Beginning Sa bukanlah orang yang tra mau mengikuti perkembangan zaman Kalian anggap sa kuno, primitif, ketinggalan zaman, hitam, dekil pula Bahkan ada yang menganggap kitorang pemuja setan yang tra ada Tuhan Terserah suda, Tapi perlu Kamorang ingat e, bukan perbedaan yang memisahkan, tetapi ketidakmampuan kitorang untuk mengenali, menerima, dan merayakan perbedaan itu. Satu lagi yang perlu kamorang ingat, hancurnya sebuah negara diawali dari hilangnya kebudayaan. Middle Sa terlahir sebagai orang Timur, Iyo!! Sa bagian dari Papua Papua yang melahirkan banyak budaya Sa pu tifa (bunyi tifa pada tari tifa) biasa kita pakai itu tifa untuk mengiringi kitorang pu tarian. Tarian kitorangpun banyak Sajojo? Berarti kita menari bahagia Yospam? Karna kita menari layaknya saudara Ko berkunjung ke Papua? Kitorang pu tari kafuk. Senang-senang suda Papua pu upacara adat yang tra biasa Bakar batu, Tanam sasi, Ritual perlindungan (bangga) Wisatawan su datang ke daerah kitorang pasti tra mau pulang (senyum) (Konflik) Hah!! Tapi untuk apa? Untuk apa budaya yang kitorang jaga selama ini? Ternyata kitorang malah diserang deng bangsa sendiri. Torang sadar, belajarlah! Belajar yang sungguh-sungguh Anak-anak torang adalah harapan Papua Biar suda mereka belajar dan menjadi apa yang mereka cita-citakan Anak-anak torang, su kirim ke pulau tetangga Torang kira, masih di dalam negara, anak-anak Papua aman suda Ternyata.. rasisme dan diskriminasi yang anak-anak torang dapat Anak-anak Kami, harapan Papua Tapi apa yang kalian lakukan kepada anak-anak kami? Setiap pucuk surat yang anak-anak kami kirimkan Mereka selalu bercerita tentang kerasnya kehidupan di tanah air mereka “Mama, sa harus apa? Sa tra pernah mengganggu mereka tapi mereka selalu hina-hina sa.” (Percakapan dengan teman) Teman 1: “Hei, Papua! Kenapa kulit kalian hitam? Makan apa nenek moyangmu? Hahahaa” Teman 2: “Hei, Hitam! Nggak usah deket-deket! Kalian itu bau!” “Demi nenek moyang, sa tra pernah mengusik mereka Mama. Apa yang salah deng sa pu warna kulit? Apa yang salah deng sa pu badan?” “Mama, sungguh sulitnya kami hidup disini. Hidup diantara diskriminasi-diskriminasi dari saudara kita sendiri. Sa hanya ingin mengejar sa pu cita-cita, sa ingin berbaur deng saudara- saudara kami disini.” “Setiap hari didepan pintu kamar kami, su ada tumpukan sampah dari teman-teman kami. Setiap kali kami bergabung bersama mereka, mereka menutup hidung dan mulai menjauh. Sa tra tau mengapa mereka sampai memberiku nama ‘monyet’.” Bapak Ibu yang terhormat, apakah bangsa ini su tra butuh kitorang? Apakah warisan dan budaya leluhur kami lebih baik kita lupakan? Untuk apa kitorang jaga warisan dan budaya ini, jika anak-anak kami tra mendapatkan hak-hak sebagai warga negara Indonesia yang semestinya. Bapak Ibu yang terhormat, sebenarnya kami tra terancam dengan budaya diluar sana. Sebenarnya kitorang tra takut deng menjamurnya budaya barat di Indonesia. Kita bisa deng mudah menjaga warisan nenek moyang kami, tetapi kitorang tra bisa jika dijajah oleh saudara se-tanah air macam ini. Bapak Ibu yang terhormat, berilah kami, anak-anak kami rasa aman dan tenteram. Biarlah mereka menjemput cita-cita mereka deng tanpa rasa takut dan malu. Closing Sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Biar budaya ini kami jaga, bantu dan dukunglah kami deng menjadi saudara yang sesungguhnya.