Jam istirahat tiba. Ratih sedang menikmati bekal makan siang seperti biasanya
ketika Clara dan teman-teman se-geng-nya masuk ke kelas.
“Tumben,” pikir Ratih. “Biasanya kalo jam istirahat, mereka selalu nongkrong di
kantin, jual pesona.” Ya, Clara lagi tak punya mood untuk nongkrong di kantin
sekolah. Ia masuk ke kelas dengan wajah kesal. Teman-temannya mengikuti dari
belakang.
“Ya, keliatan kok dari muka lu. Tapi kenapa ratu kita ini bisa bosen?” kata Dona.
“Iya, Clara. Lu kan paling anti sama yang namanya bosen.” timpal Katie.
“Gue pengen ketemu cowok cakep, tampan, kaya, asyik, cool, perhatian, bisa
buat gue senyum. Yang beda ama Bill, Danny, Will, dan bla bla bla. Gue udah
bosen sama mereka-mereka.”
“Clara, cowok kayak gitu cuma ada di dongeng Cinderella, Snow White.”
“Pokoknya, kalo ketemu cowok kayak gitu, gue janji, sumpah, bakalan ngelakuin
apa yang dia pengen gue lakuin. Selama belum ketemu cowok itu, gue bakalan
bete … bete … bete … bete … BEETEEE!”
“Ya udah. Gimana kalo kita sekarang mabal aja. Terus hang out bareng.
Shopping, lunch, facial, …” usul Gina. “So refreshing … sekalian hunting.”
“Lu gila, ya? Sekarang tuh pelajarannya Bu Nani… Ulangan tau!” Nicole
mengingatkan teman-temannya.
“Waktu kalian mabal kemaren, Bu Nani bilang ke si Katak (julukan mereka buat
Dani, ketua kelas. ~red) kalau hari ini dia bakal ngadain ulangan Logaritma.”
“Sial! Si ibu itu ya, emang kelewatan bikin soalnya,” keluh Gina saat pergantian
pelajaran. Nicole terlihat menelungkupkan kepalanya di atas meja. Sementara
Clara, pikirannya masih tertuju pada cowok idamannya itu.
***
Keesokan harinya, 30 menit sebelum jam masuk kelas, Ratih sudah di kelas. Hari
ini dia piket. Sebetulnya, Clara juga piket di hari yang sama, tapi dia tahu
kebiasaan Clara yang tak mungkin ada di sekolah untuk belajar, apalagi piket.
Ratih bersenandung kecil menyanyikan lagu Hari Ini Harinya Tuhan. Segera
senandungnya terhenti saat melihat sosok yang baru saja memasuki kelas.
“Ga usah aneh, deh. Gue terpaksa. Si Dani bakal ngasi tahu Bu Nani, kalo gue ga
pernah piket. Gue harus ngapain?”
“Hhmmm … gitu ya. Oke, tinggal deretan itu sama sebelahnya yang belum
disapu. Sapunya yang satu lagi ada di balik lemari.” jawab Ratih.
Tak ada percakapan di antara mereka. Lalu Ratih berusaha memecah suasana.
“Bukan begitu … cuma kalau belum ketemu, aku punya kenalan cowok seperti
yang kamu bilang kemaren. Orangnya baik, tampan, perhatian, kaya, setia …”
sahut Ratih.
“Hah?! Ga salah tuh? Gue rasa lu ga tahu maksud gue. Kita ada di dunia yang
berbeda tau!”
Ratih hanya tersenyum. Ketika pulang sekolah, dia memberikan selembar kertas
pada Clara, dengan tulisan:
Kalo kamu penasaran sama cowok kenalanku, temui aku di Cafe Halaman, jam 7
malam ini.
***
“Hai, Kate. Gue ga jadi ikut hang out malam ini. Ada janji.”
Clara telah memutuskan untuk menerima tawaran Ratih. Segera dia pergi ke
kamarnya, membuka lemari pakaian, dan mengambil sebuah baju warna ungu.
Dia mengepas baju itu di tubuhnya dan bercermin. “Hhmm,” gumamnya. Lalu
menutup lemari. Sebelum lemari tertutup sempurna, dia kembali membukanya,
mengambil baju yang lain, mencobanya, melepasnya, mengambil yang baju yang
lain lagi, mencobanya, meletakkannya lagi. Begitu terus sampai setengah isi
lemari pakaiannya berserakan di atas tempat tidur dan karpet kamarnya.
Akhirnya ia memutuskan untuk membeli baju baru.
***
Pukul tujuh kurang sedikit Clara tiba di Café Halaman. Dia mengenakan baju
hitam berhiaskan payet motif bunga. Rambutnya dikuncir ekor kuda. Untuk
aksesoris, dia memilih jam tangan yang dihiasi berlian, cincin bermata batu
ruby, dan sepasang anting menggantung di telinganya. Dia memperhatikan
kanan dan kiri, mencari seseorang. Di sudut kiri, Ratih melambaikan tangan
memberi tanda sambil tersenyum. Ratih langsung berdiri ketika Clara
menghampirinya.
Clara tampak bingung. “Makan dulu? Gue maunya makan bareng sama cowok
kenalannya. Gimana sih anak ini”, pikir Clara kesal.
“Ratih, elu jangan main-main ya. Gue tuh punya janji yang lebih penting. Ngerti
lu?!”
Ratih hanya tersenyum kecil. “Iya, iya, aku tahu. Makanya, tunggu aja dulu, biar
semuanya jelas. Sekarang kamu mau pesan apa?”
Setengah jam berlalu. Clara hanya memesan lemon squash, sedangkan Ratih
memesan nasi goreng, ice lemon tea, dan es krim coklat sebagai penutup.
Mungkin itu yang memberinya tenaga untuk bercerita banyak tentang berbagai
pengalamannya. Sementara, Clara mendengarkan cerita Ratih setengah hati.
Lebih tepatnya, hanya seperempat hati.
“Ho! Tunggu dulu! Denger ya … seumur hidup gue ga pernah ngampirin cowok.
Ini aja udah mecah rekor karena gue mau nungguin dia sama makhluk asing
kayak lo!” kekesalan Clara mencuat.
“Nah, sama dong kayak kenalanku itu. Dia selalu nungguin aku, dan sahabat-
sahabat yang lain. Jadi hari ini semuanya kita buat berbeda dan spesial. Yuk.
Keburu malam nih,” kata Ratih sambil menarik tangan Clara. Mobil Clara melaju
ke tempat yang ditunjukkan Ratih.
Mereka tiba di sebuah bangunan peninggalan Belanda. Bangunan itu tak terlalu
besar, tapi langit-langitnya terlihat tinggi menjulang.
“Takut?? Heh, tadi aja gue berani makan bareng elu, alien dari planet antah
berantah, apalagi sekarang cuma gedung doang.”
Satu-satunya yang terlihat jelas adalah cahaya dari pintu besar yang terbuka.
Clara membalas kata-kata Ratih dengan pandangan ragu-ragu. Namun, dia pun
mulai melangkah perlahan. Ketika sampai di depan pintu, terlihat jelas seluruh
isi ruangan. Dalam gedung itu ternyata terdapat kursi panjang yang berjejer
rapi. Dan di depan deretan kursi-kursi itu, ada altar dan mimbar.
Setelah mereka duduk, Ratih memejamkan matanya berdoa. Clara tak tahu
harus bagaimana. Perasaannya tak nyaman. Dia ingin semua ini berakhir.
Berharap ini hanya mimpi di siang bolong. Dia ingin kembali ke kehidupannya.
“Clara, kenalin, ini teman aku, Yesus,” kata Ratih sambil menatap ke depan, ke
sebuah salib.
“Aku ga ngebohongin kamu. Yesus itu Anak Allah yang Tunggal, Raja di atas
segala raja. Dia punya segalanya, hidup kita, harta, kekayaan, bahkan bumi
tempat kita tinggal. Kita hanya numpang di salah satu perumahan-Nya.” kata
Ratih.
“Dan aku yakin Dia pasti sangat tampan, paling tampan malah. Soalnya, Dia
yang menciptakan Bill, Will, Danny, cowok-cowok tampan di sekolah kita. Juga
Brad Pitt, Tom Cruise, Daniel Radcliff, Christian Sugiono, Nicholas Saputra,
semuanya. Berarti kan Dia lebih tampan lagi … ciptaan-Nya aja keren begitu.
Tuhan kan menciptakan manusia serupa dengan-Nya.” lanjut Ratih.
“Temasuk Dani si muka katak, Heru dengan tatapan tololnya, Doli yang
senyumnya aneh, Jaka yang ‘kelainan jiwa’ …?” tanya Clara.
“Tapi tahukah kamu kalau Dani adalah cowok yang paling berani? Waktu kelas
satu ia mempertanggungjawabkan kekacauan yang dibuat Bill di hadapan Bu
Nani. Sementara si Bill entah ke mana.”
“Lalu si Heru,” lanjut Ratih. “Dia rela mengaku ngga buat PR waktu pelajaran
kimia, padahal sebenarnya dia sudah menyelesaikannya. Heru ngelakuin itu biar
kamu ngga sendirian disetrap di depan kelas. Dia ngelakuin itu dengan senang
hati karena dia menganggap kamu itu juga temannya. Dia ingin ngerasain apa
yang temannya rasakan.”
“Clara, kamu ingat ga waktu mobilmu mogok?” tanya Ratih. “Doli, Gary, sama
Herman udah bantuin dorong mobil saat ujan lebat ke tempat aman, sementara
kalian ketawa-ketiwi di dalam mobil, termasuk Will, yang bahkan ngga tau
gimana caranya ganti ban. Doli berpikir apa adanya, spontan bantuin kamu kan?
Juga Jaka, tahu ngga kalau dia bakal masuk MIT, institut teknologi nomor satu di
dunia, karena berbagai penelitian yang sudah dia lakukan. Dia membawa nama
baik sekolah kita, Clara.” papar Ratih.
“Tuhan telah menciptakan mereka, maka aku tahu. Tuhan juga benar-benar
Pribadi yang setia, penuh perhatian. Dia yang menciptakan Pupsy, anjing
kesayanganmu, yang bisa membuatmu tertawa, tersenyum bahagia, dari dalam
hatimu. Tuhan selalu ada bahkan di saat kamu tak menyadarinya. Saat kamu
sedih, Dia juga sedih, Dia selalu bersamamu, bahkan ketika kamu melupakan-
Nya. Tapi, Dia sangat mengasihimu. Dia memberimu rumah bagus, mobil yang
nyaman, dan semua-muanya. Sekarang kamu mengenal Pribadi yang kamu
idamkan. Yang Sempurna.” kata Ratih.
Sepanjang waktu itu Clara hanya diam. Tapi, ia menyimak jelas semua yang
dikatakan Ratih. Dia tak tahu harus ngomong apa. Setelah mendengar perkataan
Ratih itu, ada perasaan bersalah, senang, bingung, takut, ragu, bercampur aduk.
Dan Ratih bisa membaca raut wajah Clara.
“Waktu itu kamu kan janji, bahkan bersumpah, bakal ngelakuin apa pun yang
cowok itu minta untuk kamu lakukan kalau kamu bertemu dia?”
Clara menunduk. Janji aja udah utang, apalagi sumpah… sesalnya dalam hati.
“Jangan stress gitu dong. Sekarang, di sini kamu kenalan sama Tuhan Yesus
dulu.”
“Ya. Begini, lipat tangan dan pejamkan matamu. Katakan, ‘Selamat malam,
Tuhan Yesus, ini Clara. Clara baru mendengar sedikit saja tentang-Mu. Tapi Clara
mau lebih mengenal-Mu. Kiranya Engkau berkenan dan kita bisa berkenalan.
Inilah doaku, ya Tuhan. Terima kasih Yesus, Amin.”
“Nah, sekarang mari kita pulang. Setelah ini, selama satu minggu, tiap pagi kamu
baca renungan ini sesuai tanggalnya dan baca ayat tuntunannya juga di Alkitab.
Karena hanya dalam Alkitab inilah tertulis semua yang Tuhan ingin kita
lakukan. Kamu punya Alkitab kan?” tanya Ratih.
“Pas malam tiba, kalau kamu ingin pergi ke pesta atau café atau yang lain,
cobalah menahan diri. Alihkan dengan membaca Alkitab atau buku tentang
kasih Tuhan Yesus. Ini aku bawain buku buatmu. Ini buku perkenalanku
dengan-Nya. Seminggu ini, biarkan Yesus menyatakan diri-Nya dengan cara-Nya
melalui firman-Nya dan doa. Yang kamu perlukan hanya menyediakan waktu
untuk-Nya.” kata Ratih.
“Seminggu? Kalau gue ga berubah gimana? Nunggu seminggu lagi dan lagi dan
lagi…?” tanya Clara.
“Kamu jalani dulu saja. Aku yakin Dia udah menunggu dan mencarimu selama
ini. Dan aku rasa ini adalah momen-Nya.”
Clara mendesah pasrah. Itulah akhir dari pertemuan mereka malam itu.
***
Sejak saat itu, satu minggu lebih berlalu tanpa ada kabar dari Clara. Dia tak
masuk sekolah karena ikut perjalanan dinas papanya. Dalam hati, Ratih ingin
tahu bagaimana Clara menjalani minggu itu, apa dia mau mencoba untuk
mengenal Tuhan atau tidak. Tapi, Ratih lebih memilih untuk melepaskan semua
pikiran itu. Itu bukan sesuatu yang berada dalam kemampuannya.
“Ga kok, aku lagi ga ngapa-ngapain. Ayo, masuk. Sejujurnya, aku memang
sedang menunggu kabar darimu. Tapi, kamu ngga masuk sekolah. Emangnya
papamu dinas ke mana?”
“Wuih, asyik ya…hhmm, di sana kan katanya wisata alamnya bagus banget!!
Pasti kamu sibuk ngiter-ngiter ya pas papamu sibuk urusan kantor. Enaknya…”
“Ga begitu. Gue ga ikut ke Bangkok. Itu cuma alasan gue izin dari sekolah.”
“Lho?? Jadi selama ini elu ke mana, Clara?” Ratih terkejut mendengar kata-kata
Clara.
“Gue ke rumah doa. Heran ya? Setelah pertemuan kita, gue coba baca renungan
dan Alkitab yang akhirnya beli baru lagi karena Alkitab gue yang dulu ga
ketemu. Pagi hari itu, Tuhan menyapa gue, Dia selalu bersama gue. Entah
kenapa, gue menangis. Ayat renungan itu seharian terlintas di otak. Malam
harinya, juga begitu,” cerita Clara.
“Gue ga bisa ngalihin pikiran untuk menolak ajakan Katie pergi ke pesta Henry.
Telepon dari sana-sini membuat gue ga bisa konsentrasi. Akhirnya gue pergi lagi
ke gereja waktu itu. Di sana ketemu Pak Benny. Dia ngebolehin gue berdoa dan
saat teduh di sana berjam-jam. Pak Benny juga yang ngasi tau kalau ada rumah
doa, tempat berbagi waktu pribadi dengan Tuhan.” lanjut Clara.
“Gue langsung pergi ke rumah doa itu. Di sana gue bertemu Bu Katya dan bilang
kalau gue tahu tempat itu dari Pak Benny. Bu Katya dengan ramah
menunjukkan sebuah kamar yang bisa gue pakai. Mulai hari itu gue tinggal di
sana, membaca Alkitab, berdoa, dan membaca renungan seakan sedang
kelaparan.”
“Gue nangis ketika Tuhan menyatakan kesalahan gue, dan tambah menangis lagi
ketika apa pun kesalahanku akan Dia ampuni kalau aku mau kembali pada-Nya.
Gue mulai mikir, Tih. Gue ga nyangka semuanya ini. Setiap hari, Tuhan
menyatakan kehadiran-Nya, dan selalu membuat gue terdiam. Setelah delapan
hari di sana, gue tahu masih belum cukup belajar dan mengenal Tuhan Yesus.
Tapi gue harus kembali sebab mengenal Tuhan adalah setiap hari. Gue harus
kembali menghadapi hidup gue, tapi kali ini bersama Tuhan Yesus. Sejak pulang
dari rumah doa, gue tahu telah memiliki Tuhan Yesus, Raja di atas segala raja,
Sahabat sejati, Teman setia, Bapa yang Maha Pengasih. Dan gue sudah
mendapatkan lebih dari yang dulu gue cari.”
“Makasih ya. Makasih atas semuanya, Tih. Elu adalah teman gue. Gue sangat
bangga bisa bertemu dengan elu, Doli, Heru, Herman, Gary, Jaka, dan Dani.”
“Ya, Clara?”
“Ada satu hal lagi yang belum gue ceritain.”
“Oh?”
“Waktu di rumah doa, gue mikirin apa yang dulu gue lakukan termasuk
pandangan gue tentang cowok.”
“Hhmm..”
“Lalu gue berdoa,” lanjut Clara. “Gue mengaku telah salah menilai cowok. Gue
berdoa agar tak mbeda-bedain mereka, juga orang lain, karena setiap orang
dikasihi Tuhan. Bagaimana gue bisa membenci mereka? Gue berdoa jika suatu
saat memang diperkenan punya seorang pendamping, gue ingin cowok itu
memang yang Tuhan berikan untuk gue, karena itulah yang paling cocok.”
“Terus…”
“Waktu di rumah doa, gue ketemu anaknya Bu Katya yang lagi main ke sana. Dia
rutin setiap minggu ke sana. Yah, singkat cerita setelah kami ngobrol-ngobrol,
saling mengenal lebih dalam, dia nembak gue.”
“Kamu yakin, Clara? Maksudku, aku sih bukan pakarnya, tapi pertemuan kalian
kan singkat banget.”
“Tenang, Tih. Ini masih masa pacaran kok. Walaupun gue terus berdoa. Lagipula,
kami sudah kenal lama kok. Elu juga kenal dia.”
“Iya. Mungkin kalau dibilang anaknya Bu Katya elu ga kenal. Kalau…. Dani,
ketua kelas kita, elu pasti kenal kan?”
“Apa?????!!!! Dani???”
“Iya.”
“Menurut dongeng zaman kerajaan dulu, katak akan berubah menjadi pangeran
tampan kalau dicium wanitanya,” bela Clara.
“Yaaaa!” sahutnya.
“Oh, kayaknya itu Dani deh. Gue emang janjian sama dia di sini. Biar kita
sekalian makan malam bareng. Mau kan?”
Beberapa saat kemudian, Ratih keluar dan menghampiri Clara dan Dani yang
sedang bercengkerama di teras depan.
“Hai, Tih!”
“Wah, bener Clara. Dia sudah jadi pangeran tampan! Berarti kamu sudah dicium
ama Clara ya, Dan?” canda Ratih.
***
TAMAT