“KARTINI”
PROLOG
Apa salahnya kami sebagai wanita punya kehidupan mandiri?
Menggapai cita-cita dan memilih jalan kami sendiri
Ketidaksetaraan hak antara wanita dan pria memang bukan hal yang asing bagi semua
Kita sama-sama manusia
Hak mereka berarti hak kami juga
Kami pun punya hak untuk merdeka
Namun, mengapa hanya mereka saja yang leluasa?
EPILOG
Mungkin perjuangan saya tidak cukup hanya ini
Namun cerita saya sudah selesai disini
Biar para wanita hebat lain yang melanjutkan
Saya yakin ada banyak wanita lain yang juga mengagumkan
SCENE 2
Kartini berjalan menuju hadapan Bupati
Bupati : Trinil berdirilah. Duduk dekat ayah.
SCENE 3 /Flashback
Terdengar suara teriakan
Pak Atmo : Panggil ‘yu’, dudu ‘ibu’
Kartini : Emoh, dia ibu kita
Pak Atmo : Saiki koe anake bupati. Ayo bawa dia pergi
SCENE 5
Ngasirah melihat Kartini merenung di kamar pingitannya
SCENE 6
Di Pendopo. Yayu mengajari Kartini cara jalan jongkok dan diawasi oleh Moeryam
Yayu : Alon-alon, jangan buru-buru
Moeryam : Ayo mesem nil
Kartini : Nggih
Yayu : Simpuh ndoro. Tumpuannya dibelakang semua. Berhenti, nah seperti ini
SCENE 7
Kartini bersama saudari-saudarinya sedang membersihkan diri
Kartini : Iki opo toh, mba?
Yayu : Tubuh perempuan itu harta yang paling berharga, harus selalu dijaga
Yayu : Tubuh kita sendiri ini yang akan membawa kita ke takdir kita
Yayu : Jemarinya lentik sekali, orangnya cantik, gemulai
Yayu : Loh Ndoro Ajeng malah sare
SCENE 8
Di Pendopo. Kartini termenung sambil memainkan gamelan, kemudian datang kakaknya
Sosrokartono : Hei, kenapa melamun? Aku punya hadiah buat kamu nil
Kartini : Kalo kamu bisa membuat nil tidak jadi Raden Ayu, iku wis iso dadi hadiah
sing paling apik, Mas
Sosrokartono : Kalo cita-cita bisa dihadiahkan, ra ono wong kayak Pandita Ramabai
Kartini : Wong tubuhnya Ramabai ga dikurung di kamar pingitan
Sosrokartono : Tubuh bisa hancur ditelan tanah atau dibakar di atas kayu bakar. Tapi
pikiranmu tidak ada batas waktunya
Kartini : Halah, omong kosong
SCENE 10
Di taman. Kartini sedang menulis surat untuk kakaknya
Kartini : Kangge Kang Mas Sosrokartono yang saya tresnani di negoro Londo. Terima
kasih banyak atas hadiah yang sangat berharga ini. Panjenengan leres Kang
Mas, tidak ada yang lebih berharga selain membebaskan pikiran. Tubuh boleh
terpasung tapi jiwa dan pikiran harus terbang sebebas-bebasnya.
SCENE 11
Di taman. Kartini membaca surat balasan dari kakaknya
Sosrokartono : Adikku Trinil. Tidak ada yang lebih membahagiakan dibanding mendengar
kabar baik darimu. Aku yo seneng akhire koe nemuke kebebasanmu.
Kartini : Itu semua berkat kang mas
Sosrokartono : Aku tidak akan memberikan kalau kamu tidak memintanya
Kartini : Kang mas sing paling ngerti isine atiku
Sosrokartono : Begini nil. Apa yang kamu miliki saat ini tidak akan ada artinya kalau untuk
kamu sendiri. Kamu harus berbagi. Perubahan tidak bisa berjalan sendirian.
Kartini : Enggeh mas
SCENE 12
Moeryam membuka pintu kamar pingitan (Kartini)
Moeryam : Sudah waktunya adik-adikmu masuk pingitan
Kartini : Baik, Ibu
Moeryam : Ayo masuk
SCENE 13
Di kamar pingitan. Adik-adik Kartini sedang menyembah Kartini sesuai perintahnya
Kartini : Sejak semua kang mas dan mbak yu kita menikah, aku yang paling berkuasa
disini. Kalian tau harus menuruti siapa, kan?
Kardinah : Tau mbak yu. Tapi kalau nyembah sampai pegel seperti ini baru kali ini
Kartini : Koe ngomong apa? Pegel? Dadi Raden Ayu itu kalian harus melayani laki-
laki yang bukan pilihanmu sendiri. Memangnya kalian mau?
Kardinah : Apa tidak ada pilihan, Mbak yu?
Kartini : Ya jelas ga ada. Tapi kita bisa jadi Raden Ayu yang Berbeda.
Kartini : Sini berdiri. Ora usah panggil aku mbak yu. Ora usah nganggo boso karo aku,
panggil aku Kartini saja ya.
Kartini : Sudah saatnya awake dewek dadi diri kita sendiri. Sekarang coba baca buku
ini, bagus banget bukunya.
SCENE 14
Di dapur. Kartini, Roekmini, Kardinah, dan Yayu sedang memasak
Yayu : Perempuan kalo pintar memasak suami jadi betah dirumah
Kartini : Kalau nil masak ya buat nil sendiri dan orang yang cinta
Yayu : Kalau Ndoro Ayu punya suami ya pasti orang yang Ndoro Ayu cintai
Kartini : Nek lanange masih bunjang, ra duwe bojo, dan mendukung cita-cita nil. Pasti
nil cintai
SCENE 15
Di ruang tamu. Bupati berbicara dengan para tamu
Bupati : Hoe gaat het met uw kind, Meneer Boron? (Apa kabar puteri anda, Tuan
boron?)
Baron : Dia sekolah di Perancis. Di sekolah pendidikan guru, itu impian dia sejak
duduk di Sekolah Dasar bersama puterimu. En hoe zit het met Kartini? Waar
gaat hij naar school? (Dan bagaimana dengan Kartini? Dia sekolah dimana?)
Bupati : Dia masih dalam masa pingitan, Tuan Baron
Ovink-Soer : Pingitan? Anda mengurung anak-anak anda dirumah, Tuan?
SCENE 16
Di kamar Bupati. Moeryam sedang merapihkan pakaian Bupati
Moeryam : Nuwun sewu kang mas. Apakah kang mas sudah yakin untuk mengeluarkan
anak-anak dari pingitan?
Bupati : Sebernanya masih dipingit hanya diberi kelonggaran saja, tidak usah
khawatir.
SCENE 17
Di rumah Ovink-Soer. Kartini dan adik-adiknya berbincang dengan Marie yang sedang
melihat batik karya Roekmini
Marie : Ini karyamu, Roekmini?
Roekmini : Iya bu
Marie : Hebat sekali, kalian benar benar membuat aku kagum
Kartini : Ibu tolong bimbing aku supaya menjadi penulis sepertimu
Marie berdiri kemudian masuk ke dalam rumah, beberapa saat kemudian dia kembali
Marie : Tulisan ini untukmu, kamu bisa belajar dari tulisan ini (Jurnal Antropologi
dan Bahasa)
Kartini : Dank je, Mama (Terima kasih, bu)
SCENE 18
Di kamar Kartini. Kartini membaca jurnal yang diberikan oleh Marie
SCENE 19
Di ruang tamu. Baron, Ovink-Soer, dan Marie bertemu dengan Bupati untuk membicarakan
penerbitan artikel
Marie : Bolehkah saya meminta anda membaca artikel ini?
Bupati : Apakah ini atrikel anda, Nyoya?
Marie : Tidak, ini artikel puteri anda, Raden Ajeng Kartini
Ovink-Soer : Tuan Sosroningrat bagaimana jika kami kirim artikel puteri anda ke Lembaga
Kerjaan Belanda
Marie : Iya betul
Baron : Dengan izin Kartini artikel ini akan dipublikasikan dengan atas nama anda,
Tuan
SCENE 20
Kartini duduk bersimpuh di depan ayahnya .
Kartini : Maaf Romo, bukannya nil tidak mau. Nanging, opo Romo yakin seratan
nipun nil sami saene pun seratanen Kanjeng Romo Hadiningrat
Bupati : Oalah ndok, sing arep ngeregani tulisanmu yo ben wong lio. Malah Romo
sekarang mau minta izin sama kamu, Romo yang akan menerbitkan ini, boleh
kan
SCENE 21
Tukang pos ngantar arikel Kartini
Tukang pos : Post post.....
Marie : Matur nuwun
SCENE 22
Di pendopo. Artikel diterbitkan Kartini senang
SCENE 23
Kartini mendapatkan kiriman dari Sosrokartono berupa surat dan buku-buku
Kartini membaca surat tersebut sedangkan saudari-saudarinya membaca buku tersebut
SCENE 24
Nil dan saudarinya membuat masakan untuk kelurga Ovink-Soer lalu Slamet dan Busono
datang
Slamet : Untuk siapa masakan ini
Kartini : Untuk Nyoya Ovink
Busono : Tuhkan bener gunjingan para bangsawan itu
SCENE 25
bupati bersama Slamet dan Busono
Slamet : Romo, saya mau izin untuk menjaga nil dan saudari-saudari sambil
menunggu surat saya menjadi bupati
SCENE
Pak Atmo : Mau kemana Ndoro?
Kartini : Mau kerumah Ovink-soer
Pak Atmo : Maaf ndoro jeng, saya diperintahkan oleh mas Slamet untuk tidak
memperbolehkan ndoro jeng keluar dari pendopo
Kartini : Aku mau nganterin tulisn saya yang akan diterbitkan besok
Pak Atmo : Saya saja yang antarkan
SCENE 26
Pak Atmo memberikan surat yang Kartni buat untuk Ovink-soer kepada Slamet
Slamet : Bakar ini, jangan sampai yang lain tau, kalau puteri keluarga sosroningrat
jadi liar pemikirannya
SCENE 27
Pintu diketuk ngasirah masuk kamar moeryam
Moeryam : Mlebu wae tutup lawange
Ngasirah : Nyuwun sewe, ada apa ndoro ayu
Moeryam : Kamu tahu kan apa yang membuatmu dipanggil
Ngasirah : Kulo hanya bisa menduga kalau ini ada hubungannya degna Ndoto Ajeng
kartini dan Ndoro Ajeng kardinah
Moeryam : Aku hanya ingin kamu tau bahwa mulai sekarang aku akan bertindak keras
terhadap anak anakmu
Ngasirah : Enggeh menawi meniko ingkang leres kulo sarujo. Sesungguhna Ndoro mas
Slamet telah bersikap keras kepada adik-adiknya. Semua ini tidak akan terjadi
jika Romonya tidak bersikap seperti apa yang selama ini dilakukannya
Moeryam : Alasanmu masuk akal, tapi dibalik alsanmu itu aku juga bisa melihat
upayamu supaya aku tidak bersikap keras kepada mereka
Ngasirah : Setiap ibu pasti ingin melindungi dan memberi yang terbaik kepada anak
anaknya. Nuwun sewu Ndoro Ayu. Menawi panjenengan ndalem mau
bersabar sedikit saja, sesungguhnya kita mempunyai harapan yang sama
SCENE 28
Di pendopo kardinah bawa surat buat kartini
Kardinah : Mbak yu ini ada surat dari Stella Zehandelaar di Den Hag. Surat
korespondensi yang kamu kirim sebulan lalu
SCENE 29
Kartini mengkhayal bertemu dengan Stella
Stella : Hai kartini
Kartini : Stella? Jadi kamu seorang feminist, Stella?
Stella : Diluar perbedaan fisiknya, saya percaya laki-laki dan perempuan punya hak
yang sama
Kartini : Dinegeriku gadis-gadis diratai kakinya, kami mendapatkan sediki kesenpatan
memperoleh pendidikan modern. Selebihnya kami kembali masuk pasungan
Stella : Saya sering membaca tulisan yang memposisikan perempuan di tanah koloni
seperti itu, saya pikir mereka menyukai posisi itu. Je hebt mijn mening
veranderd Kartini (Kamu mengubah pandanganku kartini)
Kartini : Saya harus bilang bahwa kami para perempuan jawa mempuynyai haak yang
sama seperti bangsa kalian
Stella : Semoga perjumpaan ini memuatku lebih mengerti keadaan kalian. Ik zal een
spreekbuis zijn om angst te uiten
Kartini : Bedankt stella.
SCENE 30
Di pendopo. Kartini sedang bersiap untuk mengajar
Kartini : Pak Atmo, maaf boleh tolong bawakan kapur dan makanan ringan
Pak Atmo : Nggeh, Ndoro Ajeng
Kartini : Ayo sini masuk. Tidak usah malu-malu
Kartini : Kita hari ini akan sinau bareng. Kita akan belajar aksara Londo
SCENE 31
Malam hari di pendopo. Keluarga Sosroningrat berkumpul untuk mendengarkan pengajian
bersama Ustadz
Unstadz : (Membaca surat Al-Fatihah dan terjemahannya)
Kardinah : Ayo ke kamar saja. Perasaanku ora enak
Kartini : Tunggu dulu to. Aku belum pernah mendengarkan pengajian seperti ini.
Setiap ayat punya arti sing apik
Kartini : Bu, kyai itu siapa namanya?
Moeryam : Itu kyai Soleh Dara. Pak lik kamu yang mengundang beliau untuk pengajian
keluarga ini
SCENE 32
Pengajian selesai. Kartini bergegas menemui Pak Ustadz
Kartini : Pak kyai nuwun sewu. Apakah yang tadi pak kyai baca, benar-benar arti dari
surat Al-Fatihah?
Ustadz : Kebenaran itu hanya milik Gusti Allah, Ndoro Ajeng. Saya sekedar
menyampaikan apa yang saya ketahui
Kartini : Apakah ada ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang ilmu?
Ustadz : Iqra, bacalah! Itu ayat yang pertama kali turun. Yang meminta Kanjeng Nabi
Muhammad saw. untuk membaca
Kartini : Apakah dijelaskan dalam ayat itu bahwa membaca itu hanya untuk laki-laki?
Ustadz : Semua manusia baik laki-laki maupun perempuan diwajibkan untuk
membaca
Kartini : Tapi kenapa pak kyai tidak menerjemahkan ayat Al-Quran dan membuatnya
menjadi sebuah buku?
Ustadz : Saya sudah membuatnya. Tapi banyak umat Islam lebih berusaha bisa
membaca Bahasa Arab daripada mengerti artinya
Kartini : Saya minta tolong sekali. Saya sangat ingin mengerti isi Al-Quran, Pak Kyai
Ustadz : Insya Allah. Saya pamit Ndoro Ajeng. Assalamualaikum
Kartini : Waalaikumsalam. Monggoh pak kyai
SCENE 33
Hari pernikahan Kardinah
SCENE 34
Malam hari. Di kamar Kartini. Tiba-tiba Moeryam masuk ke kamar Kartini
Moeryam : Roekmini ayo pindah kamar. Ayo pindah!
Kartini : Maaf ibu, ada apa ya?
Moeryam : Tidak usah ikut campur. Aku lebih punya kuasa ngatur Roekmini daripada
kamu. Ingat ini ya , setinggi-tingginya londo-londo itu memujamu, aku lebih
tinggi dari kamu
Moeryam : Ayo bereskan baju Roekmini
SCENE 35
Di depan kamar Bupati. Moeryam bertanya kepada Yayu
Moeryam : Yu, Kajeng Bupati sudah bangun?
Yayu : Belum, Ndoro
SCENE 36
Dokter datang, kemudian memeriksa keadaan Bupati
Dokter : Boleh saya bicara sebentar dengan Nyonya Moeryam?
Moeryam : Baik, Pak
Dokter : Maaf saya harus memberikan kabar ini, bahwa Tuan Sosroningrat memiliki
pendarahan di bagian otaknya. Untuk sementara ini Tuan Sosroningrat tidak
boleh terlalu berpikir berat
SCENE 37
Kartini sedang duduk dan berbicara dengan Moeryam dan Slamet
Kartini : Apa yang harus saya lakukan dari seorang laki-laki yang sudah memiliki 3
istri?
Moeryam : Sudah bagus Bupati Rembang yang melamarmu. Lamaranmu ini harus
dijawab dalam 3 hari. Mestine koe iku...
Kartini : Aku tidak mau mengecewakan Romo. Pangapunten, Ibu
Moeryam : Kartini!
Slamet : Tunggu bu. Nyuwun sewu, biar saya saja yang berbica dengan adik saya
SCENE 38
Ibu trinil membuka kunci pintu pingitan dan menggandeng Trinil ke tepi danau untuk
berbicara
Ngasirah : Nil, ilmu apa yang bisa kamu ambil dari Aksara Londo?
Kebebasan, ibu
Dan apa yang tidak ada dalam aksara londo?
Nil tidak tau
Bakti
SCENE 39
Flashback belajar aksara
Sekarang yu mau nulis nama trinil, tembung trinil terdiri dari 3 aksara, to,no,lo
Scene
Bagaiman apa kamu sudah siap menyandang gelar raden ayu
Kartini hanya menunduk karena ragu
Kulo sanggup saya menerima pinangan rm joyoadiningrat, tapi saya punya 3 syarat.
Kamu mau apa lagi
Sudah biarkan saja, apa syarat yang kamu mau?
Yg pertama saya tidak mau mencuci kaki kang mas rm joyoadiningrat di pelamnan, syarat
kedua saya tidak mau dibebani dengan peranatan sopan satun yg rumit dan saya mau
diperlakukan seperti orang biasa saja. Yg ketiga..
Cukup trinil, kamu hanya memikirkan dirimu sendiri. Ibu tidak akan membiarkan semua
syarat kamu itu terlaksana
Calon ketawa
Nuwun sewu romo, saya geli dengan kekawatiran de ajeng, tapi itu wajar. Itu karena dia
belum mengenal siapa saya. Oleh karena itu saya dateng kesini untuk mluruskana. Permii
romo
Nasih bingkisan
Istri sya yg mengumpulkan semua itu dia sangat memukja muja mu, dri dulu dia penen
membawa anak bertemu jeng katini, tetapi sebelum semua tu terjadi istri saya sakit dan
meninggal
Saaya turut berduka cita kang mas
Ssebelum meninggl dia ingin jika kelak dia harus pergi dia sangat ingin anak kami diasuh
oleh wanita yang kuat dan sangat pintar seperti de ajeng kartini
Aku ikhlas mereiman saray mu aku akan ikut mengawal cita citamu, bagaimana de ajeng?
Part nikah
Kartini bersimbuh ke ibu
Nyuwun pamit bu, nil mau dadi raden ayu
Nangis ibunya
Part dibelanda
Meski batal melanjutkan sekolah, kartini berhasil mendirikan sekolah perempuan di pendopo
rembang atas dukungan suaminya. Surat-suratnya kepada sahabatnya di belanda telah
dibukukan dan berhasil mempengaruhi pemikiran perempuan indonesia hingga sekarang.