sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan. Sempat pula kami berpapasan
dengan Herman dan Idhan. Kelihatannya kedua teman itu akan menjadi yang
paling akhir mendaki ke Mahameru.
Dengan tertawa kecil, Soe menitipkan batu dan daun cemara. Katanya,
"Simpan dan berikan kepada kepada 'kawan-kawan' batu berasal dari tanah
tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di
Jawa ini pada cewek-cewek FSUI." Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya,
sebelum bersama Maman saya turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan
pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah
Puncak Mahameru).
Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas
hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, kami menunggu datangnya
Herman, Freddy, Soe, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamatlamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala,
letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.
Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil
memerosotkan tubuhnya yang jangkung. "Soe dan Idhan kecelakaan!" katanya.
Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah
tulang. Mulai panik, kami berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil
meneriakkan nama Herman, Soe, dan Idhan berkali-kali.
Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke
tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Soe dan Idhan sudah
meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap
semoga laporan Herman itu ngaco. Kami berharap semoga Soe dan Idhan cuma
pingsan, besok pagi siuman lagi untuk berkumpul dan tertawa-tawa lagi, sambil
mengisahkan pengalaman masing-masing.
Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan.
Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju
perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan
dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu
wadah air minum. Tides meminta kami menjaga kesehatan Maman yang masih
shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.
"Cek lagi keadaan Soe dan Idhan yang sebenarnya," begitu ucap Tides
sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, kami berempat tidur
sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan
angin yang nyaris membekukan sendi tulang.
Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, kami yakin kalau Soe dan Idhan
sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Kami jumpai jasad kedua
kawan kami sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu
kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut
kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup kencang serapat
katupan bibir birunya. Kami semua diam dan sedih.
Mengapa naik gunung
Sejak dari Jakarta Soe sudah merencanakan akan memperingati hari
ultahnya yang ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15
Desember, dalam tenda sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe yang amat
menguasai lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta kami menyanyikan lagu
spiritual negro, Nobody Knows, sampai berulang-ulang. Padahal irama lagu ini
monoton sampai sudah membosankan kuping dan tenggorokan.
Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk
rebusan mi hangat campur telur dan kornet kalengan. Malam dingin dan hujan
itu, kami bertujuh banyak bercerita, termasuk mendengarkan rencana Soe yang
mau berultah di puncak gunung. "Pokoknya gue akan berulang tahun di atas,"
katanya sambil mesam-mesem. "Nyanyi lagi dong. Lagu Donna Donna-nya Joan
Baez itu bagus sekali."
Pagi hari nahas itu, sebelum berkemas untuk persiapan pendakian ke
puncak, kami sarapan berat. Soe yang biasanya cuma bercelana pendek, kini
memakai celana panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan dia mengenakan
kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung. "Keren enggak?"
Tanyanya.
Rombongan pun berjalan mendaki, menuju Puncak Mahameru dari
dataran di kaki G. Bajangan. Soe sebagaimana biasanya, selalu memanggul
ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak cerita dan komentar. Ia
mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih banyak harimau karena dia
menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut kalau Cemoro Kandang berlumpur
arang gara-gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai pertanda seleksi alam
dan proses regenerasi tanaman hutan.
Dosen sejarah ini terus nyerocos kepada mahasiswanya (saya), asal
muasal nama recopodo alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru
yang berkaitan dengan nasib Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa. Namun
sang mahasiswa juga membayangkan dengan geli, betapa kagetnya wakil DPRRI saat itu ketika menerima bingkisan dari kelompok Soe berisi gincu dan cermin
sebagai perlambang fungsi anggota DPR yang banci. Sayang, cuma segitu
ingatan saya tentang Soe pada jam-jam terakhirnya.
Yang masih tetap terngiang justru rayuan dan "falsafahnya", kala
mengajak seseorang mendaki gunung. "Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta.
Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit,
jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau
tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di
pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk
kita naik gunung. Ayo ke Semeru, sekali-kali menjadi orang tertinggi di P. Jawa.
Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di P. Jawa ini," kira-kira begitu katanya,
sambil menyinggung nama mantan Presiden Soeharto, nun sekitar 30 tahun lalu.
Memang pendakian ke Semeru ini merupakan proyek kebanggaan
Mapala FSUI 1969. Soe dengan keandalannya melobi kiri-kanan, mampu
mengumpulkan dana untuk subsidi penuh beberapa rekan yang mahasiswa
bokek sejati.
Singkat cerita, musibah sudah terjadi. Soe mungkin tidak membayangkan
betapa kematiannya bersama Idhan Lubis bikin repot setengah mati banyak
orang. Kami yang ditinggal dalam suasana tak menentu, selama sembilan hari
benar-benar hidup tidak kejuntrungan. Selain puasa sampai tiga hari karena
kehabisan makanan, kami makin sedih saat menerima surat dari Tides via kurir,
menanyakan keadaan Soe dan Idhan.
Herman, kami sudah sampai di Gubuk Klakah hari Kamis pagi, sesudah
jalan sepanjang malam (sekitar 20 jam). Pak Lurah menyanggupi tenaga
bantuan 10 orang dan bekal. Mohon kabar bagaimana Soe, Idhan, dan Maman
dll. secepatnya mendahului rombongan ... Tides dan Wiwik 18-12-69.
Saya pun terpilih menjadi kurir, mendahului rombongan sambil membawa
surat untuk Tides. Isinya apalagi kalau bukan minta bantuan tenaga dan bahan
makanan. Herman pun menulis surat: Saya tunggu di Cemorokandang dan
bermaksud menunjukkan "site" tempat jenazah Soe dan Idhan ... kirimkan:
gula/gula jawa, nasi, lauk, permen, pakaian hangat ... sebanyak mungkin!
Akhirnya, semua bantuan tiba. Seluruh anggota rombongan baru berkumpul lagi
pada tanggal 22 Desember di Malang. Kurus dan kelelahan. Maman terpaksa
dirawat khusus beberapa hari di RS Claket. Sedangkan Soe dan Idhan, terbaring
kesepian di dalam peti jenazah masing-masing.
Untuk terakhir kali, kami tengok Soe dan Idhan. Soe yang mati muda, terbujur
kaku dengan kemeja tangan panjang putih lengkap dengan dasi hitam. Jenis
barang yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya.
Soe yang banyak membaca dan sering diejek dengan julukan "Cina
Kecil", memanfaatkan kebeningan ingatannya untuk menyitir kata-kata "sakti"
filsuf asing. Antara lain, tanggal 22 Januari 1962, ia menulis: "Seorang filsuf
Yunani pernah menulis ... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua
dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya
memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."
Soe yang penyayang binatang (dia memelihara beberapa ekor anjing,
banyak ikan hias dan seekor monyet tua jompo), sebelum musibah Semeru itu
sempat berujar: "Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya
merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya
kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras ... diusap oleh
angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai
kecil ... orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur."
Arief Budiman, sang kakak yang menjemput jenazah Soe di Gubuk
Klakah, juga merasakan sikap aneh adiknya. Sebelum dia meninggal pada bulan
Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia
berkata, "Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya
lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang ... makin lama
makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Kritikkritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan ...
Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian." (CSD) Arief sendiri
mengungkapkan, ibu mereka sering gelisah dan berkata: "Gie, untuk apa
semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang."
Terhadap Ibu, dia cuma tersenyum dan berkata: "Ah, Mama tidak mengerti".
Arief pun menulis kenangannya lagi: ... di kamar belakang, ada sebuah
meja panjang. Penerangan listrik suram karena voltase yang selalu naik turun
kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah
tidur, sering kali masih terdengar suara mesin tik ... dari kamar yang suram dan
banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangan ... saya
terbangun dari lamunan ... saya berdiri di samping peti matinya. Di dalam hati
saya berbisik, "Gie kamu tidak sendirian". Saya tak tahu apakah Hok Gie
mendengar atau tidak apa yag saya katakan itu.