Anda di halaman 1dari 2

SANG SRIKANDI PEJUANG EMANSIPASI WANITA

Sang Srikandi pejuang emansipasi wanita itu adalah Raden Ajeng Kartini. Kartini dilahirkan
dari kalangan bangsawan. Beliau merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario
Sosroningrat seorang Bupati Jepara. Ibu kartini adalah M.A. Ngasirah seorang guru agama.
Ibu Kartini bukanlah istri utama, karena beliau bukan berasal dari kalangan bangsawan.
Kisah kartini diawali ketika beliau berumur 12 tahun. Bapak Kartini menemuinya, “Trinil,
ndhuk, kini sudah tiba saatnya kamu menjalani masa pingitan.” Terang RM Ario kepada
Kartini. Dengan raut muka sedih, Trinil (nama panggilan Kartini kecil) menjawab halus,
“Bapak, Trinil ingin sekolah. Trinil ingin menjadi gadis yang cerdas. Gadis dengan cita-cita
yang tinggi. Trinil ingin sekolah pak.”
“Trinil, bapak tidak bisa memenuhi keinginanmu. Ini adalah tradisi. Perempuan tidak perlu
sekolah yang tinggi. Sudah saatnya kamu dipingit. Belajar segala hal urusan wanita,
kemudian menikah dengan seseorang yang tepat.”
“Pak, tidak bisakah tradisi itu tidak dilaksanakan?” bujuk Kartini sembari menangis
“Trinil, bapakmu ini adalah Bupati. Bapak adalah pemimpin Jepara. Tidak mungkin bapak
menghancurkan tradisi sendiri.” 

Keputusan RM Ario Sosro sang ayah untuk memingit Kartini sudah bulat. Kartini pun sudah
tidak bisa merayu lagi. Dengan hati yang berat, dia mencoba menerima keputusan sang
Ayah.Di usianya 12 tersebut, Kartini harus menjalani tradisi pingitan. Kartini harus tinggal
di rumah. Kartini harus berhenti sekolah dan bersembunyi dibalik tembok tinggi.
Meninggalakan segala kecerian bersama temannya Rosa Abendanon, Annie Glaser, Stela,
Van Kol, dan lain-lain. 
Tidak ada yang bisa menggambarkan betapa tersiksanya dipingit selama berbulan-bulan.
Kartini ingin berkeliling Jepara tanpa pengawalan. Namun, ia sedang dipingit. Hari-hari ia
lalui dengan belajar hal-hal yang dilakukan oleh seorang wanita. Ia juga masih belajar
buku-buku yang dipinjamkan oleh sahabat dan kakaknya. Kartini terus berfikir. Mengapa
wanita harus tertinggal? Mengapa lelaki yang boleh bersekolah, menyampaikan pendapat,
bekerja? Lalu, buat apa wanita diciptakan jika selalu ditindas dan dibedakan dari kaum
lelaki? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikiran Kartini. 
Kartini ingin merubah semuanya. Dia terus mencari cara agar keadaan bisa lebih baik. Ia
ingin agar kaum wanita lebih maju. Hari-hari ia lewati dengan lebih bersemangat. Ia selalu
berkirim surat dengan sahabat-sahabatnya. Ada banyak hal yang ia ceritakan kepada
sahabatnya, termasuk beasiswa kedokteran di Belanda. Namun, mimpi tersebut pupus
ketika Ngasirah membawa berita tak mengenakkan.
“Trinil, sudah saatnya kamu berhenti dipingit.”
“Berhenti dipingit Bu?” Kartini heran
“Tentu. Pingitan adalah tradisi dimana kamu dilindungi, dan sudah saatnya kamu berhenti
dipingit, karena sudah ada lelaki yang akan menikahimu.”
Adipati Ario Singgih adalah sosok lelaki yang akan menikahi kartini.  Beliau adalah Bupati
Rembang. Mereka menikah pada tanggal 12 November 1903. Kartini bertanya kepada
Adipati Ario Singgih.
“Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan kepada bapak.” 
“Tentu. Apa itu Kartini?”
“Saya memiliki mimpi membangun sekolah khusus untuk kaum perempuan. Saya ingin
mereka samarata dengan lelaki. Saya ingin agar wanita tidak tertindas dan lemah.
Bagaimana menurutmu?”
“Sungguh mulia itu Kartini. Saya sempat berfikir seperti itu. Namun, karena banyak
pertimbangan saya belum melaksanakannya. Apabila kamu ingin melakukannya,
lakukanlah! Aku akan mendukungmu.”

Sesaat setelah menikah, ia segera membuka sebuah sekolah untuk perempuan. Kartini
sendiri terjun sebagai guru. Mengajarkan anak-anak perempuan segala hal yang ia
ketahui. Kegiatan tersebut berlangsung hingga usia kandungan Kartini 9 bulan. Di usia
kandungan 9 bulan, Kartini hanya menghabiskan waktu membaca buku dan membalas
surat dari teman-temannya di Belanda.
17 September 19 04, Kartini menggerakkan tangan lemahnya di atas kertas. Tiba-tiba
tubuhnya melemas. Mata yang penuh semangat itu perlahan tertutup. Tubuhnya yang tak
lelah berjuang untuk kaum wanita itu sekarang terdiam. Iya, tubuh kaku. Hari itu, Kartini
menutup hidupnya.
Namun, semangat dan perjuangannya tak pernah berakhir. Mimpi indah yang ia rangkai
perlahan terwujud. Jasa besarnya memperjuangkan untuk emansipasi wanita. Kini wanita
mampu menjadi pemimpin. Mampu bersaing dengan kaum pria dalam segala bidang.
Siapa pun itu, kaum wanita kaya, miskin, tinggi, rendah, lemah, kuat, cantik, jelek mampu
mengepakkan sayapnya berkat semangat yang ia kobarkan. Semangat dari 

Sang Srikandi Pejuang Wanita


Oleh: Mu’linnatus Sa’dah, S. Pd

Anda mungkin juga menyukai