Anda di halaman 1dari 3

Jalan Cerita Film Kartini

Film ini dimulai dengan ditampilkannya Kartini yang dipanggil ayahnya. Saat itu
Kartini berusia 16 tahun, ia segera akan menjadi Raden Ayu. Dalam hal ini di tradisi Jawa
memang seperti itu tentu dengan segala konsekuensinya. Lalu film pun mundur dimana
Kartini kecil saat merengek menangis meminta tidur dengan Ibunya yaitu Ngasirah. Namun
dalam tradisi ningrat Jawa pada waktu itu, Ngasirah tidak lagi menjadi Ibu karena berasal
dari orang biasa. Ngasirah menjadi seperti pembantu untuk para anaknya yang dilahirkannya
sendiri. Kartini kecil membantah tradisi itu saat kakaknya mengatakan “Jangan tidur dengan
pembantu”. Kartini menyela dan mengatakan bahwa “Ia bukan pembantu, tapi ia adalah ibu
kita sendiri”. Malam itu berakhir dengan sang ayah yang harus turun tangan dan
memperbolehkan Kartini tidur dengan ibunya namun itu adalah yang terakhir kalinya.
Film kemudian melompat jauh ke depan saat Kartini sudah memasuki usia gadis dalam
adat Jawa. Waktu itu seorang gadis ningrat harus dipingit atau di kurung dalam kamar dan
tidak boleh pergi kemana-mana sampai nanti menikah dengan suaminya. Kartini selalu
murung di kamarnya, ia merasa terbelenggu oleh keadaan dan aturan. Hingga sang kakak
Sosrokartono menghadiahinya buku-buku sebelum pergi lagi ke Belanda. Kartini senang
sekali dengan buku-buku itu, pikirannya kini bebas tidak terbelenggu meski tubuhnya tidak
bisa kemana-mana. Hari-hari Kartini diisi dengan membaca buku, ia seolah merasa dekat
bahkan seperti sedang di Belanda saat membaca sebuah buku milik kakaknya. Dalam buku
tersebut diceritakan seorang pengacara wanita yang sedang melakukan persidangan. Kartini
begitu mengaguminya, dimana ada seorang wanita yang derajatnya sama dengan laki-laki.
Kemudian kedua adiknya juga masuk pingitan menyusulnya sehingga Kartini bisa bertukar
pikiran dengan mereka. Kartini awalnya mengerjai adik-adiknya, sebelum akhirnya Kartini
memberikan contoh kepada adiknya untuk tidak terbelenggu pikirannya. Kartini membagi
buku tersebut dan berdiskusi melakukan hal-hal yang dulunya tidak pernah dilakukan. Ketika
Kartini dan adik-adiknya sedang memasak di dapur, seorang Abdi dalem datang dan meminta
dibuatkan minum untuk tiga tamu dari Belanda yang diantaranya adalah seorang kepala
sekolah Baron Van Dietmar, asisten Residen ke Jepara yang baru Tuan Ovink Soer dan
istrinya. Pada momen inilah yang dipakai Kartini untuk bertemu dan berbicara mengenai
pendidikan bersama mereka.
Sang Bupati yang merupakan ayah Kartini sedang menjelaskan kepada Meneer Baron
tentang anak-anaknya yang sedang dipingit. Kartini yang datang membawa minuman
langsung ikut nimbrung pembicaraan dan membantu menjelaskan bahwa dia tidak
sepenuhnya dipingit karena Kartini dan adik-adiknya merasa senang membaca buku-buku
yang dikirimkan oleh kakaknya. Suasana menjadi akrab dan pembicaraan berganti topik
dengan kepandaian Kartini dan berujung pada istri Tuan Ovink Soer mengajak Kartini
berkunjung ke rumahnya dan di sana Kartini meminta kepada istri Tuan Ovink Soer untuk
mengajarinya menjadi penulis sepertinya. Dari istri Tuan Ovink Soer inilah yang akhirnya
membuat tulisan Kartini diterbitkan di lembaga bahasa dan antropologi Belanda dengan nama
ayahnya. Tidak berselang lama Kartini dan adik-adiknya menerima buku-buku dari kakaknya
kembali. Kartini dan adik-adiknya kemudian semakin bersemangat dalam belajar dan
menulis. Sampai suatu ketika kakak mereka Raden Mas Slamet mulai mengetahui isi tulisan
Kartini yang dianggap radikal dan meminta ijin kepada ayahnya untuk ikut mengawasi
Kartini. Raden Mas Slamet akhirnya menyortir surat-surat itu dan membakar tulisan yang
dianggap mempunyai pemikiran radikal. Tetapi Kartini tidak menyerah begitu saja, ia segera
meminta bantuan pada istri Tuan Ovink Soer. Kartini meminta bantuan keponakannya yang
kecil untuk mengantarkan makanan yang di dalamnya disisipi surat. Istri Tuan Ovink Soer
segera membaca surat dari Kartini dan mengetahui pelet kini Kartini sedang dilarang keluar
rumah oleh kakaknya.
Istri Tuan Ovink Soer segera menemui Bupati Sosroningrat yaitu ayah Kartini dan
mengajak Kartini beserta keluarganya pergi ke Semarang untuk menghadiri acara ulang tahun
Tuan Residen Sitjhoff di Semarang. Kartini disambut dengan hangat oleh Tuhan Residen
Sitjhoff. Rupanya Tuan Sitjhoff telah mengenal Kartini dan kagum tulisan-tulisannya. Kartini
juga menulis tentang seni ukir Jepara yang menjadikannya mendapat tawaran untuk
mengadakan pameran ke Den Haag Belanda. Sepulang dari Semarang Kartini ditemani ayah
dan kakaknya pergi ke pengrajin ukir Jepara. Kartini meminta dibuatkan ukiran wayang tetapi
para pengrajin sempat tidak bersedia memenuhi pesanan Kartini karena mengukir wayang
pada saat itu tidaklah boleh dalam kepercayaan masyarakat Jepara. Mengukir wayang pada
saat itu dianggap berbuat dosa sampai Kartini akhirnya meyakinkan bahwa dialah yang akan
menanggung dosanya. Setelah itu banyak pesanan ukir yang datang ke Jepara dan
perekonomian pun terangkat.
Di sela-sela kesibukan barunya Kartini juga menerbitkan iklan di media Belanda untuk
mengajak seseorang yang mau berkorespondensi dengannya. Hal ini dilakukan Kartini agar
dia bisa bertukar pikiran dengan orang-orang yang ada di Belanda. Lalu bertemulah Kartini
dalam surat dengan Stella. Stella membalas setiap surat-surat yang dikirim Kartini. Ia
menemukan teman baru yang diajaknya berbagi tentang ketidak setaraan gender di negerinya.
Tidak berhenti disitu, Kartini mulai mengajari orang-orang belajar membaca alphabet. Kartini
begitu senang dengan partisipasinya dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat tentang
kesetaraan hak kaum wanita. Kartini juga sempat bertemu dengan Kiai Sholeh Darat yang
saat itu sedang memberikan pengajian di Kadipaten. Kartini begitu kagum dengan materi
pengajian yang menjelaskan arti dan makna surat Al Fatihah. Sesaat setelah Kiai hendak
pulang menuju kereta kuda, Kartini menjumpainya dan bertanya “Apakah membaca itu hanya
untuk laki-laki saja?”. Sang Kyai pun menjawab “Itu untuk semua orang”. Mendengar
jawaban itu Kartini bahagia ditambah sebelum pulang Sang Kiai berjanji akan menyelesaikan
terjemahan Al-Qur'an nya.
Konflik kembali muncul ketika Kardinah sang adik harus menikah dengan calon Bupati
Pemalang yang sudah mempunyai istri. Sempat terjadi pertentangan namun pada akhirnya
Kardinah menyerah dan menjadi istri calon Bupati tersebut. Kini di kamar pingitan tinggallah
Rukmini dan Kartini. Sang Ibu merasa Kartini menjadi provokator perlawanan adik-adiknya,
kini dipisahkan kamarnya. Di saat kesendirian itu Kartini melampiaskan dengan sebuah surat
yang ditujukan ke Stella. Karena keadaan tidak berubah, Kartini kemudian mencoba
mengajukan beasiswa ke Belanda. Kartini mendapat izin dari sang ayah bila ingin ke
Belanda. Namun disisi lain setelah banyaknya tekanan dari banyak Bupati kepada ayah
Kartini, para bupati khawatir bila seorang perempuan berpendidikan tinggi maka kelak Ia
juga akan menuntut untuk menjadi Bupati dan bila itu terjadi bisa jadi orang-orang biasa juga
akan jadi Raja. Kekhawatiran itu dibantah oleh ayah Kartini dengan mengatakan bahwa
perubahan itu sudah pasti, tinggal siapa yang memulai dan jangan menjadi pengecut dengan
menyalahkan Kartini. Ketika menunggu proposal Beasiswa Kartini dari Belanda, lamaran
dari seorang Bupati Rembang datang. Namun di saat yang bersamaan Ayah Kartini yang
selama ini menjadi pembelanya jatuh sakit dan untuk sementara digantikan oleh sang kakak
sehingga Kartini sulit untuk melawan kakaknya. Kartini sebenarnya tidak menyerah dengan
ancaman-ancaman dari kakak dan ibunya. Kartini pada akhirnya luluh dengan ibunya,
Ngasirah yang bercerita bahwa dia harus berkorban untuknya dengan turun dari istri menjadi
seorang pembantu karena Ngasirah bukan dari keluarga ningrat. Ngasirah hanya ingin anak-
anaknyalah yang kelak menjadi ningrat dengan naiknya tahta ayahnya menjadi bupati yang
harus beristri oleh orang ningrat pada waktu itu. Kartini akhirnya menerima lamaran sang
Bupati namun dengan tiga syarat. Pertama, Kartini tidak mau mencuci kaki suaminya.
Padahal hal ini sudah lazim pada masa itu karena setiap istri harus mencuci kaki suaminya.
Kedua, Kartini tidak mau dibebani dengan sopan santun yang rumit dan Kartini mau
diperlakukan seperti orang biasa. Ketiga, suami Kartini nanti harus membantunya dalam
mendirikan sekolah untuk wanita dan orang miskin. Kemudian ditambah Kartini ingin Yu
Ngasirah tidak lagi tinggal di rumah belakang tetapi tinggal di ruang depan dan Kartini
meminta semua rakyatnya untuk memanggilnya sebagai Raden Ajeng bukan lagi sebagai Yu
yang dimana itu adalah panggilan untuk seorang pembantu pada masa itu.
Film ditutup dengan Kartini yang akhirnya menikah dengan Bupati Rembang dan
proposal Kartini bersekolah ke Belanda disetujui tiga hari setelah hari pernikahannya. Karena
Kartini tidak bisa ke Belanda maka beasiswanya harus diberikan pada Kiai Haji Agus Salim
dari Sumatera yang kelak menjadi menteri luar negeri pertama Indonesia. Meski beasiswanya
dibatalkan Kartini berhasil mendirikan sekolah untuk wanita yang didukung oleh suaminya
dan teman Kartini yang ada di Belanda menerbitkan tulisan Kartini ke dalam buku dan
menginspirasi wanita Indonesia sampai saat ini.

Anda mungkin juga menyukai