Anda di halaman 1dari 8

RACUN TEMBAKAU Monolog Anton Chekov. Terjemah Jim Adhi Limas.

Adaptasi S. Jai
RACUN TEMBAKAU
Monolog Anton Chekov. Terjemah Jim Adhi Limas. Adaptasi S. Jai

PAK HARMAN, seorang kakek tua yang masih bersemangat hidup. Meski puluhan
tahun dalam cengkeraman kuasa sang istri. Istrinya, JANAH memimpin sebuah lembaga
pendidikan partikelir yang bergerak dibidangnya atas nama amal dan sosial. Selain
punya rumah indekos bagi anak-anak perempuan kuliah.
SEBUAH panggung kecil di ruang rapat masyarakat intelektual.
PAK HARMAN : (CAMBANGNYA PANJANG, KUMIS DICUKUR KLIMIS, JAS
RESMI YANG SUDAH TUA DAN TERLALU SERING DIPAKAI. IA MUNCUL
DENGAN SIKAP AGUNG, MANGGUT, DAN MEMPERBAIKI DASINYA) PAGI
HARI. MUSIK MARS MASIH MELATARI SEBAGAI BUKTI PENGHORMATAN
PADA DUNIA ILMU PENGETAHUAN. SEBUAH BENDA LAPTOP DI LETAKKAN
DI MEJA. PAK HARMAN MENUJU PODIUM.

(MEMPERKENALKAN DIRI DENGAN SIKAP AGUNG, MENGUSAP


CAMBANGNYA). Selamat Pagi Bapak-Bapak, Ibu, Saudara serta adik-adik sekalian
pengabdi dan pecinta ilmu pengetahuan. Sesuatu menyebabkan saya harus berdiri dan
ceramah di sini. Saya mulai dengan semacam sekapur sirih tentang kejantanan. Saya
seorang pria yang harus bangga dengan kejantanan saya karena saya telanjur tahu
dimana letak kejantanan saya. Dan di usia senja saya, kebanggaan saya yang tak terkikis
adalah sepasang cambang panjang dan kumis yang senantiasa tersisir rapi. Lalu, istri
saya itu adalah kehormatan saya yang lain. Kami punya tujuh anak perempuan yang
dihidupi dari memerah rumah kos yang oleh istri saya dikhususkan untuk biaya hidup
anak-anak kami. Sementara soal hidup saya, ini yang mau saya tutur kisahkanselain
masalah istri, kumis, derita, dan sebungkus rokok yang menemani saya tiap hari. Inilah
sesuatu hal penting bagi hidup saya dan perlu anda dengarkan di sidang masyarakat
ilmiah ini. Istri saya mengerti saya seorang penceramah yang jujur. Karena itu harus
jujur pula saya akui, saya berbicara di sini di depan hadirin sekalian, sebetulnya
bukanlah atas kehendak saya sendiri. Lebih tepatnya kehendak istri saya, si kutu loncat
yang cerdik, pintar, keras kepala dan sudah barang tentu berbakat dan berkat itu semua
ia bisa mengumpulkan banyak duit untuk memenuhi kebutuhan hidup saya, menghidupi
saya. Lain hal bila seringkali ia mengaku tetap miskin, dan tak punya duit meski
sebagaimana saya tahu jumlah nomor rekening banyak. Semuanya berisi uang atas
namanya. Jadi saya makan dari jerih payah sendiri, dari kesempatan yang diberikan istri.
Seperti kali ini, saya diminta untuk ceramah untuk tujuan kegiatan sosial. Begitulah,
pintarnya istri saya bergerak membaca peluang kegiatan amal atau sosial. Apapun
kesempatan yang disediakan, buat saya tidak masalah. Saya dengan senang hati bersedia
membagi cerita apa saja. Apalagi aku seorang penulis yang sudah lebih tigapuluh tahun
lamanya. Boleh dibilang saya hidup dari dan untuk cerita itu sendiri atau sayalah
mungkin cerita itu. Hidup saya telah benar-benar saya abdikan untuk seluruh cerita-
cerita yang saya tulis, dan cerita-cerita yang saya tulis telah demikian jadi milik saya,
bagian hidup saya. Saya sudah terbiasa dank arena itu tak peduli sekalipun ceramah saya
ini sebenarnya atas kemauan istri saya. Selama ini, anak-anak senang, istri saya girang,
tanpa harus repot dengan posisi saya apakah sebetulnya saya sedang bekerja pada istri,
atau tengah dipekerjakan oleh majikan saya dalam hal tulisan-tulisan saya dan ceramah-
ceramah saya. Bagi saya cukup penting manakala saya punya perasaan bahwa saya
setidaknya telah menjadi majikan atas ceramah saya ini. Sebagaimana saya menjadi
majikan bagi rokok saya pada waktu membuat cerpen-cerpen saya. Sesekali memang
pernah muncul di otak saya siapa sebenarnya majikan saya dalam hal ini, istri ataukah
cerpen-cerpen saya, ceramah-ceramah saya. Istri saya atau ceramah-ceramah saya.
Rokok yang saya hisap atau saya yang dihisapnya. Tapi pertanyaan itu kerdil dengan
sendirinya setelah tigapuluh tahun lamanya. Sampai kini aku tetap menulis cerpen-
cerpen itu juga ceramah di mimbar-mimbar seperti ini. Sampai tak terhitung berapa
bungkus rokok yang kuhisap dan aku dihisap olehnya.
(MEMPERBAIKI DASINYA) Sepanjang waktu saya menghisap istri saya dan saya
dihisap olehnya melalui ceramah-ceramah saya. Ceramah saya kali ini saya diminta
bercerita tentang bahaya yang mengancam manusia kerena menghisap asap rokok. Saya
sendiri merokok tapi kalau istri saya yang menyuruh berdiri di mimbar ini, seperti yang
lalu-lalu saya tak berkutik. Tidak ada jalan lain, karena itu beginilah jadinya cerita itu.
Bagi saya tidak soal. Bila mungkin bagi hadirin sekalian atau bagi ceramah ini sendiri
bermasalah, terkesan cerita dipaksakan, hal itu bukanlah soal bagi saya. Jujur saja, saya
tak berniat memaksakan. Tepatnya menganjurkan kepada hadirin sidang keilmuan yang
terhormat, untuk menangkap kesungguhan ceramah saya, meski ini cuma sepenggal
cerita. Karena itu bagi yang tidak siap sungguh mendengarkan, mencermati dan
menikmati ceramah saya, sebaiknya tak perlu dilanjutkan dan cukup sampai di sini saja.
Sama sekali bagi saya bukan suatu soal, ceramah saya didengar oleh orang yang terpaksa
hadir dan memperhatikan atau tidak. (KEPADA PENONTON) Bagaimana? Terus atau
diakhiri sampai di sini? (KEMBALI MENJAGA POSISI AGUNG DENGAN
MEMPERBAIKI DASINYA. MELIHAT LAJU ARLOJI TANGANNYA) Saya serius
berharap mendapat perhatian dari saudara, bapak-bapak, ibu dan para intelektual
budiman yang respek dengan masalah bahaya racun tembakau dan akibat-akibat buruk
dari asap rokok. Meskipun, di lingkungan kedokteran tentu saja racun-racun yang saya
maksudkan terkandung pada rokok itu bisa dimanfaatkan untuk keperluan-keperluan
medis. Rokok dikenal berbahaya bagi tidak saja kepada tuannya, tetapi juga
(BERHENTI SEBELUM KEMBALI KE MASALAH PRIBADI).
Biasanya saya menulis cerita-cerita saya, juga menyampaikan ceramah-ceramah saya itu
sambil merokok. Terutama bila menulis cerita saya perlu melepas baju agar perasaan dan
tubuh saya terbebas dari beban, sambil sesekali memelintir kumis saya tanpa sadar.
Hanya kebiasaan saja. Tapi karena saya diminta ceramah masalah bahaya asap rokok,
maka mustahil itu saya sampaikan sambil merokok. Bukti bahwa saya masih punya
etika, masih waras. Apa kata dunia bila saya ceramah bahaya asap rokok dengan
merokok? Apalagi bila musti dengan telanjang dada. Bisa-bisa saya sunat lagi. Maksud
saya honor saya disunat lagi. Ah, mungkin saudara-saudara sekalian sudah menduga ini
hanyalah upaya saya untuk menghibur diri dari pekerjaan yang dibebankan oleh istri
saya, agar saya tak berpikir bahwa sebenarnya pikiran, hati, perasaan, imajinasi,
persepsi, interpretasi saya sedang dihisap oleh istri saya sendiri. Walau sebetulnya,
pikiran-hati, perasaan, imajinasi dan tetek mbengek itu semua sudah selama tigapuluh
tahun lebih telah dihisap istri saya tidak saja dalam hal cerita. Khususnya, ketika kami
saling menghisap di kamar, di tempat tidur atau di lantai sampai kami membuahkan
tujuh orang puteri yang cantik-cantik dan tak kalah hebatnya dibanding ibunya itu.
(MELIHAT KEMBALI PUTARAN ARLOJI) Jadi sebetulnya dalam hal menghisap ini,
bagi saya, istri saya serupa dengan rokok. Pada saat saya sedot, diam-diam melalui
mulutnya ia menebar 4000 zat kimia beracun untuk dibenamkan di tubuh saya sampai
suatu saat ganti menyedot hidup saya. Biasanya saya ceramah mata yang kanan
kekediban yang hadirin tak usah hiraukan; itu lantaran senewen. Saya orang yang sangat
gugup, umumnya; dan kedipan-kedipan ini sudah mulai sejak kelahiran anak perempuan
keempat saya, dan sejak kesibukan sehari-hari saya sebagai intelektual membuat saya
seperti ini sekarang. (MASIH MEMANDANGI SISI ARLOJI) Karena sempitnya waktu,
sebaiknya ceramah saya jangan melantur yang tak ada hubungannya dengan rokok.
(TERBURU-BURU) Sebelum saya lupa, sebaiknya saya ceritakan bahwa istri saya
punya jam terbang kegiatan sosial dan amal yang luar biasa. Sering bepergian tidak saja
di luar pulau tapi juga ke luar negeri. Meski jarang bertemu, karena dia telah lama
mendelegasikan seluruh urusan keluarga kepada saya, bila bertemu kami banyak
bercerita tentang kebobrokan negeri ini. Dia mengomel kesana kemari tentang
kesusahan zaman, kemiskinan, korupsi. Padahal, dia sama sekali hidupnya jauh dari
kondisi itu semua. Uangnya banyak, makannya kenyang, tidurnya nyenyak, liburannya
enak. Sementara suaminya, saya ini, hanya jadi pendengar. Uang saya tak pernah lebih
dari cukup. Hanya dari hasil keahlian saya sebagai penulis cerita dan ceramah-ceramah
saya. Soal keahlian saya mengurus kamar indekos dan menjaga rumah tangga, mulai dari
belanja kebutuhan makanan, keperluan anak-anak, obat flu, supermi, sampai tusuk gigi
atau pembalut dan lain-lain yang tak saya tahu muasal duitnya. Saya cuma pegang
ballpaint, mencatat di buku laporan keuangan. Terkadang bila saya lupa, malah saya
bawa ke kebun karena saya juga merangkap tukang kebun, atau sambil menyiapkan
makanan untuk kucing-kucing kami. Saya punya tiga ekor kucing. Di depan istri saya
sering saya belai dan anehnya istri saya tidak marah. Ini mungkin bumerang bagi saya
memelihara kucing. Suatu malam, saya membuatkan masakan paling enak untuk istri.
Makanan kesukaannya itu martabak telor. Berbeda dengan saya, soal makanan, saya
memang jarang makanan yang tidak saya suka. Singkatnya, malam itu istri saya tidak
berselera dengan masakan martabak buatan saya. Semula ia suruh simpan martabak itu
di almari, barangkali lain kali bangkit lagi seleranya dengan masakan buatan saya. Tapi
kemudian berubah pikiran. Lemparkan saja martabak itu pada ketiga kucing
kesayanganmu! katanya. Sebetulnya, saya tersinggung mengapa tidak diberikan kepada
saya, yang harus jujur saya akui malam itu mengalami lapar luar biasa dan ia tahu tidak
ada satupun jenis makanan yang jadi pantangan saya, tak ada yang tak saya suka. Ah,
saya pikir beruntung martabak itu diberikan kepada kucing kesayangan saya. Jadi saya
bisa minta cerita pada ketiga kucing itu untuk mengisahkan kelezatannya pada perut dan
lidah saya. Ah, tapi ceramah saya sudah ngelantur lagi, sudah menyimpang dari
pokoknya. (ARLOJI MAKIN MENAKUTKAN BUATNYA)
Saya mengerti, hadirin sekalian lebih senang menikmati ceramah-ceramah cerita
masalah romantis, percintaan remaja, atau tragic comedy dan tentu saja seks. (NYANYI-
NYANYI LAGU REMAJA atau CERITA LUCU SEPUTAR SEKS). Tapi alangkah
baiknya sebelum lupa, saya katakan bahwa selain menjaga urusan rumah tangga,
menulis cerpen, ceramah, saya juga diserahi membuat kliping koran tentang masalah
keagamaan dan masyarakat, sesekali melatih kegiatan teater terutama bila untuk
kegiatan amal, mengikuti rapat-rapat di lembaga dewan rakyat atau menghadiri
undangan komunitas ilmiah dan lembaga swadaya masyarakat. Semua itu atas
permintaan istri saya, bukan atas kemauan saya sendiri. Huh, tapi ada satu hal yang perlu
anda tahu. Terus terang, saya menulis cerita dan berceramah seperti yang saya
sampaikan kepada hadirin ini, saya tidak peduli dimuat atau tidak dimuat di media.
Karena itu tidak akan pernah saya tunjukkan pada istri saya mengenai isinya. Saya hanya
perlu membacakan judulnya saja: RACUN TEMBAKAU. Itu pun tak membuat saya
habis kekawatiran. (MAKIN RUSUH) Yang saya takutkan berikutnya, bila istri saya
membuka website koran yang memuat cerita saya, sehingga jadi tahu keseluruhan isi
pikiran saya. Meski andaikan tahu, aku masih punya alibi baru karena itu semua atas
kemauaannya. Syukurlah, setidaknya hingga kini masih selamat, jalan cerita halus
mulus. Ceramah saya di tempat ini pun masih aman-aman saja. Berikutnya, tentu yang
perlu kuwanti-wanti adalah setiap yang mendengar ceramah ilmiah saya ini, dan yang
membaca cerita-cerita saya ini, saya peringatkan kepadanya, agar tidak menceritakan
isinya kepada istri saya, apalagi membacakan dan menguraikan di depannya. Jangankan
satu alenia, satu kalimat pun, bahkan satu kata pun jangan ia sampai dengar dari orang
lain. Karena bukan mustahil bila orang lain yang berpesan, ia tak segan menyampaikan
kalimat: Istri saya adalah racun bagi diri saya. Mungkin, andaikan itu pun terjadi, saya
masih menangkis dengan kata lain yang tak kurang lebih mengerikan, maksudnya itu
adalah: Istri saya itu seperti rokok. Saya memang tak punya nyali untuk mengutarakan
maksud sebenarnya, yaitu: NIKMAT DIHISAP DAN KUAT MENGHISAP. Karena
sebetulnya saya sedang berbicara tentang diri saya sendiri, bukan istri saya atau
pengakuan pembaca setelah membaca cerpen-cerpen saya, atau pernyataan hadirin
sekalian setelah mengikuti ceramah saya. Sayalah yang tidak punya nyali, tua dan
bodoh. Hidup saya di tengah keluarga telah melampaui dari tragic comedy. Satu-satunya
yang membangun spirit hidup adalah mempersulit diri setiap jengkal perjalanan hidup
saya dengan membuat cerita-cerita seperti ini, ceramah-ceramah ilmiah kayak begini.
(MELIHAT SEKELILING UNTUK BEREMPATI DIRI) Harus jujur saya akui, kini
melalui kesempatan seperti ini, juga dalan cerita-cerita saya meski kelihatan enjoy,
sesungguhnya saya ingin berteriak berontak setinggi langit atau lari ke ujung dunia
sesuatu hal yang jelas amat sulit saya lakukan. Kepada siapa saya bisa mengadu? Ah,
obat mujarab yang bisa saya lakukan hanyalah: Saya ingin menangis. (MENANGIS)
Aku menangis bukan minta dikasihani. Tapi saya menangis karena ceramah saya pada
kesempatan bermain drama ini menghendaki saya menempuh pembebasan dengan cara
itu. Terserah, apa kata saudara-saudara sekalian, karena ini kenyataan paling pahit bagi
saya waktu merasa sendiri, sepi, dan sunyi di tengah keluarga saya yang seperti ini.
Bermain drama ceramah ilmiah itu sulit. Saudara-saudara sekalian boleh menyalahkan
saya, dan memang sedikit banyak saya merasa bersalah. Tapi kalau hadirin sekalian
berkata, anak-anak perempuan sayalah seharusnya yang bisa mengusir kesunyian ini, itu
sama sekali tidak benar. (MEMPERTONTONKAN SISA BANGGA) Anak-anak saya
seperti anak-anak zaman sekarang tidak mau tahu dan tidak banyak tahu. Mereka cuma
maunya beres, cekikikan di sana-sini, hidup bergaya pakai barang buatan Eropa-
Amerika. Oya, istri saya punya 7 anak perempuan. Yang sulung Ana, umur 27 tahun,
yang bungsu sudah umur 17. Saudara-saudara sekalian yang budiman, juga yang pernah
membaca cerita-cerita saya, sekali lagi dengan hormat saya minta: Jangan ceritakan
apapun mengenai ceramah ini dan cerita saya seperti ini pada istri saya. (KEMBALI
PERCAYA DIRI). Saya memang sengsara, menderita, dungu, dan tidak berarti. Tapi,
dengan ceramah dan hadir di sini, serta melalui cerita-cerita saya, saya harus tunjukkan
sayalah seorang ayah yang paling bahagia. Sudah seharusnya seperti ini dan saya tidak
punya nyali menafikkan ini. Tigapuluh tahun lebih bukan waktu yang pendek untuk
penderitaan saya ini. Harus saya katakan itulah sepanjang waktu paling subur. Dan
penderitaan itu harus anda sekalian ketahui ceramah dan cerita-cerita saya adalah titik
terang kebahagiaan itu. Sekarang. Yang lain prek! Persetan! Inilah tiba saatnya
kesempatan menyingkap titik terang dalam hidup saya. Sesukaku.
(MERATAP DALAM HENING) Saya ini sangat penakut, tapi ternyata anak-anak
perempuan saya juga telanjur menjadi korban dari kehendak hidup istri saya. Dari
ketujuh anak-anak perempuan saya, satupun belum ada yang kawin. Mungkin karena
pemalu. Tapi jangan-jangan memang dilarang kawin oleh ibunya, karena yang dia tahu
tentang laki-laki hanyalah saya bapaknya. Tapi satu hal yang pasti, istri saya paling tidak
suka bikin pesta, dia tidak pernah undang siapa-siapa untuk hadir dan makan, dia kliwat
judes, adatnya jelek, perempuan tukang cekcok, sehingga tidak ada yang mau bertamu.
(MELIHAT LAGI SEKELILING) Tolong, saudara-saudara untuk tidak mendengarkan
bagian cerita ini karena maafkan kalau saya tidak percaya sepenuhnya pada anda, bahwa
bakal tidak menceritakan ini pada istri saya. Ini yang perlu anda sekalian ketahui, saya
lebih bebas bila menghadiri pesta tanpa istri dan anak-anak. Tentu bisa diduga apa yang
terjadi. Mabuk! Sayalah pemabuk dengan minuman apapun yang memabukkan, karena
dengan demikian inilah cara kedua saya mampu berasa bahagia sekaligus sedih. Sulit
memang mengambarkan kemabukkan seperti ini. (MENGUMBAR GAIRAH) Namun
bermain dramalah gambaran paling mudah untuk menyingkap perasaan seperti seperti
itu. Bahagia tapi sedih. Semacam kebahagian tapi palsu. Atau kebahagiaan yang hanya
ada dalam cerita. Kebahagiaan yang disusupi sesuatu yang membikin aku ingin lari,
ingin segera minggat. Oh, andai saudara-saudara sekalian bisa merasakan bagaimana
saya ingin melakukan itu! Lari, meninggalkan semua ini, lari tanpa menengok asalkan
bisa minggat dari kehidupan yang hina, kejam, marah ini, yang sudah menjadikan saya
tua bangka bobrok, tua bangka edan; minggat dari si pelit goblok, galak, dengki, yang
jiwanya sempit serta menjengkelkan itu. Istri saya itu, yang sudah menyiksa saya lebih
TIGA PULUH tahun lamanya! Saya ingin minggat dari kemunafikan, dari dapur, dari
urusan duit istri saya, dari segala persoalan tetek mbengek. Lari untuk berhenti di suatu
tempat yang jauh, jauh sekali di suatu padang, untuk berdiri menjulang seperti pohon,
seperti tiang, seperti memedian pengusir burung, di bawah langit yang lebar, dan
semalaman terus memandang bulan terang yang sunyi di atas kepala, lalu melupakan,
melupakan! (NYARIS MENGIGAU) Oh, saya merindukan kemampuan tidak
mengingatku. Betapa saya tidak sabaran lagi untuk menjambret jas tua, beluhuk ini,
yang 33 tahun yang lalu saya pakai pada pernikahan kami. Saya betul-betul merindukan
kemampuan tidak mengingat. Saya merindukan kepala saya, pikiran saya, perasaan saya,
emosi saya bersih dari segala noda bernama ingatan. Bersih seperti kertas putih yang
dihapus dari catatan harian, angka-angka dan daftar utang piutang. Ingatanlah yang telah
membawaku melompat-lompat, menyeret-nyeret pada jurang masa lalu, masa kini dan
masa depan. Ingatanlah yang menyebabkan saya muter-muter ke sana kemari. Ya saya
sih sudah muter balik kemari ke sana, tapi ujung-ujungnya tetap karena saya punya
ingatan. Ini yang menyiksa saya, menyulitkan saya. Saya merindukan saat saya tak perlu
sibuk tahu berapa umur saya, siapa istri saya, dan mau apa besok sesudah pentas drama
ini usai. Bayangkan bila saya tak punya ingatan, betapa jernih hidup sehari-hari saya.
Tak perlu aku mengisahkan bagaimana si kutu loncat istri saya itu menghisap saya
seperti hingga lebih tahun ke tigapuluh ini. Saya bayangkan bila saya tanpa ingatan,
maka saya hanya perlu bermain sesuka saya, bermain drama sekehendak saya, karena
bagi saya setiap waktu adalah masa kini. Masa kini, masa kini thok!. Drama ini tak bakal
serumit dan sesulit pertunjukan malam ini. Atase drama wae, kok! Tapi kenyataannya
malam ini tidak sebegitu enteng. Kenyataannya, saya perlu mempersulit diri dalam
bermain drama biar katanya lebih berbobot. Padahal itu jelas-jelas menyiksaku,
menganiaya saya. Anda-anda ternyata senang kan bila saya tersiksa? Saya juga jadi
nggak tahu kenapa, saya juga senang menyiksa diri. Heran saya! Padahal saya tahu ini
penyakit mashokis, senang menyiksa diri. Syukurlah, cintalah yang membuat saya betah
dan terhibur di tempat ini, dunia ini, pertunjukan ini: Istri dan drama. Cinta pula yang
menyebabkan saya perlu sedikit kompromi dengan ingatan, penderitaan, kekonyolan.
Saya perlu mengajak bercanda masa lalu, masa kini dan masa depan dengan cara seperti
ini: Berputar-putar saja tanpa harus memikirkannya. Saya perlu bercengkerama dengan
nama-nama baru yang telah hidup di pikiran, hati, perasaan dan emosi saya,
sebagaimana halnya saya memanggil KUTU LONCAT pada istri. Jujur saja saya tak
perlu memikirkan itu semua bila saya tak ingin lebih tersiksa lagi dengan ingatan seperti
ini. Susah. Sungguh Susah. Susah Sungguh menjadi orang cerdas seperti saya. Mungkin
sudah menjadi ciri khas bahwa mutlak bagi orang CERDAS untuk SUSAH SUNGGUH!
Atau salah satu syarat menjadi CERDAS adalah SUSAH SUNGGUH. Atau bila ingin
menjadi CERDAS harus belajar SUNGGUH SUSAH. Ah! Mana yang benar? Kok
SUSAH SUNGGUH jadi orang CERDAS! .....
(MENGAMUK. MEMBUANG HURUF-HURUF PADA LAPTOP)
Sampah! Sampah!
(HENING. DAN PAK HARMAN MEMUNGUTI LAGI. SAMBIL MELANJUTKAN
CERAMAH)
(MENGAMBIL SEBATANG ROKOK. TAPI CEPAT SADAR. LALU MENCABUT
DENGAN KASAR ROKOKNYA YANG TELAH TERJEPIT DI ANTARA DUA
BIBIR. MEMBUANG DI LANTAI BAWAH KAKI)
Rasakan! Puntung buntung! Tak bawa untung! Kuinjak-injak kau! Rasain!
(MENGINJAK-INJAK) Saya sudah tua, melarat, sengsara, menderita. Saya sudah nyaris
habis menghisap kamu tapi kamu tak habis-habisnya menghisap saya! Keinginan saya
tidak muluk-muluk. (TIBA-TIBA SEBENTUK BENDA YANG LUAR BIASA
BERUKURAN BESAR JATUH DARI LANGIT-LANGIT: SEBUAH ROKOK.
AMARAH PAK HARMAN PUN MEMUNCAK. LALU DISUSUL TARIAN
PENGGODA DENGAN MENGUSUNG BENDA BESAR ITU SETELAH TERLEBIH
DULU BERHASIL MEREBUTNYA) Saya sebagai lelaki hanya ingin mendapat hidup
yang bersih, tidak dihisap, kalaupun saya menghisap kamu itu karena saya
membutuhkan kenikmatan kamu. Saya pernah muda, saya pernah belajar di universitas,
saya pernah bercita-cita, saya pernah menganggap diri saya seorang lelaki. Saya cukup
punya kehormatan untuk mendapatkan hidup yang bersih, tidak terus-terus dihisap, dan
mengumpulkan penyakit di tubuh saya. Sekarang aku tidak mau apa-apa! Tidak mau
apa-apa selain istirahat, hei kamu biniku sialan!
(TERKEJUT DAN PANIK MENDENGAR ISTRINYA HENDAK TIBA) Maaf, hadirin
sekalian, istri saya sepertinya mau memeriksa pekerjaan saya. Dia hampir tiba di sini.
Kalau anda ditanya, mohon katakan dengan jawaban, Cerita saya hanya untuk ditonton
para perokok dan tentu saja perokok pasif karena di tubuhnya dibenamkan 4000 racun
asap rokok. Katakan juga seluruh rangkaian monolog drama ini didedikasikan untuk
para korban kekejian asap dari pecandu rokok yang kian menggurita di dunia.
(PAK HARMAN KIAN JADI PANIK) Katakan juga bagi yang bukan perokok bisa
dimengerti bila kurang paham drama cerita saya ini sssstttt...karena saya perokok.
(MERASA ISTRINYA DI AMBANG PINTU. PAK HARMAN RUSUH LUAR BIASA.
KACAU, MEMBENAHI BAHAN CERAMAH ILMIAHNYA. SAMBIL MULUTNYA
SEPERTI MESIN BERCERITA. BARANGAKALI PAK HARMAN KINI SEDANG
MENGALAMI KEGONCANGAN JIWA)
Menurut data yang dihimpun Center for Relegion and Community Studies (CRCS), data
tahun 2007 angka cukai rokok mencapai Rp 37 triliun. Bayangkan, bila dari perolehan
upeti sebesar itu, negara perlu mengeluarkan sejumlah Rp 167 triliun untuk menangani
akibat penyakit yang ditimbulkan rokok. Fakta ini akan lebih mengejutkan kalau kita
melihat bahwa hampir 70 persen perokok adalah warga miskin yang notabene jaminan
kesehatannya menjadi tanggungan negara. Dan tercatat 456 perokok meninggal dunia
dalam setiap jam. Di Indonesia, rata-rata 427.948 jiwa melayang oleh sebab yang sama.
Tahun ini (2008), menteri keuangan Ibu Sri Mulyani mengumumkan ada Dana Alokasi
Cukai Hasil Tembakau Rp 200 miliar. Sayang itu digunakan untuk urusan tetek mbengek
cukai juga. Jadi tidak ada urusan dengan perokok. Apalagi yang sudah sekarat akibat
asap rokok.
MUSIK PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai