Anda di halaman 1dari 5

“Adikku Istimewa”

“Bu, Raka pipis di ruang tamu lagi!” aku berteriak kepada ibu, karena jarakku
dengan ibu cukup jauh. Aku berada di ruang televisi, sedangkan ibu berada di dapur.

“Iya, sebentar!” jawab ibu yang sedang memasak untuk hidangan makan
malam nanti.

“Cepat dong, bu!” aku mulai kesal melihat adikku yang kerjaannya setiap hari
hanya merepotkan ibu.

Tak lama kemudian, ibu bergegas menuju ruang tamu sembari membawa lap
pel, pewangi lantai, dan ember yang berisi air untuk membersihkan air kencing
adikku.

“Astagfirullahal’azim... Raka, ibu kan sudah bilang, kalau kamu ingin kencing,
berarti kamu pergi ke kamar mandi. Jangan di mana saja, ya!” ujar ibuku dengan
nada bicara yang lembut.

“Iya ibu,” jawab Raka dengan memasang wajah bersalahnya.

Aku heran, kenapa adikku masih saja memiliki tingkah laku seperti anak balita.
Padahal, sebentar lagi dia akan berumur 7 tahun. Berbeda sekali denganku,
meskipun kini aku masih berumur 9 tahun, tapi aku sudah bisa belajar mandiri. Ibuku
selalu bilang, kalau dia itu adalah anak yang istimewa. Tapi, aku selalu bertanya pada
diriku sendiri, “Apanya yang istimewa dari Raka? Perasaan, dia gak ada istimewanya
sama sekali. Mending juga aku yang selalu juara kelas.”

“Assalamu’alaikum. Ayah pulang!” teriak ayah di depan pintu.

Seperti biasa ketika ayah pulang dari kantor, aku dan Raka selalu berlari
menghampiri ayah, karena ayah selalu membawakan kita oleh-oleh. Entah itu
makanan, mainan, ataupun hal lainnya yang terkadang membuat kita menjadi
bertengkar.

“Ayah, hari ini bawa oleh-oleh apa?” ucapku penasaran dengan isi yang berada
dalam kotak besar berwarna coklat.
“Mmm... jadi, hari ini ayah membawakan benda kesukaan kalian!” jawab ayah
dengan memasang wajah ceria.

“Horee!” seru Raka dengan wajah senang.

“Ayo ayah, cepat buka sekarang!” ujarku yang sudah tak sabar.

“Oke, ayah buka kotaknya. Tapi dengan syarat, kalian harus berjanji akan
belajar lebih rajin lagi dan selalu do’akan ayah dan ibu. Bagaimana?”

“Siap ayah, aku janji!” jawabku dengan penuh semangat.

“Raka, bagaimana dengan kamu, nak?” tanya ayah.

(Raka hanya menganggukkan kepala)

“Baik, kalau gitu berarti tandanya sudah sepakat, ya!”

Ayah pun membukakan kotak besar berwarna coklat dengan bertingkah lucu
yang membuat kita semakin penasaran. Sementara itu, ibu hanya tersenyum melihat
tingkah laku kita, sambil menyiapkan hidangan makan malam di meja makan.

“Hadiah pertama untuk kakak!” ayah memberikan 1 buku tebal bergambar


kuda poni kesukaanku.

“Lalu yang kedua untuk Raka!” ayah memberikan 1 paket alat lukis yang berisi
canvas, kuas, cat air, dan lain-lain.

Aku yang asalnya tersenyum bahagia, langsung berubah seketika setelah


melihat apa yang ayah berikan kepada Raka.

“Ayah gak adil!” aku berteriak dan pergi menuju kamar. Aku pun termenung
dan menangis sendirian. Lalu, ibu masuk dan memelukku.

“Sudah ya, sayang... jangan menangis. Kan kakak tau, kalau Raka itu istimewa,”
tutur ibu lembut sembari mengusap kepalaku.

“Istimewa?! Kenapa sih, ayah dan ibu selalu bilang kalau Raka itu istimewa?!
Apakah aku tidak istimewa, dimata ayah dan ibu? Aku kesal, bu! Merasa dibedakan!
Padahal, aku selalu nurut dengan ayah dan ibu. Aku sudah mandiri, belajarku rajin,
membantu Raka mengerjakan tugas, nilaiku selalu bagus, dan juga selalu juara kelas!
Sedangkan Raka? Makan selalu disuapin, berangkat sekolah masih diantar ayah,
kamarnya berantakan karena sering gambar-gambar yang gak jelas, apalagi? Banyak,
bu!” air mataku semakin tumpah.

Ibu yang sedari tadi memelukku, hanya diam tanpa suara. Aku pun kini sudah
mulai lelah, mencoba untuk tidak mengeluarkan air mata. Ibu melepaskan
pelukannya dan menyeka air mataku lalu berkata, “Nak, maafkan ayah dan ibu ya...
kalau selama ini, kamu merasa selalu dibedakan oleh kita berdua. Dengar baik-baik
ya, sayang. Ayah dan ibu sama sekali tidak pernah ada niatan untuk membedakan
kamu ataupun Raka. Kalian berdua di mata kami sangat istimewa, bahkan sempurna.
Kalian selalu menjadi kebanggaan kami dengan kelebihan yang kalian punya. Ibu
sangat senang ketika di umurmu yang masih kecil ini sudah bisa mandiri, dan bisa
membantu Raka dalam mengerjakan tugas. Meskipun sering bertengkar, tapi asalkan
kamu tau, kamu selalu menjadi orang pertama yang Raka cari ketika ia memiliki
tugas dari sekolahnya. Bahkan, Raka sendiri bilang kepada ibu kalau dia ingin
menjadi seperti kakak, yang bisa pulang membawa piala dari sekolah. Ibu selalu
bilang, bahwa Raka juga bisa seperti kakak, bahkan lebih dari itu, asal Raka mau
terus berusaha dan belajar. Raka pasti bisa, karena Raka sangat istimewa.” (air mata
ibu tiba-tiba turun)

Aku yang mencoba untuk tegar setelah menerima nasehat dari ibu, akhirnya
tumpah kembali karena melihat ibu mulai menangis tersedu-sedu setelah
mengucapkan bahwa Raka itu sangat istimewa. Aku semakin bingung, sungguh.
“Tolong bicara lagi bu, ada apa? Kok tiba-tiba menangis?” bisikku dalam hati.

Ayah pun masuk ke kamarku dan melanjutkan pembicaraan ibu.

“Nak, mungkin ini sudah saatnya kami bercerita kepadamu. Semoga kamu bisa
mengerti ya, sayang. Jadi... pada saat kamu masih kecil, Raka yang usianya masih 1
tahun kurang pernah terjatuh dari lantai 2, dan alhasil kepalanya terbentur
mengenai lantai. Untung saja kepalanya tidak berdarah dan tidak menangis
kesakitan. Tapi saat itu, kami khawatir dengan kondisinya, dan takut terjadi apa-apa.
Di umur dia yang seharusnya sudah bisa jalan dan mulai belajar berbicara, belum ada
tanda-tandanya sama sekali. Hingga kami pun memutuskan untuk pergi ke rumah
sakit. Lalu setelah diperiksa, dokter pun memberikan hasilnya kepada kami,
bahwasannya saraf kepalanya ada yang terjepit, sehingga mengalami keterlambatan
dalam perkembangannya. Mendengar hal itu, kami sebagai orang tua merasa
terpukul sekali, nak. Tapi dokter mengatakan bahwa, “Tak ada yang harus
dikhawatirkan selama ayah dan ibu bisa membimbingnya dengan baik, juga tak lupa
untuk selalu berdo’a kepada Sang Pencipta.” Kami pun merasa termotivasi kembali
untuk menjadikannya anak yang hebat, sama seperti dirimu.” jawab ayah tegar.

“Hingga suatu ketika, ia pun mulai suka menggambar.” (ibu melanjutkan)

“Dan naluri ibu berkata bahwa, mungkin memang itulah bakat yang ia punya.
Ahli psikologi yang sempat menemuinya kala itu juga, memberitahu ayah dan ibu
kalau dia merupakan anak yang cerdas, sama seperti kakak. Hanya saja, kakak dan
dia memiliki kehebatan di dunia yang berbeda. Jadi, kalian tetap anak ayah dan ibu
yang sangat hebat, dan selalu menjadi kebanggaan nomor satu di kehidupan ayah
dan ibu,” ucap ibu dan kembali tersenyum.

Aku kini sadar. Ternyata, selama ini aku salah karena terlalu mengedepankan
ego dan perasaanku. Merasa bangga dengan segala kelebihan yang aku punya,
padahal, adikku juga sama hebatnya. Dan memang kenyataannya, kita bukanlah apa-
apa tanpa kuasa-Nya. Terima kasih adikku, darimu aku mengerti arti saling
menghargai. Benar apa kata ayah dan ibu, kau memang istimewa. Sekali lagi, terima
kasih.
Nama Lengkap : Nurul Fitri Ramdhaniah

ID Instagram : @nurulfitri.09

Nomor WhatsApp : +62 888-0900-9043

E-mail : fitrinurul091299@gmail.com

Alamat : Jl. SMP PGRI (samping Masjid Djamie Darussalam) Kp.

Babakan Cisarua RT.02 RW.13 Desa Sindanglaya Kec.

Cipanas Kab. Cianjur (43253)

Anda mungkin juga menyukai