Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MAKALAH

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
DOSEN: LAVNY ACHRIYANTI, S.H., M.M.

NAMA : Muhammad Fahrur Roziqin


NIM : 3360191250088
JURUSAN : Manajemen B (Sabtu)
RUANG : 305

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bisnis Indonesia


Jl. Raya Kby. Lama No.46, RT.6/RW.2, Sukabumi Sel, Kec. Kb. Jeruk, Kota Jakarta Barat,
Daerah Khusus Ibu kota Jakarta 11560
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini
bisa selesai pada waktunya.

Makaalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang pengalaman dan
penerapan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang kami sajikan
berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan sumber
berita.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan
rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para


pembaca dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca. Namun terlepas dari
itu, kami memahami bahwa makalah ini banyak kekurangan dan masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi dari pembaca.

Jakarta, Minggu/22-03-2020

Muhammad Fahrur Roziqin

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................I

DAFTAR ISI...................................................................II

BAB I PENDAHULUAN................................................

1.1..................................... Latar Belakang Masalah


..................................................................................1
1.2............................................ Rumusan Masalah
..................................................................................8
1.3.............................................. Tujuan Penulisan
..................................................................................8
1.4............................................ Manfaat Penulisan
..................................................................................9

BAB II PEMBAHASAN...................................................

2.1....................... Pengertian Perkawinan Campuran


................................................................................10
2.2.............. Pihak Pihak Yang Melakukan Perkawinan
................................................................................10
2.3................................. Dasar Hukum Dalam Perkawinan
................................................................................10
2.4............................. Hubungan antara orang tua dan anak
Dalam Perkawinan Campuran.........................................11
2.5......... Hak dan Kewajiban Anak Dalam Perkawinan Campuran
................................................................................12

BAB III PENUTUP..........................................................

III
3.1..................................................... Kesimpulan
................................................................................14
3.2............................................................ Saran
................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA....................................................................16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH


Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia,
karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga
menyangkut urusan keluarga dan masyarakat2. Pada umumnya perkawinan dianggap
sebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama selalu menghubungkan
kaedah-kaedah perkawinan dengan kedah-kaedah agama.

Perkawinan campuran sebelum adanya undang-undang perkawinan diatur


dengan Koniklijk Besluit Nomor 23 tanggal 29 Desember 1896. Peraturan ini dsebut
Regeling OP de Gemengde Huwelijken (selanjutnya disebut RGH) yang dikenal
dengan istilah Peraturan Perkawinan Campuran.

Pasal 1 RGH mendefinisikan bahwa perkawinan campuran sebagai


Perkawinan antara orang-orang di indonesia tunduk kepada hukum-hukum berlainan.

IV
Sedangkan Pasal 2 RGH menyebutkan bahwa seseorang perempuan (istri) yang
melakukan perkawinan selama itu belum putus, maka siperempuan tunduk pada
hukum yang berlaku untuk suaminya, baik hukum publik maupun hukum sipil.3

Pengertian Perkawinan campuran sebagaimana disebut dalam Pasal 1 RGH,


memiliki jangkauan luas asalkan pihak-pihak yang melangsungkan tunduk pada
hukum yang berlainan adalah perkawinan campuran. Perkawinan antara dua orang
berkewarganegaraan asing dan bukan penduduk indonesia 2 Wignjodiporo soerojo,
1971, Pengantar dan Azas-azas hukum adat, Bandung, Alumni, hal 139 3 Maria
Ulfah Sudibyo, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-undang Perkawinan 2 yang
dilansungkan diluar indonesia, misalnya orang arab dengan orang perancis,
merupakan ketentuan dalam pasal ini.4

Dalam Pasal 57 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


menyebutkan bahwa “yang dimaksud” dengan perkawinann campuran dalam undang-
undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.

Dari pengetian Pasal 1 RGH yang diuraikan diatas, maka dalam hal itu
termasuk pula perkawinan-perkawinan yang dilangsungkan diluar negeri antara dua
orang Warga Negara Indonesia yang di Indonesia tunduk pada hukum berlainan atau
antara seorang Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut WNI) dan seorang
Warga Negara Asing (selanjutnya disebut WNA), akan tetapi bilamana pihak atau
pihak-pihak yang dahulu tunduk pada seluruh atau sebagian dari hukum perkawinan
KUHPerdata, maka bagi perkawinan berlakulah ketentuan Pasal 83 KUHPerdata
yang menyatakan: ” Perkawinanperkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia,
baik antara warga negara Idonesia satu sama lain, adalah sah jika perkawinan itu
dilangsungkan menurut cara yang lazim dalam negeri, dimana perkawinan itu
dilangsungkan, dan suami istri warga negara Indonesia, tidak melanggar ketentuan-
ketentuan tersebut dalam bagian kesatu bab satu.

V
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 62 menyebutkan, bahwa dalam
perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 Ayat 1 yang
isinya: “Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat 4 R. Soetojo
Prawirohamidjoyo, 1986, Pluralisme dalam perundang-undangan di indonesia,
Surabaya, Penerbit Airlanga university. Hal.90. 3 perkawinan atau putusnya
perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum public maupun
hukum perdata”.

Pada 11 Juli 2006, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undangundang


Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang tersebut disambut gembira
oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan dengan warga negara asing,
walaupun pro dan kontra masih saja timbul namun secara garis besar undang-undang
baru yang memperbolehkan dua kewarganegaraan ini sudah memberikan pencerahan
baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.
Dalam undang-undang ini memberikan kedudukan yang sama kepada si ayah maupun
kepada si ibu untuk menentukan kewarganegaraan anak. Prinsip kesetaraan antara
suami dan isteri dalam menentukan kewarganegaraan anak nampak di dalam prinsip
yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang menentukan bahwa “perkawinan tidak
merubah status kewarganegaraan asal masing-masing “. Prinsip ini membawa
konsekuensi bahwa anak yang dilahirkan akan mengikuti kewarganegaraan ayah
maupun kewarganegaraan ibunya, sehinga anak akan mempunyai kewarganegaraan
ganda (terbatas).

Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah
masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip
kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya
bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang
harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan
persoalan apabila dikemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan
kesulitan 4 mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing. Dengan lahirnya

VI
UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh
lahirnya UU ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran, berikut
komparasinya terhadap UU Kewarganegaraan yang lama.

Subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas
hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum.
Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum diwakili oleh orang lain. Berdasarkan pasal 1330 KUHP, mereka
yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa, wanita bersuami,
dan mereka yang dibawah pengampuan. Dengan demikian anak dapat dikategorikan
sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang
yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam
melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki
kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga
tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan
yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU
Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik
untuk dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk
pada dua yurisdiksi hukum.

Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan
hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya
sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan 5 orang tuanya sah sehingga anak
memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tida sah,
sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan
hukum dengan ibunya. Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status
personal. Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli)
sedangkan negaranegara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis).
Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga
(pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi
kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas

VII
dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya. Sistem kewarganegaraan
dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya
Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis. Dalam sistem
hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem
hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak
dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak
mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama.5 Undang-Undang
kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau
universal.

Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:

1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara
tempat kelahiran. 5 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional
Indonesia, B, Jilid III Bagian I, Buku ke-7, Bandung: Penerbit Alumni, 1995,
Hal. 43. 6

2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang
diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang ini.

3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu


kewarganegaraan bagi setiap orang.

4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan


kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang ini. Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal
kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan
(apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam
Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian. Mengenai hilangnya
kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu

VIII
(apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak
secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.

Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI
dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA
dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut
akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin
maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus
disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah
kawin. Pemberian 7 kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang
positif bagi anakanak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah
pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian
hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda.
Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya
tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari
pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip
nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada
di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya ,
tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya,
menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik
indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk
dalam bidang status personal mereka.

Terhadap anak yang lahir setelah diberlakukan Undang-undang Nomor 12


Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, maka secara otomatis
anak tersebut menjadi warga negara Indonesia. Oleh karena itu anak tersebut dapat
mengajukan permohonan paspor Republik Indonesia di Kantor Imigrasi. Untuk dapat
diberlakukan sebagai warga negara Indonesia pada paspor asingnya, bagi anak yang
berkewarganegaraan ganda terbatas, maka wajib didaftarkan oleh orang tua atau
walinya di Kantor Imigrasi atau perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

IX
Berdasarkan prinsip tersebut, maka dapat diketahui bahwa menurut Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik 8 Indonesia,
suami dan isteri mempunyai kedudukan yang sama dalam menentukan
kewarganegaraan bagi anaknya. Secara subtansial UndangUndang Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia jauh lebih maju dan demokratis
dibanding dengan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia, karena UndangUndang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
kewarganegaraan Republik Indonesia telah mengakomodir berbagai pemikiran yang
mengarah pada perlindungan hukum warganegara dengan memperhatikan kesetaraan
jender. Tidak kalah pentignya adalah adanya pemberian perlindungan hukum
terhadap anak-anak hasil perkawinan campuran antara warga negara Indonesia
dengan warga negara Asing. Dalam prakteknya banyak kendala yang muncul dalam
melakukan naturalisasi dan dalam penulisan ini perlindungan hukum yang dimaksud
hanya tentang status kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran.

Sebelum diundangkan UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan campuran itu


dengan Koninklijk Besluit tanggal 29 Desember 1896 No. 23. Peraturan ini disebut
Regeling op de Gemengde Huwelijken yang lebih terkenal dengan istilah Gemengde
Huwalijken Regeling, dengan singkatan G.H.R yang sekarang biasa kita kenal dengan
istilah Peraturan Perkawinan Campuran. Arti perkawinan campuran menurut bunyi
Pasal 1 G.H.R adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan. Definisi ini sangat luas jangkauannya, tidak membatasi arti
perkawinan campuran pada perkawinan-perkawinan antar warganegara Indonesia
atau antar penduduk Indonesia (“antara orang-orang”) dan perkawinan-perkawinan
yang dilangsungkan di Indonesia, asalkan pihak-pihak yang melangsungkan 9
perkawinan di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan adalah perkawinan
campuran. Selanjutnya menurut kata-kata dari Pasal 1 G.H.R perkawinan antara dua
orang di Indonesia yang termasuk dalam satu golongan yang sama, akan tetapi tunduk
pada hukum yang berlainan, misalnya: orang pribumi yang beragama Kristen dengan
orang Pribumi yang beragama Islam, merupakan perkawinan campuran dalam G.H.R.

X
Begitu pula dua orang Timur Asing yang satu berkewarganegaraan Indonesia dan
yang lain berkewarganegaraan asing. Dalam Pasal 57 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa “yang dimaksud” dengan perkawinann
campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan,
dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 11 G.H.R. menentukan, bahwa akibat hukum terhadap anak-anak yang


dilahirkan dari perkawinan campuran yang telah dilangsungkan sebelum G.H.R.
berlaku, memperoleh kedudukan hukum public dan hukum privat ayahnya. Sebagai
anak-anak sah dari ayah dan ibunya tidak dapat diperselisihkan, karena dalam akte
perkawinannya terdapat cacat-cacat atau karena tidak ada surat kawin, apabila anak-
anak tersebut diperlakukan sebagai anak-anak sah dan ayah ibunya hidup secara
terang-terangan sebagai suami istri. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 62
menyebutkan, bahwa dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai
dengan Pasal 59 Ayat 1 yang isinya: “Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai
akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik
mengenai hukum public maupun hukum perdata”. 10 Berdasarkan kondisi
sebagaimana diuraikan dalam latar belakang masalah tersebut di atas penulis tertarik
untuk melakukan penelitian yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN”.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam suatu penelitian sangatlah penting karena rumusan


ini memberikan arahan yang penting dalam membahas masalah yang diteliti,
sehingga penelitian dapat dilakukan secara sistematis dan juga terarah dengan sasaran
yang ditentukan. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis
merumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

XI
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap status dari laki-laki dan
perempuan yang melakukan perkawinan campuran sebelum dan sesudah
berlakunya undang-undang no 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap status anak dari laki-laki dan


perempuan yang melakukan perkawinan campuran sebelum dan sesudah
berlakunya undang-undang no 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

1.3. TUJUAN PENULISAN

Untuk mengetahui upaya-upaya apa yang dapat dilakukan, berdasarkan latar


belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan maka penelitian ini
mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum dari status terhadap laki-laki dan


perempuan yang melakukan perkawinan campuran sebelum dan sesudah
berlakunya undang-undang no 12 tahun 2006 tentang kewarganegaran.

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap status anak dari laki-laki


dan prempuan yang melakukan perkawinan campuran sebelum dan sesudah
berlakunya undang-undang No 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan

1.3. Manfaat Penulisan

Adapun penelitian ini berguna dan memberikan manfaat bagi penulis sendiri
pada khususnya maupun bagi pihak lain atau pembaca pada umunya. Manfaat dari
penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Bagi Penulis Dengan ditulis skipsi ini semoga dapat menambah ilmu
pengetahuan dibidang hukum khususnya hukum perdata mengenai proses
perlindungan hukum terhadap anak hasil perkawinan campuran.

2. Bagi Masyarakat Dari hasil penulisan skipsi ini, diharapkan dapat


digunakan sebagai bahan masukan untuk menambah ilmu pengetahuan bagi
pembaca/masyarakat sehinga pembaca/masyarakat mengetahui tentang

XII
perlindunga hukum terhadap anak hasil perkawinan campuran tersebut. 3.
Bagi Ilmu Pengetahuan Dengan adanya penulisan skipsi ini, maka penulis
berharap penulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu
pengetahuan yang 12 berguna untuk perkembangan ilmu pengetahuan hukum
dan khususnya hukum perdata yang menyangkut mengenai proses
perlindungan hukum terhadap anak hasil perkawinan campuran.

BAB ll
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perkawinan Campuran


Apakah perkawinan campuran itu? Menurut Pasal 57 UU Perkawinan,
yang dimaksud dengan Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang
yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

2.2. Pihak-Pihak Yang Melakukan Perkawinan


Persyaratan Perkawinan Indonesia: UU Perkawinan Undang- Undang 1 Tahun
1974 (UU Perkawinan) mengatur beberapa hal yang menjadi syarat bagi pelaksanaan
perkawinan. Adapun syarat-syarat perkawinan yang dimaksud yaitu:

XIII
Adanya persetujuan dari kedua belah pihak, yaitu mempelai pria dan mempelai
wanita, Adanya izin dari pihak-pihak tertentu untuk melangsugkan perkawinan bagi
yang belum mencapai usia 21 tahun, yaitu:

a. Orang tua atau salah satu orang tua dalam hal salah satunya telah
meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya;
b. Wali, orang yang memeihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke atas (kaek-nenek);

2.3. Dasar Hukum Dalam Perkawinan

Dasar hukum perwakilan campuran di Indonesia diatur dalam pasal 57-62 UU No.1
Tahun 1974 tentang perkawinan (UU Perkawinan). Berdasarkan pasal 57 UU
Perkawinan, perkawinan campuran meiliki unsur sebagai berikut: Dua orang yang
berkedudukan di Indonesia Tunduk pada hokum yang berbeda akibat perbedaan
kewarganegaraan salah satu pihak berkewarganegaraan asing (WNA) Pihak lainnya
berkewarganegaraan Indonesia Jadi, perkawinan campuran di Indonesia menurut UU
perkawinan menitik beratkan pada perbedaan kewarganegaraan. Selain itu, pasal 59
ayat (2) UU Perkawinan menyebutkan perkawinan campuran di Indonesia hanya sah
apabila dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam UU Perkawinan.

2.4. Hubungan Antara Anak Dan Orang Tua Yang Melakukan Perkawinan
Campuran.

Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak


mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 :

“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan
hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-
negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik
Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang
bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang

XIV
karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa
kewarga-negaraan.”

Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan


campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing:

1. Menjadi warganegara Indonesia


Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga
negara asing dengan pria warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62
Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu
dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan
kewarganegaraan Indonesianya. Bila suami meninggal dunia dan anak anak
masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak
anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai
negeri)meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun
suami.
2. Menjadi warganegara asing
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita

warganegara Indonesia dengan warganegara asing. Anak tersebut sejak


lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan
Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal
Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya
tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh
anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi
seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia
bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya,
namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.

Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958,


hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya
kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya

XV
dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya
kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum
dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang (apabila
anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).

2.5. Hak dan Kewajiban Anak Dalam Perkawinan Campuran

 Bagaimana perlindungan terhadap hak anak dalam memperoleh


kewarganegaraan dan bagaimana perlindungan hak anak untuk memperoleh
kewarganegaraan dari perkawinan campuran. Dengan menggunakan metode
penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Perlindungan terhadap hak anak dalam memperoleh kewarganegaraan,


dijamin dalam peraturan perundang-undangan, bahwa setiap anak berhak atas
suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. Anak sebagai
warga negara yang merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu
negara. Status kewarganegaraan menimbulkan hubungan timbal balik antara
warga negara dan negaranya. Setiap warga negara mempunyai hak dan
kewajiban terhadap negaranya. Sebaliknya, negara mempunyai kewajiban
memberikan perlindungan terhadap warga negaranya.

2. Status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak yang


berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau
sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya.  Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan dibuat
secara tertulis dan disampaikan kepada Pejabat dengan melampirkan dokumen
sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan. Pernyataan
untuk memilih kewarganegaraan disampaikan dalam waktu paling lambat 3
(tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
Hal ini dilakukan karena Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menganut tidak mengenal

XVI
kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan
(apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak merupakan
suatu pengecualian. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, diatur mengenai, anak yang dilahirkan dari Perkawinan
Campuran berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Dari pembahasan mengenai Kedudukan Anak Akibat Perceraian Yang lahir


dari Perkawinan Campuran, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang


Kewarganegaraan, mengenai status hukum anak perkawinan campuran orang
tuanya, maka terhadap anak tersebut memiliki kewarganegaraan ganda
terbatas, disebut terbatas karena nantinya setelah anakanak berusia 18
(delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan
memilih salah satu kewarganegaraannya. Kedudukan anak dalam perkawinan
campuran yang mengalami perceraian diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyatakan: a) Jika

XVII
terjadi perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dan warga negara
asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh
kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. b) Dalam hal terjadi perceraian dari
perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), anak berhak untuk
memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalama pengasuhan
salah satu dari kedua orang tuanya. c) Dalam hal terjadi perceraian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sedangkan anak belum mampu
menentukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik Indonesia,
demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah
berkewajiban mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi
anak tersebut.

2. Dalam hal pemeliharaan anak apabila terjadi sengketa akibat perceraian,


maka the best interest of the child (kepentingan terbaik anak) merupakan
pertimbangan utama bagi hakim dalam memutus sengketa ini. Dalam suatu
yurisprudensi Mahkamah Agung No. 906 K/Sip/1973 tanggal 25 Juni 1974
menyatakan: kepentingan si anaklah yang harus dipergunakan sebagai
patokan untuk menentukan kepada siapa dari orang tuanya yang diserahi
pemeliharaan anak. Kepada siapapun hak pemeliharaan anak diberikan oleh
Hakim tidak merubah status kewarganegaraan anak. Anak tersebut tetap
berkewarganegaraan ganda terbatas sampai ia berusia 18 (delapan belas)
tahun atau sudah kawin.

3.2. SARAN

Adapun saran yang dapat diberikan oleh penulis dalam penulisan skripsi mengenai
Kedudukan Hukum Anak Akibat Perceraian Yang Lahir Dari Perkawinan Campuran,
sebagai berikut:

1. Mengenai kedudukan hukum anak akibat perceraian yang lahir dari


perkawinan campuran hanya diatur dalam Undang-Undang 23 Tahun 2002

XVIII
tentang Perlindungan Anak, seharusnya ketentuan tersebut dapat diatur lebih
lanjut di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan.

2. Akibat Perceraian yang terjadi dari perkawinan campuran terutama bagi


status dan kedudukan hukum anak harus diperhatikan mengenai perlindungan
hukumnya, terutama oleh pemerintah mengingat anak memunyai hak-hak
yang diatur lebih lanjut dalam UndangUndang Perlindungan Anak.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber: Persyaratan Perkawinan di Indonesia

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/3996
http://scholar.unand.ac.id/13417/2/BAB%20AKHIR%20PENUTUP.pdf
https://smartlegal.id/hukum-keluarga/2019/01/28/aspek-dan-akibat-hukum-perkawinan-
campuran-di-indonesia/
Sumber: Aspek dan Akibat Hukum Perkawinan Campuran di Indonesia

http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/09/status-hukum-anak-hasil-perkawinan.html

http://eprints.ums.ac.id/25571/2/BAB_I.pdf

XIX
XX

Anda mungkin juga menyukai