Orang tua: Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Ayah) & M.A. Ngasirah (Ibu)
Penghargaan:
Kartini sangat gelisah. Berulang-ulang Ia bertanya pada dirinya sendiri, mengapa hal itu harus terjadi? Mengapa
kaum lelaki tidak harus mengalami seperti yang dialami diri dan kaumnya? Namun ia tidak menemukan jawaban
yang memuaskan kegelisahannya. Yang ia tahu, itu semua karena adanya pagar teramat kuat bernama adat-
istiadat. Itu saja.
Bau mulut-tanda parasit dalam tubuh. Mereka lenyap jika Anda minum
sesendok Wanita berusia 64 ini tidak memiliki keriput dan semua orang
Terbetik pula keinginan Kartini untuk melompati pagar teramat kuat itu dan ia yakin mampu melakuk annya. Ia
merasa mampu mengejar cita-citanya menjadi guru. Namun yang tidak mampu dan tidak mungkin dilakukannya
adalah mencorengkan arang di kening orang tuanya. Pendobrakannya pada adat istiadat sudah pasti akan
membuat orang tuanya mendapat malu dan kehinaan yang sangat. Jelas Ia tidak berani dan juga tidak berniat
membuat ayah dan ibunya mendapat malu dan kehinaan atas kelakuannya. Namun, apa yang harus Ia lakukan?
Kartini tidak tahu jawaban pastinya. Dan itu semakin membuatnya gelisah.
Segala yang meresahkan hatinya, segala yang memenuhi benak dan pikirannya serta segala yang dirasakannya
dengan kodratnya sebagai wanita Jawa diungkapkannya melalui surat-surat yang lantas dikirimkannya ke teman
dekatnya, Abendanon, yang menjadi Direktur Pengajaran Belanda. Kelak, kumpulan surat-surat Kartini itu
dibukukan dan diberi judul Door Duistemis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Selain surat pribadi kepada
Abendanon, Kartini juga mengirimkan surat permohonan untuk mendapatkan bea siswa untuk bersekolah di
Belanda.
Dalam masa pingitan, Kartini memang sempat 'melawan' pagar kuat itu. Perlawanannya ditunjukkannya dengan
membuka Sekolah bagi ának-anak perempuan yang tinggal di sekitar kediamannya. Ia mengerti, amat banyak
perempuan yang sama sekali tidak pernah mendapatkan pendidikan. Ia ingin berbagi. Diajarinya anak-anak
perempuan itu membaca, berhitung, menyanyi dan aneka keterampilan layaknya yang biasa didapatkan di
sekolah. Ia sangat senang bisa berbuat itu. Kepuasannya menjadi ‘guru’ sejenak mengobati kerinduannya untuk
menjadi guru yang sesungguhnya.
Pagar kuat bernama adat istladat itu hampir saja bisa dilompati Kartini ketika datang surat dari Belanda yang
mengabulkan permohonannya untuk bersekolah di Belanda. Bea siswa telah tersedia untuknya. Cita citanya
menjadi guru bukan lagi seperti menyentuh langit baginya. Namun surat itu datang tidak tepat waktu. Masa
pingitannya hampir berakhir. Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrattelah siap menjadi suaminya. Ia
harus memasuki pintu rumah tangganya sendiri. Cita-citanya menjadi guru kembali laksana menyentuh langit!
Sekalipun dari balik tembok pingitan namun Kartini tahu, ada seorang pemuda cerdas yang sangat
membutuhkan bea siswa untuk melanjutkan pendidikannya. Pemuda itu bukan berasal dari sukunya. Ia berasal
dari Minangkabau, Sumatera Barat. Agus Salim namanya. Kartini ingin berbuat baik bagi sahabat Sebangsanya
itu. Ia pun kembali mengirimkan surat ke Belanda dan memohon agar bea siswa itu diberikan kepada Agus
Salim. Sayang, Agus Salim tidak memanfaatkan kebaikan Kartini itu dengan alasan yang hanya Agus Salim
sendiri saja yang tahu.
Kartini seketika melupakan keindahan suasana belajar di negeri Belanda ketika ia telah membuka pintu rumah
tangganya sendiri. Ia telah bersuami. Ia telah menjadi milik seorang lelaki. Ia harus melayani lelaki itu dengan
sebaik-baiknya seperti yang dilakukan ibunya terhadap ayahandanya. Sayang, usia Kartini tidak sepanjang
angan-angan dan harapannya. 3 hari sesudah melahirkan putranya, Kartini kembali kepada Tuhan Yang Maha
Pencipta dalam usianya yang terbilang sangat muda, 25 tahun. Ia meninggal dunia 17 September 1904. Raden
Ajeng Kartini telah tiada. Keinginannya untuk melompati pagar kuat bemama adat istiadat itu kini telah diwakili
perempuan-perempuan Indonesia.
Habis Gelap Terbitlah Terang benar-benar menjadi kenyataan. Kondisi 'gelap' yang dialami Kartini telah
berubah 'terang benderang' bagi perempuan-perempuan Indonesia lainnya. Itulah jasa besar Kartini yang tiada
mungkin dilupakan oleh perempuan-perempuan Indonesia yang menjadi bebas sebebas-bebasnya untuk meraih
apapun juga yang menjadi cita-citanya. Perjuangan yang dilakukan Raden Ajeng Kartini sangat dihargai
Pemerintah Indonesia hingga putrid Jepara yang cantik itu dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Pergerakan
Nasional pada tahun 1964.