Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

Kepmenkes Republik Indonesia Nomor 369/Menkes/SK/III/2007 Tentang Standar


Profesi Bidan, UU Tentang Aborsi, Adopsi, Bayi Tabung dan Transplantasi,
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
585/Menkes/Per/IX/1989ntentang Persetujuan Tindakan Medik, UU Yang Terkait
Dengan Hak Reproduksi Dan Keluarga Berencana

Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika dan Hukum Kesehatan
Dosen pengampu Ibu Sri Maryati, SST.,MM.,M.Keb

Di Susun Oleh :

Dea Rosmayanti E.0106.20.003


Dini Auliya A E.0106.20.006
Rika Afriyani E.0106.20.023

DIII KEBIDANAN
STIKes BUDI LUHUR CIMAHI
JL. Kerkof No.243, Leuwigajah, Kec.Cimahi Sel., Kota Cimahi, Jawa Barat 4053
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
karunia dan rahmatnya kami bisa menyelesaikan makalah mengenai Kepmenkes Republik
Indonesia Nomor 369/Menkes/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan, UU Tentang
Aborsi, Adopsi, Bayi Tabung dan Transplantasi, Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor: 585/Menkes/Per/IX/1989ntentang Persetujuan Tindakan Medik, UU Yang
Terkait Dengan Hak Reproduksi Dan Keluarga Berencana yang walaupun masih banyak
kekurangan di dalamnya. Serta kami juga berterima kasih kepada Ibu Sri Maryati,
SST.,MM.,M.Keb selaku dosen mata kuliah Etika & Hukum Kesehatan yang sudah
memberikan kepercayaan menyelesaikan tugas ini.
Kami pun menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami mengharapkan adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan makalah yang sudah kami buat, mengingat tak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Mudah-mudahan makalah sederhana ini bisa dipahami bagi siapapun yang
membacanya dan sekiranya yang sudah disusun ini dapat bermanfaat bagi kami sendiri
ataupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf jika terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Cimahi, 27 Agustus 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................2

BAB I...............................................................................................................................................4

PENDAHULUAN............................................................................................................................4

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................4

1.2. Rumusan Masalah......................................................................................................................4

1.3. Tujuan.........................................................................................................................................4

BAB II..................................................................................................................................................5

PEMBAHASAN...................................................................................................................................5

2.1 Peraturan Pemerintah / Undang – Undang Republik Indonesia Tentang Aborsi, Bayi Tabung,
Adopsi dan Transplantasi...................................................................................................................5

BAB III...............................................................................................................................................28

PENUTUP..........................................................................................................................................28

3.1 Kesimpulan................................................................................................................................28

3.2 Saran..........................................................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................29

3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan pada hakekatnya diarahkan guna tercapainya kesadaran,


kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, menyangkut fisik, mental, maupun
sosial budaya dan ekonomi. Untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal dilakukan
berbagai upaya pelayanan kesehatan yang menyeluruh, terarah dan berkesinambungan.
Masalah reproduksi di Indonesia mempunyai dua dimensi. Pertama: yang laten yaitu
kematian ibu dan kematian bayi yang masih tinggi akibat bebagai faktor termasuk pelayanan
kesehatan yang relatif kurang baik. Kedua ialah timbulnya penyakit degeneratif yaitu
menopause dan kanker.

Dalam globalisasi ekonomi kita diperhadapkan pada persaingan global yang semakin
ketat yang menuntut kita semua untuk menyiapkan manusia Indonesia yang berkualitas tinggi
sebagai generasi penerus bangsa yang harus disiapkan sebaik mungkin secara terencana,
terpadu dan berkesinambungan. Upaya tersebut haruslah secara konsisten dilakukan sejak
dini yakni sejak janin dalam kandungan, masa bayi dan balita, masa remaja hingga dewasa
bahkan sampai usia lanjut.
Bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan yang memiliki posisi penting dan strategis
terutama dalam penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan angka kesakitan dan kematian
Bayi (AKB). Bidan memberikan pelayanan kebidanan yang berkesinambungan dan
paripurna, berfokus pada aspek pencegahan, promosi dengan berlandaskan kemitraan dan
pemberdayaan masyarakat bersama-sama dengan tenaga kesehatan lainnya untuk senantiasa
siap melayani siapa saja yang membutuhkannya, kapan dan dimanapun dia berada. Untuk
menjamin kualitas tersebut diperlukan suatu standar profesi sebagai acuan untuk melakukan
segala tindakan dan asuhan yang diberikan dalam seluruh aspek pengabdian profesinya
kepada individu, keluarga dan masyarakat, baik dari aspek input, proses dan output.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa UU Kesehatan Tentang Aborsi ?
2. Apa UU Kesehatan Tentang Adopsi ?
3. Apa UU Kesehatan Tentang Bayi Tabung ?
4. Apa UU Kesehatan Tentang Transplantasi ?

1.3. Tujuan

4
Untuk mengetahui Kepmenkes Republik Indonesia Nomor 369/Menkes/SK/III/2007 Tentang
Standar Profesi Bidan, UU Tentang Aborsi, Adopsi, Bayi Tabung dan Transplantasi,
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 585/Menkes/Per/IX/1989ntentang
Persetujuan Tindakan Medik, UU Yang Terkait Dengan Hak Reproduksi Dan Keluarga
Berencana

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Peraturan Pemerintah / Undang – Undang Republik Indonesia Tentang Aborsi,
Bayi Tabung, Adopsi dan Transplantasi

PERATURAN PEMERINTAH / UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA

TENTANG

ABORSI, BAYI TABUNG, DAN ADOPSI

PP/UU TENTANG ABORSI

Pengertian Aborsi

Aborsi = pengguguran=abortus provocatus

Gugur kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus) adalah berhentinya kehamilan sebelum
usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin. Apabila janin lahir selamat
(hidup) sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah kelahiran
prematur. (Wikipedia, 2009).

Abortus provokatus merupakan jenis abortus yang sengaja dibuat/dilakukan, yaitu dengan
cara menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibu.

PERATURAN PEMERINTAH / UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA


5
TENTANG

Macam-macam Aborsi

1).  abortus spontan (abortus spontaneus)

2).  abortus terapeutik/medis (abortus provocatus therapeticum)     

Abortus Provokatus Medisinalis/Artificialis/Therapeuticus.


Merupakan abortus yang dilakukan dengan disertai indikasi medik. Di Indonesia yang
dimaksud dengan indikasi medik adalah demi menyelamatkan nyawa ibu.

Syarat-syaratnya:
1. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukannya (yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan) sesuai dengan
tanggung jawab profesi.
2. Harus meminta pertimbangan tim ahli (ahli medis lain, agama, hukum,psikologi).
3. Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat.
4. Dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki tenaga/peralatan yang memadai, yang
ditunjuk oleh pemerintah.
5. Prosedur tidak dirahasiakan.
6. Dokumen medik harus lengkap.
Alasan-alasan untuk melakukan tindakan abortus medisinalis :
1. Abortus yang mengancam (threatened abortion) disertai dengan perdarahan yang terus
menerus, atau jika janin telah meninggal (missed abortion).
2. Mola Hidatidosa atau hidramnion akut.
3. Infeksi uterus akibat tindakan abortus kriminalis.
4. Penyakit keganasan pada saluran jalan lahir, misalnya kanker serviks atau jika dengan
adanya kehamilan akan menghalangi pengobatan untuk penyakit keganasan lainnya pada
tubuh seperti kanker payudara.
5. Prolaps uterus gravid yang tidak bisa diatasi.
6. Telah berulang kali mengalami operasi caesar.
7. Penyakit-penyakit dari ibu yang sedang mengandung, misalnya penyakit jantung organik
dengan kegagalan jantung, hipertensi, nephritis, tuberkulosis paru aktif, toksemia gravidarum
yang berat.

6
8. Penyakit-penyakit metabolik, misalnya diabetes yang tidak terkontrol yang disertai
komplikasi vaskuler, hipertiroid, dan lain-lain.
9. Epilepsi, sklerosis yang luas dan berat.
10. Hiperemesis gravidarum yang berat, dan chorea gravidarum.
11. Gangguan jiwa, disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri. Pada kasus seperti ini,
sebelum melakukan tindakan abortus harus dikonsultasikan dengan psikiater.

                  3). abortus buatan /sengaja ( abortus provocatus criminalois)    

Abortus Provokatus Kriminalis


Merupakan aborsi yang sengaja dilakukan tanpa adanya indikasi medik (ilegal). Biasanya
pengguguran dilakukan dengan menggunakan alat-alat atau obat-obat tertentu. Aborsi
provokatus kriminalis adalah pengguguran kandungan yang tujuannya selain untuk
menyelamatkan/mengobati ibu, dilakukan oleh tenaga medis/non-medis yang tidak
kompeten, serta tidak memenuhi syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh peraturan
perundangan. Biasanya di dalamnya mengandung unsur kriminal atau kejahatan.
Alasan-alasan melakukan abortus provokatus kriminalis :
1. Alasan kesehatan, di mana ibu tidak cukup sehat untuk hamil.
2. Alasan psikososial, di mana ibu sendiri sudah enggan/tidak mau untuk punya anak lagi.
3. Kehamilan di luar nikah.
4. Masalah ekonomi, menambah anak berarti akan menambah beban ekonomi keluarga.
5. Masalah sosial, misalnya khawatir adanya penyakit turunan, janin cacat.
6. Kehamilan yang terjadi akibat perkosaan atau akibat incest (hubungan antar keluarga).
7. Selain itu tidak bisa dilupakan juga bahwa kegagalan kontrasepsi juga termasuk tindakan
kehamilan yang tidak diinginkan.

Di samping itu, banyak perempuan merasa mempunyai hak atas mengontrol tubuhnya
sendiri. Di sisi lain, dari segi ajaran agama, agama manapun tidak akan memperbolehkan
manusia melakukan tindakan penghentian kehamilan dengan alasan apapun. Sedangkan dari
segi hukum, masih ada perdebatan-perdebatan dan pertentangan dari yang pro dan yang
kontra soal persepsi atau pemahaman mengenai undang-undang yang ada sampai saat ini.
Baik dari UU kesehatan, UU praktik kedokteran, kitab undang-undang hukum pidana
(KUHP), UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan UU hak azasi
manusia (HAM). Keadaan seperti di atas inilah dengan begitu banyak permasalahan yang
kompleks yang membuat banyak timbul praktik aborsi gelap, yang dilakukan baik oleh
7
tenaga medis formal maupun tenaga medis informal. Baik yang sesuai dengan standar
operasional medis maupun yang tidak, yang kemudian menimbulkan komplikasi –
komplikasi dari mulai ringan sampai yang menimbulkan kematian.

Aspek-aspek aborsi: Etik, Medis, Agama,  Sosial, Hukum, KB, Sumpah dokter/bidan.

Aborsi dari sudut pandang Hukum

 Di Indonesia, baik menurut pandangan agama, Undang-Undang Negara maupun kode


etik kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan melakukan tindakan aborsi atau
pengguguran kandungan.

 Jika ditinjau dari aspek hukum , pelarangan abortus justru tidak bersifat mutlak

Abortus Provocatus terdiri dari:

 Abortus buatan legal= abortus provocatus therapeticus yaitu pengguguran kandungan


yang dilakukan menurut syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang.
Cara ini sering disebut sebagai abortus provocatus therapeticus, karena alasan yang
sangat mendasar untuk melakukannya adalah untuk menyelamatkan nyawa si ibu.

 Abortus buatan illegal (abortus provocatus kriminalis) yaitu pengguguran kandungan


yang tujuannya selain untuk menyelamatkan atau menyembuhkan si ibu, yang
dilakukan tidak  menurut syarat dan cara yang dibenarkan oleh undang-undang.
Disamping itu aborsi ini juga mengandung unsur kriminal

Undang-Undang Republik Indonesia, No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Pasal 75

Abortus atas indikasi medik  diatur dalam dinyatakan sebagai berikut:

(1). Setiap orang dilarang melakukan aborsi

(2).  larangan pada ayat (1) dpt dikecualikan berdasarkan:

8
Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam
nyawa ibu dan/atau janin yang menderita penyakit genetik beratdan/atau cacat bawaan,
maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan

(3)   Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dpt dilakukan setelah melalui
konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan
yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang

(4)   Tindakan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana
dimaksud pada ayat(2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah

Pasal 76

Aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 hanya dapat dilakukan:

1. Sebelum kehamilan berumur 6 muinggu dihitung dari hari pertama haid terakhir,
kecuali dlm hal kedaruratan medis
2. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki ketrampilan dan kewenangan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh menteri
3. Dengan persetujuan ibu hamil yg bersangkutan
4. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
5. Penyedia layanan kesehatan yg memenuhi syarat yg ditetapkan oleh menteri

Pasal 77

Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud
dalam psl 75 ayat (2) dan ayat (3) yg tdk bermutu, tdk aman, dan tdk bertanggung jawab serta
bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 194 (ketentuan pidana)

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) depidana dengan pidana penjara paling lama
10 tahun dan denta paling banyak Rp1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah)

9
Berikut dijelaskan beberapa pasal dalam Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang mengatur abortus Provocatus:

Pasal 229

1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati
dengan diberitahukan atau ditimbulkjan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya
dapat digugurkan. Maka orang tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau denda paling banyak empat puluh ribu rupiah.

2) Jika yang bersalah berbuat demikian demi mencari keuntungan , menjadikan pebuatan
tersebut sebagai pencaharian atau kebiasaan atrau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat,
pidananya dapat ditambah sepertiga.

3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencaharian, maka
dapat dicabut haknya untuk melakukan pencaharian

Pasal 346

Seorang wanita yang sengaja menggugurkan, menghabisi nyawa kandungannya atau


menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Pasal 347

Ayat 1

Barang siapa dengan sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan kandungan seorang
wanita tanpa persetujuan, diancam dengan pi penjara paling lama dua belas tahun. 2) Jika
perbuatan itu menyebabkan matinya orang tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama
lima belas  tahun

Pasal 348

Ayat 1

Siapa yang dengan sengaja menggugurkan  atau menghabisi nyawa kandungan seorang


wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam

10
bulan. 2) Jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya wanita teersebut, dikenakan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 349

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal
346, ataupun melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang diterangkan dalam
Pasal  347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam Pasal itu ditambah dengan sepertiga
dan dapat dicabut haki untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.

Pasal 535

Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan suatru sarana untuk menggugurkan


kandungan, maupun secara terang-terangan atau diminta menawarkan, ataupun secara terang-
terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat,
sarana atau perantara yang demikian itu, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan
atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Aborsi Di Indonesia diatur oleh:

 Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946tentang Kitab Undang-undang Hukum


Pidana (KUHP) – dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan melanggar hukum. 
Sampai saat ini masih diterapkan.
 Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
 Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992tentang kesehatan – dalam kondisi tertentu,
bisa dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi).  Sampai dengan saat ini masih
diterapkan.

Keuntungan:

 Undang-undang (KUHP) dibuat pada jaman Belanda untuk menyelamatkan ibu dari
kematian akibat tindak aborsi tak aman oleh tenaga tak terlatih (dukun).

Kerugian:

11
 Aborsi masih dianggap sebagai tindakan kriminal, padahal aborsi bisa dilakukan
secara aman (safe abortion).
 UU Kesehatan dibuat untuk memperbaiki KUHP, tapi memuat definisi aborsi yang
salah sehingga pemberi pelayanan (dokter) merupakan satu-satunya yang dihukum. 
Pada KUHP, baik pemberi pelayanan (dokter), pencari pelayanan (ibu), dan yang
membantu mendapatkan pelayanan, dinyatakan bersalah.
 Akibat aborsi dilarang, angka kematian dan kesakitan ibu di Indonesia menjadi tinggi
karena ibu mencari pelayanan pada tenaga tak terlatih

Aborsi seharusnya:

1. Dilakukan oleh dokter ahli kandungan dan dokter umum yang ditunjuk dan
terlatih (bersertifikat)

Keuntungan: Aborsi bisa dilakukan secara aman (safe abortion).

Kerugian: Profesi lain selain dokter yang ditunjuk dan tersertifikasi, tidak diperkenankan
untuk memberikan pelayanan aborsi

2. Dilakukan di rumah sakit atau klinik yang ditunjuk.

Keuntungan:

 Aborsi dapat dilakukan secara lebih aman, karena rumah sakit dan klinik yang
ditunjuk akan dimonitor keamanan dan kualitasnya.

Kerugian:

 Fasilitas kesehatan yang tidak ditunjuk pemerintah, dilarang memberikan pelayanan


aborsi
 Rumah sakit dan klinik yang ditunjuk, hanya diijinkan memberikan pelayanan aborsi
pada perempuan dengan usia   kehamilan tidak lebih dari usia kehamilan yang
ditentukan.

3. Disetujui oleh sekurang-kurangnya seorang konselor dan seorang dokter yang


ditunjuk, atau oleh seorang dokter bila dalam keadaan darurat (emergency).

12
Keuntungan :

 Kerahasiaan pasien terjamin


 Pasien mendapatkan pertolongan sesegera mungkin
 Pasien diberikan konseling, sebelum mendapatkan pelayanan medis.

Kerugian :

 Keputusan aborsi ditentukan oleh satu konselor dan satu dokter


 Terjadi penundaan bagi perempuan untuk mendapatkan pelayanan aborsi aman
 Dokter merasa lebih berwenang dibandingkan konselor
 Dokter yang ditunjuk harus menjaga kode etik kedokteran
 Dokter dibolehkan untuk tidak menuliskan alasan penolakan memberikan pelayanan
aborsi kepada pasien
 Dokter bisa menolak untuk memberikan pelayanan aborsi kepada pasiennya
 Tantangan dari  kelompok konselor dan dokter anti aborsi.

Tindak aborsi dibolehkan dalam kondisi perempuan sebagai berikut:

(a)  Usia kandungan tidak lebih dari 12 minggu dan hasil diagnosis menunjukkan munculnya
risiko lebih besar pada pasien (perempuan) bila kehamilan dilanjutkan, seperti gangguan
mental, fisik dan psikososial

(b)  Ancaman gangguan/cacat mental permanen pasien (perempuan)

(c)  Membahayakan jiwa pasien (perempuan) jika kehamilan dilanjutkanG

(d)  Risiko yang sangat jelas bahwa anak yang akan dilahirkan menderita cacat fisik/mental
yang serius.

Dalam menentukan risiko tindakan seperti yang tersebut di atas, dokter harus
mempertimbangkan keadaan pasien pada saat itu.

PENJELASAN KONDISI

13
a) Risiko gangguan fisik, mental dan psikososial perempuan: batas toleransi usia kehamilan
12 minggu

Keuntungan: Penafsiran konselor dan/atau dokter bahwa dengan melanjutkan kehamilan


pasien  akan mengalami gangguan kesehatan fisik, mental dan psikososial.

Kerugian: Hukum dapat ditafsirkan secara kaku oleh sebagian dokter dan/atau konselor
untuk tidak mengijinkan tindak aborsi tanpa adanya bukti-bukti riwayat sakit fisik dan mental
pasien.

b) Risiko cacat fisik dan mental pasien (perempuan) yang permanen: tidak ada batasan usia
kehamilan

Keuntungan: Dalam kondisi pasien terancam cacat fisik dan mental secara permanen,

perempuan dengan usia kehamilan di atas 12 minggu dibolehkan mendapatkan pelayanan


aborsi.

Kerugian: Membuka penafsiran yang berbeda antar dokter

c) Mengancam jiwa pasien: tidak ada batasan usia kehamilan

Keuntungan: Disetujui/didukung oleh banyak orang

Kerugian: Membuka penafsiran yang berbeda antar dokter

d) Janin tidak normal:  tidak ada batasan usia kehamilan

Keuntungan: Dalam kondisi janin tidak normal, perempuan dengan usia kehamilan di atas
12

minggu dibolehkan melakukan aborsi.

Kerugian:

 Membuka penafsiran yang berbeda antar dokter mengenai definisi/kriteria cacat serius
 Aborsi dianggap ilegal bila janin ternyata tidak cacat
 Aborsi dianggap ilegal bila keputusan diambil berdasarkan pertimbangan gender.

14
 

PP/UU TENTANG BAYI TABUNG

1. Pengertian Bayi Tabung

 Fertilisasi  In Vitro – transfer embrio


 Proses pembuahan diluar tubuh / pertemuan antara sperma dan ovum dilakukan di
luar tubuh yaitu di dalam tabung (piring petri).
 Suatu usaha jalan pintas untuk mempertemukan sel telur (ovum) dengan sel jantan
(sperma) di luar tubuh manusia (in vitro), yaitu dalam tabung gelas dan kemudian
setelah terjadi pembuahan dimasukkan kembali ke dalam rahim wanita sehingga dapat
tumbuh menjadi janin sebagaimana layaknya janin biasa.

2. Jenis-jenis bayi tabung

1. Dengan sperma suami


2. Dengan sperma donor
3. Dengan media titipan

3. Pandangan bayi tabung dari segi agama

Program bayi tabung dari satu sisi memang cukup membantu pasangan suami isteri (pasutri)
yang mengalami gangguan kesuburan dan ingin mendapatkan keturunan. Namun di sisi yang
lain, hukum bayi tabung akhirnya menuai pro dan kontra dari sejumlah pihak. Khususnya
reaksi dari para alim ulama yang mempertanyakan keabsahan hukum bayi tabung jika dinilai
dari sudut agama.

Berdasarkan fatwa MUI, hukum bayi tabung sah (diperbolehkan) dengan syarat sperma dan
ovum yang digunakan berasal dari pasutri yang sah. Sebab hal itu termasuk dalam ranah
ikhtiar (usaha) yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.

MUI juga menegaskan, hukum bayi tabung menjadi haram jika hasil pembuahan sperma dan
sel telur pasutri dititipkan di rahim wanita lain. Demikian pula ketika menggunakan sperma
yang telah dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia atau menggunakan sperma dan

15
ovum yang bukan berasal dari pasutri yang sah, maka hukum bayi tabung dalam hal ini juga
haram.

4. Kedudukan Hukum Anak

Kedudukan Hukum Anak yang Lahir Melalui FIV dengan Menggunakan Sperma
Suami

 Pasal 250 KUHPerdata mengatur tentang pengertian anak sah.


 Pasal 42 UU Perkawinan
 Bagaimana kedudukan anak hasil FIV yang sperma dari suami, ovum dari istri dan
embrio ditanam dirahim istri

–        Orang tua terikat perkawinan yang sah

–        Secara biologis anak merupakan anak pasutri

–        Istri sendiri yang melahirkan

Kedudukan Hukum Anak yang Lahir Melalui Proses FIV dengan Menggunakan
Sperma Donor

Dilihat dari aspek biologis (Ayah Biologis) dan dari aspek yuridis (Ayah Yuridis) dapat
dianggapn sebagai :

1. Sebagai anak sah dgn  melalui pengakuan(285 KUHPerdata)


2. Sebagai anah zina

Kedudukan  Hukum Anak yang Lahir Melalui Proses FIV dengan Menggunakan


Surrogate Mother/Media titipan

 Pada proses ini sel telur dan sperma pasangan suami istri yang  sewa rahim
(lihatberupa embrio dititipkan dalam rahim wanita lain   anak angkatPasal 1548 jo
1320 KUHPerdata) 

16
5. Dasar Hukum Pelaksanaan Bayi Tabung di Indonesia

 Undang-Undang RI No 36/2009

Pasal 127

Ayat (1) Upaya kehamilan diluar cara alamiah hanya dpt dilakukan oleh pasangan suami istri
yang sah dgn ketentuan:

1. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan
dlm rahim istri darimana ovum berasal
2. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk
itu; dan
3. Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu

Ayat (2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan diluar cara alamiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah

           Undang-undang bayi tabung berdasarkan hukum perdata dapat ditinjau dari


beberapa kondisi berikut ini:

1    Jika sperma berasal dari pendonor dan setelah terjadi embrio diimplantasikan ke dalam
rahim isteri, maka anak yang terlahir statusnya sah dan memiliki hubungan waris serta
keperdataan selama suami menerimanya (Pasal 250 KUH Perdata).

2    Jika embrio diimplantasikan ke rahim wanita lain yang telah bersuami, maka anak yang
terlahir statusnya sah dari pasangan penghamil, dan bukan dari pasangan yang memiliki
benih (Pasal 42 UU No. 1/1974 dan Pasal 250 KUH Perdata)

3    Jika sperma dan sel telur berasal dari orang yang tidak terikat perkawinan tetapi
embrionya diimplantasikan ke rahim wanita yang terikat perkawinan, anak yang terlahir
statusnya sah bagi pasutri tersebut.

17
4    Jika embrio diimplantasikan ke rahim gadis, maka status anak yang terlahir adalah anak
di luar nikah

6. Aspek Hukum Bayi Tabung


Inseminasi buatan atau bayi tabung menjadi permasalahan hukum dan etis moral bila
sperma/sel telur datang dari pasangan keluarga yang sah dalam hubungan pernikahan.
Hal ini pun dapat menjadi masalah bila yang menjadi bahan pembuahan tersebut
diambil dari orang yang telah meninggal dunia.
Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap Inseminasi Buatan (Bayi Tabung) :
1. Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-in-vitro transfer
embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri maka anak tersebut baik secara
biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai anak sah (keturunan genetik) dari
pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan
lainnya.
2. Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya telah
bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian
mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan
setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak
memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami ibunya. Dasar hukum
pasal 255 KUH Perdata.
3. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka
secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan
pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal
250 KUH Perdata. 15
Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai
anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya
dilakukan perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu
dinilai sah secara perdata barat, sesuai dengan pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata.)
4. Jika salah satu benihnya berasal dari donor
1. Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi-in-vitro
transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi
dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan setelah terjadi pembuahan

18
diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki status anak sah
dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya sepanjang si
Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes golongan darah atau tes DNA.
Dasar hukum pasal 250 KUH Perdata. 2. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim
wanita lain yang bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari
pasangan penghamil tersebut. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250
KUH Perdata. 3. Jika semua benihnya dari donor: (1) Jika sel sperma maupun sel
telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio
diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka
anak yang lahir mempunyai status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena
dilahirkan oleh seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah.(2). Jika
diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut memiliki status
sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak terikat perkawinan secara sah dan
pada hakekatnya anak tersebut bukan pula anaknya secara biologis kecuali sel telur
berasal darinya. Jika sel telur berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis
dan biologis sebagai anaknya

PP/UU TENTANG ADOPSI

1 Pengertian Adopsi

Adopsi adalah suatu proses penerimaan seorang anak dari seseorang atau lembaga organisasi
ketangan orang lain secara sah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Adopsi juga berarti memasukkan anak yang diketahuinya sebagai anak orang lain  kedalam
keluarganya dengan status fungsi sama dengan anak kandung

Adopsi juga diartikan sebagai perbuatan hukum, dimana seseorang yang cakap mengangkat
seorang anak orang lain menjadi anak sah-nya.
Pada adopsi tidak berarti memutus-kan hubungan darah dengan orang tua kandungnya, tetapi
secara hukum terbentuk hubungan hukum sebagai orang tua dan anak.

 Adopsi dikenal dalam seluruh sistem hukum adat di Indonesia

19
 Pengaturan tentang pengangkatan anak diatur antara lain di KUH Perdata, UU No 2
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, PP no 54 tahun 2007
 Pengaturan tehnisnya banyak tersebar di Surat Edaran Mahkamah Agung

2 Aspek Hukum Adopsi


Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak
mempunyai anak dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak.
Demikian juga bagi mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam
perkawinan.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan adopsi :
a. Pihak yang mengajukan adopsi

Pasangan Suami Istri


Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri diatur dalam SEMA No.6 tahun
1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979 tentang pemeriksaan
permohonan pengesahan/ pengangkatan anak. Selain itu Keputusan Menteri Sosial RI No.
41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga
menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus
kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya
sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang berada
dalam asuhan organisasi sosial.

Orang tua tunggal


1). Staatblaad 1917 No. 129
Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi orang-orang Tionghoa yang selain
memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang terikat perkawinan, juga bagi yang
pernah terikat perkawinan (duda atau janda). Namun bagi janda yang suaminya telah
meninggal dan sang suami meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki
pengangkatan anak, maka janda tersebut tidak dapat melakukannya.
Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan
hanya dapat dilakukan dengan Akte Notaris. Namun Yurisprudensi (Putusan Pengadilan
Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak
perempuan. 17
2).Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983

20
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang pengangkatan anak
antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung
dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga tentang
pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak
terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). Jadi, jika Anda
belum menikah atau Anda memutuskan untuk tidak menikah dan Anda ingin mengadopsi
anak, ketentuan ini sangat memungkinkan Anda untuk melakukannya.
3).Tata cara mengadopsi.

Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak
menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan
pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu
berada.
Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan
diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai
secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat .
4). Isi permohonan
Adapun isi Permohonan yang dapat diajukan adalah:-motivasi mengangkat anak, yang
semata-mata berkaitan atau demi masa depan anak tersebut. -penggambaran kemungkinan
kehidupan anak tersebut di masa yang akan datang.

Untuk itu dalam setiap proses pemeriksaan, juga harus membawa dua orang saksi yang
mengetahui seluk beluk pengangkatan anak tersebut. Dua orang saksi itu harus pula orang
yang mengetahui betul tentang kondisi pemohon (baik moril maupun materil) dan
memastikan bahwa pemohon akan betul- betul memelihara anak tersebut dengan baik.
18Yang dilarang dalam permohonan

5) Yang dilarang dalam permohonan


Ada beberapa hal yang tidak diperkenankan dicantumkan dalam permohonan pengangkatan
anak, yaitu:
1. menambah permohonan lain selain pengesahan atau pengangkatan anak.
2. pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi ahli waris dari pemohon.
Hal ini disebabkan karena putusan yang dimintakan kepada Pengadilan harus bersifat
tunggal, tidak ada permohonan lain dan hanya berisi tentang penetapan anak tersebut sebagai
21
anak angkat dari pemohon, atau berisi pengesahan saja.
Mengingat bahwa Pengadilan akan mempertimbangkan permohonan, maka pemohon perlu
mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, termasuk pula mempersiapkan bukti-bukti
yang berkaitan dengan kemampuan finansial atau ekonomi. Bukti-bukti tersebut akan
memberikan keyakinan kepada majelis hakim tentang kemampuan pemohon dan
kemungkinan masa depan anak tersebut. Bukti tersebut biasanya berupa slip gaji, Surat
Kepemilikan Rumah, deposito dan sebagainya.

6) Pencatatan di kantor Catatan Sipil


Setelah permohonan Anda disetujui Pengadilan, Anda akan menerima salinan Keputusan
Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan yang Anda peroleh ini harus Anda bawa ke
kantor Catatan Sipil untuk menambahkan keterangan dalam akte kelahirannya. Dalam akte
tersebut dinyatakan bahwa anak tersebut telah diadopsi dan didalam tambahan itu disebutkan
pula nama Anda sebagai orang tua angkatnya.

7). Akibat hukum pengangkatan anak


Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris.
1. Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat
menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang
tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama
Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua
kandungnya atau saudara sedarahnya. 19
2. Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki
ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang
bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.

ASPEK HUKUM ADOPSI

1. Hukum Adat
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung
kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, —Jawa misalnya—,
pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan
orangtua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orangtua

22
angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda
dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan
anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya.
Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan
kedudukan dari bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau
Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991).
2. Hukum Islam
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal
hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang
tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut
tetap memakai nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H, Pengangkatan Anak
Ditinjau Dari Segi hukum, AKAPRESS, 1991)
3. Peraturan Per-Undang-undangan
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak
tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak
yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua
angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan
perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua
kandung dan anak tersebut.

 3 Undang – undang Pengankatan Anak

Pengangkatan Anak diatur dalam pasal 39 – 41 UUPA

Pasal 39

(1)   Pengangkatan anak hanya dpt dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan
dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku

(2)   Pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan
darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.

(3) Calon orang tua anak harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat

(4) Pengangkatan anak oleh WMA hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir

23
(5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama
mayoritas penduduk setempat

Pasal 40

(1) Orang tua wajib memberitahukan keoada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan
orang tua kandungnya

(2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan

Pasal 41

(1)   Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP No 54 Tahun 2007)

4. Pihak Yang Dapat Mengajukan Adopsi

1. Pasangan suami istri

Hal ini diatur dalam SEMA No 6 tahun 1983 ttg pemeriksaan permohonan pengesahan/

pengangkatan anak.
Selain itu Keputusan Mensos RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 ttg Petunjuk Pelaksanaan

Pengangkatan Anak

2. Orang tua Tunggal

Janda/duda, kecuali janda yang suaminya pada saat meninggal meninggalkan wasiat yang
isinya tidak menghendaki pengangkatan anak WNI yang belum menikah atau memutuskan
tidak menikah.

24
5. Syarat anak yang akan diangkat (PP no 54 tahun 2007 Pasal 12 ayat (1))

a         belum berusia 18 tahun

b        nerupakan anak terlantar atau ditelantarkan

c         berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak,dan

d        Memerlukan perlindungan khusus

6. Syarat usia anak yang akan diangkat (PP no 54 tahun 2007 ayat (2))

a         Anak usia < 6tahun, prioritas utama

b        Anak usia 6 – < 12 tahun , alasan mendesak

c         Anak usia 12 – 18 tahun memerlukan perlindungan khusus

7. Syarat orang tua angkat (PP No 54 tahun 2007 Pasal 13)

a         Sehat jasmani dan rohani

b        Berumur min30 tahun dan maksimal 50 tahun

c         Beragama sama dengan calon anak angkat

d        Berkelakuan baik tidak pernah dihukum

e         Berstatus  menikah paling singkat 5 tahun

f         Tidak menrupakan pasangan sejenis

g        Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu anak

h        Keadaan mampu ekonomi dan sosial

25
i         Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis ortu wali anak

j         Membuat pernyataan tertulis tentang pengangkatan anak

k        Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat

l         Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 bulan sejak ijin pengasuh

diberikan

Memperoleh izin menteri/kepala instansi

UU TRANSPLANTASI
Pengaturan mengenai transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia telah diatur
dalam hukum positif di Indonesia. Dalam peraturan tersebut diatur tentang siapa yang
melakukan tindakan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia, bagaimana
prosedur pelaksanaan tindakan medis transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia, juga
tentang sanksi pidana. Dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan bagi pelaku
pelanggaran baik yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan, melakukan transplantasi
organ dan atau jaringan tubuh manusia tanpa persetujuan donor atau ahli waris, memperjual
belikan organ dan atau jaringan tubuh manusia diancam penjara paling lama 7 ( tujuh ) tahun
dan denda paling banyak Rp.140.000.000,- (seratus empat puluh juta) sebagaimana diatur
dalam Pasal 81 ayat (1)a,Pasal 81 ayat (2)a, Pasal 80 ayat (3), dan sanksi administratif
terhadap pelaku pelanggaran yang melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh
manusia yang diatur dalam Pasal 20 ayat (2) PP No.81 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat
Minis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia.
Untuk menaggulangi perdagangan organ gelap dan atau jaringan tubuh manusia diatur dalam
UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang
berisi ketentuan mengenai jenis perbuatan dan sanksi pidana bagi pelaku yang terdapat dalam
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 , Pasal 6, Pasal 11, Pasal 13, dan Pasal 17, dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp. 120.000.000, (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,
(enam ratus juta rupiah). Sedangkan sebagai bentuk perlindungan terhadap anak yang juga
rentan terhadap tindakan eksploitasi perdagangan gelap transplantasi organ dan atau jaringan

26
tubuh telah diatur dalam Pasal 47 dan Pasal 85 UU NO. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, serta yang berisi ketentuan mengenai jenis tindak pidana dan sanksi pidana yang dapat
dikenakan terhadap pelakunya.
Dalam melakukan tindakan medis transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia
seorang dokter harus melakukannya berdasarkan standar profesi serta berpegang teguh pada
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Dari sudut pandang (dalam hal ini Islam dan
Katolik) transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia diperkenanakn dengan dasar kasih
dan kemanusiaan secara sukarela untuk menyelamatkan individu (manusia) lain, yang tidak
diperkenanakan menjadikan organ adan atau jaringan tubuh tersebut sebagai objek jual beli
secara komersial. Tindakan medis tersebut harus didahului dengan prosedur yang harus
dilalui oleh pasein, selain prosedur pengujian kesehatan terdapat prosedur yang dilakukan
oleh pasien yaitu membuat persetujuan secara tertulis tentang kesediaannya menjalani
transplantasi organ dan atau jaringan tubuh yang dilakukan dalam PERTINDIK. Sebelum
menyatakan persetujuannya terlebih dahulu maupun terlebih dahulu harus mendapat
informasi dari dokter mengenai tindakan medik transplantasi organ dan atau jaringan baik
diminta tidak. selain prosedur uji kesehatan terdapat prosedur yang wajib dilakukan oleh
pasien yaitu persetujuan secara tertulis tentang kesediaannya menjalani transplantasi organ
dan jaringan tubuh yang dalam PERTINDIK. Sebelum menyatakan persetujuannya terlebih
dahulu maupun terlebih dahulu harus mendapat informasi dari dokter mengenai tindakan
medik transplantasi organ dan atau jaringan baik diminta tidak. selain prosedur uji kesehatan
terdapat prosedur yang wajib dilakukan oleh pasien yaitu persetujuan secara tertulis tentang
kesediaannya menjalani transplantasi organ dan jaringan tubuh yang dalam PERTINDIK.
Sebelum menyatakan persetujuannya terlebih dahulu maupun terlebih dahulu harus mendapat
informasi dari dokter mengenai tindakan medik transplantasi organ dan atau jaringan baik
diminta tidak.

27
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam
menjalankan profesi secara baik. Kompetensi dimaknai pula sebagai pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir, dan
bertindak. Kompetensi dapat pula dimaksudkan sebagai kemampuan melaksanakan tugas
yang diperoleh melalui pendidikan dan / atau latihan (Herry, 1998). Berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 369/ Menkes/ SK/ III/ 2007 Tentang Standar
Profesi Bidan Bidan Indonesia memiliki 9 standar kompetensi.

3.2 Saran
Bidan sebagai seorang tenaga kesehatan harus mampu menjalankan tugas dan kewajibannya
dengan baik sesuai dengan Undang-undang Nomer : 369/ Menkes/ SK/ III/ 2007 Tentang
Standar Profesi Bidan Bidan Indonesia Selain itu, bidan harus bisa mengembangkan
kemampuan dan keahliannya sesuai perkembangan zamandengan mengikuti seminar dan
pelatihan.

28
DAFTAR PUSTAKA

29

Anda mungkin juga menyukai