Anda di halaman 1dari 11

Drama musikal

Rana merupakan salah satu siswi sebuah SMA yang sangat berbakat dibidang seni, musik dan
sastra. Karya-karyanya selalu mengisi mading sekolah dan dimuat di beberapa koran dan
majalah. Hari ini Rana kedatangan teman-teman sekolah yang ingin melihat karya-karya lain
Rana yang belum dipublikasikan.

Di rumah Rana

Rana: "Silakan masuk teman-teman. Maaf rumah saya sempit."

Difka: "Maaf juga sebelumnya kita merepotkanmu, Rana."

Rana: "Tidak apa-apa teman-teman, justru saya senang kalian berkunjung ke rumahku dan
tertarik melihat karyaku."

Aina: "Kamu memang hebat Rana!Puisi yang kamu buat selalu menyentuh hati siapa saja
yang membacanya"

Rana: "Bisa saja kamu Aina. Saya juga masih belajar. Karyaku masih tidak seberapa dengan
karya para sastrawan lainnya."

Anya: "Kalau terus diasah, suatu saat kamu juga dapat menyaingi para sastrawan yang
terkenal itu."

Zahra: "Iya Rana. Kami juga mau melihat karya-karyamu yang belum dipublikasikan,
boleh?"

Endita: "Sekalian juga kita ingin belajar kepadamu, supaya nilai pelajaran sastra kita naik."

Fina: "Aku juga ingin diajarkan membuat puisi yang bagus supaya nanti jika ada ujian sastra
aku tidak kesulitan."

Rana: "Boleh saja teman-teman. Ayo masuk ke kamarku!Disana banyak karya-karyaku yang
telah kusimpan dan belum dipublikasikan."

Mereka semua kemudian masuk ke kamar Rana.

Indah: "Wah, ternyata kamu juga sangat pandai melukis ya,Rana. Kenapa kamu tidak
memasang lukisanmu juga di mading sekolah? Pasti banyak yang suka."

Rana: "Sebenarnya itu lukisan terakhirku, ayahku tidak suka melihatku melukis dan meminta
kepadaku untuk fokus sekolah dulu karena aku selalu menghabiskan waktu melukis berjam-
jam dan lupa belajar."

Fina: "Lalu, bagaimana dengan karyamu yang lain seperti puisi dan karya sastra lainnya?"

Rana: "Kalau soal itu, ayahku tidak mengetahui karena kalau membuat puisi dan karya sastra
lainnya, ayahku menganggap aku sedang belajar."
Gita: "Lalu,bagaimana dengan ibumu?"

Rana: "Kalau ibuku setuju saja serta membiarkanku mengembangkan bakat dan minatku."

Kartika: "Aku dengar kamu juga pintar menyanyi ya,Rana?"

Rana: "Tidak sepintar itu, hanya saja aku sering menulis lirik lagu dan menyanyikannya
menggunakan gitar kesayanganku."

Tiara: "Kamu memang hebat Rana!Selain pintar sastra juga pintar memainkan alat musik
gitar."

Anya: "Coba nyanyikan salah satu lagu ciptaan mudong,Rana! Kami ingin
mendengarkannya!"

Rana: "Saya tidak terlalu pandai menyanyi teman-teman. Saya hanya menciptakan lirik dan
membuat arasemen musiknya."

Zahra: "Ayolah Rana, jangan malu-malu."

Rana: "Baiklah."

Rana mulai memetik senar gitar dan menyanyikan sebuah lagu karyanya. Teman-teman yang
lain hanya mendengarkan dan menikmati suara Rana yang beradu dengan suara petikan senar
gitar. Setelah Rana mengakhiri lagunya, semua teman-temannya memberikan tepuk tangan
yang meriah.
Drama kejujuran

Dalam suasana belajar mengajar di dalam kelas dan sedang dilakukan ulangan mendadak
serta mengumpulkan tugas.

Guru: "Anak – anak, silakan dikumpulkan tugas karya tulis minggu kemarin."

Kemudian satu persatu siswa naik mengumpulkan tugas karya tulis masing-masing.

Guru: "Karena ini merupakan tugas perorangan, maka penelitian akan dilakukan berdasarkan
isi dari karya tulis kalian. Oke, masukkan buku kalian semua. Bapak akan mengadakan
ulangan."

Reni: "Hah, ulangan apa lagi pak? baru saja 2 hari yang lalu diadakan ulangan."

Guru: "Rara, tolong dibagikan kertas folio ini ke semua siswa."

Rara: "Baik pak."

(Suasana ruang kelas berubah menjadi gaduh karena setiap siswa mengeluh tentang
diadakannya ulangan mendadak ini)

Guru: "Pada ulangan kali ini, bapak ingin kalian menulis ulang pokok-pokok dan kesimpulan
dari karya tulis yang kalian buat."

Kemudian siswa hening dan sibuk mengerjakan ulangan. Sedangkan pak guru sibuk
memeriksa tugas karya tulis yang tadi dikumpulkan. pak guru menemukan keanehan pada
tugas karya tulis milik Rara dimana isinya sama persis dengan karya tulis milik Rina. Setelah
20 menit berlalu, kemudian kertas ulangan dikumpulkan.

Guru: "Baiklah yang lain bisa istirahat. Tolong Rara dan Rina tetap disini, bapak mau
bicara."

(Semua siswa keluar ruang kelas kecuali Rara dan Rina)

Guru: "Bapak minta kalian berdua jujur kepada bapak. Kenapa tugas kalian bisa sama persis,
bahkan titik dan komanya juga."

Rara: "Saya mengerjakan karya tulis itu sendiri pak."

Rina: "Saya juga mengerjakan karya tulis saya sendiri."

Guru: "Lalu, Mengapa isi dari jawaban ulangan kalian tadi tidak sama dengan isi karya tulis
kalian?"

(Lama Rara dan Rina terdiam, takut-takut untuk memulai berbicara)

Rina: "Maaf pak. Kalau saya jujur, apakah kalau saya berkata jujur maka bapak akan
memaafkan saya?"
Guru: "Tentu."

Rina: "Saya mendapatkan materi untuk tugas karya tulis dari internet pak. Saya langsung
copy paste dan tidak saya baca lagi. Itulah mengapa ulangan tadi tidak sama dengan isi karya
tulis saya."

Guru: "Baiklah, alasan bisa bapak terima. terus kamu Rara?"

Rara: "Saya minta tolong Reni mengerjakan tugas karya tulis itu pak. Dan kelihatannya dia
mencari sumber dari internet."

Guru: "Kalau begitu tolong panggilkan Reni."

Rara: "Baik pak." (Rara pun keluar memanggil Reni)

Reni: "Bapak memanggil saya?"

Guru: "Iya, bapak ingin bertanya, apa benar murid 1 minta tolong pada kamu untuk
mengerjakan tugasnya?"

Reni: "Iya pak, maafkan saya pak. Rara bilang dia tidak mengerti tugas dari bapak terlebih
dia bilang dia tidak bisa mencari tugas tersebut dari internet karena dia tidak punya uang
untuk ke warnet

Guru: "Baiklah kalau begitu. Tugas karya tulis dan ulangan kalian bapak kembalikan. kalian
harus membuat karya tulis lagi dan dikumpulkan dalam 3 hari."

Rina: "Baik pak."

Rara: "Baik pak, akan saya kerjakan sendiri tugasnya."


AIR MATA PENYESALAN

Babak I

Di tengah rumah, seorang ibu tua renta sedang merapikan kue-kue yang akan di jual. Ia sudah
dua tahun menjanda. Suaminya telah meninggal dunia dikarenakan penyakit jantungnya. Ia
tinggal bersama dua orang anaknya. Kedua anaknya menempuh pendidikan pada sekolah
yang sama. Ratih, anak pertamanya, sudah tingkat akhir sedangkan Seli, anak keduanya,
baru tingkat satu. Untuk menghidupi keluarga, sang Ibu tersebut berjualan kue.

Ibu : (merapikan kue-kue yang akan di jual ke dalam toples lalu memanggil Ratih)
“Ratih! Ratih!”

Ratih : (berteriak dari dalam kamar) “Tunggu sebentar dong, Bu! Cerewet sekali Ibu ini!”

Ibu : (memanggil kembali) “Ratih! “

Ratih : (keluar dari kamar dengan penampilan yang urakan) “Ada apa sih, Bu? Dari tadi
teriak terus. Memangnya aku ini tuli apa?”

Ibu : (masih membereskan kue) “Tolong antarkan kue-kue ini ke warung bu Ijah
sebelum pergi ke kampus!”

Ratih : “Kan biasanya juga Ibu yang mengantar. Kenapa Ibu suruh aku?”

Ibu : “Ibu sedang tidak enak badan, Nak!” (batuk-batuk)

Ratih : “Kalau begitu suruh saja Seli!”

Ibu : “Dia juga sedang tidak enak badan. Hari ini dia tidak akan masuk kuliah.”

Ratih : “Alah, paling juga dia pura-pura sakit.”

Ibu : “Dia memang lagi sakit. Tadi waktu Ibu periksa, badannya panas sekali.”

Ratih : “Ah, Ibu ini selalu saja memanjakan dia. Kapan Ibu akan memanjakan aku?”

Ibu : “Ibu tidak pernah memanjakan dia. Kasih sayang yang ibu berikan terhadap kalian
sama.”

Ratih : “Bohong! Buktinya, waktu itu Ibu pernah berjanji akan membelikan aku HP. Tapi
sampai sekarang, mana?”

Ibu : “Bukannya Ibu tidak mau membelikan kamu HP, tapi uang Ibu kan belum cukup
untuk membelinya. Ibu sedang menabung. Mana pengeluaran kamu dan adikmu sangat
banyak.. Apalagi kamu sebentar lagi wisuda. Sabar ya, Nak!”

Ratih : “Alah, sabar, sabar. Sampai kapan? Aku tahu, Ibu hanya pandai mencari alasan.
Ibu sebenarnya tidak menyayangiku. Jangan-jangan aku ini bukan anak Ibu.”
Ibu : “Hati-hati kalau berbicara, Nak!”

Ratih : “Sudahlah, Bu! Aku mau kuliah.”

Ibu : (memberikan kue-kue dagangannya) “Jadi kamu tidak mau mengantarkan kue-kue
ini?”

Ratih : (mengambil toples itu, lalu menumpahkan isinya sehingga kue-kue dari dalam
toples itu berserakan di lantai).

Ibu : (mengusap dada sambil memandang Ratih dengan tajam).

Ratih : “Kenapa? Ibu tidak suka? Ibu ini pura-pura bego atahu memang bego? Masih saja
bertanya mau atahu tidak. Sudah jelas aku ini malas, Bu. Gengsi!”

Ibu : “Apa? gengsi? Apa kamu tidak sadar? Kamu bisa kuliah uangnya dari mana kalau
bukan dari berjualan kue? Kalau tidak mau tidak usah seperti ini. Ibu susah payah membuat
kue ini. Kamu tidak pernah sama sekali menghargai kerja keras Ibumu ini. Apa kamu tidak
sadar? Siapa yang ada di hadapan kamu ini? Aku ini Ibu kandungmu, Nak.”

Ratih : “Mau Ibu kandung, mau Ibu tiri, mau Ibu angkat, aku tidak peduli. Percuma aku
mempunyai seorang Ibu yang tidak sayang terhadap anaknya. Sekarang, Ibu ingin aku
menghargai kerja keras Ibu. Baik. (mengambil kue yang berserakan lalu melemparkannya ke
wajah Ibu) Sebagai bentuk penghargaanku terhadap kerja keras sang Ibu.” (tersenyum sinis).

Ibu : (menangis).

Seli : (keluar dari kamar sambil batuk-batuk) “Ada apa ini, Bu? (memungut kue-kue
yang berserakan).

Ratih : (mendorong Seli hingga terjatuh) “Heh, anak kecil, kamu tidak perlu ikut
campur!”

Ibu : “Ratih, jangan kasar seperti itu! Kasihan adikmu, sedang sakit.”

Ratih : “Ah Ibu, lagi-lagi Seli, lagi-lagi Seli. selalu saja dia yang dibela. Sudahlah, Bu!
Aku mau kuliah.” (pergi sambil menendang pintu).

Ibu : “Ratih!” (terkulai lemas dan menangis).

Seli : (memeluk Ibu) “Sudahlah, Bu! Jangan terlalu memikirkan Kakak! Sekarang biar
aku saja yang mengantarkan kue-kue ini.”

Ibu : (melepaskan pelukan seli) “Tidak usah, Nak! Kamu kan sedang sakit. Lagi pula,
kue-kue ini sudah terlanjur berserakan.”

Seli : “Kalau begitu, sekarang lebih baik Ibu istirahat. Ibu sudah terlalu lelah. Biar nanti
aku saja yang membereskan kue-kue ini. Mari Bu, aku antar ke kamar!” (mengantar Ibu ke
kamarnya).
Babak II

Hari semakin malam. Ratih tak kunjung pulang. Ibu sedang menunggunya di tengah rumah
bersama Seli.

Ibu : (mondar-mandir tampak cemas) “Sudah larut malam begini, kakakmu belum
pulang juga.”

Seli : “Mungkin sebentar lagi, Bu. Ibu sabar saja!”

Ibu : “Kenapa kakakmu akhir-akhir ini berubah ya?”

Seli : “Aku juga heran, Bu. Penampilannya jadi urakan. Belum lagi sikapnya yang sering
marah-marah. Terus sekarang ini, dia mulai berani melawan Ibu.”

Ibu : “Ibu juga heran, kenapa dia terus memaksa Ibu untuk membelikan HP?”

Seli : “Mungkin karena lingkungan bergaulnya, Bu.”

Ibu : “Memang lingkungan bergaulnya seperti apa?”

Seli : “Sepengetahuanku, akhir-akhir ini dia sering bergaul dengan anak-anak berandal
di kampus. Mereka senang sekali berfoya-foya.”

Ibu : (kaget) “Apa? Sepertinya, Ibu yang salah. Ibu tidak bisa mendidiknya dengan
baik.”

Seli : “Tidak, Bu! Ibu tidak salah.”

Ratih : (datang tanpa mengucapkan salam langsung pergi ke kamar namun Ibu cepat
mencegatnya).

Ibu : (menarik tangan Ratih) “Tunggu! Dari mana saja kamu? Sampai pulang larut
malam begini.”

Ratih : (melepaskan tangan Ibu dan membentak) “Ah, Ibu tidak perlu tahu. Bukankah, Ibu
sudah tidak sayang lagi terhadapku?”

Ibu : “Ibu masih sayang kamu, Nak.”

Ratih : “Omong kosong!”

Seli : (marah) “Kakak sudah berani ya, melawan Ibu? Sudah masuk tanpa permisi.
Berani pula membentak Ibu.”

Ratih : (membentak sambil menunjuk hidung Seli) “Heh, kamu tidak usah ikut campur!”

Tiba-tiba terdengar suara HP berdering.


Ratih : (mengangkat telepon) “Halo, Sayang! Iya sebentar lagi aku ke sana. Tunggu di
tempat biasa ya! Dah, Sayang!”

Ibu : “Ratih, dari mana kamu mendapat uang untuk membeli HP?”

Ratih : “Ibu tak perlu tahu. Yang jelas ini bukan uang Ibu. Ibu tidak mampu kan untuk
membeli HP semahal ini? (menunjukan HPnya) Aku sudah bosan hidup miskin, Bu.”

Seli : “Kakak seharusnya bersyukur sudah bisa kuliah. Banyak orang-orang yang lebih
susah dari kita. Tidak usah menginginkan yang bukan-bukan!”

Ratih ; “Aku tidak butuh nasihatmu, anak kecil!” (memasukan HP ke dalam saku bajunya
lalu tidak sengaja jatuh sebungkus kecil serbuk putih).

Ibu : (mengambil serbuk putih itu) “Apa ini?”

Seli : (mengambil serbuk putih dari tangan Ibu) “Ini kan narkoba, Bu! Barang haram.”

Ibu : “Ratih, kenapa jadi seperti ini?”

Ratih : “Ibu tak usah banyak tanya. Yang jelas, (mengambil serbuk putih dari tangan Seli)
karena ini aku bisa membeli HP.”

Seli : “Tapi itu kan barang haram, Kak. Haram!”

Ratih : “Sekali lagi kau bicara aku tampar.”

Seli : (mengambil tangan Ratih lalu mendekatkannya ke pipinya) “Tampar saja, Kak!
Ayo tampar!”

Ratih : (menampar Seli).

Ibu : (membentak) “Ratih! Semakin kurang ajar ya kamu?”

Ratih : “O, rupanya Ibu keberatan anak kesayangannya ditampar. Apa Ibu juga mau aku
tampar?”(hampir menampar).

Seli : (mencegah) “Jangan, Kak!””

Ratih : “Sudah berapa kali aku katakan, jangan ikut campur urusanku!”

Seli : “Astaghfirullaahal’azhiim! Kakak memang bukan kakakku yang dulu kukenal.”

Ibu : “Ratih, apa kamu tidak sadar? Siapa yang membesarkanmu? Yang melahirkanmu
dengan nyawa sebagai taruhan? Apa kamu hendak membalas air susu dengan tuba?”

Ratih : “Ah, sudah, Bu! Kepalaku rasanya mau pecah kalau terus mendengar ocehan Ibu.
Sekarang Ibu tidak usah lagi memikirkanku! Pikirkan saja di mana Ibu akan dikuburkan? Ibu
sudah bau tanah. Dan ... sebentar lagi ibu pasti akan mati. Ha ... ha ... ha.”(tertawa).
Ibu : (menampar) “Kurang ajar! Dasar anak durhaka! Pergi kamu! Aku tak sudi lagi
melihatmu. Dan ..aku tidak rela air susuku mengalir ditubuhmu. Kau bukan anakku lagi!”
(menangis).

Seli : “Iya aku juga tak butuh lagi Kakak sepertimu.”

Ratih : “Baik, baik. Aku akan pergi. Lagi pula, aku juga tak butuh seorang Adik seperti
kamu apalagi seorang Ibu seperti kamu!” (mendorong ibunya hingga terjatuh lalu pergi).

Seli : (mememeluk Ibu sambil menangis) “Ibu!”

Ibu : (batuk-batuk mengeluarkan darah penyakit radang paru-parunya kambuh.)

Seli : “Ibu! Kita ke dokter ya, Bu!”

Ibu : “Tidak usah, Nak. Ibu tidak apa-apa.”

Seli : “Tapi, Ibu sakit. Ayo, Bu!”

Ibu : (batuk semakin cepat dan semakin banyak mengeluarkan darah).

Seli : (mengusap darah dari mulut Ibu) “Ibu! Darah Ibu semakin banyak. Ibu harus
segera ke dokter.”

Ibu : (kesakitan) “Sepertinya Ibu tidak akan lama lagi akan pergi. Maafkan Ibu ya, Nak!
Ibu tidak bisa merawatmu sampai nanti. Ibu masih mempunyai sedikit simpanan untuk
membiayai kuliahmu. Dan kalau bisa teruskanlah usaha Ibu menjual kue. Jaga dirimu baik-
baik!”

Seli : (terus menangis) “Ibu, jangan berbicara seperti itu! Ibu harus sembuh. Saya
mohon!”

Ibu : (sekarat) “Asyhadu ... alla .. ila ... ha ... illallah. Waasy ... ha ... du ... anna ...
muhammadar .. rasu ... lullah!” (mati di pangkuan Seli).

Seli : (menangis) “Ibu! Ibu ! Bangun, Bu! Jangan tinggalkan aku!”

Babak III

Pagi hari, Ibu sudah terbaring kaku di tengah rumah. Kain putih meliliti tubuhnya. Di atasnya
di tutupi oleh kain samping. Para tetangga mengaji mengelilingi jenazah Ibu. Lantunan ayat-
ayat suci bersahutan menyayat hati. Tiba-tiba Ratih datang dengan keadaan kaki yang terluka.
Suasana mendadak menjadi sepi.

Ratih : (berlari dengan kaki yang terluka menuju jenazah Ibu dan berteriak) “Ada apa ini?
Ibu! Ibu! Bangun!”

Seli : “Kenapa Kakak kembali lagi? Bukankah, sudah tidak butuh kami lagi? Sekarang
Kakak puas? Melihat Ibu seperti ini? Ini semua akibat Kakak. Tadi penyakit radang paru-paru
Ibu kambuh setelah Kakak pergi. Ibu sakit hati oleh Kakak. Ibu ... “
Ratih : (memotong pembicaraan) “Cukup! Ini semua memang salahku. Aku tadi tertabrak
mobil. Untung hanya kaki yang terluka. Mungkin ini hukuman bagiku. Aku menyesal dan tak
pernah menyangka akan seperti ini.” (menangis).

Seli : “Bukankah, Kakak menginginkan Ibu mati?”

Ratih : (masih menangis) “Aku menyesal, Sel!”

Seli : “Tak ada gunanya penyesalan di akhir. Sekarang Ibu sudah tak bernyawa lagi.”

Ratih : “Aku benar-benar menyesal. Tolong maafkan aku! Terimalah kembali aku sebagai
kakakmu!” (terus menangis).

Seli : “Mohonlah ampun kepada yang Maha Pengampun! Bertobatlah! semoga dosa-
dosa Kakak masih diampuni-Nya! Begitu juga dosa-dosaku. Baik. Aku mau menerimamu
kembali sebagai kakakku. Sekarang kita antarkan jenazah Ibunda kita ke tempat
peristirahatannya yang terakhir! Setelah itu, Kakak serahkan diri Kakak kepada pihak yang
berwajib karena telah terlibat narkoba!”

Ratih : “Baiklah, kakak akan lakukan semua itu. Maafkan Kakak, ya!” (memeluk Seli).

Akhirnya, Ratih harus menjalani hidupnya di penjara. Seli terus kuliah sambil meneruskan
usaha Ibunya berjualan kue. Sang Ibu telah meninggalkan mereka untuk selama-lamanya.
Penyesalan selalu ada di akhir.

Anda mungkin juga menyukai