Anda di halaman 1dari 2

Manusia di balik tembok

Kali ini aku sedang bingung, tapi jangan menganggap kebingunganku ini menjadi sesuatu yang begitu
lucu untuk dicermati dari segi tulisan ini. Coba kalian yang sedang membaca tulisan asal-asalan ini
membuat imajinasi ataupun kisah-kisah yang telah kalian lewati. Pastinya kita akan begitu sama dalam
kisah yang sudah kita lalui di dalam tembok yang menjenjang tinggi di tengah kota Jakarta. Harusnya sih
ya, awal tulisan ini buat perkenalan, tapi biarin saja lah, soalnya pasti ada beberapa manusia yang
merasakan.

Sekarang mari dengar kicauan asal-asalan ini, awalnya sih tentang perkantoran. Pasti kelihatannya enak
di kantor gitu, banyak yang kerja, terus dapat duit, dan juga punya banyak kenalan bahkan pengalaman.
Yapp betul sekali kalau jadi orang kantoran itu seperti yang aku jelaskan sebelumnya. Jangan lansung
pakai kata “tapi” deh soalnya kayak ada gugatan perasaan dari suatu cerita yang pernah dialami. Nah,
kalau gitu telaah sedikit saja deh kalau di dalam kantor itu ya gak cuma soal ekonomi manusia, lain
halnya bagi manusia yang berjiwa bebas memasuki perkantoran.

Jadi ya salah orangnya itu aku sendiri yang menulis tentang ceritaku sendiri, bukan curcol (curahan hati
colongan) tapi sebongkah keresahan lulusan muda dari perguruan tinggi yanh agak kaget dengan budaya
kantor. Bayangkan saja kalau dirimu mempelajari stratifikasi, kelas sosial, struktur sosial, simbolik,
kesadaran, sastra, dan beberapa lagi yang mesti disebutkan heuheu. Awalnya sih aku mempunyai
bawaan biasa saja sama budaya hirearki di perkantoran, tapi lama kelamaan timbul pertanyaan di
kepalaku yang selalu berputar-putar ketika aku duduk di meja kerjaku sambil memandangi sepinya
lingkungan kantor.

Setelah beberapa lama hidup terkekang dalam meja kerjaku seperti dalam jeruji besi yang kecil
beruluran 1,5m x 1,5m. Aku tersadar akan simbolik kantor yang begitu lucu bagiku, mungkin menurutmu
juga begitu yang menanggap lingkunganmu sama sepertiku.

Awalnya aku selalu melihat simbol dari pembicaraan para pekerja. Dimulai dari adanya acara makan
bersama atau yang lainnya. Pertanyaanku yang terbenak mungkin akan menjelma dalam pikiranku dan
selalu membayangiku sampai aku tertidur lelap di atas kasur empuk yang berdebu. Salah satu
pertanyaanku ketika para manusia harus membedakan piring makan untuk orang yang mempunyai
jabatan lebih besar itu menurutku menjadi pertanyaan yang sangat mendalam. Apakah harus kita
sebagai manusia membedakan sebongkah piring makan untuk menikmati sebutir nasi yang membuat
perut kita kenyang?

Jawabannya akan ketemu kalau aku sedang berpikir tentang tulisan dari Mochtar Lubis, mengenai kosa
katanya yang tercuap dengan sebutan ABS (Asal Bapak Senang). Bahkan ABS itu masih meraja rela
sampai sekarang dan tertanam di generasi yang katanya milenial dengan pendidikan yang mungkin lebih
pintar dan modern.

Lain halnya yang dimaksudkan dari hal tersebut adalah etika, sopan, dan santun antara hirearki dari
bawah ke atas. Kemungkinan ini hanyalah spekulasiku sendiri, karena ini hanyalah gambaranku saja yang
menuai citra dari sebelah mataku dari sudut pandang sosiologis. Memang budaya akan menjadi modal
simbolik bagi setiap lingkungan yang merasakan budaya ABS. Bahkan modal tersebut dapat
menimbulkan tekanan yang dalam ketika kita berhadapan atau bertemu lansung dengan sang bapak
atau ibu yang menjadi habitus dan terus di reproduksi oleh kalangan tertentu.
Kemungkinan ini baru satu pertanyaan, mungkin kita punya beberapa lagi pertanyaan yang memerlukan
jawaban antara aku, kamu, dan dia.

Lalu yang saat ini kupertanyakan itu ialah saat sang bapak atau ibu mempunyai kuasa yang kuat, apakah
mereka dapat menggunakan kuasa itu dengan kebijakan dan kebajikannya dengan kuasa yang mereka
miliki?

Persoalan ini pasti ada beberapa yang mengalami secara sengaja atau tidak disengaja, omongan ke
omongan, gosip ke gosip. Soalnya aku sendiri pun memiliki cerita menarik, ketika sang bapak menyalahi
prosedur yang menjadi etika mereka untuk mencotohkan pada orang-orang, mereka akan menunjukkan
kuasa mereka untuk melawan prosedur itu sendiri. Padahal, mereka sendiri lah yang membuat prosedur
itu sendiri dan mereka juga yang menjadi hipokrit demi menampakkan wajah mereka dengan tulisan-
tulisan yang dianggap sebagai prosedur itu sendiri.

Tapi jangan anggap ini keseriusan yang pernah terjadi di lingkungan kita, anggap saja angin lewat seperti
badai topan yang pasti berlalu dan membuat bunga-bunga bermekaran di taman.

Maka tulisan ini hanyalah kisah ilusi semata yang membuatku kebingungan, kalaupun kisah ini adalah
kenyataan dalam kehidupan kalian, aku hanya mengucapkan beberapa kata untuk yang mengalaminya.
Segeralah menarik nafas sangat dalam dan hembuskanlah perlahan agar kalian dapat menenangkan diri
karena adanya kuasa yang unik dari manusia. Memang terkadang manusia suka melucu, tetapi kita sulit
untuk tertawa, karena kita hanya manusia lucu yang nantinya bisa berubah isi hatinya.

Anda mungkin juga menyukai