Anda di halaman 1dari 7

Cerita Cinta di Langit Senja

Oleh: Nurul Awali Fauziyah Hasbiyani


Apalah cinta sejati itu? Haruskah kami memilikinya saat ini juga? Apalah arti
sepotong pengorbanan? Untuk apa kami melakukannya?
Kakek tak menjawab pertanyaanku. Tangan keriputnya sibuk membalik halaman
demi halaman buku karawitan. Dibukanya halaman yang menyajikan not angka langgam
Srihuning Mustika Tuban.
Kakek menoleh ke arahku. Menyuruhku agar segera melakukan grambyangan1.
Sri Huning
Sinebut pahlawan putri
Sri Huning mustika Tuban
Putro kanjeng
Siro lalwe
Duh perang labuh Negara
Bebelo wiratmaya
Tan wurung Sri Huning sirno
Dadi kusumaning bangsa
Sinden menyanyikan bowo2 lagu dengan lengking soprannya. Kini, tangan kiriku
diatas not siji bawah dan tangan kanan diatas not telu atas, bersiap melakukan imbalan3,
memainkan langgam4 Srihuning Mustika Tuban. Ketika aku baru saja selesai memainkan
satu gatra imbalan, Kakek seolah menarik lenganku lembut. Sorot matanya ramah.
Wajahnyapun menyenangkan. Dan seulas senyum di bibirnya yang selalu mengembang. Ada
tugas yang harus kau selesaikan, Nay. Aku mengartikan tatapan matanya dan tarikan lembut
di lenganku.
Kakek membawaku jauh menembus lorong waktu. Sebelum pusaran ini menelanku,
aku memandang ragaku yang terlihat amat berkonsentrasi memainkan Bonang Barung laras
slendro. Dua tangannya sibuk dengan dua pemukul, sedang dua telinganya berkonsentrasi
dengan irama kendang juga balungan. Jiwaku seolah berputar dalam pusaran tak berbatas.
Tetapi Kakek memegang lenganku erat, memberiku rasa aman. Kita akan pergi ke mana?
Pertanyaan itu terpancar dari sorot mataku.

1
Disebut pula odho-odho atau ajak-ajak. Dimainkan oleh Bonang Barung agar pemain gamelan bersiap-siap.
2
Intro (pembuka) dalam gendhing. Dinyanyikan oleh sinden sebelum memulai lagu (music)
3
Teknik memainkan boning sebelum sekaran, bersama boning penerus
4
Suatu tingkatan pada gendhing jawa
Belum selesai rasa penasaranku, pusaran yang menelanku membawaku ke satu tempat
yang amat asing. Tempat yang belum pernah kusinggahi sebelumnya.
Namanya Sri Huning. Kakek yakin kau bisa membantunya. Kata Kakek akhrinya.
Mengapa harus aku? Tanyaku tak mengerti.
Karena Kakek yakin kau bisa membantunya. Sudah, lakukan apa yang seharusnya
kau lakukan. Kakek percaya padamu, Nay!
Mataku menangkap sesosok wanita muda sebaya denganku sedang duduk melamun di
atas ayunan rotan, memilin setangkai mawar merah. Pandangannya kosong. Semilir angin
pantai membelai anak rambutnya yang tergerai.
Namamu Sri Huning? Sapaku membuyarkan lamunannya.
Ia buru-buru menoleh ke arahku. Dahinya mengernyit mendapatiku yang sedang
berdiri tiga langkah darinya.
Panjenengan sinten? Tanyanya dengan bahasa Jawa yang amat halus.
Nayang. Aku mengulurkan tangan, mengajaknya berjabat tangan.
Huning masih merasa asing dengan kehadiranku yang tiba-tiba. Ia mengamatiku dari
ujung kepala hingga ujung kaki. Menit selanjutnya, Huning mulai berani menyentuh
wajahku, mengusap rambut panjangku yang tergerai. Huning mengelus ujung kemejaku
takut-takut, lalu matanya turun memandang celana jins ketat yang kukenakan dan terakhir
wedges yang membuatku lima senti lebih tinggi darinya. Huning tampak takjub dengan
pakaian yang kukenakan.
Tak lama kemudian, kami menjadi akrab. Sungguh awalnya aku merasa asing dengan
situasi ini. Aku sedang berada dalam taman keputren, bersama seorang anak raja yang amat
mirip denganku; Srihuning.
Sejak kapan kau mulai menyukainya? Tanyaku sesaat setelah kami masuk ke dalam
kamarnya yang luas.
Sejak Dayang masih suka mengepang rambutku menjadi dua. Jawabnya sambil
mencomot sebutir anggur hitam.
Aku memandang Huning dengan tatapan mata tak percaya. Bagaimana mungkin?
Bagaimana mungkin cinta bersemi di hati seorang adik kepada kakak sulungnya? Huning
ringan menceritakannya padaku.
***
Kau tak bisa melakukannya, Huning. Sungguh kalian tak bisa melakukannya.
Huning sibuk menyiapkan bungkusan yang akan dibawanya. Dikeluarkannya separuh
bajunya dari lemari, dimasukkannya ke dalam peti-peti.
Mengapa tidak, Nay? Kami saling mencintai. Kami bukan pula saudara sekandung.
Coba jelaskan. Huning menatapku gemas. Aku tahu Huning. Sungguh aku telah mendengar
cerita itu dari Kakekku. Tentang dirimu yang yatim-piatu dan kemudian diasuh oleh
Ronggolawe, Adipati Tuban, diangkatnya engkau menjadi anaknya. Dididiknya engkau
hingga menjadi gadis rupawan yang kini banyak diperebutkan. Engkau mewarisi darah
ksatria sejati, Huning. Darah biru ayahmu yang amat setia mati membela Kadipaten Tuban.
Sungguh kalian tak bisa melakukannya. Kataku parau. Aku hanya mampu meremas
ujung seprei. Oh Kakek, apa yang harus kulakukan? Bagaimanalah ini? Bagaimana aku akan
menghentikan tindakan mereka?
Terdengar pintu diketuk dari luar. Detik berikutnya, muncullah sesosok pemuda
tanggung mengendap-endap. Ia memandangku heran.
Kau tak bisa mengentikan ini semua. Kami sudah menyusun rencana ini jauh-jauh
hari. Tekat kami sudah bulat. Kata pemuda yang akhirnya kuketahui bernama Wiratmaya.
Oh Kakek, bagaimanalah ini? Dua insane yang sedang dimabuk cinta memutuskan
untuk kawin lari. Dua insane kakak-beradik yang jelas cintanya tak direstui keluarga, seluruh
penduduk Kadipaten Tuban tentu Sang Hyang Widhi. Membenarkan tindakan bodoh mereka
atas nama cinta. Dua insane yang ingin hidup bahagia berdua. Bagaimanalah nasib Kadipaten
Tuban jika ditinggal oleh putera puteri terbaiknya? Bagaimanalah kami mendapat tauladan
akan cinta sejati dan pengorbanan?
Tunggu.. tunggu sebentar. Dengarkan penjelasan terakhirku.. Aku mohon. Setidaknya
sebelum kalian pergi.
Huning dan Wiratmaya menghentikan langkahnya tepat saat mereka hendak memutar
anak kunci. Gerakan mereka terhenti entah oleh suaraku yang mengiba atau pikiran mereka
yang mendadak berubah.
Berikan aku waktu..ehm sepuluh menit. Aku akan mencoba menjelaskan..
Huning memutar tubuh. Wiratmaya pun melepas peti-peti yang dipanggulnya.
Kemarilah..
Aku tahu kalian saling mencintai satu sama lain. Cinta itu bukan cinta yang biasa.
Cinta kalian besar, boleh jadi melebihi bumi serta seluruh isinya. Tetapi izinkan aku
menyederhanakan cinta kalian.
Kakekku bilang, cinta bukanlah suatu kesalahan. Bukan pula aib yang harus ditutupi.
Cinta amat tinggi dan agung. Ia sebuah rasional yang mendekatkan hati dan pikiran. Sesuatu
yang indah, membawamu melayang. Ia membuatmu tersenyum dan menangis sekaligus.
Membuatmu bahagia juga kecewa dalam satu waktu. Kataku dengan suara yang bergetar.
Kakekku bilang bahwa jika kita mencintai seseorang, bukan berarti harus bersamanya
saat itu juga. Tunggulah..Biarkan waktu yang mengujinya, apakah perasaan itu semakin besar
ataukah hilang. Meletup ataukah meredup.
Lalu, siapakah yang tak mengenal kalian, wahai putera puteri Kadipaten Tuban?
Siapalah yang tak mengenalmu, Wiratmaya? Pangeran gagah prakosa, putra Adipati Tuban.
Tampan tak terkira, pandai tiada dua. Budi pekertimu amat mulia karena kau tumbuh dalam
asuhan luhur. Dan kau, Huning. Siapa pula yang tak tahu dirimu? Engkau putri yang tersohor
akan keindahan rupa. Kau gadis rupawan, puteri Kadipaten Tuban. Kau cantik tak terperi,
pintar tiada tanding. Semua orang bahkan terpesona hanya dengan mendengar bisik-bisik
bagaimana jelita rupamu.
Wahai, banyak rakyatmu yang menjodoh-jodohkan kalian. Kalian berdua seperti
ditakdirkan menjadi pasangan abadi. Pas sekali jika yang cantik berpasangan dengan yang
tampan. Tetapi bukan cara seperti ini yang harusnya kalian jalani. Cinta kalian amat suci, jadi
mana mungkin kalian akan mengotorinya, bukan?
Apa maksudmu?
Sederhana saja. Hentikan perbuatan bodoh kalian. Terima perjodohan itu dengan hati
yang lapang.
Aku tahu akan sulit menerima perjodohan itu. Bagaimanalah Wiratmaya akan
menikah dengan gadis yang sama sekali tidak dicintainya? Bagaimanalah ia akan menjalani
kehidupan rumah tangga yang amat menyiksa? Bagaimanalah dengan Srihuning dengan sakit
hati dan kecewa yang ditanggunya? Aku sungguh tak mampu membayangkannya.
Bagaimanalah ini, Kakek?
Kalian selalu punya pilihan. Aku amat berharap kalian memilih jalan terbaik. Jalan
ksatria yang menjadi panutan penduduk Kadipaten Tuban dan sekitarnya..
Srihuning dan Wiratmaya saling berpandangan. Mereka terlihat menimang nasihatku
barusan. Semoga, semoga mereka memikirkan kalimatku, Kakek.
Kau pasti bisa mengambil keputusan terbaik, Wiratmaya. Dalam tubuhmu mengalir
darah Ksatria terbaik zaman ini. Jadikan dirimu seorang ksatria tangguh. Sosok yang kan
dibanggakan penerusmu kelak..Demi penerusmu kelak..
Wiratmaya menggigit bibir bawahnya. Dikepalkannya tangan kanannya.. Kakek, siapa
pula gadis asing di hadapannya. Beraninya dia memengaruhi keputusannya, keras kepala
sekali ia memaksa Putera Adipati Tuban menuruti keinginannya.
Wiratmaya menarik satu napas panjang. Ia menolehkan wajahnya, ke arahku.
Rahangnya yang mengatup kuat, kini mulai digerakkannya. Bibirnya bergetar hendak
mendesiskan sesuatu.
Demi keluarga dan rakyatku, aku terima perjodohan itu..
Tangis Srihuning pecah mendengar keputusan bulat Wiratmaya. Tapi biarlah. Semoga
esok pagi ketika mentari menyiratkan larik gelombangnya, Srihuning bisa menerima. Bahwa
cinta tidak pernah baik jika dipaksa.
***
Esok harinya, ketika sinar mentari benar-benar menyentuhkan cahayanya di bumi
Kadipaten Tuban, Kakek menjemputku. Kakek mendesiskan bowo Srihuning Mustika Tuban.
Menarik lembut lenganku.
Sri Huning
Sinebut pahlawan putri
Sri Huning mustika Tuban
Putro kanjeng
Siro lalwe
Duh perang labuh Negara
Bebelo wiratmaya
Tan wurung Sri Huning sirno
Dadi kusumaning bangsa
Tugasmu sudah selesai, Nay. Mari kembali ke kehidupanmu sendiri. Ayo, selesaikan
Langgam ini. Aku memandang Kakek tidak percaya. Mengapa harus sekarang?
Kau sudah melewati porsi tugasmu dengan baik. Kini biarkan mereka menyelesaikan
kisah mereka sendiri. Mereka tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Kakek tersenyum
bijak. Aku mengangguk. Menuruti kehendak Kakek.
Kau tidak pernah suka peperangan, Nay. Kemarilah, genggam lengan Kakek. Kita
akan segera kembali. Kakek menyunggingkan senyumnya lebih lebar.
Sekali ini saja Kek, kumohon. Izinkan aku menjadi saksi sejarah cinta panjang
mereka. Biarkan aku menyaksikan akhir cerita cinta Srihuning dan Wiratmaya. Dua sejoli
yang akan menjemput takdir terbaiknya.
Dan benar saja. Pagi-pagi sekali, keluarga besar Adipati Ranggalawe melakukan
hajatan besar: menikahkan putera sulungnya-Wiratmaya. Aku turut pula bersama rombongan
iring-iringan pengantin menuju Kadipaten Bojonegoro untuk mempersunting Dewi
Kumalaretno. Pagi ini tak kulihat mata sembab Srihuning sebab menangis semalaman. Ia
memutuskan tegar dan tak lagi menangisi takdir yang kini ia hadapi. Tak dihiraukannya
hatinya yang kini hancur berkeping. Senyum menawannyalah yang ia sunggingkan untuk
seluruh tamu undangan.
Ia berjanji untuk menyembunyikan serpihan hati yang semalam dipecahkan oleh
Kangmasnya sendiri. Ia bersumpah akan turut menjaga pernikahan kakak sulungnya.
Sungguh ketulusanlah yang kini memancar dari sorot matanya, menambah anggun aura
keputriannya.
Setengah jam berselang setelah kami sampai di pendopo Kadipaten Bojonegoro,
terdengar iring-iringan kuda dari kejauhan disertai dengan suara kasar lecutan pecut. Amboi
Kakek, mengerikan sekali suara kuda yang mengikik penuh amarah. Rombongan tak
diundang itu kini telah sampai di gerbang gapura pendopo.
Bisik-bisik mengatakan bahwa yang barusan datang adalah Adipati Lamongan, Jala
Sudibyo yang tidak terima pinangannya kalah cepat dari Adipati Tuban. Ia jelas hendak
berbuat kerusakan, mengacaukan pernikahan Wiratmaya dan Dewi Kumalaretno.
Jika kau sugguh mencintai Wiratmaya, lakukanlah apa yang seharusnya kau lakukan.
Kau bisa melakukannya, Huning. Kau masih bisa memperjuangkan cintamu. Kataku
memastikan.
Maka, pergilah Sri Huning ke gapura pendopo. Ia bergabung bersama pasukan prajurit
Kadipaten Bojonegoro. Bersama sebilah keris di tangan kanan, perisai di tangan kiri dan
busur panah serta anak panah di punggung, Huning melangkah ke medan perang. Tapi
sayang seribu sayang. Sebuah keris sakti menembus dada hingga perutnya. Jala Sudibyo yang
sakti mandraguna jelas bukan tandingannya. Adipati Lamongan itu lalu mengeluarkan
sebagian isi perut lawannya. Dengan kekuatan terakhir yang dimiliki Srihuning, diusapnya
darah yang keluar dari perutnya.
Darah ini menjadi saksi atas besar cintamu untukmu, Kangmas Wiratmaya. Huning
menghembuskan napas terakhirnya.
Wiratmaya yang seolah tahu apa yang terjadi, menyapukan pandangan mencari
kekasihnya.
Ia telah menjemput takdir terbainya. Huning telah membuktikan siapa dirinya.
Seorang ksatria tidak pernah mati percuma. Ia mengakhiri kisahnya dengan sempurna.
Tentang perjuangan dan pengorbanan tertinggi yang mampu dilakukannya. Tentang cara
paling terhormat memerjuangkan satu kisah cinta.
Dari kejauhan pula aku memandang Wiratmaya berlari penuh amarah menuju medan
peperangan. Dalam dadanya menggelora dendam yang membara. Maka ditariknya keris yang
menancap di perut Srihuning. Dihujamkannya pada siapa saja yang melintas di hadapannya.
Wiratmaya yang sepenuhnya dikuasai letupan emosi, tak sadar di belakangnya berdiri
Jala Sudibyo memanggul busur panah, bersiap munghujaninya dengan anak lesapan anak
panah.
Wiratmayaaa
Tepat sepersekian detik sebelum ia sempat menoleh ka sumber suara, anak panah Jala
Sudibyo mengenai punggungnya. Menancap kuat menghujam jantungnya. Matilah
Wiratmaya seketika. Di hembusan napas terakhirnya, Wiratmaya sempat mendesiskan satu
nama.
Diajeng Srihuning..
Aku memejamkan mata demi menahan menyaksikan pilu perang Sampyuh. Ratusan
nyawa prajurit melayang, bergelimpangan di depan gapura pendopo. Pernikahan yang
harusnya penuh kebahagiaan, kini berubah menjadi lautan kesedihan.
Langit senja adalah saksinya. Dua jiwa itu kini menjemput takdir terbaiknya. Tak ada
yang meragukan besar cinta dan pengorbanannya. Terima kasih Huning, Wiratmaya. Dari
kalianlah kami belajar apa itu cinta sejati. Dari kalianlah kami belajar kebesaran hati.
Abadilah cinta kalian bahkan hingga kini.
Aku menggenggam jemari Kakek. Sesaat kemudian, lorong waktu melempar kami
kembali ke sanggar Kakek, tempatku berlatih karawitan.
Sri Huning putrane abdi
Wongso pati nalikane uni
Kapupuk ing madya logo
Duk prang tandhing lawan minakjinggo
***
Cerita asli Srihuning Mustika Tuban tidak seperti ini.

Anda mungkin juga menyukai