 Ny. D GIP0000 umur 21 tahun UK 15 minggu datang
ke BPM dengan keluhan deman tinggi menetap, pusing, mual dan muntah, klien
merasa cemas karena terasa nyeri dibagian perut.
Pengkajian / Pengumpulan Data
Tanggal : 26 Agustus 2016

Pukul/jam

: 11.00

S (Subjektif)
Ny. D usia 21 tahun, datang ke BPM bermasud untuk memeriksakan keadaannya.
Ibu mengatakan demam tinggi menetap, pusing, mual dan muntah, sejak 2 hari
yang lalu.
Ibu mengatakan tidak ada yang menderita penyakit berat seperti, hipertensi, DM,
jantung, TBC, IMS, dll. Dan keluarga tidak ada yang menderita penyakit berat
seperti, hipertensi, DM, jantung, TBC, IMS, dll.
Makan : 3x sehari (Nasi, telur, daging, tahu, tempe, sayur dan buah)
Selama hamil ibu mengatakan tidak ada perubahan pada pola makan.
Minum : 6-8 gelas/hari (air mineral)
Eliminasi :
BAK selama hamil, frekuensi BAK menjadi 7-9x/hari.
19

BAB , Frekuensi BAB


Personal higiene.
Mandi
Menggosok gigi
Membersihkan genethalia
Ganti pakaian
Ganti Pakaian dalam

O (Objektif)
Keadaan umum
TD
Nadi
Kesadaran
Suhu
Respirasi
BB
TB
Payudara

: 1X/hari
:
:
:
:
:

2x/hari
2x/hari
sesudah BAK/BAB
2x/hari
2x/hari

: lemah
: 100/70mmHg
: 85x/menit
: Compos Mentis
: 38,0 C
: 24x/menit
: 56kg
: 152cm
: Puting susu menonjol, kolostrum belum keluar, tidak ada

massa.
Abdomen
Kontraksi

: belum terasa.

Kandung kemih

: penuh

Riwayat operasi

: Tidak ada

Garis linea nigra dan striae gravidarum


Palpasi

: Tidak ada.

: Leopod 1 TFU setinggi pertengahan simfisis dengan

pusat.
Genetalia
Varises

: Tidak ada

Oedem

: Tidak ada

Hemoroid

: Tidak ada

Pembesaran kelenjar bartolin


Ekstremitas

: Tidak ada

: Tidak ada Oedema, Tidak ada Varises, dan mampu bergerak

bebas.
Pemeriksaan Penunjang
Laboraturium

: Hb

: 12gr%

Widal : positif

20

A (Analisa)
GIP0000 UK 15 minggu dengan Tifus Abdominalis
P (Penatalaksanaan)
Tanggal 26 Agustus 2016

jam:11.15 WIB

a. Mandiri
Mengurangi rasa cemas pada ibu dan keluarga dan memberikan obat turun
panas
b. Kolaborasi
Mengirim pasien ke laboraturium untuk melakukan pemeriksaan
c. Merujuk
Merujuk ke Rumah Sakit.
Jam
11.15 WIB

Penatalaksanaan
Memberitahu ibu dan keuarga hasil pemeriksaan, ibu

11.20 WIB

mengetahui kondisinya saat ini


Menjelaskan kepada ibu resiko dan bahaya penyakit

11.22 WIB

yang mungkin timbul, ibu mengerti dan merasa cemas


Menganjurkan ibu untuk tenang dan berfikir positif,

11.30 WIB

ibu merasa lebih tenang


Menganjurkan suami dan orang terdekat untuk selalu

Paraf

member motivasi dan dukungan kepada ibu, keluarga


11.35 WIB

bersedia
Memberikan paracetamol 500 mg setiap 4-6 jam, dan
kurangi dosis antipiretik apabila suhu tubuh kembali

11.40 WIB

normal, ibu bersedia untuk mengkonsumsinya


Memberitahu ibu bahwa ibu akan dirujuk ke dokter
spesialis kandungan untuk mendapatkan penangan
lebih lanjut, ibu dan keluarga bersedia

BAB IV

21

PEMBAHASAN

BAB IV

22

PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Tifus abdominalis (demam tifoid, enteric fever) ialah penyakit infeksi
akut yang biasnya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari
satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran.
Bakteri masuk melalui saluran cerna, dibutuhkan jumlah serratus ribu
sampai satu milyar untuk dapat menimbulkan infeksi. Sebagaian besar bakteri
mati oleh asam lambung. Bakteri yang tetap hidup akan masuk kedalam
ileum melalui mikrovili dan mencapai plak payeri, selanjutnya masuk
kedalam pembuluh darah (bakteremia). Pada tahap selanjutnya, s.typoii
menuju keorgan sistem retikoendotial.

4.2 Saran
1. Bagi mahasiswa kebidanan.
Mahasiswa kebidanan harus bisa berfikir secara kritis dan harus memberi
asuhan kebidanan yang intensif bagi ibu hamil dengan tipus abdominalis.
2.

Bagi ibu hamil / umum


Untuk menghindari dari penyakit tipus abdominalis saat hamil maka
harus diperlukan pola hidup sehat yang teratur seperti pola makan dan
pola olahraga supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan saat
kehamilan.

DAFTAR PUSTAKA

23

Sjamsuhidajat, dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC
Hidayat, Aziz Alimul. 2009. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Salemba medika.
Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC
J.M, Gibson. 2006. Modern Microbiology and Pathology for Nurses. Jakarta :
EGC bekerja sama dengan Blackwell Scientific

24

Anda mungkin juga menyukai