PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Typus abdominalis dalam kehamilan, dan nifas menunjukan angka
kematian yang lebih tinggi dari pada di luar kehamilan. Ibu hamil yang
menderita tifus memiliki risiko kematian 15 persen atau lebih. Penyakit ini
mempunyai pengaruh buruk terhadap kehamilan. Janin yang dikandungnya
berpeluang sekitar 60-80 persen gugur atau lahir prematur, lebih dini
terjadinya infeksi dalam kehamilan, lebih besar kemungkinan berakhirnya
kehamilan. Infeksi ini bisa dicegah dengan vaksinasi. Ibu yang mengalami
infeksi setelah melahirkan disarankan untuk tidak menyusui bayinya karena
dikhawatirkan bisa menular.
Selain itu, ibu dianjurkan untuk banyak istirahat, menjalani pengobatan
simptomatik dan minum obat antibakteri.Pengobatan dengan kloramfenikol
atau tiamfenikol (Urfamycin) biasanya cukup manjur. Waktu ada wabah,
semua wanita hamil perlu diberi vaksinasi. Walaupun kuman-kuman tIfus
abdominalis tidak di keluarkan melalui air susu, namun sebaiknya penderita
tidak menyusui bayinya karena keadaan umum ibu biasanya tidak
mengizinkan, dan karena kemungkinan penuluaran oleh ibu melalui jalan lain
tetap ada. Tifus abdominalis tidak merupakan indikasi bagi abortus buatan.
Transmisi kuman Salmonela typhi terjadi melalui oral, kontaminasi
makanan/minuman dengan kuman tersebut. Penyakit ini mengakibatkan
gejala demam, yang naik bertahap (tidak mendadak tinggi, seperti
kebanyakan infeksi virus). Keluhan perut umumnya selalu ada, dapat berupa
diare, nyeri, atau konstipasi. Lidah tampak kotor, tremor, dengan tepi
hiperemis. Nadi dapat memperlihatkan bradikardi relatif, dengan nadi per
menit yang tidak sesuai (terlalu lambat) dibandingkan suhu badan yang
tinggi. Laboratorium didapatkan lekopenia dan trombositopenia (tidak seberat
trombositopenia pada DBD).
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Tifus abdominalis (demam tifoid) adalah penyakit infeksi bakteri hebat
yang diawali di selaput lendir usus dan jika tidak diobati secara progresif
menyerbu jaringan di seluruh tubuh. Aspek paling penting dari infeksi ini
ialah kemungkinan terjadinya perforasi usus, karena satu kali organisme
memasuki rongga perut dan pasti timbul peritonitis yang mengganas. Bila ini
terjadi akan timbul komplikasi lain ialah perdarahan per anus dan infeksi
terlokalisasi (meningitis, dll).
Tifus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus
dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran
pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran yang disebabkan oleh
Salmonella typhi.
2.2. Etiologi
Tifus abdominalis disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Termasuk
ke dalam famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella. S. typhi
merupakan bakteri berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora,
motil, berkapsul dan mempunyai flagella. Bakteri ini dapat bertahan hidup
pada pembekuan selama beberapa minggu namun mati pada pemanasan
dengan suhu 54,4 C selama 1 jam dan 60 C selama 15 menit.
Salmonella typhi memiliki 3 macam antigen, yaitu :
a. Antigen O (Antigen dinding sel/ somatik) yang terletak pada lapisan luar
tubuh bakteri. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau
disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi
tidak tahan tehadap formaldehid.
b. Antigen H (Antigen flagella) yang merupakan komponen protein dan
berada dalam flagella. Antigen ini tahan terhadap formaldehid tetapi tidak
tahan tehadap panas dan alkohol.
c. Antigen Vi (Virulen) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang
melindungi seluruh permukaan sel.
Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan
pembentukan tiga macam antibodi yang biasa disebut aglutinin.
2.3 Patogenesis
Masa inkubasi Tifus abdominalis umumnya 10-20 hari. Inkubasi
terpendek 3 hari dan terlama 60 hari. Masa inkubasi ini bergantung pada
jumlah bakteri yang tertelan dan faktor host. Bakteri Salmonella typhi masuk
ke
dalam
tubuh
manusia
melalui
makanan
atau
minuman
yang
dasarnya,
tifus
abdominalis
merupakan
penyakit
sistem
jantung
membengkak,
melunak,
dan
memberi
gambaran
kelemahan otot pada penderita. Otot yang sering diserang adalah otot
diafragma, muskulus rektus abdominis, dan otot paha. Toksin di otot dapat
juga menyebabkan abses di otot bersangkutan. Pada tulang dapat dijumpai
lesi supuratif berupa abses. Osteomielitis ini dapat berlangsung sampai
bertahun tahun dan paling sering terjadi di tibia, sternum, iga dan ruas
tulang belakang.
Pada demam tifoid, sering didapatkan gambaran piogenik disertai adanya
basil tifus yang hidup di darah. Infeksi di sumsum tulang ditandai dengan
leukopenia disertai hilangnya sel polimorfonuklear dan eosinofil serta
bertambahnya sel mononuklear.
2.4 Epidemiologi Tifus abdominalis
2.4.1. Distribusi dan Frekuensi
1) Orang
Tifus abdominalis menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan
yang nyata insidensi antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan umur,
proporsi penderita Tifus abdominalis lebih sering terjadi pada anak-anak.
Pada sebagian besar orang dewasa mengalami infeksi ringan dan akan
sembuh dengan sendirinya serta akan kebal pada serangan berikutnya.
Menurut Noer, Syaifoellah (1996), kasus Tifus abdominalis tertinggi terjadi
pada kelompok umur 12-30 tahun sebesar 70-80%, pada umur 31-40 tahun
sebesar 10-20%, dan lebih dari 40 tahun sebesar 5-10%.
Walaupun
patogen kuat, kuman ini tidak bersifat piogenik tapi justru menekan
pembentukan sel polimorfonuklear dan eosinofil. Kuman ini mempunyai
beberapa antigen yang penting untuk diagnosis imunologik. Sumber infeksi S.
typhi selalu manusia, baik orang sakit maupun orang sehat pembawa kuman.
Infeksi umumnya terjadi melalui makanan yang terkontaminasi tinja, kemih,
atau pus yang positif mengandung kuman.
Kontaminasi bakteri pada susu sangat berbahaya karena bakteri dapat
berkembang biak dalam media ini. Penyebaran umumnya terjadi melalui air
atau kontak langsung. Oleh karena itu, pencegahan harus diusahakan melalui
perbaikan sanitasi lingkungan, kebiasaan makan, proyek MCK dan pendidikan
kesehatan di puskesmas dan posyandu.
2.4.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi (Determinan)
1) Faktor Host
Manusia merupakan sumber penularan Salmonella typhi. Terjadinya
penularan karena kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang
penderita Tifus abdominalis atau carrier kronis. Transmisi bakteri
Salmonella terutama masuk bersama makanan atau minuman yang tercemar
kotoran manusia.
Selain itu, transmisi secara kongenital dapat terjadi secara transplasental
dari seorang ibu yang mengalami bakterimia (beredarnya bakteri dalam
darah) kepada bayi dalam kandungan atau tertular saat dilahirkan dari
seorang ibu yang merupakan carrier Tifus abdominalis dengan rute fekal
oral. Seseorang yang telah terinfeksi Salmonella typhi dapat menjadi
carrier kronis dan mengekspresikan mikroorganisme selama beberapa
tahun.
2) Faktor Agent
Tifus abdominalis disebabkan oleh Salmonella typhi. Bakteri ini hanya
dapat menginfeksi tubuh manusia. Jumlah Salmonella typhi yang tertelan
Selanjutnya,
gejala
disebabkan
oleh
gangguan
sistem
Keluhan
1. Nyeri kepala (frontal)
2. Kurang enak di perut
3. Nyeri tulang, persendian,
dan otot.
4. Berak berak
5. Muntah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Gejala
Demam
Nyeri tekan perut
Bronkitis
Toksik
Letargik
Lidah tifus
10
leukopenia
disertai
hilangnya
sel
eosionofil
dan
11
Tifus abdominalis akan tetapi hasil negatif belum tentu tidak menderita
Tifus abdominalis karena tergantung pada. beberapa faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan antara lain; penggunaan
antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume
spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang
tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur
mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya
waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih
untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk
dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
3) Pemeriksaan Serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis Tifus
abdominalis dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen
antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Beberapa uji
serologis yang dapat digunakan pada Tifus abdominalis ini meliputi :
a. Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin
digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa
reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah
mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O)
dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Semakin tinggi
titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis
sebagai penderita Tifus abdominalis. Teknik aglutinasi uji Widal dapat
dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji
tabung (tube test).
Namun demikian uji Widal memiliki kelemahan seperti rendahnya
sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil
sehingga membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita
Tifus abdominalis. Pemberian antibiotika sebelum pengambilan serum
dapat memberikan hasil negatif palsu sedangkan kesamaan antigen O
12
13
perforasi usus, penderita dianjurkan mendapat diet cukup dan lunak sampai
demam hilang. Penderita pun harus membatasi gerakan. Antifoid perlu
diberikan secara tepat dalam dosis yang memadai dan diminum secara teratur.
14
16
bayi segera dipisahkan dari ibu setelah lahir. Vaksinasi tifoid dapat
dilakukan pada ibu hamil dan tidak membahayakan janin yang
dikandugnya.
2.12 Pencegahn
Pencegahan adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mengurangi
angka kesakitan dan kematian akibat penyakit Tifus abdominalis.
Pencegahan terdiri dari beberapa tingkatan yaitu pencegahan primer,
pencegahan sekunder dan pencegahan tersier.
2.12.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang
yang sehat agar tidak sakit dengan cara mengendalikan penyebabpenyebab penyakit dan faktor risikonya. Pencegahan primer dapat
dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain
Salmonella typhi yang dilemahkan, mengonsumsi makanan sehat untuk
meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan kesehatan
kepada masyarakat agar menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS).
Imunisasi typhus abdominalis merupakan imunisasi yang digunakan
untuk mencegah terjadinya penyakit typhus abdominalis. Dalamm
persediaan khususnya di Indonesia terdapat tiga jenis vaksin typhus
abdominalis, di antaranya kuman yang dimatikan, kuman yang
dilemahkan (vivotif, berna), dan antigen capsular Vi poliysaccharida
(Typhim Vi, Pasteur Meriux). Vaksin kuman yang dimatikan dapat
diberikan untuk bayi 6-12 bulan adalah 0,1 ml, 1-2 tahun 0,2 ml , dan 212 tahun adalah 0,5 ml. pada imunisasi awal dapat diberikan sebanyak 2
kali dengan interval 4 minggu kemudian pebguat setelah 1 tahun
kemudian. Vaksin kuman yang dilemahkan dapat diberikan dalam
bentuk capsul coated sebelum makan pada hari ke-1, 2, dan 5 untuk
anak di atas usia 6 tahun. Antigen kapsular diberikan untuk usia di atas
2 tahun dan dapat diulang setiap 3 tahun.
2.12.2 Pencegahan Sekunder
17
Pencegahan
sekunder
adalah
upaya
yang
dilakukan
untuk
18
BAB III
TINJAUAN KASUS
Tanggal 26 Agustus 2016 Ny. D GIP0000 umur 21 tahun UK 15 minggu datang
ke BPM dengan keluhan deman tinggi menetap, pusing, mual dan muntah, klien
merasa cemas karena terasa nyeri dibagian perut.
Pengkajian / Pengumpulan Data
Tanggal : 26 Agustus 2016
Pukul/jam
: 11.00
S (Subjektif)
Ny. D usia 21 tahun, datang ke BPM bermasud untuk memeriksakan keadaannya.
Ibu mengatakan demam tinggi menetap, pusing, mual dan muntah, sejak 2 hari
yang lalu.
Ibu mengatakan tidak ada yang menderita penyakit berat seperti, hipertensi, DM,
jantung, TBC, IMS, dll. Dan keluarga tidak ada yang menderita penyakit berat
seperti, hipertensi, DM, jantung, TBC, IMS, dll.
Makan : 3x sehari (Nasi, telur, daging, tahu, tempe, sayur dan buah)
Selama hamil ibu mengatakan tidak ada perubahan pada pola makan.
Minum : 6-8 gelas/hari (air mineral)
Eliminasi :
BAK selama hamil, frekuensi BAK menjadi 7-9x/hari.
19
O (Objektif)
Keadaan umum
TD
Nadi
Kesadaran
Suhu
Respirasi
BB
TB
Payudara
: 1X/hari
:
:
:
:
:
2x/hari
2x/hari
sesudah BAK/BAB
2x/hari
2x/hari
: lemah
: 100/70mmHg
: 85x/menit
: Compos Mentis
: 38,0 C
: 24x/menit
: 56kg
: 152cm
: Puting susu menonjol, kolostrum belum keluar, tidak ada
massa.
Abdomen
Kontraksi
: belum terasa.
Kandung kemih
: penuh
Riwayat operasi
: Tidak ada
: Tidak ada.
pusat.
Genetalia
Varises
: Tidak ada
Oedem
: Tidak ada
Hemoroid
: Tidak ada
: Tidak ada
bebas.
Pemeriksaan Penunjang
Laboraturium
: Hb
: 12gr%
Widal : positif
20
A (Analisa)
GIP0000 UK 15 minggu dengan Tifus Abdominalis
P (Penatalaksanaan)
Tanggal 26 Agustus 2016
jam:11.15 WIB
a. Mandiri
Mengurangi rasa cemas pada ibu dan keluarga dan memberikan obat turun
panas
b. Kolaborasi
Mengirim pasien ke laboraturium untuk melakukan pemeriksaan
c. Merujuk
Merujuk ke Rumah Sakit.
Jam
11.15 WIB
Penatalaksanaan
Memberitahu ibu dan keuarga hasil pemeriksaan, ibu
11.20 WIB
11.22 WIB
11.30 WIB
Paraf
bersedia
Memberikan paracetamol 500 mg setiap 4-6 jam, dan
kurangi dosis antipiretik apabila suhu tubuh kembali
11.40 WIB
BAB IV
21
PEMBAHASAN
BAB IV
22
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Tifus abdominalis (demam tifoid, enteric fever) ialah penyakit infeksi
akut yang biasnya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari
satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran.
Bakteri masuk melalui saluran cerna, dibutuhkan jumlah serratus ribu
sampai satu milyar untuk dapat menimbulkan infeksi. Sebagaian besar bakteri
mati oleh asam lambung. Bakteri yang tetap hidup akan masuk kedalam
ileum melalui mikrovili dan mencapai plak payeri, selanjutnya masuk
kedalam pembuluh darah (bakteremia). Pada tahap selanjutnya, s.typoii
menuju keorgan sistem retikoendotial.
4.2 Saran
1. Bagi mahasiswa kebidanan.
Mahasiswa kebidanan harus bisa berfikir secara kritis dan harus memberi
asuhan kebidanan yang intensif bagi ibu hamil dengan tipus abdominalis.
2.
DAFTAR PUSTAKA
23
Sjamsuhidajat, dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC
Hidayat, Aziz Alimul. 2009. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Salemba medika.
Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC
J.M, Gibson. 2006. Modern Microbiology and Pathology for Nurses. Jakarta :
EGC bekerja sama dengan Blackwell Scientific
24