Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

HUKUM KELUARGA ISLAM KONTEMPORER

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh Aplikatif

Dosen Pengampu : Dr.Maimun,S.H.,M.A.

DISUSUN OLEH:

1. AKMAL SUCIAWAN (1921010127)

FAKULTAS SYARIAH
PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN INTAN LAMPUNG
2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan kemudahan dalam menyelesaikan
makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya tentu saya tidak dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Shalawat serta salam tak lupa saya haturkan kepada baginda kita tercinta,
Rasulullah Saw. yang semoga kita mendapat syafaatnya di hari akhir nanti.

Tak lupa kami mengucap syukur kepada Allah Swt. atas limpahan sehat-Nya, baik itu berupa
sehat secara fisik maupun akal pikiran. Serta kami ucapkan terima kasih kepada pihak yang
telah mendukung dan membantu saya dalam menyelesaikan makalah ini, sehingga saya
mampu menyelesaikan makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Fiqh Mawaris
Kontemporer dengan judul “KASUS HUKUM KELUARGA ISLAM KONTEMPORER.

saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, saya meminta
saran dari para pembaca untuk makalah ini, agar makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Kemudian, apabila dalam makalah ini terdapat kesalahan yang saya sengaja maupun tidak
saya sengaja, saya mohon maaf. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima
kasih.

Wassalammualaikum Wr.Wb.

Lampung, 4 Juni 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER ...................................................................................................................................... ......... i


KATA PENGANTAR ............................................................................................................... ......... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. ......... iii
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... ......... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................................................... ......... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................... ......... 1
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ ......... 2
A. Pernikahan Dini ................................................................................................................... ......... 2
B. Kasus Pernikahan Melalui Video Call ................................................................................ ......... 4
C. Perkawinan Antar-agama .................................................................................................... ......... 8
D. Pemberian Maskawin Minimal Kepada Istri ....................................................................... ......... 10
E. Pemberian Nafkah Kepada Isteri ................................................................................................... 12
F. Pernikahan Tanpa Wali ................................................................................................................. 15
KESIMPULAN .................................................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 19

iii
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum ekonomi Islam mengembangkan sistem ekonomi yang berdasar syari’ah sistem
bagi hasil. Hukum pidana Islam (jinayah) merupakan hukum publik yang berdasarkan
syari’ah Islam.
Hukum keluarga Islam memiliki kelebihan dibandingkan dengan produk hukum lain.
Kelebihan itu terletak pada kemampuan hukum keluarga untuk bertahan dari pengaruh
ideologi luar, baik dari agama lain maupun dari faham sekularisme maupun komunisme.
Islam mempunyai pengalaman yang sangat beragam mengenai berbagai upaya yang
dilakukan untuk mempertahankan eksistensi hukum-hukum agamanya. Kasus hukum
keluarga islam kontemporer masih banyak terjadi seperti kasus pernikahan dini, kasus
pernikahan melalui video call, kasus pernikahan beda agama, kasus pemberian maskawin
minimal kepada istri, kasus pemberian nafkah kepada istri dan kasus pernikahan tanpa wali
kasus inilah yang sering terjadi di Indonesia. Hukuman yang diberikan tidak cukup keras
mencegah pelanggaran hukum tersebut.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas yang dapat dijadikan rumusan masalah dalam permasalahan
kasus hukum keluarga islam kontemporer yaitu
1. Kasus pernikahan dini (dibawah umur)
2. Kasus pernikahan melalui video call
3. Kasus pernikahan beda agama
4. Kasus pemberian maskawin minimal kepada Isteri
5. Kasus pemberian nafkah kepada Isteri
6. Kasus nikah tanpa wali

1
PEMBAHASAN

A. Pernikahan Dini
Faktor Penyebab Pernikahan Dini Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab sebab utama dari
perkawinan usia muda adalah:
• Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga
• Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai itu
sendiri maupun keturunannya.
•Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat. Kebanyakan orang desa
mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat
kebiasaan saja.

Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono disebabkan oleh:
• Masalah ekonomi keluarga
• Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki laki apabila mau mengawinkan anak
gadisnya.
• Bahwa dengan adanya perkawinan anak anak tersebut, maka dalam keluarga gadis akan berkurang
satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan, dan
sebagainya) (Soekanto, 1992 : 65).

Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia
muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita yaitu :
•Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk
meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap
mampu.
•Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan
adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur.
•Faktor orang tua
Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki laki yang sangat
lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.
•Media massa
2
Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian Permisif terhadap seks.
•Faktor adat
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga
segera dikawinkan.

- Dampak Positif dan Negatif Pernikahan Dini


• Dampak positif
Dukungan emosional: Dengan dukungan emosional maka dapat melatih kecerdasan
emosional dan spiritual dalam diri setiap pasangan (ESO).
Dukungan keuangan: Dengan menikah di usia dini dapat meringankan beban
ekonomi menjadi lebih menghemat.

Kebebasan yang lebih: Dengan berada jauh dari rumah maka menjadikan mereka
bebas melakukan hal sesuai keputusannya untuk menjalani hidup mereka secara
finansial dan emosional.

Belajar memikul tanggung jawab di usia dini: Banyak pemuda yang waktu masa
sebelum nikah tanggung jawabnya masih kecil dikarenakan ada orang tua mereka,
disini mereka harus dapat mengatur urusan mereka tanpa bergantung pada orang
tua.

Terbebas dari perbuatan maksiat seperti zina dan lain lain.

• Dampak negatif
Dari segi pendidikan: Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa seseorang yang
melakukan pernikahan terutama pada usia yang masih muda, tentu akan membawa
berbagai dampak, terutama dalam dunia pendidikan. Dapat diambil contoh, jika
sesorang yang melangsungkan pernikahan ketika baru lulus SMP atau SMA, tentu
keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi atau menempuh pendidikan yang lebih

3
tinggi tidak akan tercapai. Hal tersebut dapat terjadi karena motivasi belajar yang
dimiliki seseorang tersebut akan mulai mengendur karena banyaknya tugas yang
harus mereka lakukan setelah menikah. Dengan kata lain, pernikahan dini dapat
menghambat terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran.

Selain itu belum lagi masalah ketenaga kerjaan, seperti realita yang ada didalam
masyarakat, seseorang yang mempunyai pendidikan rendah hanya dapat bekerja
sebagai buruh saja, dengan demikian dia tidak dapat mengeksplor kemampuan yang
dimilikinya.

Dari segi kesehatan: Dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari Rumah Sakit
Balikpapan Husada (RSBH) dr Ahmad Yasa, SPOG mengatakan, perempuan yang
menikah di usia dini kurang dari 15 tahun memiliki banyak risiko, sekalipun ia sudah
mengalami menstruasi atau haid. Ada dua dampak medis yang ditimbulkan oleh
pernikahan usia dini ini, yakni dampak pada kandungan dan kebidanannya. penyakit

kandungan yang banyak diderita wanita yang menikah usia dini, antara lain infeksi

B. KASUS PERNIKAHAN MELALUI VIDEO CALL


Pada dasarnya akad nikah melalui video call itu sama dengan pelaksanaan nikah pada
umumnya, yaitu sama dengan landasan teorinya. Hanya saja pihak-pihak yang berakad nikah
tidak berada dalam satu majelis. Dalam arti bahwa tidak berhadap-hadapan dalam satu
tempat. Pelaksanaannya akad nikah melalui video call tidak jauh berbeda dengan akad nikah
yang diwakilkan atau melalui sepucuk surat. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa hukum
perkawinan adalah mubah pada asalnya dan berdasarkan “illahi” maka hukum perkawinan

4
dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi si pelaku. Adapun macam-macam hukum
pelaksanaan akad nikah perkawinan yaitu:
a. Perkawinan Sunnah Perkawinan hukumnya sunnah apabila seseorang dilihat telah
cukup baik dalam segi materi maupun mentalnya, maka seseorang tersebut sunnah untuk
melakukan perkawinan maka dia mendapat pahala dan apabila tidak melangsungkan
perkawinan maka tidak apa-apa.
b. Perkawinan Wajib Perkawinan wajib apabila seseorang dilihat dari segi materi
maupun mental kejiwaan telah cukup, dan sangat mendesak untuk kawin, karena apabila tidak
kawin dikhawatirkan akan terjerumus kepada perzinahan, maka diwajibkan baginya untuk
kawin, dan apabila tidak maka akan berdosa.
c. Perkawinan Makruh Perkawinan makruh apabila seseorang dilihat dari segi fisiknya
telah mencukupi tetapi dari segi materi atau pekerjaan belum mencukupi, maka disini makruh
baginya untuk melangsungkan perkawinan, karena hal tersebut akan menyengsarakan isteri
dan anak-anaknya. Sehingga disini apabila dia melangsungkan perkawinan tidak apa-apa,
tetapi apabila tidak melangsungkan perkawinan maka akan mendapat pahala.
d. Perkawinan Haram Perkawinan hukumnya haram apabila seseorang yng akan
melakukan perkawinan memiliki niat hanya untuk menyakiti dan mengolok-olok, serta
memiliki niat untuk membalas dendam, atau perkawinan tersebut dapat mengakibatkan
menderitanya salah satu pihak, maka haram baginya untuk melangsungkan perkawinan
e. Perkawinan Mubah Bagi orang yang memiliki kemampuan untuk melakukannya,
tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila
melakukannya juga tidak akan menelantarkan isterinya. Perkawinan orang tersebut hanya
didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya
dan penghambatanya untuk kawin itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang
akan melakukan perkawinan, seperti mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai
kemampuan, mempunyai kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan
yang kuat.
Dalam hukum Islam termasuk ketentuan dalam kompilasi hukum Islam, tidak terdapat
ketentuan yang khusus mengatur mengenai perkawinan akad nikah melalui video call. Dalam
kompilasi hukum islam perkawinan tersebut sah bila dilakukan menurut hukum islam, selain
itu perkawinan tersebut harus memenuhi semua rukun nikah yang diatur pada pasal 14 KHI,
seperti adanya calon suami dan calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab kabul.
5
Sedangkan sah pelaksanaan perkawinan itu sendiri bergantung sesuai atau tidaknya dengan
dasar hukum yang ada dalam tuntutan al-Qur‟an dan hadist mampu dijabarkan menjadi dasar
hukum fiqh yang lebih rinci dan sifatnya praktis, terlebih dalam menghadapi perubahan
zaman Menurut penulis, akad nikah melalui video call dipandang telah memenuhi rukun dan
syarat-syarat perkawinan hukum Islam. permasalahan yang muncul apabila membicarakan
keabsahan akad nikah melalui video call, tidak lain karena menurut hukum Islam dan
beberapa syarat dalam melaksanakan akad nikah dipenuhi yaitu: pertama, akad dimulai
dengan ijab lalu diikuti dengan Kabul. Kedua, materi ijab dan kabul tidak boleh berbeda dan
ijab kabul harus diucapkan secara berkesinambungan tanpa ada jeda, ijab dan Kabul terucap
dengan lafazh yang jelas, ijab dan Kabul antara calon pengantin pria dengan wali nikah harus
diucapkan dalam satu majelis.
Sebaliknya perkawinan dilakukan dalam satu majelis, sehingga menunjang kesinambungan
waktu pengucapan ijab dan kabul yang merupakan penentu sah atau tidaknya suatu
perkawinan. Hal ini juga menjadi salah satu kebiasaan warga Indonesia yang mayoritas agama
Islam dalam melangsungkan pernikahan. Persoalan satu majelis bukan merupakan suatu
syarat sah suatu perkawinan, tetapi hanya sekedar tata cara dan atau suatu kebiasaan yang
telah lama dilakukan di Indonesia.
Dalam kaitanya dengan kasus akad nikah lewat video call, belum ditemukan secara tegas
adanya peraturan yang mengaturnya. Pasal 10 ayat 3 peraturan pemerintah Republik
Indonesia No 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan berbunyi “dengan mengendalikan tata cara perkawinan menurut masing-masing
hukum agamanya dan kepercayaan itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat
dan dihadiri oleh kedua orang saksi. Jika ditafsirkan, isi ayat tersebut masih bisa ditafsirkan
secara bervariasi, bagaimana jika dilakukan dihadiri dua orang atau dua kelompok saksi, akan
tetapi secara terpisah, dalam arti satu kelompok menghadiri ijabnya saja dan yang lain
menghadiri kabulnya saja. Praktik tersebut bisa juga disebut dihadiri oleh dua orang saksi,
tetapi secara terpisah.

2. Alasan-Alasan Dilakukannya Akad Nikah Melalui Video Call


Akad nikah via video call Studi banding yang dilakukan oleh beberapa kampus di Indonesia
tentang penerapan hukum syari‟ah ke Mesir terkait pelaksanaan akad nikah menggunakan
media elektronik, yaitu video call membuahkan hasil yang maksimal. Masalah sah atau
6
tidaknya nikah jarak jauh atau melalui media video call sebenarnya sudah lama menjadi bahan
pembicaraan serius, ada yang menyatakan boleh, ada juga yang menyatakan tidak boleh (tidak
sah pernikahannya). Studi banding tentang penerapan hukum syari‟ah ke Negara Mesir yang
dipimpin oleh Direktur Penerapan Agama Islam, Drs. H. Ahmad Jauhari menjelaskan bahwa
lembaga Fatwa Mesir (Daar al-Ifta) telah menfatwakan masalah pernikahan menggunakan
media jarak jauh tersebut. Menurut Lembaga Fatwa Mesir, pernikahan melalui media video
call atau jarak jauh menggunakan Teknologi Informasi itu tidak sah. Karena tidak memenuhi
persyaratan majelis akad nikah yaitu satu majelis. Akad nikah melalui video call pada
prakteknya jarang dilakukan meskipun ada juga yang melakukan perkawinan tersebut, hal ini
semata-mata karena keadaan yang sifatnya terpaksa harus dilakukan dengan cara demikian.
Meskipun undangundang tidak melarang akad nikah melalui video call, namun alasan-alasan
dilakukannya akad nikah melalui video call karena potensi perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi yang terus berubah sehingga termotivasi untuk mengevakuasi dan
mempelajari teknologi ini sebagai bekal kemajuan zaman dan sebagai sarana untuk
mempermudah interaksi antara sesama, kemajuan teknologi komunikasi yang cepat, dapat
mempermudah komunikasi antara suatu tempat dengan tempat yang lain, orang yang
melakukan pernikahan tidak lagi harus mengeluarkan tenaga, waktu dan hartanya, karena
prosesi akad nikah bisa dilakukan di dalam rumah/kediaman sendiri sehingga lebih efisien,
Teleconference berbasis skype merupakan komunikasi global dan lokal yang lebih ekonomis
melalui suara atau conference video. Dan alasan-alasan lainnya sehingga terlaksana akad
nikah melalui video call karena calon mempelai pria pisah jarak jauh antara calon mempelai
perempuan. Biasanya, calon mempelai pria bekerja di luar kota dan tidak bisa meninggalkan
pekerjaannya. karena itu, dilakukanlah akad nikah melalui video call.

7
C. PERKAWINAN ANTAR AGAMA
Dalam Islam, Perkawinan merupakan sunnatullah yang berlaku secara umum dan perilaku makhluk
ciptaan Tuhan, agar dengan perkawinan kehidupan di alam dunia ini bisa berkembang untuk
meramaikan alam yang luas ini dari generasi ke generasi berikutnya. Berbicara mengenai perkawinan
sejati pada prinsipnya akan berbicara tentang pilihan pasangan hidup yang benar-benar dari hati yang
paling tulus walaupun dalam pemilihan itu banyak terjadi tantangan akan tetapi bagi mereka yang
telah benar-benar yakin adalah mereka yang ingin segera meresmikan ikatan itu dalam ikatan
perkawinan yang sah dimata agama dan Negara. Selain harus siap berkonflik dengan keluarga,
pasangan berbeda agama juga perlu mendiskusikan agama apa yang kelak diajarkan kepada anak.
Pernikahan antara dua mempelai yang berbeda bukanlah hal yang sederhana di Indonesia. Selain harus
melewati gesekan sosial dan budaya, birokrasi yang harus dilewati pun berbelit. Tak heran jika banyak
pasangan dengan perbedaan keyakinan akhirnya memilih menikah di luar negeri. Pasangan yang
memutuskan menikah di luar negeri nantinya akan mendapatkan akta perkawinan dari negara
bersangkutan atau dari perwakilan Republik Indonesia setempat (KBRI). Sepulangnya ke Indonesia,
mereka dapat mencatatkan perkawinannya di kantor catatan sipil untuk mendapatkan Surat Keterangan
Pelaporan Perkawinan Luar Negeri.
Meski begitu, bukan berarti pernikahan dengan perbedaan agama tak bisa diwujudkan di dalam negeri.
Sejatinya, berdasar putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 para pasangan beda
keyakinan dapat meminta penetapan pengadilan. Yurisprudensi tersebut menyatakan bahwa kantor
catatan sipil boleh melangsungkan perkawinan beda agama, sebab tugas kantor catatan sipil adalah
mencatat, bukan mengesahkan. Hanya saja, tidak semua kantor catatan sipil mau menerima pernikahan
beda agama. Kantor catatan sipil yang bersedia menerima pernikahan beda agama pun nantinya akan
mencatat perkawinan tersebut sebagai perkawinan non-Islam. Pasangan tetap dapat memilih menikah
dengan ketentuan agama masing-masing. Caranya, mencari pemuka agama yang memiliki persepsi
berbeda dan bersedia menikahkan pasangan sesuai ajaran agamanya, misalnya akad nikah ala Islam
dan pemberkatan Kristen.
Namun, cara ini juga tak mudah karena jarang pemuka agama dan kantor catatan sipil yang mau
menikahkan pasangan beda keyakinan. Akhirnya, jalan terakhir yang sering dipakai pasangan beda
agama di Indonesia untuk melegalkan pernikahannya adalah tunduk sementara pada salah satu hukum
agama. Biasanya, masalah yang muncul adalah gesekan antar-keluarga ihwal keyakinan siapa yang
dipakai untuk pengesahan.
Sebagai contoh kasus berdasarkan pengalaman mengurus pernikahan beda agama dengan cara terakhir
ini dialami oleh Mary Anne Ninyo, perempuan beragama Katolik yang menikah dengan pria Kristen
Protestan pada 11 Februari 2018 lalu di Gereja St. Yosep Matraman, Jaktim. Ia akhirnya memilih
mengalah dan tunduk dengan keyakinan suaminya saat melakukan pernikahan. Toh ia dan calon suami
8
kala itu masih berada dalam cara ibadah dan kitab yang sama, pikirnya. Ninyo dan suami juga
bersepakat tak akan mempersoalkan keyakinan yang akan dianut anaknya kelak saat dewasa, asalkan
masih berada di lingkup keyakinan mereka berdua. “Terserah suamiku mau bawa aku ke mana,
asalkan tujuannya baik,” ujarnya. Seperti Ninyo, Widana Made yang beragama Hindu juga
menuturkan pengalamannya mengurus pernikahan delapan tahun silam dengan seorang perempuan
muslim. Istrinya, Yuliana Prihandari, bersedia menikah dengan cara Hindu dan melakukan upacara
Sudhi Wadani (upacara masuk agama Hindu). Setelah itu, mereka mengurus administrasi ke Parisadha
Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Berbekal surat dari PHDI inilah Made dan Yuli mendapat akta
nikah di kantor catatan sipil setempat.
Perkembangan kontemporer manusia dalam meresmikan pasangan hidup telah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan akan tetapi perkembangan jaman menuntun pada
permasalahan baru yaitu perkawinan beda agama. Pembahasan tentang perkawinan beda agama di
Indonesia merupakan suatu yang rumit. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, perkawinan beda agama termasuk dalam jenis perkawinan campuran. Adapun
perkawinan campuran diantur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijk stbl. 1898 nomor 158, yang
biasanya disingkat dengan GHR. Dalam Pasal 1 GHR ini disebutkan bahwa perkawinan campuran
adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.
Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam. Kedua produk perundang-undangan ini mengatur masalah-masalah
yang berkaitan dengan perkawinan termasuk perkawinan antar agama. Dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan:
"Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu".
Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan
kepercayaan. Hal senada diterangkan beberapa pasal dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut:

Pasal 4 :

"Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan".

Pasal 40 :

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan
tertentu;
9
• Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu
perkawinan dengan pria lain;
• Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan
pria lain;
• seorang wanita yang tidak beragam Islam.

Pasal 44 :

"Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam"

Pasal 61 :

" Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena
perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien"

Berdasarkan penjelasan diatas perkawinan yang dilakukan diwilayah hukum Indonesia harus
dilakukan dengan satu jalur agama artinya perkawinan beda agama tidak di perbolehkan untuk
dilaksanakan dan jika tetap dipaksakan untuk melangsungkan pernikahan beda agama berarti
pernikahan itu tidak sah dan melanggar undang-undang.

Jadi, menurut hukum positif yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawian tidak mengenal perkawinan beda agama, sehingga pernikahan beda agama belum bisa
diresmikan di Indonesia. Pernikahan pasangan beragama Islam dicatatkan di Kantor Urusan Agama
(KUA) dan pernikahan pasangan beragama selain Islam dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (KCS).

D,PEMBERIAN MAS KAWIN MINIMAL KEPADA ISTRI


mahar merupakan salah satu faktor penting dalam akad nikah. Mahar ini biasa juga disebut dengan
shadaq atau maskawin dalam bahasa Indonesia. Untuk mengetahui pengertian dari mahar, kita bisa
melihatnya pada pemaparan Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala
Madzhab al-Imam al-Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz IV, halalaman 75: ‫الصداق هو المال الذي‬
‫وجب على الزوج دفعه لزوجته بسبب عقد النكاح‬. Artinya: “Maskawin ialah harta yang wajib diserahkan oleh

10
suami kepada istri dengan sebab akad nikah.” Hukum mahar ini ialah wajib, sebagaimana keterangan
lanjutan kitab al-Fiqh al-Manjhaji: ‫ سواء سمي في العقد بمقدار معين‬،‫الصداق واجب على الزوج بمجرد تمام عقد الزواج‬
ِّ ‫ أو لم‬،ُ‫ كألف ليرة سورية مثال‬:‫من المال‬. Artinya:
‫ والمهر الزم‬،‫ فاالتفاق باطل‬،‫ أو عدم تسميته‬،‫ حتى لو اتفق على نفيه‬،‫يسم‬
“Maskawin hukumnya wajib bagi suami dengan sebab telah sempurnanya akad nikah, dengan kadar
harta yang telah ditentukan, seperti 1000 lira Syiria, atau tidak disebutkan, bahkan jika kedua belah
pihak sepakat untuk meniadakannya, atau tidak menyebutkannya, maka kesepakatan tersebut batal,
dan maskawin tetap wajib”.

Dalil pensyariatan mahar, bisa kita simak dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 4:

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan.” Tujuan utama dari kewajiban pemberian mahar ini ialah untuk menunjukkan
kesungguhan (shidq) niat suami untuk menikahi istri dan menempatkannya pada derajat yang mulia.
Dengan mewajibkan mahar ini, Islam menunjukkan bahwa wanita merupakan makhluk yang patut
dihargai dan punya hak untuk memiliki harta.

Selanjutnya, apakah mahar ini perlu disebutkan dalam akad nikah atau tidak, bisa kita temukan
jawabannya dalam Syekh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarib (Surabaya: Kharisma, 2000),
hal. 234: ]‫مهر [صح العقد‬
ٌ ‫س َّم] في عقد النكاح‬
َ ُ‫ [ ويستحب تسمية المهر في] عقد [النكاح] … [فإن لم ي‬Artinya:
“Disunnahkan menyebutkan mahar dalam akad nikah… meskipun jika tidak disebutkan dalam akad,
nikah tetap sah.” Lebih lanjut dalam kitab Fathul Qarib dijelaskan bahwa tidak ada nilai minimal dan
maksimal dalam mahar. Ketentuan dalam mahar ini ialah segala apa pun yang sah dijadikan sebagai
alat tukar. Entah berupa barang ataupun jasa, sah dijadikan maskawin. Tapi mahar disunnahkan tidak
kurang dari 10 dirham dan tidak lebih dari 500 dirham. Satu dirham setara dengan 2,975 gram
perak. Dengan demikian bisa kita pahami bahwa tidak ada ketentuan minimum tentang mahar,
bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah pernah menyatakan bahwa sebentuk cincin terbuat dari besi
pun bisa menjadi mahar. Dalam keterangan yang lain Rasulullah juga menyinggung bahwa sebaik-
baik perempuan adalah yang paling murah maharnya. Hal ini menunjukkan bahwa mahar bukanlah
tujuan utama sebuah pernikahan, dan standarisasi nominalnya disesuaikan dengan kondisi masing-
masing pihak.

Meski demikian, dalam redaksi Fathul Qarib di atas disebutkan bahwa sebaiknya mahar tidak kurang
dari 10 dirham, karena harga di bawah itu dianggap terlalu murah bagi seorang perempuan, dan tidak
lebih dari 500 dirham, karena jika lebih dari itu akan menunjukkan kearoganan masing-masing
pihak. Dari redaksi di atas juga bisa kita pahami bahwa mahar tidak melulu berupa benda yang
11
berharga seperti emas, uang, atau lainnya. Mahar bisa juga berbentuk jasa, seperti jasa mengajari
bacaan Al-Qur’an, dan jasa lainnya.

E, PEMBERIAN NAFKAH KEPADA ISTRI


Sebab-sebab wajibnya memberikan nafkah dapat digolongkan kepada tiga sebab, yaitu:
1. Sebab masih ada hubungan kerabat/keturunan
2. Sebab pemilikan
3. Sebab perkawinan

•1. Sebab hubungan kerabat/keturunan


Dalam Agama Islam, hubungan nasab atau keturunan merupakan vertikal yang dapat
menguasai, artinya dengan adanya hubungan nasab seseorang dapat menerima harta
seseorang.
Karena hubungan keluarga sangatlah dekat maka timbullah hak kewajiban. Seperti halnya
dalam kewajiban memberikan nafkah, baik kepada isteri maupun kepada suami kepada anak
atau kedua orang tua.
Ahli fiqih menetapkan: “Bahwa hubungan kekeluargaan yang menyebabkan nafkah adalah
keluarga dekat yang membutuhkan pertolongan”. Maksudnya keluarga yang hubungannya
langsung ke atas dan ke bawah, seperti orang tua kepada anak-anaknya, anak kepada orang
tuanya bahkan kakek dan saudara-saudara yang dekat lainnya apabila mereka tidak mampu
untuk sekedar mencukupi keperluan hidupnya.
Imam Hanafi berpendapat, “Wajib nafkah kepada kaum kerabat oleh kerabat yang lain
hendaknya hubungan kekerabatan antara mereka itu merupakan hubungan yang
menyebabkan keharaman nikah”.
Jadi, suatu keluarga yang hubungan vertikal langsung ke atas dan ke bawah, mewajibkan
seseorang memberi nafkah. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Malik: “Nafkah diberikan
oleh ayah kepada anak, kemudian anak kepada ayah dan ibu”.
Imam Malik beralasan dengan Firman Allah dalam Surat Al-Isra’ ayat (23)
12
ِArtinya: “Dan Tuhanmu telah memerrintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya ... (Q.S.Al-
Isra’:23)Memberikan nafkah kepada karib kerabat merupakan kewajiban bagi seseorang,
apabila mereka cukup mampu dan karib kerabatnya itu benar-benar memerlukan
pertolongan karena miskin dan sebagainya. Kerabat yang dekat yang lebih berhak disantuni
dan dinafkahi dari pada kerabat yang jauh, meskipun kedua-duanya memerlukan bantuan
yang sekiranya harta yang dinafkahi itu hanya mencukupi buat salah seorang di antara
keduanya.
Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat (26)]
Artinya: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang
miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros”. (Al-Isra’: 26)
Dari ayat tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kewajiban memberi nafkah
kepada keluarga-keluarga yang dekat serta kepada orang miskin.

2. Sebab Pemilikan
Seseorang wajib memberikan nafkah terhadap yang dimilikinnya, seperti hamba sahaya dan
binatang piaraan, harus diberikan makanan dan minuman yang bisa menopang hidupnya.
Bila seorang tidak mau melaksanakannya, maka hakim boleh memaksa orang tersebut untuk
memberikan nafkah kepada binatang piaraan dan pelayannya.
Malik dan Ahmad berpendapat: “Hakim boleh memaksa orang yang mempunyai binatang
memberikan nafkah-nafkah binatang-binatang, kalau tidak sanggup menafkahinya, boleh
dipaksa menjualnya”.
Jadi apabila seseorang memiliki binatang piaraan, diwajibkan memberi makan dan
menjaganya jangan sampai dibebani lebih dari semestinya. Begitupula kepada hamba sahaya
atau pelayan. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
‫قال رسول هلال صلى هلال عليه وسلم أخوا نكم جعلهم هلال تحت أيد يكم فأ طعموهم مما تأ كون والبسوهم‬: ‫عن أبي ذر قال‬
‫مما تابسون وال تكفوهم مايغلبهم فإن‬
12 ‫(كفتموهم فأ عينوهم )رواه ابن ماجه‬
Artinya: “Dari Abi Zar berkata: Bersabda Rasulullah SAW: Allah menjadikan saudaramu di
bawah kekuasaanmu, maka berikanlah makan kepada mereka (budak-budakmu) apa yang
kamu makan, dan beri pakaianlah kepada mereka dari apa yang kamu pakai, danjanganlah
kamu membebankan mereka mengerjakan yang berat-berat yang sukar dikerjakan, jika

13
engkau membebankan mereka maka bantulah mereka”. (H.R Ibnu Majah).
Dari penjelasan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa tidak dibenarkan seseorang
membebankan tugas-tugas berat yang tidak sanggup dikerjakan terhadap sesuatu yang
dimilikinya.
Apabila ada orang yang mengurung binatang-binatang tanpa memberi makan dan minum,
maka orang tersebut akan mendapat siksaan dari Allah atas perbuatannya itu, karena hal
tersebut merupakan suatu penyiksaan terhadap binatang tersebut.
Oleh karena itu, seseorang yang tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagaimana
mestinya, maka hakim boleh memaksanya untuk memberi nafkah atau menyuruh untuk
menjualnya atau melepaskannya. Bila tetap tidak mau melakasanakan, hakim boleh
bertindak
dengan tindakan yang baik.
3. Sebab Perkawinan
Perkawinan adalah merupakan salah satu kebutuhan naluri manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dalam melakukan hubungan biologis dan berkeluarga. Islam sangat
menyukai perkawinan, hal ini terlihat dengan banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-
hadits Nabi yang menjelaskan tentang anjuran untuk kawin, di antaranya sabda Rasulullah
SAW:
ِArtinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud Rasulullah SAW bersabda: “Wahai para pemuda, barang
siapa yang telah mampu hendaklah kawin, sebab perkawinan akan lebih menundukkan
pandangan dan lebih menjaga kehormatan, kalau belum mampu maka berpuasalah, karena
puasa akan menjadi perisai baginya”. (H.R Muslim).
Berdasarkan Hadits tersebut di atas dapat diketahui bahwa perkawinan merupakan suatu
ajaran dalam Islam, karena perkawinan itu dapat menenteramkan jiwa, menutup pandangan
mata dari segala yang dilarang Allah dan untuk mendapatkan kasih sayang suami isteri yang
dihalalkan
oleh Allah SWT, serta untuk memperkuat ikatan kasih sayang sesama mereka.

14
F, PERNIKAHAN TANPA WALI

Hukum Nikah Tanpa Wali

Ada beberapa pendapat menyangkut hukum nikah tanpa wali yang dikemukakan oleh pendapat
ulama. Berikut ini adalah hukum nikah tanpa wali berdasarkan pendapat para ulama

• Berdasarkan Mahzab Syafi’i, Malikiyah, dan Hanabilah

Pada madzhab Syafi’i’ kedudukan wali dalam perkawinan adalah syarat sah dan wajib ada dalam
suatu pernikahan dan tanpa adanya wali maka pernikahan tersebut tidaklah sah. Demikian halnya
dengan mahzab syafi’i, mahzab Malikiyah, dan Hanabilah telah sepakat bahwa keberadaan wali
sangatlah penting dalam pernikahan maka setiap pernikahan yang dilakukan tanpa keberadaan wali
hukumnya tidak sah atau batal hukumnya.

Berdasarkan mahzab tersebut, ulama berpendapat bahwa tidak ada seorang perempuan pun yang
dapat melangsungkan akad nikah bagi dirinya sendiri termasuk gadis yang sudah dewasa dan berakal.
Namun, meskipun demikian para ulama juga berpendapat bahwa menikahkan seorang wanita janda
oleh wali tidaklah baik bila sang wali menikahkan anaknya lagi tanpa persetujuannya.

Lain halnya dengan pendapat Abu Hanifah, dalam madzhab Hanafiyah, seorang perempuan yang
sudah dewasa dan berakal sehat memiliki hak untuk mengawinkan dirinya atau mengawinkan anak
perempuannya yang masih kecil dan atau anaknya yang majnunah, atau ia juga boleh pula
mengawinkan dirinya sendiri atau mengawinkan dengan mewakilkan kepada orang lain dan juga
anaknya yang masih kecil atau anaknya yang majnunah tadi. Hal ini disebabkan karena menurut
ulama Hanafiyah rukun nikah hanya terdiri dari tiga perkara yakni ijab, qabul, dan perpautan antara
keduanya (ijab dan qabul).

Sebagaimana pernyataan iman Hanafi yakni:


Perempuan yang merdeka, baliq, akil ketika menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki atau
mewakilkan kepada laki-laki lain dalam suatu pernikahan, maka pernikahan perempuan itu atau
suaminya diperbolehkan. Qaul Abi Hanifah, Zufar dan Abi Yusuf sama dengan yang awal, perempuan
itu boleh menikahkan dirinya sendiri dengan orang yang kufu’ atau yang tidak kufu’ dengan mahar

15
yang lebih kecil atau rendah, ketika perempuan itu menikahkan dirinya sendiri dengan seorang yang
tidak kufu’, maka bagi para wali berhak menghalangi pernikahannya, bila pernikahannya itu dengan
mahar yang kecil.”

3. Menurut Jumhur Ulama


Berdasarkan pendapat jumhur ulama, keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang
mutlak atau harus ada dan hukum pernikahan tanpa wali adalah tidak sah. Pernikahan tanpa adanya
wali tersebut haruslah dihindari. Saat akan menikah hendaknya pihak perempuan telah memiliki wali
dan ini berlaku pada semua perempuan termasuk semua perempuan yang masih kecil atau dewasa,
baik perawan atau sudah janda. Dan apabila syarat ini tidak dipenuhi maka status perkawinannya
tidak sah. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW
“Dari Aisyah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam bersabda, “perempuan
yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil. Jika sang laki-laki telah mencampurinya, maka ia
wajib membayar maskawin untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, dan jika mereka
berselisih; maka penguasa dapat menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.”(HR. Al-
Arba’ah)

Dan juga disebutkan dalam hadits berikut ini :


“Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya Radhiyallahu Anhum bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda,”Tidaklah sah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali.”(HR. Ahmad
dan Al-Arba’ah)

Hadits tersebut menjelaskan bahwa tidak ada suatu pernikahanpun yang dilaksanakan tanpa adanya
seorang wali dan pernikahan tanpa wali tersebut hukumnya tidak sah. Meskipun terdapat perbedaan
pendapat antara ulama, hukum pernikahan tanpa wali nikah tetaplah tidak diperbolehkan.

4. Berdasarkan Alqur’an
Memang tidak ada ayat al-Qur‟an yang menjabarkan dengan jelas tentang hukum pernikahan tanpa
adanya wali namun berdasarkan beberapa pendapat ulama maupun tafsir maka ada beberapa ayat
yang secara tidak langsung memberi pengertian bahwa seorang perempuan bisa menikah sendiri
tanpa adanya seorang wali. Hal ini disebutkan dalam Surat Al Baqarah berikut ini :

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali)
16
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila Telah terdapat kerelaan di antara
mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu kepada Allah dan hari kemudian.itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui,
sedang kamu tidak Mengetahui. kawin lagi dengan bekas suami atau dengan laki-laki yang lain.”

Ayat diatas ditafsirkan bahwa ayat tersebut hanya menunjukkan tentang perintah Allah kepada para
wali untuk menikahkan anaknya perempuan mereka bukan perintah tentang harusnya keberadaan
dalam suatu pernikahan.
Meskipun demikian, masyarakat tetap berpegang bahwa seorang wanita harus menikah dengan izin
walinya dan nikah tanpa wali hukumnya tidak sah atau batal. Pernikahan sah jika semua rukun
dan syarat akad nikah terpenuhi dan wanita yang menikah tersebut bukanlah wanita yang haram
dinikahi oleh sang pria untuk menghindari adanya pernikahan sedarah.
Proses pernikahan tersebut boleh didahului oleh proses mengenal atau dalam islam
disebut ta’aruf dan kemudian bertunangan (baca tunangan dalam islam). Ada baiknya saat mencari
jodoh, kita mengetahui beberapa hal yang penting misalnya kriteria calon isteri maupun kriteria
calon suami yang baik agar nantinya tercipta pernikahan yang harmonis dan sesuai dengan kaidah
islam.

17
KESIMPULAN

- Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono disebabkan oleh:
• Masalah ekonomi keluarga
• Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki laki apabila mau
mengawinkan anak gadisnya.
• Bahwa dengan adanya perkawinan anak anak tersebut, maka dalam keluarga gadis akan
berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan, pakaian,
pendidikan, dan sebagainya) (Soekanto, 1992 : 65).
- Pada dasarnya akad nikah melalui video call itu sama dengan pelaksanaan nikah pada
umumnya, yaitu sama dengan landasan teorinya. Hanya saja pihak-pihak yang berakad nikah
tidak berada dalam satu majelis. Dalam arti bahwa tidak berhadap-hadapan dalam satu tempat.
Pelaksanaannya akad nikah melalui video call tidak jauh berbeda dengan akad nikah yang
diwakilkan atau melalui sepucuk surat.
- menurut hukum positif yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawian tidak mengenal perkawinan beda agama, sehingga pernikahan beda agama belum
bisa diresmikan di Indonesia. Pernikahan pasangan beragama Islam dicatatkan di Kantor
Urusan Agama (KUA) dan pernikahan pasangan beragama selain Islam dicatatkan di Kantor
Catatan Sipil (KCS).
- kedudukan wali dalam perkawinan adalah syarat sah dan wajib ada dalam suatu pernikahan
dan tanpa adanya wali maka pernikahan tersebut tidaklah sah. Demikian halnya dengan
mahzab syafi’i, mahzab Malikiyah, dan Hanabilah telah sepakat bahwa keberadaan wali
sangatlah penting dalam pernikahan maka setiap pernikahan yang dilakukan tanpa
keberadaan wali hukumnya tidak sah atau batal hukumnya.

18
DAFTAR PUSTAKA

macanbanci.wordpress.com/2010/10/15/makalahpernikahandini
gudangmakalahmu.blogspot.com/
https://jdih.tanahlautkab.go.id/artikel_hukum/detail/menelaah-perkawinan-beda-agama-
menurut-hukum-positif
http://e-repository.unsyiah.ac.id/kanun/article/download/6069/5002
https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/nikah-tanpa-wali
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan).
Wikipedia, Pernikahan antar-Agama dalam Islam, Ensiklopedia bebas, 2009.

19

Anda mungkin juga menyukai