Anda di halaman 1dari 7

Chapter 6

Kerja Sama Membuat Bisnis Baru

“Nyonya, apakah Anda melihat berita hari ini?” tanya Lily sambil merengut menunjukkan
majalah Timing. “Disini dikatakan bahwa penyihir telah kembali. Apakah itu benar?”
“Oh, ya? Mana, sini biar kulihat,” Dorres berkata sambil merampas majalah itu darinya. “Aku
rasa ini hanya orang yang iseng, seperti trik pesulap biasa.”
“Menurutmu kenapa dia melakukan itu?” tanya Charlotte.
“Entahlah. Tapi jika saya menjadi dia, mungkin sebagai peringatan kalau penyihir telah
kembali. Aku tidak tahu.”
Charlotte dan Dorres mengangguk setuju. Untungnya orang di rumah ini tidak tahu bahwa
ternyata kemarin malam Charlotte pergi ke Festival Rakyat dan melihatnya secara langsung.
Kalau saja mereka tahu pastilah keadaan sekarang tidaklah tenang.
“Nyonya. Para tamu sudah siap bertemu dengan Anda.”
Charlotte merapikan pakaiannya sebentar lalu duduk di sofa dengan anggun, lalu berkata,
“Biarkan mereka Masuk.”
Pintu terbuka, dan disana para pengusaha baru maupun lama sedang menunggu. Antrian
pailng depan maju pertama menghadap Charlotte dan seterusnya.
“Kami memiliki benih mawar yang sudah disempurnakan selama turun menurun hingga
menghasilkan warna yang cantik dan segar. Juga bunga ini dapat tumbuh kapanpun musimnya
sehingga persediaan akan selalu ada. Produk terbaru kami memiliki motif bintik-bintik di
kelopaknya.”
“Mawar itu terlalu mahal untuk dijangkau orang-orang.”
Orang pertama lewat. Bibi itu mengecewakannya karena dia ingin bunga plastik yang dapat
dibeli dari berbagai kalangan karena harganya yang murah. Sedangkan ini seharga obat
tradisional langka karena jumlah bijinya yang terbatas.
“Saya sangat suka anak-anak. Jadi saya membuat permainan ular tangga yang sangat
menyenangkan. Tidak seperti permainan papan catur yang memerlukan otak, tapi hanya
keberuntungan yang diandalkan saat melempar dadu. Sehingga anak kecil pun bisa
memainkannya tanpa bingung caranya. Apakah Yang Mulia mau mencoba?”
“Oke cukup. Tapi aku tidak tertarik.”
Charlotte yang berasal dari dunia modern tidak tertarik memainkannya lagi. Padahal dia
berharap suatu permainan seperti merasakan sensasi pertualangan mencari harta. Tapi tidak
mungkin itu terjadi di tempat ini yang masih ketinggalan zaman.
“Peternakan Babi punya saya sangat menjanjikan.“
“Aku tidak suka babi. Mereka menjijikkan.”
Orang selanjutnya pun masuk.
“Membuat gaun-gaun untuk para bangsawan merupakan cita-cita saya dari kecil. “
“Maaf, tapi aku tidak suka gaya gaun itu. Terlihat norak dan ketinggalan zaman.”
Ibu itu pun pergi dalam diam, diwajahnya memiliki kekecewaan yang besar. Sebenarnya
Charlotte terpaksa melakukannya karena dia memiliki rencana lain dalam memanfaatkan uang
investasinya dengan baik.
“Kenapa tidak ada satupun yang menarik?” katanya sambil berpura-pura kesal, padahal dalam
hatinya dia meminta maaf atas kata-kata kasarnya.
Para pelayan yang melihatnya sangat bingung dengan sikap Duchess, padahal gaun yang
dipakai Charlotte itu sendiri hampir sama dengan gaya gaun buatan ibu tadi. Charlotte sudah
menolak semua pengusaha yang menawarkan produk-produk yang sebenarnya cukup bagus,
hingga menyisakan satu orang diluar.
Tak lama kemudian masuk seorang bapak tua yang sebelah mata kirinya ditutup kain.
Badanya besar dan kulitnya secokelat tanah. Charlotte merasa akan sulit mengusir orang kali ini
dilihat dari auranya yang memancarkan kesan bengis.
“Perkenalkan. Nama saya Biroon, si pandai besi yang menjual berbagai macam senjata.”
“Silahkan duduk dan bicarakan lebih lanjut,” kata Charlotte sambil memaksakan senyum .
Dia mengeluarkan beberapa jenis pisau yang terlihat menakutkan. Dan mulai menjelaskan
dari kiri ke kanan satu persatu, “Pisau ini kusebut jagoan. Karena diujungnya dibuat bengkok
untuk dapat mencongkel organ lembut ketika menakuti musuh saat berusaha mencari informasi
lebih dalam. Kalau yang ini pisau kerambi yang sering digunakan ksatria saat berlatih beradu
kekuatan jarak dekat. Ujung pisau yang dibuat seruncing mungkin memungkinkan untuk
mengoyak tubuh lawan. Apakah Anda mau mencoba memegangnya?”
Lily dan para pelayan yang lain merasa ngeri melihat benda tajam itu. Walaupun Biroon tidak
menjelaskannya dengan rinci, mereka semua tahu kalau semua pisau itu berbahaya.
“Tidak, terimakasih. Tapi apa bedanya dengan yang diujung itu?”
“Ini pisau mati hitam. Jika permukaan kulit tersayat sedikit saja, maka orang itu bakal
teracuni perlahan dan membuat tubuhnya menghitam. Ini cocok sekali ketika bertarung duel.
Saya yakin Adipati Alaan akan setuju berinvestasi. Bagaimana? Apakah Anda tertarik?”
“Sepertinya tidak. Karena kerajaan Archess selama ini adam dan tentram. Kita tidak butuh
mempasarkan lebih banyak senjata. Malahan itu akan membuat kejahatan terjadi dimana-mana.”
“Tapi Nyonya. Kita harus selalu siap siaga. Kita tidak akan pernah tahu kapan perang akan
terjadi. Anda pasti sudah mendengar bahwa penyihir telah kembali, bukan? Aku yakin kerajaan
ini akan segera terancam bahaya. Kita harus mulai bersiap dari sekarang, Nyonya!”
“Tenang Sir Biroon. Aku mengerti maksudmu. Tapi ini adalah jenis barang yang harus
benar-benar dipertimbangkan supaya diinvestasi atau tidak,” katanya dengan nada lelah, dan
Dorres menyadari kode itu.
“Sir, Saya pikir hari ini sudah cukup. Nyonya sudah berkerja dari siang sampai petang tanpa
beristirahat. Saya harap Anda mengerti.”
Charlotte membantu alasannya dengan batuk secara tiba-tiba, seraya berkata, “Maaf, saya
sebenarnya hari ini tidak enak badan. Lily, tolong ambilkan obatku.”
“Baik, Nyonya!”
Mereka berakting dengan serius satu sama lain, Dorres memijit bahu Charlotte, sedangkan
Lily membantunya minum obat yang sebenarnya hanyalah permen vitamin. Biroon yang sudah
tua merasa bersalah karena telah banyak menghabiskan waktu Duchess.
“Maafkan saya yang telah lancang Nyonya. Saya akan segera pergi,“ dia berkata lalu pergi
dengan hormat.
“Ya, ampun Nyonya. Kalau kita tidak berlatih sebelumnya, saya pikir dia akan terus memaksa
Nyonya untuk menerima benda tajam itu dijual dipasaran,” ucap Dorres dengan lega. “Tapi coba
pikirkan, wanita mana yang akan menerima pisau itu?”
“Iya, kamu benar. Apakah Abigailts sudah datang?”
“Sudah, dia datang 5 menit yang lalu,” jawab cepat Lily.
“Suruh dia masuk sekarang.”
Kemudian Lily pergi keluar memanggilya.
“Apa Nyonya tidak mau beristirahat sebentar? Jangan memaksakan diri. Saya takut Anda
akan jatuh pingsan,” kata Dorres mengkhawatirkannya.
“Tenang saja. Aku orang yang kuat, tidak akan mudah sakit. Lagian kita tidak bisa
membuatnya menunggu lebih lama lagi.”
“Kenapa Nyonya sangat ingin menemuinya? Saya kan sudah bilang dia orang yang tidak
baik.”
“Justru itu aku tertarik bekerja sama dengannya.”
Sementara itu di ruang tunggu Abigaitls sedang duduk menyilangkan kakinya sambil
memeriksa jamnya beberapa kali. Dan juga sesekali mengecek pintu, bertanya-tanya apakah ini
sudah gilirannya. Kemudian seorang pelayan cantik keluar menemuinya.
“Duchess Charlotte sudah siap menemuinya Anda. Silahkan masuk.”
Bagi Abigailts, suara itu seperti memanggilnya ke surga, merdu untuk didengar.
“Sir?”
Abigailts kembali ke dunia nyata, dan bertanya, “Siapa namamu wahai gadis cantik?”
“Maaf?”
“Aku ingin tahu namamu.”
“Saya hanya seorang pelayan biasa,” Lily tidak suka orang yang tidak sopan, dan
memutuskan untuk mengabaikannya dan fokus ke pekerjaanya kembali. “Ayo, Yang Mulia
Duchess sudah menunggu.”
Abigailts tidak mengerti kenapa pelayan itu tidak mau memberikan namanya, atau karena
perempuan itu tidak mengerti bahasa Volshebnny dengan baik. Baginya pelayan tanpa nama itu
memiliki senyum seperti malaikat, tapi hatinya sekeras batu es. Dia membuatnya penasaran, dan
membuatnya tambah ingin mencari tahu tentangnya lagi.
Abigailts memasuki ruangan dan memberi hormat kepada Duchess Charlotte, “Selamat Sore
Yang Mulia.”
“Silahkan duduk.”
Abigailts melirik beberapa kali ke Lily, tapi dia mengacuhkannya dan dengan sopan berdiri di
samping Charlotte. Wanita satu ini sungguh dingin.
“Kamu tahu kenapa aku memanggilmu kesini?”
“Saya rasa karena kelancangan saya yang menarik kembali permintaan investasi di kelurga
Duke. Jika benar, saya minta maaf Yang Mulia. Saya sudah berubah pikiran dan memutuskan
untuk tidak berkerja sama dengan siapapun lagi.”
“Tidak, tidak. Bukan itu maksud aku memanggilmu. Aku hanya ingin menawarkan bisnis
baru kepadamu. Bisnis yang sangat menguntungkan,” kata Charlotte dengan bersemangat sambil
memberikannya beberapa dokumen.
“Maafkan saya. Tapi saya tidak tertarik sama sekali.“
“Ibuku pernah berkata, ‘Walaupun kamu tidak suka dengan hal apapun itu, cobalah
memberinya kesempatan untuk berbicara. Karena semua orang berhak untuk mendapatkan apa
yang dinginkannya’.”
Dia menjilat bibirnya yang kering dan mengambil dokumen itu dengan enggan. Charlotte
merasa senang karena senjata kalimat ibunya ampuh.
Dokumen itu berisi tentang bisnis kue dan minuman super manis. Charlotte yang tergila-gila
dengan cokelat ingin membuka tokonya sendiri yang bernama Lotte. Dia sudah menyiapkan logo
dan desain toko kuenya dengan sangat detail karena dia sendiri adalah mahasiswa arsitek yang
pintar mengambar. Saat inilah dia harus memanfaatkan ilmu yang telah didapatnya.
“Kenapa ada gambar anjing disini?”
“Itu gambar yang akan menjadi logo Toko Lotte. Semacam gambar yang mewakilkan sensasi
rasa makan kue super manis seperti saat dipeluk anjing berbulu lembut yang imut. Semua orang
pasti menyukai anjing kecil, maka orang-orang akan menyukai kue Lotte juga.”
Dorres dan Lily saling melihat satu sama lain. Mereka tidak menyangka nyonya mereka
ternyata menyembunyikan kepandaiannya dalam mengambar.
“Apakah nama Lotte terinspirasi dari nama Anda?”
“Tidak, itu nama anjing kesukaanku.”
Lotte adalah nama anjing miliknya yang berada di rumah dunia lain. Dia mengambar itu
karena kangen akan kabarnya.
“Maaf karena saya banyak bertanya. Tapi apakah ini semua disusun oleh Yang Mulia?”
“Iya, tentu saja. Siapa lagi jika bukan aku yang membuatnya.”
Abigailts terkagum melihat tulisan yang ditulis dengan sungguh-sungguh. Dan gambar toko
ini sangat unik dan berbeda dari yang lainnya. Ini memiliki kaca besar tembus pandang yang
menampakkan kue-kue secara langsung ke para calon pembeli yang lewat. Juga orang-orang bisa
duduk untuk makan di dalam maupun diluar ruangan sambil menikmati suara keramaian di luar.
Ini akan memberikan sensasi baru bagi pembelinya. Ini membuatnya Abigailts tambah lebih
menghormatinya, tidak seperti bangsawan lain yang sangatlah sombong dan kurang ajar.
“Saya menyukai ide bisnis Anda. Tapi kerja sama apa yang melibatkan diri saya?”
“Aku tahu kamu memiliki banyak ladang tebu dan juga pabrik yang tersebar di seluruh
wilayah Kerajaan Archess.”
“Jika memang benar kenapa?” Abigailts lalu tersadar maksud perkataannya dan menepuk
tangannya, “Anda ingin saya menjual gula jadi itu ke Anda?”
“Ya, tepat sekali. Tapi tentu saja dengan harga yang murah, terjangkau dan berkualitas bagus.
Aku yakin Sir Abigailts tidak akan melewati kesempatan emas ini.”
“Tapi apa untungnya saya menjual gula itu kepada Anda?”
“Saya Duchess Charlotte, gelar tertinggi setelah Raja dan Ratu. Aku yakin setelah berita ini
tersebar luas, para bangsawan akan beralih membeli pasokan gula kepada Anda. Kita sama-sama
untung bukan?”
Abigailts tersenyum melihat Duchess ternyata pandai bernegoisasi, tidak seperti suaminya
yang membosankan. Dia penasaran darimana Charlotte belajar tentang hal itu. Tapi bagi anak si
pemilik pengusaha mabel merupakan hal kecil mempunyai keahlian bernegoisasi seperti ini.
Sama halnya ketika bapak Charlotte berusaha memancing pemasok kayu untuk memberinya
harga murah.
Abigailts menjabat tangannya dan berkata, “Saya senang bekerja sama dengan Anda.”
“Saya juga.”
Charlotte berhasil mewujudkan cita-citanya untuk membuka toko kue layaknya kafe-kafe di
dunianya. Dia tidak perlu sibuk-sibuk menyiapkan atau mencari modal untuk toko ini, karena ia
memiliki hak untuk menggunakan uang investasi itu ke siapapun. Dan dia memutuskan untuk
berinvestasi kepada dirinya sendiri. Sedangkan Abigailts memiliki alasan lain selain ia tertarik
kepada ide bisnisnya, yaitu langkah pertama untuk mendekati Lily.

***

Di dalam kastilnya, Pangeran Kriston sedang berdiskusi dengan seorang pria berumur sekitar
tiga puluhan. Dia dipanggil kesini karena Kriston ingin memberi bantuan kepada keluarganya –
sebagai bentuk apreasiasi karena telah sering menyelamatkan banyak orang, sehingga ia diberi
gelar masyarakat seorang pahlawan baik hati.
“Bagaimana rasanya menjadi pahlawan?” tanya Kriston
“Rasanya seperti telah melakukan hal paling mulia di dunia ini. Sampai-sampai Yang Mulia
Kriston sempat meluangkan waktunya untuk menemuiku. Saya merasa sangat terhormat.”
“Sepertinya kau salah paham,” dia berkata dengan matanya yang memandang rendah. “Aku
tidak punya waktu untuk melakukan hal seperti itu. Dasar orang kerdil.”
Pria itu menundukkan kepalanya karena malu. Kemudian Kriston memberi tanda kepada
pelayan kepercayaanya untuk melemparkan sekantong emas ke atas meja.
“Karena kau suka bermain menjadi pahlawan. Emas itu untukmu.”
“Terimakasih Yang Mulia,” katanya sambil mencium-cium kantong itu.
Kriston merasa jijik dengannya, “Hah, bagaimana bisa orang kotor ini bisa menjadi
pahlawan? Hei, orang kerdil.”
“Ya, Yang Mulia?”
“Aku tidak memberimu emas secara percuma. Aku memerlukan bantuanmu.”
“Apa itu? Saya akan sangat senang membantu Yang Mulia.”
“Aku ingin kamu berpura-pura menjadi penyihir. Yah, penyihir yang meresahkan warga itu,
sampai-sampai aku menjadi tuli mendengar demo tak keruan itu.”
“Penyihir! Saya tidak bisa melakukan itu! Penyihir itu jahat! Jahat!”
“Kau kenapa berteriak begitu? Katanya kamu suka bermain menjadi pahlawan?”
“Tapi saya tidak bisa melakukan hal itu. Saya tidak jadi mengambil emas ini. Aku tidak perlu
ini lagi.”
Kemudian dia langsung berlari pergi karena ketakutan, tapi dia dihadang oleh sekumpulan
ksatria yang membuatnya termundur kembali dan jatuh ke lantai.
Kemudian Kriston berkata dari atas sofanya, “Aku tahu kau merawat seorang anak laki-laki.
Anak kecil imut dan juga lemah yang selalu memeluk tanganmu tiap malam.”
“Saya tidak mengerti maksud An – “
“Namanya Gorge. Anak kakak perempuanmu yang telah tewas kecelakaan kereta kuda 4
tahun lalu. Gorge mengalami kecelakaan ketika berumur 2 tahun. Berarti sekarang umurnya 6
tahun!” katanya sambil menunjukkan keenam jarinya. “Aku yakin, kau merawatnya dengan baik
dan penuh kasih sayang. Aku penasaran bagaimana kabarnya sekarang.”
“Apa yang Anda mau dariku?” teriaknya ketakutan.
“Sederhana. Aku hanya ingin kau berpura-pura menjadi buronan penyihir. Dan aku ingin kau
menampakkan diri ketika pesta penobatanku nanti! Lalu aku akan muncul bagaikan pahlawan,
lalu menangkap penyihir jahat yang telah dicari-cari selama ini. Bukankah itu akan menjadi
skanario yang menarik?”
“Saya tidak bisa melakukan hal itu! Saya sudah bersumpah kepada Gorge untuk hanya
melakukan hal baik saja!“
“Hei, tolong berikan kantong emas ini ke si eksikutor penjara bawah. Sisanya akan dia
dapatkan ketika kepala anak malang itu telah berhasil ditebas.”
“Tidak! Jangan! Kumohon jangan lakukan hal itu! Aku akan menurutimu. Aku berjanji!”

Anda mungkin juga menyukai