Anda di halaman 1dari 2

Padahal sudah Kami Jaga

Karya: Rizki Wijayanti


Beginning
Sa bukanlah orang yang tra mau mengikuti perkembangan zaman
Kalian anggap sa kuno, primitif, ketinggalan zaman, hitam, dekil pula
Bahkan ada yang menganggap kitorang pemuja setan yang tra ada Tuhan
Terserah suda,
Tapi perlu Kamorang ingat e, bukan perbedaan yang memisahkan, tetapi ketidakmampuan
kitorang untuk mengenali, menerima, dan merayakan perbedaan itu.
Satu lagi yang perlu kamorang ingat, hancurnya sebuah negara diawali dari hilangnya
kebudayaan.
Middle
Sa terlahir sebagai orang Timur,
Iyo!! Sa bagian dari Papua
Papua yang melahirkan banyak budaya
Sa pu tifa (bunyi tifa pada tari tifa) biasa kita pakai itu tifa untuk mengiringi kitorang pu
tarian. Tarian kitorangpun banyak
Sajojo? Berarti kita menari bahagia
Yospam? Karna kita menari layaknya saudara
Ko berkunjung ke Papua? Kitorang pu tari kafuk. Senang-senang suda
Papua pu upacara adat yang tra biasa
Bakar batu, Tanam sasi, Ritual perlindungan (bangga)
Wisatawan su datang ke daerah kitorang pasti tra mau pulang (senyum)
(Konflik)
Hah!!
Tapi untuk apa? Untuk apa budaya yang kitorang jaga selama ini? Ternyata kitorang malah
diserang deng bangsa sendiri.
Torang sadar, belajarlah! Belajar yang sungguh-sungguh
Anak-anak torang adalah harapan Papua
Biar suda mereka belajar dan menjadi apa yang mereka cita-citakan
Anak-anak torang, su kirim ke pulau tetangga
Torang kira, masih di dalam negara, anak-anak Papua aman suda
Ternyata.. rasisme dan diskriminasi yang anak-anak torang dapat
Anak-anak Kami, harapan Papua
Tapi apa yang kalian lakukan kepada anak-anak kami?
Setiap pucuk surat yang anak-anak kami kirimkan
Mereka selalu bercerita tentang kerasnya kehidupan di tanah air mereka
“Mama, sa harus apa? Sa tra pernah mengganggu mereka tapi mereka selalu hina-hina sa.”
(Percakapan dengan teman)
Teman 1: “Hei, Papua! Kenapa kulit kalian hitam? Makan apa nenek moyangmu? Hahahaa”
Teman 2: “Hei, Hitam! Nggak usah deket-deket! Kalian itu bau!”
“Demi nenek moyang, sa tra pernah mengusik mereka Mama. Apa yang salah deng sa pu
warna kulit? Apa yang salah deng sa pu badan?”
“Mama, sungguh sulitnya kami hidup disini. Hidup diantara diskriminasi-diskriminasi dari
saudara kita sendiri. Sa hanya ingin mengejar sa pu cita-cita, sa ingin berbaur deng saudara-
saudara kami disini.”
“Setiap hari didepan pintu kamar kami, su ada tumpukan sampah dari teman-teman kami.
Setiap kali kami bergabung bersama mereka, mereka menutup hidung dan mulai menjauh. Sa
tra tau mengapa mereka sampai memberiku nama ‘monyet’.”
Bapak Ibu yang terhormat, apakah bangsa ini su tra butuh kitorang?
Apakah warisan dan budaya leluhur kami lebih baik kita lupakan? Untuk apa kitorang jaga
warisan dan budaya ini, jika anak-anak kami tra mendapatkan hak-hak sebagai warga negara
Indonesia yang semestinya.
Bapak Ibu yang terhormat, sebenarnya kami tra terancam dengan budaya diluar sana.
Sebenarnya kitorang tra takut deng menjamurnya budaya barat di Indonesia. Kita bisa deng
mudah menjaga warisan nenek moyang kami, tetapi kitorang tra bisa jika dijajah oleh saudara
se-tanah air macam ini.
Bapak Ibu yang terhormat, berilah kami, anak-anak kami rasa aman dan tenteram. Biarlah
mereka menjemput cita-cita mereka deng tanpa rasa takut dan malu.
Closing
Sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Biar budaya ini kami jaga, bantu
dan dukunglah kami deng menjadi saudara yang sesungguhnya.

Anda mungkin juga menyukai