Anda di halaman 1dari 6

RADEN AJENG KARTINI~

Narator : Raden Ajeng  Kartini, sosok pahlawan emansipasi wanita yang telah berhasil
memperjuangkan hak yang kini didapatkan oleh para wanita Indonesia. Dimana para wanita
Indonesia kini dapat mengenyam pendidikan yang setara dengan kaum lelaki. Berbeda dengan
saat terdahulu, dimana kaum wanita hanya bisa menggantungkan nasibnya pada adat istiadat
setempat. Seperti halnya Raden Ajeng Kartini yang hanya bisa mengenyam pendidikan dasar,
dan itupun tidak sampai tuntas.
Terkisahlah pada tahun 1891, Raden Ajeng Kartini harus mengakhiri masa belajar bersama
kawan-kawannya di sekolah, yang kemudian harus menerima pinangan dari seorang
bangsawan asal Rembang.

STEP 1
Ayah Kartini : “Kartini... Kemarilah Nak. Kartini.. Kartiniiiiiiiiii”

Kartini : “Ayah memanggilku, ada apa?”

Ayah Kartini : “Kartini, aku ingin berbicara padamu.”

Kartini : “Bicaralah Ayah, aku akan mendengarkan.”

Ayah Kartini : “Kartini, dua hari yang lalu Raden Aryo Singgih telah datang kepadaku, dia
mengutarakan keinginan hatinya untuk meminangmu.”

Kartini : “Meminangku, Ayah? Diusiaku yang sebelia ini? Tidak Ayah. Aku tidak mau.”

Ayah Kartini : “Nak, sudah waktunya kau menikah. Terimalah pinangan dari Raden Aryo
Singgih. Dia adalah seorang bangsawan Rembang, bersamanya hidupmu akan tercukupi.”

Kartini : “Ini bukan masalah kecukupan hidupku Ayah, tapi masa depanku.”

Ayah Kartini : “Masa depanmu telah berada di depan mata. Setelah menikah nanti, itulah masa
depanmu.”

Kartini : “Tidak Ayah. Bukan itu yang aku maksud. Aku tau Ayah, menikah berarti
memberhentikan sekolahku. Dan aku tidak menginginkannya. Aku ingin tetap bersekolah
Ayah.”

Ayah Kartini : “Kartini!” (membentak)

Kartini : “Ayah, jangan paksa aku.”

Ayah Kartini : “Jangan mencoba untuk membantah lagi Kartini.”


Kartini : “Ayah, aku hanya ingin sekolah. Aku tidak ingin dinikahkan terlebih dahulu.”

Ayah Kartini : “Ini adalah ketetapan adat istiadat, Kartini. Setelah dipingit, kini tibalah saatnya
agar kau menikah.”

Kartini : “Aku mengerti Ayah, tapi setelah menikah hidupku tak lagi sama. Aku ingin menjadi
wanita yang berpendidikan, Ayah. Untuk kali ini saja, ijinkan aku untuk bersekolah seperti
mereka. Aku mohon Ayah” (Kartini berlutut kepada Ayahnya)

Ayah Kartini : “Tidak! Aku adalah ayahmu. Akulah yang berhak menentukan masa depanmu.
Kau tak perlu meneruskan sekolahmu itu Kartini. Bisa menulis dan membaca itupun sudah
cukup. Kau akan tetap menikah.”

Kartini : “Ayah . . .”

Ayah Kartini meninggalkan Kartini.

Kartini : “Apakah semua wanita harus sepertiku? Hanya diperbolehkan untuk mengenyam
pendidikan dasar dan kemudian harus dinikahkan. Sedangkan mereka, kaum lelaki, mereka bisa
merasakan pendidikan dengan tingkatan yang lebih tinggi. Mereka berhak memimpin. Mereka
berhak berbicara. Itu semua karena mereka berpendidikan. Sedangkan aku? Apa hakku? Apa
yang bisa kukatakan dan apa yang bisa kulakukan? Kini aku hanya bisa berdiam diri, menerima
dan menuruti perintah Ayah. Ini semua tak adil bagiku” (monolog)

STEP 2
Narator : Kartini berjalan dan terus berjalan, mencari tempat untuknya mencurahkan
kepedihan. Di dalam benaknya hanya terpikirkan sosok para sahabatnya yang kerap dengan
setia mendengarkan keluh dan kesahnya.
Dilain sisi Rosa Abendanon baru saja menerima sebuah surat dari Kartini, dan ia pun
membacanya.

Rosa : (membaca sebuah surat) “Kepada sahabatku, Rosa Abendanon.


Bahasa mana sebenarnya, meskipun kita kuasai dengan baik, dapat mengutarakan getaran jiwa
setepat-tepatnya, bahasa semacam itu tidak ada, hanya ada bahasa yang ajaib yang tak
terucapkan, yang tak berwujud kata-kata maupun lambang huruf, tetapi artinya dapat dipahami
oleh siapapun yang memiliki perasaan. Bahasa yang demikian itu adalah bahasa mata yang suci
nan bersih, cermin jiwa yang cerah.
Saya sangat sayang pada kaum wanita, saya menaruh hati pada nasibnya. Karena dia tidak
dihargai dan ditindas seperti yang masih terdapat pada banyak negeri dalam abad yang terang
ini.
Tertanda, Kartini.”

Tiba-tiba Kartini datang.


Kartini : “Rosa...”

Rosa : “Kartini..” (Rosa menggapai tangan Kartini)

Kartini : “Apa kau datang bersama Stella dan Van Kol? Mana mereka?”

Rosa : “Mereka tak bersamaku Kartini.”

Kartini : “Mengapa? Apa mereka sakit? Atau mereka pergi bersama?”

Rosa : “Tidak Kartini. Perlu kau mengerti. Stella, Van Kol dan juga diriku akan pergi ke
Belanda. Kami akan memulai pendidikan yang lebih tinggi disana.”

Kartini : “Rosa.. Jangan katakan jika kau akan meninggalkanku Rosa. Aku mengerti, kau pasti
akan membawaku bersama kalian kan?”

Rosa : “Maafkan kami Kartini. Tapi kami memang harus meninggalkanmu. Kami tau Ayahmu
tak akan mengijinkanmu pergi ke Belanda.”

Kartini : “Lalu bagaimana denganku? Apa kau tau Rosa, seorang bangsawan Rembang telah
datang kepada Ayahku. Dia ingin meminangku, Rosa. Dan Ayahku pun menyetujuinya.
Sedangkan aku? Aku akan berhenti bersekolah.”

Rosa : “Kartini, aku tau ini berat bagimu. Tapi terimalah Kartini, karena ini adalah adat
istiadatmu.”

Kartini : “Jadi Rosa? Kau tak lagi mempedulikanku?”

Rosa : “Bukan itu maksudku Kartini.  Tapi ini adalah perintah dari Ayahmu. Dan kau pun pasti
lebih mengerti bagaimana sikap Ayahmu itu.”

Kartini : “Rosa, bawalah aku bersamamu. Agar aku bisa tetap bersekolah. Dan aku pun tak
perlu menerima pinangan dari bangsawan Rembang itu.”

Rosa : “Maafkan aku Kartini, tapi aku tak bisa melakukannya. Dan sekaranglah waktunya
untukku pergi, Kartini.”

Kartini : “Tapi Rosa... Rosa...”

Rosa meninggalkan Kartini. Namun Kartini berusaha mengejarnya.

STEP 3
Narator : Kepedihannya kini benar-benar tak terungkapkan. Masa sekolahnya harus terhenti
dan dengan tiba-tiba para sahabatnya meninggalkan Kartini. Di dalam hati Kartini masih
tersimpan secercah harapan untuk belajar. Hari-harinya ia isi dengan menulis surat kepada
Tuan dan Nyonya Abendanon yang merupakan orangtua dari sahabatnya. Mereka telah seperti
orangtua Kartini. Kartini terus bercerita tentang kehidupannya yang tak lagi bersekolah itu.
Hingga Tuan Abendanon pun memberikan beasiswa kedokteran kepadanya.

Kartini : “Ayah.. Ayah.. Aaayyyyyaaaaaaaaahhhhh” (Kartini berteriak)

Ayah Kartini : “Ada apa Nak? Apa yang membuatmu senang seperti ini? Tak pantas seorang
gadis berteriak seperti itu!”

Kartini : “Ayah, aku mendapatkan beasiswa kedokteran di Belanda. Berhari-hari aku menulis
dan berkirim surat tentang pendidikanku Ayah, dan kini aku mendapatkan beasiswa untuk
belajar di Belanda.”

Ayah Kartini : “Darimana kau mendapatkannya?”

Kartini : “Dari Tuan Abendanon, dia adalah ayah dari sahabatku. Ayah, ijinkan aku untuk pergi
ke Belanda.”

Ayah Kartini : “Tidak Kartini, pendidikan itu memang penting. Apalagi dengan beasiswamu itu
Ayah mengerti kau tak akan merepotkan. Tapi Kartini, untuk seorang wanita tak pantas untuk
berpendidikan yang berlebihan.”

Kartini : “Ayah bilang ini berlebihan? Apa maksud Ayah? Aku hanya ingin bersekolah, Ayah.”

Ayah Kartini : “Ah sudahlah. Perintahku tetap sama dan tak bisa kau rubah. Kartini, Raden
Aryo Singgih telah datang dan bermaksud menemuimu.”

Aryo Singgih menghampiri Ayah Kartini dan Kartini.

Ayah Kartini : “Kemarilah Raden. Akan kutinggalkan kalian berdua. Bicaralah pada Kartini”

Kartini : “Ayahh..” (Kartini mencoba memanggil Ayahnya, namun tak dihiraukan)

Raden Aryo Singgih : “Kartini, bisakah aku meminta waktumu sebentar?”

Kartini : “Jika aku berkata tidak pun, aku tau kau akan menyita sebagian waktuku.”

Raden Aryo Singgih : “Kartini, tentunya kau telah mendengar ini dari Ayahmu. Bahwa aku
ingin meminangmu.”
Kartini : “Berhenti membicarakan apa yang telah kuketahui Raden. Bukankah kau pun tau,
untuk berbicara tentang hal meminang kau hanya perlu mengutarakannya pada ayahku.
Sedangkan ayahku pun tak meminta kesediaan dari diriku.”

Raden Aryo Singgih : “Mungkin yang kau katakan itu memang benar Kartini. Tapi perlu kau
ketahui, aku meminangmu karna aku mencintaimu.”

Kartini : “Cinta?? Kau bilang sebuah hasrat untuk memiliki adalah cinta? Sederhana sekali
pemikiranmu itu Raden.”

Raden Aryo Singgih : “Tapi memang itulah yang aku rasakan Kartini.”

Kartini : “Itulah bedanya cinta yang kau miliki dengan cinta yang ada pada diriku Raden.”

Raden Aryo Singgih : “Aku tak mengerti maksud perkataanmu itu Kartini.”

Kartini : “Berbicara tentang cinta, dalam diri ini pun tersimpan sebuah cinta Raden. Namun
cinta yang kupunya bukanlah cinta seperti yang kau anggap. Cinta ini bukanlah sekedar ingin
memiliki. Cinta yang kusimpan sejak lama, adalah cinta yang tertuju pada mereka, pada kaum
wanita.”

Raden Aryo Singgih : “Kartini, apa maksudmu? Aku benar-benar tak mengerti.”

Kartini : “Raden, jawablah pertanyaanku dahulu. Jika kau memiliki cinta pada seseorang, apa
yang akan kau lakukan untuk mendapatkannya?”

Raden Aryo Singgih : “Tentu akan aku perjuangkan cintaku, Kartini.”

Kartini : “Begitu pula cinta ini Raden, aku pun ingin memperjuangkan cintaku. Aku ingin
memerdekakan kaumku dari kebodohan. Dan untuk itu, tentunya akupun harus berpendidikan
Raden.”

Raden Aryo Singgih : “Kini aku mengerti, Kartini. Tapi, bagaimana dengan ayahmu? Bukankah
ia ingin agar kau menikah? Dan akupun menginginkan agar kau menikah denganku.”

Kartini : “Ayahku menikahkanku karna kau yang meminangku, Raden. Ini semua ada pada
dirimu.”
Raden Aryo Singgih : “Jadi kau ingin agar aku membatalkan pinanganku?”

Kartini : “Tentu Raden. Memang itu yang aku inginkan. Aku ingin tetap bersekolah. Dan cara
satu-satunya agar aku dapat bersekolah adalah menolak pinangan ini.”
Raden Aryo Singgih : “Lalu bagaimana dengan cintaku Kartini? Tak pantaskah aku merasakan
cinta? Ini tak adil. Kartini, biarkan aku memperjuangkan cintaku ini. Aku berjanji akan
berbicara pada ayahmu tentang keinginanmu untuk bersekolah.”

Kartini : “Lalu bagaimana jika ayahku tetap melarangku untuk bersekolah?”

Raden Aryo Singgih : “Baiklah, jika ayahmu tetap melarang, aku akan tetap mendukung cita-
citamu itu. Akan kudirikan sekolah sebagai tempat untukmu belajar dan mengajar.”

Kartini : “Apakah ini cukup untuk meyakinkanku, Raden?”

Raden Aryo Singgih : “Iya Kartini, kau bisa memegang janjiku. Jika nanti aku mengingkarinya,
kau berhak melakukan apapun yang kau mau.”

Kartini : “Jika memang benar ucapanmu itu, akan kupercayai kata-katamu. Dan akan kuterima
pinanganmu Raden.”

Raden Aryo Singgih : “Terimakasih Kartini.”

Kartini : “Aku yang memang harus berterimakasih atas kebaikanmu Raden. Terimakasih.”

Raden Aryo Singgih : “Terimakasih kembali Kartini. Aku akan pergi menemui ayahmu
sekarang juga”

Raden Aryo Singgih meninggalkan Kartini.

Kartini : “Kupanjatkan syukur pada-Mu, Tuhan. Entah apa rencana-Mu. Tapi dengan kehendak-
Mu aku akan kembali mengenyam pendidikan yang sempat kutinggalkan. Dan aku berjanji, aku
akan menjunjung harkat kaumku. Akan kuperjuangkan pendidikanku bersama kaum wanita.
Akan kudapatkan hakku bersama mereka. Dan akan kurubah dunia ini menjadi lebih baik
lagi.” (monolog)

Narator : Inilah janji Kartini. Inilah cita-citanya. Memperjuangkan hak wanita untuk
mendapatkan apa yang seharusnya ia dan kaumnya dapatkan. Dan beruntunglah kalian, para
kaum wanita. Yang kini telah merasakan apa yang seharusnya didapatkan. Gunakan dan
perjuangkanlah hak kalian sebagaimana mestinya

Anda mungkin juga menyukai