Agama Islam
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh:
Alfi Syahri
(21077004/2021)
2021
KATA PENGANTAR
Alfi Syahri
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................3
BAB I................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................4
1.3 TUJUAN......................................................................................4
BAB II..............................................................................................................6
YANG BAHAGIA…………..………………………………………11
BAB III............................................................................................................24
PENUTUP.......................................................................................................24
KESIMPULAN...............................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
A. Konsep Perkawinan
Keluarga adalah lembaga terkecil yang mempunyai peranan besar dalam membentuk
masyarakat yang lebih luas termasuk negara. Keluarga yang kuat dan sehat secara fisik dan
psikis akan menghasilkan masyarakat yang berkualitas baik. Dengan demikian untuk
membangun suatu masyarakat yang baik tidak lain hal yang harus dilakukan adalah
membina keluarga yang kuat, bahagia, yang dalam Islam dikenal dengan keluarga sakinah,
mawaddah wa rahmah. Keluarga sakinah memiliki fungsi-fungsi seperti fungsi religius,
biologis, edukasi, sosialisasi, afeksi, ekonomis, rekreasi dan fungsi proteksi.
Semakin banyak fungsi keluarga ini terlaksana dalam sebuah keluarga maka semakin
lengkaplah kebahagiaan dalam keluarga tersebut. Untuk mencapai keluarga bahagia ini
diperlukan upaya-upaya maksimal dari anggota keluarga terutama ayah dan ibu sebagai
pemimpin rumah tangga tersebut. Maka dari itu sebelum pernikahan dilangsungkan perlu
adanya pemahaman yang benar kedua pegantin tentang makna dan tugas rumah tangga.
Dewasa ini banyak ditemukan dalam masyarakat terutama di Sumatera Barat keluarga-
keluarga yang rapuh yang akhirnya runtuh. Menurut Ketua Pengadilan Agama Padang, M.
Taufiq, HZ (2006:6) di pengadilan agama Padang angka perceraian di kota Padang
menunjukkan tren meningkat.
Salah satu penyebab persoalan tersebut di atas adalah akibat kurangnya pemahaman
dari kedua belah pihak tentang makna berkeluarga dalam Islam, tanggung jawab dalam
keluarga, kurangnya pemahaman tentang hak dan kewajiban suami dan isteri dalam
berkeluarga. Kekurangan-kekurangan ini dapat menyebabkan sebuah keluarga sulit dalam
menghadapi persoalan yang begitu banyak dalam mengayuh bahtera kehidupan berumah
tangga, yang kemudian berakhir dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),
penelantaran anggota keluarga baik yang dilakukan oleh ayah atau pun ibu, atau akhirnya
bercerai. Semua ini membawa dampak besar bagi kelangsungan dan masa depan anak-anak
dan keluarga bahkan masyarakat Indonesia, Dengan demikian pembekalan terhadap para
remaja, pemuda dan pemudi kususnya mahasiswa yang sudah mendekati usia pernikahan
untuk mempersiapkan diri dalam menempuh kehidupan berkeluarga sangat penting
dilakukan. Para pemuda dan pemudi, mahasiswa, perlu diberi pengetahuan tentang
pentingnya keluarga, bagaimana memilih jodoh, tanggungjawab suami dan istri dalam
rumah tangga, mendidik anak secara bijak dan hal-hal lain perlu untuk menciptakan
keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah demi terwujudnya masyarakat madani.
B. Pengertian Pernikahan
Nikah secara bahasa artinya berhimpun. Menurut syara‟ seperti yang dikemukakan Wahbah
az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa pernikahan artinya aqad atau
perjanjian atau ikatan yang menghalalkan (membolehkan) pergaulan antara seorang laki-laki
dengan seorang wanita hidup bersama sebagai suami istri. Menurut kompilasi hukum Islam
dinyatakan bahwa pernikahan adalah akad atau perjanjian antara kedua belah pihak
diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabul seseorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pengertian tersebut, maka pernikahan adalah
suatu ikatan lahir dan bathin di antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
menjamin halalnya pergaulan sebagai suami istri untuk hidup bersama dalam suatu rumah
tangga dan mendapatkan keturunan yang sah, dan dilangsungkan menurut ketentuan-
ketentuan syari‟at Islam. Firman Allah dalam surat Annisa‟ : [4] : 3: Artinya : Maka
nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi. (QS.An-Nisa: [4]:3)
C. Hukum Pernikahan
Apabila dikaitkan dengan niat dan kondisi setiap orang yang melakukan nikah, maka
hukum nikah itu ada lima macam, yaitu :
a) Mubah, ini merupakan hukum asal bagi seseorang yang akan melakukan pernikahan.
Artinya, setiap orang yang telah memenuhi syarat pernikahan, maka mubah atau boleh atau
halal terhadap orang yang tidak khawatir melakukan zina atau tidak takut berbuat aniaya bila
tidak menikah.
b) Sunah, seseorang yang telah mencapai usia dewasa, berkeinginan untuk menikah dan
mempunyai bekal atau mata pencaharian untuk membiayai hidup berkeluarga.
c) Wajib, terhadap orang yang sudah dewasa, memiliki biaya kehidupan yang cukup dan bila
tidak melangsungkan nikah akan jatuh ke perbuatan tercela ( zina).
d) Makruh, bagi orang yang sudah dewasa, sudah layak untuk kawin, akan tetapi tidak
mempunyai biaya untuk bekal hidup untuk berumah tangga.
e) Haram, sesorang yang akan mengawini perempuan dengan maksud akan menyakiti,
menganiaya dan mempermainkanya. Motif perkawinan yang semacam ini, hukumnya
haram, meskipun perkawinanan sah karena telah memenuhi syarat dan rukun pernikahannya.
D. Prosedur Pernikahan Memilih jodoh (pasangan)
Syari‟at Islam mengajarkan agar memilih calon pasangan dengan pertimbangan yang
matang, karena memilih jodoh yang tepat sudah separoh dari kesuksesan pernikahan.
Menurut para sarjana ilmu pengetahuan sosial peranan individu dalam suatu pernikahan
sebagai pelaku-pelakunya sangatlah menentukan. Ibarat orang membangun rumah, maka
memilih jodoh sama halnya membuat pondasi rumah. Salah memilih jodoh berarti salah
dalam membangun pondasi suatu rumah. Walaupun dinding dan bahan lainnya kuat, jika
pondasinya miring atau lemah, maka sewaktu-waktu rumah tersebut mudah disambar badai
dan topan atau kurang bertahan dari gangguan alam. Untuk itu Islam telah memberikan
dasar yang kuat dan menjadikan agama sebagai tuntunan dalam memilih jodoh, kriteria
memilih jodoh yang diajarkan Rasulullah Saw adalah :
Pertimbanagan agama adalah Faktor yang sangat penting dalam memilih jodoh karena
agama yang mampu memberikan pemecahan masalah yang akan terjadi dalam perjalanan
berkeluarga, serta menjadi landasan dari bangunan keluarga yang hendak dibangun.
Pasangan yang beragama akan sama-sama memiliki rujukan dan ukuran yang sama yaitu
ajaran agama. Perkawinan akan langgeng dan tentram jika terdapat kesesuaian pandangan
hidup antara suami dengan istri, karena jangankan perbedaan aama, perbedaan budaya atau
perbedaan adat dan pendidikan pun tidak jarang mengakibatkan terjadi persengketaan di
rumah tangga.
Artinya :” Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau
kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan
janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka)
perkataan yang ma'ruf dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah,
sebelum habis 'iddahnya. dan Ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam
hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun (QS.2:235).
Faktor kafaah itu dapat dirinci, seperti seagama, pendidikan, akhlak dan moral, keturunan,
umur dan sebagainya. Diantara syarat untuk mendapatkan ketentraman (sakinah) dalam
pernikahan, tumbuhnya mawaddah dan rahmah (cinta dan kasih sayang) antara suami dan
istri, antara orang tua dan anak. Apabila kedua sifat itu tercermin dalam tutur kata, tingkah
laku dan sikap pada semua pihak, maka dipastikan ketentraman dapat dicapai. Sehingga
dalam kesehariannya tidak ada aku dan kamu, tapi yang ada hanyalah kita dan kami. Yang
satu tidaklah mungkin memisahkan dari yang lain, karena masing-masing merasa butuh dan
dibutuhkan oleh yang lain. Gambaran semacam itu disebutkan Allah dalam Al-Qur‟an surat
al-Baqarah ayat 187.
Artinya : ”Istri itu pakaian bagi suami dan kamu (suami) juga pakaian bagi istrinya”.(Q.S,
al-Baqarah (2): 187) Ayat di atas dipakai istilah libas artinya adalah pakaian. Hal ini
mengandung makna bahwa suami istri tidak hanya saling membutuhkan sebagaimana
kebutuhan manusia pada pakaian, tapi juga berarti bahwa suami istri menurut kodratnya
memiliki kekurangan dan harus dapat berfungsi menutup kekurangan pasangannya,
sebagaimana pakaian menutup aurat pemakainya. Apabila perkawinan tidak dapat
mendirikan rumah tangga dengan damai dan kasih sayang, serta cinta mencintai antara
suami istri, maka keadaan itu telah terjauh dari tujuan perkawinan yang sebenarnya.
Syarat-syarat dan Rukun Nikah Suatu perkawinan (nikah) tidak sah, jika tidak memenuhi
syaratsyarat dan rukunnya. Syarat merupakan unsur pelengkap dalam setiap perbuatan
hukum, sementara rukun merupakan unsur pokok yang mesti dipenuhi. Apabila kedua unsur
itu tidak dipenuhi, maka perbuatan itu dianggap tidak sah menurut hukum.
رواه ابن ماجة والدار قط ن ال تزوج المرأة المرأة والتزوج المرأة نفسها
Artinya : ”Perempuan jangan menikahkan perempuan lain, dan jangan pula menikahkan
dirinya sendiri”. (H.R.Ibnu Majah dan Daru Quthni).
Saksi-saksi, jumlah minimal dua orang orang saksi, berdasarkan hadits Nabi Saw.
”Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil” (H.R.Ahmad).
Sighat aqad (kalimat aqad) yang terdiri dari ijab dan kabul. Ijab adalah pernyataan wali
pengantin perempuan, seperti kata wali ” saya nikahkan engkau dengan anak kandungku
yang bernama .... dengan mahar....” Kabul adalah jawaban dari pengantin laki-laki,
misalnya dengan katakata ”saya terima nikahnya si .... binti .... dengan mahar .....
tunai/hutang. Sedangkan mahar ( mas kawin ) merupakan suatu kewajiban suami
menyerahkannya kepada calon istrinya sewaktu berlangsung akad nikah. Hal ini
dijelaskan Firman Allah Swt dalam surat an-Nisa (4): 4 ”Berikanlah mahar ( mas
kawin ) kepada wanita-wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh
kerelaan (QS.al-Nisa‟ (4):4 Mas kawin adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami
untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya
E. Hikmah Pernikahan
F. Hak dan Kewajiban suami isteri Untuk mencapai keluarga yang bahagia
kedua belah pihak baik suami atau pun isteri haruslah menyadari dan melaksanakan
hak dan kewajibannya masing masing. Keseimbangan ini sangat penting karena
kebahagiaan adalah dari dan untuk kedua belah pihak. M.
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya,
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Begitu pula bagi istri-istri
mereka, wajib mempergauli suami mereka dengan baik. Bagi Laki-laki wajib kepada
istri-istri mereka mempergauli dengan baik. Menurutnya, Pernikahan yang baik
adalah pernikahan yang sesuai perintah Allah. Kedua belah pihak dituntut harus
sama-sama berlaku dan berbuat baik kepada pasangannya. Baik suami maupun istri.
Di antara kewajiban suami tersebut adalah :
1) Suami itu harus memberikan Nafkah; nafkah lahir seperti makan dan minum,
belanja perabotan rumah tangga, biaya sekolah, biaya mondok, dan belajar anak-
anaknya. Di samping itu juga, suami harus memberikan nafkah batin, baik hubungan
seksual yang baik dan layak, maupun hubungan psikologis dalam rumah tangga itu
yang juga baik dan layak.
2) Suami harus juga memberikan mu‟nah. Yang dimaksud dengan mu‟nah itu
adalah segala sesuatu di luar kewajiban-kewajiban nafkah tersebut, atau bahasa lain
adalah segala biaya tak terduga, seperti biaya-biaya pengobatan jika sakit, biaya yang
dengan perhiasan istri, biaya untuk istri bersolek dan lain-lain.
3) Suami juga wajib memberikan biaya kiswah, dalam hal ini suami harus memenuhi
biaya pakaian Istri (secukupnya dan seperlunya). Semua kewajiban-kewajiban suami
di atas itu tentu disesuaikan sesuai kemampuannya.
“Ingatlah! Berwasiatlah (ajaklah) istri-istri kalian dengan baik, sungguh mereka itu
adalah penolong bagi kalian (para suami), kalian tidak memiliki mereka kecuali
sebagai penolong, kecuali mereka para istri itu melakukan fahisyah (perbuatan keji)
yang nyata, maka apabila mereka itu menjauh darimu, dari tempat tidurmu, maka
pukullah dengan cara yang mendidik, tidak menyakiti. Maka apabila mereka itu taat
kepadamu, maka ajaklah ke jalan yang benar. Ingatlah! Bagi mereka itu ada hak
yang harus diterima, begitu juga sebaliknya bagimu juga ada hak yang harus
diterima. Hak yang kalian (suami) terima, dari kewajiban-kewajiban istri adalah
seorang istri tidak memasukkan seseorang ke dalam rumah (atau kamar tempat
tidurnya) seseorang yang tidak kalian senangi, dan tidak memberikan izin seseorang
masuk ke dalam rumah tanpa sepengetahuan kalian (para suami). Ingatlah! Hak yang
kalian harus berikan kepada mereka (para istri). Wajib bagi kalian (para suami)
memberikan pakaian yang baik (layak dan proporsional) dan memberikan makanan
yang (juga) baik (layak, sesuai kemampuan kalian sebagai suami)”. Masing-masing
mempunyai kewajiban, masing-masing juga menerima Hak. Tidak saling
menyalahkan, tidak saling memberatkan, juga tidak saling menuntut satu sama lain.
Apabila seorang istri “melanggar” dan tidak sesuai koridor aturan-aturan yang
dibangun bersama, maka suami boleh mendidik istrinya dengan cara yang sekiranya
membuatnya jera. Bahasa hadis di atas tadi : “Fadlribuuhunna (maka pukullah)
dengan tujuan mendidik dan tidak menyakitkan. KH. M. Hasyim Asy‟ari lebih lanjut
menyampaikan bahw hak yang harus diterima oleh istri adalah:
1. Suami harus memberikan nafkah berupa makan, maksudnya uang belanja sehari-
hari urusan dapur.
2. Suami harus memberikan pekerjaan yang layak dan pantas kepada istrinya.
4. Suami tidak boleh memaki-maki istri, termasuk membentah atau memarahi istri
nya kecuali di dalam rumah sendiri. Sebagaimana Hadist Nabi SAW:
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung
jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta
pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan
dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang isteri adalah pemimpin di
dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas
urusan rumah tangga tersebut.
Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai
pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut." (HR al-Bukhari,
Shahîh alBukhâriy,IV/6, hadits no. 2751 dan HR Muslim, Shahîh Muslim, VI/7,
hadits no. 4828) Di sisi lain ada pula kewajiban istri yang menjadi hak suami.
Kewajibankewajiban Istri yang harus dilakukan, dan hak yang harus diterima oleh
suami adalah:
1) Isteri wajib taat kepada suaminya terhadap segala apa saja perintah suami, selagi
dalam hal yang dihalalkan menurut perintah Allah SWT dan RasulNya.
Dalam kaitannya dengan hal di atas ini, Baginda Nabi SAW bersabda:
“Ketika seorang istri sudah shalat lima waktu, dan ia puasa Ramadan, lalu ia telah
menjaga kemaluannya, ia telah taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya,
“Masuklah wahai istri yang seperti itu, ke dalam surga dari pintu mana saja engkau
inginkan“. Ini menunjukkan betapa penting dan wajib seorang istri itu memenuhi
kewajiban-kewajibannya, dan menerima haknya, serta taat kepada suaminya,
menjaga dari segala bentuk fitnah yang dapat menjurus pada kerusakan sebuah
tatanan mahligai rumah tangga itu. Kalau kita mengaca dan membaca sirah Nabi
SAW, betapa istri-istri Rasulullah itu tidak pernah sembrono di dalam berkhidmat
dan dalam melayani Baginda Nabi.
Suatu waktu Sayyidatina Siti Aisyah bertanya kepada Rasulullah, “Siapa manusia
yang harus lebih diutamakan menerima haknya?‟ Rasulullah lalu menjawab,
„Suaminya!‟. Lalu setelah itu siapa ya Rasulullah? Lalu Baginda Nabi SAW
menjawab: “Ibunya!”.
G. Putusnya hubungan Pernikahan Pernikahan tidak selamanya berjalan baik.
Terkadang ada persoalan yang tidak ditemukan solusi yang baik. Untuk mengatasi
hal itu ada satu jalan yang disebut dengan perceraian. Adapun sebab-sebab putusnya
hubungan pernikahan dalam Islam adalah sebagai berikut :
1) Talak
Perceraian dalam istilah ahli Figh disebut “talak” atau “furqah”. Talak berarti
membuka ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan “furqah” berarti bercerai
(lawan dari berkumpul). Lalu kedua kata itu dipakai oleh para ahli Figh sebagai satu
istilah, yang berarti perceraian antara suamiisteri. putusnya-perkawinanCandra lebih
lanjut menjelaskan bahwa Talak dalam istilah ahli Fiqh mempunyai dua arti, yakni
arti yang umum dan arti yang khusus. Secara umum talak berarti segala macam
bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim,
maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena
meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri. Talak dalam arti khusus berarti
perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami. Karena salah satu bentuk dari
perceraian antara suamiisteri itu ada yang disebabkan karena talak maka untuk
selanjutnya istilah talak yang dimaksud di sini ialah talak dalam arti yang khusus.
Perceraian walaupun diperbolehkan tetapi agama Islam tetap memandang bahwa
perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas
– asas Hukum Islam. Ia adalah sebuah perbuatan halal yang dibenci oleh Allah. Laki-
laki atau suami diberi kewenngan untuk mentalak. Alasannya antara lain : Akad
nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari pihak isteri waktu
dilaksanakan akad nikah.
Suami wajib membayar mahar kepada isterinya waktu akad nikah dan dianjurkan
membayar uang mu‟tah (pemberian sukarela dari suami kepada isterinya) setelah
suami mentalak isterinya.
Suami wajib memberi nafkah isterinya pada masa iddah apabila ia mentalaknya.
a) Syarat-syarat menjatuhkan Talak Seperti kita ketahui bahwa talak pada dasarnya
adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan/dibenarkan, maka untuk sahnya harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu ada pada suami, isteri, dan sighat
talak.
Berakal sehat
Telah baliqh
Isteri telah terikat denagn perkawinan yang sah dengan suaminya. Apabila akad-
nikahnya diragukan kesahannya, maka isteri itu tidak dapat ditalak oleh suaminya.
Isteri harus dalam keadaan suci yang belum dicampuri oleh suaminya dalam waktu
suci itu.
Syarat-syarat pada sighat talak Sighat talak ialah perkataan/ucapan yang diucapkan
oleh suami atau wakilnya di waktu ia menjatuhkan talak pada isterinya. Sighat talak
ini ada yang diucapkan langsung, seperti “saya jatuhkan talak saya satu kepadamu”.
Adapula yang diucapkan secara sindiran (kinayah), seperti “kembalilah ko
orangtuamu” atau “engkau telah aku lepaskan daripadaku”. Ini dinyatakan sah
apabila:
Suami mengatakan kepada Hakim bahwa maksud ucapannya itu untuk menyatakan
talak kepada isterinya. Apabila ucapannya itu tidak bermaksud untuk menjatuhkan
talak kepda isterinya maka sighat talak yang demikian tadi tidak sah hukumnya.
Mengenai saat jatuhnya talak, ada yang jatuh pada saat suami mengucapkan sighat
talak (talak “munziz”) dan ada yang jatuh setelah syarat-syarat dalam sighat talak
terpenuhi (talak “muallaq”).
b) Macam-macam Talak
Talak raj‟i adalah talak yang membolehkan suami merujuk isterinya pada waktu
iddah. Talak raj‟i ialah talak satu atau talak dua yang tidak disertai uang „iwald dari
pihak isteri.
Talak ba‟in, ialah talak satu atau talak dua yang disertai uang „iwald dari pihak
isteri, talak ba‟in sperti ini disebut talak ba‟in kecil. Pada talak ba‟in kecil suami
tidak boleh merujuk kembali isterinya dalam masa iddah. Kalau si suami hendak
mengambil bekas isterinya kembali harus dengan perkawinan baru yaitu dengan
melaksanakan akad-nikah. Di samping talak ba‟in kecil, ada talak ba‟in besar, ialah
talak yang ketiga dari talak-talak yang telah dijatuhkan oleh suami. Talak ba‟in besar
ini mengakibatkan si suami tidak boleh merujuk atau mengawini kembali isterinya
baik dalam masa „iddah maupun sesudah masa „iddah habis. Seorang suami yang
mentalak ba‟in besar isterinya boleh mengawini isterinya kembali kalau telah
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Isteri telah kawin dengan laki-laki lain.
Talak sunni, ialah talak yang dijatuhkan mengikuti ketentuan AlQuran dan Sunnah
Rasul. Yang termasuk talak sunni ialah talak yang dijatuhkan pada waktu isteri
dalam keadaan suci dan belum dicampuri dan talak yang dijatuhkan pada saat isteri
sedang hamil. Sepakat para ahli Fiqh, hukumnya talak suami adalah halal.
Talak bid‟i, ialah talak yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti ketentuan Al-
Quran maupun Sunnah Rasul. Hukumnya talak bid‟i dalah haram. Yang termasuk
talak bid‟i ialah: Talak yang dijatuhkan pada isteri yang sedang haid atau datang
bulan.
Talak yang dijatuhkan pada isteri yang dalam keadaan suci tetapi telah dicampuri.
Talak yang dijatuhkan dua sekaligus, tiga sekaligus atau mentalak isterinya untuk
selama-lamanya.
1. Khulu‟ Talak
khuluk atau talak tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri dengan
jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari
pihak isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai
dengan khuluk itu. Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini ialah
untuk mengimbangi hak talak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si isteri dapat
mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan cara
penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri pada suaminya disebut
juga dengan kata “iwald”. Syarat sahnya khuluk ialah:
Perceraian dengan khuluk itu harus dilaksanakan dengan kerelaan dan persetujuan
suami-isteri.
Besar kecilnya uang tebusan harus ditentukan dengan persetujuan bersama antara
suami-isteri. Apabila tidak terdapat persetujuan antara keduanya mengenai jumlah
uang penebus, Hakim Pengadilan Agama dapat menentukan jumlah uang tebusan itu.
Khuluk dapat dijatuhkan sewaktu-waktu, tidak usah menanti isteri dalam keadaan
suci dan belum dicampuri, hal ini disebabkan karena khuluk itu terjadi atas kehendak
isteri sendiri.
2. Syiqaq
Syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut istilah Fiqh berarti perselisihan suami-
isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang dari pihak suami dan yang satu
orang dari pihak isteri. Menurut Syekh Abdul „Aziz Al Khuli tugas dan syarat-syarat
orang yang boleh diangkat menjadi hakam adalah sebagai berikut:
Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya/dirugikan apabila pihak yang lain tidak
mau berdamai.
3. Fasakh
Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu
diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan
Agama. Biasanya yang menuntut fasakh di pengadilan adalah isteri. Adapun alasan-
alasan yang diperbolehkan seorang isteri menuntut fasakh di pengadilan:
Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan dapat sembuh.
Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada isterinya.
Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami.
Suami pergi tanpa diketahui tempat-tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak
diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama.
4. Ta‟lik talak
Arti daripada ta‟lik ialah menggantungkan, jadi pengertian ta‟lik talak ialah suatu
talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan
dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dahulu. Di Indonesia
pembacaan ta‟lik talak dilakukan oleh suami setelah akad nikah. Adapun sighat
ta‟lik talak yang tercantum dalam buku nikah dari Departemen Agama adalah
sebagai berikut: Sewaktu-waktu saya:
Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya;
5. Ila‟
Arti daripada ila‟ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam
halangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila‟ mempunyai arti khusus dalam hukum
perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya,
waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak ditalak ataupun diceraikan.
Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak
isteri karena keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan. Berdasarkan Al-
Quran, surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat diperoleh ketentuan bahwa:
Suami yang mengila‟ isterinya batasnya paling lama hanya empat bulan.
Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup sebagai suami-isteri
atau mentalaknya. Bila sampai batas waktu empat bulan itu habis dan suami belum
mentalak isterinya atau meneruskan hubungan suami-isteri, maka menurut Imam
Abu Hanifah suami yang diam saja itu dianggap telah jatuh talaknya satu kepada
isterinya. Apabila suami hendak kembali meneruskan hubungan dengan isterinya,
hendaklah ia menebus sumpahnya dengan denda atau kafarah. Kafarah sumpah ila‟
sama dengan kafarah umum yang terlanggar dalam hukum Islam. Denda sumpah
umum ini diatur dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 89, berupa salah satu dari
empat kesempatan yang diatur secara berurutan, yaitu:
Memberi makan sepuluh orang miskin menurut makan yang wajar yang biasa
kamu berikan untuk keluarga kamu, atau
Hendaklah kamu berpuasa tiga hari. Pembayaran kafarah ini pun juga harus
dilaksanakan apabila suami mentalak isterinya dan merujuknya kembali pada masa
„iddah atau dalam perkawinan baru setelah masa „iddah habis. vi. Zhihar Zhihar
adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila‟. Arti zhihar ialah seorang
suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan punggung ibunya.
Dengan bersumpah demikian itu berarti suami telah menceraikan isterinya. Masa
tenggang serta akibat zhihar sama dengan ila‟. Ketentuan mengenai zhihar ini diatur
dalam Al-Quran surat Al-Mujadilah ayat 2-4, yang isinya:
Zhihar ialah ungkapan yang berlaku khusus bagi orang Arab yang artinya suatu
keadaan di mana seorang suami bersumpah bahwa bagi isterinya itu sama denagn
punggung ibunya, sumpah ini berarti dia tidak akan mencampuri isterinya lagi.
Sumpah seperti ini termasuk hal yang mungkar, yang tidak disenangi oleh Allah
dan sekaligus merupakan perkataan dusta dan paksa.
Akibat dari sumpah itu ialah terputusnya ikatan perkawinan antara suami-isteri.
Kalau hendak menyambung kembali hubungan keduanya, maka wajiblah suami
membayar kafarahnya lebih dulu.
Bentuk kafarahnya adalah melakukan salah satu perbuatan di bawah ini dengan
berurut menurut urutannya menurut kesanggupan suami yang bersangkutan, yakni:
Memberi makan 60 orang miskin vii. Li‟aan Arti li‟an ialah laknat yaitu sumpah
yang di dalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang
mengucapkan sumpah itu berdusta. Akibatnya ialah putusnya perkawinan antara
suami-isteri untuk selama-lamanya. Proses pelaksanaan perceraian karena li‟an
diatur dalam Al-Quran syrat An-Nur ayat 6-9, sebagai berikut:
Suami yang menuduh isterinya berzina harus mengajukan saksi yang cukup yang
turut menyaksikan perbuatan penyelewengan tersebut.
Kalau suami tidak dapat mengajukan saksi, supaya ia tidak terkena hukuman
menuduh zina, ia harus mengucapkan sumpah lima kali. Empat kali dari sumpah itu
ia menyatakan bahwa tuduhannya benar, dan sumpah kelima menyatakan bahwa ia
sanggup menerima laknat Tuhan apabial tuduhannya tidak benar (dusta).
Untuk membebaskan diri dari tuduhan si isteri juga harus bersumpah lima kali.
Empat kali ia menyatakan tidak bersalah dan yang kelima ia menyatakan sanggup
menerima laknat Tuhan apabila ia bersalah dan tuduhan suaminya benar.
Akibat dari sumpah ini isteri telah terbebas dari tuduhan dn ancaman hukuman,
namun hubungan perkawinan menjadi putus untuk selama-lamanya viii. Kematian
Kematian suami atau isteri dapat menyebabkan perceraian. Dengan kematian salah
satu pihak, maka pihak lain berhak waris atas harta peninggalan yang meninggal.
Walaupun dengan kematian suami tidak dimungkinkan hubungan mereka disambung
lagi, namun bagi isteri yang kematian suami tidak boleh segera melaksanakan
perkawinan baru dengan laki-laki lain. Si isteri harus menunggu masa iddahnya
habis yang lamanya empat bulan sepuluh hari.
2) Rujuk
Rujuk berarti kembali yaitu kembali hidup sebagai suami-isteri antara lakilaki dan
wanita yang melakukan perceraian dengan jalan talak raj‟i selama masih dalam masa
iddah tanpa pernikahan ba‟in. Yang mempunyai hak rujuk adalah suami, sebagai
imbangan dari hak talak yang dimilikinya. Ketentuan mengenai hak rujuk ini diatur
dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 228. Apabila bekas suami hendak merujuk
bekas istrinya, hendaklah memenuhi syarat-syarat sebagia berikut:
a) Bekas isteri yang ditalak itu sudah pernah dicampuri. Sehingga perceraian yang
terjadi di mana isteri belum pernah dicampuri oleh suami, tak memberikan hak rujuk
kepada suami.
d) Talak yang dijatuhkan oleh suami tidak disertai „iwald dari pihak isteri.
e) Persetujuan isteri yang akan dirujuk. Dalam pelaksanaan rujuk ini ada dua
pendapat, yakni:
1. Rujuk dengan perkataan, misalnya bekas suami berkata kepada bekas isterinya
“aku rujuk kepada isteriku”. Dengan diucapkannya sighat rujuk ini, maka rujuk
itu telah dianggap terjadi. Sighat rujuk yang digantungkan pada suatu syarat yang
belum terjadi atau digantungkan pada masa yang akan datang, dianggap tidak sah.
2. Rujuk dengan perbuatan, ialah apabila suami mencampuri isterinya kembali,
walaupun tidak dengan perkataan tertentu dianggap sah dan rujuknya telah terjadi
d. Membina Keluarga sakinah Rumah tangga atau berkeluarga adalah sebuah sesi
kehidupan yang penting dalam kehidupan seorang individu atau pun masyarakat.
Banyak persoalan keluarga yang berawal dan berakhir pada keluarga. Persoalan-
persoalan tersebut kalau tidak bisa diatasi bisa mengganggu ketentraman dan
keharmonisan keluarga yang pada akhirnya berujung pada perceraian. Di antara
problema rumah tangga menurut M Thalib (1997) adalah;
2) Tidak dibelanjai
3) Lemah syahwat
4) Penganiayaan
7) Pengecap rasa
8) Menuntut kemewahan
9) Mengidap penyakit
13) Mula‟anah
14) Dzihar Persoalan rumah tangga dapat disebabkan istri atau suami. Untuk
menagani masalah tersebut perlu dilakukan beberapa tindakan seperti :
5) Jika kesalahan itu dari suami isteri dapat membujuk suami dengan sabar
8) Membantu isteri untuk berbakti kepada kedua orang tuanya. Beberapa hal yang
dapat dilakukan isteri dalam menciptakan keharmonisan rumah tangga adalah :
6) Menemani suami
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perkawinan atau pernikahan pada dasarnya adalah suatu ikatan yang mengikat dua insan
manusia yang berlainan jenis untuk memenuhi hasrat kebutuhan jasmani dan rohaninya
dengan tujuan membentuk keluarga yang Islami sesuai dengan sunnah Allah swt. dan
Rasul.Rukun perkawinan secara lengkap yaitu adanya calon mempelai laki-laki muslim dan
perempuan muslim, Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan,
Dua orang saksi yang adil, Ijab-qabul dan Mahar sebagai pemberian mempelai laki-laki
kepada mempelai perempuan pada saat akad pernikahan. Proses pembinaan keluarga dalam
islam adalah dengan menumbuhkan sikap saling mengerti dan memahami antar masing-
masing anggota keluarga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.